PENDAHULUAN
berat
kegawatdaruratan
yang
medis.
sulit
Dalam
diperbaiki
refrat
ini
dan
masuk
dibahas
dalam
katagori
mengenai
refrakter
hiperkalemia yaitu definisi, etiologi, factor resiko, manifestasi klinik, dan terapi
jangka pendek ataupun jangka panjang dari kondisi refrakter hiperkalemia
sehingga kita lebih mudah mengenali dan memprediksikan kejadian refrakter
hiperkalemia, sehingga mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat
kondisi refrakter hiperkalemia.
BAB II
PEMBAHASAN
1
2.1
Definisi
Refrakter
hiperkalemia
adalah
keadaan
dimana
terjadi
2.2
Etiologi
Etiologi dari hiperkalemia adalah pergeseran kalium ke ekstraseluler
atau penurunan ekskresi kalium oleh ginjal. Intake kalium endogen ataupun
exogen yang berlebihan jarang sekali dapat menyebabkan hiperkalemi yang
mengancam jiwa kecuali jika ada dasar patologis di atas.
2.3
Patofisiologi
Kalium merupakan kation yang berada di ekstrasellular dan
lebih dari 5,0 mEq/L. Hiperkalemia dibagi menjadi tiga, yaitu ringan, sedang, dan
Berat.
Hiperkalemia yang berat dapat menyebabkan terjadinya fatal aritmia
seperti ventrikel fibrilasi, ataupun asistole yang dapat berkembang menjadi
cardiac arrest. Refrakter hiperkalemia ini merupakan kegawatdaruratan medis dan
dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas, oleh karena itu keadaan ini
membutuhkan perawatan di rumah sakit, monitoring dengan ECG, dan terapi
segera.
Patofisiologi dasar dari hiperkalemia adalah pergeseran kalium ke
ekstraseluler atau penurunan ekskresi kalium oleh ginjal. Intake kalium yang
berlebihan seperti diet tinggi kalium ataupun pengkonsumsian kalium eksogen
jarang sekali dapat menyebabkan hiperkalemi yang mengancam jiwa kecuali jika
ada dasar patologis di atas. Begitupun ketika terjadi penambahan jumlah kalium
dari endogen misalkan karena terjadi peningkatan turn over sel ataupun kerusakan
jaringan, keadaan ini juga jarang menyebabkan terjadinya hiperkalemia kecuali
disertai dengan keadaan patologis dari ginjal orang tersebut. Hiperkalemia yang
kronis biasanya berhubungan dengan kerusakan pada ginjal.
2.3.1
tacrolimus,
dan
heparin
dapat
menyebabkan
terjadinya
hiperkalemia.
3. Drug Induced Hyperkalemia
Interfensi pada renin-aldosterone axis dalam beberapa pengobatan
dapat menyebabkan terjadinya hyperkalemia dengan berbagai macam
mekanisme. Potassium-sparing diuretics (amiloride and triamterene),
trimethoprim, and pentamidine mengeblok reabsorbsi garam di nefron
bagian distal, mengurangi gradient pada luminal, dan mengurangi kadar
eksresi kalium.
Sedangkan Spironolactone
menyebabkan keadaan
kita temukan pada pasien dengan penyakit ginjal, Addison, yang dapat
berkembang menjadi akut pulmonary edema atau deplesi volume
intravascular.
5. Renal Failure
Acute tubular necrosis dan interstitial nephritis adalah penyebab
tersering terjadinya oliguric acute kidney failure. Pada kondisi tersebut,
Distal tubulus dan collecting duct cells sering mengalami kerusakan dan
hal tersebut memicu eksresi dari potassium itu sendiri.e to excrete
potassium. Pada Chronic Kidney Disease (CKD), pengurangan massa
tubulus juga dapat menyebabkan terjadinya hyperkalemia.
2.3.2
terjadinya pergeseran kalium dari intracellular menuju ekstraselular. Hal ini bisa
kita temukan pada pasien Diabetes Mellitus.
Hypoaldosteronism mengurangi eksresi kalium oleh ginjal, dan
mengurangi uptake kalium oleh non renal sel sehingga dapat mecetuskan
terjadinya hiperkalemia. Di lain pihak, katekolamin dan beta agonist dapat
meningkatkan uptake kalium oleh sel dengan mekanisme kerja dari reseptor beta 2
adrenergic, sehingga apabila reseptor tersebut tidak tersedia maka dapat
menyebabkan terjadinya hiperkalemia. Hal ini bisa kita temukan pada penggunaan
obat-obatan yang bekerja berlawanan dengan reseptor tersebut.
Kerusakan
jaringan
juga
dapat
menyebabkan
terjadinya
hiperkalemia, apalagi jika diikuti dengan keadaan acute kidney injury. Penyebab
lain dari pergeseran kalium ke ekstraseluler juga bisa kita temukan pada exercise
hypertonic
mannitol),
digitalis
overdose,
succinylcholine,
arginine
2.4
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari hiperkalemia yang ringan sampai sedang
biasanya tidak spesifik. Pasien tampak lemah, mual, muntah, timbul kolik
intestinal, dan diare. Sedangkan hiperkalemia yang berat merupakan keadaan yang
mengancam jiwa karena bisa menyebabkan terjadinya aritmia jantung dan
paralisis otot.
Kalium dan Sodium memiliki peran penting dalam fisiologi
myocardium, oleh karena itu gradient konsentrasinya harus diatur dengan sangat
tepat.
Ketidakseimbangan
dari
gradient
konsentrasi
keduanya,
dapat
2.5
Terapi
Pada keadaan hiperkalemia baik itu hiperkalemia ringan, sedang,
2.5.1
Cardiac Stabilization
a. Calsium
Kalsium memiliki efek antagonis dengan kalium pada
membrane cardiomiosit tanpa mempengaruhi kadar Kalium di plasma.
Apabila muncul abnormalitas pada EKG akibat kondisi hiperkalemia
atau apabila kadar Kalium 6,5 mEq/L maka muncul indiaksi untuk
dilakukan pemberian Kalsium pada pasien tersebut, seraya terapi lain
dalam upaya menurunkan kadar Kalium serum terus dilakukan.
Kalsium biasanya diberikan dalam bentuk 10% Kalsium
Glukonat secara IV sebanyak 10 cc selama 5-10 menit. Selama
pemberian terapi kalsium, harus dilakukan cardiac monitoring pada
pasien tersebut. Kemudian dilakukan pengulangan pengecekan EKG
setelah terapi kalsium ini selesai diberikan. Jika gambaran ECG masih
tetap abnormal setelah 5-10 menit pemberian Calsium Glukonat, maka
harus dilakukan pengulangan dalam 5 menit selanjutnya.
Pemberian Calsium ini harus dimonitor secara ketat dan
secara hati-hati pada pasien yang mengkonsumsi digitalis, terutama
dengan kadar digoxin yang tinggi dalam sirkulasi. Biasanya untuk
menambah safety, pada pasien tersebut, kalsium glukonat dimasukkan
dalam 100 cc dextrose 5% dan harus habis selama 20-30 menit untuk
mencegah terjadinya trancient hiperkalemia. Pemberian digitoxin
specific antibody dapat dipertimbangan pada keadaan ini.
2.5.2
10
aktivitas pompa Na-K ATPase. Kadar Kalium Serum akan mulai turun
setelah 10-20 menit pemberian insulin dan glukosa dengan puncak aksi
60 menit setelah pemberian. Efek terapi tersebut dapat bertahan selama
2-6 jam setelah pemberian terapi.
Pemberian Insulin dapat dilakukan secara Bolus 10 unit
insulin bersamaan dengan pemberian 25-50 gram Glukosa secara
Intravena. Pasien dengan hiperglikemia cukup diberikan insulin tanpa
pemberian glukosa. Pada pasien tersebut wajib dilakukan monitor
terhadap Gula darah selama pemberian terapi insulin untuk mencegah
terjadinya kondisi hipoglikemia.
b. Beta Agonist
Beta agonist mampu mengaktivasi pompa Na-K-ATPase
sehingga mampu menggeser kalium dari ekstraseluler ke intraseluler.
Beta Agonist yang biasa diberikan adalah Albuterol 10-20 mg via
nebulizer minimal dilakukan 4x pemberian. Efek samping dari beta
agonist adalah takicardi dan tremor. Pemberian inhale beta agonist
tidak efektif pada pasien yang menggunakan beta blocker.
Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
insulin dan beta agonis secara bersama cukup efektif dalam
menurunkan kadar Kalium serum dan penggunaan beta agonist secara
bersama dengan insulin dapat mencegah efek samping pemberian
insulin yaitu hypoglikemia.
c. Sodium Bicarbonat
Pemberian sodium bicarbonate pada pasien tanpa asidosis
metabolic masih merupakan controversial. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Kamel dan Wei didapatkan bahwa penggunaan bicarbonate
pada keadaan hiperkalemi tanpa asidosis metabolic tidak mampu
menurunkan kadar Kalium plasma malah memunculkan keadaan patologis
baru yaitu hypernatremia, hypocalemia, alkalosis metabolic, dan
hipervolemi.
11
2.5.3
12
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Refrakter
hiperkalemia
adalah
keadaan
dimana
terjadi
13
penting untuk mengetahui factor resiko, manifestasi klinik, dan terapi yang harus
dilakukan.
Hiperkalemia menyebabkan perubahan potensial membrane
istirahat. Keadaan inilah yang menyebabkan timbulnya semua gejala klinik dari
hiperkalemia. Secara Klinis pasien akan merasakan palpitasi, sinkop, dan pada
akhirnya terjadilah cardiac arrest. Selain itu, hiperkalemia akan menyebabkan
depolarisasi spontan dari otot skelet yang akan menyebabkan inaktivasi dari
channel sodium pada membrane sel otot. Keadaan ini akan menimbulkan
kelemahan otot yang dalam keadaan ekstrim dapat menyebabkan paralisis.
Etiologi dari hiperkalemia adalah pergeseran kalium ke
ekstraseluler atau penurunan ekskresi kalium oleh ginjal. Sehingga sasaran terapi
yang dapat diterapkan yaitu menggeser Kalium dari ekstraselluler ke intraselluler
dan meningkatkan eksresi Kalium oleh ginjal. Selain itu terapi pada refrakter
hiperkalemia juga bertujuan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
akibat aritmia jantung, sehingga dapat pula diberikan penstabil ritme jantung.
Terapi dari hiperkalemia dapat dibedakan menjadi terapi jangka
pendek dan terapi jangka panjang. Terapi hiperkalemia secara umum yang bersifat
jangka pendek tidak melihat penyebab terjadinya keadaan tersebut, melainkan
berdasarkan kadar Kalium serum, dan ada tidaknya kelainan gambaran ECG.
Sedangkan Terapi jangka panjang dari hiperkalemia terdiri dari diet dan
modifikasi terapi medikamnetosa.
14