Anda di halaman 1dari 30

PENDAHULUAN

Wabah pneumonia misterius yang ditandai dengan demam, batuk kering,


kelelahan, dan gejala gastrointestinal terjadi di pasar grosir makanan Laut Huanan
di Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Pelaporan awal wabah melibatkan
66% pengunjung pasar di Laut Huanan, di Wuhan, China. Pneumonia misterius
tersebut menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Koinfeksi telah
dilaporkan terjadi pada pasien dengan severe acute respiratory syndrom (SARS)
dan middle east respiratory syndrome (MERS), tetapi pengetahuan tentang
koinfeksi penyakit coronavirus disease 2019 (COVID-19) masih terbatas.
Prevalensi koinfeksi pasien COVID-19 bervariasi, disebabkan oleh bakteri seperti
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella pneumophila dan
Acinetobacter baumannii, Candida sp dan Aspergillus flavus serta virus seperti
influenza, corona virus, rhinovirus/enterovirus, parainfluenza, metapneumovirus,
virus influenza B, dan human immunodeficiency virus.1,2
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit endemik yang signifikan saat ini.
Seperempat populasi dunia terinfeksi TB laten (TB tidak aktif). World Health
Organization (WHO) melaporkan, diperkirakan sepuluh juta orang menderita TB
paru aktif dan lebih dari satu juta orang meninggal setiap tahun. Masalah TB paru
bervariasi setiap waktu seperti bencana alam, pandemi perang dan penyakit
menular.3,4,16
Tingkat gangguan global yang tinggi karena pandemi COVID-19, penting
untuk mengendalikan dan mencegah penyakit endemik lain yang lebih berbahaya
dibandingkan COVID-19. Pasien koinfeksi TB paru dan COVID-19 diperkirakan
memiliki hasil pengobatan yang lebih buruk. Wabah severe acute respiratory
syndrom corona virus 2 (SARS-CoV-2) telah menjadi masalah global dalam bidang
kesehatan. Penatalaksanaan TB paru membutuhkan pendekatan yang komprehensif.
World Health Organization mencanangkan strategi ‘End Tuberculosis’, yang
merupakan bagian dari Sustainable Development Goals, dengan tujuan untuk
mengakhiri epidemi tuberkulosis di seluruh dunia.3,4,16

1
Infeksi Mycobacterium tuberculosis dan SARS-CoV-2 menyerang terutama
paru dan mengganggu kekebalan tubuh. Kedua agen biologis tersebut menularkan
melalui kontak erat, masa inkubasi pajanan penyakit pada TB paru lebih lama
dengan onset yang lambat. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui droplet
nuklei aerosol dari orang dengan TB paru, yang dapat menular selama berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun sebelum pengobatan yang efektif dimulai. Infeksi
SARS-CoV-2 memiliki masa inkubasi 3-7 hari dan menyebar melalui droplet dan
fomites, meskipun penelitian terbaru menunjukkan aerosol juga dapat berperan.
Penyakit COVID-19 dapat bergejala seperti batuk kering, demam dan sesak napas.
Pandemi COVID-19 memiliki dampak yang bervariasi di wilayah Asia Tenggara
hingga saat ini dan berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis, serta layanan
pengobatan TB paru, akibatnya terjadi peningkatan morbiditas, mortalitas,
penularan, dan resistensi obat. Banyak negara berupaya memastikan
kesinambungan layanan TB paru pada pandemi COVID-19. Masyarakat sipil serta
organisasi non pemerintah telah menciptakan berbagai mekanisme inovatif untuk
mendukung program nasional penanggulangan TB paru. Pendekatan komprehensif
diperlukan dalam layanan TB paru memberdayakan kepemimpinan komunitas,
memanfaatkan alat digital, dan menerapkan transfer non tunai serta dukungan nutrisi
untuk kesuksesan layanan TB paru pada pandemi COVID-19.5,6 Tinjauan pustaka
ini bertujuan untuk membahas pelayanan TB paru dan multidrug-resistant
tuberculosis (TB MDR) pada masa COVID-19.

EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan global TB report 2018, di Indonesia tahun 2017 terdapat


842.000 kasus TB baru (319 per 100.000 penduduk) dan kematian karena TB
sebesar 116.400 (44 per 100.000 penduduk) termasuk tuberculosis-human
imunodeficiency virus (TB-HIV) positif. Angka notifikasi kasus case notification
rate (CNR) dari semua kasus dilaporkan sebanyak 171 per 100.000 penduduk.
Insiden TB HIV secara nasional sebesar 36.000 kasus (14 per 100.000 penduduk).
Jumlah kasus TB resisten obat (TB RO) diperkirakan sebanyak 12.000 kasus

2
diantara pasien TB paru ternotifikasi yang berasal dari 2,4% kasus baru dan 13%
kasus kambuh. Abad ke-21 ditandai oleh epidemi yang memenuhi syarat sebagai
pandemi, disebabkan oleh penyakit lama seperti kolera dan demam kuning serta
yang baru muncul seperti SARS, ebola, zika, MERS, HIV, influenza A (H1N1) dan
COVID-19. Tuberkulosis paru menjadi pembunuh penyakit menular teratas
sebanyak 1,5 juta kematian pada tahun 2018. Interaksi epidemi virus lain dengan
TB paru selain sindrom TB-HIV masih sedikit diketahui. Bukti ilmiah menunjukkan
bahwa individu dengan virus SARS-CoV-2 dengan cepat menyebar di dalam
komunitas karena kurangnya kekebalan kelompok. Penyakit COVID-19 memiliki
tingkat fatalitas kasus yang tinggi pada orang tua dan pasien dengan komorbid serta
dapat merusak sistem layanan kesehatan dengan cepat. Pasien COVID-19 mungkin
mengeluh batuk, demam, kelelahan, sesak, dan tanda dan gejala lain yang mirip
dengan TB paru. Hubungan antara COVID-19 dan TB paru masih sedikit yang
diketahui Infeksi COVID-19 dapat muncul sebelum, bersamaan, atau setelah
diagnosis TB paru. 7,8,16
Data tentang infeksi COVID-19 pada pasien TB paru belum banyak
diketahui. Data gejala sisa pasien TB paru masih jarang, dan ke depannya studi
penelitian (baik di laboratorium maupun klinik) perlu mempertimbangkan COVID-
19 sebagai faktor predisposisi yang menyebabkan kerusakan paru. Kerusakan paru
paska-TB adalah hal yang sebagian besar masih diabaikan sampai saat ini. Pandemi
COVID-19 memerlukan karantina di banyak daerah dan akses terbatas ke rumah
sakit, terutama bagi orang dengan tanpa gejala. Situasi seperti ini dapat
menghilangkan kecurigaan mendiagnosis infeksi tuberkulosis. Jumlah pasien baru
yang didiagnosis tuberkulosis telah menurun secara signifikan sejak wabah
COVID-19, terutama pada Maret 2020.9,10 Penurunan diagnosis TB paru kasus baru
di Jepang pada saat pandemi COVID-19, dapat dilihat pada gambar satu.

3
Gambar 1. Grafik layanan diagnosis TB paru pada pandemi COVID-19 tahun 2020
di Jepang.
Dikutip dari (10)

DEFINISI TB PARU

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB
paru yaitu Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, Mycobacterium microti dan Mycobacterium cannettii. Mycobacterium
tuberculosis hingga saat ini merupakan bakteri yang paling sering ditemukan,
menular antar manusia melalui rute udara. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga sering dikenal dengan basil tahan asam (BTA). Kuman TB
menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru, tetapi bakteri ini juga
memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti
pleura, kelenjar limfe, tulang, otak, kulit, mata, gastrointestinal. Koinfeksi dapat
terjadi pada pasien TB paru dan COVID-19. Tenaga medis harus mencurigai
kemungkinan infeksi TB paru dan COVID-19 timbul secara bersamaan. Data
koinfeksi SARS-CoV-2 memungkinkan antimikroba empiris dapat
direkomendasikan pada kasus terduga COVID-19. Tenaga medis harus berhati-hati
4
saat menangani kasus koinfeksi COVID-19 dan TB paru, terutama di negara-negara
endemik TB paru. Kecurigaan TB paru pada kasus COVID-19 (penyakit akut) harus
dipikirkan jika ada riwayat penyakit lama atau jika pasien tidak membaik dalam
waktu dua minggu pengobatan. Diagnosis TB paru harus dipikirkan mengingat
pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung dapat menyebabkan perburukan jika
tidak diobati dan meningkatkan penularan infeksi di masyarakat.2,11,16

PATOGENESIS TB PARU

Paru merupakan pintu masuk lebih dari 98% kasus TB. Mycobacterium
tuberculosis dapat masuk ke saluran napas melalui droplet penderita TB yang
terhirup dan mencapai alveolus. Masuknya kuman TB akan dikenali oleh respons
imun non spesifik tubuh dan difagositosis sehingga sebagian besar kuman TB akan
hancur. Infeksi kuman TB pada sebagian orang dapat menjadi infeksi primer yang
terlokalisasi di paru dan kelenjar limfe regional, 95% akan membaik spontan.
Sebagian kecil kasus, makrofag di alveolus memfagosit kuman TB namun tidak
dapat menghancurkannya sehingga kuman TB akan terus bereplikasi dalam
makrofag dan bertahan hidup di dalam granuloma hingga membentuk koloni untuk
menginduksi respons imun spesifik. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran
napas akan menempati jaringan paru, dan akan membentuk suatu kompleks
pneumonik, yang disebut kompleks primer atau afek primer. Kompleks primer bisa
timbul dimanapun dalam paru, berbeda dengan kompleks reaktivasi. Kompleks
primer kemudian terjadi inflamasi di saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer.12,13
Sifat dan keparahan gejala TB paru tergantung pada usia pasien. Anak-anak
dengan TB paru sering terjadi batuk. Gejala umum yang paling menonjol adalah
gagal tumbuh dan aktivitas berkurang. Anak kurang dari tiga tahun, kombinasi batuk
persisten dan gagal tumbuh memiliki sensitivitas diagnostik yang cukup. Gambaran
klinis dan prevalensi gejala usia remaja mirip dengan orang dewasa. Gejala pasien

5
usia lanjut, sangat berbeda, yaitu batuk, penurunan berat badan dan demam yang
kurang menonjol dibandingkan pada pasien usia muda. Pasien usia lanjut mungkin
memiliki komorbid yang berinteraksi dengan TB paru dengan gambaran kombinasi
dari penyakit simultan, seperti pasien perokok menganggap batuk sebagai fenomena
normal. Infeksi influenza dapat meningkatkan perkembangan laten Mycobacterium
tuberculosis menjadi aktif TB, mengubah tampilan klinis TB paru dan bisa
memperburuk TB paru. Influenza dan tuberkulosis menghambat respon imun
pejamu. Influenza secara khusus dapat merusak kekebalan sel-T dan melemahkan
respon imun bawaan terhadap infeksi bakteri sekunder.14,15
Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun setelah tuberkulosis
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya, inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post primer
dimulai kompleks primer yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus
superior maupun lobus inferior. Kompleks primer ini awalnya berbentuk suatu
kompleks pneumonik kecil. Pemahaman berbagai aspek tuberkulosis, perlu diketahui
proses patologik yang terjadi. Batuk merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru,
terjadi karena kelainan patologik saluran pernapasan akibat kuman. Kuman tersebut
bersifat aerob, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks
karena pO2 (tekanan oksigen) alveolus paling tinggi. Tuberkulosis paru adalah
penyakit progresif lambat, gejalanya biasanya sangat berbeda di awal, menjadi lebih
menonjol seiring waktu dan bergantung pada lokasi manifestasi penyakit.13,14 Skema
perkembangan kompleks dini tuberkulosis post primer dan perjalanan
penyembuhannya dijelaskan oleh gambar dua.

6
Gambar 2. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan
penyembuhannya
Dikutip dari (13)

KLASIFIKASI TB PARU

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak


termasuk pleura (selaput paru). Tuberkulosis ekstra paru menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll.
Diagnosis didasarkan atas kultur spesimen positif atau histologi atau bukti klinis
konsisten TB ekstra paru aktif, selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk
diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. Imunodepresi adalah faktor
predisposisi utama untuk TB paru dan pasien dengan infeksi HIV memiliki risiko
relatif tertinggi untuk TB paru. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
+
jumlah CD4 (cluster of differentiation 4) yang rendah dan viral load yang tinggi

7
adalah faktor risiko pengganti untuk terjadinya TB paru.13,14 Klasifikasi TB paru di
jelaskan oleh gambar tiga.

Gambar 3. Klasifikasi TB paru.


Keterangan: BTA=Basil tahan asam; TB= Tuberkulosis.
Dikutip dari (13)

8
GAMBARAN KLINIS TB PARU

Gejala klinik tuberkulosis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. Gejala respiratorik
terdiri dari batuk lebih dari 3 minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala
respiratorik ini sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala sampai gejala yang cukup
berat tergantung dari luas lesi. Penderita kadang-kadang terdiagnosis pada saat
medical check up. Bronkus yang belum terlibat dalam proses penyakit, maka
penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Gejala
sistemik terdiri dari demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun. Tanda-tanda fisik yang didapat saat pemeriksaan klinis biasanya tidak ada,
kecuali jika lesi paru sangat luas dan menimbulkan konsolidasi wilayah yang luas
dapat diidentifikasi dengan perkusi toraks. Suara ronki, mengi, dan napas bronkial
mungkin terdengar, dan tanda-tanda ini digunakan sebagai kriteria diagnostik untuk
TB sebelum identifikasi Mycobacterium tuberculosis sebagai agen infeksi. Jari tabuh
terjadi pada sepertiga pasien dengan TB paru. Uveitis, eritema nodosum dan kondisi
kulit lainnya mungkin merupakan tanda pertama dari TB paru, yang diduga
disebabkan oleh respon hipersensitivitas terhadap berbagai antigen Mycobacterium
tuberculosis.13,14

DIAGNOSIS TB PARU

Pasien terduga TB paru harus menjalani pemeriksaan bakteriologis untuk


mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada pemeriksaan
apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain), pemeriksaan biakan dan
identifikasi Mycobacterium tuberculosis atau metode diagnostik cepat yang telah
mendapat rekomendasi WHO. Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau
mutunya melalui sistem pemantauan mutu eksternal, kasus TB paru BTA positif
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif minimal dari satu spesimen.
Daerah dengan laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka definisi kasus TB
paru bila terdapat paling sedikit dua spesimen dengan BTA positif. Terduga TB RO
9
adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT (obat anti
tuberkulosis), yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu
atau lebih gejala berikut, yaitu pasien TB gagal pengobatan kategori dua, pasien TB
pengobatan kategori dua yang tidak konversi setelah tiga bulan pengobatan, pasien
TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan
golongan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama satu bulan,
pasien TB gagal pengobatan kategori satu, pasien TB pengobatan kategori satu yang
tidak konversi setelah dua bulan pengobatan, pasien TB kasus kambuh (relaps)
dengan pengobatan OAT kategori satu dan kategori dua, pasien TB yang kembali
setelah loss to follow-up (lalai berobat/default) terduga TB yang mempunyai riwayat
kontak erat dengan pasien TB RO (termasuk warga binaan yang ada di lapas/rumah
tahanan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik), pasien ko-infeksi TB-
HIV yang tidak respons secara bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian
OAT. Pengobatan tuberkulosis paru difokuskan pada penyembuhan pasien individu
dan meminimalkan penularan Mycobacterium tuberculosis ke orang lain.
Pengobatan TB yang efektif memiliki manfaat baik bagi pasien individu maupun
komunitas tempat tinggal pasien. Permasalahan perlu ditangani agar berhasil
mengobati penyakit akibat isolat Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap
obat dibandingkan dengan pengobatan penyakit TB yang sensitif terhadap obat,
termasuk uji diagnostik molekuler dan fenotip tambahan untuk menentukan
sensitifitas obat. Penggunaan obat lini kedua yang memiliki toksisitas meningkatkan
bahaya yang harus diimbangi dengan manfaatnya dan durasi pengobatan yang
lama.16.17
Pemeriksaan dengan tes cepat molekuler (TCM) dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan gen pengkode resisten rifampisin (rpoB) sputum
kurang lebih dalam waktu dua jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT
menggunakan metode konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold
standard). Penggunaan TCM tidak dapat menyingkirkan metode biakan dan uji
kepekaan konvensional yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis definitif TB,
terutama pada pasien dengan pemeriksaan mikroskopis apusan BTA negatif, dan uji
kepekaan OAT untuk mengetahui resistensi OAT selain rifampisin. Sputum yang
10
tidak berhasil didapat secara ekspektorasi spontan dapat dilakukan tindakan induksi
sputum atau prosedur invasif seperti bronkoskopi atau torakoskopi. Pemeriksaan
tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis maupun
terdiagnosis klinis adalah pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan jasmani
akan dijumpai kelainan tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru,
Kelainan TB paru yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) ditemukan
kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pemeriksaan jasmani
dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah.
Pemeriksaan perkusi ditemukan pekak, auskultasi suara napas melemah sampai tidak
terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Limfadenitis tuberkulosa terlihat
pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pertimbangkan
kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess. Aneka morbiditas dan mortalitas TB
paru masih tinggi meski sudah tersedia pengobatan efektif puluhan tahun. Diagnosis
yang akurat dan tepat waktu tetap menjadi tujuan yang belum terpenuhi. Epidemi
HIV juga menyebabkan terhadap tantangan baru dalam diagnosis TB. Perkembangan
diagnosis TB paru berpotensi untuk mempengaruhi secara positif kampanye global
melawan TB.13,16,18
Pemeriksaan radiologi standar ialah foto toraks PA (postero anterior)
dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu foto apiko-
lordotik, oblik, computed tomography scan (CT scan). Tuberkulosis pada
pemeriksaan foto toraks dapat memberi gambaran bermacam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif yaitu bayangan berawan
atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior
lobus bawah, kavitas, terutama lebih dari satu yang dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular, bayangan bercak milier, efusi pleura unilateral (umumnya)
atau bilateral (jarang). Pemeriksaan molekular untuk mendeteksi deoxyribose
nucleat acid (DNA) Mycobacterium tuberculosis saat ini menjadi metode
pemeriksaan tercepat yang sudah dapat dilakukan di Indonesia. Metode molekuler
11
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan membedakannya dengan non-
tuberculous mycobacteria (NTM). Metode molekuler dapat mendeteksi mutasi pada
gen yang berperan dalam mekanisme kerja obat anti tuberkulosis lini satu dan lini
dua. World Health Organization merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF
(Mycobacterium tuberculosis / rifampisin) untuk deteksi resisten rifampisin.
Resisten obat anti tuberkulosis lini dua direkomendasikan untuk menggunakan
second line line probe assay (SL-LPA) yang dapat mendeteksi resistensi terhadap
obat anti tuberkulosis injeksi dan obat anti tuberkulosis golongan fluorokuinolon.
Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen pengkode resistensi OAT lainnya saat
ini dapat dilakukan dengan metode sekuensing, yang tidak dapat diterapkan secara
rutin karena memerlukan peralatan mahal dan keahlian khusus dalam
menganalisisnya. World Health Organization telah merekomendasi pemeriksaan
molekular line probe assay (LPA) dan TCM langsung pada spesimen sputum.13,16
Integrasi diagnosis TB dan COVID-19 dapat membantu mengatasi
penurunan jumlah penderita terdaftar kasus TB paru. Pandemi COVID-19 membuka
peluang penemuan kasus kedua penyakit pada saat bersamaan. Integrasi program
pengendalian HIV dan TB telah berhasil ditegakkan dan pasien TB yang baru
didiagnosis di Ekuador selalu diuji untuk HIV sebelum memulai pengobatan TB.
Pendekatan terintegrasi yang sama dapat digunakan untuk COVID-19 dan TB.
COVID-19 tampaknya akan bertahan, setidaknya dalam waktu dekat. Tuberkulosis
paru adalah penyakit menular dan mematikan terutama di kalangan berpenghasilan
rendah hingga menengah suatu negara. Integrasi antara pendanaan, program
pengendalian penyakit dan pemeliharaan kesadaran di semua tingkat perawatan
kesehatan, merupakan kunci keberhasilan penanganan TB paru dan COVID-19
Radiografi toraks tetap menjadi metode standar untuk diagnosis TB dan memantau
efek pengobatan. Computed tomography dosis rendah mempunyai hasil yang baik
dalam penilaian limfadenopati dan perluasan endobronkial.13,19,20 Diagnosis pasien
TB paru dan TB RO dijelaskan oleh gambar empat dan lima.

12
Gambar 4. Algoritma diagnosis TB paru
Keterangan: TB= Tuberkulosis; TCM= tes cepat molekuler; BTA= basil
tahan asam; MTB= Mycobacterium tuberculosis; Rif= Rifampicin;
RR= resistant rifampicin; MDR= multidrug resistant; XDR= extensively
drug resistant; RO= resisten obat.
Dikutip dari (16)

13
Gambar 5. Alur diagnosis TB resisten obat
Keterangan: TB= tuberkulosis; OAT= obat anti tuberkulosis; DST= drug
suscepbility test; LPA= line probe assay; RO= resisten obat; XDR=
extensively drug resistant; FQ= fluorokuinolone; SLI= second line
injection; TAK= tim ahli klinis.
Dikutip dari (16)
14
TATALAKSANA TB PARU SENSITIF OBAT

Tahapan pengobatan TB paru terdiri dari dua tahap, yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Paduan pengobatan pada tahap awal adalah dimaksudkan untuk
secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten
sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru harus diberikan selama dua bulan. Pengobatan secara teratur dan tanpa
penyulit, pada umumnya daya penularan sudah menurun setelah pengobatan selama
dua minggu pertama. Tahap lanjutan pengobatan bertujuan membunuh sisa-sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama
empat bulan dan obat diberikan setiap hari. Obat anti tuberkulosis yang dipakai
adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin dan etambutol. Kombinasi
dosis tetap (fixed dose combination) terdiri dari empat obat anti tuberkulosis dalam
satu tablet, yaitu rifampisin 150 miligram (mg), isoniazid 75 mg, pirazinamid 400
mg dan etambutol 275 mg serta tiga obat anti tuberkulosis dalam satu tablet, yaitu
rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg.13,16 Regimen
pengobatan TB paru sensitif obat dan resisten obat dijelaskan oleh tabel satu dan dua.
Tabel 1. Dosis obat anti tuberkulosis kategori 1.
Berat badan fase intensif fase lanjutan
Setiap hari 3 kali seminggu setiap hari
RHZE RH RH
(150/75/400/275) (150/150) (150/75)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 2 tablet
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 3 tablet
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT 4 tablet
>70 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT 5 tablet
Keterangan: KDT= kombinasi dosis tetap; R= rifampisin; H= isoniazid;
Z= pirazinamid; E= etambutol; kg= kilogram.
Dikutip dari (21)

15
Tabel 2. Dosis obat anti tuberkulosis kategori 2
Berat badan fase intensif fase lanjutan
Setiap hari 3 kali seminggu setiap hari
RHZE + S RHE RHE
(150/75/400/275) (150/150/400) (150/75/400)
30-37 kg 2 tablet 4KDT+streptomisin (500mg) 2 tab 2KDT 2 tablet
2 tab etambutol 2 tab etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT+streptomisin (750mg) 3 tab 2KDT 3 tablet
3 tab etambutol 3 tab etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT+streptomisin (1gr) 4 tab 2KDT 4 tablet
4 tab etambutol 4 tab etambutol
>70 kg 5 tablet 4KDT+sterptomisin (1 gr) 5 tab 2KDT 5 tablet
5 tab etambutol 5 tab etambutol
Keterangan: KDT= kombinasi dosis tetap; R= rifampisin; H= isoniazid;
Z= pirazinamid; E=etambutol; kg= kilogram; S =streptomisin.
Dikutip dari (21)

TATALAKSANA TB PARU RESISTEN OBAT

Regimen yang mengandung bedaquiline oral dengan durasi 9-12 bulan


direkomendasikan pada pasien dengan konfirmasi multi drug resistant atau
tuberkulosis resisten rifampisin (MDR / TB-RR) yang belum mendapatkan
pengobatan TB lini kedua selama lebih dari 1 bulan dan tidak ada resistensi terhadap
fluoroquinolone. Durasi total pengobatan adalah 9–11 bulan, durasi tahap awal
adalah 4–6 bulan dan tahap lanjutan 5 bulan. Intoleransi pirazinamid tidak boleh
mendapatkan paduan jangka pendek. Intoleransi / resistansi terhadap etambutol,
paduan jangka pendek diberikan tanpa etambutol. Terapi jangka pendek TB MDR
adalah pada tahap awal 4–6 bedaquiline (Bdq), levofloxcacin (Lfx) atau
moxifloxcacin (Moxi), etionamid (Eto), etambutol (E), high dose isoniazid (Hdt),
pirazinamid (Z) dan clofazimine (Cfz). Tahap lanjutan 5 bulan diberikan
levofloxcacin atau moxifloxcacin, clofazimine, etambutol, pirazinamid.16,28
Selanjutnya dapat dituliskan dalam rumus:
4-6 Bdq -Lfx/Moxi- Eto -E- Hdt – Z- Cfz / 5 Lfx/Moxi – Cfz – E – Z

16
Pasien TB RO yang tidak memenuhi kriteria untuk pengobatan dengan
paduan jangka pendek akan mendapatkan paduan pengobatan individual (jangka
panjang). Paduan individual diberikan untuk pasien TB pre-XDR, TB XDR, TB
MDR dengan intoleransi terhadap salah satu atau lebih obat lini kedua yang
digunakan pada paduan jangka pendek, gagal pengobatan jangka pendek, panjang
setelah putus berobat dan TB MDR kambuh. Terapi TB MDR jangka panjang terdiri
dari fase intensif selama 8 bulan dan tahap lanjutan 12-18 bulan. Total durasi terapi
minimal 20 bulan. Terapi minimal 18 bulan ditambahkan setelah hasil DST (drug
susceptibility testing) pertama menunjukkan hasil yang memuaskan. Identifikasi
penyebab perlu dilakukan pada kasus hasil kultur gagal konversi seperti dosis yang
tidak tepat, kualitas penyediaan obat, malabsorbsi, dan komorbid.16,29
Pengelompokan obat yang direkomendasikan untuk digunakan pada paduan
tuberkulosis multi drug resistant jangka panjang dijelaskan oleh tabel tiga dan
empat.
Tabel 3. Pengelompokan obat yang direkomendasikan untuk digunakan pada
paduan tuberkulosis multi drug resistant jangka panjang
Grup dan tingkatan Nama obat Kode
Grup A: Levofloxcacin atau Lfx
Sertakan tiga obat Moxifloxcacin Mfx
Bedaquiline Bdq
linezolid Lzd
Grup B: Clofazimine Cfz
Tambahkan satu atau dua obat Cycloserine atau Cs
terizidone Trd
Grup C Etambutol E
Tambahkan untuk melengkapi Delamanid Dlm
panduan dan Ketika obat dari Pirazinamid Z
grup A dan B tidak dapat Imipenem -clistatin Ipm- Cln
digunakan Meropenem Mpm
Amikasin atau Am
Streptomisin S
Etionamid atau Eto
Protionamide Pto
p-aminosalicylic acid PAS
Dikutip dari (28)

17
Tabel 4. Pengobatan paduan jangka panjang
Paduan Tahap awal Tahap lanjutan
Prinsip pemberian: 6Bdq-Lfx-Lzd-Cs-Trd 12Lfx-Cfz-Cs
3 OAT kelompok A+ 2 OAT
kelompok B
Resisten FQ (pre-XDR) dan 6Bdq-Lzd-Cfz-Cs-E 14Lzd-Cfz-Cs-E
XDR:
2 OAT kelompok A+ 2 OAT
kelompok B+1 OAT
kelompok C
Intoleran atau tidak bisa 6Lfx-Lzd-Cfz-Cs-Dlm 14Lfx-Cfz-Cs
diberikan Bdq: 6Lfx-Lzd-Cfz-Cs-Amk 14Lfx-Cfz-Cs
2 OAT kelompok A+ 2 OAT 6Lfx-Lzd-Cfz-Cs-S 14Lfx-Lzd-Cfz-Cs
kelompok B+1 OAT
kelompok C
Keterangan: XDR= Extensively drug resistant; FQ= Fluoroquinolone; Bdq=
Bedaquiline; Lfx= Levofloxacin; Lzd= Linezolid; Cs= Cycloserine;
E= Ethambutol; Dlm= Delamanid; Amk= Amikacin; S=
Streptomycin; Trd = Teriziodone.
Dikutip dari (28)

PROTOKOL PELAYANAN TB PARU ATAU TB MDR PADA COVID-19

Pandemi COVID-19 telah menyebabkan dampak kesehatan, sosial, dan


ekonomi, kemungkinan akan berlanjut pada 2021. Dampak pandemi COVID-19
telah dimitigasi dan mempunyai konsekuensi jangka menengah dan panjang,
termasuk untuk epidemi dan pengobatan TB paru. Pasien TB paru tetap diberikan
pengobatan anti-tuberkulosis (OAT) sesuai standar untuk suspek, probable dan
pasien terkonfirmasi COVID-19. Prinsip yang dianjurkan adalah pengobatan TB
tetap berjalan tanpa pasien harus terlalu sering mengunjungi fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes) TB untuk mengambil OAT. Imunosupresi yang disebabkan
oleh tuberkulosis dapat meningkatkan kerentanan pasien terhadap COVID-19,
begitu juga sebaliknya COVID-19 dapat meningkatkan kerentanan terhadap TB
paru. Pasien mengalami penurunan signifikan jumlah limfosit sel T. Jumlah CD4
dan CD8 sangat berkurang, dan sel T yang bertahan tampaknya menunjukkan
22,23,24
kelelahan fungsional. Persamaan dan perbedaan TB paru dan COVID-19
dijelaskan oleh tabel lima.

18
Tabel 5. Persamaan dan perbedaan TB paru dan COVID-19.
TB paru COVID-19
Paparan manusia >. 70.000 tahun Beberapa bulan
Definisi kasus Ya Ya (dalam penelitian)
Stigma Ya Ya
Beban kesehatan Ya (kronis) Ya (akut)
Program yang sudah mapan Ya Tidak
Respon kebijakan cepat Tidak Ya
Mobilisasi sumber daya Lambat Cepat
Dapat dicegah Ya Ya
Penulusuran kontak Ya Ya
Diagnosis cepat Ya Ya
Vaksin tersedia Ya Tidak
Dikutip dari (5)
Pasien TB paru banyak terpapar COVID-19 saat mereka pertama kali datang
untuk diagnosis TB paru pertama kali. Pasien dengan infeksi COVID-19 tidak
menyingkirkan kemungkinan menderita TB secara bersamaan. Petugas kesehatan
perlu mempertimbangkan kemungkinan TB pada pasien dengan COVID-19 jika
perjalanan penyakit setelah minggu pertama menunjukkan perburukan, seperti
hemoptisis, demam persisten, keringat malam atau penurunan berat badan.
Radiografi dapat membantu membedakan TB dari patologi lain. Banyak pasien yang
menderita TB atau sudah sembuh terdapat sisa penyakit berupa jaringan parut
fibrotik. Diperkirakan lebih dari setengah dari penderita TB memiliki beberapa
bentuk disfungsi paru persisten (baik obstruktif maupun restriktif) meskipun ada
penyembuhan secara mikrobiologis, meninggalkan jutaan pasien berpotensi lebih
rentan terhadap efek yang ditumpangi infeksi COVID-19.24,25
Diagnosis dini TB dan COVID-19 penting dalam perawatan orang yang
rentan terhadap kedua penyakit tersebut. Usia dan komorbid seperti diabetes melitus
dan penyakit paru obstruktif kronik meningkatkan kemungkinan COVID-19 berat
yang membutuhkan perawatan intensif dan ventilasi mekanis. Faktor risiko ini juga
merupakan faktor prognostik yang buruk pada TB. Pasien TB paru yang mengalami
kerusakan paru akibat gejala sisa tuberkulosis masa lalu atau penyakit paru
obstruktif kronis dapat lebih parah jika terinfeksi dengan COVID-19. Penderita
COVID-19 dan TB paru dapat menunjukkan gejala yang sama seperti batuk, demam
dan kesulitan bernapas. Kedua penyakit ini menyerang terutama paru dan kedua
agen biologis tersebut menular melalui kontak erat.25,26

19
Semua tindakan harus diambil untuk memastikan kontinuitas layanan bagi
orang yang membutuhkan pengobatan preventif dan kuratif TB. Pemberian layanan
pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan perawatan TB yang terpusat harus
dipastikan sejalan dengan respon COVID-19. Tes diagnostik yang akurat sangat
penting untuk TB dan COVID-19. Tes untuk kedua kondisi tersebut berbeda dan
keduanya harus dilakukan terhadap individu dengan gejala pernapasan karena kedua
penyakit tersebut mirip. Laboratorium jaringan TB telah dibentuk di negara-negara
dengan dukungan WHO dan mitra internasional. Jaringan dan mekanisme
transportasi spesimen juga dapat digunakan untuk diagnosis dan pengawasan
COVID 19. Pasien suspek dan pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan gejala
ringan atau orang tanpa gejala (OTG) diberikan obat sesuai tata laksana COVID-19
dengan melakukan isolasi mandiri 14 hari sambil menunggu swab COVID-19.
Pasien TB diberikan sejumlah OAT untuk periode tertentu sehingga stok OAT yang
memadai harus disediakan selama isolasi mandiri atau dirawat.23,25
Sejak diumumkan pertama kali ada di Indonesia, kasus COVID-19
meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu sehingga memerlukan perhatian. Tata
laksana COVID-19 di masa pandemi diperlukan kerjasama semua profesi untuk
menanganinya yaitu tata laksana yang sederhana, mudah dimengerti, dan diterapkan
oleh semua pihak di seluruh Indonesia. Pemberian terapi pencegahan TB diberikan
dua bulan sekali dengan kewajiban melaporkan perkembangan ke petugas kesehatan
melalui telepon atau sarana komunikasi lain minimal setiap bulan sekali. Pasien atau
keluarga proaktif menghubungi petugas kesehatan jika ada keluhan atau efek
samping obat. Pengambilan dan pemeriksaan sputum tetap dilakukan sesuai
standard operation procedure (SOP) yang berlaku mengacu pada prosedur
pencegahan infeksi (PPI). Semua pemeriksaan TB seperti mikroskopis BTA, TCM,
LPA, biakan dan uji kepekaan TB dilakukan di laboratorium yang sesuai dan
memenuhi persyaratan tingkat keamanan dan keselamatan masing-masing jenis
pemeriksaan TB, termasuk penggunaan alat pelindung diri (APD) yang sesuai.
Pengiriman sputum harus tetap diselenggarakan, apabila ada kendala sistem yang
berlaku, segera lakukan perubahan dan penyesuaian dengan melihat kondisi dan
sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Pengiriman pasien secara langsung ke
20
fasilitas kesehatan (faskes) lain untuk pemeriksaan laboratorium diagnostik TB
tidak dianjurkan.23,26
Integrasi program pengendalian TB paru dan COVID-19 membutuhkan
dana yang cukup besar. Sumber daya keuangan dan tenaga kerja disinergiskan untuk
menyediakan layanan kedua penyakit tersebut. Pengendalian TB paru memiliki
infrastruktur dan jaringan laboratorium yang dapat digunakan untuk mendukung
diagnosis COVID-19. Laboratorium pemeriksaan TB paru terbiasa bekerja pada
kondisi penyakit menular dan memiliki pengalaman untuk menghindari infeksi
aerosol. Diagnosis dan penatalaksanaan TB paru sangat penting selama pandemi
COVID-19.19,27 Diagnosis TB paru dan COVID-19 dijelaskan oleh tabel enam.
Tabel 6. Diagnosis TB paru dan COVID-19
COVID -19 TB paru
Onset akut (< 14 har) Onset kronik (> 14 hari)
Demam > 38 o C Demam < o C
Batuk kering Batuk dahak, bercak darah
Sesak napas muncul segera setelah onset Sesak napas memberat bertahap
Nyeri sendi, pilek, nyeri kepala, gangguan Berat badan turun, keringat malam
penciuman/pengecapan Kontak dengan pasien TB paru
Riwayat kontak kasus COVID -19 dalam 14 Leukositosis atau normal
hari terakhir Foto torak infiltrate di apeks
Limfopenia/leukopenia/normal
Foto torak dengan gambaran pneumonia
bilateral
Dikutip dari (16, 25)
Metode diagnostik TB paru dan COVID-19 memerlukan spesimen yang
berbeda. Sputum dan spesimen biologis lainnya dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB paru menggunakan teknik kultur atau molekuler. Tes COVID-19
paling sering dilakukan swab nasofaring atau orofaringeal pada pasien rawat jalan,
tetapi sputum atau endotrakeal aspirate atau bronchoalveolar lavage dapat
digunakan pada pasien dengan penyakit pernapasan berat. Alat diagnosis
COVID-19 telah berkembang pesat dalam beberapa bulan diantaranya adalah
Xpert® Xpress cartridge SARS-CoV-2 untuk digunakan pada mesin geneXpert.
Cartridge Xpert® Xpress SARS-CoV-2 untuk swab nasofaring dan aspirasi hidung.
Produk diagnostik ini bekerja secara in vitro pada SARS-CoV-2. Lembaga riset
medis India merekomendasikan mesin yang digunakan mendiagnosis TB paru yang
resisten terhadap obat yaitu TrueNAT dan GeneXpert yang digunakan untuk skrining

21
dan konfirmasi COVID-19. Mesin TrueNat digunakan untuk pengujian SARS-CoV-
2 melibatkan dua langkah yaitu sampel disaring terlebih dahulu untuk gen E, jika
positif digunakan untuk target gen RdRp. Platform GeneXpert menyaring target gen
E dan N2 dalam satu langkah. Platform TB yang digunakan berlipat ganda untuk
membantu diagnosis SARS-CoV-2 dengan kecepatan yang tinggi.24,25
Strain tuberkulosis dengan resisten obat lebih sulit diobati daripada yang
sensitif terhadap obat akan menghadirkan tantangan besar bagi pasien, tenaga
kesehatan dan layanan perawatan kesehatan. Peningkatan TB paru yang resisten
obat mengubah target menuju end tuberculosis strategy dari WHO. Pengobatan TB
paru resisten obat menggunakan obat lini kedua yang sering terjadi reaksi obat yang
merugikan dan perawatan lama. Pasien TB RR yang berhasil menyelesaikan
pengobatan hanya 52%, yang disebabkan oleh tinggi proporsi kematian 17%,
kegagalan pengobatan 9%, atau mangkir tindak lanjut sejumlah 22%.28,29 Persamaan
dan perbedaan tes cepat molekuler untuk mendeteksi COVID- 19 dan TB paru
dijelaskan oleh tabel tujuh sedangkan gambar alat tes cepat molekuler dijelaskan
oleh gambar enam dan tujuh.
Tabel 7. Perbedaan tes cepat molekuler untuk mendeteksi COVID- 19 dan TB paru
COVID 19 TB paru
Sampel mukosa yang diambil dari Dahak pasien yang dibatukkan
dalam hidung kanan dan kiri
dengan cara di swab
Tempat sampel Virus transport media (VTM) Pot dahak biasa
atau Universal transport
media (UTM)
Prinsip Memeriksa RNA dari virus Memeriksa antigen dari
SARS COV 2 yang bakteri mycobacterium
merangsang respons sistem tuberculosis yang merangsang
kekebalan tubuh yang terdapat respons sistem kekebalan
pada sampel lendir pasien. tubuh yang terdapat pada
sampel dahak pasien
Metode disentrifugasi Tidak disentrifugasi
Keterangan: VTM= Virus transport media; UTM= Universal transport media;
RNA= Ribonucleat acid; SARS COV 2= severe acute respiratory
syndrome corona virus 2.
Dikutip dari (30, 31)

22
Gambar 6: Alat tes cepat molekuler
Keterangan: 1. Pot sampel; 2. Catridge; 3. Mesin tes cepat molekuler.
Dikutip dari (30)

Gambar 7: Viral transport media untuk sampel tes cepat molekuler SARS COV 2.
Dikutip dari (31)
Pengobatan TB tidak banyak berbeda pada orang dengan atau tanpa
COVID-19. Pengalaman dalam penanganan bersama untuk infeksi COVID-19 dan
TB masih terbatas. Penangguhan pengobatan TB pada pasien COVID-19 tidak
boleh dilakukan. Pengobatan pencegahan TB, pengobatan yang sensitif obat atau
yang resisten obat penyakit TB harus terus berlanjut tanpa gangguan karena penting
untuk kesehatan pasien. Pasien TB resisten obat yang terkonfirmasi COVID-19 dan
masih menggunakan terapi injeksi tetap mendapat terapi dari faskes yang ditunjuk.
Petugas akan mendatangi rumah pasien atau tempat pasien isolasi mandiri. dengan
menggunakan APD yang lengkap dan sesuai standar penanganan COVID-19.
Pasien suspek yang di rawat inap mendapat OAT sesuai standar. Pasien TB
23
terkonfirmasi COVID-19 dengan gejala sedang dan berat mendapat OAT sesuai
standar di rumah sakit tempat pasien dirawat.23,25 Lama pemberian OAT dijelaskan
oleh tabel delapan.
Tabel 8. Lama pemberian OAT pada TB paru kasus sensitif obat
TB Paru Lama pemberian OAT
TB paru sensitif obat
Fase intensif OAT diberikan dengan interval tiap 14-28 hari.
Fase lanjutan OAT diberikan dengan interval tiap 28-56 hari.
TB paru resisten obat
Fase intensif OAT oral diberikan dengan interval tiap 7 hari.
Fase lanjutan OAT oral diberikan dengan frekuensi tiap
14- 28 hari
Keterangan : OAT = obat anti tuberkulosis.
Dikutip dari (23)
Pasien TB paru tetap harus patuh menjalani pengobatan TB sampai sembuh.
Pasien menerapkan protokol kesehatan seperti etiket batuk, praktik hidup sehat dan
bersih, rajin mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker. Pasien TB paru
diberikan sejumlah OAT untuk periode tertentu sehingga stok OAT yang memadai
harus disediakan selama isolasi diri atau selama dirawat. Pemantauan pengobatan
dapat diselenggarakan secara elektronik menggunakan metode non tatap muka,
misalnya fasilitas video call yang dapat membantu pasien menyelesaikan
pengobatan TB paru. Pasien dan keluarga diberikan informasi terkait efek samping
dan tanda bahaya yang mungkin terjadi dan apa yang harus dilakukan jika kondisi
tersebut muncul. Pasien TB paru yang batuk agar memakai masker baik di rumah
maupun saat keluar rumah, dan disarankan untuk memiliki ruang tidur terpisah
dengan anggota keluarga lain. Pelayanan rawat jalan TB paru pada masa tanggap
darurat akibat pandemi COVID-19 menjadi pilihan utama dibandingkan dengan
perawatan di rumah sakit, kecuali pasien mengalami permasalahan klinis serius
sehingga memerlukan rawat inap. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi potensi
penularan COVID-19 kepada pasien TB paru dan petugas kesehatan.23,26

24
SIMPULAN

1. Pneumonia coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah peradangan pada


parenkim paru yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome
coronavirus 2 (SARS CoV-2). Sindrom gejala klinis yang muncul beragam
mulai dari yang ringan sampai berat (syok septik).
2. Tersangka pasien TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala
klinis mengarah TB.
3. Layanan preventif dan kuratif TB paru pada masa pandemi COVID-19 harus
tetap dilaksanakan.
4. Pasien tetap diberikan pengobatan anti tuberkulosis sesuai standar untuk
pasien suspek, probable dan pasien terkonfirmasi COVID-19.
5. Prinsip pengobatan TB tetap berjalan tanpa pasien harus terlalu sering
mengunjungi fasilitas kesehatan untuk mengambil OAT.
6. Layanan laboratorium tetap dilakukan pengambilan dan pemeriksaan sputum
sesuai SOP yang berlaku mengacu pada prosedur pencegahan infeksi.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Wu YC, Chen CS, Chan YJ. The outbreak of COVID-19. COVID-19: an


overview. J Chin Med Assoc. 2020;83(3):217–20.
2. Lai CC, Wang CY, Hsueh PR. Co-infections among patients with COVID-19:
the need for combination therapy with non-anti-SARS-CoV-2 agents?
J Microbiol Immunol Infect. 2020;53(4):505–12.
3. Alene KA, Wangdi K, Clements ACA. Impact of the COVID-19 and pandemic
on tuberculosis control: an overview.
Journal Tropical Medicine and Infectious Disease. 2020;8.
4. Iyengar KP. Tuberculosis and COVID-19 in India double trouble.
Indian Journal of Tuberculosis. 2020;2.
5. Dara M, Sotgiu G, Reichler, Chiang CY, Chee CBE, Migliori GB. New
diseases and old threats: lessons from tuberculosis for the COVID-19 response.
Int J Tuberc Lung Dis. 2020;24(5):544–5.
6. Bhatia V, Mandal PP, Satyanarayana S, Aditama TY, Sharma M. Mitigating
the impact of the COVID-19 pandemic on progress towards ending tuberculosis
in the WHO South-East Asia Region. WHO South-East Asia J Public Health.
2020;9(2):95–9.
7. Ong CWM, Migliori GB, Raviglione M, MacGregor-Skinner G, Sotgiu G,
Alffenaar J-W, et al. Epidemic and pandemic viral infections: impact on
tuberculosis and the lung: A consensus by the world association for infectious
diseases and immunological disorders (WAidid), global tuberculosis network
(GTN), and members of the european society of clinical microbiology and
infectious diseases study group for mycobacterial infections (ESGMYC).
Eur Respir J. 2020 ;56(4):55-59.
8. Motta I, Centis R, D’Ambrosio L, García-García JM, Goletti D, Gualano G, et
al. Tuberculosis, COVID-19 and migrants: preliminary analysis of deaths
occurring in 69 patients from two cohorts. Journal Pulmonology.
2020;26(4):233–40.

26
9. Togun T, Kampmann B, Stoker NG, Lipman M. Anticipating the impact of the
COVID-19 pandemic on TB patients and TB control programmes.
Ann Clin Microbiol Antimicrob. 2020;19(1):1–6.
10. Komiya K, Yamasue M, Takahashi O, Hiramatsu K, Kadota J, Kato S. The
COVID-19 pandemic and the true incidence of tuberculosis in Japan.
Journal of Infection. 2020;81(3):24–5.
11. Singh A, Gupta A, Das K. Severe acute respiratory syndrome coronavirus-2
and tuberculosis coinfection: double trouble. Indian J Med Spec.
2020;11(3):164.
12. Pitoyo CW. Patofisiologi dan pathogenesis TB ekstra paru. In: Kamelia T,
Aulia G, Maksum M, Kartika Z, Febrianto AR, editors. Buku ajar tuberkulosis
ekstra paru. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2018. p. 2-5.
13. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, et al.
Diagnosis. In: Isbaniyah F, editor. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan TB
di Indonesia (konsensus TB). Jakarta: PDPI; 2006. p. 1-50.
14. Duarte R, Santos JV, Silva AS, Sotgiu G. Epidemiology and socioeconomic
determinants. In: Migliori GB, Bothamley G, Duarte R, Rendon A, Bals R,
editors. ERS monograph tuberculosis. Wakefield: Charlessworth Press; 2018.
p. 5-58.
15. Dabija RC, Grigorescu C, Pavel CA, Artene B, Popa IV, Cernomaz A, et al.
Tuberculosis and COVID-19: lessons from the past viral outbreaks and possible
future outcomes. Can Respir J. 2020;2020(3)1-10.
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran tata laksana tuberkulosis 2019. [cited 19 februari 2019]. Available
from: http://p2p.kemkes.go.id/download/epfk/files53142PNPK%20TB%20%
2019.pdf.
17. Nahid P, Mase SR, Migliori GB, Sotgiu G, Bothamley GH, Brozek JL, et al.
Treatment of drug-resistant tuberculosis an official ATS/CDC/ERS/IDSA
clinical practice guideline. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine. 2019;200:93–142.

27
18. Cudahy P, Shenoi S V. Diagnostics for pulmonary tuberculosis.
Postgrad Med J. 2016;92(1086):187–93.
19. Fatima R, Yaqoob A. In reply: how TB and COVID-19 compare: an
opportunity to integrate both control programmes. Int J Tuberc Lung Dis.
2020;24(11):1227–8.
20. Suárez I, Fünger SM, Rademacher J, Fätkenheuer G, Kröger S, Rybniker J.
The diagnostic and treatment of tuberculosis. Dtsch Arztebl Int J.
2019;116(43):729–35.
21. Kusmiati T. Tuberkulosis paru. In: Amin M, Hassan H, Winariani, Anang I,
editors. Buku ajar paru 2019. Surabaya: Balai Penerbit dan Percetakan
Universitas Airlangga; 2019. p. 35-40.
22. World Health Organization. Global tuberculosis report. [cited 14th october
2020]. Available from: https://www.who.int/publications/i/item/
9789240013131.
23. Burhan E, Susanto AD, Nasution SA, Ginanjar E, Pitoyo CW, Susilo A, et al.
Tatalaksana COVID-19 dengan komorbid atau komplikasi. In: Burhan E,
editor. Pedoman tatalaksana COVID-19. 3rd ed. Jakarta: PDPI; 2020.
p. 85-87.
24. Udwadia ZF, Vora A, Tripathi AR, Malu KN, Lange C, Sara Raju R. COVID-
19. Tuberculosis interactions: when dark forces collide. Indian J Tuberc.
2020;7(3):19-57.
25. World Health Organization. WHO information note: tuberculosis and COVID-
19. [cited 4th April 2020]. Available from:
https://www.who.int/tb/COVID_19considerations_tuberculosis_services.pdf.
26. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Protokol tatalaksana pasien TB
dalam masa pandemi COVID-19. [cited 23 maret 2020]. Available from:
http://promkes.kemkes.go.id/download/epfk/files53142Protokol%20TB%dala
m%20Pandemi%20COVID-19%202020.pdf.
27. Cox V, Wilkinson L, Grimsrud A, Hughes J, Reuter A, Conradie F, et al.
Critical changes to services for TB patients during the COVID-19 pandemic.
Int J Tuberc Lung Dis. 2020;24(5):542–4.
28

Anda mungkin juga menyukai