Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar belakang
Refrakter hiperkalemia merupakan salah satu kegawatdaruratan medis dimana terjadi
ketidakseimbangan elektrolit, yaitu berupa hiperkalemia yang berat, dengan kadar Kalium 6,5
mEq/L yang biasanya akan diikuti dengan perubahan abnormal drai gambaran ECG. Keadaan ini
merupakan keadaan yang mengancam jiwa karena dapat menyebabkan paralisis otot dan aritmia
yang mematikan. Sehingga penting untuk mengetahui factor resiko, manifestasi klinik, dan terapi
yang harus dilakukan.
Hiperkalemia adalah keadaan dimana Kalium Serum > 5,0 mEq/L. Berdasarkan kadar
Kalium serum, hiperkalemia dibagi menjadi tiga, yaitu ringan, sedang, dan berat. Pada referat ini
penulis lebih menitikberatkan pada hiperkalemia berat yang masuk dalam katagori
kegawatdaruratan medis. Dalam refrat ini dibahas mengenai refrakter hiperkalemia yaitu definisi,
etiologi, factor resiko, manifestasi klinik, dan terapi jangka pendek ataupun jangka panjang dari
kondisi refrakter hiperkalemia sehingga kita lebih mudah mengenali dan memprediksikan
kejadian refrakter hiperkalemia, sehingga mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat
kondisi refrakter hiperkalemia.












BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Definisi
Refrakter hiperkalemia adalah keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan elektrolit,
yaitu berupa hiperkalemia yang berat, dimana kadar Kalium 6,5 mEq/L. Keadaan ini
merupakan keadaan yang mengancam jiwa karena dapat menyebabkan paralisis otot dan aritmia
yang mematikan. Sehingga penting untuk mengetahui factor resiko, manifestasi klinik, dan terapi
yang harus dilakukan.

2.2 Etiologi
Etiologi dari hiperkalemia adalah pergeseran kalium ke ekstraseluler atau penurunan
ekskresi kalium oleh ginjal. Intake kalium endogen ataupun exogen yang berlebihan jarang
sekali dapat menyebabkan hiperkalemi yang mengancam jiwa kecuali jika ada dasar patologis di
atas.

2.3 Patofisiologi
Kalium merupakan kation yang berada di ekstrasellular dan intrasellular, namun
normalnya lebih banyak berada di caran intrasellular. Hanya sekitar 2% dari total kalium tubuh
yang berada di cairan ekstrasellular. Di manusia yang sehat, kadar Kalium serum dipertahankan
dalam range yang sempit yaitu 3,5 sampai 5,0 mEq/L dengan perbandingan jumlah kalium
intasellular dan ekstrasellular yang normal. Hemoestasis ini berperan penting dalam memelihara
potensial membrane istrahat dari sel-sel tubuh dan fungsi neuromuscular yang pada akhirnya
berpengaruh pada aktivitas normal dari otot, syaraf, dan jantung.
Hiperkalemia dihasilkan dari ketidakseimbangan hemostasis dari kalium yang
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kadar Kalium Serum lebih dari 5,0 mEq/L.
Hiperkalemia dibagi menjadi tiga, yaitu ringan, sedang, dan Berat.
Hiperkalemia yang berat dapat menyebabkan terjadinya fatal aritmia seperti ventrikel
fibrilasi, ataupum asistole yang dapat berkembang menjadi cardiac arrest. Refrakter hiperkalemia
ini merupakan kegawatdaruratan medis dan dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas, oleh
karena itu keadaan ini membutuhkan perawatan di rumah sakit, monitoring dengan ECG, dan
terapi segera.
Patofisiologi dasar dari hiperkalemia adalah pergeseran kalium ke ekstraseluler atau
penurunan ekskresi kalium oleh ginjal. Intake kalium yang berlebihan seperti diet tinggi kalium
ataupun pengkonsumsian kalium eksogen jarang sekali dapat menyebabkan hiperkalemi yang
mengancam jiwa kecuali jika ada dasar patologis di atas. Begitupun ketika terjadi penambahan
jumlah kalium dari endogen misalkan karena terjadi peningkatan turn over sel ataupun kerusakan
jaringan, keadaan ini juga jarang menyebabkan terjadinya hiperkalemia kecuali disertai dengan
keadaan patologis dari ginjal orang tersebut. Hiperkalemia yang kronis biasanya berhubungan
dengan kerusakan pada ginjal.

2.3.1 Penurunan eksresi kalium oleh ginjal.
Ginjal adalah organ yang paling bertanggung jawab pada hemoestasis kalium,
terutama bagian distal yang berperan penting pada proses eksresi kalium. Kerusakan ginjal yang
berhubungan dengan keadaan hiperkalemia dapat dikelompokkan menjadi lima.
1. Renal Tubular Secretory Abnormalities
Type 1 (distal) renal tubular acidosis, renal disease in sickle cell disease and
systemic, lupus erythematosus, renal transplant, and obstructive uropathy.




2. Impaired Renin Aldosteron Axis
Perubahan pada axis renin aldosteron dapat menyebabkan terjadinya
hiperkalemia. Keadaan tersebut dapat kita temukan pada Addisons disease, adrenal
enzyme deficiencies (21 hydroxylase, corticosterone methyloxidase), hyporeninemic
hypoaldosteronism, and angiotensin deficiency or insensitivity. Selain itu, obat yang
dapat menyebabkan perubahan axis rennin aldosteron seperti prostaglandin inhibitors
(indomethacin, ibuprofen, piroxicam, aspirin, naproxen, fenoprofen, and sulindac), beta-
adrenergic antagonists, angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI), angiotensin
receptors blockers (ARB), tacrolimus, dan heparin dapat menyebabkan terjadinya
hiperkalemia.
3. Drug Induced Hyperkalemia
Interfensi pada renin-aldosterone axis dalam beberapa pengobatan dapat
menyebabkan terjadinya hyperkalemia dengan berbagai macam mekanisme. Potassium-
sparing diuretics (amiloride and triamterene), trimethoprim, and pentamidine mengeblok
reabsorbsi garam di nefron bagian distal, mengurangi gradient pada luminal, dan
mengurangi kadar eksresi kalium. Sedangkan Spironolactone menyebabkan keadaan
hyperkalemia dengan cara mengeblok reseptor aldosterone. Cyclosporine menyebabkan
hyperkalemia dengan meningkatkan reabsorbsi clorida. reabsorption.

4. Decreased Tubular Flow with Low Sodium
Penurunan transport garam dan atau penurunan tubular flow rate di distal juga
dapat menyebabkan hiperkalemia. Keadaan tersebut biasanya kita temukan pada pasien
dengan penyakit ginjal, Addison, yang dapat berkembang menjadi akut pulmonary edema
atau deplesi volume intravascular.

5. Renal Failure
Acute tubular necrosis dan interstitial nephritis adalah penyebab tersering
terjadinya oliguric acute kidney failure. Pada kondisi tersebut, Distal tubulus dan
collecting duct cells sering mengalami kerusakan dan hal tersebut memicu eksresi dari
potassium itu sendiri.e to excrete potassium. Pada Chronic Kidney Disease (CKD),
pengurangan massa tubulus juga dapat menyebabkan terjadinya hyperkalemia.

2.3.2 Abnormal Pottasium Distribution
Distribusi Abnormal dari potassium bisa kita temukan pada keadaan metabolic
acidosis, insulin deficiency, aldosterone deficiency, adrenergic antagonists, dan tissue damage.
Selama keadaan asidosis metabolic, terjadi pergesaran yang signifikan dari kalium intraselluler
menuju ekstraseluler. Selain itu, Insulin juga berperan dalam menjaga keseimbangan antara
kadar kalium intracellular dan ekstracelular. Penurunan kadar insulin dapat menyebabkan
terjadinya pergeseran kalium dari intracellular menuju ekstraselular. Hal ini bisa kita temukan
pada pasien Diabetes Mellitus.
Hypoaldosteronism mengurangi eksresi kalium oleh ginjal, dan mengurangi
uptake kalium oleh non renal sel sehingga dapat mecetuskan terjadinya hiperkalemia. Di lain
pihak, katekolamin dan beta agonist dpaat meningkatkan uptake kalium oleh sel dengan
mekanisme kerja dari reseptor beta 2 adrenergic, sehingga apabila reseptor tersebut tidak tersedia
maka dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia. Hal ini bisa kita temukan pada penggunaan
obat-obatan yang bekerja berlawanan dengan reseptor tersebut.
Kerusakan jaringan juga dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia, apalagi jika
diikuti dengan keadaan acute kidney injury. Penyebab lain dari pergeseran kalium ke
ekstraseluler juga bisa kita temukan pada exercise yang berat, hyperkalemic periodic paralysis,
cardiac surgery, penggunaan insulin antagonists (somatostatin dan diazoxide), hypertonic
solutions (hypertonic saline and hypertonic mannitol), digitalis overdose, succinylcholine,
arginine hydrochloride, lysine hydrochloride, and fluoride.


2.4 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari hiperkalemia yang ringan sampai sedang biasanya tidak
spesifik. Pasien tampak lemah, mual, muntah, timbul kolik intestinal, dan diare. Sedangkan
hiperkalemia yang berat merupakan keadaan yang mengancam jiwa karena bisa menyebabkan
terjadinya aritmia jantung dan paralisis otot.
Kalium dan Sodium memiliki peran penting dalam fisiologi myocardium, oleh
karena itu gradient konsentrasinya harus diatur dengan sangat tepat. Ketidakseimbangan dari
gradient konsentrasi keduanya, dapat mempengaruhi kemampuan tubuh dalam mengatur ritme
jantung. Gradien konsentrasi keduanya diatur oleh pompa sodium kalium ATPase yang
berlokasi di membrane sel. Pompa ini secara aktif memompa sodium keluar sel dan kalium ke
dalam sel. Ketika jumlah kalium di ekstraseluler meningkat, gradient konsentrasi kalium
melintasi dinding sel menurun, sehingga terjadilah perubahan potensial membrane istirahat.
Keadaan inilah yang menyebabkan timbulnya semua gejala klinik dari hiperkalemia.
Penurunan potensial membrane istirahat menurunkan aktivasi channel sodium
yang pada akhirnya menurunkan transport sodium. Hal ini menyebabkan perpanjangan konduksi
impuls berupa perpanjangan proses depolarisasi.
Myocardium sangat sensitive terhadap setiap perubahan gradient konsentrasi
kalium. Ketidakseimbangan gradient konsentrasi kalium pada kondisi hiperkalemia dapat
menimbulkan perubahan yang progresif pada EKG yaitu berupa peningkatan amplitudo
gelombang T, perpanjangan interval PR dan durasi QRS, Hilangnya gelombang P, Penundaan
konduksi AV, penggabungan puncak komplek QRS dan gelombang T yang akan menimbulkan
gambaran sinus dan asistole. Secara Klinis pasien akan merasakan palpitasi, sinkop, dan pada
akhirnya terjadilah cardiac arrest.
Selain itu, hiperkalemia akan menyebabkan depolarisasi spontan dari otot skelet
yang akan menyebabkan inaktivasi dari channel sodium pada membrane sel otot. Keadaan ini
akan menimbulkan kelemahan otot yang dalam keadaan ekstrim dapat menyebabkan paralisis.

2.5 Terapi
Pada keadaan hiperkalemia baik itu hiperkalemia ringan, sedang, ataupun berat,
dikenal istilah emergency management. Management terapi tersebut diberikan pada kondisi
emergency yaitu dimana terjadi hiperkalemia yang diikuti dengan perubahan abnormal dari
gambaran ECG atau kadar Kalium serum 6,5 mEq/L.



Terapi dari hiperkalemia dapat dibedakan menjadi terapi jangka pendek dan terapi
jangka panjang. Terapi hiperkalemia secara umum yang bersifat jangka pendek tidak melihat
penyebab terjadinya keadaan tersebut, melainkan berdasarkan kadar Kalium serum, dan ada
tidaknya kelainan gambaran ECG.
Gol dari terapi jangka pendek adalah menstabilkan membrane cardiomiosit
sehingga mencegah terjadinya aritmia, menggeser kalium dari ekstrasellular ke intrasellular,
meningkatkan ekskresi Kalium di tubuh.
Sedangkan Terapi jangka panjang dari hiperkalemia terdiri dari diet dan modifikasi
terapi medikamnetosa. Diet rendah Kalium bisa disarankan kepada pasien sebagai salah satu
bentuk dari terapi hiperkalemia jangka panjang. Untuk modifikasi terapi medikamentosa dapat
dilakukan reevaluasi ulang keadaan pasien kemudian dapat dipikirkan pemberia ACE Inhibitor,
ARB, DAN Pottasium Sparing Diuretic.

2.5.1 Cardiac Stabilization
a. Calsium
Kalsium memiliki efek antagonis dengan kalium pada membrane
cardiomiosit tanpa mempengaruhi kadar Kalium di plasma. Apabila muncul
abnormalitas pada EKG akibat kondisi hiperkalemia atau apabila kadar Kalium 6,5
mEq/L maka muncul indiaksi untuk dilakukan pemberian Kalsium pada pasien
tersebut, seraya terapi lain dalam upaya menurunkan kadar Kalium serum terus
dilakukan.
Kalsium biasanya diberikan dalam bentuk 10% Kalsium Glukonat secara
IV sebanyak 10 cc selama 5-10 menit. Selama pemberian terapi kalsium, harus
dilakukan cardiac monitoring pada pasien tersebut. Kemudian dilakukan pengulangan
pengecekan EKG setelah terapi kalsium ini selesai diberikan. Jika gambaran ECG
masih tetap abnormal setelah 5-10 menit pemberian Calsium Glukonat, maka harus
dilakukan pengulangan dalam 5 menit selanjutnya.
Pemberian Calsium ini harus dimonitor secara ketat dan secara hati-hati
pada pasien yang mengkonsumsi digitalis, terutama dengan kadar digoxin yang tinggi
dalam sirkulasi. Biasanya untuk menambah safety, pada pasien tersebut, kalsium
glukonat dimasukkan dalam 100 cc dextrose 5% dan harus habis selama 20-30 menit
untuk mencegah terjadinya trancient hiperkalemia. Pemberian digitoxin specific
antibody dapat dipertimbangan pada keadaan ini.

2.5.2 Shift Pottasium into cell
a. Insulin dan Glukosa
Insulin adalah obat yang efektif untuk menggeser Kalium Extraseluler masuk
ke intraselluler yaitu dengan meningkatkan aktivitas pompa Na-K ATPase. Kadar
Kalium Serum akan mulai turun setelah 10-20 menit pemberian insulin dan glukosa
dengan puncak aksi 60 menit setelah pemberian. Efek terapi tersebut dapat bertahan
selama 2-6 jam setelah pemberian terapi.
Pemberian Insulin dapat dilakukan secara Bolus 10 unit insulin bersamaan
dengan pemberian 25-50 gram Glukosa secara Intravena. Pasien dengan
hiperglikemia cukup diberikan insulin tanpa pemberian glukosa. Pada pasien tersebut
wajib dilakukan monitor terhadap Gula darah selama pemberian terapi insulin untuk
mencegah terjadinya kondisi hipoglikemia
b. Beta Agonist
Beta agonist mampu mengaktivasi pompa Na-K-ATPase sehingga mampu
menggeser kalium dari ekstraseluler ke intraseluler. Beta Agonist yang biasa
diberikan adalah Albuterol 10-20 mg via nebulizer minimal dilakukan 4x pemberian.
Efek samping dari beta agonist adalah takicardi dan tremor. Pemberian inhale beta
agonist tidak efektif pada pasien yang menggunakan beta blocker.
Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan insulin dan beta
agonis secara bersama cukup efektif dalam menurunkan kadar Kalium serum dan
penggunaan beta agonist secara bersama dengan insulin dapat mencegah efek
samping pemberian insulin yaitu hypoglikemia.




c. Sodium Bicarbonat
Pemberian sodium bicarbonate pada pasien tanpa asidosis metabolic masih
merupakan controversial. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kamel dan Wei
didapatkan bahwa penggunaan bicarbonate pada keadaan hiperkalemi tanpa asidosis
metabolic tidak mampu menurunkan kadar Kalium plasma malah memunculkan keadaan
patologis baru yaitu hypernatremia, hypocalemia, alkalosis metabolic, dan hipervolemi.
Namun pada pasien dengan hiperkalemia disertai asidosis metabolic
(Bicarbonat < 22 mEq/L), Sodium Bicarbonat dapat diberikan secara bolus dengan dosis
50 mEq/L untuk mengatasi keadaan asidosis metabolic yang muncul.

2.5.3 Elimination of potassium from the body
a. Terapi Diuretik
b. Cation-exchange resins
c. Hemodialisa

Anda mungkin juga menyukai