Anda di halaman 1dari 5

DETEKSI KELELAHAN MENGGUNAKAN DATA HEART RATE VARIABILITY

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization) indonesia berada di posisi ketiga tertinggi jumlah korban jiwa
akibat kecelakaan lalu lintas. Bahkan jika dihitung prosentase antara jumlah kecelakaan berbanding
populasi, Indonesia menempati peringkat pertama. Peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas di
Indonesia juga cukup tinggi mencapai 80 persen dengan korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas
mencapai 120 jiwa / hari, menurut laporan Global Status Report on Road Safety yang dikeluarkan
oleh WHO. Sementara Berdasarkan data dari National Highway Traffic Safety Administration
(NHTSA), ada 6 penyebab utama kecelakaan lalu lintas, yaitu kurang konsentrasi, kelelahan dan
mengantuk, pengaruh alkohol dan obat-obatan, melebihi batas kecepatan, cuaca, kesiapan
kendaraan. Kelelahan dan mengantuk menjadi penyebab tertinggi kedua dari kecelakaan atau
dengan kata lain 45 persen kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh kelelahan dan mengantuk.

Kelelahan dan mengantuk sebagai penyebab kecelakaan, sebenarnya dapat dihindari dengan waktu
istirahat yang tepat dan cukup. Dengan waktu istirahat yang tepat dan cukup, pengendara
kendaraan bermotor akan mengemudi dengan kondisi tubuh yang bugar. Terdapat beberapa
standar yang saat ini digunakan untuk mengukur tingkat kebugaran, salah satunya dengan
melakukan tes menggunakan treadmill. Dengan menggunakan treadmill subjek yang akan di periksa
diminta melakukan beberapa aktifitas, mulai dari berjalan lambat, berjalan cepat, berlari lambat, dan
berlari cepat hingga tercapai tingkat denyut nadi tertentu. Selama aktifitas denyut jantung dan
tekanan darah dari objek dimonitor untuk mengetahui tingkat kelelahannya.

1.2 Rumusan Masalah


Kelelahan dan mengantuk yang dapat berakibat Kecelakaan lalu lintas dapat dihindari apabila tingkat
kelelahan atau kebugaran dari pengemudi dapat diketahui baik sebelum atau selama pengemudi
melakukan aktifitasnya. Dengan menggunaan treadmill memang dapat mengukur tingkat kebugaran
atau kelelahan yang akurat, namun cara ini tidak praktis karena penggunaan treadmill tidak mungkin
diterapkan selama pengemudi melaksanakan aktifitas pekerjaannya. Jika pengemudi harus
melakukan pemeriksaan menggunakan treadmill setiap akan mulai mengendarai kendaraan tentu
hal tersebut sangat tidah praktis dan justru dapat menyebabkan kelelahan. Diperlukan sebuah
teknologi yang dapat mendeteksi kelelahan secara lebih praktis dan real-time serta memberikan
feedback kepada objek atau pihak terkait secara langsung agar dapat mencegah kecelakaan lalu
lintas.

1.3 Tujuan dan Manfaat


Penelitian ini bertujuan untuk merancang sebuah sistem pendeteksi kelelahan berdasarkan sinyal
ritme jantung atau HRV (heart rate variability) dengan menerapkan teknologi wearable sensor dan
Internet of Thing agar dapat melakukan pemantauan jarak jauh. Hasil pemantauan akan dianalisa
oleh modul proses apabila perlu dilakukan tindakan tertentu kepada pengguna yang terdeteksi
kelelahan, misalnya mengirimkan peringatan kepada pengemudi yang mengantuk atau peringatan
ke pihak lain yang terkait. Diharapkan implementasi sistem yang diusulkan pada bidang transportasi
sebagai sistem deteksi dini akan menurunkan tingkat kematian akibat kecelakaan lalu-lintas di
Indonesia.
1.4 Ruang Lingkup
Batasan masalah dari penelitian ini adalah pengembangan model klasifikasi, implementasi model
klasifikasi pada perangkat keras, pengembangan prototipe deteksi kelelahan secara keseluruhan
yang terdiri dari modul sensor, modul agregator data, modul pemrosesan utama, dan modul
monitoring.

2. LANDASAN TEORI

2.1 Heart Rate Variability


Heart rate variability (HRV) merupakan variasi dari detak jantung yang berurutan dalam satuan
waktu tertentu. Gambar 2 memperlihatkan grafik dari sinyal elektrokardiogram dan sinyal HRV,
dimana RR menyatakan periode dari setiap denyut jantung. HRV merefleksikan kemampuan jantung
untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi dengan cara mendeteksi dan memberikan respon
cepat terhadap stimulus yang tidak terduga. Analisis terhadap HRV dilakukan untuk mengetahui
kondisi jantung secara umum dan status dari sistem saraf autonom (autonomic nervous system –
ANS) yang bertanggung jawab mengatur denyut jantung. HRV sangat erat kaitannya dengan sistem
saraf simpatetik (symphatetic nervous system – SNS) dan sistem saraf parasimpatetik
(parasymphatetic nervous system – PNS). HRV normal dicapai berkat adanya keseimbangan antara
aktifitas SNS dan PNS. Peningkatan aktifitas SNS atau pengurangan aktifitas PNS akan mengakibatkan
peningkatan denyut jantung, sebaliknya penurunan aktifitas SNS atau peningkatan aktifitas PNS akan
mengakibatkan penurunan detak jantung. Tingkat variasi dari detak jantung merefleksikan fungsi
dari sistem saraf autonom mengontrol detak jantung dan kemampuan jantung untuk merespon.

Gambar 2. Ilustrasi RR dan HRV

Variabilitas denyut jantung (HRV), yang merupakan fluktuasi interval RR (RRI) dari elektrokardiogram
(EKG), adalah fenomena terkenal yang mencerminkan fungsi saraf otonom; dengan demikian, rasa
kantuk pengemudi dapat dideteksi melalui analisis HRV [1]. Dalam beberapa tahun belakangan,
beberapa penelitian berhasil menemukan korelasi antara HRV dengan permasalahan jantung, juga
hubungannya dengan kematian yang diakibatkan oleh gagal jantung [2]. Peneliti lainnya meneliti
perubahan variasi spektrogram dari denyut jantung sesuai dengan posisi tubuh, apakah sedang
duduk atau berdiri [3]. HRV juga dapat dimanfaatkan untuk monitoring pasien post-infarction dan
diabetes, dimana HRV dapat menunjukkan keseimbangan saraf autonom simpatetik-parasimpatetik
dan resiko kematian mendadak karena kegagalan jantung (sudden cardiac death) pada pasien
tersebut [4]. Pengukuran HRV mudah dilakukan karena bersifat non-invasive serta mengasilkan
pengukuran yang dapat diandalkan jika dilakukan pada kondisi yang sesuai standar. Verlinde et al.
Membandingkan HRV dari atlit aerobik dengan kontrol dan menunjukkan bahwa HRV dari atlit
aerobik memperlihatkan peningkatan power pada semua band frekuensi [5]. Parameter time-
frequency yang dihitung berdasarkan transformasi wavelet dari HRV dapat digunakan untuk
mendeteksi kejadian obstructive sleep apnea pada pasien yang memiliki kelainan tidur [6]. Oliver et
al. Pada tahun 2017 mengusulkan penggunaan dekomposisi wavelet dengan memanfaatkan basis
Morlet untuk mendeteksi beberapa jenis kelainan irama jantung (arrhythmia) [7].

Terdapat tiga pendekatan utama untuk menganalisis HRV, yakni analisis pada domain waktu (linier
dan non-linier), analisis pada domain frekuensi, dan analisis geometrik. Metode analisis pada domain
waktu merupakan pendekatan yang paling sederhana. Berikut beberapa fitur yang dapat diekstrak
dari sinyal denyut jantung dalam durasi tertentu (biasanya 30 atau 60 menit):
• SDNN: standar deviasi dari interval NN (interval antara QRS complex yang terletak
bersebelahan).
• Mean dari interval NN.
• Selisih antara interval NN terbesar dengan interval NN terkecil.
• Perbedaan antara heart rate di siang hari dan malam hari.
• RMSSD: akar kuadrat dari selisih interval NN yang terletak bersebelahan.
• NN50: jumlah pasangan interval NN yang memiliki selisih lebih dari 50 ms.
• PNN50: proporsi dari NN50 terhadap seluruh jumlah NN.
• SD1, SD2: aksis mayor dan minor dari elips yang sesuai (fit) dengan Poincarè plot.

Analisis pada domain frekuensi dilakukan dengan mentransformasikan sinyal NN dalam durasi
tertentu (biasanya 30 atau 60 detik) ke domain frekuensi kemudian melakukan ektraksi fitur yang
merepresentasikan besarnya energi pada band frekuensi tertentu, yaitu:
• Total power: total energi pada frekuensi band hingga 0.4 Hz
• ULF (ultra low frequency): energi pada band frekuensi hingga 0.003 Hz.
• VLF (very low frequency): energi pada band frekuensi 0.003 – 0.04 Hz.
• LF (low frequency): energi pada band frekuensi 0.04 – 0.15 Hz.
• HF (high frequency): energi pada band frekuensi 0.15 – 0.4 Hz.
• LF/HF: rasio antara LF dan HF

2.2 Deteksi Kelelahan Berdasarkan HRV


Saat ini terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kelelahan atau
kantuk berdasarkan pengukuran terhadap parameter fisiologis seperti electroencephalography (EEG)
yang bekerja berdasarkan pengukuran aktifitas listrik pada otak [8], electroocullogram (EOG) yang
mendeteksi potensial dari retina mata [9], atau video monitoring untuk memantau aktifitas mata
[10]. Borghini et al. menunjukkan bahwa HRV dapat digunakan untuk mengukur tingkat kantuk
secara fisiologis [11]. Peneliti lain berhasil memanfaatkan HRV untuk mengukur beban mental [12],
stress [13], dan kelelahan pengemudi kendaraan bermotor [14]. Peningkatan HRV mengindikasikan
penurunan dalam beban mental yang dapat muncul pada saat pengemudi yang mengalami kantuk
karena kondisi jalan yang monoton. Pembagian band frekuensi HRV menjadi empat, yakni ULF, VLF,
LF, dan HF seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya, sangat erat kaitannya dengan
aktifitas saraf autonom simpatetik dan parasimpatetik. Komponen LF dari spektrum HRV dipengaruhi
oleh aktifitas saraf simpatetik dan parasimpatetik, sedangkan komponen HF dipengaruhi oleh
aktifitas saraf parasimpatetik [15]. Korelasi antara komponen ULF dan VHF dengan kondisi psikologis
masih belum diketahui dan perlu diteliti lebih lanjut [16]. Beberapa penelitian terkini mencoba
menginvestigasi hubungan antara komponen LF dan HF dari HRV dengan faktor kelelahan. American
College of Cardiology/American Heart Association menemukan bahwa rasio LF/HF dapat digunakan
untuk mengukur keseimbangan sympathovagal atau keseimbangan antara aktifitas saraf simpatetik
dengan saraf parasimpatetik [17]. Analisis komponen LF, HF dan rasio HF/HF dapat digunakan untuk
mengetahui kelelahan pengemudi.

2.3 Sistem Monitoring Jarak Jauh Untuk Aplikasi Kesehatan


Sistem monitoring kesehatan jarak jauh telah dikembangkan dari periode tahun 90-an. Stephen J.
Brown membangun multi-user remote health monitoring system [18]. Dalam proposalnya, proses
akuisi data dilakukan secara manual oleh dokter atau perawat di rumah sakit. Pada sistem ini, proses
akuisisi dan input data sangat memakan waktu dan rentan terhadap kesalahan. Oleh karena itu, Lee.
Y.D. mengajukan sistem pemantauan kesehatan yang wearable berbasis wireless sensor network
[19]. Pada sistem ini, proses akuisisi data bisa dilakukan secara otomatis dan real-time berkat
teknologi sensor nirkabel. Pada tahun 2013, teknologi Internet of Things pertama kalinya diinisiasi
dan didefinisikan oleh Global Standard Initiative on Internet of Things [20]. Solusi baru menggunakan
SoC fleksibel yang menggabungkan perolehan beberapa sinyal fisiologis, seperti ECG,
electroencephalography (EEG), dan sinyal respirasi, dengan pemrosesan sinyal digital on-chip.
Sedangkan solusi genggam hanya membaca dan mengirimkan data. Solusi baru ini menggunakan
sistem pengukuran dan pemantauan EKG portabel berbasis Linux yang mendukung akuisisi data EKG
12-lead dan diagnosis jarak jauh melalui Internet [21]. Xiaoling Wang, dkk., membangun sistem
monitoring berbasis cloud [22]. Teknologi cloud dan IoT merupakan kemajuan besar dalam sistem
pemantauan kesehatan jarak jauh karena proses akuisisi data, analisa data, dan monitoring dapat
dilakukan secara real-time dan berkelanjutan. Oleh karena itu, ke depannya sistem pemantauan
kesehatan berbasis Internet of Things akan terus dikembangkan secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Abe Erika,Fujiwara Koichi,Hiraoka Toshihiro,Yamakawa Toshitaka, and KanoManabu. 2016. SICE
“Development of Drowsiness Detection Method by Integrating Heart Rate Variability Analysis and
Multivariate Statistical Process Control”. Journal of Control, Measurement, and System
Integration, Vol. 9, No. 1, pp. 010–017
[2] P. M. Lehrer and R. Gevirtz. 2014. “Heart rate variability biofeedback: how and why does it
work?”. Front. Psychol. vol. 5, p. 756.
[3] L. Frondelius, K. Järvenranta, T. Koponen, and J. Mononen. 2015. “The effects of body posture
and temperament on heart rate variability in dairy cows”. Physiol. Behav. vol. 139, pp. 437–441.
[4] L. Wu, Z. Jiang, C. Li, and M. Shu. 2014. “Prediction of heart rate variability on cardiac sudden
death in heart failure patients: a systematic review,” Int. J. Cardiol., vol. 174, no. 3, p. 857.
[5] V. Vesterinen, K. Häkkinen, E. Hynynen, J. Mikkola, L. Hokka, and A. Nummela. 2013. “Heart rate
variability in prediction of individual adaptation to endurance training in recreational endurance
runners,” Scand. J. Med. Sci. Sports, vol. 23, no. 2, pp. 171–180.
[6] C. A. Garcia, A. Otero, X. Vila, and D. G. Márquez. 2013. “A new algorithm for wavelet-based
heart rate variability analysis,” Biomed. Signal Process. Control, vol. 8, no. 6, pp. 542– 550.
[7] R. S. Singh, B. S. Saini, and R. K. Sunkaria. 2017. “Power Spectral Analysis of Short-Term Heart
Rate Variability in Healthy and Arrhythmia Subjects by the Adaptive Continuous Morlet Wavelet
Transform,” Appl. Med. Informatics, vol. 39, no. 3–4, pp. 49–66.
[8] A. G. Correa, L. Orosco, and E. Laciar. 2014. “Automatic detection of drowsiness in EEG records
based on multimodal analysis,” Med. Eng. Phys., vol. 36, no. 2, pp. 244–249.
[9] V. Saini and R. Saini. 2014. “Driver drowsiness detection system and techniques: a review,” Int. J.
Comput. Sci. Inf. Technol., vol. 5, no. 3, pp. 4245–4249.
[10] R. O. Mbouna, S. G. Kong, and M.-G. Chun. 2013. “Visual analysis of eye state and head pose for
driver alertness monitoring,” IEEE Trans. Intell. Transp. Syst., vol. 14, no. 3, pp. 1462–1469.
[11] G. Borghini, L. Astolfi, G. Vecchiato, D. Mattia, and F. Babiloni. 2014. “Measuring
neurophysiological signals in aircraft pilots and car drivers for the assessment of mental
workload, fatigue and drowsiness,” Neurosci. Biobehav. Rev., vol. 44, pp. 58–75.
[12] B. Cinaz, B. Arnrich, R. La Marca, and G. Tröster. 2013. “Monitoring of mental workload levels
during an everyday life office-work scenario,” Pers. ubiquitous Comput., vol. 17, no. 2, pp. 229–
239.
[13] T. Teisala et al.. 2014. “Associations of physical activity, fitness, and body composition with
heart rate variability--based indicators of stress and recovery on workdays: a crosssectional
study,” J. Occup. Med. Toxicol., vol. 9, no. 1, p. 16.
[14] G. Li and W.-Y. Chung. 2013. “Detection of driver drowsiness using wavelet analysis of heart rate
variability and a support vector machine classifier.,” Sensors (Basel)., vol. 13, no. 12, pp. 16494–
511.
[15] C. Chang, C. D. Metzger, G. H. Glover, J. H. Duyn, H.-J. Heinze, and M. Walter. 2013.
“Association between heart rate variability and fluctuations in resting-state functional
connectivity,” Neuroimage, vol. 68, pp. 93–104.
[16] F. Shaffer and J. Venner. 2013. “Heart rate variability anatomy and physiology,” Biofeedback,
vol. 41, no. 1, pp. 13–25.
[17] G. A. del Paso, W. Langewitz, L. J. M. Mulder, A. Roon, and S. Duschek. 2013. “The utility of low
frequency heart rate variability as an index of sympathetic cardiac tone: a review with emphasis
on a reanalysis of previous studies,” Psychophysiology, vol. 50, no. 5, pp. 477–487.
[18] S. J. Brown. 2000. “Multi-user remote health monitoring system,” US6101478A.
[19] Y.-D. Lee and W.-Y. Chung. 2009. “Wireless sensor network based wearable smart shirt
forubiquitous health and activity monitoring,” Sensors Actuators B Chem., vol. 140, no. 2, pp.
390–395.
[20] G. M. Lee, N. Crespi, J. K. Choi, and M. Boussard. 2013. “Internet of things,” in Evolution of
Telecommunication Services, Springer, pp. 257–282.
[21] Rismana Nur Sabrina , Yasin Siti Norhayati MD , Nayana Nazrul Anuar , and Weic Sia Chen.
2016.”Implementation of Heart Rate Variability Analysis Algorithm on FPGA Platform”.
International Journal of Applied Engineering Research ISSN 0973-4562 Volume 11, Number 12. pp
7809-7814. Research India Publications. http://www.ripublication.com
[22] X. Wang, Q. Gui, B. Liu, Z. Jin, and Y. Chen.2014 “Enabling smart personalized healthcare: a
hybrid mobile-cloud approach for ECG telemonitoring,” IEEE J. Biomed. Heal. informatics, vol. 18,
no. 3, pp. 739–745.

Anda mungkin juga menyukai