Anda di halaman 1dari 16

Ensefalopati Hepatik Grade Dua Et Causa Melena pada Pasien Sirosis

Hati Suspek Hepatoma


Yosepha Vebrianti Hutauruk
102014147/E2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 e-mail:
yvhutauruk@gmail.com

Pendahuluan
Yang paling sering menyebabkan terjadinya perdarahan saluran cerna atas adalah pecahnya
varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, robeknya mukosa peralihan esofagus dengan
lambung (robekan Mallory-Weis), sedangkan etiologi lainnya sangat jarang. Pada varises dan
gastropati hipertensi portal, perdarahan dari pecahnya varises umumnya mendadak dan masif.
Perdarahan karena pecahnya varises esofagus atau lambung umumnya akibat hipertensi portal
sekunder dari sirosis hati. 1
Sirosis hati merupakan proses terminal dari suatu penyakit kronis hati yang ditandai dengan
fibrosis difus dan pembentukan regenerasi nodul serta perubahan arsitektur vaskularisasi pada
parenkim hati. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dengan terjadinya
pengerasan hati menyebabkan penurunan fungsi hati dan bentuk hati yang normal akan berubah.
Pada sirosis ini biasanya hati membesar, teraba kenyal, dan terasa nyeri bila ditekan. Sirosis hati
adalah penyakit menahun yang mengenai seluruh organ hati. Keadaan tersebut terjadi karena
infeksi akut dengan virus hepatitis dimana terjadi peradangan sel hati yang luas dan
menyebabkan banyak kematian sel. Sirosis meninggalkan jaringan parut dan kehilangan banyak
sel normalnya. Kerusakan yang timbul biasanya tidak dapat pulih. Bila sirosis tersebut parah,
sebagian besar struktur hati yang normal mengalami perubahan bentuk atau menjadi hancur.
Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga dapat menyebabkan
terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang bersifat toksik. Keadaan klinis
1

gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati tersebut merupakan gangguan neuropsikiatrik
yang disebut sebagai koma hepatik atau ensefalopati hepatik.2,3
Anamnesis
Anamnesis merupakan deskripsi pasien tentang penyakit atau keluhannya, termasuk alasan
berobat. Anamnesis yang baik disertai dengan empati dari dokter terhadapt pasien. Perpaduan
keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala (simptom) dan tanda
(sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang memuaskan dalam meneniadakan
diagnosis kemungkinan sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan
selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2
Terdapat sejumlah pertanyaan rutin yang harus diajukan kepada semua pasien, misalnya
mengenai identitas (nama, umur, alamat dan pekerjaan), keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit menahun, riwayat penyakit sekarang yang
spesifik terhadapt diagnosa sementara, riwayat pengobatan dan riwayat sosial. 2
Penyakit hati kronis bisa menimbulkan keluhan akibat gangguan fungsi sintetik, seperti edema,
memar, ikterus atau pruritus, disertai tanda-tanda hipertensi portal seperti asites, nyeri abdomen
atau perdarahan varises, atau malaise umum, kelelahan dan anoreksia. Selain itu etiologi yang
mendasarinya, seperti konsumsi alkohol yang berlebihan, juga bisa menjadi masalah yang
tampak atau bisa ditemukan secara tak sengaja saat melakukan pemeriksaan darah rutin.4
Penyebab yang penting diantaranya adalah penyakit hati akibat alkohol, hepatitis virus, penyakit
hati autoimun, sirosis biliaris primer, hemokromatosis, kolangitis sclerosis primer, dan penyakit
Wilson.4
Pada anamnesis ini bisa ditanyakan4:
1. Adakah ikterus, memar, distensi abdomen, anoreksia, pruritus, edema perifer, bingung,
tremor? Apakah sebelumnya pernah terjadi seperti ini?
2. Kapan pertama kali menyadari timbulnya gejala? Pernahkah ada perubahan obat atau
3.
4.
5.
6.

bukti adanya infeksi?


Apakah urin pasien gelap? Apakah tinja pasien pucat?
Adakah riwayat hematemesis atau melena?
Adakah riwayat hepatitis sebelumnya?
Obat apa yang sedang dikonsumsi pasien?
2

7. Bagaimana konsumsi minuman beralkohol pasien selama harian/mingguan? Apakah


pasien pernah minum bir, anggur, minuman keras lainnya?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuantemuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital
(tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu), pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang
(inspeksi), pemeriksaan raba (palpasi), pemeriksaan ketok (perkusi) dan pemeriksaan dengan
menggunaakn stetoskop (auskultasi).4
Pada pemeriksaan fisik ini kita bisa melihat4:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apakah pasien tampak sakit ringan atau sakit berat?


Adakah tanda-tanda ensefalopati (misalnya bingung, koma, flap hati (asterixis)?
Periksa fetor hepatika/bau alkohol?
Adakah melena?
Adakah demam?
Adakah tanda-tanda penyakit hati kronis:
Spider nevi?
Eritema palmaris?
Kontraktur Dupuytren?
Jari tabuh?
Memar?
Pengecilan otot?
Ekskoriasi (menunjukkan ikterus obstruktif)?
Ginekomastia?
Ikterus?
Pembesaran parotis?
Atrofi testis?
Rambut tubuh berkurang?
Distensi abdomen?
7. Apakah hati teraba? Periksa ukuran (perkusi), tepi (rata/tidak rata), dan adakah nyeri
tekan.
8. Adakah edema perifer?
9. Adakah tanda hipertensi portal?
10. Adakah dilatasi vena superfisialis atau kaput medusa?
11. Adakah splenomegaly atau asites? (pekak berpindah pada perkusi)?
Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal, dengan bau yang khas, yang
lengket dan menunjukkan perdarahan saluran pencernaan atas serta dicernakannya darah pada
3

usus halus. Tinja yang gelap dan padat dengan hasil tes pendarahan samar (occult blood) positif
menunjukkan perdarahan pada usus halus dan bukan melena.5
Gambaran klinis dari hematemesis-melena adanya riwayat dyspepsia memperberat dugaan ulkus
peptikum. Adanya riwayat muntah-muntah berulang yang awalnya tidak berdarah lebih ke arah
robekan Mallory-Weiss. Konsumsi alkohol berlebihan mengarahkan dugaan ke gastritis (3040%), penyakit ulkus peptikum (30-40%) atau kadang-kadang varises.5
Saat melakukan anamnesis, secara signifikan, rasa pusing yang dipengaruhi posisi tubuh atau
penurunan kesadaran pada hematemesis atau melena menunjukkan perdarahan yang signifikan
secara hemodinamik. Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat apakah kulit pasien terasa dingin dan
lembab yang menandakan vasokonstriksi perifer yang signifikan. Juga periksa denyut nadi dan
tekaanan darah, termasuk penurunan tekanan darah postural. Pencatatan tingkat keparahan syok
sangat penting. Pada pemeriksaan abdomen biasanya jarang ditemukan kelainan. Adanya nyeri
tekan epigastric merupakan tanda ulkus peptikum dan adanya hepatosplenomegaly
meningkatkan kemungkinan varises.5
Diagnosis Kerja
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien sirosis
hepar. EH tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas hidup, namun juga memberikan
prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar. Sirosis hepar merupakan perjalanan patologi
akhir berbagai macam penyakit hati, seperti hepatitis virus kronik, alkoholisme, hepatitis
autoimun, nonalkoholic steatohepatitis (NASH), sirosis bilier. Akibat proses sirosis, terjadi
penurunan kemampuan hati untuk detoksifikasi, dan hipertensi portal dengan segala penyulitnya.
6

Ensefalopati Hepatik (EH) adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan oleh
portosistemic venous shunting, dengan atau tanpa penyakit intrinsic hepar. Pasien EH sering
menunjukkan perubahan status mental mulai dari kelainan psikologik ringan hingga koma
dalam.6
EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A
berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminant, tipe B berhubungan
dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsic jaringan hati, dan tipe C
4

yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan
adanya deficit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui
pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi, sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH
episodic (terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan yang berfluktuasi) dan EH
persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang kian memberat).7
Manifestasi Klinis
Ensefalopati Hepatik menghasilkan suatu spectrum luas manifestasi neurologis dan psikiatrik
nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH memperlihatkan gangguan pada tes psikometrik
terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan berjalannya
penyakit, pasien EH mulai memperlihatkan perubahan tingkah laku dan kepribadian, seperti
apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang nyata.
Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan
disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase
kebingungan akut dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam
koma.7
Kriteria enselopati hepatik menggunakan West Heaven. Derajat 1 jika terdapat gangguan kognitif
dan perilaku berupa gangguan tidur, penurunan konsentrasi, depresi, ansietas dan gejala
neuromuskular berupa suara monoton, tremor, penurunan kemampuan menulis, apraxia. Derajat
2 jika terdapat gangguan kognitif dan perilaku berupa letargi, disorientasi, penurunan daya ingat,
dan gejala neuromuskular berupa disatria, asteriksis. Derajat 3 jika terdapat gangguan kognitif
dan perilaku berupa somnolen, kebingungan, amnesia, dan gejala neuromuskular berupa
nystagmus, kekakuan otot, hiper atau hiporeflek. Derajat 4 jika terdapat gangguan kognitif dan
perilaku berupa koma dan gejala neuromuskular berupa pupil dilatasi, ditemukan refleks
patologis.8
Menurut pernyataan konsensus the Hepatik Encephalopathy Working Group, diagnosa EH hanya
ditegakkan setelah dieksklusi penyebab gangguan otak yang lain. Diagnose EH harus dipikirkan
pada pasien yang menunjukan gangguan fungsi motorik dengan tidak ada gangguan metabolik
atau pengaruh obat, dan sistem neurologis normal. Kecurigaan yang kuat harus dipikirkan pada
pasien dengan adanya kejadian presipitan (pencetus) akut.8

Faktor-faktor presipitasi yang sering terjadi pada ensefalopati hepatik dibagi menjadi tiga9:
1. Episodic seperti infeksi, perdarahan saluran cerna atas, penggunaan berlebihan diuretik,
kelainan elektrolit, konstipasi dan tidak diketahui.
2. Reccurent yaitu jika kejadia EH berulang kurang dari 6 bulan, seperti kelainan elektrolit,
infeksi, tidak teridentifikasi, konstipasi, penggunaan diuretik dan perdarahan saluran
cerna.
3. Persistent jika perubahan perilaku selalu didapatkan.
Faktor presipitasi lain seperti dehidrasi, diet tinggi protein dan pengaruh obat yang
mempengaruhi sistem saraf pusat serta penyakit lain seperti hepatoceluler carcinoma dan
perdarahan saluran cerna. Presipitasi lainnya termasuk konstipasi, alkalosis, dan kekurangan
kalium yang disebabkan oleh diuretik, opioid, hipnotik dan sedative: obat yang mengandung
amonium atau senyawa amino, paracentesis dengan hipovalemia yang menyertai, dan shunt
porto sistemic (termasuk transjugular intrahepatik portosistemic shunt) berdasarkan faktor
presipitasi, ensefalopati hepatik dapat dibagi berdasarkan adanya dan tidak adanya faktor
presipitasi.7,9
Kriteria faktor presipitasi terdiri dari empat hal sebagai berikut, faktor pertama berupa
perdarahan saluran cerna ditandai dengan muntah dan berak berwarna hitam, lalu konstipasi
ditandai adanya perubahan pola dan jenis defekasi, berikutnya infeksi ditandai dengan minimal 2
tanda Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) berupa suhu tubuh > 38 oC atau < 36oC,
nadi > 90kali/ menit, respiratory rate > 20 kali/menit, leukosit > 12.000/L atau < 4.000/L
dengan sumber infeksi dari saluran pernapasan, saluran kencing atau dari saluran cerna, dan yang
terakhir hiponatrium jika kadar natrium <130 mmol/L serta hypokalemia jika kadar kalium <3,5
mmol/L.9
Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor
presipitasi dapat diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya
dievaluasi secara aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan.7
Diagnosis Banding
1. Hepatotoksisitas imbas obat

Sebagian besar obat masuk melalui saluran cerna, dan hati terletak diantara permukaan
absorptive dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan sentral dalam
metabolism obat. Hepatotoksitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir
selalu ada pada setiao obat yang diberikan, karena hati merupakan pusat disposisi metabolik
dari semua obat dan bahan-bahan asing yang masuk tubuh. Gambaran hepatotoksitas imbas
obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi
lain. Awitan umumnya cepat, gejala berupa malaise dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati
akut yang berat terutama bila pasien masih meminum obat tersebut setelah awitan
hepatotoksitas.2
2. penurunan kesadaran et causa intoksikasi alkohol
Pada penggunaan alkohol yang lama, teratur, dan dalam jumlah banyak, dapat terjadi
ketergantungan baik fisik maupun psikis. Toleransi pada penggunaan kronis terjadi akibat
meningkatnya aktivitas MEOS (toleransi metabolis) akibat penyesuaian susunan saraf pusat
terhadap alkohol (toleransi farmakodinamik), maupun toleransi behavioral. Pada penggunaan
alkohol yang berlebiahan dapat terjadi intoksikasi alkohol dengan gejala wajah memerah,
gangguan koordinasi motorik, jalan tidak stabil, bicara cadel (pelo), nystagmus, perubahan
alam perasaan, mudah tersinggung, banyak bicara, dan gangguan dalam memusatkan
perhatian. Pada beberapa orang dapat dijumpai intoksikasi idiosinkratik alkohol yaitu timbul
gejala intoksikasi walaupun ia hanya minum alkohol dalam jumlah yang kebanyakan orang
tidak akan menyebabkan intoksikasi. Gejala putus alkohol ditandai dengan tremor kasar pada
tangan, lidah, kelopak mata yang timbul beberapa jam setelah berhenti minum alkohol pada
orang yang ketergantungan alkohol. Gejala lain adalah mual dan muntah, rasa letih dan
lemah, takikardia, berkeringat, tekanan darah meningkat, ansietas, depresi atau iritabel, dan
kemungkinan timbulnya hipotensi ortostatik. Kadang-kadang terjadi delirium (delirium
tremens) dalam waktu satu minggu setelah berhenti menggunakan alkohol atau mengurangi
jumlah alkohol yang diminum.10
3. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intracranial adalah neoplasma atau proses desak ruang (space
occupying lesion atau space taking lesion) yang timbul dalam rongga tengkorak baik didalam
kompartemen supratentotrial maupun infratentotrial. Didalam hal ini mencakup tumor-tumor
7

primer pada korteks, epifise, saraf otak, jaringan penyangga serta tumor metastasis dari
bagian tubuh lainnya. 11
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis progresif yang disebabkan oleh dua faktor
yaitu gangguan fokal oleh tumor dan kenaikan tekanan intracranial (TIK). Gangguan fokla
terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi atau invasi langsung
parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron. Perubahan suplai darah akibat tekanan
yang ditimbulkan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Akibatnya
kehilangan fungsi secra akut dan dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskular primer.
11

Gejala klinis pada tumor otak dikenal dengan istilah trias klosis tumor otak, yaitu11:
1. Nyeri kepala merupakan gejala tersering. Nyeri paling hebat pada pgi hari dan lebih hebat
saat beraktivitas sehingga meningkatkan TIK pada saat membungkuk, batuk dan
mengejan pada saat BAB.
2. Mual dan muntah terjadi sebagai akibat rangsangan pusat muntaj pada medulla
oblongata. Sering terjadi pada anak-anak dan berhubungan dengan peningkatan TIK yang
disertai pergeseran batang otak. Muntah dapat terjadi tanpa didahului mual dan dapat
proyektil.
3. Papiledemia disebabkan oleh stress vena yang menimbulkan pembengkakan papilla saraf
optikus, tanda ini mengisyaratkan terjadi kenaikan TIK.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk pemeriksaan ajuran pada pasien ini ada beberapa pemeriksaan untuk menegakkan
diagnosis ensefalopati hepatik antara lain pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) untuk
menentukan derajat EH. Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitude dan penurunan
jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi gelombang normal alfa (8-12
Hz). Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT-Scan) dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan lesi intracranial. Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS)
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan metabolik, seperti hipoglikemia dan
hiperglikemia. Pemeriksaan kadar elektrolit serum dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
adanaya ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan kadar ammonia darah (serum) dilakukan
8

untuk melihat derajat keparahan EH dan menilai apakah terdapat hiperamonemia berat. Biasanya
terjadi pemanjangan waktu prothrombin pada pasien sirosis hepar.8
Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A dan NCT-B, maupun Critical Flicker
Frquency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis EH selain daripada kriteria
West Heaven. Namun, pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara
merata di Indonesia. Oleh karena itu para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien
beserta keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur,
penurunan aktivitas sehari-hari pasien hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun
penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan kadar ammonia tidak dapat dipakai sebagai alat
diagnosis pasti EH. Peningkatan kadar ammonia dalam darah ). 100 mg/100 ml darah) dapat
menjadi parameter keparahan pasien dengan EH. Pemeriksaan kadar ammonia darah belum
menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan
pada setiap rumah sakit di Indonesia.7
Etiologi
Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik
yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan
nodulus regenerative. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. Jaringan penunjang
retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vascular, dan regenerasi nodularis
parenkim hati. Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang gejalanya
sering tidak terlihat seperti mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil,
buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Lalu jika berlanjut (sirosis dekompensata)
gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta,
meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin
disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid,
ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta
perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.2
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau spider telangiektasi),
suatu lesi vascular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di
bahu, muka dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan
9

dengan peningkatan rasio estradiol/testosterone bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama
hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walaupun umumnya ukuran
lesi kecil.2
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hypothenar telapak tangan. Hal ini juga
dikaitkan dengan perubahan metabolism hormone estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada
sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan
hematologi. 2
Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bias membesar, normal, atau mengecil. Bilamana hati
teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.2
Asites,

penimbunan

cairan

dalam

rongga

peritoneum

akibat

hipertensi

porta

dan

hypoalbuminemia. Caput medusa sebagai akibat hipertensi porta. Hipertensi porta yaitu
peningkatan tekanan darah vena portal yang menetap sebagai akibat resistensi terhadap aliran
darah melalui hati.2
Ikterus-pada kulit dan membrane mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang
dari 2-3 mg/dL tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.2
Pemeriksaan radiologis Barium Meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya hipertensi
porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakkan karena pemeriksaannya non invasive
dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan
USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis
lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular, dan adanya peningkatan ekogenitas
parenkim hati. Selain itu USG juga bisa untuk melihat asites, splenomegali, trombosis vena porta
dan pelebaran vena porta, serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.2
Sirosis hati juga merupakan faktor risiko utama karsinoma hepatoselular (hepatocellular
carcinoma= HCC) di dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus HCC. Setiap tahun tiga
sampai lima persen dari pasien sirosis hati akan menderita HCC, dan HCC merupakan penyebab
utama kematian pada sirosis hati. Pada 60-80% dari sirosis hati makronodular dan tiga sampai
sepuluh persen dari sirosis hati mikronodular dapat ditemukan adanya HCC. Predictor utama
HCC pada sirosis hati adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar alfa feto protein (AFP)
serum, beratnya penyakit dan tingginya aktifitas proliferasi sel hati. Biasanya ditemukan
10

tersering pada median umur antara 50-60 tahun. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari
asimtomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang
paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas abdomen.
Pasien sirosis hati yang memburuk kondisinya, disertai keluhan nyeri di kuadran kanan atas; atau
teraba pembengkakakn local di hepar patut dicurigai menderita HCC. Demikian pula bila tidak
terjadi perbaikan pada asites, perdarahan varises atau pre-koma setelah diberi terapi yang
adekuat; atau pasien penyakit hati kronik dengan HbsAg atau anti-HCV positif yang mengalami
perburukan kondisis secara mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di
abdomen disertai perasaan lesu, penurunan berat badan dengan atau tanpa demam.2
Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi, atau diare. Sesak napas
dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan diafragma, atau karena sudah ada
metastasis di paru. Sebagian besar pasien HCC sudah menderita sirosis hati, baik yang masih
dalam stadium kompensasi, maupun yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti
malise, anoreksia, penurunan berat badan dan ikterus. Temuan fisis tersering pada HCC adalah
Hepatomegali dengan atau tanpa bruit hepatik, splenomegaly, asites, ikterus, demam dan atrofi
otot. Sebagian dari pasien yang dirujuk ke rumah sakit karena perdarahan varises esofagus atau
peritonitis bacterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC.2
Patofisiologi
Banyak hipotesis diajukan untuk menerangkan mekanisme EH, yang paling banyak diterima
adalah teori peningkatan ammonia akibat berkurangnya fungsi hati dan pintasan portosistemik.6
Ammonia adalah neurotoksin yang pada dosis tinggi menimbulkan kejang dan kematian. Kadar
ammonia dalam otak, cairan serebrospinal, dan arteri berkorelasi baik dengan stadium klinik EH.
Peningkatan pembentukan ammonia dapat terjadi akibat tingginya asupan protein, konstipasi,
perdarahan saluran cerna, infeksi, azotemia, atau hypokalemia. Dehidrasi, hipotensi arteri,
hipoksemia, serta enmia dapat menimbulkan hipoksia hepatik, sehingga kemampuan
detoksifikasi hati berkurang, dan akibatnya kadar ammonia meningkat. Progresivitas penyakit
hati dan degenerasi hepatoma mengakibatkan penurunan fungsi cadangan hati, sehingga
kemampuan metabolisme toksin oleh hati ikut berkurang. Pada sirosis hati, sering terjadi
perlambatan transit makanan di saluran cerna, sehingga paparan dengan bakteri usus terjadi lebih
lama, mengakibatkan produksi ammonia meningkat.6
11

Norenbarg (2006, dalam jurnal) mengajukan teori pathogenesis EH yang melibatkan reseptor
benzodiazepine perifer (PBR/ Peripheral Benzodiazepine Receptor) dan neurosteroid.
Dikemukan bahwa ammonia adalah toksin utama pada EH dan astrosit adalah target utama.
Peningkatan ammonia mengakibatkan peningkatan jumlah reseptor PBR, termasuk pada astrosit.
PBR kemudian meningkatkan produksi radikal bebas (ROS/Reactive Oxygen Species). Radikal
bebas ini menimbulkan stress oksidatif pada mitokondria, sehingga terjadi disfungsi mitokondria.
Disfungsi mitokondria ini kemudian mengakibatkan disfungsi astrosit.6
Lemberg (2009, dalam jurnal) mengajukan teori patofisiologi EH yang melibatkan ammonia,
glutamin, glutamate, dan stress oksidatif. Metabolism ammonia di otak terjadi melalui glutamin
sintase yang ada di astrosit. Glutamin sintase mengubah ammonia dan glutamate menjadi
glutamin. Glutamin bersifat osmotic aktif, sehingga peningkatan glutamin menyebabkan air
masuk ke astrosit dan terjadi edema. 6
Peningkatan ammonia menimbulkan deplesi glutamate otak, padahal glutamate adalah
neurotransmitter eksitatori utama di otak. Hiperamonemia juga menimbulkan stress oksidatif di
mitokondria. Stress oksidatif ini mengaktifkan nuclear faktor kappa B, yang kemudian
mengaktifkan Inos (inducible nitric oxide synthase), lalu menghasilkan nitric oxidase, yang
akhirnya menyebabkan disfungsi astrosit.6
Tatalaksana Farmakologis
Penatalaksanaan umum adalah dengan memperbaiki oksigenisasi jaringan. Penatalaksanaan
khusus adalah dengan mengatasi faktor pencetus koma hepatik, misalnya asupan protein
dikurangi atau dihentikan sementara, kemudian baru dinaikkan secara bertahap. Namun
pembatasan asupan protein masih merupakan kontroversi dalam penatalaksanaan EH. Sumber
protein yang diberikan pada EH terutama merupakan asam amino rantai cabang dengan harapan
neurotransmitter asli dan palsu akan berimbang, dan dengan ini, metabolism ammonia di otot
dapat bertambah. Selain itu, penurunan kadar ammonia merupakan salah satu strategi yang
diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar ammonia
dilakukan dengan penggunaan laktulosa, antibiotic, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan
berbagai terapi potensisal lainnya.7
1. Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
12

Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH. Sifatnya yang laksatif
menyebabkan penurunan sintesis dan uptake ammonia dengan menurunkan pH kolon dan
juga mengurangi uptake glutamin. Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh
flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal
usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam
laktat dan juga memberikan ion hydrogen pada ammonia sehingga terjadi perubahan molekul
ammonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik ammonia dari
daraha menuju lumen. 7
Dari metaanalisis yang dilakukakan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam
mengurangi ammonia dibandingkan dengan pengguanan antibiotic. Akan tetapi, laktulosa
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH secara signifikan
menunjukan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan EH minimal (keadaan klinis
dimana tidak terdapat tanda gangguan mental, namun pada tes psikometri sudah ditemukan
kelainan).
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 mL sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6
bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan
kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena
akan memuculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hyponatremia.7
2. Antibiotic
Antibiotic dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang
bertanggung jawab menghasilkan ammonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH. Selain
itu, antibiotic juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase.
Antibiotic yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap
secara minimal. Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.
Rifaximin dipilih menggantikan antibiotic yang telah digunakkan pada pengobatan EH
sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin oral karena
rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotic lainnya.7
3. L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)

13

LOLA merupakan garam stabil tersususn atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang
berperan dalam perubahan ammonia menjadi urea dan glutamine. LOLA meningkatkan
metabolism ammonia di hati dan otot, sehingga menurunkan ammonia dalam darah. Selain
itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien EH. 7
LOLA, yang merupakan substrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar ammonia
dengan merangsang ureagenesis, L-Ornithine dan L-Aspartate dapat ditransminase dengan ketoglutarate menjadi glutamate yang dihasilkan dapat digunakan untuk menstimulasi
glutamine synthase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan ammonia. Meskipun
demikian, glutamin dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase (PAG),
dan menghasilkan ammonia kembali. 7
Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis
dengan EH menurunkan ammonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan
ammonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara. Beberapa
penelitian RCT menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20g/hari secara intravena dapat
memperbaiki kadar ammonia dan EH yang ada.7
4. Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat
untuk nutrisi pejamu. Ammonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan berperan
penting dalam timbulnya EH. Ammonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga
manipulasi flora usus menjadi salah satu straategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik
dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk bakteri patogenik usus
dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna untuk bakteri baik.7
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi, infeksi, obatobatan sedative dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktorfaktor tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan
perlu dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotic spectrum luas
diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna
maupun organ lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedative harus dihentikan sejak awal
timbulnya manifestasi EH. Ligase sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan
14

vena porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna,
terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH
pada pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang adekuat.7
Prognosis
Pada koma hepatik portosistemik sekunder, bila faktor-faktor pencetus teratasi, maka dengan
pengobatan standar hamper 80% pasien akan kembali sadar. Pada pasien dengan koma hepatik
primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila disertai hypoalbuminemia, ikterus,
serta asites. Sementara koma hepatik akibat gagal hati fulminant kemungkinan hanya 20% yang
dapat sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju.2
Kesimpulan
Pasien dengan ensefalopati hepatika dapat dipastikan dengan pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan diagnosis banding yang memiliki manifestasi klinis yang sama dengan EH.
Walau begitu, EH masih merupakan masalah dalam diagnosis dan tatalaksananya, terutama bila
didapati faktor prespitasi yang memperberat gejala klinis pasien. Tatalaksana pada faktor
presipitasi dan juga menurunkan kadar ammonia merupakan langkah awal dalam menangani
pasien EH.

15

Daftar Pustaka
1. Editor: Bakta IM, Suastika IK. Gawat darurat di bidang penyakit dalam. Buku
Kedokteran EGC: Jakarta. 2001.h 54
2. Zubir N, Nurdjanah S, Budihusodo U. Koma hepatik. Sirosis Hati. Karsinoma Hati.
Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiasi S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam Edisi IV Jilid 1. Jakarta: InternaPublishing; 2006.p.443-46, 449-51,45559.
3. Universitas

Sumatera

Utara.

Sirosis

Hati.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40666/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada


tanggal: 11 Juni 2016.
4. Gleadle J. At a Glance ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2007.h. 155
5. Davey P. At a glance MEDICINE. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006.h. 37
6. Ndraha S. 2015. Ensefalopati Hepatikum Minimal. Cermin Dunia Kedokteran. Vol. 42,
No. 11. http://www.kalbemed.com. 11 Juni 2016.
7. Hasan I, Araminta AP. Desember 2014. Ensefalopati Hepatik: Apa, Mengapa dan
Bagaimana? MEDICINUS. Vol. 27, No. 3.
8. Caropeboka MD. Oktober 2013. ENSEFALOPATI HEPATIKUM PADA PASIEN
SIROSIS HEPATIS. Medula UNILA. Vol. 1, No. 4. http://jukeunila.com. 11 Juni 2016.
9. Suyoso SM, Harijono A. Agustus 2015. Ensefalopati Hepatik pada Sirosis Hati: Faktor
Presipitasi dan Luaran Perawatan di RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Jurnal Kedokteran
Brawijaya. Vol. 28, No. 4.
10. Joewana S. GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT
PSIKOAKTIF: PENYALAHGUNAAN NAPZA/ NARKOBA. Edisi 2. Buku Kedokteran
EGC: Jakarta. 2005. h.159.
11. Batticaca FB. Auhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Penerbit

Salemba Medika: Jakarta. 2008. h. 84-5

16

Anda mungkin juga menyukai