S
DENGAN DIAGNOSA MEDIS KOLELITIASIS
DENGAN INTERVENSI TEKNIK RELAKSASI NAPAS DALAM
DI BANGSAL MELATI 3
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN
Disusun untuk memenuhi tugas Praktik Keperawatan Medikal Bedah
Disusun oleh
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN
Hari :
Tanggal :
Jam :
Tempat :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan bahwa
terdapat 400 juta penduduk di dunia mengalami Cholelithiasis dan mencapai 700
juta penduduk pada tahun 2016. Cholelithiasis atau batu empedu terbentuk akibat
ketidak seimbangan kandungan kimia dalam cairan empedu yang menyebabkan
pengendapan satu atau lebih komponen empedu. Cholelithiasis merupakan masalah
kesehatan umum dan sering terjadi di seluruh dunia, walaupun memiliki prevalensi
yang berbeda beda di setiap daerah (Arif Kurniawan , Yunie Armiyati, 2017).
Gaya hidup adalah pola hidup setiap orang diseluruh dunia yang di
ekspresikan dalam bentuk aktivitas, minat, dan opininya. Secara umum gaya hidup
dapat diartikan sabagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan cara bagaimana
seseorang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting bagi orang untuk
menjadikan pertimbangan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang selalu
pikirkan tentang dirinya sendiri dan dunia disekitarnya (opini), serta faktor-faktor
tertentu yang mempengaruhi gaya hidup sehat diantaranya adalah makanan dan
olahraga. Gaya hidup dapat disimpulkan sebagai pola hidup setiap orang yang
dinyatakan dalam kegiatan, minat, dan pendapatnya dalam membelanjakan
uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktunya untuk kehidupan sehari-
harinya.
Saat ini dengan semakin meningkatnya tuntutan pekerjaan dan kebutuhan
hidup setiap orang, membuat masyarakat Indonesia melakukan gaya hidup yang
tidak sehat. Mereka banyak mengkonsumsi makanan yang cepat saji (yang tinggi
kalori dan tinggi lemak), waktu untuk melakukan latihan fisik yang sangat terbatas,
serta kemajuan teknologi yang membuat gaya hidup masyarakat yang santai karena
dapat melakukan pekerjaan dengan lebih mudah sehingga kurang aktifitas fisik dan
adanya stress akibat dari pekerjaan serta permasalaahan hidup yang mereka alami
menjadi permasalahan yang sulit mereka hindari. Semua kondisi tersebut dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit cholelitiasis dan jumlah penderita
cholelitiasis meningkat karena perubahan gaya hidup, seperti misalnya banyaknya
makanan cepat saji yang dapat menyebabkan kegemukan dan kegemukan
merupakan faktor terjadinya batu empedu karena ketika makan, kandung empedu
akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan empedu ke di dalam usus halus dan
cairan empedu tersebut berguna untuk menyerap lemak dan beberapa vitamin
diantaranya vitamin A, D, E, K (Tjokropawiro, 2015).
Berdasarkan beberapa banyaknya faktor yang dapat memicu atau
menyebabkan terjadinya cholelitiasis adalah gaya hidup masyarakat yang semakin
meningkat terutama masyarakat dengan ekonomi menengah keatas lebih suka
mengkonsumsi makanan cepat saji dengan tinggi kolesterol sehingga kolesterol
darah berlebihan dan mengendap dalam kandung empedu dan menjadi kantung
empedu dan dengan kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang akibat dari
salah konsumsi makanan sangat berbahaya untuk kesehatan mereka (Haryono,
2013).
Banyaknya faktor yang mempengaruhi terjadinya cholelitiasis adalah faktor
keluarga, tingginya kadar estrogen, insulin, dan kolesterol, penggunaan pil KB,
infeksi, obesitas, gangguan pencernaan, penyakit arteri koroner, kehamilan,
tingginya kandung lemak dan rendah serat, merokok, peminum alkohol, penurunan
berat badan dalam waktu yang singkat, dan kurang olahraga (Djumhana, 2017).
Cholelitiasis saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat karena
frekuensi kejadiannya tinggi yang menyebabkan beban finansial maupun beban
sosial bagi masyarakat. Sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di
negara barat, Angka kejadian lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat
dengan bertambahnya usia. Cholelitiasis sangat banyak ditemukan pada populasi
umum dan laporan menunjukkan bahwa dari 11.840 yang dilakukan otopsi
ditemukan 13,1% adalah pria dan 33,7% adalah wanita yang menderita batu
empedu (Cahyono, 2015).
Cholelitiasis merupakan endapan satu atau lebih komponen diantaranya
empedu kolesterol, billirubin, garam, empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan
fosfolipid. Batu empedu biasanya terbentuk dalam kantung empedu terdiri dari
unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu, batu empedu memiliki ukuran,
bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. Batu empedu yang tidak lazim
dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda tetapi insidenya semakin sering pada
individu yang memiliki usia lebih diatas 40 tahun. setelah itu insiden cholelitiasis
atau batu empedu semakin meningkat hingga sampai pada suatu tingkat yang
diperkirakan bahwa pada usia 75 tahun satu dari 3 orang akan memiliki penyakit
batu empedu, etiologi secara pastinya belum diketahuiakan tetapi ada faktor
predisposisi yang penting diantaranya gangguan metabolisme, yang menyebabkan
terjadinya perubahan komposisi empedu, adanya statis empedu, dan infeksi atau
radang pada empedu.
Tatalaksana kolelitiasis dapat dibagi menjadi dua, yaitu bedah dan non
bedah. Terapi non bedah dapat berupa lisis batu yaitu disolusi batu dengan sediaan
garam empedu kolelitolitik, ESWL (exstracorporeal shock wave lithitripsy) dan
pengeluaran secara endoskopi, sedangkan terapi bedah dapat berupa laparoskopi
kolesistektomi, dan open kolesistektomi.
Perawat yang berhubungan langsung dengan klien kolelitiasis harus
melaksanakan perannya secara profesional, melakukan teknik relaksasi adalah
tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri, tindakan reklaksasi
mencakup teknik relaksasi nafas dalam, distraksi, dan stimulasi kulit. Selain itu
perawat juga berperan dalam memberikan terapi medis berupa cairan intravena,
antibiotik, dan analgetik. Solusi masalah pada pasien dengan Kolelitiasis adalah
perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat memberikan informasi tentang
bagaimana tanda gejala, cara pencegahan, cara pengobatan dan penanganan pasien
dengan Kolelitiasis sehingga keluarga juga dapat beperan aktif dalam pemeliharaan
kesehatan baik individu itu sendiri maupun orang lain disekitarnya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan diagnosa medis
kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam di bangsal Melati 3 Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan asuhan keperawatan ini meliputi:
1. Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada Ny. S dengan diagnosa medis
kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam di bangsal Melati 3
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
2. Tujuan Khusus
a. Memaparkan hasil pengkajian pada pasien dengan diagnosa medis
kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
b. Memaparkan hasil diagnosa pada pasien dengan diagnosa medis
kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
c. Memaparkan hasil intervensi keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
d. Memaparkan hasil implementasi keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
e. Memaparkan hasil evaluasi keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis kolelitiasis intervensi teknik relaksasi napas dalam
BAB II
TINJAUAN TEORI
B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko
yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.
Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh
terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk
pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi
yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla
spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral
(TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan
pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung).
Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu, serta
meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker
prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat
hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier
dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog
somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan
mengurangi pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat
dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi
kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik
fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat
presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen
pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan
konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang
benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara
tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala
gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada
saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak
berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu
sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu
empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti
rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas
abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa
nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam
waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali
serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan
intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak
mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri
bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh
batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh
dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian
kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran
kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat
pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin
dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan
diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran
mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal
yang mencolok pada kulit.
4. Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang
larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan
perforasi disertai peritonitis generalisata.
D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea lain
dari sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung
empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher
cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika
empedu tidak bias mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal
dari batu empedu menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis)
Faktor yang mendukung :
1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu
2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung
empedu
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST
(SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila
obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.
Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi
untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping
itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur
ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra
sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian,
manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian
distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada
sejumlah kasus BSE.
5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk
mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan
isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu
yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu,
bayangannya akan Nampak pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal
pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas
2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena
pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan
dibandingkan ultrasonografi.
2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus
biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini,
yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini
mencakup kolesistektomi segera dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam
masa perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan
setelah 24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis,
maka kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain
mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang
ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk
meneruskan bentuk penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis
akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara
toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi
mengurangi perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik.
Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus
biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik.
Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan
merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan dengan modalitas
baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan
operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system
bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta
getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk
drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter
itu dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah
empedu disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga
peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk
menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah
kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai
setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang
mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus
menjalani tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini
mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-
pasien gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah
jarum yang halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam
kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu
diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan
kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut
untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu
dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan
kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah
kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema
mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung
empedu biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi
dilakukan bersama-sama kolesistektomi.
H. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap
makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat
menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-
alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang
dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi
perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya
fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada
bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh
efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat
menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu
yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu
dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu
menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan.
Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi
supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau
kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi
semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah
bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian
vesica biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam
cavitas peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan
terjadinya perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan
pembentukan abses local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan
fistula saluran empedu.
c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok
parah. Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon
transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena
tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya
terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
SLKI SIKI
Keperawatan
Nyeri akut Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Identifikasi lokasi,
selama …x24 jam diharapkan nyeri pada karakteristik, durasi,
pasien dapat berkurang dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas
hasil: nyeri
1. Melaporkan nyeri terkontrol 2) Identifikasi skala nyeri
2. Kemampuan mengenali onset 3) Identifikasi respon nyeri non
nyeri meningkat verbal
3. Kemampuan mengenali penyebab 4) Identifikasi factor yang
nyeri meningkat memperberat dan
4. Kemampuan menggunakan memperingan nyeri
Teknik non-farmakologis 5) Identifikasi pengetahuan dan
meningkat keyakinan tentang nyeri
5. Dukungan orang terdekat 6) Identifikasi pengaruh nyeri
meningkat pada kualitas hidup
6. Keluhan nyeri menurun 7) Monitor keberhasilan terapi
7. Penggunaan analgesic menirun komplementer yang sudah
diberikan
8) Monitor efek samping
penggunaan analgesic
9) Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
10) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
11) Fasilitasi istirahat dan tidur
12) Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
13) Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
14) Jelaskan strategi meredakan
nyeri
15) Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
16) Anjurkan menggunakan
analgesic yang secara tepat
17) Ajarkan Teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
18) Kolaborasi pemberian
analgesic, jika perlu
Risiko Infeksi Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Monitor tanda dan gejala
selama …x24 jam diharapakan tidak infeksi local dan sistemik
terjadi infeksi dengan kriteria hasil: 2) Batasi jumlah pengunjung
1. Kebersihan tangan meningkat 3) Berikan perawatan kulit pada
2. Kebersihan badan meningkat area edema
3. Nafsu makan meningkat 4) Cuci tangan sebelum dan
4. Demam menurun sesudah kontak dengan
5. Tidak terjadi kemerahan pasien dan lingkungan pasien
6. Tidak timbul rasa nyeri 5) Pertahankan Teknik aseptic
7. Tidak timbul bengkak pada pasien berisiko tinggi
8. Tidak ada cairan berbau busuk 6) Jelaskan tanda dan gejala
9. Tidak terjadi sputum berwarna infeksi
hijau 7) Ajarkan cara mencuci tangan
10. Drainase purulent menurun dengan benar
11. Pyuria menurun 8) Ajarkan etika batuk
12. Periode mailase menurun 9) Ajarkan cara memeriksa
13. Periode menggigil menurun kondisi luka atau luka oprasi
14. Letargi menurun 10) Anjurkan meningkatkan
15. Gangguan kognitif menurun asupan nutrisi
16. Kadar sel darah putih membaik 11) Anjurkan meningkatkan
17. Kultur darah membaik asupan cairan
18. Kultur urine membaik 12) Kolaborasi pemberian
19. Kultur sputum membaik imunisasi, jika perlu
20. Kultur area luka membaik
21. Kultur feses membaik
22. Kadar sel darah putih membaik
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Pasien
1) Nama Pasien : Ny. S
2) Tempat Tgl Lahir : Klaten, 01-07-1961
3) Umur : 61 tahun, 1 bulan, - hari
4) Jenis Kelamin : Perempuan
5) Agama : Islam
6) Pendidikan : SD
7) Pekerjaan : Wiraswasta
8) Suku / Bangsa : Jawa
9) Alamat : Jarakan RT 15/04 Bandungan Jatinom Klaten
10) Diagnosa Medis : Colelitiasis
11) No. RM : 21.0X.XX.
12) Tanggal Masuk RS : 15 Juli 2022
b. Penanggung Jawab / Keluarga
1) Nama : Ny. I
2) Umur : 37 Tahun
3) Pendidikan : SD
4) Pekerjaan : IRT
13) Alamat : Jarakan RT 15/04 Bandungan Jatinom
Klaten
5) Hubungan dengan pasien : Anak
6) Status perkawinan : Menikah
2. Riwayat Kesehatan
a. Kesehatan Pasien
1) Keluhan Utama saat Pengkajian
Klien mengeluh merasa nyeri dibagian bawah abdomen
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
a) Alasan masuk RS :
Klien masuk rumah sakit karena merasa nyeri dibagian bawah abdomen
dan BAK kurang lebih 20 kali perhari berwarna pink kemerahan
b) Riwayat Kesehatan Pasien ;
Klien mengatakan sebelum masuk RS sudah 20 kali BAK dalam sehari
dengan warna urine pink kemerahan disertai nyeri yang seperti panas
terbakar, menetap, hilang timbul, dibagian bawah abdomen sejak 1
bulan lalu. Kemudian tanggal 15 Agustus 2022 klien dibawa ke RSUP
Dr. Soeradji Tirtonegoro dan di tempatkan di ruang Melati 3.
45
4
Keterangan :
Laki-laki Tinggal serumah Pasien
Perempuan
Meninggal Pisah
2) Eliminasi
Sebelum sakit : klien mengatakan BAK sebelum sakit sebanyak 3-4 kali
sehari serta BAB sebanyak satu kali setiap pagi
Selama sakit : Klien mengatakan BAK 20 kali/hari disertai nyeri seperti
panas terbakar, urine tampak berwarna pink kemerahan. Selama di RS
klien mengatakan BAB 1 kali/2 hari
3) Aktivitas /latihan
a) Keadaan aktivitas sehari – hari
Sebelum sakit : Pasien mengatakan sebelum sakit, klien melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri
Selama sakit : pasien mengatakan hanya tiduran saja karena terkadang
sakit kepala
b) Keadaan pernafasan
Sebelum sakit : Klien mengatakan tidak ada keluhan
Selama sakit : Bentuk dada normal, vesikuler, tidak ada suara napas
tambahan, tidak ada keluhan sesak nafas dibuktikan dengan frekuensi
napas 18x/menit.
c) Keadaan Kardiovaskuler
Sebelum sakit : Klien mengatakan tidak ada keluhan yang dirasakan
Selama sakit : Klien mengatakan tidak ada nyeri dada, tidak memiliki
riwayat penyakit jantung, namun memiliki riwayat hipertensi, tekanan
darah 132/74 mmHg dan nadi 63x/menit
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
1) Kesadaran :Compos mentis
2) Status Gizi :TB = 160 cm
BB = 65 Kg
(Gizi baik/Kurang/Lebih)
3) Tanda Vital : TD = 132/74 mmHg
Nadi = 63 x/mnt
Suhu = 38.0 °C
RR = 18 x/mnt
4) Skala Nyeri (Visual analog) – usia > 8 tahun
P : Nyeri karena batu empedu
Q : Seperti panas terbakar
R : bagian abdomen
S : Skala nyeri 5
T : Nyeri dirasakan hilang timbul, durasi sekitar 2 menit, menetap
Klien tampak meringis
*)Lingkari atau bold pada skor yang sesuai tanda yang muncul
Pre Op Post Op
Parameter Kriteria Score
Tgl : 15 Tgl : 18 Juli
Agustus 2022 2022
3 – 7 tahun 3
8 – 13 tahun 2
> 13 tahun 1 1 1
Perempuan 1 1
Perubahan oksigenasi 3
Kelainan psikis / 2
perilaku
Diagnosa lain 1 1 1
Lupa adanya 2
keterbatasan
Orientasi baik 1 1 1
terhadap diri sendiri
Pengobatan lain 1 1 1
Jumlah 10 11
5. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal Jenis Pemeriksaan Hasil (satuan) Nilai Rujukan
Pemeriksaan
6. Terapi
Tabel Pemberian Terapi Ny.S di Ruang Melati 3 RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten
DS : Proses Hipertermi
penyakit
- Klien mengatakan demam panss dingin (SDKI 2018,
(SDKI 2018, D.0130, Hal.
DO :
D.0130, Hal. 284)
- Kulit klien terasa hangat
284)
- TD = 132/74 mmHg
- N = 63 x/mnt
- S= 38.0 °C
- RR = 18 x/mnt
DS: Hambatan Gangguan Pola
lingkungan Tidur
- Klien mengatakan tidak bisa tidur karena
panas dan tidak ada guling yang dipeluk (SDKI 2018, (SDKI 2018,
- Klien mengeluh sakit kepala karena D.0055, D.0055,
terjaga sepanjang hari dan belum bisa
tidur. Halaman 126) Halaman 126)
DO:
- TD = 132/74 mmHg
- N = 63 x/mnt
- S = 38.0 °C
- RR = 18 x/mnt
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (SDKI 2018, D.0077, Halaman 172)
2. Hipertermi b.d Proses penyakit (SDKI 2018, D.0130, Halaman 284)
3. Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan (SDKI 2018, D.0055, Halaman 126)
B. PERENCANAAN KEPERAWATAN
- Berkolaborasi
pemberian
cairan dan
elektrolit
intravena,
jika perlu
Rabu / 17 Gangguan 10.15 Dukungan Tidur S:
Agustus pola tidur WIB Observasi
2022 / b.d Mengidentifikasi - Klien mengatakan tadi
Pagi hambatan pola aktivitas malam masih sulit merasa
lingkunga dan tidur tidur dan hanya tidur 2-3
n jam
Mengidentifikasi
- Klien mengatakan sulit
faktor tidur semalam karena
pengganggu tidak memeluk guling
tidur (fisik
dan/atau O:
psikologis) - Klien tampak mencari
posisi senyaman
Terapeutik mungkin
Memodifikasi A : Gangguan pola tidur
lingkungan belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
Melakukan
prosedur untuk Observasi
meningkatkan Identifikasi pola aktivitas
kenyamanan dan tidur
(pengaturan
posisi) Identifikasi faktor
pengganggu tidur (fisik
dan/atau psikologis)
Terapeutik
Modifikasi lingkungan
Lakukan prosedur untuk
meningkatkan
kenyamanan (pengaturan
posisi)
Kamis / 18 Nyeri akut 09.10 Manajemen Nyeri S:
Agustus b.d agen WIB
2022 / pencedera Observasi - Klien mengatakan masih
Pagi fisiologis merasa nyeri seperti panas
- Mengidentifikasi
terbakar, hilang timbul
lokasi,
dan menetap, skala nyeri 2
karakteristik,
durasi, - Klien mengatakan nyeri
frekuensi, berkurang setelah
kualitas, diberikan obat antinyeri
intensitas nyeri O:
- Mengidentifikasi - Klien tidak tampak
skala nyeri meringis
Kolaborasi - TD=141/85 mmHg; N
=76x/mnt ; S=36.6 ; P
- Berkolaborasi =20x/mnt
pemberian
analgetik, jika A : Nyeri akut teratasi
perlu P : Intervensi dihentikan
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hasil kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn.E
dengan gangguan kebutuhan rasa nyaman nyeri dengan diagnosa medis striktur
uretra intervensi teknik relaksasi napas dalam di bangsal Cendana 1 Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta, maka dalam bab ini penulis akan
membahas kesenjangan antara teori dan kenyataan yang diperoleh sebagai hasil
pelaksanaan studi kasus. Penulis juga akan membahas kesulitan yang ditemukan
dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap Tn.E dengan gangguan
kebutuhan rasa nyaman nyeri dengan diagnosa medis striktur uretra intervensi
teknik relaksasi napas dalam, penyusunan asuhan keperawatan kami
merencanakan keperawatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi dengan uraian sebagai berikut:
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan menurut SDKI adalah suatu penilaian klinis
mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan
yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial.
Diagnosa keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien
individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan. (SDKI, 2018)
B. IMPLEMENTASI
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (SDKI 2018, D.0077,
Halaman 172)
DAFTAR PUSTAKA
Tahun 2022
Tanggal 20-07-2022
Subjek Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah semua klien post bedah mayor di
Rumah Sakit X Purwakarta sebanyak 90 orang, Teknik pengambilan
sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive random
sample dengan jumlah 73 responden.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian
quasi eksperimen dengan rancangan penelitian one group pre test post
test
Hasil Penelitian Hasil penelitian sebelum dilakukan teknik relaksasi napas dalam
sebanyak 63,2% berada pada skala nyeri 3 (menderita). Sesudah
dilakukan teknik relaksasi napas dalam diperoleh, 65,80% mengeluh
tidak nyaman (skala nyeri 2) . Setelah dilakukan uji t-test dengan nilai
p value< t tabel oleh karena itulah maka dapat disimpulkan bahwa
ada perbedaan penurunan skala nyeri secara signifikan antara sebelum
dan sesudah dilakukan teknik relaksasi napas dalam pada klien post
bedah
Kelebihan Penelitian Teknik relaksasi napas dalam merupakan salah satu keadaan yang
mampu merangsang tubuh untuk mengeluarkan opoid endogen
sehingga terbentuk sistem penekan nyeri yang akhirnya akan
menyebabkan penurunan skala nyeri. Hal inilah yang menyebabkan
adanya perbedaan penurunan skala nyeri sebelum dan sesudah
dilakukan teknik relaksasi nafas dalam, dimana setelah dilakukan
teknik relaksasi nafas dalam terjadi penurunan skala nyeri.
Implementasi Hasil Teknik relaksasi napas dalam yang terdapat dalam penelitian ini
Penelitian Artikel ketika di implementasikan dalam pemberian asuhan keperawatan
Jurnal Dalam Ny.S terbukti efektif dalam menurunkan dan mengontrol nyeri.
Pemberian Asuhan
Keperawatan Tn. E