Anda di halaman 1dari 20

Nama : Dian Tiara

NIM : 1911110439
Kel : 1 A 2019 2
LO
1. Definisi Gerontik
Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang didasarkan
pada ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang bersifat konprehensif terdiri dari bio-
psikososio-spritual dan kultural yang holistik, ditujukan pada klien lanjut usia, baik sehat
maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat (UU RI No.38
tahun 2014). Pengertian lain dari keperawatan gerontik adalah praktek keperawatan yang
berkaitan dengan penyakit pada proses menua (Kozier, 1987).

Sedangkan menurut Lueckerotte (2000) keperawatan gerontik adalah ilmu yang


mempelajari tentang perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan dan
status fungsional, perencanaan, implementasi serta evaluasi. Berdasarkan pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa keperawatan gerontik adalah suatu bentuk praktek
keperawatan profesional yang ditujukan pada lansia baik sehat maupun sakit yang
bersifat komprehensif terdiri dari bio-psiko-sosial dan spiritual dengan pendekatan proses
keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi.

Tujuan perawatan gerontik


a. Lanjut usia dapat melakukan kegiatan sehari–hari secara mandiri dan produktif.
b. Mempertahankan kesehatan serta kemampuan lansia seoptimal mungkin
c. Membantu mempertahankan dan meningkatkan semangat hidup lansia (Life Support)
d. Menolong dan merawat klien lanjut usia yang menderita penyakit (kronis atau akut).
e. Memelihara kemandirian lansia yang sakit seoptimal mungkin.

2. Definisi PPOK dan Hipertensi


a. Definisi PPOK
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial, bersifat
progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh
pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik.
Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok,
asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya. Obstruksi saluran napas
pada PPOK bersifat irreversible dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran
napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan napas.

b. Definisi Hipertensi
Penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi yaitu keadaan
seseorang apabila mempunyai tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan diastolik ≥
80 mmHg secara konsisten dalam beberapa waktu. Penyakit hipertensi berdasarkan
penyebabnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu hipertensi essensial atau primer
dan hipertensi sekunder. Penyebab dari hipertensi essensial sampai saat ini masih
belum dapat diketahui. Prevalensi hipertensi diseluruh dunia diperkirakan antara 15-
20 %.

3. Epidemiologi PPOK & Hipertensi


a. Epidemiologi PPOK
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode survei,
kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi.1Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan
Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan laki-
laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5 Pada studi BOLD, penelitian serupa
yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah 10,1%,
prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan.6 Data
di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi
PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan
bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding
perempuan(3,3%).

Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)


merupakan kondisi yang banyak terjadi di seluruh belahan dunia. Dari berbagai
penelitian epidemiologi, penderita PPOK diperkirakan mencapai 10% pada populasi
usia 40 tahun atau lebih. Risiko PPOK meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Prevalensi global diperkirakan berkisar antara 7-19%. Prevalensi pada laki-laki
diperkirakan lebih tinggi dibandingkan wanita. Hal ini kemungkinan terjadi karena
angka merokok pada pria lebih tinggi Pada tahun 2019, WHO menempatkan PPOK di
peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian paling sering di seluruh dunia, terutama di
negara berkembang. Di Asia Tenggara diperkirakan prevalensi PPOK sebesar 6,3%
dengan prevalensi tertinggi ada di negara Vietnam (6,7%). PPOK diperkirakan terjadi
lebih banyak pada laki-laki (11,8%) dibandingkan wanita (8,5%). Di Amerika
Serikat, prevalensi emfisema dilaporkan sebesar 18 kasus per 1000 orang dan
bronkitis kronis sekitar 34 kasus per 1000 orang.

Dasar (Riskesdas) tahun 2018 melaporkan bahwa orang yang merokok setiap hari
mencakup 24,3% penduduk usia di atas 10 tahun. Dalam Riskesdas ini, diperkirakan
bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. PPOK merupakan penyebab
kematian tertinggi ketiga di dunia. WHO melaporkan bahwa PPOK menyebabkan
3,23 juta kematian pada tahun 2019. Hampir 90% kematian PPOK terjadi pada
kelompok usia di bawah 70 tahun. Tingkat kematian yang lebih tinggi dilaporkan
pada negara berpenghasilan rendah dan menengah, seperti Indonesia. Selain
kematian, PPOK juga akan mengganggu kualitas hidup pasien. PPOK menyebabkan
gejala pernapasan yang persisten dan progresif, termasuk kesulitan bernapas, batuk,
dan produksi dahak. Pasien PPOK sering mengalami eksaserbasi dan akan mengalami
penurunan produktivitas bermakna dalam hidupnya.

b. Epidemiologi Hipertensi
Prevalensi hipertensi pada Riskesdas 2018 diukur dengan wawancara dan
pengukuran. Melalui wawancara responden akan ditanyakan apakah pernah
didiagnosis menderita hipertensi. Selain itu, juga ditanyakan mengenai kepatuhan
meminum obat hipertensi. Sehingga Riskesdas 2018 menghasilkan tiga angka
prevalensi, yaitu berdasarkan diagnosis (D), diagnosis atau sedang minum obat
(D/O), dan pengukuran (U). Metode pengukuran secara umum menghasilkan angka
prevalensi yang lebih lebih besar karena berhasil menjaring responden yang
merupakan penderita hipertensi namun tidak menyadari jika mereka memiliki tekanan
darah yang tinggi. Sedangkan angka prevalensi berdasarkan diagnosis atau minum
obat sangat bergantung pada kemampuan mengingat responden, dan tidak mampu
menjaring responden yang memiliki tekanan darah tinggi namun tidak menyadarinya.
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan angka prevalensi hipertensi pada penduduk > 18
tahun berdasarkan pengukuran secara nasional sebesar 34,11%.

Epidemiologi hipertensi secara global sangat tinggi. Angka prevalensi hipertensi


terus meningkat. Di Indonesia, Bangka Belitung merupakan provinsi dengan
penderita hipertensi terbanyak. Angka kematian akibat komplikasi penyakit hipertensi
sangat tinggi.Prevalensi hipertensi terus meningkat tak hanya pada populasi di negara
miskin dan berkembang, tetapi juga di negara maju. Dalam 20 tahun, jumlah
penderita bertambah 400 juta hingga total mencapai 1 triliun pengidap hipertensi pada
tahun 2008. 40% penduduk usia ≥ 25 tahun mengalami hipertensi.Tingginya kasus
hipertensi diduga disebabkan oleh peningkatan usia, obesitas serta pola diet tinggi
garam.

Di Amerika kasus hipertensi juga tinggi. Data NHANES 2012 menunjukkan 80


juta penduduk (32,6%) usia ≥20 tahun menderita hipertensi dengan didominasi oleh
laki-laki pada populasi usia 20-45 tahun. Pada populasi 45-64 tahun jumlah penderita
laki-laki sebanding dengan perempuan. Penderita laki-laki lebih sedikit dibanding
wanita pada populasi usia >64 tahun.[16] Data Global Burden of Disease  2015
menunjukkan tingginya angka prevalensi penyakit jantung hipertensi mencapai
sekitar 6 juta. Sebagian besar kasus hipertensi merupakan hipertensi primer, hanya
sekitar 5% yang termasuk hipertensi sekunder. Data Riset Kesehatan Dasar 2013
menunjukkan hipertensi diderita oleh 26,5 % penduduk Indonesia usia ≥18 tahun.
Berdasarkan sebaran, wilayah yang tinggi populasi hipertensi yakni Bangka Belitung
(30,9%), Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat
(29,4%).  Data WHO 2015 menunjukkan penyakit kardiovaskular termasuk penyakit
tidak menular yang menyumbang angka kematian sangat tinggi yakni hingga 17,7
juta kematian. Penyakit jantung iskemia dan stroke merupakan penyakit
kardiovaskular yang menimbulkan angka kematian tinggi dengan hipertensi sebagai
salah satu faktor risiko. 9,4 juta kematian timbul akibat komplikasi hipertensi.

4. Menifestasi klinis PPOK dan Hipertensi


a. Manifestasi klinis PPOK
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis
pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan
produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek
sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak
(pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai
dengan produksi dahak yang semakin banya. Reeves (2001). Biasanya pasien akan
sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup drastis,
sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab
pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak
mampu melakukan kegiatan sehari-hari.

Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan
yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak
yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan
(isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya
oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih
membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam
melakukan pernafasan.

b. Manifestasi klinis Hipertensi


Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang
disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial. Penglihatan
kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan langkah yang tidak mantap
karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia karena peningkatan aliran darah
ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema dependen dan pembengkakan akibat
peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita
hipertensi yaitu pusing muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara
tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain

5. Penyebab PPOK dan Hipertensi


a. Penyebab PPOK
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Brashers (2007) adalah :
a) Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru
secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan
fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b) Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c) Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d) Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.

b. Penyebab Hipertensi
Hipertensi juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan tekanan darah , dimana
sistoliknya diatas 140 mmHg dan diastoliknya di atas 90 mmHg. Pada umumnya
hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik (Ramdhani, 2014). Hipertensi
merupakan penyakit dengan multifaktor. Secara umum penyebab kejadian hipertensi
adalah umur, jenis kelamin, perilaku , aktifitas fisik, tingginya kadar kolesterol darah
dan diabetes melitus. Faktor risiko hipertensi yang lain adalah konsumsi alkohol , dan
riwayat merokok (Rahmat et al., 2014). Penyakit hipertensi telah menjadi masalah
utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara
yang ada di dunia (Ramdhani, 2014).

6. Patofisiologi PPOK & Hipertensi


a. Patofisiologi PPOK
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan
perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi
adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan
perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri
dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi
berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai
untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk
gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital
paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001). Faktor risiko utama dari PPOK adalah
merokok. Komponenkomponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus.

Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional
serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi
sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi
terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan
(GOLD, 2009). Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif
merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran
udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps
terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat 7 pengempisan (recoil)
paru secara pasif setelah inspirasi.

Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap
di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009). Berbeda dengan asma yang
memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi
saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok
menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan
elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran
gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan
hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada
arteriol (Chojnowski, 2003).

b. Patofisiologi Hipertensi
Menurut (Triyanto,2014) Meningkatnya tekanan darah didalam arteri bisa terjadi
melalui beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih
banyak cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan kelenturanya dan menjadi
kaku sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah
melalui arteri tersebut. Darah di setiap denyutan jantung dipaksa untuk melalui
pembuluh yang sempit dari pada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. inilah
yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena
arterioskalierosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat
terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arter kecil (arteriola) untuk sementara waktu untuk
mengarut karena perangsangan saraf atau hormon didalam darah. Bertambahnya
darah dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi
jika terhadap kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah
garam dan air dari dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga meningkat.
Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang arteri mengalami pelebaran,
banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun.
Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan didalam
fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur
berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Perubahan fungsi ginjal, ginjal
mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara: jika tekanan darah meningkat,
ginjal akan mengeluarkan garam dan air yang akan menyebabkan berkurangnya
volume darah dan mengembalikan tekanan darah normal. Jika tekanan darah
menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah
bertambah dan tekanan darah kembali normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan
darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan
hormon angiotensi, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron.
Ginjal merupakan organ peting dalam mengembalikan tekanan darah; karena itu
berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan
darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis
arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cidera pada salah satu
atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah (Triyanto 2014).
pertimbangan gerontology. Perubahan struktural dan fungsional pada system
pembuluh perifer bertanggung pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia
lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat
dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekwensinya
, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume
darah yang dipompa oleh jantung (volume secukupnya), mengakibatkan penurunan
curah jantunng dan meningkatkan tahanan perifer (Prima,2015).
7. Penatalaksanaan farmaka dan non farmaka PPOK dan Hipertensi pada lansia
a. Penatalaksanaan farmaka dan non farmaka PPOK
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2002) adalah : Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi,
polusi udara. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x
0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab
infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta
laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10
hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada
pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25- 0,5 g iv
secara perlahan.

Terapi jangka panjang dilakukan dengan :

a) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x0,25-


0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
1) Fisioterapi.
2) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
3) Mukolitik dan ekspektoran.
4) Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2

b. Penatalaksanaan farmaka dan non farmaka Hipertensi


Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi
antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan
hipertensi derajat 2. Penggunaan antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi
gaya hidup.
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
o Target tekanan darah <150/90, untuk individu dengan diabetes, gagal ginjal, dan
individu dengan usia > 60 tahun <140/90
o Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi
penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus
dilaksanakan hingga mencaoai target terapi masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan farmakologis.
Terpai nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan
tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko
penyakit penyerta lainnya.
Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks massa tubuh
dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m²), kontrol diet
berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta
produk susu rendah lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana
konsumsi NaCl yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang
disarankan adalah target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling
tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol. Terapi
farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga mencapai tujuan
terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan antihipertensi didasarkan pada
ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila
terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan hingga target tekanan darah tercapai. Perlu
dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit.
Jenis obat antihipertensi:
1. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (lewat
kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya
pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek pada turunnya tekanan darah.
Contoh obat-obatan ini adalah: Bendroflumethiazide, chlorthizlidone,
hydrochlorothiazide, dan indapamide.
2. ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat
yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering timbul
adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat yang
tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan lisinopril.
3. Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung
dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat yang
tergolong jenis obat ini adalah amlodipine, diltiazem dan nitrendipine.
4. ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada
reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan
yang termasuk golongan ini adalah eprosartan, candesartan, dan losartan.
5. Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa
jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial. Contoh obat yang
tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan beta
metoprolol.

8. Komplikasi PPOK dan Hipertensi


a.Komplikasi PPK

Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah :

1. Gagal nafas
Gagal nafas kronik: hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan
pH normal, penatalaksanaan:
 Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
 Bronkodilator adekuat
 Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktiviti atau waktu tidur
 Antioksidan
 Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik, ditandai oleh:

 Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis


 Sputum bertambah dan purulen
 Demam
 Kesadaran menurun

2. Infeksi berulang. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada
kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah.
3. Kor pulmonal: ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai
gagal jantung kanan

b. Komplikasi Hipertensi
c. Menurut (Triyanto,2014) komplikasi hipertensi dapat menyebabkan sebaga berikut :
1). Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekananan tinggi diotak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke
dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang
diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak mengalami arterosklerosis dapat menjadi
lemah, sehingga meningkatkan kemungkinan terbentukya aneurisma. Gejala tekena
struke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti orang binggung atau bertingkah
laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan
(misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas)
serta tidak sadarkan diri secara mendadak.
2). Infrak miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak
dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Hipertensi kronik dan
hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infrak. Demikian juga
hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik
melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan
resiko pembentukan bekuan.
3). Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kapiler ginjal. Glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan
mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut
menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan
keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan
edema yang sering di jumpai pada hipertensi kronik.
4). Ketidak mampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya kejantung
dengan cepat dengan mengakibatkan caitan terkumpul diparu, kaki dan jaringan lain
sering disebut edema. Cairan didalam paru-paru menyebabkan sesak napas, timbunan
cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema.
Ensefolopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat).
Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan
mendorong cairan kedalam ruangan intertisium diseluruh susunan saraf pusat.
Neuron-neuron disekitarnya kolap dan terjadi koma.
Sedangkan menurut Menurut (Ahmad,2011) Hipertensi dapat diketahui dengan
mengukur tekanan darah secara teratur. Penderita hipeertensi, apabila tidak ditangani
dengan baik, akan mempunyai resiko besar untuk meninggal karena komplikasi
kardovaskular seperti stoke, serangan jantung, gagal jantung,
dan gagal ginjal, target kerusakan akibat hipertensi antara lain :
a. Otak : Menyebabkan stroke
b. Mata : Menyebabkan retinopati hipertensi dan dapat menimbulkan kebutaan
c. Jantung : Menyebabkan penyakit jantung koroner (termasuk infark jantung)
d. Ginjal : Menyebabkan penyakit ginjal kronik, gagal ginjal terminal

9. Klasifikasi PPOK dan Hipertensi


a.Klasifikasi PPOK
Diagnosis dan klasifikasi PPOK memerlukan spirometri, FEV1 (forced expiratory
volume in one second) / FVC (forced vital capacity) post-bronkodilator ≤ 0.7
mengkonfirmasi adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat reversible parsial.
Spirometri sebaiknya dilakukan pada semua orang dengan riwayat : paparan dengan
rokok; dan/atau polutan lingkungan atau pekerjaan; dan/atau adanya batuk, produksi
sputum atau dispnea. Klasifikasi spirometri terbukti berguna dalam memprediksi : status
kesehatan, penggunaan sarana kesehatan, perkembangan eksaserbasi, dan mortalitas
dalam PPOK.

b. Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu : hipertensi sistolik dan
hipertensi diastolik. Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut terlalu
kuat sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan
tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Ini adalah
tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan tercermin pada hasil pembacaan
tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar. Kedua yaitu hipertensi
diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal,
sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan
meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan dengan
tekanan dalam arteri apabila jantung berada dalam keadaan relaksasi diantara dua
denyutan (Martalena dalam Hardinsyah 2014)
Beberapa klasifikasi hipertensi, diantaranya yaitu: klasifikasi hipertensi menurut JNC
(Joint Committe on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure).
Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder dan
primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang peyebab spesifiknya dapat
diketahui. Faktor yang mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain: ras, umur,
obesitas, asupan garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.

10. Pemeriksaan penunjang PPOK dan Hipertensi


a.Pemeriksaan Penunjang PPOK
a. Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan diagnosis,
melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting
untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai
tingkat. Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang
dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC).
Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan
pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan
Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1
b. Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru
lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu
diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma
mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal).
Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat
menunjukkan hasil yang normal aataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
c. Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah amat penting untuk
dilakukan. AGD wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan
nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tandatanda kegagalan
respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan engkel, dan
peningkatan jugular venous pressure. Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran
yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis
kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi
yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%, hal ini menunjukkan
adanya shunt kanan ke kiri. Dapat juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan
adanya 10 hipoventilasi alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang
terkompensasi.
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat, khususnya pada saat terjadinya
eksaserbasi akut. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
e. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis pada eksaserbasi
akut, polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk melihat terjadinya peningkatan
hematokrit.
f. Pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui komplikasi pada
jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain
yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi
bronkus, CT- scan resolusi tinggi, ecocardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1
antitryipsin

b. Pemeriksaan penunjang Hipertensi


Menurut (Widjadja,2009) pemeriksaan penunjang pada penderita hipertensi antara
lain:
a. General check up, jika seseorang di duga menderita hipertensi, dilakukan beberapa
pemeriksaan, yakni wawancara untuk mengetahui ada tidaknya riwayat keluarga
penderita. Pemeriksaan fisik, pemeriksan laboratorium, pemeriksaan ECG, jika perlu
pemeriksaan khusus, seperti USG, Echocaediography (USG jantung), CT Scan, dan
lain-lain. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi yang
ditimbulkan. Langkah pengobata adalah yang mengendalikan tensi atau tekanan darah
agar tetap normal.
b. Tujuan pemeriksaan laboratolriun untuk hipertensi ada dua macam yaitu:
1. Panel Evaluasi Awal Hipertensi : pemeriksaan ini dilakukan segera setelah
didiagnosis hipertensi, dan sebelum memulai pengobatan.
2. Panel hidup sehat dengan hipertensi : untuk memantau keberhasilan terapi.

11. Askep PPOK & Hipertensi


a.Askep PPOK
Diagnosa:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d produksi sputum yang masih produktif
Intervensi:
Setelah di lakukan tindakan keperawatan 2x24 jam di harapkan bersihan jalan napsa
sebagian teratasi dengan kriteria hasil :
 klien mengatakan sudah sudah dapat mengeluarkan dahak.
 klien mengatakan batuk berkurang -batuk efektif dan mengeluarkan secret
 TTV : TD :120/80-140/100 NADI :60-100x/mnt SUHU : 36,5-37,5 RR : 18-22
x/mnt
Tujuan:
 kaji ulang fungsi pernapasan,irama, kecepatan, bunyi napas.
 catat kemampuan mengeluarkan secret dan batuk efektif.
 beri posisi semi fowler
 lakukan teraphi dada
 ajarkan batuk efektif
 berikan obat pengencer dahak

b. Askep Hipertensi
Diagnosa :
Potensial perubahan perfusi jaringan serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan
gangguan sirkulasi.
a. Tujuan (NOC) :
1) Sirkulasi tubuh tidak terganggu
b. Kriteria hasil :
1) Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti ditunjukkan
dengan : TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala, pusing,
nilai-nilai laboratorium dalam batas normal
2) Haluaran urin 30 ml/ menit
3) Tanda-tanda vital stabil
c. Intervensi (NIC) :
- Pertahankan tirah baring; tinggikan kepala tempat tidur
- Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan pemantau
tekanan arteri jika tersedia
- Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai pesanan
- Amati adanya hipotensi mendadak
- Ukur masukan dan pengeluaran
- Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai pesanan
- Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan.

Daftar Pustaka

Siti Nur Kholifah. 2016. Keperawatan Gerontik. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI


Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran pernafasan akut. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke- 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. 2006
Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global strategy for the
diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease: GOLD
executive summary. Am J Respir Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65. (terjemahan: Arto
Yuwono Soeroto, Hendarsyah Suryadinata)
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2007. Laporan Nasional 2007; 2008. p275-85
Jurnal Resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Official Journal of The Indonesian Society of
Respirology. VOLUME 41, NOMOR 1, Januari 2021
Kementerian Kesehatan RI. (2021). Info Data dan Informasi: Hipertensi. <
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hipertensi-si-
pembunuh-senyap.pdf

World Health Organization. (2019). Hypertension.


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hypertension

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC
NOC. Yogyakarta : Media Action.

Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP. IKIP.

Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2.
Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

The Eight Joint National Commitee. Evidence based guideline for the management of high blood
pressure in adults-Report from the panel members appointed to the eight joint national commitee.
2014.
ESH and ESC. 2013. ESH/ESC Guidelines For the Management Of Arterial Hypertension.
Journal Of hypertension 2013, vol 31, 1281-1357.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The McGraw – Hill
Companies. 2005
Mohammad Yogiantoro. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Hipertensi Esensial. Perhipunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai