Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH TUTORIAL FARMAKOTERAPI SISTEM

PERNAPASAN DAN PENCERNAAN

PENYAKIT PERNAPASAN OBSTRUKTIF KRONIS

Disusun oleh :
Kelompok B1
Yukko Arinta

(135070501111030)

Danintya Fairuz Trianggani

(135070501111031)

Akbar Rozaaq Mugni

(135070501111032)

Nabila Nadyaning Resti

(135070501111033)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang


dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang
signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap
individual. Berdasar National Health Interview Survey terdapat 2,5 juta penderita
emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30%
lebih memerlukan rawat inap di rumah sakit. Dan berdasarkan temuan The
Tecumseh Community Health Study, PPOK menyumbang 3% dari seluruh
kematian dan merupakan urutan kelima penyebab kematian di Amerika. Pada
tahun 1992, Thoracic Society of the Republic of China (ROC) menemukan 16%
penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994 menemukan kasus
kematian 16,6% per 100.000 populasi, serta menduduki peringkat ke-6 kematian
di Taiwan.3

1.2.

Tujuan
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk memberikan gambaran secara

singkat mengenai Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) meliputi definisi, faktor
resiko, patogenesis, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan terhadap Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK).
1.3.

Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di

saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik ialah
kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam
setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema ialah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.4,5,6

1.4.

Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi dan faktor resiko terjadinya PPOK adalah merokok, hiperresponsif

saluran napas, infeksi saluran napas pada masa kanak-kanak, pekerjaan, polusi udara di
dalam dan di luar rumah, perokok pasif dan faktor genetik yaitu defisiensi enzim 1antitripsin (1AT).2,5

Merokok
Beberapa studi longitudinal memperlihatkan adanya hubungan dosis respon
antara percepatan penurunan FEV1 (Forced expiration volume 1 second) dengan
intensitas merokok (pak per tahun) dan prevalens PPOK pada subyek perokok lebih
tinggi dengan bertambahnya usia. Tingginya prevalens PPOK pada pria mungkin dapat
dijelaskan karena tingginya angka perokok pria. Walaupun demikian ada variabilitas
untuk timbulnya PPOK pada perokok (hanya 15% yang berhubungan dengan berapa pak
rokok per tahun). Faktor genetik dan lingkungan berperan dalam pengaruh rokok
terhadap berkembangnya obstruksi saluran napas.
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan : riwayat merokok : perokok aktif, perokok pasif dan bekas perokok. Derajat
berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah rata-rata batang
rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : Ringan : (0-200), Sedang :
(200-600), Berat: >600. 4

Hiperresponsif saluran napas


Banyak pasien PPOK memperlihatkan hiperresponsif saluran napas. Beberapa
studi longitudinal yang membandingkan respon saluran napas pada awal studi dengan
penurunan fungsi paru memperlihatkan bahwa ada hubungan signifikan antara
peningkatan respon saluran napas dengan fungsi paru, sehingga hiperresponsif saluran
napas adalah faktor risiko PPOK. 10,11

Pekerjaan

Beberapa jenis pekerjaan dengan paparan spesifik seperti tambang batubara,


tambang emas, debu tekstil kapas adalah faktor risiko terjadinya PPOK.10,11

Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan adanya peningkatan gejala saluran napas pada
mereka yang tinggal di kota dibandingkan dengan yang tinggal di desa yang mungkin
berhubungan dengan peningkatan polusi di perkotaan. Tetapi hubungan polusi udara
dengan obstruksi saluran napas kronik belum jelas. Di negara berkembang tingginya
angka PPOK pada wanita yang tidak merokok diduga berhubungan dengan polusi udara
dalam ruangan, khususnya berhubungan dengan memasak di dapur.10,11

Perokok pasif
Paparan rokok intra uterin secara signifikan menurunkan fungsi paru setelah lahir
dan paparan rokok terhadap anak-anak mengurangi pertumbuhan paru. Bahkan perokok
pasif berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Berapa besar pengaruh faktor risiko ini
terhadap beratnya penurunan fungsi paru pada PPOK masih belum jelas.11,12

Faktor genetik
Defisiensi berat enzim 1 antitripsin (1AT) adalah faktor risiko genetik untuk
terjadinya PPOK disamping adanya determinan genetik yang lain. Varian lokus protease
inhibitor (Pi) yang mengkode 1AT sudah diketahui. M alel berhubungan dengan kadar
1AT normal. S alel berhubungan dengan penurunan ringan kadar 1AT. Z alel
berhubungan dengan penurunan bermakna kadar 1AT (muncul pada lebih 1% penduduk
Kaukasia). Jumlah pasien PPOK dengan defisiensi berat 1AT turunan hanya 1-2%,
tetapi mereka memperlihatkan bahwa faktor genetik berpengaruh besar terhadap
kemungkinan berkembangnya PPOK.10,11

BAB II
PATOGENESIS

Faktor resiko utama dari PPOK ini adalah merokok. Komponenkomponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar
dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen.
Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan.
Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi
yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan. Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang
terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas
saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara
kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps.6,7

Gambar 1. Patogenesis4

Asap rokok dan polusi


udara
Gangguan pembersihan
paru
Radang bronkus dan
bronkiolus

Predisposisi
genetik (defisiensi
alfa 1 anti
protease)
Hilangnya septum dan
jaringan ikat
penunjang

Obstruksi jalan napas akibat


radang
Hipoventilasi
alveolar
Bronkiolitis
kronik

Lemahnya dinding
bronchial dan kerusaan
alveolar
Saluran nafas kecil
kolaps saat ekspirasi

Empisema sentrilobular
Empisema panlobular
Gambar 2. Patofisiologi PPOK6,7

2.1.

PATOLOGI6,7,10,13
Pada kelainan patologi PPOK terdapat bronkitis kronis dan emfisema Pada

bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel


goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.

Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,


disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema
:
a) Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama.
b) Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara
merata dan terbanyak pada paru bagian bawah.
c) Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat
pleura.
Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK,
yakni: peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag
(lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+
(dinding saluran nafas dan parenkim). Obstruksi saluran napas pada PPOK
bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas
kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan napas.6,7,11

2.2.

KLASIFIKASI 5,15,17,20
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD, dibagi atas 4 derajat :


1. Derajat I : PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan
aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,
orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II : PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50%
< VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam
tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas
yang dialaminya.

3. Derajat III : PPOK berat


Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas
yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang
berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal
nafas kronik dan gagal jantung kanan.

BAB III
TERAPI PPOK

3.1 Terapi

4,5,17,20,

Tujuan terapi :

Mengurangi gejala dan mencegah eksaserbasi berulang.


Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru serta meningkatkan
kualitas hidup penderita.
Terapi secara umum PPOK meliputi :
Non Farmakologi :
1. Edukasi.
2. Nutrisi
3. Rehabilitasi
4. Terapi oksigen.
Farmakologi :
1. Obat - obatan.

3.1.1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan
asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan.

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal


3. Mencapai aktiviti optimal.
4. Meningkatkan kualitas hidup.

Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit PPOK :


Ringan
Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel.
Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain
berhenti merokok.
Segera berobat bila timbul gejala.
Sedang
Menggunakan obat dengan tepat, program latihan fisik dan pernafasan.
Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini.
Berat
Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi.
Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan.
Penggunaan oksigen di rumah.

3.1.2 Obat obatan 4,5,17,20


3.1.2.1

Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ).

Macam - macam bronkodilator :

Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari).
Contohnya ipratropium bromid, oksitroprium bromid.

Golongan agonis beta 2


Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk
injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Contohnya fenopterol,
salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol.

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2


Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi
sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Contohnya teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2 dan steroid belum memuaskan.

3.1.2.2. Anti inflamasi


Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon

atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.

Steroid
Contoh prednisol, prednisolon, deksametason

3.1.2.3. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

Lini I : Amoksisilin & Makrolaid


Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat, Sefalosporin, Kuinolon, Makrolid
baru.
Perawatan di Rumah Sakit :

Amoksilin dan klavulanat.

Sefalosporin generasi II & III per injeksi.

Kuinolon per oral.

Anti pseudomonas :

Aminoglikose per injeksi.

Kuinolon per injeksi.

Sefalosporin generasi IV per injeksi.

3.1.2.4. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan Nasetil-sistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

3.1.2.5. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.

3.1.2.6. Antitusif
Digunakan untuk batuk tidak berdahak
a. opioid, menekan reflek batuk secara langsung pada pusat batuk di medula (CNS)

contoh : codein, hidrocodon


b. non opioid, menghambat reflek batuk , mematikan pregeangan resptor pada

saluran nafas dan menghambat stimulasi reflek batuk. Contoh dekstrometorphan,


Noskapin
3.1.2.7 Ekspektoran
Mengeluarkan dahak dengan menurunkan viskositas :
a. Stimulasi refleks : mengeluarkan dahak akibat respon iritasi. Contoh : gliseril
guaiacolat, ipekak, guaifenesin
b. Stimulasi langsung : kelenjar sekret distimulasi secara langsung untuk
meningkatkan produksi cairan saluran pernapasan. Contoh : iodinated glycerol
dan potassium iodide
Tabel. Formula dan Dosis pengobatan PPOK
Drug

Inhaler
(mcq)

Solution

Oral

for

Nebulizer
(mg/ml)

Vial for
Injection
(mg)

Duration
of Action
(hours)

Beta2 agonis
Short-Acting
Fenoterol

100-200
(MDI)

Levalbuterol

45-90 (MDI)

0.21, 0.42

Salbutamol (albuterol)

100, 200
(MDI&DPI)

0.05% (syrup)

4-6

6-8
5 mg (pill),
0.024%

0.1,0.5

4-6

(syrup)
Terbutalin

400, 500
(DPI)

2.5, 5 mg
(pill)

Long-Acting
Farmaterol

4.5-12
(MDI&DPI)

Alformaterol
Indacaterol

75-300 (DPI)

Tulobuterol

25-50
(MDI&DPI)

0.01

12

0.0075

12
24
2 mg
(trandermal)

12

Anticholinergics
Short-Acting
Ipratropium bromide

20, 40 (MDI)

Oxitropium bromide

100 (MDI)

0.25-0.5

6-8

1.5

7-9

Long-Acting
Aclidium bromide

322 (DPI)

12

Glycopyrinium
bromide

44 (DPI)

24

18 (DPI), 5
SMI)

24

Tiotropium

Combination Short-Acting Beta2 Agonist plus Anticholinergic in one inhaler


Fenoterol/Ipratropium
Salbutamol/Ipratropiu
m

200/80 (MDI)

1.25/0.5

75/15 (MDI)

0.75/0.5

6-8
12

6-8

240

Variabele, up
to 24

Methylxanthines
Aminophyline

200-600
mg(pill)

Theophyline (SR)

100-600 mg
(pill)

Inhaled Corticosteroids
Beclometasone

50-400 (MDI
&DPI)

0.2-0.4

Budesonide

100. 200. 400


(DPI)

0.20, 0.25. 0.5

Fluticasone

50-500 (MDI
& DPI)

Combination Long-Acting Beta 2 agonis plus Corticosteroids in one inhaler

Variabele, up
to 24

Formoterol/Budesonide

4.5/160(MDI)
9/320 (DPI)

Formaterol/Mometason

10/200,
10/400 (MDI)

Salmeterol/Fluticason

50/100,
250,500 (DPI)
25/50,125,250
(MDI)

Systemic Corticosteroids
Prednisone

5-60 mg (pill)

Methyl Prednisolone

4,8,16 mg
(pill)

Phosphodiesterase-4
inhibitors
Roflumilast

500 mcq (pill)

24

3.1.3. Terapi Oksigen


Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen :

Mengurangi sesak
Memperbaiki aktiviti
Mengurangi hipertensi pulmonal
Mengurangi vasokonstriks
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi terapi oksigen :

PaO2 < 60mmHg atau Saturasi O2 < 90%.


PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Saturasi O2 > 89% disertai Kor Pulmonal
perubahan P pulmonal, Hematokrit > 55% dan tanda - tanda gagal jantung
kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam - macam terapi oksigen :
Pemberian oksigen jangka panjang.

Pemberian oksigen pada waktu aktiviti.


Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak.
Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas.

Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus


dipantau secara ketat. Oleh karena, pada pasien PPOK terjadi hiperkapnia kronik
yang menyebabkan adaptasi kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam
keadaan normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang menyebabkan
pasien terus bernapas adalah rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah arteri
yang terus merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang
peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila PO2 lebih
dari 50 mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang.
Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak
dapat diberi terapi dengan oksigen tinggi.

3.1.4. Nutrisi 4,17,20


Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapnia menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan

menambah mortalitas PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru
dan perubahan analisis gas darah.

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :

Penurunan berat badan, kadar albumin darah.


Antropometri, pengukuran kekuatan otot (kekuatan otot pipi).
Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia).
3.1.5.

Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan

memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK.


Rehabilitasi paru merupakan intervensi yang komprehensif berdasarkan penilaian
pada pasien secara menyeluruh yang diikuti dengan pengobatan pasien,seperti olahraga,
pendidikan dan perubahan perilaku. Sehingga memperbaiki kondisi fisik dan emosional
pada penyakit pernapasan kronis serta kepatuhan periode jangka panjang. Fisioterapi
pernafasan sangat penting pada kasus ini ditandai dengan hipersekresi bronkial. Latihan
relaksasi, fleksibelitas dan latihan peregangan serta teknik pernafasan. Seperti latihan
meniup dan pernafasan diafragma. Sesi latihan olahraga dapat dilakukan selama 5-10
menit dan dianjurkan mempertahankan dan mencegah cedera. 22,23
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan
pernapasan.

Penatalaksanaan PPOK menurut goal standarnya didapatkan dari aspek :

Gejala klinis
Penilaian gejala klinis dapat menggunakan pertanyaan yang tertera pada

COPD Assesment Test (CAT), the Modified British Medical Reseach Council
(mMRC) scale.22
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa
terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3

bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang


pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu,
Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat
melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak
napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk
menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak
napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel
1). 17,20,21
Tabel I. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC) 17,20
Skala Sesak
1
2
3
4
5

Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas


Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat

Berjalan lebih lambat karena merasa sesak


Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit

Sesak bila mandi atau berpakaian

Derajat batasan aliran udara ( penggunaan spirometri )


Klasifikasi derajat batasan aliran udara pada PPOK
( Based on Post-Bronchodilator FEV1 )
Pada pasien FEV1 / FVC < 0,70
GOLD 1
GOLD 2
GOLD 3
GOLD 4

Mild
Moderate
Severe
Very Severe

FEV1 > 80% predicted


50 % < FEV1 < 80 % predicted
30% < FEV1 < 50% predicted
FEV1 < 30% predicted

Faktor resiko eksaserbasi


PPOK Eksaserbasi adalah kejadian akut pada PPOK dengan perburukan

dari gejala pernafasan pasien yang variasinya dari hari ke hari perlu untuk
mengganti pengobatannya. Prediksi paling baik untuk menentukan terjadinya
frekuensi eksaserbasi yakni terjadi 2 atau lebih terjadi keadaan akut dalam
setahun.

Penilaian komorbiditas
Faktor komorbiditas dapat berupa penyakit kardiovaskular, osteoporosis,

depresi dan kecemasan, disfungsi muskulosletal, sindrom metabolic dan kanker


paru serta penyakit lain yang sering terjadi pada pasien COPD. Komorbiditas
dapat meningkatkan mortalitas dan raw at inap pasien sehingga harus diobati
dengan tepat.

SYMPTOMS

Patient Characteristic
A

Low Risk
Less Symptoms
Low Risk
More Symptoms
High Risk
Less Symptoms
High Risk More
Symptoms

B
C
D

Spirometric Exacerbations mMRC


Classification
per year

CAT

GOLD 1-2

0-1

< 10

GOLD 1-2

10

GOLD 3-4

0-1

< 10

GOLD 3-4

10

Tabel 4. Terapi Farmakologi pada PPOK Stabil17,20


Patient
Group

Recommended First
Choice

Alternative Choice

Other Possible
Treatment

LA Anticholinergic or
LA beta2 Agonist or
SA beta2-agonist and
SA anticholinergic

Theophylline

SA anticholinergik pm or
SA beta2-Agonis

LA anticholinergic or
LA beta2-agonist

LA anticholinergic and
LA beta2-agonist

SA beta2-agonist and or
SA anticholinergic
Theophylline

ICS + LA beta2-agonist or
LA anticholinergic

ICS + LA beta2-agonist and


LA anticholinergic

Keterangan :
SA : short-acting
LA : long-acting
ICS : inhaled corticosteroid
PDE-4 : phosphodiesterase-4

LA anticholinergic and
LA beta2-agonist or
LA anticholinergic and
PDE-4 Inhibitor or
LA beta-agonist and
PDE-4 Inhibitor
ICS + LA beta2-agonist and
LA anticholinergic or
ICS + LA beta2-agonist and
PDE-4 Inhibitor or
LA anticholinergic and
LA beta2-agonist or
LA anticholinergic and
PDE-4 Inhibitor

SA beta2-agonist and or
SA anticholinergic
Theophylline

Carbocysteine
SA beta2-agonist and
SA anticholinergic
Theophyline

Prn : when necessary

PPOK eksaserbasi 5,17,18,20

3.3.

Untuk menilai beratnya eksaserbasi dapat dilakukan pemeriksaan analisa


gas darah yang ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dan PaCO2 > 50 mmHg yang
menyatakan suatu gagal nafas. Pemeriksaan Rontgen thorax dan EKG berguna
untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan

Laboratorium

seperti

sputum

yang

purulen

selama

eksaserbasi dapat mengindikasikan untuk pemberian antibiotik empiris.


Laboratorium lainnya dapat membantu mendeteksi gangguan elektrolit, diabetes
dan kekurangan nutrisi. Pemeriksaan spirometri tidak dianjurkan selama PPOK
eksaserbasi karena akan mengalami kesulitan pada pasien yang dalam kondisi
tidak stabil sehingga hasilnya tidak akurat.
Pemberian oksigen pada kasus eksaserbasi bertujuan untuk mencegah
terjadinya hipoxemia dengan target saturasi oksigen 88-92 %. Bronkodilator Short
Acting

inhalasi

beta2

agonist

dengan

Short

Acting

antikolinergic

direkomendasikan untuk penanganan PPOK eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik


membantu untuk pemulihan, memperbaiki fungsi paru (FEV1) dan hipoxemia
arteri (PaO2). Kortikosteroid juga dapat mengurangi resiko terjadinya relaps,
gagal pengobatan dan lama dirawat dirumah sakit. Dosis yang direkomendasikan
30-40 mg prednisolon perhari selama 10-14 hari.
Pemberian antibiotik seharusnya diberikan pada pasien yang memenuhi
tiga gejala yaitu sesak nafas semakin meningkat, volume sputum dan sputum yang
semakin purulen. Pada peningkatan sputum yang purulen dan disertai gejala yang
lain serta dalam keadaan menggunakan ventilasi mekanik.
Pasien yang karakteristik eksaserbasi akut seharusnya diindikasikan
untuk perawatan rumah sakit untuk medapatkan fasilitas yang memadai.
Keadaan yang mengindikasikan untuk dirawat di rumah sakit seperti :

Peningkatan dari berbagai gejala klinis

Eksaserbasi sedang dan berat

Penyakit komorbiditas yang serius

Usia lanjut

Kurangnya fasilitas perawatan dirumah

Infeksi saluran napas berat

Indikasi rawat ICU :

Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat.
Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi.
Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO 2
>50 mmHg memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif).
PPOK
(komorbiditas).

sering

diperberat

Prognosis

nya

keadaan
sangat

dengan

bergantung

penyakit
kepada

yang

lain

komorbidnya.

Komorbiditas seharusnya ditatalaksana dahulu jika pasien tidak memiliki PPOK.


Penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung iskemik, gagal
jantung, atrial fibrilasi dan hipertensi merupakan komorbiditas mayor pada PPOK
dan frekuensinya paling sering dan penting untuk diatasi apabila disertai dengan
PPOK.

BAB V
PENUTUP
5.1.

KESIMPULAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang dapat dicegah

dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang signifikan, yang dapat
mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individual.
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering
dijumpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi
utama dari protease serin.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (PPOK ringan), derajat 2
(PPOK sedang), derajat 3 (PPOK berat), derajat 4 (PPOK sangat berat).
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas,
batuk-batuk kronis, sputum yang produktif dan faktor resiko ada. Sedangkan
PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk menegakkan
PPOK adalah uji spirometri. Prognosa PPOK tergantung dari stage / derajat,
penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.

5.2.

SARAN
Dari paparan tinjauan pustaka tentang PPOK, telah diketahui bagaimana

manifestasi klinis dan penyebab dari PPOK, diharapkan kepada masyarakat agar
menghindari atau mencegah dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan PPOK.

DAFTAR PUSTAKA

1. Slamet H 2006. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.


Jakarta:. p. 1-18.
2. Riyanto, B.S & Hisyam, B. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Hal : 984 - 985.
3. Candly. Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi
Akut di RSUP H Adam Malik Medan. Medan : Universitas Sumatera Utara ; 2010
4. PDPI, 2006. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan PPOK di Indonesia. Jakarta:
Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Hal : 1-31.
5. GOLD. 2012. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. [citied 2012 October 24]. Available from :
http://www.goldcopd.org/Guidelines/guidelines-resources.html
6. Prince, S & Wilson, L. 2006. Patofisisologi, Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal : 784 - 791.
7. Sibernagl, S & Lang, F. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Hal : 76 79.
8. Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention
of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA,

p. 16-19 Didapat dari :

http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
9.

Alsagaff, H & Mukty, A. 2008. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press, Hal : 231 - 253.

10. FishmanS, A.P, et al. 2008. FishmanS Pulmonary Disease and Disorder, Volume 1
& 2, Edition 4th. New York : Mc Graw Hill, Pp : 707 - 727.
11. Kasper, D.L, et al. 2008. Chronic Obstructive Pulmonary Disease : Disorder of
Respiratory System. Harrisons Principles of Internal Medicine, Edition 17th. New
York : Mc Graw Hill, Pp : 1635 1643.
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik),
Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia ; 2003. Available
from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf [Accessed 23
March 2011]
13. Kumar, R ,et al. 2007. Buku Ajar Patologi, Volume 2, Edisi 7. Jakarta : EGC. Hal :
514 - 520.

14. Wedzicha JA, 2011. Bronchodilator therapy for COPD. New England Journal
Medicine. Diakses tgl 6 Agustus 2011.
15. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Barcelona: Medical Communications Resources ; 2009. Available from:
http://www.goldcopd.org [Accessed 23 march 2011].
16. Hanania NA, Marciniuk DD. A unified front against COPD: clinical practice
guidelines from the American College of Physicians, the American College of Chest
Physicians, the American Thoracic Society, and the European Respiratory
Society. Chest. 2011;140(3):565566.
17. Based on The Global Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of
COPD Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Diseases Update 2014
www.goldcopd.org
18. McIvor RA, et al. (2011). COPD, pencarian tanggal April 2010. Versi Online BMJ
Clinical Evidence: http: //www.clinical evidence.com.
19. Tsiligianni IG, van der Molen T, Moraitaki D, et al. Assessing health status in
COPD. A head-to-head comparison between the COPD Assessment Test (CAT) and
the clinical COPD questionnaire (CCQ). BMC Pulm Med. 2012;12:20.
20. Global

Strategy

for

the

Diagnosis,

Management

and

Prevention

of

COPD.http://www.goldcopd.org/other-resources-gold-teaching-slide-set.html.
Accessed August 20, 2013.
21. Vestbo J, Hurd SS, Agust AG, et al. Global strategy for the diagnosis, management,
and prevention of chronic obstructive pulmonary disease: GOLD executive
summary. Am J Respir Crit Care Med. 2013;187(4):347365
22. Spruit MA, Singh SJ, Garvey C, et al. An official american thoracic society/european
respiratory society statement: key concepts and advances in pulmonary
rehabilitation. Am J Respir Crit Care Med. 2013;188(8):e13e64
23. De Blasio F, Polverino M. Current best practice in pulmonary rehabilitation for
chronic obstructive pulmonary disease. Ther Adv Respir Dis.2012;6(4):22123

DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN

Inisial Pasien : Tn. D

Berat Badan : -

Ginjal : -

Umur

: 66 tahun

Keluhan Utama

Tinggi Badan : -

Hepar : -

Sesak sejak subuh, batuk berdahak, dan demam


Diagnosis

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) + Mitral Stenosis (MS) + Atrial Fibrillation
(AF)
Riwayat Penyakit

Penyakit Jantung Koroner + paru + post operation bypass ops (J) 1985
Riwayat Pengobatan :
1. Obat jantung
Concor (kandungan bisoprolol fumarate 2,5 mg) 0-1-0
Digoksin 1x1
Spironolakton 1-0-0
Sohobion (kandungan per tablet : vit. B1 100 mg, vit. B6 200 mg, vit. B12 200 mcg)
2. Obat paru
Aminofilin 1-0-0
Salbutamol 2x1
Gliseril guaiakolat 2x1
Spiriva (kandungan ipratropium) 1-0-0
Bricasma (terbutalin sulfat) 1-0-0
Pulmicort (kandungan budesonide) 1-0-0
Alergi : Kepatuhan
Merokok
Alkohol

Obat Tradisional
OTC
Lain-lain

CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN


Inisial Pasien : Tn. D
Tanggal
18/05/14

19/05/14

20/05/14
21/05/14
22/05/14

23/05/14

24/05/14

25/05/14
26/05/14
27/05/14

Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi


Pasien masuk UGD dengan keluhan sesak napas sejak subuh. Kondisi umum
pasien lemah, TD sebesar 167/92 mmHg, dan nadi 114 kali/menit. Pasien juga
mengalami batuk berdahak dan demam (suhu tubuh 38 oC). Hasil pemeriksaan
laboratorium terhadap leukosit sebesar 13,3 x 10 3/L suhu dan leukosit
mengindikasikan terjadinya infeksi.
Diagnosis masuk adalah SOB (Short of Breath), AF RVR (Atrial Fibrillation
Respiratory Ventricular Rapid), HF (Heart Failure), dan sekunder infeksi.
Tindakan klinisi memberikan masker O2 dan nebulizer Combivent untuk
mengatasi sesak.
Riwayat Penyakit : PJK (Penyakit Jantung Koroner), paru, post operation by pass
ops (J) 1985 dan kontrol rutin ke poli jantung (terakhir kontrol Tgl. 11 Mei 2014).
Pasien masih batuk berdahak. TD masih belum stabil yaitu 140/80 mmHg, suhu
tubuh sudah normal yaitu 36,4oC, sedangkan nadi masih belum stabil yaitu 104
kali/menit.
Pasien masih batuk berdahak. TD masih belum stabil yaitu 150/90 mmHg, suhu
tubuh normal yaitu 36,2oC, sedangkan nadi masih belum stabil yaitu 104 kali/menit.
Pasien masih batuk berdahak. TD sudah normal yaitu 120/90 mmHg, suhu tubuh
normal yaitu 37,4oC, sedangkan nadi masih belum stabil yaitu 108 kali/menit.
Pasien kembali mengeluh sesak dan masih batuk berdahak. TD normal yaitu 130/80
mmHg dan nadi juga sudah stabil yaitu 96 kali/menit. Dari hasil pemeriksaan
leukosit sudah normal yaitu 9,4 x 10 3/L dan suhu tubuh normal (36,8oC) infeksi
sudah mulai membaik.
Pasien sudah tidak mengeluh sesak juga tidak batuk berdahak. TD normal yaitu
130/80 mmHg, suhu tubuh normal yaitu 36,4oC, dan nadi juga sudah stabil yaitu 88
kali/menit.
Pasien sudah tidak mengeluh sesak juga tidak batuk berdahak. TD kembali
meningkat yaitu 140/90 mmHg, suhu tubuh normal yaitu 36,4 oC, dan nadi sudah
stabil yaitu 82 kali/menit.
Pasien kembali mengeluh sesak dan batuk berdahak. TD normal yaitu 130/80
mmHg, suhu tubuh normal yaitu 36,2oC, dan nadi sudah stabil yaitu 84 kali/menit.
Pasien sudah tidak sesak dan tapi masih batuk berdahak. TD normal yaitu 130/80
mmHg, suhu tubuh normal yaitu 36,4oC, dan nadi sudah stabil yaitu 88 kali/menit.
Pasien sudah tidak sesak dan tidak batuk berdahak. Pasien KRS dengan diagnosa
akhir adalah MS post op, AF Respiratory Ventricular Moderate, dan PPOK era akut.
Pemeriksaan fisik saat akan KRS antara lain TD = 167/92 mmHg, Rh = +/+,
Wh = +/+, dan ada edema.
Obat-obat untuk KRS :
Digoksin 1x1

Aspilets 0-1-0
Spironolakton 50 mg 1-0-0
Natrium diklofenak 3x50 mg
KSR 1x1
Puyer 3x1 (berisi : prednison, aminofilin, salbutamol, gliseril guaiakolat, dan
dekstrometorfan)

DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN


Apoteker:

No. DMK : 00-00-72-xx


MRS / KRS : 18 Mei 2014 / 27 Mei 2014
Inisial Pasien : Tn. D
Umur / BB / TB : 66 tahun
Alamat : Surabaya
Riwayat Sosial : BPJS

Obat
Normal salin
Ceftriaxone
Levofloxacine
Ciprofloxacine
Gliseril guaiakolat
Combivent
Budesonide
N-asetil sistein
Aminofilin
Obat

Rute
iv infus
iv bolus
iv infus
iv infus
Po
Inhaler oral
Inhaler oral
Po
Pump
Rute

Keluhan Utama : Sesak napas sejak subuh, batuk berdahak, Alergi : dan panas
Merokok / Alkohol : - / Diagnosis : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) + MS Obat Tradisional : (Mitral Stenosis) post open heart + AF (Atrial Fibrillation) OTC : respiratory ventricular moderate
Riwayat Penyakit : PJK (Penyakit Jantung Koroner), paru,
post operation by pass ops (J) 1985
Riwayat Pengobatan : Obat jantung dan obat paru
Kepatuhan :
PROFIL PENGOBATAN PADA SAA T MRS
Tanggal (Mei)
Dosis
Frekuensi
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
life line
v
//
1g
2 dd 1
v
V
v
v
v
v
v
v
v
v
750 mg
1 dd 1
v
V
400 mg
2 dd 1
v
v
v
v
200 mg
3 dd 1
V
v
//
v
v
v
v
v
v
10 mL
3 dd 1
V
v
//
v
v
v
v
v
v
200 mcg
3 dd 1
v
v
v
v
v
v
200 mg
3 dd 1
V
v
v
v
v
v
v
v
v
25 mg/mnt
v
//
v
Dosis
Frekuensi
Tanggal (Mei)

18
Digoksin
Asetosal
Furosemide
Spironolakton
Ranitidin
Metoklopramid
KSR

Po
Po
iv bolus
Po
iv bolus
iv bolus
Po

0,25 mg
80 mg
20 mg
50 mg
50 mg
10 mg
600 mg

1 dd 1
1 dd 1
1 dd 1
2 dd 1
2 dd 1
2 dd 1
2 dd 1

19
V
V
V
V
V

V
v
v

20
V
V
V
V
V

21
v
v
po
v
V

22
v
v

23
v
v

24
v
v

25
v
v

26
v
v

27
v
v

v
v

//
v

//
//
v

1 dd 1

1 dd 1
//
v
//

1 dd 1
v
v

1 dd 1
v
v
1 dd 1

24
36,4
140/
90
82
---

25
36,2
130/
80
84
--
+
+

DATA KLINIK
Inisial Pasien : Tn. D
Data Klinik

Nilai Normal
37 0,5oC
< 120/80 mmHg

Suhu
TD
Nadi
Rh
Wh
Sesak
Batuk berdahak

50-90 x/menit

18
38
110/
60
80

+
+

19
36,4
140/
80
104

--

20
36,2
150/
90
104

21
37,4
120/
90
108

Tanggal
22
36,8
130/
80
96
++
++
+
+

(Mei)
23
36,4
130/
80
88

DATA LABORATORIUM
Inisial Pasien : Tn. D
Data Laboratorium

Nilai Normal

Tanggal (Mei)

26
36,4
130/
80
88

27
130/
70
++
++

Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Platelet
GDA
GDP
GD2PP
pH
pCO2
pO2
HCO3BE
SGOT
SGPT
Natrium
Kalium
Klorida
BUN
Kreatinin serum
Kolesterol total
LDL
HDL
Trigliserida
Asam urat

4-10 x 10 /L
11,5-16,0 g/dL
35-45 %
4,3-6,0 x 106/L
150-400 x 103/L
< 200 mg/dL
76-110 mg/dL
80-125 mg/dL
7,35-7,45
35-45 mmHg
80-107 mmHg
21-25 mmol/L
-3,5 s.d +2,0 mmol/L
0-35 U/I
0-37 U/I
135-145 mmol/L
3,5-5,0 mmol/L
95-108 mmol/L
10-24 mg/dL
0,5-1,5 mg/dL
150-250 mg/dL
67-175 mg/dL
35-55 mg/dL
50-200 mg/dL
3,4-7,0 mg/Dl

18
13,3
13,1
39,2

19

21

22
9,4
4,75

157
125
107
110
7,38
34,7
225
20,5
-4,1
25
12
143
2,6
101
16,9
1,2
104
48
41
68
8,2

140
3,4
95

131
3,5
85

TUGAS MAHASISWA
(FOKUS PENGERJAAN PADA KASUS PPOK, BUKAN PADA PENYAKIT JANTUNG PASIEN)

FORM SUBJECTIVE
Isilah data-data pasien yang termasuk dalam Subjective!
Data Klinik

Nilai Normal

Tanggal (Mei)

Suhu
TD
Nadi
Rh
Wh
Sesak
Batuk berdahak
Lemah

37 0,5oC
< 120/80 mmHg
50-90 x/menit

Komentar dan
Alasan

18
38
110/
60
80

+
+
+

19
36,4
140/
80
104

--

20
36,2
150/
90
104

21
37,4
120/
90
108

22
36,8
130/
80
96
++
++
+
+

23
36,4
130/
80
88

24
36,4
140/
90
82
---

25
36,2
130/
80
84
--
+
+

26
36,4
130/
80
88

27
130/
70
++
++

Px mengalami demam pada tanggal 18 Mei ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi yaitu
38o, menunjukkan bahwa px terkena bakteri infeksi yang diduga penyebab PPOK sehingga
px mengalami demam, ditunjang dengan hasil labolatorium yang menunjukkan nilai
leukosit yang tinggi.
Sesak napas dan batuk berdahak yang dialami px dapat disebabkan oleh beberapa hal
sehingga terganggunya jalur pernafasan. Kedua hal ini merupakan gejala dasar dari PPOK
Lemah yang dialami px dapat disebabkan karena pasien mengalami kekurangan cairan
tubuh sehingga dilakukan tx dengan Normal salin dimana berfungsi sebagai pengganti
cairan tubuh dan elektrolit sehingga px tidak lemah

FORM OBJECTIVE
Isilah data-data pasien yang termasuk dalam Objective!

Data Laboratorium

Nilai Normal

18

Tanggal (Mei)
19
21

22

Leukosit
Komentar dan Alasan

4-10 x 103/L
13,3
9,4
Diduga terdapat bakteri yang menyebabkan infeksi sehingga memicu
kekambuhan PPOK yang ditandai dengan peningkatan leukosit sehingga
diberikan antibiotik.

FORM PROFIL PENGOBATAN


Isilah data-data pasien mengikuti format di bawah ini!
OBAT
Tgl.
Mulai
Terapi

Jenis Obat

Rute

Dosis

18

Normal salin

iv infus

life line

Frekuensi

Tgl.
Berhenti
Terapi

Indikasi Terapi
pada Pasien

19

Px lemah

28

Infeksi saluran
pernafasan
bawah, PPOK
kekambuhan
simpel

20

Infeksi saluran

18

Ceftriaxone

iv bolus

1g
2 dd 1

18

Levofloxacine

iv infus

750 mg

1 dd 1

Pemantauan
Kefarmasian

Komentar dan Alasan


(mekanisme kerja, alasan pemilihan terapi)

Cairan
hipotonik
dengan
osmolaritas lebih rendah dari serum.
Cairan akan ditarik dari pembuluh darah
Kadar elektrolit keluar
ke
jaringan
sekitarnya
serum, jumlah
hinggamengisi
sel
yang
dituju.
cairan (input dan Digunakan pada keadaan sel mengalami
output)
dehidrasi.
Alasannya karena kondisi umum
lemah sehingga cairan tubuh dan
elektrolit perlu diganti.
Rh, Wh, produksi
Menghambat sintesa dinding sel
sputum, nilai
bakteri menghasilkan pembentukan
leukosit
dinding sel yang rusak pada hospes.
Alasan karena infeksi bakteri
merupakan
penyebab
terbesar
kekambuhan sehingga produksi sputum
meningkat.
Leukosit, Wh, Rh,
Menghambat DNA-gyrase yang

22

Ciprofloxacine

iv infus

400 mg

pernafasan
karena
kekambuhan
PPOK

Produksi Sputum,
Frekuensi Batuk

26

PPOK dengan
kekambuhan

Leukosit, WH,
Rh, Produksi
Sputum,
Frekuensi Batuk

21

Batuk dengan
infeksi saluran
pernafasan dan
kondisi seperti
sinusitis,
faringitis, dan
bronkitis.
Sesak nafas

Produksi dahak,
frekuensi batuk

2 dd 1

19

Gliseril
guaiakolat

po

200 mg

3 dd 1

19

Combivent

Inhaler

10 mL

3 dd 1

21

RR,Sesak nafas

berfungsi untuk memperbaiki struktur


superhelik DNA yang diperlukan untuk
replikasi, transkripsi, rekombinasi dan
transposisi.
Alasan karena infeksi bakteri
merupakan
penyebab
terbesar
kekambuhan sehingga produksi sputum
meningkat dan obat ini memiliki
spektrum yang luas baik untuk gram
positif ataupun gram negatif
Menghambat DNA-gyrase yang
berfungsi untuk memperbaiki struktur
superhelik DNA yang diperlukan untuk
replikasi, transkripsi, rekombinasi dan
transposisi.
Alasan karena infeksi bakteri
merupakan
penyebab
terbesar
kekambuhan sehingga produksi sputum
meningkat dan obat ini memiliki
spektrum yang luas baik untuk gram
positif ataupun gram negatif
Meningkatkan produksi cairan
saluran pernafasan dengan mengurangi
tegangan
permukaan
sehingga
mengencerkan lendir.
Alasannya karena px mengalami
batuk berdahak yang merupakan salah
satu gejala dari timbulnya PPOK
Mengandung

Ipatoprium

yang

oral

22

Budesonide

Inhaler
oral

akibat PPOK

200 mcg

Asthma (sesak
nafas) / inflamasi

Peningkatan
batuk

Mukolitik (muko
lisis) pada
bronkial akut dan
kronik dan paru
dengan mukus
yang tebal

Produksi dahak,
frekuensi batuk

Bronkodilatasi

Sesak nafas, RR

3 dd 1

19

N-asetil sistein

po

200 mg

3 dd 1

22

Aminofilin

pump

25 mg/mnt

23

berfungsi sebagai anti kolinergik dengan


mekanisme
menghambat
reseptor
muskarinik di otot polos bronkus
sehingga
mencegah
peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler dan
Salbutamol
dimana
memiliki
mekanisme
aksi
sebagai
beta2
adrenergik bronkodilator.
Alasan : Kaena pasien mengalami
penyakit penyumbatan paru kronis,
sehingga perlu mengurangi gejala sesak
nafasnya.
Alasan (jawaban rozaaq)
Merupakan
obat
golongan
kortikosteroid
dengan
mekanisme
mengurangi sekresi hidung sehingga
memiliki efek anti inflamasi pada
saluran hidung.
Alasan penggunaan karena px
mengalami sesak nafas
Mengurangi kekentalan/viskositas
sekret dengan memecah ikatan disulfida
pada mukoprotein dan memfasilitasi
pengeluaran sekret melalui batuk.
Alasan
penggunaan
adalah
sebagai terapi tambahan untuk penyakit
bronkopulmoner kronik.
Merupakan

obat

turunan

dengan asthma
dan COPD

Methylxantine
dengan
efek
bronkodilator untuk relaksasi otot polos
bronko dan meningkatkan kontraksi
diafragma
Alasan
digunakan
untuk
meningkatkan efek bronkodilator

FORM ASSESSMENT & PLAN


Isilah data-data pasien yang termasuk dalam Assessment & Plan! (Penulisan mengikuti format di bawah ini)
FORM ASSESSMENT & PLAN
ASUHAN KEFARMASIAN (PHARMACISTS CARE PLAN)
Inisial Pasien : Tn. D
1. Masalah aktual dan potensial
2. Pemantauan efek terapi obat

3. Kepatuhan pasien
4. Pemilihan obat

5. Penghentian obat
6. Efek samping obat

7. Interaksi obat

NO.

TANGGAL

URAIAN MASALAH

TINDAKAN
(USULAN PADA KLINISI, PERAWAT, ATAU
PASIEN)
1. Klinisi : Disarankan menggunakan antibiotik
ceftriaxone dan levofloxacin dikarenakan belum
terdapat data apa karena apa (jawaban rozaaq)
2. Klinisi : Disarankan untuk memberi terapi untuk
batuk berdahak sejak awal untuk mencegah gejala
PPOK
Klinisi : Disarankan tidak digunakan N-asetil sistein
karena N-asetil sistein menyebabkan iritasi bronkus,
sehingga tidak cocok digunakan untuk px. Sebaiknya
tidak digunakan atau diganti dengan obat lain

1.

18 Mei

1. Antibiotik yang digunakan adalah kombinasi golongan


cephalosporin yaitu ceftriaxone
2. Px mengalami batuk berdahak tetapi tidak ada terapi obat
batuk berdahak sejak px masuk rumah sakit

2.

19 Mei

Digunakan terapi N-asetil sistein untuk mengurangi


kekentalan mukus dan mengurangi sekresi mukus pada paruparu

3.

20 Mei

Pemakaian levofloxacin dihentikan tetapi ceftriaxone tetap


digunakan

Klinisi: Disarankan untuk melakukan uji sensitivitas


mikroba untuk mengetahui obat mana yang lebih tepat
digunakan oleh px

4.

21 Mei

Penghentian terapi dengan GG dan Combivent

Klinisi: Ditanyakan kepada dokter


penggunaan GG dan Combivent dihentikan

mengapa

5.

22 Mei

6.

23 Mei

1. Digunakan antibiotik Ciprofloxacin dengan mekanisme


yang sama Levofloxacin tetapi sudah dihentikan
pemakaiannya
2. Digunakan terapi Aminofilin kepada px

1. Klinisi: Penggunaan antibiotik yang semula


Levofloxacin diganti dengan Ciprofloxacin
dikarenakan riwayat pasien PJK dan Levofloxacin
memiliki efek samping takikardi sehingga akan
memperburuk kondisi px
2. Klinisi: Penggunaan aminofilin kurang tepat
karena memiliki indikasi yang sama dengan
Combivent, sebaiknya hanya digunakan salah
satunya saja
Diberikan terapi Asetosal untuk menghambat agregasi platetet Klinisi: Disarankan penggunaan asetosal diganti
pada penderita jantung
dengan golongan lain yang memiliki indikasi sama,
karena efek samping obat menyebabkan sesak nafas
sehingga tidak cocok digunakan untuk px

MONITORING setelah dikasi obat diatas

NO.
PARAMETER
1.
Rh dan Wh
2.

Frekuensi Sesak nafas

3.
4.
5.
6.

Produksi sputum batuk berdahak


Kadar leukosit dalam darah
Suhu
Denyut nadi

TUJUAN MONITORING
Untuk mengetahui efektivitas obat bronkodilator dan
perkembangan kondisi px PPOK
Untuk mengetahui efektivitas obat bronkodilator dan
perkembangan kondisi px PPOK
Untuk mengetahui efektivitas obat batuk
Untuk mengetahui efektivitas obat dari antibiotik
Untuk mengetahui respon inflamasi

LEMBAR KONSELING

No.
1.

2.

Sasaran
Konseling
Pasien

Keluarga

Uraian

Rekomendasi/Saran

Edukasi kepada pasien

Sebaiknya diberikan edukasi kepada pasien mengenai pengetahuan


dasar PPOK, perjalanan penyakit, Pengobatan dengan maksimal,
manfaat dan efek sampingnya sehingga dapat dilakukan aktivitas
optimal dan terwujudnya kualitas hidup yang tinggi.

Kebiasaan hidup sehat

1. Menghindari penggunaan merokok dan menghindari asap rokok,


juga polusi udara yang terkontaminasi agar tidak meningkatkan
risiko PPOK
2. Jumlah nutrisi dan gizi yang dimakan harus seimbang karena
malnutrisi sering terjadi pada PPOK yang disebabkan
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi
yang meningkat
3. Melakukan olahraga ringan dan melatih pernafasan sehingga
memperkuat otot diafragma

Menjaga lingkungan agar tetap sehat

Selalu menjaga kebersihan lingkungan rumah dengan


menghindarkannya dari asap rokok, menjaga kebersihan rumah dari
zat polutan penyebab kontaminasi udara agar tidak menimbulkan
sesah sehingga memperparah PPOK

Perawat

Edukasi kesehatan

Perawat diedukasi mengenai penggunaan obat-obat agar efek


terapinya menjadi lebih tinggi sehingga tidak ada kesalahan saat
disampaikan kepada px

Kontrol kesehatan

Selalu mengontrol keadaan pasien dan obat-obat apa saja yang


diberikan. Juga mengedukasi mengenai rute pemberian obat, lama
pemberian, dan bagaimana penggunaan obat ini dapat dihentikan

Keterangan: yang menjadi sasaran konseling bisa pasien/keluarga pasien/perawat

Anda mungkin juga menyukai