Anda di halaman 1dari 58

TUGAS MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH NYERI AKUT PADA


PASIEN DENGAN CHOLELITIASIS

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 3

1. AI RODIAH AMALIA 202213003


2. HANNA ARUM NINGTIAS 202213011
3. IRA IRAWATI 202213015
4. RAHMI NIZAR 202213019
5. YENI YA RISTIYANI 202213027
6. DIAN ERAWATI 202213035

INSTITUT KESEHATAN DAN TEKNOLOGI

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUA

1.1 Latar Belakang Masalah

Kolelitiasis (batu empedu) adalah kristal yang terbentuk dalam kandung

empedu. Beberapa faktor risiko yang sering ditemui pada kejadian kolelitiasis

dikenal dengan “6F” (Fat, Female, Forty, Fair, Fertile, Family history). Keluhan

klinis yang sering ditemukan adalah nyeri pada perut kanan atas, nyeri epigastrium,

demam, ikterus, mual, muntah. Jika tidak ditangani dengan baik komplikasi yang

dapat terjadi adalah kolesistitis, hidrops vesika felea, ikterus obstruktif, pankreatitis

batu empedu, sirosis biliaris, dan keganasan (Febyan et al., 2017).

Batu empedu umumnya ditemukan di kandung empedu (kolelithiasis), tapi

batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu

yang disebut batu empedu sekunder. Pasien dengan batu empedu dapat dibagi

menjadi tiga kelompok: pasien dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu

empedu simtomatik dan pasien dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut,

ikterus, kolangitis, dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu

empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis maupun selama pemantauan. Studi

perjalanan penyakit dari 1307 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun

memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami

kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi (Widiastuti, 2019).

Prevalensi penyakit kolelitiasis sangat bervariasi di antara populasi yang

berbeda. Prevalensi kolelitiasis antara orang dewasa adalah sekitar 10% sementara

di Eropa Barat prevalensinya berkisar dari 5,9% hingga 21,9%. Tingkat prevalensi

3,2% hingga 15,6% telah dilaporkan dari Asia. Kolelitiasis lebih sering terjadi pada

wanita dibandingkan pria1 . Menurut Third National Health and Nutrition

Examination Survey (NHANES III), prevalensi kolelitiasis di Amerika Serikat yaitu

7,9% pada laki-laki dan 16,6% pada perempuan (Aji et al., 2021). Data yang

diperoleh dari badan penelitian kesehatan dunia World Health Organization (WHO)
jumlah pasien dengan tindakan operasi tercatat pada tahun 2011 terdapat 140 juta

jiwa di seluruh rumah sakit di dunia, data pada tahun 2012 mengalami peningkatan

sebesar 148 juta jiwa, sedangkan di tahun 2015 terdapat 160 juta jiwa di dunia yang

melakukan tindakan pembedahan. Hasil Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

(Kemenkes) tahun 2015 menyatakan bahwa pada tahun 2012 terdapat 148 juta jiwa

pasien diseluruh rumah sakit di dunia pasien dengan tindakan operasi, sedangkan di

Indonesia tindakan pembedahan menempati urutan ke-11 dari 50 pertama

penanganan penyakit di rumah sakit se Indonesia dengan pasien operasi sebanyak

1,2 juta jiwa (Prima et al., 2020)

Di Indonesia diduga prevalensi penyakit batu empedu lebih rendah bila

dibandingkan dengan di negara Barat, tetapi dengan adanya kecenderungan pola

hidup sedentary kemungkinan di Indonesia pada masa mendatang kasus batu

empedu akan menjadi masalah kesehatan yang patut mendapatkan perhatian.

Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak menunjukkan gejala klinis

(asimtomatik) dan seringkali merupakan penemuan insidental pada saat

pemeriksaan Ultrasonography (USG) atau pada saat pemeriksaan yang tidak

berhubungan dengan nyeri abdomen (Febyan et al., 2017) . Penelitian Albab (2013)

menyebutkan bahwa insiden terbanyak kolelitiasis terjadi pada pasien dengan kadar

bilirubin total kurang 1,1 mg/dl dengan jumlah kasus 29 atau sebesar 33,33% (Aji et

al., 2021). Bilirubin adalah pigmen kuning yang merupakan hasil pemecahan sel

darah merah, yang disekresikan ke dalam empedu oleh sel hepar. Beberapa kondisi

hematologis dapat menyebabkan bilirubin di ekskresi terlalu banyak melalui

pemecahan hemoglobin sehingga bilirubin yang berlebihan dapat menyebabkan

kolelitiasis. American Society of Gastrointestinal Endoscopy (ASGE) menempatkan

kadar bilirubin 1,8-4 mg/dL sebagai prediktor kuat sedangkan kadar bilirubin >4

mg/dL sebagai prediktor sangat kuat untuk memprediksi adanya batu duktus

koledokus (Aji et al., 2021).

Diagnosis kolelithiasis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

klinis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan

darah lengkap, tes fungsi hepar, serta bilirubin urin. Pemeriksaan penunjang lainnya
berupa Ultrasonografi (USG), Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography

(ERCP), dan Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP). Pada

umumnya, Ultrasonografi (USG) merupakan pencitraan pilihan pertama untuk

mendiagnosis batu kandung empedu dengan sensitivitas tinggi melebihi 95%,

sedangkan untuk deteksi batu saluran empedu sensitivitasnya lebih rendah berkisar

antara 18-74% (Widiastuti, 2019)

Pasien yang mengalami kecemasan berkepanjangan sebelum operasi jika

tidak ditangani dapat mengakibatkan tidak terlaksana atau dibatalkan dikarenakan

memberikan efek terhadap psikologis, dan aspek fisiologis seperti timbulnya,

takikardia, peningkatan tekanan darah, mual, dan berkeringat. Apabila tekanan 4

darah naik dan tetap dilakukan operasi dapat mengganggu efek dari obat anastesi

dan dapat menyebabkan pasien terbangun kembali ditengah-tengah operasi (Prima

et al., 2020).

Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non

bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang

menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simtomatik dan

kolelitiasis yang asimtomatik. Pada kolelitiasis yang asimtomatik, perlu dijelaskan

pada pasien bahwa tidak diperlukan tindakan sampai kolelitiasis menjadi

simtomatik. Kolesistektomi sampai saat ini masih merupakan baku emas dalam

penanganan kolelitiasis dengan gejala (simtomatik). Saat ini, laparoskopik

kolesistektomi merupakan tindakan yang paling umum dilakukan untuk

pengangkatan batu empedu, terutama pada kasus yang sudah mengalami komplikasi

seperti kolangitis. Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi

penghancuran batu dengan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau

ursodeoxycholic acid (UDCA), extracorporeal shock-wave lithotripsy (ESWL)

dengan pemberian kontinyu obat - obatan, penanaman obat secara langsung di

kandung empedu. Terapi medikamentosa dengan UDCA untuk menurunkan saturasi

kolesterol empedu dan menghasilkan suatu cairan lamelar yang menguraikan

kolesterol dari batu serta mencegah pembentukan inti batu. Pada pasien dengan

fungsi kandung empedu yang masih baik dan batu radiolusen < 10 mm, disolusi
lengkap tercapai pada 50 % pasien dengan 6 bulan sampai 2 tahun dengan UDCA

dengan dosis 8-12 mg/kgBB per hari (Widiastuti, 2019).

Upaya untuk mengatasi kecemasan pada pasien pre operasi bisa dilakukan

melalui dua cara yaitu dengan terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.

Salah satu 5 jenis terapi non farmakologis yang bisa digunakan adalah teknik

relaksasi benson. Relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respon

relaksasi pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat

menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien mencapai

kondisi kesehatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi. Kelebihan latihan relaksasi

benson ialah latihan relaksasi lebih mudah dilakukan bahkan pada kondisi apapun

serta tanpa memiliki efek samping (Prima et al., 2020).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah gambaran asuhan

keperawatan dengan masalah nyeri akut pada pasien dengan cholelitiasis?”

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran asuhan

keperawatan dengan masalah nyeri akut pada pasien dengan

cholelitiasis

1.3.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui pengkajian penderita cholelitiasis


b. Untuk mengetahui Diagnosa keperawatan pasien dengan

cholelitiasis.

c. Untuk mengetahui intervensi dan implementasi pasien

dengan cholelitiasis

d. Untuk mengetahui evaluasi pasien dengan cholelitiasis

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Diharapkan dapat menambah dan mengembangkan ilmu

pengetahuan tentang penyakit cholelitiasis dan dapat dijadikan

sebagai referensi bagi penulis selanjutnya yang berminat dan

tertarik dengan topik sejenis

1.4.2 Praktis

a. Bagi pasien penderita cholelitiasis

Untukmenambah pengetahuan,wawasan dan menginformasikan

tentang mengatasi nyeri akut khususnya akibat dari

cholelitiasis.

b. Bagi institusi pendidikan khususnya mahasiswa.

Sebagai bahan acuan untuk penulisan topik tentang

cholelitiasis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asuhan Keperawatan Pasien Post Operasi Kolelitiasis

2.1.1 Pengkajian

Menurut Evania (2013), pengkajian keperawatan adalah tahap awal


proses keperawatan yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan pasien.
1. Data Identitas

a. Identitas Pasien

Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, alamat, tempat tinggal, tempat


tanggal lahir, pekerjaan dan pendidikan. Kolelitiasis biasanya
ditemukan pada umur 20-50 tahun dan lebih sering terjadi anak
perempuan dibandingkan anak laki laki.
b. Identitas Penanggung Jawab

Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama,


hubungan dengan pasien, dan alamat.
2. Keluhan Utama

Merupakan keluhan yang paling utama dirasakan oleh pasien post


operasi saat pengkajian. Biasanya keluhan utama yang pasien rasakan
adalah nyeri pada bagian abdomen kanan atas kuadran 4, mual dan
muntah.
3. Riwayat Penyakit

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Berisi tentang keluhan pasien pada saat dilakukan pengkajian yang


dikembangkan dengan metode PQRST.
Paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan pasien,
biasanya pada pasien kolelitiasis yang telah menjalani operasi akan
mengeluh nyeri pada luka operasi, quality atau kualitas (Q) yaitu
bagaimana nyeri dirasakan oleh pasien nyeri terasa seperti ditusuk
tusuk, regional (R) yaitu nyeri menjalar kemana pada area operasi
sangat jarang terjadi penyebaran kecuali jika ada komplikasi, safety (S)
yaitu posisi yang dapat mengurangi nyeri atau pasien merasa nyaman
pada area operasi skala nyeri bervariasi pada rentang 2-6 yaitu nyeri
berat sampai nyeri tidak tertahankan, time (T) yaitu sejak kapan pasien
merasakan nyeri tersebut, biasanya nyeri dapat hilang timbul maupun
menetap.
b. Riwayat Penyakit Dahulu

Perlu dikaji apakah pasien memiliki riwayat seperti obesitas, penyakit


diabetes melitus, hipertensi dan hiperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatika merupakan faktor risiko utama
untuk pengembangan batu empedu kolesterol. Perlu juga dikaji apakah
pasien pernah dirawat di rumah sakit karena keluhan yang sama atau
tidak.
c. Riwayat Penyakit Keluarga

Pada umumnya penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit


ini menyerang sekelompok manusia yang memiliki pola makan dan
gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga
kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa
riwayat keluarga, sehingga kita perlu mengkaji ada atau tidaknya
keluarga pasien yang pernah menderita penyakit kolelitiasis.
4. Pola Fungsi Kesehatan

a. Pola Nutrisi

Pada pasien kolelitiasis saat pola nutrisi sebelum sakit kebanyakan


pasien menyukai semua makanan terutama makanan yang berlemak,
pola makan pasien setiap hari 3 kali sehari. Setelah sakit pada pasien
kolelitiasis akan muncul gejala anoreksia, mual/muntah, nyeri
epigastrium, tidak dapat makan, dan tidak toleran terhadap lemak dan
makanan yang berbentuk gas.
b. Pola Eliminasi

Pola eliminasi pasien post operasi kolelitiasis


sebelum sakit pasien BAB 1-2 kali sehari dan BAK 3-4 kali sehari,
pada saat sesudah sakit pasien post operasi kolelitiasis akan mengalami
konstipasi sebagai efek dari puasanya dan terjadi perubahan warna
urine dan feses pada pasien, lebih gelap/pekat.
c. Pola Istirahat Tidur

Pada pola istirahat tidur pasien post operasi kolelitiasis sebelum sakit
umumnya pola tidur baik dan teratur yaitu 7- 8 jam perhari. Sesudah
sakit pada pasien post operasi kolelitiasis, pola tidurnya bisa saja
terganggu karena adanya rasa nyeri, cemas ataupun tidak nyaman
akibat proses pembedahan.
d. Pola Personal Hygiene

Pola personal hygiene pasien post operasi kolelitiasis sebelum sakit


baik yaitu mandi 3 kali sehari, keramas 1 kali sehari dan sikat gigi 2
kali sehari. Sesudah sakit biasanya pasien post operasi kolelitiasis
dalam memenuhi perawatan dirinya memerlukan bantuan karena
adanya pembatasan aktivitas dan harus lebih banyak berbaring.
e. Pola Aktivitas Fisik

Pola aktivitas pasien post operasi kolelitiasis sebelum sakit baik,


sesudah sakit pasien post operasi kolelitiasis akan terganggu karena
kelemahan dan keterbatasan gerak akibat nyeri luka operasi
5. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik kepada pasien kolelitiasis menurut Muttaqin, (2013):

a. Keadaan Umum

Kesadaran dapat composmentis sampai koma tergantung beratnya


kondisi penyakit yang dialami, dapat terlihat adanya kesakitan, lemah
atau kelelahan.
Tanda - Tanda Vital

Kemungkinan terjadinya peningkatan suhu tubuh atau hipertermi, nadi


cepat (takikardi) bahkan lemah (bradikardi), tekanan darah meningkat,
nafas cepat dan dalam, dyspnea.

b. Pemeriksaan Fisik Persistem

1) Sistem Pernafasan

Terjadi perubahan dan frekuensi pernapasan menjadi lebih cepat


akibat nyeri, penurunan ekspansi paru.
2) Sistem Kardiovaskuler

Ditemukan adanya perdarahan sampai syok, tanda-tanda kelemahan,


kelelahan yang ditandai dengan pucat, mukosa bibir kering dan
pecah-pecah, tekanan darah dan nadi meningkat.
3) Sistem Pencernaan

Kaji adanya perut kembung, penurunan bising usus karena puasa,


penurunan berat badan dan konstipasi. Cairan empedu tidak masuk
ke dalam duodenum, menyebabkan gangguan ingesti dan absorbsi.
Karbohidrat dan lemak berkurang maka akan menyebabkan nausea,
muntah, diare, distensi abdomen.
Inspeksi : terdapat luka post operasi.
Auskultasi: bising usus 14 kali/menit.
Biasanya pada kolelitiasis terdapat nyeri pada bagian abdomen
kanan atas kuadran 4.
Palpasi : terdapat nyeri tekan abdomen
Perkusi : bunyi tympani
4) Sistem Perkemihan

Jumlah output urine kemungkinan lebih sedikit dengan perubahan


warna yang lebih gelap/pekat karena kehilangan cairan tubuh saat
operasi atau karena adanya muntah. Dan biasanya terpasang kateter
urine.
5) Sistem Persyarafan

Dikaji tingkat kesadaran dengan menggunakan glasgow coma scale


(GCS) dan dikaji semua fungsi nervus kranialis. Biasanya tidak ada
kelainan pada sistem persyarafan.
6) Sistem Penglihatan
Menurut Girsang (2013), biasanya ditemukan sklera ikterus sebagai
respon dari peningkatan bilirubin dalam darah.
7) Sistem Pendengaran

Uji kemampuan pendengaran dengan tes rinne, webber, dan


schwabach menunjukan tidak ada keluhan pada sistem pendengaran.
8) Sistem Muskuloskeletal

Pasien dapat mengalami kelemahan karena tirah baring post operasi


kolelitiasis dan mengalami kekakuan, sehingga ditemukan adanya
kelemahan dan keterbatasan gerak akibat adanya nyeri post operasi
kolelitiasis. Kekuatan otot berangsur membaik seiring dengan
peningkatan toleransi aktivitas.
9) Sistem Integumen

Adanya luka operasi pada abdomen. Turgor kulit menurun akibat


kurangnya volume cairan, suhu tubuh dapat meningkat apabila
terjadi infeksi. Bilirubin terkonjugasi akan meningkat dalam darah
diakibatkan oleh absorbsi cairan empedu oleh kapiler darah sebagai
dampak adanya obstruksi, sehingga ikterus akan timbul.
10) Sistem Endokrin

Biasanya tidak ada keluhan pada sistem endokrin. Tidak ada


pembengkakan kelenjar tiroid dan getah bening.

2.1.2 Diagnosa keperawatan


Menurut SDKI (2017), diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian
klinis mengenai respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial.
1) Nyeri akut .

2) Hipertermi

3) Risiko ketidakseimbangan cairan

4) Risiko infeksi

5) Gangguan mobilitas fisik


2.1.3 Perencanaan (Intervensi)

Menurut Bararah & Jauhar (2013), rencana tindakan keperawatan


merupakan serangkaian tindakan yang dapat mencapai tujuan khusus.
Perencanaan keperawatan meliputi perumusan tujuan, tindakan dan penilaian
rangkaian asuhan keperawatan pada pasien berdasarkan analisis pengkajian
agar masalah kesehatan dan keperawatan pasien dapat diatasi.

Tabel 2.1
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa keperawatan Luaran Intervensi


1. Nyeri akut Tingkat nyeri Manajemen nyeri
menurun dengan
kriteria hasil: Observasi
1. Keluhan nyeri
1. Identifikasi
menurun
lokasi,karakteristik,du
2. Meringis menurun
rasi,frekuensi,kualitas
3. Gelisah menurun
,intensitas nyeri
4. Pola nafas membaik
2. Identifikasi
5. Tekanan darah
skala nyeri
membaik
3. Identifikasi
6. Pola tidur membaik
respons nyeri non
verbal
4. Monitor efek
samping penggunaan
analgetik
Terapeutik

5. Berikan teknik non


farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
( misalnya terapi
aroma lemon)
6. Kontrol
lingkungan yang
memperberat rasa
nyeri
7. Fasilitasi istirahat dan
tidur
Edukasi

8. Jelaskan penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri
9. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
10. Anjurkan memonitor
No Diagnosa keperawatan Luaran Intervensi
nyeri secara mandiri
11. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa
nyeri (pemberian
terapi aroma lemon)

kolaborasi

12. Kolaborasi
pemberian analgetik,
jika perlu
2. Hipertermi Termoregulasi Manajemen
membaik dengan Hipertermia
kriteria h asil :
Observasi
1. Menggigil
menurun 1. Identifikasi penyebab
2. Kulit merah hipertermia
menurun 2. Monitor suhu tubuh
3. Pucat menurun
3. Monitor
4. Suhu tubuh
kadar
membaik
elektrolit
5. Suhu kulit membaik
4. Monitor komplikasi
akibat hipertermia
Terapeutik

5. Sediakan lingkungan
yang dingin
6. Longgarkan atau
lepaskan pakaian
7. Hindari pemberian
antipiretik atau
aspirin
8. Berikan oksigen, jika
perlu

Edukasi

9. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi

10. Kolaborasi
pemberian cairan dan
elektrolit intravena,
jika perlu.
3. Risiko ketidakseimbangan Keseimbangan cairan Manajemen cairan
cairan meningkat dengan
kriteria hasil : Observasi
1. Asupan cairan
No Diagnosa keperawatan Luaran Intervensi
meningkat 1. Monitor status hidrasi
2. Kelembaban 2. Monitor berat badan
membran mukosa sebelum dan sesudah
meningkat dialisis
3. Dehidrasi menurun 3. Monitor
4. Membran mukosa hasil
membaik pemeriksaan
5. Turgor laboratorium
kulit 4. Monitor
membaik status
6. Mata hemodinamik
cekung
membaik Terapeutik

5. Catat intake-
output dan hitung
balance cairan 24
jam
6. Berikan asupan
cairan, sesuai
kebutuhan
7. Berikan cairan
intravena, jika perlu
8. Berikan cairan
intravena, jika perlu
Kolaborasi

9. Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu
4. Risiko infeksi Tingkat infeksi Pencegahan infeksi
menurun dengan
kriteria hasil : Observasi
1. Kebersihan badan
1. Monitor tanda dan
meningkat
gejala infeksi lokal
2. Nafsu makan dan sistemik
meningkat
3. Demam menurun
4. Kemerahan Terapeutik
menurun
5. Nyeri menurun 2. Batasi
6. Bengkak menurun jumlah
7. Kultur sputum pengunjung
membaik 3. Berikan perawatan
kulit pada area edema
4. Cuci tangan
sebelum dan
sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
5. Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
beresiko tinggi
Edukasi

6. Jelaskan tanda dan


No Diagnosa keperawatan Luaran Intervensi
gejala infeksi
7. Ajarkan cara
mencuci tangan
dengan benar
8. Ajarkan etika batuk
9. Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
10. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
11. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan

Kolaborasi

12. Kolaborasi
pemberian imunisasi,
jika perlu
5. Gangguan mobilitas fisik Mobilitas fisik Dukungan mobilisasi
meningkat dengan
kriteria hasil: Observasi
1. Pergerakan
1. Identifikasi
ekstremitas
adanya nyeri atau
meningkat
keluhan fisik
2. Kekuatan otot lainnya
meningkat
2. Identifikasi
3. Rentang gerak toleransi fisik
(ROM) melakukan
meningkat pergerakan
4. Nyeri menurun
3. Monitor frekuensi
5. Kecemasan
jantung dan tekanan
menurun
darah sebelum
6. Gerakan terbatas
memulai mobilisasi
menurun
4. Monitor kondisi
Kelemahan fisik
umum selama
menurun
melakukan mobilisasi
Terapeutik

5. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu
6. Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
7. Libatkan
keluarga untuk
membantu pasien
dalam
meningkatkan
pergerakan
No Diagnosa keperawatan Luaran Intervensi
Edukasi

8. Jelaskan tujuan dan


prosedur mobilisasi
9. Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
10. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan ( mis.duduk
ditempat tidur,duduk
disisi tempat tidur,
pindah dari tempat
tidur ke kursi).
Sumber : SDKI (2017), SLKI(2018), SIKI (2018)

2.1.4 Pelaksanaan (Implementasi)


Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana
tindakanuntuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi di mulai setelah
rencana tindakan di susun dan di tujukan pada rencana strategi untuk membantu
mencapai tujuan yang di harapkan. Oleh sebab itu, rencana tindakan yang spesifik
di laksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah
kesehatan. Tujuan dari implementasi adalah membantu dalam mencapai tujuan
yang telah di tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Harahap, 2019).

2.1.5 Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga
kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam
mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan
(Harahap,2019)
2.2 Konsep Penyakit

2.2.1 Pengertian

Menurut Muttaqin & Sari (2013), Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit
batu empedu merupakan penyakit yang di dalamnya terdapat batu empedu yang
dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau
pada kedua-duanya.
Menurut Diyono & Mulyanti (2013), Batu empedu adalah batu yang berada
disepanjang saluran empedu lebih dari 90% pasien dengan cholecystitis
menyebabkan kolelitiasis.
Menurut Nuratif & Kusuma (2015), Kolelitiasis atau koledokolitiasis yaitu
adanya batu di kandung empedu, atau saluran kandung empedu yang pada
umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol.
Menurut Poupon & Osmorduc (2013), tindakan penatalaksanaan medis yang
dapat dilakukan untuk menangani masalah kolelitiasis yaitu laparatomi merupakan
jenis operasi batu empedu yang dilakukan dengan metode operasi terbuka.
Menurut American College Of Surgeon (2015), kolesistektomi adalah
operasi pengangkatan batu empedu yang dilakukan dengan cara membuka rongga
perut bagian atas sebelah kanan diatas tulang rusuk atau menggunakan alat dengan
luka sayatan.
Berdasarkan pengertian diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa,
kolelitiasis yaitu batu yang berada di kandung empedu maupun saluran empedu
atau kedua-duanya dan pada umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol dan
harus melakukan tindakan penatalaksanaan medis yaitu laparatomi kolesistektomi,
indikasi laparatomi kolesistektomi yaitu pasien dengan batu empedu simtomatik,
kolik biliaris, kolelitiasis akut, koledokolitiasis.
Pathway

Gambar 2.1 Pathway Kolelitiasis


(Sumber : Mega Wijayanthi, 2019).
1. Patofisiologi Batu Empedu
Menurut Muttaqin & Sari (2013), Batu empedu terjadi karena adanya zat
tertentu dalam empedu yang ada dalam konsentrasi yang mendekati batas
kelarutan. Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena
mengandung garam empedu terkonjugasi dan fosfatidilkolin (lesitin) dalam
jumlah cukup agar kolesterol berada di dalam larutan misel, jika rasio
konsentrasi kolesterol berbanding garam empedu dan lesitin meningkat. Zat
ini kemudian mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal
kolesterol, kristal ini merupakan prekursor batu empedu. Bilirubin, pigmen
kuning yang berasal dari pemecahan hame secara aktif disekresikan ke dalam
empedu oleh sel hati.

Sebagian besar bilirubin dalam empedu yaitu berada dalam bentuk


konjugat glukoronida yang larut dalam air dan stabil, kalsium memasuki
empedu secara pasif bersama dengan elektrolit lain. Dalam situasi pergantian
heme tinggi, seperti hemolisis, kronis atau sirosis, bilirubin tidak terkonjugasi
mungkin berada dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari
biasanya. Kalsium bilirubinat mungkin kemudian mengkristal dari larutan
dan akhirnya membentuk batu. Seiring waktu berbagai oksidasi menyebabkan
bilirubin presipitat untuk mengambil jet warna hitam. Batu yang terbentuk
dengan cara ini disebut batu pigmen hitam. Kondisi batu kandung empedu
memberikan berbagai manifestasi keluhan pada pasien dan menimbulkan
berbagai masalah keperawatan, jika terdapat batu yang menyumbat duktus
sistikus atau duktus biliaris.
Peningkatan kontraksi peristaltik di tempat penyumbatan mengakibatkan
nyeri visera di daerah epigastrium, respon komplikasi akut dengan
peradangan akan memberikan manifestasi peningkatan suhu tubuh. Respons
kolik bilier secara kronis akan meningkatan kebutuhan metabolisme sehingga
pasien cenderung mengalami kelelahan memberikan masalah intoleransi
aktivitas. Respons adanya batu akan dilakukan intervensi medis pembedahan,
intervensi litotripsi, atau memberikan respons psikologis kecemasan dan
pemenuhan informasi.
2.2.1 Etiologi
Menurut Nurarif & Kusuma ( 2015) etiologi kolelitiasis yaitu, Penyebab
pasti dari kolelitiasis atau batu empedu belum diketahui, satu teori
menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di
kandung empedu. Setelah beberapa lama empedu yang telah mengalami
supersaturasi menjadi mengkristal dan mulai membentuk batu. Tipe lain batu
empedu adalah batu pigmen, dan batu pigmen tersusun oleh kalsium
bilirubin, yang terjadi ketika bilirubin bebas berkombinasi dengan kalsium.
Penyebab yang pasti belum diketahui tetapi beberapa faktor etiologi dapat
diidentifikasi, antara lain:
a. Faktor metabolik
Cairan empedu mengandung air, HC03, pigmen empedu, garam empedu,
dan kolestrol. Kandungan kolesterol yang tinggi dalam cairan empedu
memungkinkan terbentuknya batu. Tidak dijumpai korelasi antara
kolesterol darah dan kolesterol empedu.
b. Statis bilier
Stagnasi cairan empedu menyebabkan air ditarik ke kapiler, sehingga
garam empedu menjadi lebih banyak yang akan mengubah kelarutan
kolesterol.
c. Peradangan
Karena proses peradangan, kandungan cairan empedu menjadi berubah,
sehingga keasaman cairan empedu bertambah dan daya larut kolestrol
menjadi menurun (Diyono & Mulyanti, 2013).
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Sebuah penelitian
menyebutkan faktor risiko batu empedu mencakup 5F, yaitu:
1. Fat (obesitas),
2. Forty (umur),
3. Female (jenis kelamin),
4. Fertile (estrogen), dan
5. Fair (etnik).
Sedangkan menurut Muttaqin & Sari (2013) faktor resiko terjadinya
kolelitiasis adalah sebagai berikut:
a. Jenis Kelamin Perempuan
Perempuan lebih cenderung untuk mengembangkan batu empedu
kolesterol dari pada laki-laki, khususnya pada masa reproduksi.
Peningkatan batu empedu disebabkan oleh faktor estrogen dan
progesteron sehingga meningkatkan sekresi kolesterol bilier.
b. Peningkatan Usia
Peningkatan usia baik pada pria dan wanita, keduanya meningkatkan
resiko terbentuknya batu empedu.
c. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolisme umum, resistensi
insulin, diabetes melitus II, hipertensi, dan hiperlipidemia
berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatika dan
merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu empedu.
d. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol faktor predisposisinya adalah
turun temurun seperti dinilai dari penelitian terhadap kembar identik.
e. Gangguan intestinal
Gangguan pencernaan, misalnya pasien pasca reseksi usus dan
penyakit crhon memiliki resiko kehilangan garam empedu dari
intestinal.
f. Obat-obatan dan Pola hidup
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi dan pengobatan kanker
prostat meningkatkan resiko peningkatan batu empedu kolesterol.
2.2.2 Manifestasi Klinis
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), tanda dan gejala kolelitiasis dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Sebagian besar bersifat asimtomatik (tidak ada gejala apapun).
b. Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas atau midepigastrik samar
yang menjalar ke punggung atau region bahu kanan.
c. Sebagian penderita, rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persistem.
d. Mual, muntah serta demam.
e. Ikterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: getah empedu yang tidak lagi
dibawa kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan
empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning.
Keadaan ini sering disertai gejala gatal-gatal pada kulit.
f. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal yang
membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh
pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut
“ Clay-colored”.
g. Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu
absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat
memperlihatkan gejala.
h. Terjadi regurgitasi gas : sering flatus dan sendawa.
2.2.3 Klasifikasi Kolelitiasis
Menurut Naga (2012), secara umum batu kandung empedu dibedakan
menjadi 3 bentuk utama, yaitu batu kolesterol, batu kalsium bilirubinat
(pigmen), dan batu saluran empedu.
a. Batu kolesterol
Batu kolesterol mengandung 70% kristal kolesterol, sedangkan sisanya
adalah kalsium karbonat dan kalsium bilirubinat. Bentuknya bervariasi dan
hampir terbentuk di dalam kandung empedu. Permukaanya licin atau
multifaser, bulat dan berduri. Proses pembentukan batu ini melalui empat
tahap, yaitu penjenuhan empedu oleh kolesterol, pembentukanya nidus atau
sarang, kristalisasi, dan pertumbuhan baru.
b. Batu Bilirubin atau Batu Lumpur ( Batu Pigmen)
Batu ini mengandung 25% kolesterol. Batu yang tidak banyak macam ini
sering ditemukan dalam bentuk tidak teratur, kecil-kecil, berjumlah banyak,
dan berbagai macam warna antara lain coklat, kemerahan, hingga hitam.
Batu ini berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh dan juga sering
ditemukan dalam ukuran besar, karena terjadi penyatuan dari batu-batu
kecil.
c. Batu Saluran Empedu
Masih perkiraan bahwa kelainan anatomi atau pengisian di vetikulla oleh
makanan yang akan menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledoktus
dan bendungan ini menyebabkan timbulnya infeksi dan pembentukan.
2.2.4 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada pasien dengan kolelitiasis yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium ( Darah Lengkap)
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindrom mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledokus.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi bisa dilihat dengan foto polos. Saat peradangan
akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas
yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
c. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi yaitu derajat spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau edema yang
diakibatkan oleh peradangan lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di
dalam usus. USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang gangrene lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
d. Kolesistografi
Sebagian penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik
karena relatif murah, sederhana dan cukup akurat untuk dilihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi
oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubin serum
diatas 2 mg/dl, obstruksi pilorus dan hepatitis karena pada keadaan-
keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
e. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography
(ERCP) Lebih untuk mendeteksi batu pada saluran empedu.
f. Foto Polos Abdomen
Menyatakan gambaran radiologi (klasifikasi) batu empedu, klasifikasi
dinding atau pembesaran kandung empedu.
2.2.5 Komplikasi
Menurut Tanto,et. all (2014), komplikasi kolelitiasis yang bisa terjadi yaitu:
a. Kolelitiasis Akut
Kolelitiasis akut pada batu empedu terjadi pada 90-95% kasus yang dimana
ditandai dengan kolik bilier akibat obstruksi duktus sistikus, apabila
obstruksi berlanjut, kandung empedu mengalami distensi, inflamasi dan
edema. Gejala yang dirasakan yaitu nyeri kuadran kanan atas yang lebih
lama dari pada yang sebelumnya, seperti demam, mual dan muntah.
b. Kolesistitis Kronik
Inflamasi dengan kolik bilier atau nyeri dari obstruksi duktus sistikus
berulang mengacu pada kolesistitis kronis. Gejala utama berupa nyeri
( kolik bilier) yang konstan dan berlangsung sekitar 1-5 jam dengan mual
muntah dan kembung.
c. Koledokolitiasis
Batu pada saluran empedu atau common bile ductus (CBD), dapat
asimtomatis dengan obstruksi transien dan pemeriksaan laboratorium yang
normal. Gejala yang dapat muncul adalah kolik bilier, ikterus, tinja dempul
dan urin berwarna gelap seperti teh.
d. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi pada lapisan perut sebelah dalam dikenal
sebagai peritoneum komplikasi ini terjadi akibat pecahnya kantung empedu
yang mengalami peradangan parah. Komplikasi ini umumnya dapat
ditangani dengan antibiotik dan prosedur Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP). Gejala pada infeksi adalah sakit di
perut bagian atas yang menjalar ke tulang belikat, sakit kuning, demam
tinggi dan linglung.
e. Kolangitis
Merupakan komplikasi dari batu saluran empedu kolangitis akut adalah
infeksi bakteri asenden disertai dengan obstruksi duktus bilier. Gejala yang
ditemukan adalah demam, nyeri, epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas
dan ikterik yang disebut trias charcot.
2.2.6 Penatalaksanaan
Menurut Nurarif & Kusuma,( 2015) penatalaksanaan sebagai berikut :
a. Kolesistektomi per Laparoskopi
Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut, atau kandung
empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm. Kelebihan yang
diperoleh pasien, luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah
minimal.
b. Kolesistektomi per Laparatomi
Menurut Batticaca, (2011). Operasi ini merupakan standar terbaik untuk
penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut. Kolesistektomi terbuka/ laparatomi dilakukan dengan
melakukan insisi sekitar 8-12 cm pada bagian abdomen kanan atas
menembus lemak dan otot hingga ke kandung empedu. Duktus-duktus
lainnya diklaim, kemudian kandung empedu diangkat.
2.3 Konsep Nyeri Akut

2.3.1 Definisi

Nyeri adalah pengalaman pribadi, subjektif, yang dipengaruhi oleh budaya,


persepsi seseorang, perhatian, dan variabel-variabel psikologis lainnya, yang
mengganggu perilaku berkelanjutan dan memotivasi setiap orang untuk
mengehentikan rasa tersebut (Melzack dan Wall 1998 dalam Judha
dkk,2012).Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3
bulan (Tim pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

2.3.2 Etiologi
Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik,
thermos,elektrik, neoplasma ( jinak dan ganas), peradangan (inflamasi),
gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembulu darah serta yang terakhir
adalah trauma psikologis (Handayani, 2015).
2.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri Akut

Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi oleh


fisiologi, spiritual, psikologis, dan budaya.Setiap individu mempunyai
pengalaman yang berbeda tentang nyeri. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut:
A. Tahap Perkembangan
Usia dan tahap perkembangan seseorang merupakan variable penting
yangakan memengaruhi reaksi dan ekspresi terhadap nyeri. Dalam hal ini,
anak – anak cenderung kurang mampu mengugkapkan nyeri yang
mereka rasakan dibandingkan orang dewasa, dan kondisi ini dapat
menghambat penanganan nyeri untuk mereka. Di sisi lain, prevalensi
nyeri ada individu lansia lebih tinggi karena penyakit akut atau kronis
dan degenerative yang diderita. Walaupun ambang batas nyeri tidak
berubah karena penuaan, efek analgesik yang diberikan menurun karena
perubahan fisiologis yang terjadi (Mubarak et al., 2015).
B. Jenis kelamin
Beberapa kebudayaan yang memengaruhi jenis kelamin misalnya
menganggap bahwa seorang anak laki – laki harus berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama. Namun, secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam berespon terhadap nyeri (Mubarak et al., 2015).
C. Keletihan
Keletihan atau kelelahan dapat meningkatkan persepsi nyeri. Rasa
kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap
individu yang menderita penyakit dalam jangka waktu lama. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri bahkan dapat
terasa lebih berat lagi. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu
mengalami suatu periode tidur yang lelap diabandingkan pada akhir hari
yang melelahkan.
D. Lingkungan dan dukungan keluarga

Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan dan


aktivitas yang tinggi di lingkungan tersebut dapat memerberat nyeri.
Selain itu, dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi salah satu
faktor penting yangmemengaruhi persepsi nyeri individu. Sebagai contoh,
individu yang sendiriaan, tanpa keluarga atau teman – temang yang
mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang lebih berat
dibandingkan mereka yang mendapat dukungan dari keluarga dan orang
– orang terdekat (Mubarak et al., 2015).
E. Gaya koping

Koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memperlakukan


nyeri. Seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus internal merasa
bahwa diri mereka sendiri mempunyai kemampuan untuk mengatasi
nyeri.Sebaliknya, seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus
eksternal lebih merasa bahwa faktor-faktor lain di dalam hidupnya
seperti perawat merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap nyeri
yang dirasakanya. Oleh karena itu, koping pasien sangat penting untuk
diperhatikan.

2.3.4 Pengkajian Nyeri


Intensitas nyeri (skala nyeri) adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda ( Tamsuri dan Wiarto 2017).

Menurut Wiarto (2017) pengukuran nyeri dapat dilakukandengan

alat ukur yaitu :

A. Pasien dapat berkomunikasi

1). Numerical Rating Scale (NRS)

Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan

mengobjektifkan pendapat subjektif nyeri. Skala numerik dari 0 hinga

10, nol(0) merupakan keadaan tanpa nyeri atau bebas nyeri, sedangkan

sepuluh (10) suatu nyeri yang sangat hebat.

Gambar 2.2. Numerical Rating Scale (NRS)


Sumber : Smeltzer & Bare dalam Wiarto (2017)

2) Visual Descriptif Scale (VDS)

Skala berupa garis lurus, tanpa angka. Bisa mengekspresikan nyeri,


arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak tertahankan,
dengan tengah kira kira nyeri yang sedang.
3) Visual Analogue Scale (VAS)
Skala berupa garis lurus yang panjangnya biasanya 10cm dengan
penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya seperti angka
0(tanpa nyeri) sampai angka 10(nyeriterberat).
Nilai VAS 0-3 = nyeri ringan, 4- 6= nyeri sedang,dan 7-10=nyeri
berat

Gambar 2.3 Visual Analogue Scale (VAS) Sumber : Smeltzer & Bare dalam Wiarto
(2017).

B. Pasien tidak dapat berkomunikasi

1) Face Pain Rating Scale

Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda, menampilkan wajah
bahagia hingga sedih, digunakan untuk mengekspresikan rasa nyeri. Skala
ini biasa dipergunakan mulai anak usia 3 tahun.

Gambar 2.4. Face Pain Rating Scale Sumber : Smeltzer & Bare dalam
Wiarto (2017)

2). Behavioral Pain Scale (BPS)

BPS merupakan skala yang terdiri dari tiga indikator yaitu ekspresi wajah,
pergerakan ekstremitas atas dan toleransi terhadap ventilasi mekanik.
2.4 Terapi/ Tindakan Keperawatan Aroma Terapi Lemon
1. Pengertian Aroma Terapi Lemon
Aromaterapi merupakan suatu bentuk pengobatan alternatif menggunakan
bahan tanaman volatil, banyak dikenal dalam bentuk minyak esensial.
Aromaterapi dibentuk dari berbagai jenis ekstrak tanaman seperti buah,
bunga, daun, kayu, akar tanaman, kulit kayu, dan bagian-bagian lain dari
tanaman. Salah satu jenis macam-macam aromaterapi dari rumpun tumbuhan
adalah citrus aurantium. Kandungan minyak pada citrus aurantium memiliki
efek antispasmodik dan obat penenang ringan (Medforth et al., 2013).
2. Tujuan Aroma Terapi Lemon
Aromaterapi digunakan untuk mempengaruhi emosi seseorang dan
membantu meredakan gejala penyakit, yang masuk ke tubuh melalui indra
penciuman (dihirup). Minyak esensial yang digunakan dalam aromaterapi ini
berkhasiat untuk mengurangi stres, melancarkan sirkulasi darah, meredakan
nyeri, mengurangi bengkak, menyingkirkan zat racun dari tubuh, mengobati
infeksi virus atau bakteri, luka bakar, tekanan darah tinggi, gangguan
pernafasan, insomnia (sukar tidur), gangguan pencernaan dan penyakit
lainnya (Suwanti, 2018).
3. Manfaat Aroma Terapi Lemon
Menurut Maesaroh 2019, menunjukkan bahwa aromaterapi memiliki
beberapa manfaat terhadap kesehatan, antara lain:

1. Membuat tubuh dan pikiran menjadi santai.

2. Meningkatkan kualitas tidur dan membantu meringankan insomnia.

3.Meringankan rasa sakit, seperti nyeri haid, nyeri akibat batu ginjal,
atau nyeri pada osteoartritis.

4. Membantu mengurangi stres.

5. Melawan bakteri, virus, dan jamur jika dioleskan ke kulit.

6. Meningkatkan kekebalan tubuh.

1112rtf
7. Memperlancar pencernaan.

8. Meringankan rasa gelisah ketika bersalin.

9. Meredakan sakit kepala dan migrain

4. Cara kerja Aroma Terapi Lemon


Menurut Nurulicha 2019, mekanisme kerja perawatan aromaterapi lemon
dalam tubuh manusia berlangsung melalui dua sistem fisiologis, yaitu
sirkulasi tubuh dan sistem penciuman. Zat yang terkandung dalam lemon
salah satunya adalah linalool berguna untuk menstabilkan sistem saraf
sehingga dapat menimbulkan efek tenang bagi siapapun yang menghirupnya,
sehingga dapat mengurangi rasa cemas dan nyeri.
5. Cara Menggunakan Aromaterapi
Untuk mendapatkan manfaatnya, ada beberapa cara penggunaan
aromaterapi yang bisa dipilih (cahyasari, 2015) :

a. Menghirup uap aromaterapi


Menghirup uap aromaterapi, khususnya aroma terapi lemon, dipercaya
dapat meringankan gejala pilek dan hidung tersumbat. Caranya,
campurkan 1-2 tetes minyak aromaterapi ke dalam baskom air hangat,
lalu tundukkan kepala anda ke atas baskom dan tutupi dengan handuk.
Hirup uap yang keluar dari air hangat tersebut, selama 5-10 menit.

b. Menggunakan diffuser
Diffuser aromaterapi adalah alat yang digunakan untuk mengubah
minyak aromaterapi menjadi uap dan menyebarkannya ke seluruh
ruangan. Terdapat beragam jenis diffuser, baik dari keramik (tungku)
dengan lilin, atau yang memakai tenaga listrik.
Pastikan diffuser aromaterapi ini tidak digunakan dalam jangka waktu
lama di rumah, terlebih jika salah satu penghuni rumah sedang hamil atau
memiliki kondisi medis tertentu.

c. Untuk mandi
Berendam dalam air hangat yang ditambahkan beberapa tetes minyak
1112rtf
aromaterapi dapat meredakan stres. Anda bisa menggunakan minyak
esensial lavender, bergamot, sereh, melati, mawar, daun thyme,
lemon, rosemary atau jeruk.

d. Untuk pijat
Ketika memijat tubuh, anda bisa mencampurkan minyak aromaterapi
dengan minyak pijat. Selain membuat tubuh menjadi rileks, campuran
minyak ini juga dapat mengurangi kram saat menstruasi dan meredakan
gejala menopause. Namun pada sebagian orang, minyak aromaterapi
dapat menyebabkan alergi dan iritasi pada kulit. Jadi hindari penggunaan
minyak aromaterapi secara berlebihan, dan pastikan minyak tersebut
sudah diencerkan atau dicampur dengan minyak lainnya. Perlu diingat
pula, jangan mengoleskan minyak aromaterapi pada bagian tubuh yang
memar, ruam, bengkak, atau luka.

e. Produk perawatan tubuh


Ada berbagai produk perawatan tubuh, seperti lotion atau scrub, yang
mengandung minyak essential. Beberapa minyak essential juga
diproduksi khusus untuk dioleskan langsung pada kulit, guna
mengharumkan tubuh.

6. Cara Pemberian Aromaterapi Menggunakan Diffuser


Menurut Maternity 2017, adapun cara memberikan aromaterapi secara
inhalasi dengan menggunakan diffuser, yaitu tambahkan 2-3 tetes lemon
essential oil ke dalam diffuser dan nyalakan. Isi diffuser dengan air sampai
garis pada alat tercapai. Kemudian dengan menggunakan penutup yang
disertakan, kencangkan diffuser pada tempatnya. Kemudian nyalakan diffuser
hingga uap air dari campuran minyak atsiri lemon mulai keluar, dan tarik
nafas dalam-dalam untuk menikmati aroma yang keluar dari uapnya. Uap dari
diffuser yang akan beraroma lemon akan digunakan untuk mengobati rasa
cemas dan nyeri.

1112rtf
7. Prosedur Pemberian Aroma Terapi Lemon
1. Pengertian
Aromaterapi lemon merupakan salah satu jenis relaksasi yang
menggunakan minyak esensial lemon diberikan secara inhalasi
melalui diffuser.
2. Tujuan
a. Mengurangi nyeri dan cemas
b. Memberikan rasa nyaman pada pernapasan
c. Membuat tubuh menjadi rileks
3. Menyiapkan Peralatan
a. Aroma terapi lemon essential oil
b. Sarung tangan
c. Difusser
1. Prosedur
a. Pra interaksi
1) Verifikasi/validasi pasien yang akan diberikan aromaterapi
lemon
2) Identifikasi faktor atau kondisi yang dapat menyebabkan
kontraindikasi
3) Siapkan alat dan bahan
b. Tahap Orientasi
1) Memberikan salam terapeutik
2) Menjelaskan kepada pasien serta keluarga mengenai tujuan
dan prosedur tindakan yang akan segera dilakukan.
3) Menjamin atas pemenuhan kebutuhan privasi pasien.
4) Mengatur ketinggian tempat tidur, posisi senyaman
mungkin untuk memudahkan tindakan yang akan dilakukan.
c. Tahap Kerja
1) Mencuci tangan
2) Menjaga privasi pasien
3) Atur posisi pasien senyaman mungkin
1112rtf
4) Menggunakan sarung tangan
5) Teteskan 2-3 tetes aroma terapi lemon essential oil pada
diffuser yang berisi air dan letakkan di kepala tempat tidur
pasien.
6) Atur penggunaan diffuser .
7) Anjurkan pasien untuk menghirup aromaterapi lemon
essential oil secara perlahan-lahan.
8) Setelah terapi selesai, bereskan alat dan atur posisi
senyaman mungkin
9) Mencuci tangan.
d. Tahap Terminasi
1. evaluasi respon serta toleransi pasien selama dan sesudah
prosedur
2. evaluasi adanya tanda-tanda alergi terhadap aroma terapi
lemon essential oil
3. Kontrak kegiatan yang akan datang.
e. Dokumentasi
Dokumentasikan, meliputi nama pasien, waktu dan respon
pasien.

1112rtf
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. Y
Umur : 32 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : (Hanya ditulis nama Desa dan Kabupaten)
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tentara
Tanggal masuk RS :18-04-2023
Tanggal pengkajian :19-04-2023
DX Medis :Cholelitiasis
B. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB
Nama :Ny. Tisa
Umur :30Th
Jenis kelamin :Perempuan
Alamat :Jl. Parit Bugis No.3 Arang Limbung
Pendidikan :SMA
Pekerjaan :Ibu Rumah Tangga

C. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama : nyeri perut kanan bawah
2. Riwayat Kesehatan Sekarang: Sebelum klien masuk rawat ke RSPAD, klien
dirumah mengeluh nyeri perut bawah kanan seperti ditusuk-tusuk dan hilang
timbul. Klien datang ke RSPAD pada tanggal 18 April 2022 jam 10.00 pagi
diantar oleh istri klien dengan keluhan nyeri perut bawah kanan seperti ditusuk-
tusuk,badan terasa keringat dingin dan lemas. Saat pemeriksaan ditemukan
klien meringis menahan nyeri sambil memegang perutnya, klien tampak
keringat dingin dengan hasil pengukuran vital sign
TTV TD = 120/75 mmHg, ND = 82 x/mnt, RR = 20 X/mnt, Suhu = 36,2 °C,
SN :4
3. Riwayat Kesehatan Dahulu: Klien mengatakan tidak mempunyai penyakit yang
lainnya

4. Riwayat Kesehatan Keluarga: Klien mengatakan didalam keluarganya tidak ada Riwayat
penyakit menular dan keturunan.

5. Genogram

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Menikah

: Pasien

6. Pemeriksaan Fisik (Per Sistim)


a. Sistem Pernapasan
 Inpeksi : simetris kiri dan kanan, pernafasan normal, tidak ada pergerakan
dinding dada, tidak menggunakan otot bantu nafas
 Palpasi : fremitus kiri dan kanan
 Perkusi : bunyi sonor
 Aulkultasi : tidak ada bunyi nafas tambahan
b. Sistem Kardiovaskuler
 Inpeksi : simetris kiri dan kanan, tidak ada lesi, ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis tidak teraba
 Perkusi : tidak ada pelebaran jantung
 Aukultasi : irama jantung reguler
c. Sistem Persyarafan
Status memori panjang, perhatian dapat mengulang, bahasa baik, dapat
berorientasi pada orang, tempat dan waktu, tidak ada keluhan pusing, tidur 6-7
jam sehari.
d. Sistem Perkemihan
Klien mengatakan tidak ada keluhan dengan BAK, Klien bisa BAK 5-6 x/hari
e. Sistem Pencernaan
Klien mengatakan sudah 2 hari dirumah tidak nafsu makan karena perut terasa
ditusuk-tusuk dan kembung, nyeri perut bawah sebelah kanan
Sebelum sakit BB = 71 kg
Setelah sakit BB = 69 kg
f. Sistem Muskuloskeletal
Pergerakan sendi bebas, otot simetris kanan dan kiri. Pada pemeriksaan tangan
kanan, tangan kiri dan kaki kanan, kaki kiri didapatkan kekuatan otot 5.
g. Sistim Endokrin
Tidak ada pembesaran pada kelenjar tiroid, tidak terdapat pembesaran pada
kelenjar getah bening bagian leher. Tidak terdapat hipoglikemia dan
hiperglikemia.
h. Sistim sensori persepsi/Pengideraan
Tidak ada kelainan
i. Sistim integument
Tidak ada peradangan pada kulit dan tidak ada edema
j. Sistim imun dan hematologi
Tidak ada kelainan
k. Sistem Reproduksi
Klien sudah disunat, tidak ada pembesaran prostat
7. Pola Fungsional Kesehatan
1. Oksigenasi
Sebelum : Klien tidak ada keluhan seperti sesak
Setelah : Klien bernafas spontan
2. Cairan dan Elektrolit
Sebelum : Klien bisa minum 2000-3000 liter
Setelah : Terpasang infus RL 20 tpm, turgor kulit elastis, edema tidak
ada
3. Nutrisi
Sebelum : kurang nafsu makan karena terasa perut melilit dan kembung
Setelah : makan 3 kali sehari dengan makanan lunak dan makanan habis ½
porsi
4. Aman dan Nyaman
Sebelum : Bisa beraktivitas dan bisa dilakukan sendiri
Setelah : aktivitas dibantu sama istri
5. Eliminasi
Sebelum : Pasien bisa BAK normal dan Bisa BAB 1x/hari
Setelah : Pasien bisa BAK normal dan belum BAB
6. Aktivitas dan Istirahat
Sebelum : Pasien bisa beraktivitas dan malam hari kurang bisa tidur karena
nyeri
Setelah : pasien mengatakan masih sakit didaerah luka operasi jadi belum
bisa mobilisasi dan dibantu keluarga
7. Psikososial
Sebelum : Klien merasa kebutuhan psikososial terpenuhi
Setelah : Klien tidak ada masalah dengan psikososial selama di Rumah
sakit
8. Komunikasi
Sebelum : Klien tidak ada masalah komunikasi dengan keluarga
Setelah : Klien bisa dua arah lancar tanpa ada gangguan dalam berbicara
9. Seksual
Sebelum : Klien tidak ada masalah dengan seksual
Setelah : Selama dirawat klien hanya focus sama penyakitnya dengan Pasien
memiliki 1 istri dan 2 anak
10. Nilai dan Keyakinan
Sebelum : Klien bisa melakukan Sholat 5 waktu dan berdoa
Setelah : Klien mengatakan ia yakin allah akan menyembuhkan
penyakitnya, karna allah SWT sedang mengujinya
11. Belajar
Sebelum : Klien tidak ada masalah dengan proses belajar
Setelah : Klien bertanya dan mengerti saat dijelaskan mengenai kondisi dan
penyakitnya sekarang

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium TGL 21-03-2023
JENIS HASIL NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
Hemoglobin 10,4 13.0-18.0 g/dl
40-52 %
Hematokrit 32

Eritosit 3,8
4.3-6.0 juta/uL
Leukosit 7240 4800-10.800/uL
150.000-400.000/Ul
Trombosit 257000

Ureum 15
20-50 mg/dl
Kreatinin 0,70
0.5-1.5 mg/dl
SGOT 24
<35U/L
SGPT 60
<40U/L
GAMMA-GT 261
GDS 94 8-61U/L
70-140 mg/dL
Klorida (CL) 106 95-105 mmol/L

b. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan MRI Abdomen MRCP tgl 07/01/2023)
Kesan : Dilatasi duktus biliaris intrahepatik kanan-kiri, duktus hepatikus
komunis dan duktus bilaris comunis ec choledocholithiasis multiple
Kista simpleks segmen 6 hepar

9. Program terapi
 Infus RL 2o tpm
 Ceftriaxone 1x2 gr
 Levofloxacin 1x750mg
 Ketorolac 30x30mg
 Omeperazole 2x40mg

.
D. Analisa data

Hari/tgl/jam Data Etiologi Problem


Selasa, DS : Klien Operasi Nyeri akut
19-4-23 mengatakan nyeri
Jam 15.00 pada perut kanan Luka insisi
bawah
DO : Tampak pasien Kerusakan
meringis menahan jaringan
nyeri
Tampak pasien Nyeri akut
memegang perut
bawah sebelah
kanan
Skala nyeri 4
TTV TD = 130/90
mmHg, ND = 90
x/mnt, RR = 20
X/mnt, Suhu = 36,5
°C

Selasa, DS : Klien Operasi Gangguan mobilitas


19-4-23 mengatakan masih fisik
Jam 16.00 nyeri di daerah luka Luka Insisi
operasi
DO : -Tampak Kerusakan
aktivitas klien jaringan
dibantu istrinya
-Klien tampak masih Nyeri akut
lemah
- Terpasang infus Mobilitas
RL 20 tetes/menit terbatas
Selasa, DS : Klien Luka Operasi Risiko Infeksi
19-4-23 mengatakan ada luka
Jam 17.00 operasi di bagian Pemajanan
perut sebelah kanan mikroorganisme
DO :
 Tampak ada luka
operasi diperut
bawah kanan
 Terpasang drain di
lokasi luka

E. Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( Prosedur operasi )
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Nyeri
3. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
E. Intervensi Keperawatan

Hari/ No diagnosa (SDKI) Tujuan Intervensi Ttd


Tgl/jam Dan Kriteria (SIKI)
Hasil (SLKI)
Selasa, 1. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri (L.08238)
19/04/2 berhubungan dengan Tindakan Observasi :
023 agen pencedera fisik keperawatan 1.1 Identifikasi
Jam (Prosedur operasi) selama 3 x 8 jam lokasi,karakteristik,durasi,
14.00 (D.0077) tingkat nyeri
frekuensi,kualitas nyeri,intensitas
(L.08066)
nyeri,skala nyeri
Kriteria hasil :
1.2 Identifikasi respon nyeri non
1. Keluhan nyeri
verbal
menurun
2.Meringis 1.3 Identifikasi factor yang
menurun memperberat dan
3.Gelisah memperingan nyeri
menurun
Terapeutik :
4.Frekuensi nadi
1.4 Berikan Teknik non
membaik
farmakologis untuk
mengurangi nyeri ( pemberian
aromaterapi lemon)

1.5 Kontrol lingkungan yang


memperberat rasa nyeri

1.6 Pertimbangkan jenis dan


sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri

Edukasi :
1.7 Jelaskan
penyebab,periode,dan pemicu
nyeri
1.8 Jelaskan strategi meredakan
nyeri

1.9 Ajarkan Teknik non


farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

1.10.Kolaborasi pemberian
analgetic bila perlu
Selasa, 2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Mobilisasi ( L.105173)
19/04/2 fisik berhubungan Tindakan asuhan Oberservasi :
023 dengan Nyeri (D.0054) keperawatan 1.1 Identifikasi adanya nyeri
Jam selama 3x 8 jam atau keluhan fisik lainnya
16.00 diharapkan fisik 1.2 Identifikasi toleransi fisik
pasien meningkat melakukan ambulasi
(L. 05042) 1.3 Monitor frekuensi jantung
dengan kriteria dan tekanan darah sebelum
hasil : memulai ambulasi
1. Pergerakan 1.4 Monitor kondisi umum
ektermitas selama melakukan ambulasi
meningkat Teraupetik :
2. Kekuatan otot 1.5 Fasilitas aktivitas ambulasi
meningkat dengan alat bantu
3. Rentang gerak 1.6 Fasilitas melakukan
meningkat mobilisasi fisik
4. Nyeri menurun 1.7 Libatkan keluarga untuk
5. Gerakan membantu pasien dalam
terbatas meningkatkan ambulasi
menurun Edukasi :
6. Kelemahan 1.8 Jelaskan tujuan dan
fisik menurun prosedur ambulasi
1.9 Anjurkan melakukan
ambulasi dini
1.10 Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus dilakukan
Selasa, 2. Risiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan infeksi (L.14539)
19/04/20 berhubungan dengan Tindakan asuhan Observasi :
23 prosedur invasive keperawatan 1.1 Monitor tanda dan gejala
Jam (D.0142) selama 3 x 8 jam infeksi local dan sistemik
16.00 diharapkan pasien
1.2 Batasi jumlah pengunjung
tidak mengalami
infeksi (L.14137) 1.3 Berikan perawatan kulit pada
Kriteria Hasil : area edema
1. Kebersihan
1.4 Cuci tangan sebelum dan
tangan
sesudah kontak dengan klien
meningkat
dan lingkungan klien
2. Kebersihan
badan 1.5 Pertahankan Teknik aseptic
meningkat pada klien beresiko tinggi
3. Demam,kemera
Edukasi :
han,
1.6 Jelaskan tanda dan gejala
Nyeri,bengkak
infeksi
menurun
Kadar sel darah 1.7 Ajarkan cara cuci tangan
meningkat dengan benar

1.8 Anjurkan meningkatkan


asupan nutrisi

1.9 Anjurkan meningkatkan


asupan cairan

Kolaborasi :
1.10 Kolaborasi pemberian
antibiotik
BAB IV
PEMBAHASAN

Setelah dilakukan perawatan pada Tn. Y dengan diagnosa medis Post

Cholelithiasis. Penerapan asuhan keperawatan diberikan secara komprehensif

melalui proses pendekatan keperawatan berupa pengkajian keperawatan, analisa

data, menentukan diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi

keperawatan khususnya penerapan pemberian aromaterapi lemon dan evaluasi

keperawatan pada Tn. Y sehingga dapat diambil suatu kesimpulan dan pemecahan

masalah sebagai berikut :

4.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan proses awal dan dasar utama dari proses

keperawatan. Dimana pengkajian yang terdapat dalam tinjauan kepustakaan

pada umumnya tidak begitu jauh berbeda dengan yang penulis temukan.

Pengkajian pada Tn. Y dengan penyakit post operasi Cholelithiasis dilakukan

pada tanggal 19-04-2023, dalam mengumpulkan data penyusun menggunakan

wawancara dengan pasien dan keluarga, dan mengobservasi keadaan pasien,

meliputi pemeriksaan fisik, karena penulis menganggap lebih akurat, serta

didukung oleh sumber catatan perawat, catatan medis, dan hasil pemeriksaan

penunjang sehingga didapatkan data yang diperlukan.


Setelah melakukan pemeriksaan didapatkan hasil yaitu tingkat

kesadaran klien pada saat diperiksa composmentis serta keadaan umum klien

lemah, tekanan darah 130/90 mmHg, heart rate 90x/m, pernapasan 20x/m

dan suhu klien 36,5°C. Pada saat pengkajian klien mengeluh nyeri pada perut

kanan bawah, penulis juga mendapatkan data berupa klien tampak gelisah,

meringis, skala nyeri 4. Dari data pengkajian yang didapatkan penulis dapat

menegakkan diagnosa keperawatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi

klien. Hal ini sesuai dengan tanda dan gejala pada teori Post Operasi

Cholelithiasis.hanya reaksi alergi dan demam yang tidak ada pada pasien.

Batu kantung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang

membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung

empedu. Cholelitiasis biasanya terbentuk dalam kandung empedu dari unsur-

unsur padat yang membentuk cairan empedu, batu empedu memiliki ukuran,

bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi (Nuari, 2015).

Menurut (Doenges, 2000) pengkajian : dapatkan data dasar tentang

status terkini pasien sebagai pembanding dengan status yang kini sedang

dialami. Meliputi riwayat nyeri pada abdomen atau ketidaknyamanan, dan

berkeringat. Lakukan pengkajian fisik lengkap, karena pengkajian ini penting

untuk mendeteksi komplikasi dan perubahan status pasien.


4.2 Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan teori pada saat menegakkan diagnosa yang mungkin

timbul pada pasien post operasi Cholelithiasis yaitu (SDKI DPP PPNI 2017):

1. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan penurunan

mobilitas.

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakbugaran fisik.

4. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.

5. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif

Dari diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan

Post Op Cholelithiasis yaitu (SDKI DPP PPNI 2017), terdapat 3 diagnosa


keperawatan pada teori dan sesuai degan kondisi yang dialami oleh klien.
Berikut ini diagnosa yang bisa diangkat sesuai dengan kondisi klien kelolaan
penulis dilapangan,yaitu :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( Prosedur operasi )
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Nyeri
3. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

4.3 Rencana Tindakan Keperawatan

Setelah pengkajian, menganalisa data,merumuskan diagnosa keperawatan maka

langkah selanjutnya adalah intervensi keperawatan

merupakan langkah yang sangat menentukan dalam mencapai keberhasilan

didalam asuhan keperawatan yang akan dilakukan menyusun rencana.

Rencana keperawatan yang terdapat dilaporan pendahuluan tidak

semua penulis angkat pada rencana asuhan keperawatan, dikarenakan

penulis sesuaikan dengan kondisi klien dan di angkat sesuai dengan apa

yang telah ditetapkan oleh Rumah Sakit tersebut dan keterbatasan kami
sebagai seorang mahasiswa.

4.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan perwujudan dari dari

perencanaan keperawatan yang telah disusun, dilaksanakan bekerja sama

dengan kepala ruangan, perawat ruangan, dokter yang bertugas, serta klien

dan keluarganya.

Sebelum melaksanakan rencana tindakan keperawatan dilakukan pada

satu shif setiap harinya. Saat penulis tidak berada di ruangan, penulis

mengikuti perkembangan klien melalui catatan perkembangan klien dan

melihat catatan ruangan, catatan dokter dan bertanya dengan perawat yang

sedang jaga. Pada saat pengkajian pasien mengeluh kesakitan setelah

dilakukan tindakan operasi lalu perawat melakukan perencanaan untuk

mengurangi nyeri dengan pemberian terapi nonfarmakologi yaitu

aromaterapi lemon. Sesuai jurnal Khoiriyah, 2020 yang berjudul

Penurunan Skala Nyeri Akut Post Laparatomi Menggunakan Aromaterapi

Lemon. Dalam jurnal tersebut Pemberian aromaterapi lemon dapat

menurunkan skala nyeri pada pasien post operasi laparatomi.

4.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang

digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat keberhasilan rencana

keperawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien berdasarkan kriteria hasil

yang ditentukan. Dalam melaksanakan evaluasi tidak di temukan kesenjangan

antara teori dan praktek terbukti sudah teratasi dengan metode SOAP

(Subjektif, Objektif, Analisa, Planning). Evaluasi keperawatan terbagi


menjadi dua yaitu evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi yang

dilaksanakan penulis telah sesuai dengan teori yaitu terdapat evaluasi dari

seluruh tindakan dalam satu diagnosa yang penulis susun dalam bentuk

SOAP. Dari hasil evaluasi didapatkan : Nyeri menurun, mobilitas fisik

meningkat dan resiko infeksi berkurang . Masalah teratasi semua, tetapi

pasien harus tetap kontrol ulang untuk melihat status perkembangan

kesehatannya, sebelum pasien pulang penulis telah memberikan penkes

tentang tindakan untuk mengatasi nyeri secara non farmakologi

( aromaterapi lemon).
BAB V

EVALUASI

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn. Y

dengan Post Operasi Cholelithiasis maka dapat disimpulkan :

1. Pengkajian

Pengkajian yang di dapatkan pada Tn. Y adalah saat

melakukan pengkajian sesuai dengan teori yaitu ditemukan data

tentang nyeri meningkat pada daerah luka operasi jika bergerak, klien

sulit melakukan pergerakan serta aktivitas klien terganggu dan

beresiko infeksi.

Pada pemeriksaan keadaan sekarang pasien mengatakan sudah

membaik, pasien mengatakan nyeri sudah berkurang, klien sudah

bisa mobilitas dini, klien juga mengatakan sudah tidak takut lagi

untuk bergerak, klien mengatakan sudah bisa berjalan secara mandiri

ke toilet, tetapi klien mengatakan nyeri kadang masih muncul jika

terlalubanyakbergerak.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang ditemukan dengan kasus post Cholelithiasis pada Tn. Y

yaitu :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (luka insisi)

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri

3. Resiko Infeksi

3. Intervensi Keperawatan

Berdasarkan intervensi yang dilakukan setelah merumuskan

diagnosa keperawatan langkah berikutnya merumuskan rencana

keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan ditunjukkan untuk

integritas kulit membaik, meredakan nyeri dan meningkatkan mobilitas

fisik, klien dan keluarga mematuhi apa yang telah di rencanakan dan

melaksanakan anjuran rencana keperawatan dan pengobatan sesuai

dengan tujuan dan kriteria hasil dalam rencana keperawatan.

4. Implementasi Keperawatan

Melaksanakan tindakan yang telah direncanakan tidak sepenuhnya

penulis dapat melakukan sendiri, pemecahannya penulis bekerja sama

dengan perawat ruangan dan keluarga dalam melaksanakan tindakan

keperawatan ada beberapa tindakan kolaborasi sesuai dengan intervensi,

yaitu kolaborasi dengan perawat ruangan dan kolaborasi dengan

keluarga. Telah diperiksa keadaan klien pada saat mau pulang klien

mengatakan sudah membaik, klien mengatakan nyeri sudah berkurang

dan sudah jarang timbul, klien juga mengatakan sudah tidak takut lagi
untuk bergerak.

5. Evaluasi Keperawatan

Hasil evaluasi pada Tn. Y selama 3 hari perawatan, semua rencana

tindakan telah teratasi.

5.2 Saran

Penerapan proses keperawatan pada Post Cholelithiasis penulis ingin

memberikan saran-saran yang mungkin nantinya dapat berguna bagi klien

khususnya dan perawat pada umumnya, yaitu :

1. Klien

Bagi klien diharapkan dapat mengikuti dan bekerja sama dalam

proses keperawatan sehingga terapi dan pengobatan pada klien dapat

dilaksanakan dengan baik sehingga kesembuhan klien dapat tercapai dan

mampu menerapkan salah satu terapi non farmakologi dalam mengurangi

nyeri.

2. Institusi Pendidikan

Institusi pendidikan diharapkan pada fasilitas perpustakaan agar

dapat mempertahankan untuk menyediakan, melengkapi dan

memperbanyak buku-buku tentang keperawatan medikal bedah khususnya

Post Cholelithiasis sebagai landasan teori mahasiswa agar memperoleh

pengetahuan yang lebih luas tentang keperawatan pada klien dengan

berbagai macam penyakit


DAFTAR PUSTAKA

Arif, K., dkk. (2017). Pengaruh Pendidikan Kesehatan pre operasi terhadap tingkat kecemasan pada
pasien pre operasi di RSUD Kudus, 6(2), 139– 148.
A. Nurarif, H. K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda
NIc-NOC. (3, Ed.). Jogjakarta: Mediaction publishing.
Brunner & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2. Jakarta EGC.
Chang, Y. R., dkk. (2013). Changes in demographic features of gallstone disease: 30 years of
surgically treated patients. Gut and Liver.
Doenges, M. E,. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Farista&Sandi. (2015). Karya Tulis Imiah Asuhan Keperawatan Post Operasi dengan Nyeri. Surakarta
Febyan., dkk. (2017). Karakteristik Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Resiko di Rumah Saki
Umum Daerah Koja. J.Kedokt Meditek, 23(63), 50- 56.
Gagola, P., dkk. (2015). Gambaran ultrasonografi batu empedu pada pria & wanita. Manado : Jurnal
e-Clinic (eCl). Vol. 3, No. 1: 428- 429.Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Pencernaan.
Harahap, E. E. (2019). Melaksanakan Evaluasi Asuhan Keperawatan Untuk Melengkapi Proses
Keperawatan.
Heuman, D. (2017). Gallstones (Cholelithiasis): Practice Essentials, Background, Pathophysiology.
Inayah, I.(2004). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan. Jakarta:
Salema Medika.
Khoiriyah (2020) Penurunan Skala Nyeri Akut Post Laparatomi Menggunakan Aromaterapi Lemon,
jurnal UNIMUS.
Lampignano, J.P. dan Kendrick,L.E. (2017). Bontrager’s Radiographic Positioningand Related
Anatomy. Ninth. StLouis: Elsevier.
Muttaqin, Arif & Kumala Sari. (2013). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Ndraha, S., dkk. (2014). Profil Kolelitiasis Pada Hail Ultrasonografi. Jakarta: J. Kedokteran
Meditok. Vol. 20, No. 53: 8-10.
Nuari, N. (2015). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta
Timur: CV.Trans Info Medika.
Pearce, E. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Buku Gramedia.
Potter, & Perry, A. G. 2015. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik,
edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik (1st
ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan
(1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan
(1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Rekam Medik RSUD Curup. (2022). Cholelithiasis di Ruang Rawat Inap Anggrek RSUD Curup:
Rekam Medik RSUD Curup
Riskesdas. (2018). Riset Kesehatan Dasar: Riskesdas 2018. Jakarta: Badan dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Soleh, S. (2013). Buku Panduan Lengkap Penyakit Dalam. Jogjakarta: DIVA Press.
Sunarsih, R. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia II. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Stinton, L., dkk. (2012). Epidemiology of Gallbladder Disease: Cholelithiasis and Cancer. Gut and
Liver, 6(2), 172–187.
Tuuk, Andreyne., Panelewen, J., & Noersasongko, A. (2016). Profil Kasus Batu Empedu. Jurnal e-
Clinic (eCl), Vol. 4, No. 2.
Uswatun, H. (2015). Mengenal Penyakit Batu Empedu. Bandung: Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera
Vol. 13, No.26: 28-30.
Yeni, B., & Ukur, S. (2019). Latar Belakang Tujuan Metode Hasil Pembahasan.
1–5.
Wibowo, S., dkk. (2010). Saluran empedu dan hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke 3.
Jakarta: EGC.
1112rtf
1112rtf

Anda mungkin juga menyukai