PROPOSAL SKRIPSI
Nim: 20180303026
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Lanjut usia adalah seseorang yang memiliki usia lebih dari atau sama dengan 55 tahun
(World Health Organization, 2022). Lansia dapat juga diartikan sebagai menurunnya
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur serta fungsi
normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (Darmojo, 2015). Lanjut usia
didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap berbagai
penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta
perubahan fisiologis yang terkait dengan usia (Rizaldi & Rahmasari, 2021). Lansia
merupakan seseorang yang berusia 60 tahun keatas baik pria maupun wanita, yang masih
aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah
sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Tamher,
2009).
Secara umum lansia dikatakan apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu
penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan. Lansia
adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap konsisi stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan
secara individual (Becker et al., 2015).
Menurut Hurlock lansia adalah individu yang ditandai dengan adanya perubahan fisik
dan mengalami berbagai permasalahan psikologis. Perubahan fisik meliputi perubahan
dalam hal penampilan, perubahan dan penurunan kerja sistem organ dalam, perubahan
dalam sistem syaraf, dan penurunan dalam kemampuan seksual. Dari beberapa definisi
yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwasannya lanjut usia atau lansia
merupakan seseorang yang sudah berusia lebih dari 60 tahun dan mengalami berbagai
penurunan fungsi dan gangguan dalam tubuh. Seseorang yang sudah memasuki masa
lansia biasanya mengalami beberapa penurunan baik dari segi fisik, psikis, maupun
sosial.
2.1.2 Ciri-Ciri Lansia
Pada periode lansia terjadi beberapa perubahan yang ditandai dengan perubahan fisik
dan psikologis tertentu. Beberapa ciri-ciri lansia antara lain yaitu :
1. Lanjut usia merupakan periode kemunduran
Pada periode kemunduran terjadi perubahan yang mempengaruhi struktur baik
fisik maupun mental dan juga keberfungsiannya. Periode waktu saat terjadinya
kemunduran fisik dan terjadinya disorganisasi mental disebut dengan keudzuran.
Sikap tidak menyukai diri sendiri, orang lain, pekerjaan, dapat menuju pada
keadaan uzur dan berakibat pada menurunnya fisik dan mental pada lansia.
2. Perbedaan individu dalam efek menua
Menua akan mempengaruhi orang-orang secara berbedabeda. Ada yang
berkeyakinan bahwa menua merupakan suatu berkah dan keberuntungan, akan
tetapi ada yang menganggap menjadi tua adalah sebuah kutukan.
3. Dinilai dengan kriteria yang berbeda
Lansia cenderung dinilai oleh orang lain melalui penampilan dan kegiatan
fisik. Pada umumnya usia tua dipandang sebagai orang yang sudah mempunyai
rambut putih dan tidak lama lagi akan berhenti dari pekerjaan sehari-hari.
4. Sterotip dengan orang lanjut usia
Sterotip serta kepercayaan tradisional yang lumrah timbul dalam masyarakat
umum tentang lansia antara lain seperti usia lanjut merupakan usia yang tidak
menyenangkan, keadaan fisik dan mentalnya loyo, usang, pikun, dan jalannya
membungkuk. Selain itu lansia sulit hidup dengan siapa pun, sebab hari-harinya
yang penuh dengan manfaat telah usai sehingga perlu dijauhkan dari orang-orang
yang lebih muda.
5. Sikap sosial dengan orang lanjut usia
Sikap sosial terhadap lansia yang cenderung tidak menyenangkan cenderung
mempengaruhi seseorang dalam memperlakukan orang dengan usia lanjut.
6. Lansia menjadi kelompok minoritas
Adanya status kelompok minoritas yang melekat pada lansia disebabkan akibat
dari sikap sosial yang tidak menyenangkan dari lansia dan diperkuat oleh
pendapat klise tentang hal yang tidak menyenangkan terhadap lansia.
7. Menua membutuhkan perubahan peran
Pengurangan dan perubahan peran pada lansia banyak terjadi karena tekanan
sosial. Adanya sikap sosial yang tak menyenangkan bagi lansia, pujian bagi lansia
bukan sebab keberhasilan mereka tapi lebih pada peran usia tua. Perasaan tidak
berguna dan tak dibutuhkan kembali menumbuhkan rasa rendah diri dan
kemarahan, yaitu perasaan yang tidak menunjang terjadinya proses penyesuaian
sosial seseorang.
8. Penyesuaian yang buruk merupakan ciri-ciri lanjut usia
Adanya sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi lansia membuat mereka
mengalami gangguan fungsional akibat perlakuan dari kondisi sosial yang mereka
hadapi di lingkungan. Bahkan kasus bunuh diri meningkat seiring bertambahnya
usia, dengan kasus yang paling sering dilakukan oleh pria berkulit putih.
9. Keinginan menjadi muda kembali sangat kuat pada lanjut usia
Banyak orang yang melakukan perawatan guna memperlambat penuaan
dengan usaha membatasi dan mengurangi makanan dan vitamin. Adapun Orang
yang melakukan operasi plastik untuk menghilangkan tanda-tanda penuaan. Hal
tersebut dilakukan agar mereka tampak muda dan terlihat lebih awet muda. Dari
beberapa uraian di atas mengenai ciri-ciri lansia dapat disimpulkan bahwa lansia
memiliki ciri-ciri yaitu lanjut usia merupakan periode kemunduran, perbedaan
individu dalam efek menua, dinilai dengan kriteria yang berbeda, sterotip dengan
orang lanjut usia, sikap sosial dengan orang lanjut usia, lansia menjadi kelompok
minoritas, menua membutuhkan perubahan peran, penyesuaian yang buruk
merupakan ciri-ciri lanjut usia, dan keinginan menjadi muda kembali sangat kuat
pada lanjut usia.
2.1.3 Tugas Perkembangan Lansia.
Tugas perkembangan menurut Sudarwan adalah sesuatu yang bisa diduga timbul dan
konsisten pada periode tertentu dalam kehidupan individu. Menurut Havighurst, tugas-
tugas perkembangan usia lanjut usia adalah :
1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan
Di fase lansia kesehatan dan kekuatan fisik menurun dikarenakan menurunnya
fungsi syaraf, fungsi otot, dan organ-organ tubuh tidak lagi mampu melakukan
degenerasi seperti pada masa sebelumnya.
2. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan
keluarga)
Schwartz mengatakan bahwa pensiun menjadi akhir pola hidup atau masa
transisi ke pola hidup baru, menjadikan perubahan peran, perubahan keinginan
dan nilai, dan menjadi perubahan bagi pola hidup seorang lansia. Lansia yang
tidak memilik cukup uang untuk kebutuhan hidupnya sering menghentikan
kegiatan yang penting bagi mereka dan memilih mencari kegiatan yang
menghasilkan sesuatu, dengan tidak memperhatikan apakah hal tersebut penting
bagi mereka atau memenuhi kebutuhannya.
3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
Kematian suami atau istri pada masa tua merupakan stress yang berat bagi
lansia yang ditingglkan. Sebab kematian pasangan hidup pada masa tua seakan
akan dirasakan sebagai kehilangan segala-galanya, perpisahan yang berat dan
merasa sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
4. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia
Lansia membangun ikatan dengan anggota kelompok usia mereka untuk
menghindari adanya kesepian akibat ditinggal anak dan masa pensiun. Para lansia
dalam membentuk dan membangun hubungan dengan orang-orang yang
seusianya biasanya mereka lakukan dalam kegiatan peribadatan, arisan, maupun
aktivitas pengajian.
5. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
Lansia memiliki semangat serta energi untuk ikut berpartisipasi dalam
kehidupan, selain itu berpikiran bahwa dirinya merupakan individu yang berharga
dapat membuat lansia merasa puas dengan kehidupannya.
6. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Lansia umumnya mempunyai lebih bayak pengalaman dibanding orang yang
lebih muda. Sehingga lansia biasanya diminta untuk memberikan pendapat,
masukan maupun kritikan, juga partisipasi terhadap kehidupan sosial. Pemberian
peran pada lansia secara tak langsung dapat membuat kesehatan berpikir serta
fisiknya dapat terjaga baik, dan dapat mengurangi percepatan kepikunan pada
lansia. Dari uraian mengenai tugas perkembangan lansia dapat disimpulkan
bahwasannya lansia memiliki tugas perkembangan seperti menyesuaikan diri
dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri dengan
masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan keluarga), menyesuaikan
diri dengan kematian pasangan hidup, membentuk hubungan dengan orang-orang
yang seusia, membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan, dan
menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.
2.2 Resiliens
Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk bertahan atau mampu menyesuaikan
diri, beradaptasi terhadap situasi yang tidak mengenakkan, tekanan, atau perubahan yang
terjadi dalam dirinya, sebagaimana pendapat para ahli bahwa resiliensi merupakan
kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang
sulit. Pendapat yang sama juga dikemukakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang
untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari
keterpurukkan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami
kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu
masalah ataupun kesulitan. Resiliensi dapat diartikan sebagai adaptasi yang baik dalam
keadaan khusus (Snyder & Lopez, 2002). Menurut (Sills dan Steins, 2007) resiliensi
merupakan penyesuaian yang sensitif dalam menghadapi stres dan trauma. Resiliensi adalah
perubahan mentalitas yang memungkinkan individu mencari pengalam baru dan melihat
kehidupan mereka sebagai suatu pekerjaan yang progresif..
Resilensi adalah kapasitas seseorang untuk tetap berkondisi baik dan memiliki solusi
yang produktif ketika menghadapi kesulitan ataupun trauma, yang memungkinkan terjadinya
stress dalam hidupnya (Reivich &Shatte, 2002). Resilensi didefinisikan sebagai kemampuan
untuk bangkit kembali atau pulih dari stres, mampu beradaptasi dengan situasi atau kesulitan
stress (Smith dkk, 2008). Resilensi juga dilihat sebagai ukuran keberhasilan keterampilan
coping stress (Ziobrowski, Hannah 2019). Berdasarkan uraian beberapa tokoh tentang
resiliensi, maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan usaha yang dilakukan
individu, sehingga mampu beradaptasi dengan pihak yang mendorongnya, sehingga mampu
pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan. Resiliensi adalah kapasitas
individu untuk menghadapi dan mengatasi serta merespon secara positif kondisi-kondisi
tidak menyenangkan. Melalui berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam menghadapi
situasi-situasi sulit, individu terus belajar memperkuat diri sehingga mampu mengubah
kondisikondisi yang menekan dan tidak menyenangkan tersebut menjadi suatu kondisi yang
wajar untuk diatasi. Resiliensi bukan hanya kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan,
namun juga upaya untuk menyembuhkan diri dari kondisi tertekan.
2.2.1 Aspek-Aspek Resiliensi
Menurut Reivich & Shatte terdapat tujuh aspek dalam resiliensi yang meliputi
regulasi emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab masalah, empati, efikasi
diri, serta reaching out.
1. Emotion Regulation (Regulasi Emosi)
Regulasi emosi merupakan kemampuan individu untuk tetap tenang di bawah
kondisi yang menekan. Regulasi emosi yang baik dapat memberi kemudahan dalam
mengelola respons saat berinteraksi dengan orang lain dan dalam berbagai kondisi
lingkungan.
2. Impulse Control (Pengendalian Impuls)
Pengendalian impuls merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, dan tekanan yang muncul dari dalam diri individu.
Kemampuan ini erat kaitannya dengan kemampuan regulasi emosi yang dimiliki
individu.
3. Optimism (Optimisme)
Menurut Reivich & Shatte, individu yang resilien merupakan individu yang
optimis. Optimisme yang dimaksud ialah optimisme yang realistis, yakni
kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi usaha
untuk mewujudkanya.
4. Casual Analysis (Analisis Kasual)
Kemampuan individu dalam mengidentifikasi secara akurat penyebab
permasalahan yang telah dihadapi. Individu yang resilien akan berfokus pada
pemecahan masalah, dan perlahan akan memecahkan masalah yang dihadapi, dan
mengarahkan diri untuk bangkit dan meraih kesuksesan.
5. Emphaty (Empati)
Kemampuan individu dalam membaca tanda-tanda kondisi emosional dan
psikologis orang lain. Individu yang memiliki empati rendah cenderung akan
mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien dengan kata lain
menyamaratakan segala keinginan dan emosi orang lain.
6. Self Efficacy (Efikasi Diri)
Kemampuan merepretasikan keyakinan bahwa individu dapat memecahkan
masalah yang dialami serta mencapai kesuksesan. Dengan keyakinan serta
kemampuan dalam menyelesaikan suatu permasalahan, individu dapat mencari
penyelesaian yang tepat, dan tidak mudah menyerah terhadap kesulitan yang ada.
7. Reaching Out (Menemukan Jalan Keluar Dari Permasalahan)
Kemampuan individu untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari
keterpurukan, serta kemampuan individu untuk meraih aspek positif dari kehidupan
setelah kemalangan yang menimpa. Dapat disimpulkan bahwasannya terdapat tujuh
aspek dalam resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis
penyebab masalah, empati, efikasi diri, dan reaching out.
2.2.2 Tahapan Pembentukan Resiliensi
O’leary & Ickovics menyebutkan terdapat empat proses yang terjadi ketika individu
mengalami situasi dan kondisi yang menekan (significant adversity), yaitu :
1. Mengalah (Succumbing)
Merupakan kondisi mengalah maupun menyerah dengan adanya tekanan hidup
yang dialami oleh individu. Tahapan ini merupakan kondisi saat individu
menemukan atau mengalami kemalangan yang berat bagi mereka. Individu yang
berada pada tahap ini berpotensi mengalami ketidakseimbangan dan ketidaksiapan
untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada serta menimbulkan sakit psikologis.
2. Bertahan (Survival)
Merupakan kondisi dimana individu dapat bertahan dengan kondisi yang
menekan, tetapi beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran. Pada tahap ini,
individu akan menyalahkan keadaan dan tak jarang akan menyalahkan orang lain
atas keadaan yang menekan mereka.
3. Pemulihan (Recovery)
Merupakan kondisi dimana individu sudah mampu berdaptasi dan pulih dari
keadaan yang menekan mereka. Di tahap ini individu sudah bisa beraktivitas
kembali dan menjalani kehidupan sehari hari seperti sediakala.
4. Berkembang Pesat (Thriving)
Merupakan tahap dimana individu tidak hanya bisa pulih dari kondisi yang
menekan, akantetapi individu dapat melampaui fungsi psikologis yang lebih baik
dari keadaan sebelumnya. Pengalaman yang dialami sebelumnya menjadikan
inidividu dapat menghadapi dan mengatasi kondisi yang menekan. Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan resiliensi terdiri empat yaitu pertama
mengalah (scummbing), yang kedua bertahan (survival), ketiga pemulihan
(recovery), dan tahap keempat berkembang pesat (thriving).
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi lansia yang ada di panti wardha.
Menurut (Missasi & Izzati, 2019) faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi tersiri
dari empat faktor, yakni faktor individu, keluarga, komunitas dan faktor resiko.
2.2.3.1 Faktor Individu
Faktor Individual Merupakan faktor yang berasal dari dalam individu, faktor
individual meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan
kompetensi sosial yang dimiliki oleh individu.
1. Kemampuan Kognitif
Kemampuan kognitif menurut Ahmad Susanto adalah suatu proses
berpikir, yaitu kemampuan individu dalam menghubungkan, menilai, dan
mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Melalui kemampuan
kognitif, individu akan berpikir bahwasannya bencana yang terjadi bukan
hanya karena kelalaian tetapi merupakan kehendak dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Begitupun dengan akibatnya, individu akan berpikir untuk tidak
menyesali apa yang terjadi serta berusaha memaknai juga menumbuh
kembangkan semangat dan optimalisasi kemampuan berpikir untuk pulih
seperti sedia kala.
2. Konsep Diri
Konsep diri menurut Mead adalah pandangan, penilaian, dan perasaan
individu mengenai dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksi sosial.
Konsep diri memiliki peran positif terhadap resiliensi, sehingga semakin tinggi
konsep diri seseorang semakin tinggi pula resiliensi seseorang. Dan sebaliknya
apabila seseorang memiliki konsep diri yang cenderung rendah maka semakin
rendah pula resiliensi seseorang.
3. Harga Diri
Harga diri atau self esteem merupakan salah satu sumber dalam
meningkatkan resiliensi seseorang. Harga diri menurut Baron dan Bryne adalah
evaluasi diri yang merujuk kepada sikap seseorang terhadap dirinya, mulai dari
sangat negatif sampai sangat positf. Menurut Rosenberg, individu yang
memiliki self esteem yang tinggi akan menghormati dirinya serta menganggap
dirinya berguna. Sedangkan individu yang memiliki self esteem rendah
cenderung tidak dapat menerima dirinya dan juga menganggap dirinya tidak
berguna dan serba kekurangan.
4. Kompetensi Sosial
Salah satu poin dari faktor individual adalah kompetensi sosial, dimana
individu yang memiliki kemampuan komunikasi interpersonal dengan orang
lain cenderung memiliki kemampuan resilien yang baik. Kemampuan
sosialisasi individu dapat dikembangkan dan ditingkatkan melalui humor,
empati, dan mudah bergaul dengan orang lain serta masyarakat sekitar. Hal
yang demikian tentunya dapat meningkatkan kemampuan resiliensi individu.
Dapat disimpulkan bahwa faktor individual merupakan faktor resiliensi yang
berasal dari dalam diri individu dan faktor individual terdiri dari faktor
individual meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan
kompetensi sosial yang dimiliki oleh individu.
2.2.4 Faktor Keluarga
Beberapa penelitian serupa menjelaskan bahwa individu yang menerima secara
langsung arahan dan dukungan dari orang tua dalam keadaan yang buruk akan lebih
merasa termotivasi, optimis dan yakin bahwa individu tersebut mampu untuk menjadi
sukses.
2.2.5 Faktor Komunitas atau Eksternal
Pada situasi yang buruk, individu yang resilien lebih sering mencari dan menerima
dukungan juga kepedulian dari orang dewasa selain orang tua, seperti guru, pelatih,
konselor sekolah, kepala sekolah dan tetangga. Begitupula dengan memiliki hubungan
yang positif dengan orang lain, juga lingkungan yang baik.
2.2.6 Faktor Resiko
(Mulyati, 2014) menyebutkan beberapa faktor yang ada dalam faktor resiko sebagai
stressor atau tekanan. Faktor tersebut berupa keadaan kekurangan, kehilangan, peristiwa
negatif dalam hidup, perperangan, bencana alam dan sebagainya. Penelitian yang sama
juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi resilensi selain faktor yang telah
disebut diatas, yaitu regulasi emosi, emosi positif, spiritualitas, harapan, optimisme,
kemampuan beradaptasi, faktor demografis (usia, gender, jenis kelamin, ras dan etnik)
ataupun faktor lain yang mampu meningkatkan resiliensi seperti tahapan kehidupam yang
telah dilalui sebagai fase perkembangan hidup.
Dengan demikian, secara garis besar terdapat tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi
yaitu faktor individu, keluarga dan eksternal (kominutas). Penelitian ini memiliki variabel
bebas yaitu kebersyukuran yang temasuk dalam faktor individual atau faktor yang berasal
dari dalam diri individu yang disampaikan oleh (Onainor, 2019), yaitu spritualitas, karena
perilaku bersyukur terkait dengan hubungan manusia dan keyakinannya, begitu pula
dengan spritualitas yang menjelaskan mengenai perihal keyakinan secara lebih luas. Dari
teori-teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi dapat ditimbulkan melaui tiga
faktor yaitu faktor individu, keluarga dan komunitas. Salah satu faktor utama yang
berasal dari dalam individu adalah rasa kebersyukuran.
2.3 Panti Werdha
Panti Werdha merupakan unit pelaksana teknis di bidang pembinaan kesejahteraan
sosial lansia yang memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia berupa
pemberian penampungan, jaminan hidup seperti pakaian, pemeliharaan kesehatan,
pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial mental serta agama
sehingga mereka dapat menikmati haritua diliputi ketentraman lahir danbatin.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti Panti adalah rumah atau tempat
kediaman. Dan arti dari Panti Werdha adalah rumah tempat memelihara dan merawat orang
jompo. Arti kata jompo sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tua sekali dan
sudah lemah fisiknya; tua renta; uzur. Pengertian panti werdha menurut Departemen Sosial
RI adalah suatu tempat untuk menampung lansia dan jompo terlantar dengan memberikan
pelayanan sehingga mereka merasa aman, tentram sengantiada perasaan gelisah maupun
khawatir dalam menghadapi usia tua. Secara umum Panti Wredha memiliki fungsi sebagai
berikut:
a. Pusat pelayanan kesejahteraan lanjut usia (dalam memenuhi kebutuhan pokok
lansia).
b. Menyediakan suatu wadah berupa kompleks bangunan dan memberikan kesempatan
pula bagi lansia melakukan aktivitas- ativitas sosial-rekreasi.
c. Bertujuan membuat lansia dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan
mandiri. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008, yaitu Peraturan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 44 Tahun 2008, Panti werdha
tersebut memiliki fungsi yaitu, pusat pelayanan pendampingan dan perlindungan bagi
lanjut usia, pusat informasi tentang kesejahteraan sosial lanjut dan pusat
pengembangan ilmu pengetahuan tentang usia lanjut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
2.4 Kerangka teori resiliensi ini dapat berdampak
adanya adanya perasaan malu,
Faktor demografi menyalahkan diri sendiri, harga
diri rendah, penurunan pada
1) Jenis kelamin kualitas hidup, peningkatan pada
2) Usia gejala skizofrenia baik positif
3) Tingkat pendidikan maupun negatif.
4) Status pernikahan
5) Pekerjaan El-Salam DA, Relationship
Bettwen Insight, Self-Stigma and
Kondisi yang dialami lansia dan demografi Level of Hope among Patients with
berpengaruh signifikan terhadap seseorang Schizophrenia, 2018.
(Widayat, 2010).
Dikembangkan untuk penelitian ini, 2020
Faktor demografi
1) Jenis kelamin
2) Usia
3) Tingkat pendidikan
4) Status pernikahan
5) Pekerjaan
Faktor Internal
1) Motivasi
2) Kemampuan Kognitif
3) Konsep Diri
4) Harga Diri
Resiliensi lansia
5) Kompetensi
6) Sosial
7) Spiritualitas
8) Kesehatan
Faktor Ekternal
1) Dukungan keluarga
2) Dukungan komunitas
3) Dukungan sosial
4) Dukungan teman-
teman
5) Lingkungan
6) Ekonomi
7) Individu
2.6 Penelitian Terkait
METODE PENILITIAN
Pembahasan pada bab ini mengenai desain penelitian, objek penelitian populasi dan
sampel, tempat dan waktu penelitian, etika penelitian, teknik pengumpulan data, prosedur
pengumpulan data, kerangka konsep dan definisi operasional.
4 = Sarjana
a. Kuesioner
b. Uji validitas
Uji validitas merupakan salah satu alat uji untuk mengukur sah atau valid
tidaknya pengukuran yang dilakukan oleh peneliti, dimana uji validitas berguna
untuk mencegah adanya variabel perancu yang dapat menyebabkan terjadinya
bias dalam penelitian (Pamungkas & Usman, 2017). Pengujian validitas tiap
butir kuisioner pada program SPSS dengan menggunakan teknik korelasi
product moment antara skor tiap butir kuisioner dengan skor total (jumlah tiap
skor kuisioner). Instrumen dikatakan valid apabila nilai korelasi (pearson
correlation) adalah positif, dan nilai probabilitas korelasi [sig. (2-tailed)] < taraf
signifikan (α) 0,05. Untuk uji validitas dapat dilakukan dengan rumus sebagai
berikut :
rxy =
Keterangan :
c. Uji reliabilitas
Lembar observasi pada penelitian ini berupa pilihan (chek list) yang tertuang
dalam point pernyataan untuk mengetahui faktor risiliensi pada lansia yang ada
di panti wrdha dan bagaimana perawat mengetahui aktivitas lansia. Dan untuk
perawat pengetahuan lansia dan aktivitas lasia ketika ditempat itu rasa nyaman
atau tidak merasakan nama. (1) dan jawaban tidak diberi skor nol (0). Peneliti
dalam mengumpulkan data mengatakan secara terus terang kepada responden
bahwa sedang melakukan penelitian dengan memberikan inform-consent pada
sampel yang akan diteliti dan observasi.
a. Prosedur administrasi
b. Prosedur teknis
Pada tahap pertama peneliti melakukan pemeriksaan data pada data yang
telah diperoleh dengan cara memeriksa dan mengecek kembali lembar observasi
karakteristik responden. Pengecekan satu per satu lembar observasi dilakukan
dengan tujuan agar mengetahui kelengkapan dan kebenaran data. Dimana jika
terdapat lembar observasi karakteristik responden yang kurang lengkap maka akan
lembar tersebut akan dikecualikan
Peneliti melakukan pemberian kode pada data yang didapatkan setelah semua
data diedit atau disunting. Kemudian peneliti mengklasifikasikan kedalam
kategori yang telah ditentukan dengan cara memberi tanda atau kode berbentuk
angka pada masing-masing jawaban.
c. Skoring
Peneliti melakukan processing data agar data dapat dianalisa. Dimana pada
tahap ini jawaban- jawaban responden yang telah diberikan kode berupa angka
dimasukkan kedalam software komputer berupa program statistik pengolah data
yaitu SPSS (Statistical Product and Service Solutions)
Cleaning adalah salah satu teknik pembersihan data dengan berdasarkan pada
variabel apakah data yang masuk telah benar atau belum. Data yang telah
dimasukkan diperiksa kembali dari kemungkinan data yang belum entry.
3.7 Teknik Analisis Data
Analisa data dalam suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui makna yang
terdapat pada hasil olahan data. Dimana setelah dilakukan analisa, akan dilakukannya
interpretasi data untuk mencari makna dari hasil penelitian dengan cara menjelaskan
hasil penelitian dan melakukan generalisasi dari data penelitian yang diperoleh. Dan
teknik analisa data terbagi menjadi 2 metode yaitu :
a. Analisa univariat
P= x 100 %
Keterangan :
P : Presentase
b. Analisa bivariat
Keterangan :
X² : nilai Chi-square
Etika penelitian atau ethical clearance secara umum dikenal sebagai ijin etika dalam
penelitian. Kemudian didefinisikan sebagai suatu pernyataan bahwa rencana kegiatan
penelitian yang tergambar dalam protokol atau panduan tersebut telah dilakukannya
kajian dan telaah sehingga telah memenuhi kaidah etik dan tidak membahayakan sampel
dan layak dilaksanakan (Pamungkas, 2018). Etika penelitian terdapat 7 prinsip yaitu
Tidak membahayakan atau mengganggu kenyamanan (the right to freedom from harm
and discomfort), Berbuat baik dan tidak merugikan (Beneficence and non-maleficence),
Keadilan (justice), Hak perlindungan dari eksploitasi, Menghormati harkat dan martabat
manusia (respect of human dignity), Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek
penelitian (reconnect for privacy and confidentiality) dan Keadilan dan inklusivitas
(respect for justice and inclusiveness).
Berikut adalah beberapa etika yang harus diperhatikan selama penelitian yaitu :
a. Informed Consent
b. Confidentiallity
d. Nonmaleficence
Penelitian yang baik adalah penelitian yang tidak mengandung unsur bahaya
atau merugikan sampel yang menjadi responden. Perlunya melakukan bina
hubungan saling percaya dengan komunikasi terapeutik yang baik antara peneliti
dengan sampel yang menjadi responden sehingga dalam proses penelitian
responden merasa aman dan nyaman.
Daftar Pustaka
Asfira. (2020). Resiliensi Lansia Laki-laki yang Ditinggal Mati atau Cerai Oleh Pasangan
dalam Menjalankan Kehidupannya Studi Kasus di Desa Sumberanget Kecamatan
Ledokombo Kabupaten Jember.
Amri, Y., Rijanta, R., & Listyaningsih, U. (2022). Faktor Sosial Dan Demografi Yang
Berhubungan Dengan Pekerja Lansia Di Indonesia. Jurnal Litbang Sukowati : Media
Penelitian dan Pengembangan, 5(2), 1–11. https://doi.org/10.32630/sukowati.v5i2.188
Desa, D. I., Rt, P., & Kecamatan, R. W. (2021). YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUP
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial ( S . Sos ) Oleh : GISKA ARIFA
HANANTI.
Indrayani, & Ronoatmojo, S. (2018). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup
lansia di Desa Cipasung Kabupaten Kuningan Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Reproduksi,
9(1), 69–78. https://doi.org/10.22435/kespro.v9i1.892.69-78
World Health Organization. (2022). Pertanyaan jawaban terkait COVID-19 untuk publik. World
Health Organization.
Yolanda, Y., & Widianti, E. (2020). Faktor –Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Salah
Perlakuan terhadap Lansia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(1), 103.
https://doi.org/10.26714/jkj.8.1.2020.103-108
Pamungkas; Usmam. (2017). Metologi riset keperawatan universitas esa unggul. riset
keperawatan.
Missasi, V., & Izzati, I. D. C. (2019). Review of research on educational resilience. Prosiding
Seminar Nasional Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2009, 433–441.
Onainor, E. R. (2019). Hubungan Internalized Stigma Dan Resiliensi Dengan Kekambuhan Pada
Pasien Skizofrenia Di Wilayah Kerja Puskesmas Gamping 2 Sleman. 1, 105–112.
Mulyati, R. S. W. R. (2014). Hubungan Antara Resiliensi Dengan Stres Pada Lansia Yang
Berada Di Panti Wreda. Program Studi Psikologi, 1–24.
Rizaldi, A. A., & Rahmasari, D. (2021). Resiliensi pada lansia penyintas covid-19 dengan
penyakit bawaan. Jurnal Penelitian Psikologi, 8(5), 1–15
Wardani, R. S. (2014). Hubungan Antara Resiliensi Dengan Stres Pada Lansia Yang Berada di
Panti Wreda.
Pamungkas, A,R., & Usman, M, A. (2017). Metodelogi Riset Keperawatan. Book 1. Trans Info
Media. Jakarta Timur
Ziobrowski, Hannah N., Sonneville, Kendrin R. Eddy, Kamryn T., Crosby, Ross D., Micali,
Nadia, Horton, Nicholas J., Field, A. E. (2019). 乳鼠心肌提取 HHS Public Access. Journal
of Adolescent Health, 65(4), 139–148.
https://doi.org/10.1097/AJP.0000000000000642.Optimism
Retnowati, Sofia., Widhiarso, Wahyu dan Rohmani, Kumala.W. (2003) peran Keberfungsian
Keluarga Pada Pemahaman Dan Pengungkapan Emosi. Jurnal Psikologi. 2(1):91-104.
Widayat. (2010). Penentu Perilaku Berinvestasi. Ekonomika – Bisnis Vol. 01 No. 02 Hal. 111 –
128.