Dosen Pembimbing:
Disusun oleh :
Putriana Dewi
( 17.156.01.11.069 )
Kelas: 3B Keperawatan
Menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan WHO,
paru obstruktif kronik atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
sebagai penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang progresif yang
sepenuhnya dapat pulih kembali. Keterbatasan jalan udara biasanya dapat
progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap
partikel asing atau gas. Kondisi paling umum yang menyebabkan CPOD adalah
broknitis kronik dan emfisema.
Bronkitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mucus kronik atau
berulang ke dalam cabang bronkus dengan batuk yang terjadi hampir setiap hari
selama paling tidak 3 bulan dalam setahun dan ini berlangsung paling tidak dalam
2 tahun beturut-turut bila penyebab batuk yang lain telah dieluarkan.
Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk terhadap
penderita karena menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala dampaknya.
Obstruksi saluran napas yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain
seperti infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakitnya.
2
B. Etiologi
Etiologi yang paling umum adalah paparan terhadap asap rokok di
lingkungan, tetapi paparan kronik lain dapat pula menyebabkan COPD.
Menghirup pastikel asing dan gas menstimulasi aktivasi neutrofil, makrofag, dan
limfosit CD 8+, yang melepaskan sejumlah mediator kimia, termausk tumor
nekrosis faktor (TNF) alfa-interleukin-8 (IL8) dan leukotrien B4 (LTB4). Sel
inflamasi dan mediator ini menyebabkan perubahan destruktif meluas pada jalan
udara, pembuluh pulmonary, dan parenkim paru-paru.
C. Patofisiologi
Proses patofisiologik lainnya termasuk stress oksidatif dan
ketidakseimbangan antara sistem pertahanan agresif dan protektif di paru-paru
(protease dan antiprotease). Peningkatan oksidator dari asap rokok bereaksi
dengan dan merusak berbagai protein dan lipid, yang menyebabkan kerusakan sel
dan jaringan. Oksidator juga memudahkan inflamasi secara langsung dan
memperparah ketidakseimbangan protease-antiprotease dengana menghibisi
aktivitas antiprotease.
Antiprotease protektif alfa1- antitrypsin (AAT) menghambat sejumlah enzim
protease, termasuk elastase neutrofil. Dengan adanya aktivitas AAT yang tidak
berantagonis, elastase menyerang elastin, yang merupakan komponen utama dari
dinding sel alveolus.
Defisiensi turunan AAT menyebabkan peningkatan resiko perkembangan
emfisema prematur. Pada penyakit yang diturunkan terdapat suau defisiensi AAT
absolute. Pada emfisema yang diakibatkan oleh merokok, ketidakseimbangan ini
berhubungan dengan peningkatan aktivitas protease atau pengurangan aktivitas
antiprotease. Sel inflamasi yang teraktivasi membebaskan protease yang lain,
termasuk katepsin dan metaloproteinase (MMP). Selain itu, stress oksidatif juga
mengurangi aktifitas antiprotease.
Suatu eksudat inflamasi dering ditemui pada jalan udara yang menyebabkan
suatu peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mucus. Sekresi
mucus meningkat, dan motilitas siliar mengalami kerusakan. Terdapat penebalan
otot polos dan jaringan ikat pada jalan udara. Inflamasi kronik menyebabkan
pembentukan parut dan fibrosis. Penyempitan jalan udara yang meluas terjadi dan
lebih parah pada jalan udara periferal yang berukuran kecil.
Perubahan parenkimal mempengaruhi unit penukar gas paru-paru (alveoli dan
kapiler pulmonar). Penyakit yang terkait dengan merokok paling umum
3
menyebabkan emfisema sentrilobar yang terutama mempengaruhi bronkiol
respirasi. Emfisema pan-lobular dijumpai pada defisiensi AAT dan meluas sampai
ke duktus dan kantung alveolus.
Perubahan vascular termasuk penebalan pembuluh pulmonar yang dapat
meyebabkan disfungsi endotel arteri pulmonar. Selanjutnya, perubahan struktural
meningkatkan tekanan pulmonar, terutama selama latihan fisik. Pada CPOD parah,
hipertensi pulmonar sekunder menyebabkan gagal jantung sebelah kanan (cor
pulmonale).
D. Manifestasi Klinik
• Gejala awal paru obstruktif kronik termasuk batuk kronik dan produksi
sputum; pasien dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum
berkembangnya dispnea.
• Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang berada pada
tahan paru obstruktif kronik yang lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara
menjadi parah, pasien dapat mengalami sianosis membrane mukosa, barrel
chest karena pengembangan paruparu berlebihan, peningkatan laju respirasi
istirahat, nafas dangkal, bibir monyong selama ekspirasi, dan penggunaan
otot respirasi pelengkap.
• Pasien dengan paru obstruktif kronik yang memburuk dapat mengalami
dispnea yang parah, peninggkatan volume sputum, atau peningkatan
kandungan nanah pada sputum. Tanda umum lain dari paru obstruktif kronik
yang memburuk termasuk dada sempit, peningkatan kebutuhan brokodilator,
tidak enak badan, lelah, dan penuruan toleransi
latihan fisik.
Obstruksi saluran napas difus yang terjadi pada asma terdiri dari empat unsur,
yaitu:
4
Mekanisme obstruksi saluran napas yang terjadi pada asma sangat kompleks,
tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama. Pada
bronkitis kronik obstruksi saluran napas terjadi melalui mekanisme lain. Faktor
pencetus penyakit ini adalah suatu iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok
dan polusi. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap
hembusan asap rokok terdapat l014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-).
Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok.
Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang
rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya
modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi
menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga
timbul kerusakan jaringan intersititial alveolus.
Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas silia.
Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel
epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa.
Keadaan ini ditandai dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala batuk
kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya
infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu
lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran
napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan
parut. Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa.
Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat
irreversible.
Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang
permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema
sentri-acinar. Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan
dihubungkan dengan proses menua serta pengurangan permukaan alveolar.
Keadaan ini menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul
obstruksi saluran napas. Pada jenis sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus
dan daerah perifer acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap
rokok dan penyakit saluran napas perifer. Pada sindrom obstruksi pasca Tb
(SOPT) mekanisme obstruksi terjadi oleh karena rusaknya parenkim paru akibat
penyakit tuberculosis. Timbulnya fibrosis mengakibatkan saluran napas yang
5
tidak teratur, serta emfisema kompensasi karena proses fibrosis dan atelektasis
mungkin mempunyai peran dalam terjadinya obstruksi saluran napas pada
penyakit ini.
F. Pemeriksaan penunjang
1 Pemeriksaan rutin
a. Faal Paru
6
1) Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat.
2) DLCO menurun pada emfisema.
3) Raw meningkat pada bronkitis kronik.
4) Sgaw meningkat.
5) Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
7
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
G. Penanganan
Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk
menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin
dan secepatnya agar oksigenisasi dapat kembali normal; keadaan ini
dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit atau
timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel.
1. Usaha mencegah perburukan penyakit
2. Mobilisasi lendir
3. Mengatasi bronkospasme
4. Memberantas infeksi
5. Penanganan terhadap komplikasi
6. Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.
8
H. Pathway
9
DAFTAR PUSTAKA
10