Anda di halaman 1dari 42

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESILIENSI LANSIA YANG


TINGGAL DI PANTI WERDHA. Jl. SAHABAT BARU NO . 39, RT.4 / RW.1, DURI
KEPA, KEC. KEBUN. JERUK, KOTA JAKARTA BARAT.

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S1 Keperawatan

Nama: Tamar Yulmike Rawai

Nim: 20180303026

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 RESILIENSI LANSIA


Resiliensi merupakan suatu usaha dari individu sehingga mampu beradaptasi dengan
baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga mampu untuk pulih dan berfungsi optimal
dan mampu melalui kesulitan. Secara umum resiliensi merujuk pada faktor-faktor yang
membatasi perilaku negatif yang dihubungkan dengan stres dan hasil yang adaptif meskipun
dihadapkan dengan kemalangan atau kesengsaraan (Missasi & Izzati, 2019).
Menurut Diclemente, Santellidan Crosby (2016) resiliensi memiliki keterkaitan sangat
erat dengan stres, karena keduanya merupakan konstruk yang tidak dapat dipisahkan.
Resiliensi hanya bisa dijelaskan ketika ada kondisi kesengsaraan atau tekanan yang dihadapi
seseorang, sementara kondisi tersebut dapat memicu stres dan manajemen stres yang
mengarah pada adaptasi yang positif adalah resiliensi. Thomsen (Mashudi, 2018)
mengatakan bahwa terdapat benih resiliensi dalam diri setiap individu. Menurut Corner
(Dewi, Djoenaina & Melisa, 2004) menyebutkan pada dasar nya setiap individu mempunyai
kemampuan untuk tangguh (resilience) secara alami. Banyak faktor yang mempengaruhi
resiliensi salah satunya self esteem.
Menurut (Asfira, 2020) self-esteem, mengacu pada suatu gambaran menyeluruh dari
individu. Burns dan Covington (Owens, Stryker &Goodman, 2006) menjelaskan bahwa, self
esteem diartikan sebagai pelindung individu dari pengaruh sakit dan mencegah dari berbagai
macam permasalahan hidup. Dasar pemikiran ini mengartikan bahwa individu dengan self
esteem yang tinggi, memiliki sikap yang secara sosial lebih dapat diterima dan bertanggung
jawab. Hal ini membuat individu tersebut menjadi lebih resiliensi dalam menghadapi
perubahan dalam hidup, dan secara umum menunjukkan pencapaian yang lebih tinggi, dan
pada akhirnya secara sosio emosional lebih baik. Berdasarkan pemaparan tersebut, diketahui
bahwa penting untuk mengkaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi resiliensi pada
individu. Resiliensi adalah proses beradaptasi baik dalam situasi trauma, tragedi, ataupun
kejadian lainnya yang mungkin dapat menimbulkan stres (Mahmood & Ghaffar, 2014).
Selain itu Pidgeon, Rowe, Stapleton, Magyar, dan Lo (2014) mendefinisikan reseliensi
sebagai kemampuan untuk merespon permasalahan dengan baik, kemampuan untuk berhasil
dalam menghadapi kesengsaraan, serta mampu untuk memiliki harapan yang lebih dalam
keadaan kesulitan. Resiliensi menggambarkan cara individu untuk pulih dari kemunduran
atau trauma, serta bagaimana individu tersebut mampu mengatasi tantangan dalam hidup
(Eley et al., 2013).
Di awal tahun 2020 lansia hampir seluruh dunia termasuk Indonesia, pada saat itu
dilaporkan kelompok lanjut usia (lansia) mengalami resiliensi yang lebih buruk termasuk
komplikasi yang lebih parah hingga angka kematian yang tinggi (Lumbantoruan, et al.,
2021). Berdasarkan data WHO yang ada pada webstie resmi WHO pada tanggal 16 Juni
2022 diketahui sebanyak 509 juta orang diseluruh dunia terkonfirmasi lanjut usia (lansia)
mengalami resiliensi. Berdasarkan data yang ada, pada benua Jerman diketahui sebanyak
152 juta lansia yang mengalami resiliensi yang tinggi, selanjutnya pada benua Eropa
diketahui sebanyak 214 juta lansia yang terkonfirmasi resiliensi yang meningkat, sedangkan
menurut data pada benua Asia diketahui sebanyak 57 juta lansia terkonfirmasi mengalami
resilisiensi, dan yang terakhir pada benua Africa yang diketahui sebanyak 8 juta lansia yang
mengalami resiliensi. Berdasarkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Resiliensi,
angka kematian 3,6% (rentang usia 60-69 tahun) dan 18% (usia > 80 tahun) yaitu
diakibatkan oleh resiliensi yang meningkat (Meo, et al., 2020). Rensiliensi pada kategori
lansia di Indonesia juni 2020 mencapai angka 8.970 jiwa dengan jumlah kematian mencapai
angka 1.423 jiwa atau setara dengan 15,93 persen mengalami resiliensi yang tambah
meningkat. Dan kondisi ini dapat mengakibatkan masalah kesehatan mental pada populasi
lansia sehingga dibutuhkan perhatian yang ekstra bagi mereka (KPCPEN, 2020).
Setiap perubahan dalam kehidupan manusia tersebut mendapatkan banyak perhatian
khusus dari berbagai macam pihak. Salah satunya ialah orang tua atau yang biasa disebut
lanjut usia (lansia). Populasi lansia tiap tahun semakin bertambah banyak (Marmer, 2011).
Menurut Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, yang dimaksud
dengan lansia adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang telah berusia 60
tahun atau lebih (Kementrian Sosial RI,2008). Tahun 2015 dan 2020, proporsi lansia di
dunia diperkirakan hampir dua kali lipat dari sekitar 12% sampai 22%. Secara absolut, ini
merupakan peningkatan dari 900 juta sampai 2 miliar orang lansia (World Health
Organization, 2016). Asia dan Indonesia dari tahun 1990 dan 2000 memiliki jumlah
penduduk <15 tahun lebih besar dari penduduk lansia (>60 tahun), tetapi pada tahun 2040
baik global atau dunia, asia dan Indonesia diprediksikan jumlah penduduk lansia sudah lebih
besar dari jumlah penduduk <15 tahun. Sebaran penduduk lansia mencatat populasi lansia
golongan umur 60 tahun ke atas di provinsi Jawa Barat, terdiri dari 2.739.719. (7,05%) jiwa
dari 38.886.975 jiwa total penduduk Jawa Barat, terdiri dari 1.394.583 (50,9%) jiwa lansia
laki-laki dan 1.345.136 (49,09%) jiwa lansia perempuan. (Badan Pusat Statistik, 2013).
Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. Menurut World Health
Organitation (WHO) lansia meliputi : Usia pertengahan (middle age) antara usia 55 sampai
59 tahun, lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara
usia 75 sampai 90 tahun, usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun. Lansia di Indonesia
dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Kantor Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan, jika tahun 1980 usia harapan hidup (UHH)
52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,54%) maka pada tahun 2006 menjadi 19
juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat (66,2 tahun). Pada tahun 2010 penduduk lansia
mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau
pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34% dengan
UHH sekitar 71,1 tahun. Keadaan dimana seseorang sukses dan mampu beradaptasi pada
keadaan yang sulit dan mampu bangkit kembali dari peristiwa-peristiwa yang membuat
individu tersebut terpuruk biasa disebut dengan resiliensi. Menurut Grotberg (1995)
resiliensi merupakan kapasitas penting bagi kehidupan manusia dalam menjalani kehidupan,
terutama menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup. Kapasitas penting tersebut tidak
terlepas dari faktor pelindung dan faktor resiko dari resiliensi itu sendiri. Hal ini juga
dijelaskan oleh Garmezy bahwa seseorang yang resilien tidak terlepas dari ciri individu itu
sendiri dalam mengatasi kesulitan pada kehidupan yang menantang dan penuh dengan faktor
resiko (Rutter, 1984; Werner, 1992; dalam Sun & Stewart, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi ini dapat berdampak adanya perasaan
malu, menyalahkan diri sendiri, harga diri rendah, penurunan pada kualitas hidup,
peningkatan pada gejala skizofrenia baik positif maupun negatif sehingga hal ini dapat
menurunkan angka harapan pada diri sendiri serta dapat mempengaruhi kegiatan sehari-hari
dan juga akan meningkatkan kekambuhan pasien skizofrenia menurut hasil jurnal dari El-
Salam DA , Relationship Bettwen Insight, Self-Stigma and Level of Hope among Patients
with Schizophrenia 2018. Jurnal Internalized Stigma Of Mental Illness among
Schizophrenic Patients and Their Families Sahar Mahmoud 2015 juga menyebutkan bahwa
efek yang dapat di timbulkan dari adanya internalized stigma yaitu dapat terjadi stress
psikologis, depresi, ketakutan akan pernikahan dan masalah hubungan serta adanya
pembatasan dalam partisipasi sosial di lingkungannya. Seseorang dengan skizofrenia
memerlukan suatu adaptasi yang positif dalam dirinya, hal ini diperlukan untuk membantu
individu tetap dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan keluarganya maupun dengan
lingkungan sekitarnya sehingga akan mampu menghindarkan penderita dari kekambuhan.
Kemampuan adaptasi yang positif dapat disebut sebagai resiliensi. Resiliensi
merupakan salah satu bentuk stabilitas diri dalam menghadapi suatu stres yang datang dan
kemampuan dalam bangkit kembali dari tekanan hidup baik secara internal maupun
eksternal. Seseorang yang memiliki resiliensi tinggi menandakan bahwa memiliki tingkat
adaptasi yang tinggi. Menurut hasil salah satu jurnal Kemampuan Adaptasi Positif Melalui
Resiliensi Intan Mutiara Mir’ata nisa, dkk 2019 menyebutkan bahwa didalam resiliensi
terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya yaitu faktor individual, faktor
keluarga dan faktor lingkungan serta terdapat empat dimensi yang mempengaruhi dari
resiliensi seseorang determination, Endurance, adaptability dan recuperability. Seorang
individu dapat dikatakan tingkat resiliensi itu tercapai apabila mampu bangkit kembali dari
keterpurukan yang dialami dan mampu untuk beradaptasi dengan segala permasalahan yang
dialami, yaitu berupa dampak positif seperti mudah untuk dapat bersosialisasi dengan
masyarakat, memiliki keterampilan berpikir yang baik, terhindar dari kecemasan, terhindar
kesedihan, percaya terhadap diri sendiri dan kemampuan yang dimiliki. Individu yang
memiliki tingkat resiliensi yang baik cenderung akan mengarahkan ke tindakan yang positif
menurut jurnal hasil jurnal Self Efficacy dan Resiliensi: Sebuah Tinjauan Meta-analisis
Cicilia Tanti Utami 2017. Resiliensi ini tidak hanya perlu dimiliki oleh pasien dengan
skizofrenia saja namun keluarga karena keluarga sebagai caregiver bagi pasien, jika tingkat
adaptasi positif baik maka mampu untuk mencegah kekambuhan dari pasien menunrut hasil
jurnal The Relationship Of Family Resilience With Relapse in The schizopren in Patient At
Psyhiatric Unit, Suryani Nurmaela dkk, 2018. Penelitian Aly Abdulrahman, Muhammad
Ramadhan,dkk Relationship Betwen Psychological Resilience and Frequency Of Relapse
and Rehospitalization in A Sample Of Schizophrenic Patients Visiting Port-Said Mental
Health And Addiction Treatment Hospital (2020) menyebutkan bahwa tingkat ketahanan
pada resiliensi adalah salah satu faktor pelindung dari kekambuhan pada pasien skizofrenia,
didalam hasil ini juga menyebutkan semakin tinggi resiliensi penderita skizofrenia akan
semakin sedikit frekuensi dari kekambuhannya.
Faktor lainnya yang menyebabkan masih tingginya penderita skizofrenia yaitu masih
tingginya kekambuhan pada pasien skizofrenia. Kekambuhan dapat diartikan sebagai respon
yang ditandai dengan adanya penurunan fungsi progresif dari penderita, respon memburuk
dalam melakukan pengobatan serta prognosis klinis yang negatif. Faktor penyebab dari
kekambuhan ini dapat terdiri dari beberapa hal terutama dari faktor stress dan emosi dari
caregiver yang setiap hari membantu dalam merawat pasien, adanya stigma dari masyarakat
maupun dari dirinya sendiri kemudian tidak patuh dalam meminum obat dan berobat ke
rumah sakit maupun ke puskesmas dan juga faktor sosial ekonomi. Dengan reseliensi yang
dialami adaptasi positif terhadap kesulitan dan tekanan, atau kemampuan individu untuk
bangkit dari keterpurukan dengan pengalaman negatif yang telah dialaminya. Sehingga
orang tersebut bisa melakukan kegiatan sehari-harinya dengan baik, atau kemampuan
seseorang untuk bertahan dalam keadaan yang sulit dalam kehidupanya, kemauan berusaha
untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut serta berusaha bangkit dari
keterpurukan untuk dapat menjadi lebih baik.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diutarakan, maka penulis memaparkan rumusan
masalah dari penelitian ini adalah “Apakah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Lansia yang tinggal di Panti Werdha Jl. Sahabat Baru No . 39, Rt.4 / Rw.1, Duri Kepa, Kec.
Kebun. Jeruk, Kota Jakarta Barat
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan Umum
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi lansia yang tinggal di
panti werdha jl. sahabat baru no . 39, rt.4 / rw.1, duri kepa, kec. kebun. jeruk, kota jakarta
barat.
Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi faktor demografi yang mempengaruhi resiliensi lansia di panti
werdha jl. Sahabat baru no. 39,rt/rw.1, duri kepa, kec. kebun. jeruk, yaitu meliputi;
jenis kelamim, usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, dan pekerjaan.
b. Mengidentifikasi faktor internal yang mempengaruhi resilien lansia di panti werdha
kebun jeruk yaitu meliputi; motivasi, bilief, konsep diri, harga diri, dan kompetensi
sosial, kemampuan kognitif, spiritualitas, kesehatan, kebahagiaan dan percaya diri.
c. Mengidentifikasi faktor eksternal yang mempengaruhi lansia di panti werdha jl.
Sahabat baru no. 39,rt 4/rw.1, duri kepa, kec. kebun jeruk yaitu meliputi; dukungan
keluarga, komunitas keluarga, dukungan dari teman, sosial, ekonomi, kontrol diri,
bersikap positif, memperkuat diri.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang bermanfaat, serta dapat dijadikan dasar
secara keseluruhan untuk di jadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun
praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan perawat sebagai acuan dan penambah wawasan
khususnya mengidetifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi lansia sebagai
pemeriksaan awal faktor-faktor yang mempengaruhi lansia yang tinggal di panti werdha.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Peneliti
Dapat menambah ilmu dan menerapkan teori yang diperoleh selama duduk di
bangku kuliah di Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul.
2. Bagi Masyarakat Lansia
Dapat mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi lansia yang
tinggal di panti werdha
3. Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan literatur bagi peneliti
selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Lanjut usia adalah seseorang yang memiliki usia lebih dari atau sama dengan 55 tahun
(World Health Organization, 2022). Lansia dapat juga diartikan sebagai menurunnya
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur serta fungsi
normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (Darmojo, 2015). Lanjut usia
didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap berbagai
penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta
perubahan fisiologis yang terkait dengan usia (Rizaldi & Rahmasari, 2021). Lansia
merupakan seseorang yang berusia 60 tahun keatas baik pria maupun wanita, yang masih
aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah
sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Tamher,
2009).
Secara umum lansia dikatakan apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu
penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan. Lansia
adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap konsisi stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan
secara individual (Becker et al., 2015).
Menurut Hurlock lansia adalah individu yang ditandai dengan adanya perubahan fisik
dan mengalami berbagai permasalahan psikologis. Perubahan fisik meliputi perubahan
dalam hal penampilan, perubahan dan penurunan kerja sistem organ dalam, perubahan
dalam sistem syaraf, dan penurunan dalam kemampuan seksual. Dari beberapa definisi
yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwasannya lanjut usia atau lansia
merupakan seseorang yang sudah berusia lebih dari 60 tahun dan mengalami berbagai
penurunan fungsi dan gangguan dalam tubuh. Seseorang yang sudah memasuki masa
lansia biasanya mengalami beberapa penurunan baik dari segi fisik, psikis, maupun
sosial.
2.1.2 Ciri-Ciri Lansia
Pada periode lansia terjadi beberapa perubahan yang ditandai dengan perubahan fisik
dan psikologis tertentu. Beberapa ciri-ciri lansia antara lain yaitu :
1. Lanjut usia merupakan periode kemunduran
Pada periode kemunduran terjadi perubahan yang mempengaruhi struktur baik
fisik maupun mental dan juga keberfungsiannya. Periode waktu saat terjadinya
kemunduran fisik dan terjadinya disorganisasi mental disebut dengan keudzuran.
Sikap tidak menyukai diri sendiri, orang lain, pekerjaan, dapat menuju pada
keadaan uzur dan berakibat pada menurunnya fisik dan mental pada lansia.
2. Perbedaan individu dalam efek menua
Menua akan mempengaruhi orang-orang secara berbedabeda. Ada yang
berkeyakinan bahwa menua merupakan suatu berkah dan keberuntungan, akan
tetapi ada yang menganggap menjadi tua adalah sebuah kutukan.
3. Dinilai dengan kriteria yang berbeda
Lansia cenderung dinilai oleh orang lain melalui penampilan dan kegiatan
fisik. Pada umumnya usia tua dipandang sebagai orang yang sudah mempunyai
rambut putih dan tidak lama lagi akan berhenti dari pekerjaan sehari-hari.
4. Sterotip dengan orang lanjut usia
Sterotip serta kepercayaan tradisional yang lumrah timbul dalam masyarakat
umum tentang lansia antara lain seperti usia lanjut merupakan usia yang tidak
menyenangkan, keadaan fisik dan mentalnya loyo, usang, pikun, dan jalannya
membungkuk. Selain itu lansia sulit hidup dengan siapa pun, sebab hari-harinya
yang penuh dengan manfaat telah usai sehingga perlu dijauhkan dari orang-orang
yang lebih muda.
5. Sikap sosial dengan orang lanjut usia
Sikap sosial terhadap lansia yang cenderung tidak menyenangkan cenderung
mempengaruhi seseorang dalam memperlakukan orang dengan usia lanjut.
6. Lansia menjadi kelompok minoritas
Adanya status kelompok minoritas yang melekat pada lansia disebabkan akibat
dari sikap sosial yang tidak menyenangkan dari lansia dan diperkuat oleh
pendapat klise tentang hal yang tidak menyenangkan terhadap lansia.
7. Menua membutuhkan perubahan peran
Pengurangan dan perubahan peran pada lansia banyak terjadi karena tekanan
sosial. Adanya sikap sosial yang tak menyenangkan bagi lansia, pujian bagi lansia
bukan sebab keberhasilan mereka tapi lebih pada peran usia tua. Perasaan tidak
berguna dan tak dibutuhkan kembali menumbuhkan rasa rendah diri dan
kemarahan, yaitu perasaan yang tidak menunjang terjadinya proses penyesuaian
sosial seseorang.
8. Penyesuaian yang buruk merupakan ciri-ciri lanjut usia
Adanya sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi lansia membuat mereka
mengalami gangguan fungsional akibat perlakuan dari kondisi sosial yang mereka
hadapi di lingkungan. Bahkan kasus bunuh diri meningkat seiring bertambahnya
usia, dengan kasus yang paling sering dilakukan oleh pria berkulit putih.
9. Keinginan menjadi muda kembali sangat kuat pada lanjut usia
Banyak orang yang melakukan perawatan guna memperlambat penuaan
dengan usaha membatasi dan mengurangi makanan dan vitamin. Adapun Orang
yang melakukan operasi plastik untuk menghilangkan tanda-tanda penuaan. Hal
tersebut dilakukan agar mereka tampak muda dan terlihat lebih awet muda. Dari
beberapa uraian di atas mengenai ciri-ciri lansia dapat disimpulkan bahwa lansia
memiliki ciri-ciri yaitu lanjut usia merupakan periode kemunduran, perbedaan
individu dalam efek menua, dinilai dengan kriteria yang berbeda, sterotip dengan
orang lanjut usia, sikap sosial dengan orang lanjut usia, lansia menjadi kelompok
minoritas, menua membutuhkan perubahan peran, penyesuaian yang buruk
merupakan ciri-ciri lanjut usia, dan keinginan menjadi muda kembali sangat kuat
pada lanjut usia.
2.1.3 Tugas Perkembangan Lansia.
Tugas perkembangan menurut Sudarwan adalah sesuatu yang bisa diduga timbul dan
konsisten pada periode tertentu dalam kehidupan individu. Menurut Havighurst, tugas-
tugas perkembangan usia lanjut usia adalah :
1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan
Di fase lansia kesehatan dan kekuatan fisik menurun dikarenakan menurunnya
fungsi syaraf, fungsi otot, dan organ-organ tubuh tidak lagi mampu melakukan
degenerasi seperti pada masa sebelumnya.
2. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan
keluarga)
Schwartz mengatakan bahwa pensiun menjadi akhir pola hidup atau masa
transisi ke pola hidup baru, menjadikan perubahan peran, perubahan keinginan
dan nilai, dan menjadi perubahan bagi pola hidup seorang lansia. Lansia yang
tidak memilik cukup uang untuk kebutuhan hidupnya sering menghentikan
kegiatan yang penting bagi mereka dan memilih mencari kegiatan yang
menghasilkan sesuatu, dengan tidak memperhatikan apakah hal tersebut penting
bagi mereka atau memenuhi kebutuhannya.
3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
Kematian suami atau istri pada masa tua merupakan stress yang berat bagi
lansia yang ditingglkan. Sebab kematian pasangan hidup pada masa tua seakan
akan dirasakan sebagai kehilangan segala-galanya, perpisahan yang berat dan
merasa sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
4. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia
Lansia membangun ikatan dengan anggota kelompok usia mereka untuk
menghindari adanya kesepian akibat ditinggal anak dan masa pensiun. Para lansia
dalam membentuk dan membangun hubungan dengan orang-orang yang
seusianya biasanya mereka lakukan dalam kegiatan peribadatan, arisan, maupun
aktivitas pengajian.
5. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
Lansia memiliki semangat serta energi untuk ikut berpartisipasi dalam
kehidupan, selain itu berpikiran bahwa dirinya merupakan individu yang berharga
dapat membuat lansia merasa puas dengan kehidupannya.
6. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Lansia umumnya mempunyai lebih bayak pengalaman dibanding orang yang
lebih muda. Sehingga lansia biasanya diminta untuk memberikan pendapat,
masukan maupun kritikan, juga partisipasi terhadap kehidupan sosial. Pemberian
peran pada lansia secara tak langsung dapat membuat kesehatan berpikir serta
fisiknya dapat terjaga baik, dan dapat mengurangi percepatan kepikunan pada
lansia. Dari uraian mengenai tugas perkembangan lansia dapat disimpulkan
bahwasannya lansia memiliki tugas perkembangan seperti menyesuaikan diri
dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri dengan
masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan keluarga), menyesuaikan
diri dengan kematian pasangan hidup, membentuk hubungan dengan orang-orang
yang seusia, membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan, dan
menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.
2.2 Resiliens
Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk bertahan atau mampu menyesuaikan
diri, beradaptasi terhadap situasi yang tidak mengenakkan, tekanan, atau perubahan yang
terjadi dalam dirinya, sebagaimana pendapat para ahli bahwa resiliensi merupakan
kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang
sulit. Pendapat yang sama juga dikemukakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang
untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari
keterpurukkan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami
kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu
masalah ataupun kesulitan. Resiliensi dapat diartikan sebagai adaptasi yang baik dalam
keadaan khusus (Snyder & Lopez, 2002). Menurut (Sills dan Steins, 2007) resiliensi
merupakan penyesuaian yang sensitif dalam menghadapi stres dan trauma. Resiliensi adalah
perubahan mentalitas yang memungkinkan individu mencari pengalam baru dan melihat
kehidupan mereka sebagai suatu pekerjaan yang progresif..
Resilensi adalah kapasitas seseorang untuk tetap berkondisi baik dan memiliki solusi
yang produktif ketika menghadapi kesulitan ataupun trauma, yang memungkinkan terjadinya
stress dalam hidupnya (Reivich &Shatte, 2002). Resilensi didefinisikan sebagai kemampuan
untuk bangkit kembali atau pulih dari stres, mampu beradaptasi dengan situasi atau kesulitan
stress (Smith dkk, 2008). Resilensi juga dilihat sebagai ukuran keberhasilan keterampilan
coping stress (Ziobrowski, Hannah 2019). Berdasarkan uraian beberapa tokoh tentang
resiliensi, maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan usaha yang dilakukan
individu, sehingga mampu beradaptasi dengan pihak yang mendorongnya, sehingga mampu
pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan. Resiliensi adalah kapasitas
individu untuk menghadapi dan mengatasi serta merespon secara positif kondisi-kondisi
tidak menyenangkan. Melalui berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam menghadapi
situasi-situasi sulit, individu terus belajar memperkuat diri sehingga mampu mengubah
kondisikondisi yang menekan dan tidak menyenangkan tersebut menjadi suatu kondisi yang
wajar untuk diatasi. Resiliensi bukan hanya kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan,
namun juga upaya untuk menyembuhkan diri dari kondisi tertekan.
2.2.1 Aspek-Aspek Resiliensi
Menurut Reivich & Shatte terdapat tujuh aspek dalam resiliensi yang meliputi
regulasi emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab masalah, empati, efikasi
diri, serta reaching out.
1. Emotion Regulation (Regulasi Emosi)
Regulasi emosi merupakan kemampuan individu untuk tetap tenang di bawah
kondisi yang menekan. Regulasi emosi yang baik dapat memberi kemudahan dalam
mengelola respons saat berinteraksi dengan orang lain dan dalam berbagai kondisi
lingkungan.
2. Impulse Control (Pengendalian Impuls)
Pengendalian impuls merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, dan tekanan yang muncul dari dalam diri individu.
Kemampuan ini erat kaitannya dengan kemampuan regulasi emosi yang dimiliki
individu.
3. Optimism (Optimisme)
Menurut Reivich & Shatte, individu yang resilien merupakan individu yang
optimis. Optimisme yang dimaksud ialah optimisme yang realistis, yakni
kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi usaha
untuk mewujudkanya.
4. Casual Analysis (Analisis Kasual)
Kemampuan individu dalam mengidentifikasi secara akurat penyebab
permasalahan yang telah dihadapi. Individu yang resilien akan berfokus pada
pemecahan masalah, dan perlahan akan memecahkan masalah yang dihadapi, dan
mengarahkan diri untuk bangkit dan meraih kesuksesan.
5. Emphaty (Empati)
Kemampuan individu dalam membaca tanda-tanda kondisi emosional dan
psikologis orang lain. Individu yang memiliki empati rendah cenderung akan
mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien dengan kata lain
menyamaratakan segala keinginan dan emosi orang lain.
6. Self Efficacy (Efikasi Diri)
Kemampuan merepretasikan keyakinan bahwa individu dapat memecahkan
masalah yang dialami serta mencapai kesuksesan. Dengan keyakinan serta
kemampuan dalam menyelesaikan suatu permasalahan, individu dapat mencari
penyelesaian yang tepat, dan tidak mudah menyerah terhadap kesulitan yang ada.
7. Reaching Out (Menemukan Jalan Keluar Dari Permasalahan)
Kemampuan individu untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari
keterpurukan, serta kemampuan individu untuk meraih aspek positif dari kehidupan
setelah kemalangan yang menimpa. Dapat disimpulkan bahwasannya terdapat tujuh
aspek dalam resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis
penyebab masalah, empati, efikasi diri, dan reaching out.
2.2.2 Tahapan Pembentukan Resiliensi
O’leary & Ickovics menyebutkan terdapat empat proses yang terjadi ketika individu
mengalami situasi dan kondisi yang menekan (significant adversity), yaitu :
1. Mengalah (Succumbing)
Merupakan kondisi mengalah maupun menyerah dengan adanya tekanan hidup
yang dialami oleh individu. Tahapan ini merupakan kondisi saat individu
menemukan atau mengalami kemalangan yang berat bagi mereka. Individu yang
berada pada tahap ini berpotensi mengalami ketidakseimbangan dan ketidaksiapan
untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada serta menimbulkan sakit psikologis.
2. Bertahan (Survival)
Merupakan kondisi dimana individu dapat bertahan dengan kondisi yang
menekan, tetapi beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran. Pada tahap ini,
individu akan menyalahkan keadaan dan tak jarang akan menyalahkan orang lain
atas keadaan yang menekan mereka.
3. Pemulihan (Recovery)
Merupakan kondisi dimana individu sudah mampu berdaptasi dan pulih dari
keadaan yang menekan mereka. Di tahap ini individu sudah bisa beraktivitas
kembali dan menjalani kehidupan sehari hari seperti sediakala.
4. Berkembang Pesat (Thriving)
Merupakan tahap dimana individu tidak hanya bisa pulih dari kondisi yang
menekan, akantetapi individu dapat melampaui fungsi psikologis yang lebih baik
dari keadaan sebelumnya. Pengalaman yang dialami sebelumnya menjadikan
inidividu dapat menghadapi dan mengatasi kondisi yang menekan. Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan resiliensi terdiri empat yaitu pertama
mengalah (scummbing), yang kedua bertahan (survival), ketiga pemulihan
(recovery), dan tahap keempat berkembang pesat (thriving).
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi lansia yang ada di panti wardha.
Menurut (Missasi & Izzati, 2019) faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi tersiri
dari empat faktor, yakni faktor individu, keluarga, komunitas dan faktor resiko.
2.2.3.1 Faktor Individu
Faktor Individual Merupakan faktor yang berasal dari dalam individu, faktor
individual meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan
kompetensi sosial yang dimiliki oleh individu.
1. Kemampuan Kognitif
Kemampuan kognitif menurut Ahmad Susanto adalah suatu proses
berpikir, yaitu kemampuan individu dalam menghubungkan, menilai, dan
mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Melalui kemampuan
kognitif, individu akan berpikir bahwasannya bencana yang terjadi bukan
hanya karena kelalaian tetapi merupakan kehendak dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Begitupun dengan akibatnya, individu akan berpikir untuk tidak
menyesali apa yang terjadi serta berusaha memaknai juga menumbuh
kembangkan semangat dan optimalisasi kemampuan berpikir untuk pulih
seperti sedia kala.
2. Konsep Diri
Konsep diri menurut Mead adalah pandangan, penilaian, dan perasaan
individu mengenai dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksi sosial.
Konsep diri memiliki peran positif terhadap resiliensi, sehingga semakin tinggi
konsep diri seseorang semakin tinggi pula resiliensi seseorang. Dan sebaliknya
apabila seseorang memiliki konsep diri yang cenderung rendah maka semakin
rendah pula resiliensi seseorang.
3. Harga Diri
Harga diri atau self esteem merupakan salah satu sumber dalam
meningkatkan resiliensi seseorang. Harga diri menurut Baron dan Bryne adalah
evaluasi diri yang merujuk kepada sikap seseorang terhadap dirinya, mulai dari
sangat negatif sampai sangat positf. Menurut Rosenberg, individu yang
memiliki self esteem yang tinggi akan menghormati dirinya serta menganggap
dirinya berguna. Sedangkan individu yang memiliki self esteem rendah
cenderung tidak dapat menerima dirinya dan juga menganggap dirinya tidak
berguna dan serba kekurangan.
4. Kompetensi Sosial
Salah satu poin dari faktor individual adalah kompetensi sosial, dimana
individu yang memiliki kemampuan komunikasi interpersonal dengan orang
lain cenderung memiliki kemampuan resilien yang baik. Kemampuan
sosialisasi individu dapat dikembangkan dan ditingkatkan melalui humor,
empati, dan mudah bergaul dengan orang lain serta masyarakat sekitar. Hal
yang demikian tentunya dapat meningkatkan kemampuan resiliensi individu.
Dapat disimpulkan bahwa faktor individual merupakan faktor resiliensi yang
berasal dari dalam diri individu dan faktor individual terdiri dari faktor
individual meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan
kompetensi sosial yang dimiliki oleh individu.
2.2.4 Faktor Keluarga
Beberapa penelitian serupa menjelaskan bahwa individu yang menerima secara
langsung arahan dan dukungan dari orang tua dalam keadaan yang buruk akan lebih
merasa termotivasi, optimis dan yakin bahwa individu tersebut mampu untuk menjadi
sukses.
2.2.5 Faktor Komunitas atau Eksternal
Pada situasi yang buruk, individu yang resilien lebih sering mencari dan menerima
dukungan juga kepedulian dari orang dewasa selain orang tua, seperti guru, pelatih,
konselor sekolah, kepala sekolah dan tetangga. Begitupula dengan memiliki hubungan
yang positif dengan orang lain, juga lingkungan yang baik.
2.2.6 Faktor Resiko
(Mulyati, 2014) menyebutkan beberapa faktor yang ada dalam faktor resiko sebagai
stressor atau tekanan. Faktor tersebut berupa keadaan kekurangan, kehilangan, peristiwa
negatif dalam hidup, perperangan, bencana alam dan sebagainya. Penelitian yang sama
juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi resilensi selain faktor yang telah
disebut diatas, yaitu regulasi emosi, emosi positif, spiritualitas, harapan, optimisme,
kemampuan beradaptasi, faktor demografis (usia, gender, jenis kelamin, ras dan etnik)
ataupun faktor lain yang mampu meningkatkan resiliensi seperti tahapan kehidupam yang
telah dilalui sebagai fase perkembangan hidup.
Dengan demikian, secara garis besar terdapat tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi
yaitu faktor individu, keluarga dan eksternal (kominutas). Penelitian ini memiliki variabel
bebas yaitu kebersyukuran yang temasuk dalam faktor individual atau faktor yang berasal
dari dalam diri individu yang disampaikan oleh (Onainor, 2019), yaitu spritualitas, karena
perilaku bersyukur terkait dengan hubungan manusia dan keyakinannya, begitu pula
dengan spritualitas yang menjelaskan mengenai perihal keyakinan secara lebih luas. Dari
teori-teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi dapat ditimbulkan melaui tiga
faktor yaitu faktor individu, keluarga dan komunitas. Salah satu faktor utama yang
berasal dari dalam individu adalah rasa kebersyukuran.
2.3 Panti Werdha
Panti Werdha merupakan unit pelaksana teknis di bidang pembinaan kesejahteraan
sosial lansia yang memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia berupa
pemberian penampungan, jaminan hidup seperti pakaian, pemeliharaan kesehatan,
pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial mental serta agama
sehingga mereka dapat menikmati haritua diliputi ketentraman lahir danbatin.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti Panti adalah rumah atau tempat
kediaman. Dan arti dari Panti Werdha adalah rumah tempat memelihara dan merawat orang
jompo. Arti kata jompo sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tua sekali dan
sudah lemah fisiknya; tua renta; uzur. Pengertian panti werdha menurut Departemen Sosial
RI adalah suatu tempat untuk menampung lansia dan jompo terlantar dengan memberikan
pelayanan sehingga mereka merasa aman, tentram sengantiada perasaan gelisah maupun
khawatir dalam menghadapi usia tua. Secara umum Panti Wredha memiliki fungsi sebagai
berikut:
a. Pusat pelayanan kesejahteraan lanjut usia (dalam memenuhi kebutuhan pokok
lansia).
b. Menyediakan suatu wadah berupa kompleks bangunan dan memberikan kesempatan
pula bagi lansia melakukan aktivitas- ativitas sosial-rekreasi.
c. Bertujuan membuat lansia dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan
mandiri. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008, yaitu Peraturan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 44 Tahun 2008, Panti werdha
tersebut memiliki fungsi yaitu, pusat pelayanan pendampingan dan perlindungan bagi
lanjut usia, pusat informasi tentang kesejahteraan sosial lanjut dan pusat
pengembangan ilmu pengetahuan tentang usia lanjut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
2.4 Kerangka teori resiliensi ini dapat berdampak
adanya adanya perasaan malu,
Faktor demografi menyalahkan diri sendiri, harga
diri rendah, penurunan pada
1) Jenis kelamin kualitas hidup, peningkatan pada
2) Usia gejala skizofrenia baik positif
3) Tingkat pendidikan maupun negatif.
4) Status pernikahan
5) Pekerjaan El-Salam DA, Relationship
Bettwen Insight, Self-Stigma and
Kondisi yang dialami lansia dan demografi Level of Hope among Patients with
berpengaruh signifikan terhadap seseorang Schizophrenia, 2018.
(Widayat, 2010).
Dikembangkan untuk penelitian ini, 2020

Faktor Internal Resiliensi lansia

1) Motivasi 1. Faktor Individual


2) Kemampuan Kognitif 2. Faktor keluarga
3) Konsep Diri 3. Faktor lingkungan
4) Harga Diri
5) Kompetensi
6) Sosial Dampak positif tercapainya tingkat
7) Spiritualitas resiliensi pada setiap individu
yaitu dapat meningkatkan
8) Kesehatan dan
kemampuan bersosialisasi dengan
Werner dan Smith (iqbal, 2011:31) masyarakat, memiliki keterampilan
berpikir yang baik, terhindar dari
kecemasan, terhindar kesedihan,
percaya terhadap diri sendiri dan
FaktorSEkternal
kemampuan yang dimiliki.
1) Dukungan keluarga Self Efficacy dan Resiliensi:
2) Dukungan komunitas Sebuah Tinjauan Meta-analisis
Cicilia Tanti Utami, 2017.
3) Dukungan sosial
4) Dukungan teman-teman
5) Lingkungan
6) Ekonomi
7) Individu
Retnowati, Widhiarso dan Rohani, 2015
2.5 Kerangka konsep
Kerangka konsep merupakan suatu susunan konstruksi logika yang dibuat dengan
tujuan menjelaskan variabel-variabel yang akan diteliti. Selain itu kerangka konsep juga
digunakan peneliti guna mencapai fokus yang lebih terarah dalam penyusunan hipotesis
penelitian (Pamungkas & Usman, 2017). Pada penyusunan kerangka konsep peneliti akan
menghubungkan hasil penemuan dengan teori yang dapat diamati atau diukur melalui
variabel.
Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor demografi
1) Jenis kelamin
2) Usia
3) Tingkat pendidikan
4) Status pernikahan
5) Pekerjaan

Faktor Internal

1) Motivasi
2) Kemampuan Kognitif
3) Konsep Diri
4) Harga Diri
Resiliensi lansia
5) Kompetensi
6) Sosial
7) Spiritualitas
8) Kesehatan

Faktor Ekternal

1) Dukungan keluarga
2) Dukungan komunitas
3) Dukungan sosial
4) Dukungan teman-
teman
5) Lingkungan
6) Ekonomi
7) Individu
2.6 Penelitian Terkait

NO Author Judul Penelitian Design Penelitian Hasil Penelitian


1 (Desa, 2021) Dinamika faktor Hasil dari Dari hasil penelitian
http://repository. resiliensi pada lansia penelitian mengenai dinamika faktor
iainpurwokerto.a yang ditinggal menyimpulkan resiliensi lansia yang
c.idnyumas.pdf. Mati pasangan hidup bahwa terdapat ditinggal mati pasangan
di desa pageraji rt 01 dinamika resiliensi hidup di desa Pageraji RT
rw 09 yang berbeda 01 RW 09 kecamatan
Kecamatan dalam setiap lansia Cilongok kabupaten
cilongokkabupaten untuk pulih seperti Banyumas dapat penulis
banyumas kondisi semula dan simpulkan bahwa terdapat
terdapat faktor proses
yang yang terjadi sehingga lansia
mempengaruhi memmpunyai kemampuan
resiliensi pada resiliensi dalam dirinya
empat lansia yang serta terdapat tiga faktor
ditinggal mati yang mempengaruhi
pasangan hidup di resiliensi lansia yang
desa Pageraji RT ditinggal
01 RW 09 mati pasangan hidup di
kecamatan desa Pageraji RT 01 RW 09
Cilongok kecamatan Cilongok
kabupaten
Banyumas yaitu
faktor individual
yang terdiri atas
kemampuan
kognitif, konsep
diri, harga diri, dan
kompetensi sosial,
NO Author Judul Penelitian Design Penelitian Hasil Penelitian
spiritualitas,
kesehatan, dan
kebahagiaan;
faktor keluarga;
dan faktor
komunitas
2 (Sangadah & Hubungan antara Penelitian ini Regulasi Emosi Secara
Kartawidjaja, resiliensi dan konsep bertujuan umum semua informan
2020) diri dengan untuk mengetahui memiliki regulasi emosi
http://repository. Kebermaknaan hidup hubungan antara yang hampir sama. Semua
radenintan.ac.id/ pada lansia resiliensi dan informan merasakan
15774/1/SKRIP konsep diri dengan kesedihan ketika suami
SI_PERPUS.pdf kebermaknaan meninggal, meskipun
hidup pada lansia. kematian pasangan tidak
Adapun hipotesis membawa pengaruh yang
pada penelitian ini besar dalam hidup semua
yaitu Ada informan. Dua dari tiga
hubungan antara informan mengeskpresikan
resiliensi dan apa yang dirasakan dengan
konsep diri dengan bercerita kepada orang
kebermaknaan terdekat, sedangkan seorang
hidup, Ada informan tidak suka
hubungan antara mengespresikan apa yang
resiliensi dengan dirasakan. Hal ini juga
kebermaknaan berpengaruh pada
hidup, dan Ada bagaimana para informan
hubungan antara berusaha untuk tetap tenang
konsep diri dengan ketika ada masalah, seperti
kebermaknaan melalui kegiatan
hidup keagamaan dan usaha dari
NO Author Judul Penelitian Design Penelitian Hasil Penelitian
dalam diri sendiri.
3 (Yolanda & Faktor –faktor yang Tujuan dari Faktor-faktor yang
Widianti, 2020) mempengaruhi tinjauan ini adalah mempengaruhi terjadimya
file:///C:/Users/L terjadinya salah untuk mengetahui salah perlakuan antaralain
enovo/Download Perlakuan terhadap faktor resiko yang rendahnya dukungan sosial,
s/5025-12530-1- lansia mempengaruhi beban stres dari caregiver,
PB%20(1).pdf terjadinya salah kerusakan kognitif lansia,
perlakuan terhadap tingkat ekonomi rendah dan
lansia ketergantungan fungsi
tubuh/disability.Mengetahui
faktor resiko
sangat penting guna
mencegah tindakan salah
perlakuan pada lansia dan
hal tersebut akan
meningkatkan kualitas
hidup lansia
4 (Indrayani & Faktor-faktor yang Penelitian ini Penelitian ini menunjukkan
Ronoatmojo, berhubungan dengan bertujuan untuk bahwa sedikit lebih besar
2018) kualitas hidup lansia mengetahui faktor- dari separuh responden
https://ejournal2. di desa cipasung faktor yang memiliki kualitas hidup
litbang. kabupaten kuningan berhubungan baik dan skor rata-ratanya
kemkes.go.id/ tahun 2017 dengan kualitas adalah 50, 14. Karakteristik
index. hidup lansia lansia meliputi
php/kespro/articl pendidikan dan pekerjaan
e/ memiliki hubungan yang
view/892/404 signifikan dengan kualitas
hidup lansia. Sedangkan
faktor yang berhubungan
paling kuat denga kualitas
NO Author Judul Penelitian Design Penelitian Hasil Penelitian
hidup lansia adalah
dukungan keluarga dengan
nilai OR5,77 setelah
dikontrol oleh variabel
lainnya
5 (Asfira, 2020) Resiliensi lansia laki- Hasil dari Gambaran resiliensi pada
http://digilib.iain laki yang ditinggal penelitian ini yaitu lansia laki-laki yang
- mati terdapat tiga lansia ditinggal mati
jember.ac.id/958 Atau cerai oleh laki-laki di Desa ditinggal mati atau cerai
/1/SKRIPSI.pdf pasangan dalam Sumberanget oleh pasangan dalam
menjalankan Kecamatan menjalankan kehidupannya,
Kehidupannya. Ledokombo terdapat tujuh aspek
Kabupaten Jember diantaranya:
yang ditinggal mati Aspek Regulasi emosi yaitu
atau ditunjukkan dengan sikap
cerai oleh pasangan Membacakan alfatihah dan
hidupnya dengan mendoakan istrinya, ketika
tujuh aspek mucul ingatan
resiliensi yaitu kepada istrinya, selalu
aspek regulasi mendengarkan nasehat baik
emosi, kontrol dari anak-anaknya, dan
terhadap impuls, menyibukkan diri dengan
optimis, analisis hal positif
kausal, empati,
efikasi diri, dan
kemampuan
meningkatkan
aspek positif.
Selain dari tujuh
aspek tersebut,
NO Author Judul Penelitian Design Penelitian Hasil Penelitian
aspek
yang sangat kuat
yang ada pada diri
lansia laki-laki
yang ditinggal mati
atau cerai
oleh pasangannya
yaitu aspek
religiusitas
BAB III

METODE PENILITIAN

Pembahasan pada bab ini mengenai desain penelitian, objek penelitian populasi dan
sampel, tempat dan waktu penelitian, etika penelitian, teknik pengumpulan data, prosedur
pengumpulan data, kerangka konsep dan definisi operasional.

3.1 Desain penilitian


Desain penelitian merupakan salah satu metode yang digunakan oleh seorang peneliti
dalam melaksanakan sebuah penelitian yang berfungsi untuk memberikan arahan terkait alur
penelitian dan strategi guna mendapatkan data yang dibutuhkan peneliti untuk keperluan
pengujian hipotesis serta sebagai alat dalam mengontrol variabel yang mempengaruhi
penelitian (Sugiyono, 2014 dikutip Magdalena, 2021) Jenis penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional study.
Desain cross sectonal study mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiliensi dengan
efek dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada waktu yang
sama (point time approach) (Pamungkas & Usman, 2017).
Kegiatan penelitian ini menggunakan pendekatan pengumpulan data pada subjek penelitian
untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi lansia yang ada di panti
werdha wisma sahabat baru, jl. sahabat baru no. 39, rt.4/rw.1,duri kepa, kec. kebun. jeruk,
kota jakarta barat, daerah khusus ibukota jakarta 11510.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di panti werdha kecamatan kebon jeruk Jakarta barat
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus - September 2022.
3.3 Populasi dan sampel
3.3.1 Populasi
Populasi atau universe merupakan keseluruhan dari suatu objek yang akan diteliti
oleh peneliti berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti (Pamungkas &
Usman, 2017). Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh perawat yang bertugas di panti
werdha dalam menjaga lansia yang mengalami faktor-faktor yang mempengaruhi
resiliensi lansia yang tinggal di panti werdha dengan besar populasi 50 lansia.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Teknik pengambilan sampling adalah teknik yang digunakan untuk mengambil
sampel dari populasi. Total population sampling digunakan dalam penelitian ini untuk
melihat keseluruhan populasi yang mempunyai kumpulan beberapa karakteristik khusus.
Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu kriteria inklusi dan kriteria
ekslusi.
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi
target dan terjangkau yang akan diteliti. Pada penelitian ini, kriteria inklusi yang
ditetapkan adalah:
1. Usia 55: 90 tahun
2. Lansia yang tinggal di panti werdha mendapatkan pengalaman selama tinggal di
panti werdha.
3. Melibatkan dalam proses penelitian.
Maka sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini dari populasi 50
lansia dengan margin eror 5% adalah 50 lansia.

3.3 Teknik Sampling


Sampling merupakan proses pengambilan sampel atau proses seleksi sampel dari
populasi (Pamungkas & Usman, 2017). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teknik pengambilan sampel dan total sampling merupakan pengambilan sampel
berdasarkan pada kriteria yang ditentukan oleh peneliti.
3.3.1. Kriterial Inklusi
Lansia di panti werdha mendapatkan pengalaman selama tinggal di panti werdha.
wisma sahabat baru, jl. sahabat baru no. 39, rt.4/rw.1,duri kepa, kec. kebun. jeruk,
kota jakarta barat, daerah khusus ibukota jakarta 11510 . Pengalaman yang di alami
lansia tersebut dapat berupa keuntungan dan kekurangan. Beberapa keuntungan
lansia apabila tinggal di panti werdha antara lain sebagai berikut :
a. Perawatan dan perbaikan wisma dan pelengkapannya dikerjakan oleh
lembaga;
b. Semua makanan mudah didapat dengan biaya yang memadai;
c. Perabotan di buat unruk rekreasi dan hiburan;
d. Terdapat kemukinan untuk berhubungan dengan temana seusia yang
mempunyai minat dan kemampuan yang sama;
e. Kesempatan yang besar untuk dapat diterima secara temporar oleh teman
seusia daripada dengan orang yang lebih muda;
f. Menghilangkan kesepian karena orang-orang di situ dapat dijadikan teman;
g. Perayaan hari libur bagi mereka yang tidak mempunyai keluarga tersedia
disini;
h. Ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi di masa lalu
kesempatan semacam ini tidak mungkin terjadi dalam kelompok orang-
orang muda.
3.3.2. Kriteria Eklusi
Sedangkan kekurangan yang akan di alami lansia apabila tinggal di panti werdha,
antara lain yaitu:
a. Lansia yang sedang sakit
b. Lansia yang sedang menjalankan proses perawatan
c. Lansia tidak bersedia/ merasakan keberatan.

3.4 Definisi operasional


Definisi operasional digunakan untuk mendefinisikan secara operasional berdasarkan
karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan peneliti melakukan observasi atau
pengukuran secara cermat terhadap suatu fenomena. Definisi operasional berfungsi untuk
mengarahkan pada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang
bersangkutan serta pengambilan instrumen atau alat ukur (Notoatmodjo, 2012 dikutip
Magdalena 2021).
Definisi operasional pada penelitian ini yang dilakukan terdiri dari dua variabel yaitu
variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen pada penelitian ini adalah
faktor denografi, faktor internal, faktor eksternal dan variabel dependen pada penelitian ini
adalah resiliensi.
Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Skalah Hasil ukur


ukur

1 Usia Lamanya hidup Kuisioner Ordinal 1 = berisiko


responden yang di hitung jika, >55
sejak di lahirkan hingga 2 = tidak
penilitian ini di lakukan berisiko kurang
dari <55

2 Jenis kelamin Merupakan antara Kuisioner Ordinal 1 = laki-laki


perbedaan laki-laki dan
2 = perempuan
perempuan secara logis

3 Pendidkan Pendidikan terskhir yang Kuisioner Ordinal 1 = SD


ditempuh oleh lansia di
2 = SMP
panti werda
3 = SMA

4 = Sarjana

4 Pekerjaan Adanya Kuisioner Oridinal 1 = ada


kegiatan/pekerjaan yang kegiatan/
dilakukkan oleh lansia di pekerjaan
panti werdha
2 =Tidak ada
kegiatan

5 Pernikaan Merupakan sebuah gelar Kuisioner Oridinal 1 = Belum


non akademis yang Menikah
disandang oleh orang
2 =Sudah
yang sudah dewasa dan
Menikah
mampu bertanggung
jawab terhadap hidupnya 3 = Bercerai
No Variabel Definisi Operasional Alat Skalah Hasil ukur
ukur

bersama orang lain

6 Resiliensi Menditifikasi Kuisioner Oridinal Memperlihatkan


kesejahteraan hasil resiliensi
phisikologis sebagai yang di alami
kondisi dimana individu lansia
memiliki sikap yang
Kategori
positif terhadap dirinya
jawaban
sendiri dan orang lain,
0 = tidak
dapat membuat
1= ya
keputusan sendiri dan
Total skor
mengatur tingkah
0 = Rendah
lakunya sendiri, dapat
1 = Sedang
menciptakan dan
2 = Tinggi
mengatur lingkungan
yang baik, memiliki
tujuan, dan membuat
hidup lebih bermakna
serta mampu
mengekplorasi dan
tujuan yang
mengembangkan
diri/membangun diri
sendiri
3.5 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan,
memeriksa, menyelidiki suatu masalah atau mengumpulkan, mengelolah, menganalisis
serta menyajikan data secara sistematis dan objektif dengan tujuan untuk menguji hipotesis
(Pamungkas & Usman, 2017).
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
dan observasi

a. Kuesioner

Metode pengumpulan data dengan kuesioner merupakan teknik


pengumpulan yang terbentuk sebagai kumpulan pernyataan – pernyataan tertulis
yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden (Pamungkas &
Usman, 2017). Kuesioner dalam penelitian ini disusun oleh peneliti sendiri dan
terdiri dari 2 bagian yaitu :

1. Bagian pertama (Kuesioner A) terkait dengan karakteristik responden


yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerja dan pernah mengalami
faktor resiliensi.

2. Bagian kedua (Kuesioner B) terkait faktor yang mempengaruhi resiliensi


lansia. Dimana pengukurannya menggunakan skala likert dan terdiri dari
10 butir pernyataan. Dan dikarenakan kuesioner dibuat sendiri oleh
peneliti, maka perlu dilakukannya uji coba terlebih dahulu untuk
menentukan validitas dan realibitas instrumen. Dimana uji coba
instrumen penelitian akan dilakukan pada 50 responden.

b. Uji validitas

Uji validitas merupakan salah satu alat uji untuk mengukur sah atau valid
tidaknya pengukuran yang dilakukan oleh peneliti, dimana uji validitas berguna
untuk mencegah adanya variabel perancu yang dapat menyebabkan terjadinya
bias dalam penelitian (Pamungkas & Usman, 2017). Pengujian validitas tiap
butir kuisioner pada program SPSS dengan menggunakan teknik korelasi
product moment antara skor tiap butir kuisioner dengan skor total (jumlah tiap
skor kuisioner). Instrumen dikatakan valid apabila nilai korelasi (pearson
correlation) adalah positif, dan nilai probabilitas korelasi [sig. (2-tailed)] < taraf
signifikan (α) 0,05. Untuk uji validitas dapat dilakukan dengan rumus sebagai
berikut :

rxy =

Keterangan :

Rxy : koefisien korelasi Y : skor total

X : skor item N : subyek

Uji validitas kuesioner penelitian telah dilakukan pengujian pada 50


responden. Berdasarkan hasil uji validitas kuesioner menunjukkan bahwa dari 10
butir pernyataan hasil nilai r hitung lebih besar dari r tabel, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat butir pernyataan yang gugur, maka 10 butir
pernyataan tersebut digunakan untuk penelitian. Hasil uji validitas kuesioner
selengkapnya terdapat pada lampiran

c. Uji reliabilitas

Uji reliabilitas merupakan hasil pengukuran yang konsisten pada waktu


dengan hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama namun
hasilnya tetap sama atau tidak berubah (Pamungkas & Usman, 2017). Metode
yang digunakan untuk mengukur reliabilitas kuisioner dengan menggunakan
pendekatan pengukuran reliabilitas konsistensi internal guna menghitung
koefisiensi alpha. Kisaran koefisiensi alpha antara 0-1. Sehingga suatu variabel
dikatakan relaibel jika nilai Cronbach’s Alpha > 0,6. Uji reabilitas dilakukan
pada kuesioner faktor resiliensi yang di alami lansia.
d. Observasi

Metode pengumpulan data dengan observasi merupakan teknik pengumpulan


data secara langsung dalam melakukan penyelidikan terhadap fenomena yang
terjadi (Pamungkas & Usman, 2017).

Lembar observasi pada penelitian ini berupa pilihan (chek list) yang tertuang
dalam point pernyataan untuk mengetahui faktor risiliensi pada lansia yang ada
di panti wrdha dan bagaimana perawat mengetahui aktivitas lansia. Dan untuk
perawat pengetahuan lansia dan aktivitas lasia ketika ditempat itu rasa nyaman
atau tidak merasakan nama. (1) dan jawaban tidak diberi skor nol (0). Peneliti
dalam mengumpulkan data mengatakan secara terus terang kepada responden
bahwa sedang melakukan penelitian dengan memberikan inform-consent pada
sampel yang akan diteliti dan observasi.

3.5. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Prosedur administrasi

1. Peneliti melakukan pengajuan permohonan kepada kepala Program Studi


keperawatan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul untuk
pembuatan surat izin melakukan penelitian studi pendahuluan yang
ditujukan kepada kepala pengurus panti werdha wisma sahabat baru, Jl.
Sahabat baru No. 39, RT.4/RW.1,Duri kepa, kec. Kebun. Jeruk, Kota
Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11510.

2. Setelah mendapatkan surat izin penelitian pendahuluan, peneliti


memberikan surat tersebut dan proposal studi pendahuluan penelitian pada
bagian kepala pengurus pantai werdha wisma sahabat baru, Jl. Sahabat baru
No. 39, RT.4/RW.1,Duri kepa, kec. Kebun. Jeruk, Kota Jakarta Barat,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11510.

3. Peneliti kemudian mendapat panggilan untuk menjelaskan maksud dan


tujuan penelitian yang akan dilakukan, serta melakukan studi pendahuluan
berupa pengumpulan data mengenai jumlah lansia yang ada di panti werdha
dari bulan agustus 2022

b. Prosedur teknis

1. Peneliti melakukan pemilihan responden, kemudian peneliti akan


memperkenalkan diri dan memberikan penjelasan mengenai maksud, tujuan
prosedur dan waktu yang akan dilaksanakan.

2. Setelah memperkenalkan dan memberikan penjelasan, peneliti selanjutnya


meminta persetujuan responden untuk menandatangani surat persetujuan
untuk bersedia menjadi responden dan bersedia ikut berpartisipasi dalam
penelitian.

3. Peneliti meminta tolong responden untuk mengisi kuesioner terkait faktor-


faktor yang mempengaruhi resiliensi lansia yang ada di panti werdha . jl.
sahabat baru no . 39, rt.4 / rw.1, duri kepa, kec. kebun. jeruk, kota jakarta
barat

4. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada responden atas partisipasinya


dalam penelitian.

5. Setelah peneliti mendapatkan data terkait faktor yang mempengaruhi


resiliensi lansia , peneliti akan melakukan pengolahan data menggunakan
SPSS (Statistical Product and Service Solutions).

6. Kemudian peneliti melakukan analisa data dengan menggunakan analisa


univariat dan bivariat dengan uji chi-square test

7. Setelah peneliti menganalisa data, selanjutnya peneliti menarik kesimpulan


dan penyajian hasil penelitian.

3.6 Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan sebuah proses secara sistematis yang dilakukan


dengan tujuan untuk memperoleh informasi data yang diinginkan dengan menggunakan
rumus tertentu. Dan terdapat beberapa tahap dalam pengolahan data, yaitu :
a. Pemeriksaan data (Editing)

Pada tahap pertama peneliti melakukan pemeriksaan data pada data yang
telah diperoleh dengan cara memeriksa dan mengecek kembali lembar observasi
karakteristik responden. Pengecekan satu per satu lembar observasi dilakukan
dengan tujuan agar mengetahui kelengkapan dan kebenaran data. Dimana jika
terdapat lembar observasi karakteristik responden yang kurang lengkap maka akan
lembar tersebut akan dikecualikan

b. Pemberian kode (Coding)

Peneliti melakukan pemberian kode pada data yang didapatkan setelah semua
data diedit atau disunting. Kemudian peneliti mengklasifikasikan kedalam
kategori yang telah ditentukan dengan cara memberi tanda atau kode berbentuk
angka pada masing-masing jawaban.

c. Skoring

Skoring merupakan pemberian nama pada masing-masing jawaban yang


dipilih responden sesuai kriteria instrumen yang ditentukan. Pada tahap ini
peneliti memasukkan data dalam bentuk tabel sesuai dengan kategori masing-
masing

d. Pengolahan data (Processing)

Peneliti melakukan processing data agar data dapat dianalisa. Dimana pada
tahap ini jawaban- jawaban responden yang telah diberikan kode berupa angka
dimasukkan kedalam software komputer berupa program statistik pengolah data
yaitu SPSS (Statistical Product and Service Solutions)

e. Pembersihan data (Cleaning)

Cleaning adalah salah satu teknik pembersihan data dengan berdasarkan pada
variabel apakah data yang masuk telah benar atau belum. Data yang telah
dimasukkan diperiksa kembali dari kemungkinan data yang belum entry.
3.7 Teknik Analisis Data

Analisa data dalam suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui makna yang
terdapat pada hasil olahan data. Dimana setelah dilakukan analisa, akan dilakukannya
interpretasi data untuk mencari makna dari hasil penelitian dengan cara menjelaskan
hasil penelitian dan melakukan generalisasi dari data penelitian yang diperoleh. Dan
teknik analisa data terbagi menjadi 2 metode yaitu :

a. Analisa univariat

Analisa univariat digunakan untuk menganalisis dan mendeskripsikan


karakteristik setiap variabel dari hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk
tabel distribusi, frekuensi, dan persentase (Pamungkas & Usman,2017).
Tujuan dilakukannya analisa adalah untuk mengetahui distribusi, frekuensi,
dan presentase dari masing – masing variabel penelitian. Adapun rumus yang
digunakan yaitu :

P= x 100 %

Keterangan :

P : Presentase

X : Jumlah kejadian pada responden

N : jumlah keseluruhan responden

b. Analisa bivariat

Analisa bivariat merupakan metode analisa yang dilakukan terhadap dua


variabel yang diduga berhubungan atau korelasi (Notoatmodjo, 2010 dikutip
Syamsulastri, 2017). Analisis bivariat dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kepatuhan perawat dalam menerapkan 5 momen
mencuci tangan terhadap kejadian infeksi nosokomial. Jenis data pada
variabel analisis bivariat diperoleh dari variabel dependen dan independen
dalam jenis kategorik sehingga dilakukan analisis data menggunakan uji chi-
square. Proses pengujian menggunakan chi-square yaitu membandingkan
frekuensi yang terjadi ataupun observasi dengan nilai frekuensi harapan atau
ekspektasi (Hastono,2007).

Interpretasi hasil uji chi-square dengan membandingkan nilai p-value


(observasi) dengan nilai α (ekspektasi) yang berada pada tingkat kepercayaan
CI (confidence interval) 95% atau taraf signifikansi α = 0,05. Keputusan uji
statistik ditetapkan setelah membandingkan nilai p-value dengan nilai alpha,
dimana bila p ≤ α (0,05) berarti Ho ditolak/ Ha diterima, dan bila p > α (0,05)
berarti Ho diterima/Ha ditolak. Perbandingan tersebut diinterpretasikan
menjadi :

a. Jika nilai p-value ≤ α, maka dikatakan Ha diterima. Penarikan


kesimpulan yaitu terdapat faktor yang mempengaruhi resiliensi
lansia yang ada di panti werdha.

b. Jika nilai p-value > α, maka dikatakan Ha ditolak. Penarikan


kesimpulan yaitu tidak terdapat pengaruh faktor yang mempengaruhi
lansia yang ada di pantai werdha.

Adapun rumus Chi-square adalah : X ² =

Keterangan :

X² : nilai Chi-square

O : frekuensi observasi, yaitu frekuensi yang diperoleh berdasarkan


hasil observasi/pengamatan

E : frekuensi harapan, yaitu frekuensi yang diperoleh berdasarkan


perhitungan frekuensi luas tiap bidang dikalikan (jumlah sampel)

3.8 Etika Penelitian

Etika penelitian atau ethical clearance secara umum dikenal sebagai ijin etika dalam
penelitian. Kemudian didefinisikan sebagai suatu pernyataan bahwa rencana kegiatan
penelitian yang tergambar dalam protokol atau panduan tersebut telah dilakukannya
kajian dan telaah sehingga telah memenuhi kaidah etik dan tidak membahayakan sampel
dan layak dilaksanakan (Pamungkas, 2018). Etika penelitian terdapat 7 prinsip yaitu
Tidak membahayakan atau mengganggu kenyamanan (the right to freedom from harm
and discomfort), Berbuat baik dan tidak merugikan (Beneficence and non-maleficence),
Keadilan (justice), Hak perlindungan dari eksploitasi, Menghormati harkat dan martabat
manusia (respect of human dignity), Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek
penelitian (reconnect for privacy and confidentiality) dan Keadilan dan inklusivitas
(respect for justice and inclusiveness).

Berikut adalah beberapa etika yang harus diperhatikan selama penelitian yaitu :

a. Informed Consent

Lembar persetujuan diedarkan sebelum penelitian dilakukan agar responden


mengetahui maksut dan tujuan penelitian. Jika responden bersedia diteliti,
responden harus menandatangani lembar persetujuan yang sudah disediakan.
Jika responden tidak berkenan maka peneliti harus menghargai keputusan atau
hak-hak responden dan tidak mengikut sertakan responden dengan cara
memaksa.

b. Confidentiallity

Peneliti menjamin kerahasiaan hasil penelitian dengan hanya menyajikan


kelompok - kelompok data tertentu pada hasil penelitian. Selain itu, peneliti juga
menggunakan inisial nama untuk yang menjaga kerahasiaan data responden

c. Respect for justice an inclusiveness

Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan


mengkondisikan tempat pengambilan data. Tujuannya adalah untuk mendukung
kenyamanan dan privasi responden selama mengisi kuesioner. Semua subjek
penelitian mendapatkan perlakuan yang sama tanpa membedakan gender, agama,
suku dan sebagainya.

d. Nonmaleficence

Penelitian yang baik adalah penelitian yang tidak mengandung unsur bahaya
atau merugikan sampel yang menjadi responden. Perlunya melakukan bina
hubungan saling percaya dengan komunikasi terapeutik yang baik antara peneliti
dengan sampel yang menjadi responden sehingga dalam proses penelitian
responden merasa aman dan nyaman.
Daftar Pustaka

Asfira. (2020). Resiliensi Lansia Laki-laki yang Ditinggal Mati atau Cerai Oleh Pasangan
dalam Menjalankan Kehidupannya Studi Kasus di Desa Sumberanget Kecamatan
Ledokombo Kabupaten Jember.

Amri, Y., Rijanta, R., & Listyaningsih, U. (2022). Faktor Sosial Dan Demografi Yang
Berhubungan Dengan Pekerja Lansia Di Indonesia. Jurnal Litbang Sukowati : Media
Penelitian dan Pengembangan, 5(2), 1–11. https://doi.org/10.32630/sukowati.v5i2.188

Desa, D. I., Rt, P., & Kecamatan, R. W. (2021). YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUP
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial ( S . Sos ) Oleh : GISKA ARIFA
HANANTI.

Indrayani, & Ronoatmojo, S. (2018). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup
lansia di Desa Cipasung Kabupaten Kuningan Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Reproduksi,
9(1), 69–78. https://doi.org/10.22435/kespro.v9i1.892.69-78

Sangadah, K., & Kartawidjaja, J. (2020). No


主観的健康感を中心とした在宅高齢者における
健康関連指標に関する共分散構造分析Title. Orphanet Journal of Rare Diseases, 21(1),
1–9.

World Health Organization. (2022). Pertanyaan jawaban terkait COVID-19 untuk publik. World
Health Organization.

Yolanda, Y., & Widianti, E. (2020). Faktor –Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Salah
Perlakuan terhadap Lansia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(1), 103.
https://doi.org/10.26714/jkj.8.1.2020.103-108

Pamungkas; Usmam. (2017). Metologi riset keperawatan universitas esa unggul. riset
keperawatan.

Missasi, V., & Izzati, I. D. C. (2019). Review of research on educational resilience. Prosiding
Seminar Nasional Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2009, 433–441.

Onainor, E. R. (2019). Hubungan Internalized Stigma Dan Resiliensi Dengan Kekambuhan Pada
Pasien Skizofrenia Di Wilayah Kerja Puskesmas Gamping 2 Sleman. 1, 105–112.

Mulyati, R. S. W. R. (2014). Hubungan Antara Resiliensi Dengan Stres Pada Lansia Yang
Berada Di Panti Wreda. Program Studi Psikologi, 1–24.

Rizaldi, A. A., & Rahmasari, D. (2021). Resiliensi pada lansia penyintas covid-19 dengan
penyakit bawaan. Jurnal Penelitian Psikologi, 8(5), 1–15

Wardani, R. S. (2014). Hubungan Antara Resiliensi Dengan Stres Pada Lansia Yang Berada di
Panti Wreda.

Pamungkas, A,R., & Usman, M, A. (2017). Metodelogi Riset Keperawatan. Book 1. Trans Info
Media. Jakarta Timur

Ziobrowski, Hannah N., Sonneville, Kendrin R. Eddy, Kamryn T., Crosby, Ross D., Micali,
Nadia, Horton, Nicholas J., Field, A. E. (2019). 乳鼠心肌提取 HHS Public Access. Journal
of Adolescent Health, 65(4), 139–148.
https://doi.org/10.1097/AJP.0000000000000642.Optimism

Retnowati, Sofia., Widhiarso, Wahyu dan Rohmani, Kumala.W. (2003) peran Keberfungsian
Keluarga Pada Pemahaman Dan Pengungkapan Emosi. Jurnal Psikologi. 2(1):91-104.

Magdalena, M. (2021). Keterampilan Perawat Dalam Pemasangan Infus Dengan Kejadian


Plebitis Di Ruang Rawat Inap RSRT Jakarta. Skripsi. Prodi Keperawatan. Universitas
Esa Unggul. Jakarta

Widayat. (2010). Penentu Perilaku Berinvestasi. Ekonomika – Bisnis Vol. 01 No. 02 Hal. 111 –
128.

Anda mungkin juga menyukai