Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab kematian secara

global. Data WHO menunjukkan bahwa 57 juta kematian yang terjadi di

dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya

disebabkan oleh penyakit tidak menular. PTM juga membunuh penduduk

dengan usia yang lebih muda. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi

rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang

berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan di

negara-negara maju, menyebabkan 13% kematian (Riskesdas, 2012).

Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit

Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat diseluruh dunia,

peningkatan terbesar akan terjadi di negar-negara menengah dan miskin.

Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat

penyakit tidak menular. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi

akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular,

naik 14 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini (WHO, 2007).

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit kronis

yang tidak ditularkan dari orang ke orang (PTM). Penyakit Paru Obstruktif

Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati,

ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel,

bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap

partikel atau gas yang beracun /berbahaya, disertai efek ekstra paru yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Karakteristik hambatan aliran

udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas

kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang

bervariasi pada setiap individu (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011).

PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam

waktu yang lama. Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal

yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap

rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi

dan gangguan fungsi paru. Resiko PPOK pada perokok tergantung dari

dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok

pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Tidak semua perokok

berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh factor

resiko genetik setiap individu (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Di Asia Pasifik diperkirakan prevalensi PPOK sebesar 6,3% dengan

prevalensi maksimum terdapat di Vietnam (6,7%) dan Republik Rakyat

Cina (6,5%), sedangkan yang terendah terdapat di Hongkong dan Singapura

masing-masing (3,5%) (WHO, 2007).

Di Indonesia prevalensi PPOK 3,7%, tertinggi terdapat di wilayah

Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi

Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing (6,7%). Prevalensi PPOK pada

laki-laki cendrung lebih tinggi dari pada perempuan (Penelitian &

Pengembangan, 2013). Di Bali prevalensi PPOK 3,5%, Kabupaten

Karangasem merupakan wilayah dengan prevalensi PPOK teringgi di Bali

2
(9,4%), diikuti Kabupaten Bangli (6,5%), dan Kabupaten Klungkung (6,0%)

(Kusrini, 2013).

Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, pada tahun 2030 PPOK akan

jadi penyebab kematian ketiga didunia setelah kanker dan penyakit jantung

(Riskesdas, 2012). Meningkatnya prevalensi PPOK ini terkait dengan

bertambahnya usia harapan hidup penduduk, pergeseran pola penyakit

infeksi yang menurun sedangkan penyakit degeneratif bertambah,

meningkatnya kebiasaan merokok, dan polusi udara.

Meningkatnya usia harapan hidup (UHH) memberikan dampak yang

kompleks terhadap kesejahteraan lansia. Di satu sisi peningkatan UHH

mengindikasikan peningkatan taraf kesehatan warga negara. Namun di sisi

lain menimbulkan masalah karena dengan meningkatnya jumlah penduduk

usia lanjut akan berakibat semakin besarnya beban yang ditanggung oleh

keluarga, masyarakat dan pemerintah, terutama dalam menyediakan

pelayanan dan fasislitas lainnya bagi kesejahteraan lansia. Hal ini karena

pada usia lanjut individu akan mengalami perubahan fisik, mental, sosial

ekonomi dan spiritual yang mempengaruhi kemampuan fungsional dalam

aktivitas kehidupan sehari-hari sehingga menjadikan lansia menjadi lebih

rentan menderita gangguan kesehatan baik fisik maupun mental. Walaupun

tidak semua perubahan struktur dan fisiologis, namun diperkirakan setengah

dari populasi penduduk lansia mengalami keterbatasan dalam aktivitas

kehidupan sehari-hari, dan 18% diantaranya sama sekali tidak mampu

beraktivitas. Berkaitan dengan kategori fisik, diperkirakan 85% dari

3
kelompok umur 65 tahun atau lebih mempunyai paling tidak satu masalah

kesehatan.

Masalah kesehatan yang sering menimpa kelompok lansia ternyata

gangguan pernapasan menempati urutan kedua 14,5% setelah penyakit

kardiovaskuler dalam pola penyakit masyarakat usia >55 tahun. Dan

berdasarkan survey WHO di Jawa ditemukan bahwa PPOK menempati

urutan pertama (49%) dari pola penyakit lansia (WHO, 2007).

Proses PPOK dimulai dari sekret bronkus yang dihasilkan akibat

reaksi iritasi cukup banyak, secret bronkus menjadi tempat perbenihan yang

ideal bagi berbagai jenis kuman yang berhasil masuk ke saluran pernapasan

bawah sehingga mudah terjadi infeksi sekunder yang secara klinis

digolongkan sebagai infeksi saluran pernapasan bawah. Reaksi inflamasi

bronkus dan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis sebagai akibat

dari proses tersebut. Faktor yang mempengaruhi yaitu usia yang semakin tua

yang menyebabkan terjadinya sumbatan pada lumen bronkus-bronkus kecil

dan bronkiolus sehingga terjadi gangguan ventilasi (Danusantoso, 2013).

Ventilasi merupakan gerakan yang aktif yang menggunakan otot-otot

pernapasan, udara masih akan dapat menembus sumbatan lumen dan masuk

kedalam alveolus, tetapi karena ekspirasi merupakan gerakan pasif yang

hanya mengandalkan elastisitas jaringan interstitial paru (yang mengandung

banyak serat-serat elastis, tidak semua udara hasil inspirasi dapat

dikeluarkan lagi atau terjadi obstruksi awal ekspirasi. Udara bekas inspirasi

akan tertumpuk di alveolus. Siklus ini berulang sehingga akhirnya akan

4
terjadi distensi alveolus. Proses ini dikenal dengan air-trapping

(Danusantoso, 2013).

Air-trapping merupakan proses yang progresif yang menyebabkan

menghilangnya elastisitas jaringan inter-alveolar yang merupakan sebagian

dari jaringan interstitial paru sehingga ekspirasi menjadi semakin dangkal.

Sesak nafas dan penurunan ventilasi akan terjadi sebagai akibat dari

ekspirasi dangkal. Adanya penurunan ventilasi menyebabkan suplai oksigen

ke dalam paru menjadi menurun yang mengakibatkan terjadi penumpukan

karbondioksida, peningkatan tekanan parsial karbonsioksida (PaCO2),

penurunan tekanan parsial oksigen (PaO2), penurunan pH darah.

Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan terjadi sehingga terjadi

gangguan pertukaran gas (Danusantoso, 2013). Tekanan parsial karbon

dioksida (PaCO2) meningkat dan tekanan parsial oksigen (PaO2) menurun

yang merupakan indikator mayor dari masalah gangguan pertukaran gas.

Penelitian yang di lakukan di Hospital Universitario de Brasilia(HUB),

Brazil oleh Palmeira Rodrigues et al.,( 2015), menemukan PaO2 sebesar

79% pasien PPOK dengan PaO2 < 60 mmHg jauh lebih rendah dengan

PaO2 normal sebesar 80-100 mmHg. Kerusakan eliminasi karbon dioksida

akan terjadi pada tahap akhir penyakit sehingga akan terjadi peningkatan

kadar karbondioksida dalam darah arteri atau disebut dengan hiperkapnia.

Hiperkapnia pada pasien PPOK berhubungan dengan penelitian yang

dilakukan di Sweden oleh Zainab Asmadi. Penelitian ini menemukan bahwa

39% pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dengan PaCO2

> 6,5 kPa (48,75 mmHg), dimana hasil ini menunjukkan lebih tinggi dari

5
PaCO2 normal yaitu 35-45 mmHg. Tekanan parsial karbondioksida

(PaCO2) meningkat akan terjadi hipoventilasi alveolar umum. Hipoventilasi

alveolar terjadi jika Tidal Volume (TV) berkurang itu dipengaruhi oleh

ruang rugi, seperti yang terjadi ketika seseorang bernafas dengan cepat dan

dangkal. Dampak yang diakibatkan dari adanya gangguan pertukaran gas

adalah terjadi alkalosis respiratorik yaitu keadaan dimana terjadi

peningkatan kadar pH dalam darah dan asidosis respiratorik dimana asidosis

respiratorik ditandai dengan kadar pH darah akan turun. Penelitian yang

dilakukan di Spanyol oleh Masa et al., (2016), ditemukan dari 969 pasien

terdapat 540 pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dengan

nilai pH 7,25. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan

pertukaran gas berdasarkan teori Nursing Interventions Classification (NIC)

adalah manajemen jalan nafas, terapi oksigen, monitor pernafasan,

pemasangan infus, terapi intravena(IV), manajemen cairan, bantuan

ventilasi.

Dampak yang diakibatkan oleh PPOK selain menyebabkan kematian

yang tinggi adalah keterbatasan aktivitas pada pasien PPOK yang

merupakan keluhan utamanya yang akan mempengaruhi kualitas hidupnya.

Selain itu inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan resiko

penyakit kardiovaskiler, osteoporosis dan depresi merupakan menifestasi

sistemik pasien PPOK. Sesak napas dan dan pola sesak napas yang tidak

selaras akan menyebabkan pasien PPOK sering menjadi panik, cemas dan

akhirnya frustasi. Gejala ini merupakan penyebab utama pasien PPOK

mengurangi aktivitas fisiknya untuk menghindari sesak napas.

6
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penulis

melakukan penelitian di UPTD Kesehatan/Puskesmas Selat yang berjudul

“Gambaran Asuhan Keperawatan pada Lansia Penyakit Paru Obstruksi

Kronis dengan Gangguan Pertukaran Gas”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah

dalam laporan kasus ini adalah: “Bagaimanakah asuhan keperawatan pada

lansia penyakit paru obstruksi kronis dengan gangguan pertukaran gas di

UPTD Kesehatan/Puskesmas Selat, Kabupaten Karangasem?”

C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian studi kasus ini adalah untuk

memberikan gambaran asuhan keperawatan pada lansia penyakit paru

obstruksi kronis (PPOK) dengan gangguan pertukaran gas di UPTD

Kesehatan/Puskesmas Selat, Kabupaten Karangasem.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian studi kasus gambaran asuhan

keperawatan pada lansia penyakit paru obstruksi kronik dengan

gangguan pertukaran gas di UPTD Kesehatan/Puskesmas Selat adalah

penulis mampu menggambarkan:

a. Pengkajian pada lansia penyakit paru obstruksi kronis dengan

gangguan pertukaran gas.

7
b. Penentuan diagnose atau masalah keperawatan yang muncul pada

pasien penyakit paru obstruksi kronis dengan gangguan pertukaran

gas.

c. Penyusunan intervensi keperawatan secara tepat pada pasien

penyakit paru obstruksi kronis dengan gangguan pertukaran gas.

d. Implementasi keperawatan pada pasien penyakit paru obstruksi

kronis dengan gangguan pertukaran gas.

e. Evaluasi tindakan yang telah dilakukan pada pasien penyakit paru

obstruksi kronis dengan gangguan pertukaran gas.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Menjadi acuan untuk studi kasus selanjutnya dalam pengembangan

ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pada

lansia dengan penyakit paru obstruksi kronik.

Disamping itu juga berfungsi untuk mengetahui antara teori dan

kasus nyata yang terjadi dilapangan apakah sudah sesuai atau tidak.

2. Manfaat praktis

a. Bagi institusi pendidikan

Dapat digunakan sebagai referensi bagi institusi pendidikan

untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang asuhan

keperawatan pada lansia dengan penyakit paru obstruksi kronis

(PPOK).

b. Bagi perawat

8
Memberikan informasi dan menambah wacana keilmuan bagi

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan

penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).

c. Bagi pasien dan keluarga

Agar pasien dan keluarga mengetahui gambaran umum

tentang gangguan sistem pernapasan penyakit paru obstruksi kronis

(PPOK) serta perawatan yang benar sehingga klien mendapat

perawatan yang tepat.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Lansia dan Proses Penuaan

1. Pengertian lansia

Masa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara 65-75

tahun (Potter, 2006).

Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya

kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa

perubahan dalam hidup. Sebagaimana di ketahui, ketika manusia mencapai

usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak.

Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi

ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi

manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan

baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan

kondisi lingkunganya (Darmojo, 2009).

2. Proses menua

Proses menua merupakan suatu proses yang wajar, bersifat alami

dan pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang

(Nugroho, 2008).

Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku

yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka

mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu (Darmojo, 2009).

3. Teori proses menua

Teori proses menua menurut Potter dan Perry (2005) yaitu sebagai berikut :
a. Teori Biologis

1) Teori radikal bebas

Radikal bebas merupakan contoh produk sampah metabolisme

yang dapat menyebabkan kerusakan apabila terjadi akumulasi.

Normalnya radikal bebas akan dihancurkan oleh enzim

pelindung, namun beberapa berhasil lolos dan berakumulasi di

dalam organ tubuh. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan

seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar ultraviolet,

mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses

penuaan. Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena

itu, radikal bebas dapat menyebabkan gangguan genetik dan

menghasilkan produk-produk limbah yang menumpuk di dalam

inti dan sitoplasma. Ketika radikal bebas menyerang molekul,

akan terjadi kerusakan membran sel, penuaan diperkirakan

karena kerusakan sel akumulatif yang pada akhirnya

mengganggu fungsi. Dukungan untuk teori radikal bebas

ditemukan dalam lipofusin, bahan limbah berpigmen yang kaya

lemak dan protein. Peran lipofusin pada penuaan mungkin

kemampuannya untuk mengganggu transportasi sel dan replikasi

DNA Lipofusin, yang menyebabkan bintik-bintik penuaan,

adalah dengan produk oksidasi dan oleh karena itu tampaknya

terkait dengan radikal bebas.

2) Teori cross-link

11
Teori cross-link dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul

kolagen dan elastin, komponen jaringan ikat, membentuk

senyawa yang lama meningkatkan regiditas sel, cross-linkage

diperkirakan akibat reaksi kimia yang menimbulkan senyawa

antara melokul-melokul yang normalnya terpisah (Potter, 2006).

3) Teori imunologis

Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan.

Selama proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami

kemunduran dalam pertahanan terhadap organisme asing yang

masuk ke dalam tubuh sehingga pada lansia akan sangat mudah

mengalami infeksi dan kanker. Perubahan sistem imun ini

diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak

adanya keseimbangan dalam sel T intuk memproduksi antibodi

dan kekebalan tubuh menurun. Pada sistem imun akan terbentuk

autoimun tubuh. Perubahan yang terjadi merupakan pengalihan

integritas sistem tubuh untuk melawan sistem imun itu sendiri.

b. Teori Psikososial

1) Teori Disengagement (Penarikan Diri)

Teori ini menggambarkan penarikan diri oleh lansia dari peran

masyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan dikatakan

bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan

tanggungjawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda.

Manfaat dari pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah agar

dapat menyediakan waktu untuk merefleksi kembali pencapaian

12
yang telah dialami dan untuk menghadapi harapan yang belum

dicapai.

2) Teori Aktivitas

Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju penuaan

yang sukses maka ia harus tetap beraktivitas. Kesempatan untuk

turut berperan dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan

seseorang yang penting bagi dirinya adalah suatu komponen

kesejahteraan yang penting bagi lansia. Penelitian menunjukkan

bahwa hilangnya fungsi peran lansia secara negatif

mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik

yang berkesinambungan akan memelihara kesehatan sepanjang

kehidupan.

3) Teori Kontinuitas

Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai kemungkinan

kelanjutan dari perilaku yang sering dilakukan klien pada usia

dewasa. Perilaku hidup yang membahayakan kesehatan dapat

berlangsung hingga usia lanjut dan akan semakin menurunkan

kualitas hidup.

4. Tugas Perkembangan Lansia

Menurut Patricia Gonce Morton dkk, 2011 tugas perkembangan keluarga

yaitu:

a. Memutuskan dimana dan bagaimana akan menjalani hidup selama sisa

umurnya.

13
b. Memelihara hubungan yang suportif, intim dan memuaskan dengan

pasangan hidupnya, keluarga, dan teman.

c. Memelihara lingkungan rumah yang adekuat dan memuaskan terkait

dengan status kesehatan dan ekonomi.

d. Menyiapkan pendapatan yang memadai.

e. Memelihara tingkat kesehatan yang maksimal.

f. Mendapatkan perawatan kesehatan dan gizi yang komprehensif.

g. Memelihara kebersihan diri.

h. Menjaga komunikasi dan kontak yang adekuat dengan keluarga dan

teman.

i. Memelihara keterlibatan social, sipil dan politisi.

j. Memulai hobi baru (selain kegiatan sebelumnya) yang meningkatkan

status.

k. Mengakui dan merasakan bahwa ia dibutuhkan.

l. Menemukan arti hidup setelah pensiun dan saat menghadapi penyakit

diri dan pasangan hidup dan kematian pasangan hidup dan orang yang

disayangi; menyesuaikan diri dengan orang yang disayangi.

m. Membangun filosofi hidup yang bermakna dan menemukan

kenyamanan dalam filosofi atau agama.

5. Batasan Lanjut Usia

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO dalam Psychologymania, 2013

batasan lanjut usia meliputi :

a. Usia pertengahan (middle age) adalah kolompok usia 45-59 tahun.

b. Lanjut usia (elderly) antara usia 60-74 tahun.

14
c. Lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun

15
6. Pathway Proses Menua

Proses
Penuaan

Fase 1 Fase 2 Fase 3


subklinik transisi Klinik

Usia 25-35 th Usia 35-45 th Usia 45 th


Penurunan hormon Penurunan Produksi hormon
(testoteron, growt hormon 25% sudah berkurang
hormon) akhirnya berhenti

Polusi udara, diet yang


tidak sehat dan stres

Peningkatan Radikal
Bebas

Kerusakan sel-sel
DNA (sel-sel tubuh)

Sistem dalam tubuh


mulai terganggu,
terjadi menopause,
andropause

(Sumber: http://www.asmanurs3.blogspot.com)

16
7. Tanda dan Gejala

Tanda dan Gejala menurut Patricia Gonce Morton dkk, 2011 yaitu:

a. Perubahan Organik

1) Jumlah jaringan ikat dan kolagen meningkat.

2) Unsur seluler pada sistem saraf, otot, dan organ vital lainnya

menghilang.

3) Jumlah sel yang berfungsi normal menurun.

4) Jumlah lemak meningkat.

5) Penggunaan oksigen menurun.

6) Selama istirahat, jumlah darah yang dipompakan menurun.

7) Jumlah udara yang diekspirasi paru lebih sedikit.

8) Ekskresi hormon menurun.

9) Aktivitas sensorik dan persepsi menurun.

10) Penyerapan lemak, protein, dan karbohidrat menurun.

11) Lumen arteri menebal.

b. Sistem Persyarafan

Tanda:

1) Penurunan jumlah neuron dan peningkatan ukuran dan jumlah

sel neuroglial.

2) Penurunan syaraf dan serabut syaraf.

3) Atrofi otak dan peningkatan ruang mati dalam kranim.

4) Penebalan leptomeninges di medulla spinalis.

Gejala:

17
1) Peningkatan risiko masalah neurologis; cedera serebrovaskuler,

parkinsonisme.

2) Konduksi serabut saraf melintasi sinaps makin lambat.

3) Penurunan ingatan jangka-pendek derajad sedang.

4) Gangguan pola gaya berjalan; kaki dilebarkan, langkah pendek,

dan menekuk ke depan.

5) Peningkatan risiko hemoragi sebelum muncul gejala.

c. Sistem Pendengaran.

Tanda :

1) Hilangnya neuron auditorius.

2) Kehilangan pendengaran dari frekuensi tinggi ke frekuensi

rendah.

3) Peningkatan serumen.

4) Angiosklerosis telinga.

Gejala

1) Penurunan ketajaman pendengaran dan isolasi social

(khususnya, penurunan kemampuan untuk mendengar

konsonan).

2) Sulit mendengar, khususnya bila ada suara latar belakang yang

mengganggu, atau bila percakapan cepat.

3) Impaksi serumen dapat menyebabkan kehilangan pendengaran.

d. Sistem Penglihatan

Tanda :

1) Penurunan fungsi sel batang dan sel kerucut.

18
2) Penumpukan pigmen.

3) Penurunan kecepatan gerakan mata.

4) Atrofi otot silier.

5) Peningkatan ukuran lensa dan penguningan lensa.

6) Penurunan sekresi air mata.

Gejala :

1) Penurunan ketajaman penglihatan,lapang penglihatan, dan

adaptasi terhadap terang/gelap.

2) Peningkatan kepekaan terhadap cahaya yang menyilaukan.

3) Peningkatan insiden glaucoma.

4) Gangguan persepsi kedalaman dengan peningkatan kejadian

jatuh.

5) Kurang dapat membedakan warna biru, hijau,dan violet.

6) Peningkatan kekeringandan iritasi mata.

e. Sistem Kardiovaskuler

Tanda :

1) Atrofi serat otot yang melapisi endocardium.

2) Aterosklerosis pembuluh darah.

3) Peningkatan tekanan darah sistolik.

4) Penurunan komplian ventrikel kiri.

5) Penurunan jumlah sel pacemaker.

6) Penurunan kepekaan terhadap baroreseptor.

Gejala:

1) Peningkatan tekanan darah.

19
2) Peningkatan penekanan pada kontraksi atrium dengan S4

terdengar.

3) Peningkatan aritmia.

4) Peningkatan resiko hipotensi pada perubahan posisi.

5) Menuver valsava dapat menyebabkan penurunan tekanan darah.

6) Penurunan toleransi.

f. Sistem Respirasi

Tanda:

1) Penurunan elastisitas jaringan paru.

2) Kalsifikasi dinding dada.

3) Atrofi silia.

4) Penurunan kekuatan otot pernafasan.

5) Penurunan tekanan parsial oksigen arteri (PaO2).

Gejala:

1) Penurunan efisiensi pertukaran ventilasi.

2) Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan atelectasis.

3) Peningkatan resiko aspirasi.

4) Penurunan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia.

5) Peningkatan kepekaan terhadap narkotik.

g. Sistem Gastrointestinal

Tanda:

1) Penurunan ukuran hati.

2) Penurunan tonus otot pada usus.

3) Pengosongan esophagus makin lambat.

20
4) Penurunan sekresi asam lambung.

5) Atrofi lapisan mukosa.

Gejala:

1) Perubahan asupan akibat penurunan nafsu makan.

2) Ketidaknyamanan setelah makan karena jalannya makanan

melambat.

3) Penurunan penyerapan kalsium dan besi.

4) Peningkatan resiko konstipasi, spasme esophagus, dan penyakit

divertikuler.

h. Sistem Reproduksi

Tanda:

1) Atrofi dan fibrosis dinding serviks dan uterus.

2) Penurunan elastisitas vagina dan lubrikasi.

3) Penurunan hormone dan oosit.

4) Involusi jaringan kelenjar mamae.

5) Poliferasi jaringan stroma dan glandular.

Gejala :

1) kekeringan vagina dan rasa terbakar dan nyeri saat koitus.

2) penurunan volume cairan semina dan kekuatan ejakulasi.

3) penurunan elevasi testis.

4) hipertrofi prostat.

5) jaringan ikat payudara digantikan dengan jaringan lemak,

sehingga pemeriksaan payudara lebih mudah dilakukan.

i. Sistem Perkemihan

21
Tanda:

1) Penurunan masa ginjal.

2) Tidak ada glomerulus.

3) Penurunan jumlah nefron yang berfungsi.

4) Perubahan dinding pembuluh darah kecil.

5) Penurunan tonus otot kandung kemih.

Gejala:

1) Penurunan GFR.

2) Penurunan kemampuan penghematan natrium.

3) Peningkatan BUN.

4) Penurunan aliran darah ginjal.

5) Penurunan kapasitas kandung kemih dan peningkatan urin

residual.

6) Peningkatan urgensi.

j. Sistem Endokrin

Tanda:

1) Penurunan testosterone, hormone pertumbuhan, insulin,

androgen, aldosteron, hormone tiroid.

2) Penurunan termoregulasi.

3) Penurunan respons demam.

4) Peningkatan nodularitas dan fibrosis pada tiroid.

5) Penurunan laju metabolic basal.

Gejala:

22
1) Penurunan kemampuan untuk menoleransi stressor seperti

pembedahan.

2) Penurunan berkeringat dan menggigil dan pengaturan suhu.

3) Penurunan respons insulin, toleransi glukosa.

4) Penurunan kepekaan tubulus ginjal terhadap hormone

antidiuretic.

5) Penambahan berat badan.

6) Peningkatan insiden penyakit tiroid.

k. Sistem Kulit Integumen

Tanda:

1) Hilangnya ketebalan dermis dan epidermis.

2) Pendataran papilla.

3) Atrofi kelenjar keringat.

4) Penurunan vaskularisasi.

5) Cross-link kolagen.

6) Tidak adanya lemak sub kutan.

7) Penurunan melanosit.

8) Penurunan poliferasi dan fibroblast.

Gejala:

1) Penipisan kulit dan rentan sekali robek.

2) Kekeringan dan pruritus.

3) Penurunan keringat dan kemampuan mengatur panas tubuh.

4) Peningkatan kerutan dan kelemahan kulit.

23
5) Tidak adanya bantalan lemak yang melindungi tulang dan

menyebabkan timbulnya nyeri.

6) Penyembuhan luka makin lama.

l. Sistem Muskuloskletal

Tanda:

1) Penurunan massa otot.

2) Penurunan aktivitas myosin adenosine tripospat.

3) Perburukan dan kekeringan pada kartilago sendi.

4) Penurunan massa tulang dan aktivitas osteoblast.

Gejala:

1) Penurunan kekuatan otot.

2) Penurunan densitas tulang.

3) Penurunan tinggi badan.

4) Nyeri dan kekakuan pada sendi.

5) Peningkatan risiko fraktur.

6) Perubahan cara berjalan dan postur.

8. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Stanley dan Patricia, 2011 Pemeriksaan laboatorium rutin

yang perlu diperiksa pada pasien lansia untuk mendeteki dini

gangguan kesehatan yang sering dijumpai pada pasien lansia yang

belum diketahui adanya gangguan / penyakit tertentu (penyakit

degeneratif) yaitu :

a. Pemerikasaan hematologi rutin

b. Urin rutin.

24
c. Glukosa.

d. Profil lipid.

e. Alkalin pospat.

f. Fungsi hati.

g. Fungsi ginjal.

h. Fungsi tiroid.

i. Pemeriksaan feses rutin.

B. Konsep Teori Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

1. Pengertian penyakit paru obstruksi kronis

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan

aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau

reversibel parsial (PDPI, 2011).

Global initiative for chronic obstruktive lung disease (GOLD)

mengartikan PPOK adalah suatu penyakit yang bisa dilakukan

pencegahan dan pengobatan. PPOK memiliki tanda dan gejala

terdapatnya hambatan aliran udara dalam saluran pernafasan yang

bersifat progresif. PPOK juga terdapat peradangan atau inflamasi pada

saluran pernafasan dan paru-paru yang diakibatkan oleh adanya partikel

dan gas yang berbahaya (GOLD, 2011).

2. Faktor Resiko Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Pada dasarnya semua resiko PPOK merupakan hasil dari interaksi

lingkungan dan gen (PDPI, 2011). Dua orang dengan riwayat merokok

yang sama, hanya satu yang berkembang menjadi PPOK, karena

25
perbedaan dalam predisposisi genetik untuk penyakit ini, atau dalam

berapa lama mereka hidup.

Status sosial ekonomi dapat dihubungkan dengan berat badan lahir

anak yang dapat berdampak pada pertumbuhan dan pengembangan paru.

Dengan demikian beberapa hal yang berkaitan dengan risiko timbulnya

PPOK sampai saat ini dapat disimpulkan seperti dibawah ini:

a. Asap rokok.

b. Polusi udara.

c. Stress oksidatif.

d. Gen.

e. Tumbuh kembang paru.

f. Social ekonomi.

(PDPI, 2011)

Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang

terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok

mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi

dan gangguan fungsi paru (PDPI, 2011). Dari penelitian dapat

disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara derajat merokok

dengan kejadian PPOK. Kecendrungan penderita PPOK mempunyai

riwayat merokok sebesar (73,10%) lebih besar dibanding non PPOK

(26,90%). Dan orang dengan derajat merokok berat kecendrungan

terkena PPOK 3 kali lebih besar dibandingkan dengan perokok ringan

dan sedang (Antara, & Prabaningtyas, 2010).

26
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar

dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam

partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan

beratnya PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab,

polusi udara terbagi menjadi :

a. Polusi di dalam ruangan

1) Asap rokok

2) Asap kompor

b. Polusi di luar ruangan

1) Gas buang kendaraan bermotor

2) Debu jalanan

c. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan

endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya, sedangkan oksidan

eksogen dari polutan dan asap rokok. Ketika keseimbangan antara

oksidan dan antioksidan berubah bentuk maka akan menimbulkan stres

oksidatif. Stres oksidatif akan menimbulkan kerusakan pada paru dan

juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal imflamasi paru.

Jadi ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan memegang

peranan penting pada pathogenesis PPOK.

PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi

gen-lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah

kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin.

Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin

27
Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema

panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada

perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin

yang berat. Banyak variasi individu dalam hal beratnya emfisema dan

penurunan fungsi paru.

Pertumbuhan dan perkembangan paru berhubungan dengan proses

selama kehamilan, kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan

maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko untuk

terjadinya PPOK. Studi metaanalis menyatakan bahwa berat lahir

mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.

Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat

dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan,

pemukinan yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang

berhubungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat

menjelaskan hal ini.

3. Patofisiologi

Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme

patofisiologis yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang

karakteristik. Misalnya penurunan FEV1 yang terjadi disebabkan

peradangan dan penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer

gas yang menurun disebabkan kerusakan parenkim yang terjadi pada

emphysema (PDPI, 2011).

28
Gambar 1. Patofisiologi PPOK
(PDPI, 2011)

4. Klasifikasi

Diagnosis dan klasifikasi PPOK memerlukan spirometri, FEV 1

(forced expiratory volume in one second) / FVC (forced vital capacity)

post-bronkodilator ≤ 0.7 mengkonfirmasi adanya keterbatasan aliran

udara yang bersifat reversible parsial. Spirometri sebaiknya dilakukan

pada semua orang dengan riwayat : paparan dengan rokok; dan/atau

polutan lingkungan atau pekerjaan; dan/atau adanya batuk, produksi

sputum atau dispnea. Klasifikasi spirometri terbukti berguna dalam

memprediksi : status kesehatan, penggunaan sarana kesehatan,

perkembangan eksaserbasi, dan mortalitas dalam PPOK.

Tabel 1
Klasifikasi PPOK

Derajat Klinis Faal Paru

1 2 3
Gejala klinis (batk, Normal
produksi sputum)
Derajat I: Gejala batuk kronik dan VEP1 / KVP < 70 %.
PPOK Ringan produksi sputum ada

29
1 2 3
tetapi tidak sering. pada
derajat ini pasien sering
tidak menyadari bahwa
fungsi paru mulai
menurun
Derajat II: Gejala sesak mulai VEP1 /KVP < 70 % 50%
PPOK Sedang dirasakan < VEP1 < 80%
saat aktivitas dan kadang prediksi
ditemukan gejala batuk
dan
produksi sputum. Pada
derajat
ini biasanya pasien mulai
memeriksakan
kesehatannya
Derajat III: Gejala sesak lebih berat, VEP1 /KVP < 70 %
PPOK Berat penurunan aktivitas, rasa 30% < VEP1 < 50%
lelah prediksi
dan serangan eksaserbasi
semakin sering dan
berdampak
pada kualitas hidup pasien
Derajat IV: Gejala di atas ditambah VEP1/ KVP < 70 %
PPOK Sangat tandatanda VEP1< 30% prediksi atau
Berat gagal napas atau gagal VEP1 < 50% prediksi
jantung kanan dan disertai gagal napas
ketergantungan oksigen. kronik
Pada
derajat ini kulitas hidup
pasien
memburuk dan jika
eksaserbasi
dapat mengancam jiwa
(PDPI, 2011)

5. Diagnosis

Diagnosis klinis untuk PPOK harus dicurigai jika pasien

mengalami kesulitan bernafas, batuk kronis atau terbentuknya sputum

dan riwayat terkena faktor resiko penyakit ini. Spirometri dibutuhkan

untuk diagnosis klinis PPOK; adanya postbronchodilator

30
FEV1/FVC<0.70 mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara dan

PPOK.

6. Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi kronis

Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:

a. Mengurangi gejala

b. Mencegah progresifitas penyakit

c. Meningkatkan toleransi latihan

d. Meningkatkan status kesehatan

e. Mencegah dan menangani komplikasi

f. Mencegah dan menangani eksaserbasi

g. Menurunkan kematian

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

a Edukasi

b Berhenti merokok

c. Obat-obatan

d. Rehabilitasi

e. Terapi oksigen

f. Ventilasi mekanik

g. Nutrisi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang

pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada

asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan

progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti

dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma

31
yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki

derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari

asma.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :

a. Pengetahuan dasar tentang PPOK

b. Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya

c. Cara pencegahan perburukan penyakit

d. Menghindari pencetus (berhenti merokok)

e. Penyesuaian aktiviti

C. Konsep Teori Gangguan Pertukaran Gas

1. Definisi

Gangguan pertukaran gas didefinisikan sebagai kelebihan atau

kekurangan oksigenasi dan/eliminasi karbondioksida pada membran

alveolus-kapiler (PPNI, 2017).

2. Penyebab

Penyebab terjadinya gangguan pertukaran gas antara lain

disebabkan oleh:

a. Ketidak seimbangan ventilasi-perfusi.

b. Perubahan membran alveolus-kapiler.

(PPNI, 2017)

3. Gejala dan Tanda Gangguan Pertukaran Gas

Gejala dan tanda mayor untuk diagnosa keperawatan gangguan

pertukaran gas adalah:

a. Gejala dan tanda mayor subyektif:

32
1) Dispnea

b. Gejala dan tanda mayor obyektif:

1) PCO2 meningkat/menurun.

2) PO2 menurun.

3) Takikardia.

4) pH arteri meningkat/menurun.

5) Bunyi napas tambahan.

(PPNI, 2017).

4. Patofisiologi Gangguan Pertukaran Gas pada PPOK

Gangguan pertukaran gas yang terjadi pada pasien PPOK diawali

dengan adanya penyempitan bronkiolus dan adanya penyumbatan yang

disebabkan karena terjadinya iritasi. Kelenjar yang mensekresi lendir

dan sel-sel goblet akan meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan

lebih banyak sekret yang dihasilkan. Sekret bronkus yang dihasilkan

cukup banyak dan kental, secret bronkus menjadi tempat perbenihan

yang ideal bagi berbagai jenis kuman yang berhasil masuk ke saluran

pernapasan bawah sehingga mudah terjadi infeksi sekunder yang secara

klinis digolongkan sebagai infeksi saluran pernapasan bawah (Sony

Faisal Rinaldi, 2013).

Reaksi inflamasi bronkus dan kerusakan pada dinding bronkiolus

terminalis sebagai akibat dari proses tersebut. Faktor yang

mempengaruhi yaitu usia yang semakin tua yang menyebabkan

terjadinya sumbatan pada lumen bronkus-bronkus kecil dan bronkeolus

sehingga terjadi gangguan ventilasi. Ventilasi merupakan gerakan yang

33
aktif yang menggunakan otot-otot pernapasan, udara masih akan dapat

menembus sumbatan lumen dan masuk ke dalam alveolus, tetapi karena

ekspirasi merupakan gerakan pasif yang hanya mengandalkan elastisitas

jaringan interstitial paru (yang mengandung banyak serat-serat elastis),

Tidak semua udara hasil inspirasi dapat dikeluarkan lagi atau terjadi

obstruksi awal ekspirasi. Udara bekas inspirasi akan tertumpuk di

alveolus. Siklus ini berulang sehingga akhirnya akan terjadi distensi

alveolus. Proses ini dikenal dengan air-trapping (Sony Faisal Rinaldi,

2013)

Air-trapping merupakan proses yang progresif yang menyebabkan

menghilangnya elastisitas jaringan inter-alveolar yang merupakan

sebagian dari jaringan interstitial paru sehingga ekspirasi menjadi

semakin dangkal. Sesak nafas dan penurunan ventilasi akan terjadi

sebagai akibat dari ekspirasi dangkal. Adanya penurunan ventilasi

menyebabkan suplai oksigen ke dalam paru menjadi menurun yang

mengakibatkan terjadi penumpukan karbondioksida, peningkatan

tekanan parsial karbonsioksida (PaCO2), penurunan tekanan parsial

oksigen (PaO2), penurunan pH darah. Ketidakseimbangan antara

ventilasi dan perfusi akan terjadi sehingga terjadi gangguan pertukaran

gas (Sony Faisal Rinaldi, 2013).

D. Konsep Teori Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronis


Dengan Gangguan Pertukaran Gas

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan adalah suatu bagian dari komponen proses

keperawatan sebagai suatu usaha perawat dalam menggali

34
permasalahan yang ada di pasien meliputi pengumpulan data tentang

status kesehatan pasien yang dilakukan secara sistematis, menyeluruh

atau komprehensif, akurat, singkat dan berlangsung secara

berkesinambungan (Muttaqin, 2010). Pengkajian terdiri dari dua yaitu

pengkajian skrining dan pengkajian mendalam. Pengkajian skrining

dilakukan ketika menentukan apakah keadaan tersebut normal atau

abnormal, jika beberapa data ditafsirkan abnormal maka dilakukan

pengkajian mendalam untuk mendapatkan diagnosa akurat. Gangguan

pertukaran gas termasuk ke dalam kategori fisiologis dengan

subkategori respirasi, perawat harus mengkaji data mayor dan minor.

Tanda dan gejala mayor diantaranya yaitu subyektif (dyspnea) dan

objektif ( PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardia, pH

arteri meningkat/menurun, bunyi nafas tambahan). Tanda dan gejala

minor diantaranya yaitu subyektif (pusing, penglihatan kabur),

obyektif (sianosis, diaphoresis, gelisah, napas cuping hidung, pola

nafas abnormal, warna kulit abnormal dan kesadaran menurun).

2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respons

klien terhadap masalah kesehatan baik yang berlangsung actual

maupun potensial (PPNI, 2017). Diagnosis keperawatan bertujuan

untuk megidentifikasi respon individu, keluarga atau komunitas

terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan. Diagnosa yang

difokuskan pada penelitian ini adalah gangguan pertukaran gas yang

merupakan suatu kondisi dimana terjadinya kelebihan atau kekurangan

35
oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membrane

alveolus-kapiler (PPNI, 2017). Tanda dan gejala gangguan pertukaran

gas meliputi data mayor dan data minor yang terdiri dari data subyektif

dan data obyektif. Menurut (PPNI, 2017), tanda dan gejala untuk

masalah keperawatan gangguan pertukaran gas yaitu :

a. Dyspnea.

b. Tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) meningkat/menurun.

c. Tekanan parsial oksigen (PO2) menurun.

d. Takikardia.

e. pH arteri meningkat/menurun.

f. Bunyi nafas tambahan.

g. Pusing.

h. Penglihatan kabur.

i. Sianosis.

j. Diaforesis.

k. Gelisah.

l. Napas cuping hidungm. Pola nafas abnormal (cepat/lambat,

regular/ireguler, dalam/dangkal).

n. Warna kulit abnormal (pucat, kebiruan).

o. Kesadaran menurun.

3. Intervensi

Menurut Nurarif & Kusuma (2015) setelah merumuskan diagnosa

dilanjutkan dengan intervensi dan aktivitas keperawatan untuk

mengurangi, menghilangkan serta mencegah masalah keperawatan

36
klien. Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang meliputi

penentuan prioritas diagnose keperawatan, menetapkan sasaran dan

tujuan, menetapkan kriteria evaluasi serta merumuskan intervensi serta

aktivitas keperawatan. Berikut ini adalah intervensi untuk klien dengan

gangguan pertukaran gas. Tujuan keperawatan berdasarkan Nursing

Outcome Classification (NOC) (Moorhead, S., Johnson, M., Maan, M.

L., & Swanson, 2016):

a Status pernapasan pertukaran gas adalah pertukaran antara

karbondioksida dan oksigen yang berlangsung di alveoli untuk

mempertahankan konsentrasi darah arteri. Kriteria hasil dari status

pernapasan pertukaran gas antara lain :

1) Tekanan parsial oksigen darah arteri dalam batas normal

Kadar tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (PaO2)

yang rendah menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak

mampu bernafas secara adekuat.

PaO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya

mendapatkan terapi oksigen tambahan. Kadar normal PaO2

dalam darah arteri adalah 80-100 mmHg. KadarPaO2 60-80

mmHg disebut dengan hipoksemia ringan. Kadar PaO2 40-60

mmHg disebut dengan hipoksemia sedang dan kadar PaO2

(<40 mmHg) disebut dengan hipoksemia berat.

2) Tekanan parsial karbondioksida darah arteri dalam batas

normal. Tekanan parsial karbondioksida (PaCO2) dalam

darah arteri menggambarkan gangguan pernafasan. Pada

37
tingkat metabolisme normal PaCO2 sepenuhnya dipengaruhi

oleh ventilasi. Pada kondisi gangguan metabolisme PaCO2

dapat menjadi tidak normal karena sebagai kompensasi

keadaan metabolic. Nilai normal PaCO2 adalah 35-45

mmHg, nilai PaCO2 (>45 mmHg) disebut dengan

hipoventilasi, nilai PaCO2 (<35mmHg) disebut dengan

hiperventilasi.

3) Kadar pH arteri dalam batas normal. Nilai pH darah menurun

disebut asidemia yaitu keadaan kelebihan asam didalam

darah. Nilai pH darah meningkat disebut alkalemia yaitu

kekurangan asam di dalam darah. Asidemia maupun

alkalemia dapat bersifat respiratorik maupun metabolic.

Adanya mekanisme metabolic mengupayakan adanya suatu

kompensasi, baik terhadap suasana asidema maupun dalam

keadaan alkalemia agar pH darah tetap dalam rentang normal

yaitu 7,4. Jika terjadi perubahan asam basa darah namun

suasana telah terkompensasi sehingga pH mendekati nilai 7,4

keadaan ini sudah tidak digolongkan kedalam asidemia dan

alkalemia tetapi asidosis yaitu asidemia yang sudah

terkompensasi dan alkalosis yaitu alkalemia yang sudah

terkompensasi. Kadar pH normal 7,35-7,45. Kadar pH <7,35

disebut asidemia dan kadar pH >7,45 disebut alkalemia

(Djojodibroto, 2009).

38
4) Saturasi oksigen normal. Saturasi oksigen adalah rasio antara

jumlah oksigen aktual yang terikat oleh hemoglobin terhadap

kemampuan total hemoglobin darah mengikat oksigen dalam

arteri, rentang normal saturasi oksigen adalah antara 95-

100% (Djojodibroto, 2009).

5) Keseimbangan ventilasi dan perfusi. Ventilasi udara dan

volume darah yang mengalir pada waktu istirahat berkisar

sama yaitu lima liter udara per menit, atau V=5 liter/menit

dan lima liter darah permenit atau Q=5 liter/menit dengan

rasio ventilasi perfusinya adalah V/Q = 1 (ideal)

(Djojodibroto, 2009).

6) Tidak ada dyspnea saat istirahat. Dipsnea merupakan dampak

peningkatan upaya untuk bernapas (work of breathing) dapat

ditemui pada berbagai kondisi klinis penyakit paru obstruktif

kronik. Dipsnea sering disebut sebagai napas pendek,

breathlessness, atau shortness of breath. Dipsnea adalah

gejala subjektif berupa keinginan penderita untuk

meningkatkan upaya pernapasan. Karena sifatnya subjektif,

dipsnea tidak dapat diukur (Djojodibroto, 2009).

b Keseimbangan elektrolit dan asam basa. Keseimbangan elektrolit

dan asam basa merupakan keseimbangan elektrolit dan non-

elektrolit pada ruang intraseluler dan ekstraseluler tubuh. Kriteria

hasil dari keseimbangan elektrolit dan asam basa antara lain :

1) Denyut jantung apical.

39
2) Irama jantung apical.

c) Frekuensi pernafasan.

4) Irama pernafasan.

c Status pernafasan ventilasi

Status pernafasan ventilasi adalah volume udara yang bergerak

masuk dan keluar dari hidung atau mulut pada proses bernapas

(Djojodibroto, 2009). Kriteria hasil dari status pernafasan ventilasi

antara lain :

1) Frekuensi pernafasan normal

Frekuensi pernafasan merupakan jumlah udara yang keluar

masuk ke paru paru setiap kali bernafas. Pada umumnya

frekuensi pernafasan manusia setiap menitnya antara 12-20

kali/menit. Cepat atau lambatnya frekuensi pernafasan

dipengaruhi oleh lima faktor yaitu usia, jenis kelamin, suhu

tubuh dan kondisi kedudukan tubuh (Djojodibroto, 2009).

2) Irama pernafasan normal. Irama pernafasan adalah

keteraturan inspirasi dan ekspirasi pernafasan yang normal.

Irama pernafasan menggambarkan teratur atau tidaknya

pernafasan (Djojodibroto, 2009).

3) Kedalaman pernafasan normal

Kedalaman inspirasi dikaji dengan mengamati derajat

penyimpangan atau gerakan dinding dada (Djojodibroto,

2009).

4) Suara perkusi nafas

40
Pengetukan dada (perkusi) akan menghasilkan vibrasi pada

dinding dada dan organ paru dibawahnya yang akan

dipantulkan dan diterima oleh pendengaran pemeriksa. Nada

dan kerasnya bunyi tergantung pada kuatnya perkusi dan sifat

organ dibawah lokasi perkusi. Perkusi di atas organ yang

padat atau organ yang berisi cairan akan menimbulkan bunyi

dengan amplitude rendah dan frekuensi tinggi disebut dengan

suara pekak (dull, stony dull). Perkusi di atas organ yang

berisi udara menimbulkan bunyi resonasi, hiper-resonansi

dan timpani. Cara melakukan perkusi adalah permukaan

palmar jari tengah (yang berperan sebagai pleksimeter)

diletakkan pada dinding dada di atas sela iga kemudian

diketuk dengan jari tengah tangan yang lain (sebagai fleksor)

(Djojodibroto, 2009).

5) Volume tidal

Volume tidal adalah volume udara dalam pernapasan biasa

(normal). Volume rata-rata dalam pernafasan normal adalah

500 cc, 350 cc sampai di paru-paru dan mengalami difusi,

sedangkan 150 cc mengisi saluran nafas dari hidung sampai

bronkus terminalis yang disebut ruang rugi fisiologik. Pada

beberapa penderita gangguan saluran nafas dengan pola nafas

yang dangkal akan menurunkan tidal volume sampai volume

udara yang efektif yang sampai di alveoli (Danusantoso,

2013).

41
6) Kapasitas vital

Kapasitas vital merupakan volume udara maksimal yang

dapat masuk dan keluar paru selama satu siklus pernafasan

yaitu setelah inspirasi maksimal dan ekspirasi maksimal.

Bermakna untuk menggambarkan kemampuan

pengembangan paru dan dada (Djojodibroto, 2009).

d Tanda – tanda vital. Tanda-tanda vital merupakan tingkat suhu,

denyut nadi, respirasi dan tekanan darah berada dalam kisaran

normal. Kriteria hasil dari tanda-tanda vital antara lain:

1) Suhu tubuh.

2) Denyut jantung apical.

3) Irama jantung apical.

4) Denyut nadi radial.

5) Tingkat pernafasan.

6) Irama pernafasan.

7) Tekanan darah sistolik.

8) Tekanan darah diastolic.

9) Tekanan nadi.

10) Kedalaman inspirasi.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi gangguan pertukaran gas

berdasarkan Nursing Interventions Classification (NIC) (Moorhead, S.,

Johnson, M., Maan, M. L., & Swanson, 2016):

Rencana tindakan yang diberikan pada gangguan pertukaran gas antara

lain :

42
a. Manajemen asma

Manajemen asma adalah mengidentifikasi, menangani dan

mencegah reaksi inflamasi/ kontriksi di jalan nafas.

1) Tentukan dasar status pernafasan sebagai titik pembanding

2) Dokuementasikan pengukuran dasar dalam catatan klinik

3) Bandingkan status saat ini dengan status sebelumnya untuk

mendeteksi perubahan dalam status pernafasan

4) Dapatkan pengukuran spirometri (rasio FEV1, FVC,

FEV1/FVC) sebelum dan setelah penggunaan bronkodilator

dengan efek yang cepat (short-actingbronchodilator).

5) Monitor puncak dari jumlah aliran pernafasan (PERF),

dengan tepat.

6) Tentukan pemahaman klien/keluarga mengenai penyakit

dan manajemen serta instruksikan pada klien dan keluarga

mengenai pengobatan anti inflamasi dan bronkodilator dan

penggunaannya yang tepat.

7) Ajarkan teknik yang tepat untuk menggunakan pengobatan

dan alat (misalnya inhaler, nebulizer, peak flow meter)

8) Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan usaha pernafasan

9) Auskultasi suara nafas, catat area adanya penurunan atau

hilangnya suara ventilasi dan suara adventitious.

10) Ajarkan teknik relaksasi

b Monitor Pernafasan

43
Monitor pernafasan adalah sekumpulan data dan analisis keadaan

pasien untuk memastikan kepatenan dan kecukupan pertukaran

gas (Djojodibroto, 2009).

1) Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan

bernapas.

Monitor teratur atau tidaknya pernafasan serta mengamati

derajat penyimpangan atau gerakan dinding dada (Debora,

2013). Kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernapas

diobservasi oleh seorang perawat dengan mengobservasi

keteraturan pernapasan. Irama pernapasan adalah interval

yang terjadi setelah siklus pernapasan. Dengan bernapas

normal, interval reguler akan terjadi setelah setiap siklus

pernapasan. Interval waktu menunjukkan irama pernapasan

baik teratur dan tidak teratur (Djojodibroto, 2009).

Kedalaman pernapasan dapat dikaji dengan mengobservasi

pergerakan dada. Kedalaman pernapasan umumnya

digambarkan sebagai pernapasan yang normal, dalam atau

dangkal. Pernapasan dalam merupakan pernapasan ketika

udara yang dihirup dan dihembuskan dalam jumlah besar

serta sebagian besar paru mengembang. Pernapasan dangkal

meliputi pertukaran udara dalam jumlah kecil dan sering

kali menggunakan jaringan paru secara minimal. Selama

proses inspirasi dan ekspirasi normal, individu dewasa akan

mengambil udara sebanyak 500 mL. Monitor suara nafas

44
tambahan seperti mengi dan ronkhi. Suara mengi yaitu

suara terdengar kontinu, nadanya lebih tinggi dibandingkan

suara napas lainnya, sifatnya musical, disebabkan karena

adanya penyempitan saluran nafas kecil (bronkus perifer

dan bronkiolus). Karena udara melewati suatu penyempitan

mengi dapat terjadi, baik saat inspirasi maupun ekspirasi.

(Djojodibroto, 2009).

Ronkhi adalah suara yang terdengar kontinu, suara napas

tambahan yang bernada suara rendah sehingga bersifat

sonor, terdengar tidak mengenakan (raspy), terjadi pada

saluran napas besar seperti trakea bagian bawah dan

bronkus utama. Udara yang melewati penyempitan, dapat

terjadi pada inspirasi maupun ekspirasi (Djojodibroto,

2009).

c Monitor pola nafas: bradipnea, takipnea, kussmaul,

hiperventilasi, cheynestokes, biot. Bradipnea adalah

penurunan frekuensi. Takipnea atau polipnea adalah

bernafas dengan cepat, biasanya menunjukkan adanya

penurunan keteregangan paru atau rongga dada. Pernapasan

kussmaul yaitu pernapasan yang cepat dan dalam.Cheyne

stokes yaitu frekuensi nafas yang tidak teratur dan disertai

periode perubahan frekuensi nafas yang intermiten dan

pernafasan dalam yang diselingioleh periode apnea.

Pernafasan biot yaitu frekuensi nafas yang tidak teratur dan

45
disertai periode apnea yang panjang (Djojodibroto, 2014).

Hiperventilasi yaitu suatu kondisi ventilasi yang berlebih

yang dibutuhkan untuk mengeliminasi karbondioksida

normal di vena, yang diproduksi melalui metabolisme

seluler

4. Implementasi

Menurut Kozier et al., (2010) implementasi keperawatan merupakan

sebuah fase dimana perawat melaksanakan rencana atau intervensi

yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Berdasarkan terminology NIC,

implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan yang

merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk melaksanakan

intervensi. Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan

kreativitas perawat. Sebelum melakukan suatu tindakan, perawat

harus mengetahui alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya tindakan

keperawatan yang dilakukan harus sesuai dengan tindakan yang sudah

direncanakan, dilakukan dengan cara yang tepat, aman, serta sesuai

dengan kondisi klien, selalui dievaluasi mengenai keefektifan dan

selalu mendokumentasikan menurut urutan waktu.

Aktivitas yang dilakukan pada tahap implementasi dimulai dari

pengkajian lanjutan, membuat prioritas, menghitung alokasi tenaga,

memulai intervensi keperawatan, dan mendokumentasikan tindakan

dan respon klien terhadap tindakan yang telah dilakukan (Muttaqin,

2010).

46
5. Evaluasi

Evaluasi keperawatan menurut Tarwoto & Wartonah (2015)

merupakan tindakan akhir dalam proses keperawatan. Menurut

Deswani (2011) evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan

hasil. Evaluasi terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan

umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan evaluasi

sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi

efektivitas pengambilan keputusan. Pada pasien dengan gangguan

pertukaran gas indikator evaluasi yaitu :

a. PO2 dalam rentang normal (80-100 mmHg)

b. PCO2 arteri dalam rentang normal (35-45 mmHg)

c. pH arteri dalam rentang normal (7,38-7,42)

d. Saturasi oksigen dalam rentang normal (95-100%)

e. Tidak ada sianosis

f. Frekuensi pernapasan normal (12-20x/menit)

g. Irama pernapasan teratur

h. Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan

i. Tidak ada suara napas tambahan.

47
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep Gambaran Asuhan Keperawatan pada Lansia

PPOK dengan Gangguan Pertukaran Gas

Kerangka konsep penelitian adalah hubungan atau kaitan antara

konsep satu dengan konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti.

Kerangka konsep diharapkan akan memberikan gambaran dan mengarahkan

asumsi mengenai variabel-variabel yang akan diteliti (Setiadi, 2013.).

Berdasarkan teori dan kajian pustaka, dapat disusun kerangka konsep dari

penelitian ini kedalam bentuk bagan seperti berikut:

Merokok PPOK
Asuhan Keperawatan:

Faktor yang 1. Pengkajian


Gangguan
mempengaruhi: Keperawatan
Pertukaran Gas
1. Luas permukaan 2. Diagnosa
membran Keperawatan
alveolus 3. Intervensi
2. Ketebalan pada Keperawatan
Dampak: 4. Implementasi
pertukaran gas
1. Asidosis Keperawatan
3. Koefisien difusi
respiratorik
(kelarutan gas di
2. Alkalosis
membran)
respiratorik

(SDKI, 2017.)
Keterangan:
: Tidak diteliti

: Diteliti

: ada hubungan

Gambar 2. Kerangka Konsep Gambaran Asuhan Keperawatan pada Lansia


Penyakit Paru Obstruksi Kronis dengan Gangguan Pertukaran Gas
di UPTD Kesehatan/Puskesmas Selat Tahun 2019
B. Definisi Operasional Variabel

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau nilai dari orang, obyek

atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Nursalam, 2016). Dalam

penelitian ini akan diteliti satu variabel yaitu, Gambaran Asuhan

Keperawatan pada Lansia Penyakit Paru Obstruksi Kronis dengan

Gangguan Pertukaran Gas di UPTD Kesehatan/Puskesmas Selat, Kabupaten

Karangasem.

Definisi operasional

Definisi operasional adalah penentuan sifat yang akan dipelajari

sehingga menjadi variabel yang dapat diukur (Sugiono, 2008). Untuk

menghindari perbedaan persepsi maka perlu disusun definisi operasional

yang merupakan penjelasan dari variabel sebagai berikut:

Tabel 2.
Definisi Operasional Asuhan Keperawatan pada Lansia PPOK
Dengan Gangguan Pertukaran Gas di UPTD Kesehatan/
Puskesmas Selat, Kabupaten Karangasem Tahun 2019

Sub Definisi Alat Skala Sumber


No Variabel
Variabel Operasional Ukur Data Data
1 2 3 4 5 6 7
1. Asuhan a. Pengkajia Pengkajian Format Data
Keperawa n keperawatan pengkaji primer
tan pada Keperawa merupakan an dan data
Lansia tan suatu proses asuhan sekunder
Penyakit yang keperaw
Paru sistematis atan
Obstruksi dalam
Kronis pengumpulan
data dari

49
1 2 3 4 5 6 7
dengan berbagai
Gangguan sumber data
Pertukara untuk
n Gas mengevaluasi
dan
mengidentifi
kasi status
kesehatan
klien. Pada
klien dengan
gangguan
pertukaran
gas,
pengkajian
difokuskan
pada status
pernapasan
klien, dikaji
frekwensi
pernapasan,
irama
pernapasan,
kedalaman
inspirasi,
sianosis

b. Diagnosa Diagnosa Standar Data


Keperawa Keperawatan Diagnosi primer
tan merupakan s dan data
penilaian Keperaw sekunder
klinis tentang

50
1 2 3 4 5 6 7
respon atan
individu, Indonesi
keluarga, a PPNI
atau tahun
kominitas 2017
terhadap
kesehatan
atau proses
kehidupan
actual
ataupun
potensial
sebagai dasar
pemilihan
intervensi
keperawatan.
Masalah
yang didapat
adalah
gangguan
pertukaran
gas
Rencana
Intervensi
Keperawatan
merupakan.

c. Intervensi Rencana NIC dan Data


Keperawa keperawatan NOC primer
tan yang telah dan data
dirumuskan sekunder

51
1 2 3 4 5 6 7
berpedoman
pada tingkat
keberhasilan
yang ingin
dan
ditetapkan
untuk
mengatasi
gangguan
pertukaran
gas yaitu:
1) Monitor
pernapasan
2) Manajemen
jalan napas
3) Terapi
oksigan

d. Implemen Inplementasi NIC dan Data


tasi Keperawatan NOC primer
Keperawa merupakan dan data
tan pelaksanaan sekunder
tindakan yang
telah
direncanakan
oleh perawat

e. Evaluasi Penilaian res Lembar Ordin Data


Keperawa pon klien evaluasi al primer
tan setelah Gang dan data
diberikan guan sekunder

52
1 2 3 4 5 6 7
asuhan teatasi
keperawatan Gang
dalam kurun guan
waktu teratas
tertentu yaitu: i
(S) Subjektif: sebagi
adalah an
informasi Gang
guan
berupa
tidak
ungkapan teratas
i
yang
dinyataka
n oleh
klien
(O) Objektif:
adalah
informasi
yang di
dapat
berupa
hasil
pengamat
an,
penilaian,
pengukura
n yang
dilakukan
oleh
perawat
(A) Analisis:
adalah

53
1 2 3 4 5 6 7
membandin
gkan data
objektif dan
data
subjektif
dengan
kriteria
hasil tujuan
kemudian
diambil
kesimpulan
apakah
masalah
teratasi,
teratasi
sebagian,
atau belum
teratasi
(P) Planning:
adalah
rencana
keperawata
n lanjutan
yang
dilakukan
berdasarkan
hasil
analisa

54
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam karya penelitian ini penulis menggunakan penelitian deskriptif,

dengan rancangan studi kasus dan pendekatan prosfektif. Pendekatan

prosfektif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan

utama untuk menggambarkan suatu keadaan secara objektif. Penelitian ini

menggunakan desain observasional dimana penelitian hanya bertujuan

untuk melakukan pengamatan dan non eksperimental (Setiadi, 2013).

Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus yaitu salah satu jenis

rancangan penelitian yang mencakup satu unit penelitian secara insentif.

Studi kasus dibatasi oleh tempat dan waktu, serta kasus yang dipelajari

berupa peristiwa, aktivitas, atau individu dan menggambarkan atau

mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru

Obstruksi Kronis di UPTD Kesehatan/Puskesmas Selat.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di UPTD Kesehatan/Puskesmas Selat,

Kabupaten Karangasem. Kegiatan penelitian ini dilakukan pada bulan Mei

2019. Adapun pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2019 Waktu

yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian adalah selama pasien

mendapatkan asuhan keperawatan 3 x 24 jam.

C. Subyek Studi Kasus

Penelitian pada studi kasus ini tidak mengenal populasi dan

sampel, namun lebih mengarah kepada istilah subyek studi kasus oleh
karena yang menjadi subyek studi kasus sejumlah dua pasien (individu)

yang diamati secara mendalam. Subjek yang digunakan dalam studi kasus

ini adalah 2 orang pasien (2 kasus) dengan masalah keperawatan yang sama

yaitu gangguan pertukaran gas selama 3 x 24 jam, perawat yang

memberikan asuhan keperawatan, serta keluarga yang dominan

mendampingi pasien, serta semua kolaborasi perawat dengan tenaga

kesehatan lainnya. Yang diamati secara mendalam subyek kasus perlu

dirumuskan kriteria inklusi dan eksklusi.

1. Kriteri Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2016).

Kriteria inklusi dari penelitian ini yaitu:

a. Pasien dengan diagnosis PPOK.

b. Pasien bersedia menjadi responden penelitian.

c. Dokumen pasien PPOK dengan usia 60-65 tahun dan responden

bisa berkomunikasi dengan baik

2. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek

yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2016).

Kriteria ekslusi dari penelitian ini adalah:

a. Pasien PPOK disertai komplikasi penyakit yang lain, seperti gagal

ginjal kronik, kanker paru, dan diabetes mellitus.

56
D. Fokus Studi Kasus

Fokus studi kasus merupakan kajian utama dari masalah yang akan

dijadikan acuan studi kasus. Fokus studi kasus pada penelitian ini adalah

pemberian asuhan keperawatan pada Lansia PPOK dengan Gangguan

Pertukaran Gas.

E. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Data yang dikumpulkan dari subjek studi kasus adalah data

sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain,

badan/ instansi yang secara rutin mengumpulkan data diperoleh dari

rekam medik pasien (Setiadi, 2013). Pada penelitian ini menggunakan

data sekunder diperoleh dengan teknik pedoman studi dokumentasi.

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah asuhan

keperawatan pada Lansia Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di UPTD

Kesehatan/Puskesmas Selat.

2. Langkah-langkah Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu proses pendekatan kepada

subyek dan proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan

dalam suatu penelitian. (Nursalam, 2016). Teknik pengumpulan data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman observasi

dokumentasi. Observasi merupakan cara melakukan pengumpulan data

penelitian dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap

responden penelitian dalam mencari perubahan atau hal-hal yang akan

diteliti (Hidayat, 2010).

57
Observasi dilakukan terhadap catatan asuhan keperawatan pada

Lansia Penyakit Paru Obstruksi Kronis dengan Gangguan Pertukaran

Gas. Oberservasi tersebut dilakukan mulai dari catatan hasil pengkajian

sampai evaluasi pada lansia PPOK.

Alur pengumpulan data yaitu :

a. Mengajukan surat permohonan izin penelitian di kampus Jurusan

Keperawatan Poltekkes Kemenkes Denpasar.

b. Mengajukan surat permohonan izin penelitian di Direktorat

Poltekkes Kemenkes Denpasar.

c. Mengajukan surat permohonan izin penelitian di Badan Perizinan

dan Penanaman Modal Provinsi Bali.

d. Mengajukan surat permohonan izin penelitian di Badan Kesatuan

Bangsa dan Politik, Pusat Pemerintah Provinsi Bali.

e. Mengajukan ijin penelitian ke Kepala UPTD Kesehatan/Puskesmas

Selat.

f. Melakukan pemilihan subjek studi kasus dan dokumen

keperawatan yang sesuai dengan kriteria inklusi.

g. Peneliti melakukan observasi terhadap Gambaran Asuhan

Keperawatan pada Lansia Penyakit Obstruksi Kronis dengan

Gangguan Pertukaran Gas, dengan cara mengambil data dari

dokumentasi asuhan keperawatan yang sudah ada setelah

pemeriksaan selesai dilakukan.

58
F. Metode Analisis Data

Data penelitian dianalisis dengan analisis diskriptif. Analisis deskriptif

adalah suatu usaha mengumpulkan dan menyusun data. Setelah data

tersusun langkah selanjutnya adalah mengolah data dengan menggambarkan

dan meringkas data secara ilmiah (Nursalam, 2016). Data disajikan dengan

uraian tentang temuan dalam bentuk tulisan.

G. Etika Studi Kasus

Pada bagian ini, dicantumkan etika yang mendasari penyusunan studi

kasus, yang terdiri respect for persons, beneficience dan distributive justice.

1. Menghormati individu (Respect for persons).

Menghormati otonomi (Respect for autonomy) yaitu

menghargai kebebasan seseorang terhadap pilihan sendiri, Melindungi

subyek studi kasus (Protection of persons) yaitu melindungi

individu/subyek penelitian yang memiliki keterbatasan atau

kerentanan dari eksploitasi dan bahaya. Pada bagian ini diuraikan

tentang informed consent, anonimity, dan kerahasiaan.

Penelitian ini tidak menggunakan informed consent karena

peneliti hanya melakukan studi dokumentasi terhadap dokumen

pasien. Peneliti tidak mencantumkan nama responden dalam

pengolahan data melainkan menggunakan nomor atau kode

responden. Semua data yang terkumpul dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti.

59
2. Kemanfaatan (Beneficience).

Kewajiban secara etik untuk memaksimalkan manfaat dan

meminimalkan bahaya. Semua penelitian harus bermanfaat bagi

masyarakat, desain penelitian harus jelas, peneliti yang bertanggung

jawab harus mempunyai kompetensi yang sesuai.

3. Berkeadilan (Distributive justice).

Keseimbangan antara beban dan manfaat ketika berpartisipasi

dalam penelitian. Setiap individu yang berpartisipasi dalam penelitian

harus di perlakukan sesuai dengan latar belakang dan kondisi masing-

masing. Perbedaan perlakuan antara satu individu/kelompok dengan

lain dapat dibenarkan bila dapat dipertanggung jawabkan secara moral

dan dapat diterima oleh masyarakat.

Penelitian ini hanya melakukan studi dokumentasi pada

dokumen pasien, sehingga tidak ada perbedaan perlakuan antara satu

subyek dengan subyek yang lain.

60
USULAN PENELITIAN

GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA


PPOK DENGAN GANGGUAN PERTUKARAN GAS
DI UPTD KESEHATAN/PUSKESMAS SELAT,
KABUPATEN KARANGASEM

OLEH :
I GUSTI BAGUS ALIT
NIM : P07120016135

KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
DENPASAR
2019
USULAN PENELITIAN

GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA


PPOK DENGAN GANGGUAN PERTUKARAN GAS DI
UPTD KESEHATAN/PUSKESMAS SELAT
KABUPATEN KARANGASEM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Menyelesaikan Mata Kuliah Karya Tulis
Ilmiah Jurusan Keperawatan
Program DIII Keperawatan

oleh :
I GUSTI BAGUS ALIT
NIM. P07120016135

KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
DENPASAR
2019

i
LEMBAR PERSETUJUAN

USULAN PENELITIAN

GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA


PPOK DENGAN GANGGUAN PERTUKARAN GAS DI
UPTD KESEHATAN/PUSKESMAS SELAT
KABUPATEN KARANGASEM
TAHUN 2019

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN

Pembimbing Utama: Pembimbing Pendamping:

Ketut Sudiantara, S. Kep., Ns., M. Kes I Gusti Ketut Gede Ngurah, S. Kep., Ns.,M.Kes.
NIP. 196808031989031003 NIP. 196303241983091001

MENGETAHUI
KETUA JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR

I Dewa Putu Gede Putra Yasa, S.Kp.M.Kep.Sp.MB


NIP. 197108141994021001

ii
LEMBAR PENGESAHAN

USULAN PENELITIAN

GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA


PPOK DENGAN GANGGUAN PERTUKARAN GAS DI
UPTD KESEHATAN/PUSKESMAS SELAT
KABUPATEN KARANGASEM
TAHUN 2019

TELAH DIUJI DI HADAPAN TIM PENGUJI


PADA HARI : JUMAT
TANGGAL : 12 APRIL 2019

TIM PENGUJI :
1. Ketut Sudiantara, S. Kep., Ns., M. Kes. (Pembimbing 1) (…………………...)
NIP. 196808031989031003

2. I Gusti Ketut Gede Ngurah, S. Kep., Ns., M. Kes. (Pembimbing 2) (.....................….…)


NIP. 196303241983091001

3. I Ketut Gama, SKM., M. Kes (Pembahas) (......... .............……)


NIP. 196202221983091001

MENGETAHUI :
KETUA JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR

I Dewa Putu Gede Putra Yasa, S.Kp.M.Kep.Sp.MB


NIP. 197108141994021001

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan

Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan Usulan

Penelitian dengan judul “Gambaran Asuhan Keperawatan pada Lansia PPOK

dengan Gangguan Pertukaran Gas di UPTD Kesehatan/Puskesmas Selat,

Kabupaten Karangasem” tepat waktu dan sesuai dengan harapan. Usulan

Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan

D-III di Politeknik Kesehatan Denpasar Jurusan Keperawatan.

Usulan penelitian ini dapat diselesaikan bukanlah semata-mata usaha penulis

sendiri, melainkan berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu

melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Anak Agung Ngurah Kusumajaya, SP.,MPH, selaku Direktur

Poltekkes Denpasar yang telah memberikan kesempatan menempuh program

pendidikan D-III keperawatan Poltekkes Denpasar.

2. Bapak I Dewa Putu Gede Putra Yasa, S.Kp.M.Kep.Sp.MB selaku Ketua

Jurusan Keperawatan Poltekkes Denpasar, yang telah memberikan bimbingan

secara tidak langsung selama pendidikan di Jurusan Keperawatan Politeknik

Kesehatan Denpasar serta atas dukungan moral dan perhatian yang diberikan

kepada penulis.

3. Bapak Ns. I Made Sukarja, S.Kep.M.Kep selaku Ketua Prodi D-III yang telah

memberikan bimbingan secara tidak langsung selama pendidikan di Jurusan

Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar serta atas dukungan moral dan

perhatian yang diberikan kepada penulis.

iv
4. Bapak I Ketut Sudiantara, S. Kep., Ns., M. Kes. Selaku pembimbing utama

yang telah banyak memberikan masukan, pengetahuan dan koreksi penulisan

dalam menyelesaikan Usulan Penelitian ini.

5. Bapak I Gusti Ketut Gede Ngurah, S. Kep., Ns., M. Kes. Selaku pembimbing

pendamping yang telah banyak memberikan masukan, pengetahuan dan

bimbingan serta mengarahkan penulis dalam menyelesaikan Usulan

Penelitian ini.

6. Mahasiswa DIII Keperawatan Kelas Karyawan Periode 2016/2017 Poltekkes

Denpasar yang banyak memberikan masukan dan dorongan kepada penulis.

7. Keluarga penulis yang telah memberikan dukungan baik secara moral

maupun material

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Usulan Penelitian ini

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

kesempurnaan usulan penelitian ini.

Denpasar, 04 Maret 2019

Peneliti

v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : I Gusti Bagus Alit
NIM : P07120016135
Program Studi : DIII
Jurusan : Keperawatan
Tahun Akademik : 2019
Alamat : Br. Dinas Selat Kelod, Desa Selat,Kec. Selat, Kab.
Karangasem, Bali
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Tugas Akhir dengan judul Gambaran Asuhan Keperawatan pada Lansia
PPOK dengan Gangguan Pertukaran Gas di UPTD Kesehatan/Puskesmas
Selat, Kabupaten Karangasem tahun 2019 adalah benar karya sendiri
atau bukan plagiat hasil karya orang lain.
2. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa Tugas Akhir ini bukan karya
saya sendiri atau plagiat hasil karya orang lain, maka saya sendiri bersedia
menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No.17 Tahun 2010 dan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana


mestinya

Denpasar, 2019
Yang membuat pernyataan

Meterai
60000

I Gusti Bagus Alit


P07120016135

vi
DAFTAR ISI

USULAN PENELITIAN………………………………………………….. i

LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………………. ii

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….. iii

KATA PENGANTAR……………………………………………………... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………. vi

DAFTAR ISI……………………………………………………………….. vii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………. ix

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. x

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………... 1

B. Rumusan Masalah Penelitian…………………………..……………. 7

C. Tujuan Penelitian……………………………………...……………… 7

D. Manfaat Penelitian……………………………………………………. 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Lansia dan Proses Penuaan…………………………. 10

1. Pengertian lansia…………………………………………………. 10

2. Proses menua…………………………………………………….. 10

3. Teori proses menua………………………………………………. 10

4. Tugas perkembangan lansia……………………………………... 13

5. Batasan lanjut usia………………………………………………. 14

vii
6. Pathway proses menua…………………………………………… 16

7. Tanda dan gejala…………………………………………………. 17

8. Pemeriksaan penunjang…………………………………………... 24

B. Konsep Dasar PPOK 25

1. Pengertian PPOK…………………………………………………. 25

2. Faktor Resiko PPOK……………………………………………… 25

3. Patofisiologi………………………………………………………. 28

4. Klasifikasi………………………………………………………… 29

5. Diagnosis……………………………………………………………. 30

6. Penatalaksanaan PPOK…………………………………………… 31

C. Konsep Teori Gangguan Pertukaran Gas 32

1. Definisi……………………………………………………………. 32

2. Penyebab………………………………………………………….. 32

3. Gejala dan tanda…………………………………………………. 32

4. Patofisiologi………………………………………………………. 33

D. Asuhan Keperawatan Pada Lansia PPOK dengan Gangguan

Pertukaran Gas 34

1. Pengkajian………………………………………………………… 34

2. Diagnosa keperawatan……………………………………………. 35

3. Intervensi keperawatan…………………………………………… 36

4. Implementasi keperawatan……………………………………….. 46

5. Evaluasi keperawatan…………………………………………….. 47

BAB III : KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep................................................................................. 48

viii
B. Definisi Operasional Variabel………………………………………. 49

BAB IV : METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian……………………………………………………….. 55

B. Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………….. 55

C. Subyek Studi Kasus…………………………………………………... 55

D. Fokus Studi Kasus……………………………………………………. 57

E. Jenis Dan Teknik Pengumpulan Data………………………………. 58

F. Metode Analisis Data…………………………………………………. 59

G. Etika Studi Kasus…………………………………………………….. 59

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 61

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Klasifikasi PPOK…………………………………………… …….. 29

Tabel 2 Definisi Operasional Variabel……………………………………… 49

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar1 Patofisiologi PPOK………………………………………….. 29

Gambar2 Kerangka Konsep……………………………………………. 48

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Jadwal Penelitian…………………………………. 62

Lampiran 2 Rencana Anggaran Penelitian……………………………… 63

Lampiran 3 Pedoman lembar Observasi Dokumentasi…………………. 64

Lampiran 4 Lembar Permohonan Menjadi Responden…………………. 70

xii
DAFTAR PUSTAKA

Antara, H., D. K., & Prabaningtyas. (2010). Merokok dan PPOK .Surakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Danusantoso, H. (2013). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Ed.2. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Darmojo, B. (2009). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 4. Jakarta :


Balai Penerbitan Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia.

Djojodibroto, Darmanto. (2009). Respirologi. Respirologi (Respiratory Medicine).


Jakarta : EGC.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2011). Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Obstructive
Pulmonary Disease. MCR VISION, Inc.

Hidayat, A. A. A. (2010). Metodelogi Penelitian Kesehatan : Paradigma


Kuantitif. (M. Uliyah, Ed.) (1st ed.). Surabaya: Health Books.

Kusrini, I., (2013). Riset Kesehatan Dasar Provinsi Bali Tahun 2013

Moorhead, S., Johnson, M., Maan, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
Outcomes Calssification (NOC). (I. Nurjannah & R. D. Tumanggor,
Eds.) (5th Ed.). Jakarata: Elsevier Ltd.

Muttaqin. (2010). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.

Nugroho. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Edisi 3. Jakarta : EGC,


76–77.

Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. (4th ed.). Jakarta:


Salemba Medika.

PDPI. (2011). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.

Potter, P. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan


Praktek. Editor Bahasa Indonesia : Monika Ester, Devi Yulianti, Intan.
Edisi 4. Jakarta : EGC.

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta:


Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional.
Setiadi. (2013). Konsep dan Praktek Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Sony Faisal Rinaldi, B. M. (2013). Bahan Ajar Metodologi Penelitian Dan


Statistik. Jakarta: EGC.

Sugiono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :


Alfabeta.

WHO. (2007). Global COPD Report.

62
LAMPIRAN 1.

JADWAL KEGIATAN PENELITIAN

GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA PPOK DENGAN GANGGUAN


PERTUKARAN GAS DI UPTD KESEHATAN/PUSKESMAS SELAT
KABUPATEN KARANGASEM TAHUN 2019

Waktu
No. Kegiatan Feb 2019 Maret 2019 April 2019 Mei 2019
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Penyusunan proposal
2. Seminar proposal
3. Revisi proposal
4. Pengurusan ijin penelitian
5. Pengumpulan data
6. Pengolahan data
7. Analisis data
8. Penyusunan laporan
9. Sidang hasil penelitian
10. Revisi laporan
11. Pengumpulan KTI

62
LAMPIRAN 2.

RENCANA ANGGARAN PENELITIAN

GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA


PPOK DENGAN GANGGUAN PERTUKARAN GAS
DI UPTD KESEHATAN/PUSKESMAS SELAT
KABUPATEN KARANGASEM TAHUN 2019

Alokasi dana yang diperlukan dalam penelitian ini direncanakan sebagai


berikut:
No Kegiatan Rencana Biaya
1. Tahap Persiapan:
a. Penyusunan proposal Rp. 150.000,00
b. Penggandaan proposal Rp. 100.000,00
c. Revisi proposal Rp. 150.000,00
2. Tahap Pelaksanaan:
a. Transportasi dan akomodasi untuk peneliti Rp. 150.000,00
b. Penggandaan lembar pengumpulan data Rp. 100.000,00

3. Tahap Persiapan:
a. Penyusunan laporan Rp. 200.000,00
b. Penggandaan laporan Rp. 300.000,00
c. Revisi laporan Rp. 100.000,00
d. Biaya tidak terduga Rp. 400.000,00

Jumlah: Rp. 1.650.000,00

63
LAMPIRAN 3

PEDOMAN LEMBAR OBSERVASI DOKUMENTASI

Petunjuk Pengisian:

1. Bacalah setiap pertanyaan lembar observasi dengan teliti dan benar.

2. Jawablah pada kolom yang tersedia, dengan cara memberi tanda √

pada kolom yang sesuai dengan keadaan klien.

A. PENGKAJIAN

Tanda dan

No. DS, DO, dan Masalah Keperawatan Gejala

Ya Tidak

Gangguan Pertukaran Gas

a. Dispneu

b. PCO2 meningkat/menurun

c. PO2 menurun

d. Takikardi

e. pH arteri meningkat/menurun

f. Bunyi napas tambahan

g. Pusing

h. Penglihatan kabur

i. Sianosis

j. Diaforesis

k. Gelisah

l. Napas cuping hidung

m. Pola napas abnormal (cepat/lambat,

64
reguler/irregular, dalam/dangkal)

n. Warna kulit abnormal (mis. pucat, kebiruan)

o. Kesadaran menurun

B. RUMUSAN DIAGNOSA

Observasi
No. Diagnosa Keperawatan (PES)
Ya Tidak

1 Problem

Gangguan Pertukaran Gas

2 Etiology

a. Ketidak seimbangan ventilasi-perfusi

b. Perubahan membrane alveolus-kapiler

3 Sign and symptom

a. Dispneu

b. PCO2 meningkat/menurun

c. PO2 menurun

d. Takikardi

e. pH arteri meningkat/menurun

f. Bunyi napas tambahan

g. Pusing

h. Penglihatan kabur

i. Sianosis

j. Diaforesis

65
k. Gelisah

l. Napas cuping hidung

m. Pola napas abnormal (cepat/lambat,

reguler/irregular, dalam/dangkal)

n. Warna kulit abnormal (mis. pucat, kebiruan)

o. Kesadaran menurun

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

Intervensi
No. Intervensi Keperawatan (NIC)
Ya Tidak

1 Respiratory monitoring:

a. Monitor rata-rata kedalaman, irama, dan usaha

respirasi.

b. Monitor kelelahan otot diafragma (gerakan

paradoksis).

c. Monitor pola napas: bradipneu, takipneu,

kussmaul, cheyne stokes.

d. Monitor penggunaan otot tambahan dan

retraksi otot intercostalis.

2 Oxigen Therapy:

a. Bersihkan skresi mulut, hidumg dan trakea

sesuai kebutuhan.

b. Memberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.

c. Monitor aliran oksigen.

66
d. Monitor kerusakan kulit dari gesekan dengan

selang oksigen.

3 Airway Management

a. Posisikan semi fowler klien/pasien untuk

memaksimalkan proses ventilasi.

b. Intruksikan klien untuk batuk efektif.

c. Ajarkan tehnik napas dalam.

d. Monitor status respirasi dan oksigenasi

klien/pasien.

D. IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN

Intervensi
No. Implementasi Keperawatan (NOC)
Ya Tidak

1 Respiratory monitoring:

a. Monitor rata-rata kedalaman, irama, dan usaha

respirasi.

b. Monitor kelelahan otot diafragma (gerakan

paradoksis).

c. Monitor pola napas: bradipneu, takipneu,

kussmaul, cheyne stokes.

d. Monitor penggunaan otot tambahan dan

retraksi otot intercostalis.

2 Oxigen Therapy:

a. Bersihkan skresi mulut, hidumg dan trakea

67
sesuai kebutuhan.

b. Memberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.

c. Monitor aliran oksigen.

d. Monitor kerusakan kulit dari gesekan dengan

selang oksigen.

3 Airway Management

a. Posisikan semi fowler klien/pasien untuk

memaksimalkan proses ventilasi.

b. Intruksikan klien untuk batuk efektif.

c. Ajarkan tehnik napas dalam.

d. Monitor status respirasi dan oksigenasi

klien/pasien.

E. HASIL ASUHAN KEPERAWATAN

Observasi
No. Evaluasi
Ya Tidak

1 Tekanan Parsial CO2 (PaCO2)

2 Tekanan Parsial O2 (PaO2)

3 Frekwensi pernapasan

4 Irama pernapasan

5 Kedalaman inspirasi

6 Kemampuan untuk membersihkan secret

7 Retraksi dinding dada

68
8 Tekanan nadi dalam batas normal

69
LAMPIRAN 4

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Yth. Bapak/Ibu Responden


di-
Tempat.

Dengan hormat,

Saya mahasiswa D-III Keperawatan Kelas Karyawan Politeknik Kesehatan

Denpasar semester VI bermaksud akan melakukan penelitian tentang “Gambaran

Asuhan Keperawatan pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis dengan

Gangguan Pertukaran Gas di UPTD Kesehatan/Puskesmas Selat Kabupaten

Karangasem tahun 2019", sebagai persyaratan untuk menyelesaikan program studi

D-III Keperawatan, berkaitan dengan hal tersebut diatas, saya mohon kesediaan

Bapak/Ibu untuk menjadi responden yang merupakan sumber informasi bagi

penelitian ini.

demikian permohonan ini saya sampaikan dan atas partisipasinya saya

ucapkan terima kasih.

Denpasar, 2019

I Gusti Bagus Alit


NIM. P07120016135

70

Anda mungkin juga menyukai