Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bekerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu
bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan hal itu tidak disadari oleh
pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang ingin dicapai dan orang
berharap aktivitas kerja yang dilakukannya akan merubah suatu keadaan yang
lebih memuaskan dari sebelumnya (Anoraga dalam Susetyo, 2012).
Kesehatan kerja mutlak harus dilaksanakan di dunia kerja dan di dunia
usaha, oleh semua orang yang berada di tempat kerja baik pekerja maupun
pemberi kerja, jajaran pelaksana, penyelia (supervisor) maupun manajemen, serta
pekerja yang bekerja untuk diri sendiri (self employed). Potensi bahaya dan risiko
di tempat kerja antara lain akibat sistem kerja atau proses kerja, penggunaan
mesin, alat dan bahan, yang bersumber dari keterbatasan pekerjanya sendiri,
perilaku hidup yang tidak sehat dan perilaku kerja yang tidak selamat/aman,
buruknya lingkungan kerja, kondisi pekerjaan yang tidak ergonomik,
pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja yang tidak kondusif bagi
keselamatan dan kesehatan kerja (Kurniawidjaja, 2011).
Salah satu hambatan yang berhubungan dengan produktivitas karyawan di
suatu perusahaan atau organisasi adalah kelelahan. Kelelahan kerja dapat
menimbulkan beberapa keadaan yaitu prestasi kerja yang menurun, fungsi
fisiologis motorik dan neural yang menurun, badan terasa tidak enak di samping
semangat kerja yang menurun (Bartley dan Chute dalam Setyawati, 2010).
Perasaan kelelahan kerja cenderung meningkatkan terjadinya kecelakaan kerja,
sehingga dapat merugikan diri pekerja sendiri maupun perusahaannya karena
adanya penurunan produktivitas kerja (Gilmer dan Sumamur dalam Setyawati,
2010). Kelelahan kerja terbukti memberikan kontribusi lebih dari 50% dalam
kejadian kecelakaan di tempat kerja. Menurut Swaen et al (2003), Peran kelelahan
dalam etiologi kecelakaan kemungkinan ada dua yaitu kelelahan mungkin
menurunkan kemampuan untuk memproses informasi tentang situasi bahaya, dan
kelelahan dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk secara memadai
merespon situasi bahaya tersebut.
2

Laporan survei di negara maju menunjukkan bahwa 10-50% penduduk


mengalami kelelahan akibat kerja. Hal ini ditunjukkan dengan adanya prevalensi
kelelahan sekitar 20% pada pasien yang membutuhkan perawatan (Santoso dalam
Triyunita, 2013). Lebih dari 65% pekerja di Indonesia memiliki keluhan kelelahan
kerja saat berkunjung ke poliklinik perusahaan (Sumamur, 1996). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Soasa (2013) terhadap 50 tenaga kerja bongkar
muat di pelabuhan Manado diperoleh sebagian besar subjek (36%) memiliki
tingkat kelelahan kerja ringan dan (32%) memiliki tingkat kelelahan kerja berat
(Soasa, 2013). Kemudian hasil penelitian Fahri dan Pasha (2010) pada tenaga
kerja bagian drilling Pertamina EP Jambi diperoleh 53,3% tenaga kerja
mengalami kelelahan.
Menurut Grandjean dalam Trisnawati (2010), salah satu faktor yang dapat
berpengaruh terhadap kelelahan kerja dan menunjang produktivitas kerja adalah
faktor gizi atau nutrisi. Hal ini juga didukung oleh teori Sumamur yang
menyebutkan bahwa keadaan gizi merupakan salah satu dari lima kelompok
penyebab kelelahan kerja (Sumamur, 1989). Saat ini gizi pekerja pada umumnya
kurang mendapat perhatian, hal tersebut dapat terlihat pada pekerja kelas
menengah ke bawah yang umumnya menderita kurang gizi sedangkan pada
pekerja kelas menengah ke atas umumnya mengalami kegemukan atau obesitas.
Status gizi yang tidak baik dapat menurunkan produktivitas kerja dan beban
produksi menjadi tidak efisien (Hendrayati dkk, 2009).
Salah satu bentuk gangguan status gizi yang paling umum ditemukan adalah
anemia gizi besi. Hal ini dapat memberikan pengaruh buruk pada daya tahan
tubuh penderita, penurunan kualitas kerja dan mutu sumber daya manusia. Bagi
pekerja, anemia gizi menyebabkan lesu, cepat lelah, tenaga berkurang sehingga
produktivitas kerja menurun (Wirakusumah dalam Russeng, 2009). Hasil laporan
Azwar dalam Russeng (2009) dikatakan bahwa gangguan kesehatan dan penyakit
akibat kerja pada sektor informal antara lain kejadian anemia (7-86,8%), gizi
kurang (1,9-18,2%), gangguan muskolesketal (21-74,7%), gangguan refraksi mata
(14,9-28,6%). Hasil penelitian Rantung (2009) pada 40 karyawan laboratorium
klinik Prodia cabang Manado ditemukan bahwa sekitar 10% tenaga kerja masuk
pada gizi kurang dan sekitar 12,5% masuk pada gizi lebih. Kemudian penelitian
3

Pratiwi (2010) pada 40 tenaga kerja di pabrik gula Madukismo PT. Madubaru
diperoleh sekitar 12,5% tergolong pada status gizi kurang dan sekitar 35%
tergolong status gizi lebih. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat
tenaga kerja yang memiliki status gizi diluar batas normal dan dapat dikatakan
bahwa akan ada resiko terjadinya kelelahan pada tenaga kerja yang nantinya akan
berdampak pada produktivitas dan juga kejadian kecelakaan kerja.
Penelitian Rantung (2009) dan Pratiwi (2010) juga menganalisis hubungan
antara status gizi tenaga kerja dengan kelelahan yang dialami. Hasil menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut.
Hasil tersebut bertentangan dengan hasil penelitian Adi (2013) yang menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan gizi sebelum bekerja
dengan tingkat kelelahan pada tenaga kerja PT. X, Kabupaten Kendal. Perbedaan
hasil ini semakin menunjukkan bahwa kelelahan yang dialami oleh tenaga kerja
bukan hanya dipengaruhi oleh status gizi saja, melainkan dapat dipengaruhi oleh
faktor yang lainnya.
Menurut Gilmer;Davis;Shephard dalam Setyawati (2010), usia juga dapat
berpengaruh terhadap kekuatan fisik pekerja. Kekuatan fisik pekerja dapat
berubah, namun disisi lain kekuatan fisik disamping dipengaruhi oleh usia juga
dapat dipengaruhi oleh latihan, kematangan mental, dan pengalaman. Hal ini juga
didukung oleh hasil penelitian Setyawati bahwa usia merupakan variabel yang
berpengaruh terhadap perasaan kelelahan kerja.
Hallowell (2010) juga menyebutkan bahwa usia merupakan salah satu faktor
yang paling berpengaruh terhadap kelelahan. Individu yang berisiko adalah
individu dengan umur > 50 tahun dan < 25 tahun. Hasil penelitian Indah (2011)
diperoleh hubungan yang bermakna secara statistik antara usia dengan perasaan
kelelahan. Kemudian hasil penelitian Triyunita (2013) diperoleh dari 51 tenaga
kerja sekitar 7,9% pekerja yang berusia > 40 tahun dan semua pekerja tersebut
mengalami kelelahan kerja.
Selain usia, Hallowell (2010) menyebutkan bahwa masa kerja juga dapat
menjadi faktor penyebab kelelahan. Hasil penelitian Subur (2007) meyatakan
bahwa masa kerja memiliki hubungan yang positif dengan perasaan kelelahan,
artinya semakin tinggi masa kerja maka semakin tinggi pula perasaan kelelahan
4

kerja. Kemudian penelitian Indah (2011), diperoleh hubungan yang bermakna


secara statistik antara masa kerja tenaga kerja dengan perasaan kelelahan yang
dialami.
Fardiaz dalam Ahirawati & Astuti (2009) mengatakan bahwa rokok juga
dapat menyebabkan seseorang merasa kelelahan dan daya tahan tubuh menurun.
Hal ini disebabkan oleh kandungan gas monoksida yang dihasilkan oleh rokok
dan juga kebiasaan merokok dapat mempengaruhi kandungan COHb. Kemudian
penelitian Palmer et al dalam Mutiah (2013), menemukan hubungan yang
signifikan antara kebiasaan merokok dengan nyeri muskulosketal pada bagian
tubuh. Hal ini disebabkan karena kandungan nikotin pada rokok dapat
menyebabkan kurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu, menurut Hans dalam
Russeng (2009) merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi
saluran pernapasan dan jaringan paru-paru. Terganggunya sistem pernapasan akan
berpengaruh terhadap kemampuan paru atau kapasitas paru seseorang.
Berdasarkan beberapa faktor penyebab kelelahan kerja di atas menunjukkan
bahwa kelelahan kerja merupakan salah satu sumber masalah bagi kesehatan dan
keselamatan pekerja. Kelelahan dapat menurunkan kinerja dan menambah tingkat
kesalahan kerja yang akan berpeluang menimbulkan kecelakaan kerja. Tentu saja
hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena tenaga kerja merupakan aset
perusahaan yang dapat mempengaruhi produktivitas perusahaan. Penelitian ini
akan dilakukan di PT. Rofenty Karsa Tama yang berada di Desa Penggajawa
Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende Provinsi NTT. PT. Rofenty Karsa Tama
adalah salah satu pabrik yang bergerak di bidang pembuatan keramik lantai dari
batu laut. Dari pengambilan data awal melalui survei di lokasi PT. Rofenty Karsa
Tama diperoleh bahwa jumlah pekerja yang terdapat 42 pekerja yang bekerja
mulai pagi sampai sore hari dengan waktu istirahat sekitar 2 jam per hari. Peneliti
juga melakukan wawancara singkat kepada beberapa pekerja mengenai kelelahan
yang dialami dan diperoleh informasi bahwa mereka menyatakan mengalami
kelelahan kerja.
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik melakukan
penelitian mengenai hubungan status gizi dan masa kerja dengan perasaan
kelelahan pada tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama.
5

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan antara status gizi dengan perasaan kelelahan pada
tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama ?
2. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan perasaan kelelahan kerja
pada tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama ?
3. Apakah ada hubungan antara usia dengan perasaan kelelahan kerja pada
tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama ?
4. Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan perasaan kelelahan
kerja pada tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama ?
5. Jika dianalisis secara simultan, apakah ada hubungan antara status gizi,
masa kerja, usia, dan kebiasaan merokok dengan perasaan kelelahan kerja
pada tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan umum
Mengkaji hubungan antara status gizi, masa kerja, usia, dan kebiasaan
merokok dengan perasaan kelelahan pada tenaga kerja lapangan PT. Rofenty
Karsa Tama.
2. Tujuan khusus
a. Mengkaji hubungan antara status gizi dengan perasaan kelelahan pada
tenaga kerja PT.Rofenty Karsa Tama.
b. Mengkaji hubungan antara masa kerja dengan perasaan kelelahan
pada tenaga kerja PT. Rofenty Karsa Tama.
c. Mengkaji hubungan antara usia dengan perasaan kelelahan pada
tenaga kerja PT. Rofenty Karsa Tama.
d. Mengkaji hubungan antara kebiasaan merokok dengan perasaan
kelelahan pada tenaga kerja PT. Rofenty Karsa Tama.
e. Mengkaji hubungan antara status gizi, masa kerja, usia, dan kebiasaan
merokok yang dianalisis secara simultan dengan perasaan kelelahan
pada tenaga kerja PT. Rofenty Karsa Tama
C. .

D. MANFAAT PENELITIAN
1. PT. Rofenty Karsa Tama
6

Sebagai sumber informasi kepada pihak PT. PT. Rofenty Karsa Tama
mengenai keadaan status gizi pekerjanya dan juga perasaan kelelahan yang
dialami oleh tenaga kerja lapangan, sehingga dapat menjadi bahan diskusi
mengenai perbaikan maupun pencegahan terhadap keadaan status gizi yang
kurang baik dan perasaan kelelahan yang dialami oleh tenaga kerja di
kemudian hari.
2. Program Studi S-2 Kesehatan Kerja
Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan
kerja mengenai hubungan status gizi dan masa kerja dengan perasaan
kelelahan pada tenaga kerja PT. Rofenty Karsa Tama. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menambah referensi yang ada pada perpustakan
Universitas Gadjah Mada khususnya ilmu Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja.
3. Bagi Peneliti
Sebagai bahan agar dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
khususnya mengenai status gizi, masa kerja dan perasaan kelelahan serta
hubungan antara status gizi dan masa kerja dengan perasaan kelelahan pada
tenaga kerja. Sekaligus juga sebagai pemahaman tentang pentingnya
melaksanakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam segala kegiatan
pekerjaan yang dilakukan.

E. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian mengenai perasaan kelelahan kerja telah banyak dilakukan oleh
peneliti sebelumnya, namun sepengetahuan peneliti terdapat beberapa perbedaan
dengan penelitian sebelumnya. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang telah
dilakukan berkaitan dengan perasaan kelelahan kerja adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Russeng (2009), dengan judul status gizi dan
kelelahan kerja (kajian pada pengemudi bus malam di Sulawesi Selatan dan
Barat). Persamaan penelitian pada variabel bebas yaitu status gizi dan
variabel terikat yaitu kelelahan, kemudian jenis penelitian yaitu
observasional. Perbedaan penelitian terletak pada rancangan penelitian yaitu
Hybrid Study Design, waktu dan lokasi penelitian, teknik pengambilan
7

sampel yaitu purposive sampling, subjek penelitian, jumlah sampel dan


analisis data.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Rantung (2009), dengan judul hubungan
antara lama kerja, shift kerja, dan status gizi dengan kelelahan kerja
karyawan Laboratorium Klinik (kajian pada karyawan Laboratorium Klinik
Prodia cabang Manado). Persamaan penelitian pada variabel bebas yaitu
status gizi dan variabel terikat yaitu kelelahan kerja. Jenis penelitian yaitu
observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Perbedaan terletak
pada variabel bebas yaitu lama kerja dan shift kerja, waktu dan lokasi
penelitian, subjek penelitian, teknik pengambilan sampel yaitu sampling
kuota, jumlah sampel dan analisis data.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2010), dengan judul Kualitas
tidur, status gizi dan kelelahan kerja pada pekerja wanita Industri Tekstil
(Kajian shift kerja pada pekerja wanita status menikah di bagian tenun PT.
Kusuma Sandang Mekarjaya, Yogyakarta). Persamaan penelitian terletak
pada variabel bebas yaitu status gizi dan variabel terikat yaitu kelelahan
kerja. Jenis penelitian yang digunakan yaitu observasional analitik dengan
rancangan cross sectional, kemudian analisis data menggunakan analisis
regresi linier ganda. Perbedaan terletak pada variabel bebas yaitu kualitas
tidur, waktu dan lokasi penelitian, teknik pengambilan sampel, subjek
penelitian dan jumlah sampel.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Indah (2011), dengan judul hubungan faktor
individu dengan perasaan kelelahan kerja dan waktu reaksi pengemudi
mobil tangki di PT. X tahun 2011. Persamaan penelitian terletak pada
variabel bebas yaitu usia dan masa kerja, variabel terikat yaitu perasaan
kelelahan kerja. Jenis penelitian yaitu survey analitik dengan rancangan
cross sectional, serta analisis data yaitu analisis regresi linier ganda.
Perbedaan terletak pada variabel bebas yaitu waktu kerja dan variabel terikat
yaitu waktu reaksi. Waktu dan lokasi penelitian, subjek penelitian, jumlah
sampel, teknik pengambilan sampel yaitu simple random sampling.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Subur (2007), dengan judul hubungan antara
penggunaan alat semprot, masa kerja, dan lama kerja terhadap perasaan
8

kelelahan kerja pada petani penyemprot tanaman. Persamaan penelitian


terletak pada variabel bebas yaitu masa kerja dan variabel terikat yaitu
perasaan kelelahan kerja. Jenis penelitian yaitu observasional dengan
rancangan cross sectional dan analisis data yaitu analisis regresi. Perbedaan
terletak pada variabel bebas yaitu alat semprot dan lama kerja, waktu dan
lokasi penelitian, teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling,
subjek penelitian, dan jumlah sampel.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi
1. Definisi
Menurut Suyatno dalam Azhar (2012) Status gizi merupakan kondisi
yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi
dan jumlah yang dibutuhkan tubuh untuk berbagai fungsi biologis, seperti
pertumbuhan, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain-
lain.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
Menurut Robinson & Weighley, faktor-faktor yang mempengaruhi
status gizi, yaitu (Adriani & Wirjatmadi, 2012) :
a. Faktor langsung :
1) Asupan berbagai makanan
2) Penyakit
b. Faktor tidak langsung
1) Ekonomi keluarga, penghasilan keluarga merupakan faktor
yang mempengaruhi kedua faktor yang berperan langsung
terhadap status gizi.
9

2) Produksi pangan, peranan pertanian dianggap penting karena


kemampuannya menghasilkan produk pangan.
3) Budaya, masih ada kepercayaan untuk melarang makan-
makanan tertentu yang sebenarnya apabila dipandang dari
segi gizi sebenarnya mengandung zat gizi yang baik.
4) Kebersihan lingkungan, kebersihan lingkungan yang jelek
akan memudahkan anak menderita penyakit tertentu seperti
ISPA, infeksi saluran pencernaan.
5) Fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting untuk
menyokong status kesehatan dan gizi anak.
Menurut Barasi dalam Azhar (2012), faktor yang berperan terhadap
status gizi antara lain adalah asupan makanan, aktivitas fisik, penyedia
layanan kesehatan, sanitasi dan air bersih, pendidikan, dan juga status sosial
ekonomi.
3. Pembagian kelompok status gizi
Status gizi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (Cakrawati & Mustika, 2012):
a. Gizi baik
Asupan gizi harus seimbang dengan kebutuhan gizi seseorang yang
bersangkutan. Kebutuhan gizi ditentukan oleh : kebutuhan gizi basal,
aktivitas, keadaan fisiologis tertentu, misalnya dalam keadaan sakit.
b. Gizi kurang
Merupakan keadaan tidak sehat yang timbul karena tidak cukup
makan atau konsumsi energi dan protein kurang selama jangka waktu
tertentu.
c. Gizi lebih
Keadaan tidak sehat yang disebabkan kebanyakan makan. Kegemukan
(obesitas) merupakan tanda pertama yang dapat dilihat dari keadaan
gizi lebih. Obesitas yang berkelanjutan akan mengakibatkan berbagai
penyakit antara lain : diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, dan lain-
lain.
4. Penilaian status gizi
Status gizi masyarakat dapat diketahui melalui penilaian konsumsi
pangannya berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif. Cara lain sering
digunakan untuk mengetahui status gizi yaitu dengan cara biokimia,
antropometri ataupun secara klinis (Yuniastuti, 2008).
10

a. Cara konsumsi pangan


Penilaian konsumsi pangan merupakan cara menilai keadaan atau
status gizi masyarakat secara tidak langsung. Informasi tentang
konsumsi pangan dapat dilakukan dengan cara survei dan akan
menghasilkan data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Secara
kuantitatif akan diketahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi.
Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah metode recall
24 jam, food records, dan weighing method. Secara kualitatif akan
diketahui frekuensi makan maupun cara memperoleh pangan. Metode
pengumpulan data yang dapat digunakan adalah food frequency
questionaire dan dietary history.
b. Cara biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratories yang dapat dilakukan pada
darah, urine, tinja, hati dan otot (Russeng, 2009). Metode ini lebih
dapat menentukan kekurangan gizi yang lebih spesifik.
c. Cara antropometri
Menurut Jelliffe dalam Supariasa dkk (2012),antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai
jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar
lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Antropometri sangat
umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidak
seimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya
terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.
Ukuran status gizi untuk dewasa adalah Indeks Massa Tubuh
(IMT) yang dapat dihitung dengan rumus (Yuniastuti, 2008) :

Keterangan :
BB(kg) BB = berat badan (kg)
IMT = 2 TB = Tinggi badan (m)2
TB( m)
Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia adalah sebagai
berikut (Depkes dalam Supariasa dkk, 2012) :
Tabel 1. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
11

IMT Kategori
<17,00 Kekurangan berat badan tingkat berat (kurus)
17,0 18,5 Kekurangan berat badan tingkat ringan (kurus)
>18,5 25,0 Normal
>25,0 27,0 Kelebihan berat badan tingkat ringan (gemuk)
>27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat (gemuk)
Selain IMT, Lingkar Lengan Atas (LLA) juga dapat digunakan dalam
penentuan status gizi orang dewasa. Menurut James et al dalam Tungdim &
Kapoor (2010), Lingkar Lengan Atas (LLA) juga merupakan salah satu
pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menilai atau mengevaluasi
status gizi orang dewasa. Lingkar Lengan Atas ini diketahui sangat efektif dalam
penentuan gizi buruk pada orang dewasa di negara-negara berkembang.
Tabel 2. Lingkar Lengan Atas untuk Orang Dewasa (cm)
Umur Standar 100% 85% 80%
L P L P L P
Dewasa 29,5 28,5 25,0 24,0 23,5 23,0
Sumber : Direktorat Gizi DepKes R.I. dalam Chandra (2009)
Keterangan :
85% standar batas terendah = gizi baik
80% standar batas terendah = gizi kurang
<80% standar = gizi buruk
L = Laki-laki
P = Perempuan
d. Cara klinis
Riwayat medis dan pengujian fisik merupakan metode klinis yang
digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda (pengamatan yang dibuat
oleh dokter) dan gejala-gejala (manifestasi yang dilaporkan oleh
pasien) yang berhubungan dengan malnutrisi. Tanda-tanda ini sering
tidak spesifik dan hanya berkembang selama tahap deplesi
(pengosongan cadangan zat gizi dalam tubuh) yang sudah parah.
Karena alasan tersebut, diagnosis defisiensi gizi tidak boleh
mengandalkan hanya pada metode klinis. Sebenarnya yang diinginkan
adalah upaya untuk mendeteksi defisiensi zat gizi marginal, yaitu
sebelum berkembangnya sindrom klinis. Oleh karena itu, metode
laboratorium harus digunakan sebagai pelengkap metode klinis.
5. Masalah gizi tenaga kerja
12

Darwin Karyadi dalam Agung (2008) menyebutkan bahwa prevalensi


anemia dan gizi kurang masih tinggi di Indonesia. Hal tersebut juga
dipertegas oleh Jill dkk dalam Agung (2008) bahwa prevalensi anemi gizi,
kekurangan vitamin B1 dan dalam keadaan gizi kurang masih tinggi di
Indonesia. Prevalensi anemia gizi pada pekerja di Indonesia terdapat
sebanyak 40% dan banyak dijumpai pada pekerja berat. Prevalensi yang
tinggi membawa akibat yang tidak baik terhadap individu maupun
masyarakat, karena menurunkan kualitas manusia dan sosial ekonomi serta
menghambat pembangunan bangsa. Hal ini erat hubungannya dengan
konsekuensi fungsional anemia gizi tersebut, yaitu menurunkan
produktifitas kerja (Husaini & Handajani dalam Agung, 2008).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa keadaan gizi kurang dapat
menghambat aktivitas kerja yang akan menurunkan produktivitas kerja, hal
tersebut disebabkan karena kemampuan kerja seseorang sangat dipengaruhi
oleh jumlah energi yang tersedia. Laurentia Mihardja mempertegas bahwa
telah banyak dilaporkan tentang defisiensi zat gizi besi dapat menimbulkan
gangguan pada fungsi ketahanan immunologis, menurunkan konsentrasi,
kapasitas kerja, dan lain-lain. Dan De Maeyer juga menyebutkan bahwa
akibat defisiensi zat gizi besi pada orang dewasa pria dan wanita adalah
dapat menurunkan kerja fisik dan daya pendapatan, dan penurunan daya
tahan terhadap keletihan. Gizi merupakan faktor kualitas SDM yang pokok
karena unsur gizi tidak hanya sekedar mempengaruhi derajat kesehatan dan
ketahanan fisik tetapi juga menentukan kualitas daya pikir aatau kecerdasan
intelektual yang sangat esensial bagi kehidupan manusia, dengan status gizi
yang rendah akan sulit untuk hidup secara sehat, aktif dan produktif (Agung,
2008).
Pemenuhan kecukupan gizi pekerja selama bekerja merupakan salah
satu bentuk penerapan syarat keselamatan dan kesehatan kerja sebagai
bagian dari upaya meningkatkan derajat kesehatan pekerja. Gizi merupakan
salat satu aspek kesehatan kerja yang memiliki peran penting dalam
peningkatan produktivitas kerja. Rendahnya produktivitas kerja dianggap
akibat kurangnya motivasi kerja, tanpa menyadari faktor lainnya seperti gizi
13

pekerja. Perbaikan dan peningkatan gizi mempunyai makna yang sangat


penting dalam upaya mencegah morbiditas, menurunkan angka absensi serta
meningkatkan produktivitas kerja. Berat ringannya beban kerja seseorang
ditentukan oleh lamanya waktu melakukan pekerjaan dan jenis pekerjaan itu
sendiri. Semakin berat beban kerja, sebaiknya semakin pendek waktu
kerjanya agar terhindar dari kelelahan dan gangguan fisiologis (Ratnawati,
2011).
6. Status gizi dengan kelelahan
Gizi atau nutrisi juga dapat mengakibatkan kelelahan. Status gizi baik
atau status gizi yang optimal dapat diperoleh apabila tubuh mendapatkan
cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja,
dan kesehatan secara umum. Status gizi tenaga kerja diluar batas normal
(buruk atau lebih) akan berpengaruh langsung terhadap produktivitas, akibat
dari adanya penurunan daya tahan kerja (Pratiwi, 2010). Hasil penelitian
Adi (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara asupan gizi sebelum bekerja dengan tingkat kelelahan pada tenaga
kerja PT. X, Kabupaten Kendal.

B. Masa Kerja
1. Definisi
Menurut Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
dalam Siahaan (2010) menyatakan bahwa masa kerja merupakan
pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan
dan jabatan. Kemudian Siagian dalam Siahaan (2010) menyatakan bahwa
masa kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-
masing pekerjaan atau jabatan.
Menurut Oktaviani dalam Hadiyani (2013), senioritas atau masa kerja
adalah lamanya seorang tenaga kerja memberikan tenaganya pada
perusahaan tertentu. Sejauh mana tenaga kerja dapat mencapai hasil yang
memuaskan dalam bekerja tergantung dari kemampuan, kecakapan dan
keterampilan tertentu agar mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Hadiyani (2013) menyimpulkan bahwa masa kerja merupakan tenggang
waktu yang digunakan seorang karyawan atau tenaga kerja untuk
14

memberikan tenaganya pada perusahaan sehingga akan menghasilkan sikap


kerja dan keterampilan kerja yang lebih berkualitas.
2. Masa kerja dengan kelelahan
Masa kerja dapat memberikan pengaruh pada pekerja baik itu
pengaruh positif maupun negatif. Masa kerja dapat memberikan pengaruh
positif apabila semakin lama seseorang bekerja maka akan lebih
berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Sebaliknya akan
memberikan pengaruh negatif apabila semakin lama bekerja akan
menimbulkan kelelahan dan kebosanan. Semakin lama seseorang dalam
bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan
oleh lingkungan kerja tersebut (Muftia dalam Indah, 2011).
Menurut Robin dalam Subur (2007), senioritas dalam bekerja belum
tentu dapat memberikan kinerja yang lebih baik. Hal ini membuktikan
bahwa masa kerja yang lama belum tentu tidak memiliki hubungan dengan
kelelelahan walaupun dari segi pengalaman dan mentalitas sudah memiliki
kematangan dan mental yang tinggi. Laporan hasil telaah terhadap beberapa
hasil penelitian tentang efek moderat dari masa kerja mencantumkan bahwa
terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa masa kerja berhubungan
dengan kelelahan, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah, dan penyakit
kardiovaskuler (Landsbergis dalam Iqbal, 2009). Hasil penelitian
Boshuizen et al dalam Mutiah (2013), seseorang yang bekerja lebih dari 5
tahun meningkatkan risiko terjadinya back pain dibandingkan seseorang
yang bekerja kurang dari 5 tahun. Kemudian penelitian Noviyanti dalam
Mutiah (2013), diperoleh sekitar 86,7% responden yang telah bekerja lebih
dari 5 tahun mengalami keluhan MSDs. Hasil penelitian Ahirawati & Astuti
(2009), menyatakan bahwa semakin lama bekerja sebagai polisi lalu lintas
maka semakin banyak kandungan COHb dalam darahnya akibat paparan gas
buang dari kendaraan yang dihirupnya. Hasil penelitian diatas menunjukkan
bahwa semakin lama masa kerja seseorang maka semakin besar pula
parapan bahaya yang telah dialami.

C. Usia
1. Definisi
15

Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu


benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Misalnya, usia
manusia dikatakan 15 tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu usia itu
dihitung (Wikipedia, 2013). Menurut Chaniago dalam Widyasih (2014), usia
adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan
sekarang. Penentuan usia dilakukan dengan menggunakan hitungan tahun.
2. Usia dengan kelelahan
Usia dapat berpengaruh terhadap kekuatan fisik pekerja. Kekuatan
fisik seorang pekerja dapat berubah, namun disisi lain kekuatan fisik
disamping dipengaruhi oleh faktor usia juga dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor lain termasuk latihan, kematangan mental, dan pengalaman
(Gilmer; Davis; Shephard dalam Setyawati, 2010).
Hurlock dalam Triyunita (2013) mengatakan bahwa usia yang
meningkat akan diikuti dengan degenerasi organ sehingga kemampuan
organ menjadi menurun. Adanya penurunan kemampuan organ ini akan
menyebabkan tenaga kerja semakin mudah mengalami kelelahan. Hasil
penelitian Kocalevent et al dalam Indah (2011), diperoleh bahwa usia
berhubungan signifikan dengan terjadinya kelelahan. Usia yang mengalami
kelelahan tertinggi pada usia di atas 61 tahun sebanyak 42%, usia 41-60
tahun sebanyak 31,3%, dan usia 16-40 tahun sebanyak 19,6% yang
mengalami kelelahan.

D. Kebiasaan Merokok
1. Definisi
Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau
bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana
Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan
tar dengan atau tanpa bahan tambahan (PPRI, 2003). Merokok berarti
membakar tembakau dan daun tar, dan menghisap asap yang dihasilkannya
(Husaini, 2007).
Nasution (2007), menyimpulkan bahwa perilaku merokok adalah
suatu kegiatan atau aktivitas membakar rokok dan kemudian menghisapnya
dan menghembuskannya keluar dan dapat menimbulkan asap yang dapat
terhisap oleh orang-orang di sekitarnya.
16

2. Kebiasaan merokok dengan kelelahan


Fardiaz dalam Ahirawati & Astuti (2009), menjelaskan bahwa rokok
dapat menyebabkan seseorang merasa lelah dan daya tahan tubuh menurun.
Tarwaka dalam Mauludi (2010), Kebiasaan merokok akan dapat
menurunkan kapasitas paru-paru sehingga kemampuan untuk
mengkonsumsi oksigen menurun dan akibatnya tingkat kesegaran jasmani
juga menurun. Apabila tugas yang dilakukan membutuhkan pengerahan
tenaga, maka akan mudah merasa lelah karena kurangnya oksigen dalam
darah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi penumpukan asam laktat
dan pada akhirnya timbul kelelahan.

E. Kelelahan
1. Definisi
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dalam
Williams & Ratel (2009), kelelahan adalah suatu kondisi dimana terjadi
penurunan pada kemampuan untuk mengembangkan kekuatan dan/atau
kecepatan otot, akibat aktivitas otot dibawah beban yang dapat dipulihkan
dengan istirahat. Kelelahan menurut Thiffault dalam De Vries et al (2003),
sebagai proses bertahap dan kumulatif kelelahan menggambarkan
penurunan kewaspadaan dan penurunan kapasitas untuk melaksanakan atau
melakukan, seriring dengan keadaan subjektif yang beruhubungan dengan
penurunan kinerja.
Menurut Nurmianto dalam Koesyanto (2008), kelelahan kerja akan
menurunan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya
kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja
dalam industri. Kelelahan kerja adalah keadaan karyawan yang
mengakibatkan terjadinya penurunan vitalitas dan produktivitas kerja akibat
pekerjaan.
Para ahli bidang perawatan kesehatan Multiple Sclerosis, National
Multiple Sclerosis Society (NMSS), dan Consortium of Multiple Sclerosis
Centers (CMSC) mendefinisikan kelelahan sebagai kurangnya energi fisik
dan/atau mental yang dirasakan oleh individu secara subjektif yang dapat
mengganggu aktivitas yang biasa dilakukan atau diinginkan (Krupp, 2014).
2. Tanda-tanda Kelelahan
17

Tanda-tanda kelelahan yang utama adalah hambatan terhadap fungsi-fungsi


kesadaran otak dan perubahan-perubahan pada organ-organ di luar
kesadaran serta proses pemulihan. Orang-orang yang lelah menunjukkan
(Sumamur, 1989):
a. Penurunan perhatian
b. Pelambatan dan hambatan persepsi
c. Lambat dan sukar berpikir
d. Penurunan kemauan atau dorongan untuk bekerja
e. Kurangnya efisiensi kegiatan-kegiatan fisik dan mental
3. Pengukuran Kelelahan Kerja
Suatu instrumen yang dapat digunakan untuk pengukuran kelelahan
kerja secara ideal telah sejak lama diharapkan oleh pemegang unit-unit kerja
maupun oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap masalah
kelelahan kerja (Setyawati dalam Subur, 2007). Adapun parameter-
parameter yang pernah diungkapkan beberapa peneliti untuk mengukur
kelelahan kerja ada bermacam-macam antara lain : Pengukuran waktu
reaksi, uji finger-tapping (uji ketuk jari), uji flicker-fusion, Uji critical
flicker-fusion, Uji bourdon wiersma, skala kelelahan Industrial Fatigue
Research Committee (IFRC), pemeriksaan tremor pada tangan, metode
blink, ekskresi katekolamin, dan stroop test (Setyawati, 2010).
Selain itu KAUPK2 (Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja)
juga merupakan paremeter untuk mengukur perasaan kelelahan kerja.
KAUPK2 merupakan suatu alat untuk mengukur indikator perasaan
kelelahan kerja yang telah di disain oleh Setyawati khusus bagi pekerja
Indonesia. Instrumen pengukur kelelahan kerja ini dipersiapkan untuk
penelitian masal pada para pekerja di unit-unit kerja, sehingga harus bersifat
sederhana, sahih, handal, berbahasa Indonesia, dan mudah dimengerti serta
berisi butir-butir keluh kesah kelelahan kerja yang dapat dialami pekerja di
Indonesia. Instrumen ini dapat digunakan oleh tenaga non medis dan tidak
memerlukan tatap muka dengan responden (Setyawati, 2010).
4. Penanggulangan kelelahan kerja
Menurut Levy dalam Russeng (2009), penanggulangan kelelahan kerja
secara umum pada tenaga kerja dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
18

a. Lingkungan kerja bebas dari zat berbahaya, penerangan memadai


sesuai dengan jenis pekerjaan, pengaturan udara yang adekuat, bebas
dari kebisingan dan getaran.
b. Waktu kerja diselingi istirahat pendek dan istirahat untuk makan.
c. Kesehatan tenaga kerja harus dijaga dan selalu dimonitor.
d. Pemberian gizi kerja yang memadai sesuai dengan jenis pekerjaan
dan beban kerja.
e. Beban kerja yang berat tidak berlangsung lama.
f. Tempat tinggal diusahakan sedekat mungkin dengan tempat kerja,
bila perlu bagi tenaga kerja yang bertempat tinggal jauh dari tempat
kerja diusahakan transportasi dari perusahaan.
g. Pembinaan mental secara teratur dan berkala dalam rangka stabilitas
kerja dan kehidupannya.
h. Disediakan fasilitas rekreasi, waktu rekreasi, dan istirahat
manfaatkan dengan sebaik mungkin.
i. Penyelenggaraan waktu cuti dan liburan dengan sebaik-baiknya.
j. Adanya perhatian khusus pada kelompok tertentu seperti tenaga
kerja beda usia, wanita hamil dan menyusui, tenaga kerja dengan
kerja gilir di malam hari, tenaga kerja yang baru pindah.
k. Mengusahakan tenaga kerja bebas alcohol, narkoba, dan obat
berbahaya.
5. Faktor-faktor Penyebab Kelelahan Kerja
Adapun beberapa pandangan menurut para ahli maupun hasil penelitian
tentang faktor-faktor penyebab kelelahan kerja adalah sebagai berikut:
1. Menurut Sumamur (1989) dan Sumamur dalam Subur (2007), kelelahan
dapat disebabkan oleh keadaan gizi (status gizi), keadaan monoton, beban
dan lama kerja (jam kerja) baik fisik maupun mental, keadaan lingkungan
(cuaca kerja, penerangan, kebisingan, vibrasi dan ergonomi), keadaan
kejiwaan seperti tanggung jawab, rasa kekhawatiran atau konflik, penyakit,
dan perasaan sakit.
2. Hallowell (2010) menjelaskan bahwa masa kerja dan usia juga dapat
menjadi faktor penyebab kelelahan.
3. Fardiaz dalam Ahirawati & Astuti (2009), menjelaskan bahwa rokok dapat
menyebabkan seseorang merasa lelah dan daya tahan tubuh menurun.
4. Sjarifah dkk (2012), ada beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi
kelelahan yaitu penyakit jantung, penyakit gangguan ginjal, penyakit asma,
19

tekanan darah rendah, tekanan darah tinggi, keadaan psikologis. Kodrat


(2009), penyakit seperti flu, anemia, hepatitis, hyphothyroidism, TBC juga
dapat mempengaruhi kelelahan.
5. Menurut Sumamur (1996), jenis kelamin dan waktu istirahat juga berperan
dalam terjadinya kelelahan. Waktu istirahat akan dapat membantu mengatasi
kelelahan, istirahat adalah sebagai usaha untuk pemulihan yang dapat
dilakukan dengan berhenti bekerja sebentar dan tidur cukup pada malam
hari. Jenis kelamin juga berperan dalam terjadinya kelelahan, pria dan
wanita berbeda dalam kemampuan fisiknya, kekuatan kerja ototnya.
Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui ukuran tubuh dan kekuatan otot
dari wanita relatif kurang jika dibandingkan dengan pria. Kemudian pada
saat wanita sedang haid yang tidak normal, maka akan dirasakan sakit
sehingga akan lebih cepat lelah.
6. Menurut Wicken et al dalam Setyawati & Widodo (2008), salah satu
penyebab kelelahan adalah gangguan tidur.
7. Penelitian Retnani dalam Azhar (2012), menjelaskan bahwa kebiasaan
makan pagi juga dapat berpengaruh terhadap kelelahan kerja. Pekerja yang
tidak memiliki kebiasaan makan pagi akan mengakibatkan asupan gizi
dalam tubuh berkurang dan cepat mengalami kelelahan.
8. Menurut Nurmianto (2008), semua jenis pekerjaan akan menghasilkan
kelelahan kerja. Kelelahan akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat
kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang
terjadinya kecelakaan kerja dalam industri.
9. Menurut Setyawati (2010), shift kerja juga berpeluang menimbulkan
kelelahan kerja. Lingkungan kerja yang nyaman dan ventilasi udara yang
adekuat akan mengurangi kelelahan kerja. Hal-hal lain yang dapat
berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja menurut Phoon dalam
Setyawati (2010) adalah adanya pemberian perhatian khusus bagi pekerja
tertentu seperti pekerja muda usia, pekerja wanita hamil atau menuyusui,
pekerja lanjut usia, dan pekerja baru atau baru pindah dari bagian lain.
Adapun beberapa faktor di atas yang masuk menjadi variabel dalam
penelitian ini adalah faktor status gizi, masa kerja, usia, dan juga kebiasaan
merokok.
20

F. Tenaga kerja
Bekerja merupakan aktivitas manusia baik fisik maupun mental yang
dasarnya adalah bawaan dan mempunyai tujuan untuk mendapatkan kepuasaan
(Asad dalam Trisnawati, 2010). Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang ingin
dicapai dan orang berharap aktivitas kerja yang dilakukannya akan merubah suatu
keadaan yang lebih memuaskan dari sebelumnya (Anoraga dalam Susetyo, 2012).
Menurut UU. No. 13 tahun 2003 BAB I Pasal 1 ayat 2, tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Seseorang dikatakan tenaga kerja apabila memiliki kemampuan untuk bekerja dan
telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah
berumur 15 tahun 64 tahun.
UU. No. 13 tahun 2003 BAB X Pasal 86 sampai dengan 87 menetapkan
bahwa setiap pekerja memiliki hak untuk mendapat perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, serta perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama, guna
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. Setiap perusahaan juga wajib
untuk menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
Keselamatan dan kesehatan kerja berkontribusi dalam mencegah kerugian
dengan cara mempertahankan, meningkatkan status kesehatan dan kapasitas kerja
fisik pekerja, serta mencegah terjadinya cedera atau penyakit dengan cara
melindungi pekerja dari efek buruk pajanan bahaya ditempat kerja dan juga
berkontribusi dalam membentuk perilaku hidup sehat dan perilaku kerja yang
kondusif bagi keselamatan dan kesehatannya. Pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja akan membantu kegiatan produksi agar dapat berjalan dan
organisasi dapat berkembang lancer berkesinambungan, tidak terganggu oleh
kejadian kecelakaan maupun pekerja yang sakit, tidak sehat, atau cacat, karena
pekerja tetap produktif dan perusahaan mampu bersaing bahkan di tingkat global
(Kurniawidjaja, 2011).
G. Landasan Teori
21

Kelelahan adalah keadaan fisik ataupun mental yang disebabkan oleh


pekerjaan yang terlalu berlebihan. Kondisi tersebut dapat mengurangi batas
kemampuan seseorang sehingga dapat mengganggu kekuatan mereka, kecepatan,
waktu reaksi, koordinasi, pengambilan keputusan, atau keseimbangan
(Department of Labor, 2007).
Status gizi dapat menjadi salah satu faktor penyebab kelelahan (Sumamur,
1989). Status gizi baik atau status gizi yang optimal dapat diperoleh apabila tubuh
mendapatkan cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan
kesehatan secara umum. Status gizi tenaga kerja diluar batas normal (buruk atau
lebih) akan berpengaruh langsung terhadap produktivitas, akibat dari adanya
penurunan daya tahan kerja (Pratiwi, 2010).
Usia juga dapat memiliki peran terhadap terjadinya kelelahan (Hallowell,
2010). Hurlock dalam Triyunita (2013) mengatakan bahwa usia yang meningkat
akan diikuti dengan degenerasi organ sehingga kemampuan organ menjadi
menurun. Adanya penurunan kemampuan organ ini akan menyebabkan tenaga
kerja semakin mudah mengalami kelelahan.
Selain usia, Hallowell (2010) juga menjelaskan bahwa masa kerja juga
dapat menjadi faktor penyebab kelelahan. Masa kerja dikatakan memberi
pengaruh positif berkaitan dengan bertambahnya pengalaman yang diperoleh
dalam melakukan pekerjaan, semakin lama masa kerja maka semakin lebih
berpengalaman dalam melakukan tugasnya. Sebaliknya, masa kerja dikatakan
memberikan pengaruh negatif apabila semakin lama bekerja maka akan
menimbulkan kelelahan dan kebosanan. Semakin lama seseorang dalam bekerja
maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh
lingkungan kerja tersebut (Muftia dalam Indah, 2011).
Fardiaz dalam Ahirawati & Astuti (2009), menjelaskan bahwa rokok dapat
menyebabkan seseorang merasa lelah dan daya tahan tubuh menurun. Tarwaka
dalam Mauludi (2010) menjelaskan bahwa kebiasaan merokok akan dapat
menurunkan kapasitas paru-paru sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi
oksigen menurun dan akibatnya tingkat kesegaran jasmani juga menurun. Apabila
tugas yang dilakukan membutuhkan pengerahan tenaga, maka akan mudah merasa
22

lelah karena kurangnya oksigen dalam darah, pembakaran karbohidrat terhambat,


terjadi penumpukan asam laktat dan pada akhirnya timbul kelelahan.
Sjarifah dkk (2012) menjelaskan bahwa ada beberapa penyakit yang dapat
mempengaruhi kelelahan seperti penyakit jantung, penyakit gangguan ginjal,
penyakit asma, tekanan darah rendah, tekanan darah tinggi, keadaan psikologis.
Kodrat (2009) juga menjelaskan beberapa penyakit seperti flu, anemia, hepatitis,
hyphothyroidism, TBC juga dapat mempengaruhi kelelahan.
Adapun beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
menurut Sumamur (1989) dan Sumamur dalam Subur (2007) yaitu keadaan
monoton, beban dan lama kerja (jam kerja) baik fisik maupun mental, keadaan
lingkungan (cuaca kerja, penerangan, kebisingan, vibrasi dan ergonomi), keadaan
kejiwaan seperti tanggung jawab, rasa kekhawatiran atau konflik, penyakit, dan
perasaan sakit.
Kemudian menurut Sumamur (1996), jenis kelamin dan waktu istirahat
juga berperan dalam terjadinya kelelahan. Waktu istirahat akan dapat membantu
mengatasi kelelahan, istirahat adalah sebagai usaha untuk pemulihan yang dapat
dilakukan dengan berhenti bekerja sebentar dan tidur cukup pada malam hari.
Jenis kelamin juga berperan dalam terjadinya kelelahan, pria dan wanita berbeda
dalam kemampuan fisiknya, kekuatan kerja ototnya. Perbedaan tersebut dapat
dilihat melalui ukuran tubuh dan kekuatan otot dari wanita relatif kurang jika
dibandingkan dengan pria. Kemudian pada saat wanita sedang haid yang tidak
normal, maka akan dirasakan sakit sehingga akan lebih cepat lelah.
Menurut Wicken et al dalam Setyawati & Widodo (2008), salah satu
penyebab kelelahan adalah gangguan tidur. Kemudian penelitian oleh Retnani
dalam Azhar (2012), menjelaskan bahwa kebiasaan makan pagi juga dapat
berpengaruh terhadap kelelahan kerja. Pekerja yang tidak memiliki kebiasaan
makan pagi akan mengakibatkan asupan gizi dalam tubuh berkurang dan cepat
mengalami kelelahan.
Menurut Nurmianto (2008), semua jenis pekerjaan akan menghasilkan
kelelahan kerja. Kelelahan akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat
kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang
terjadinya kecelakaan kerja dalam industri.
23

Selanjutnya menurut Setyawati (2010), Shift kerja juga berpeluang


menimbulkan kelelahan kerja. Lingkungan kerja yang nyaman dan ventilasi udara
yang adekuat akan mengurangi kelelahan kerja. Hal-hal lain yang dapat
berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja menurut Phoon dalam Setyawati
(2010) adalah adanya pemberian perhatian khusus bagi pekerja tertentu seperti
pekerja muda usia, pekerja wanita hamil atau menuyusui, pekerja lanjut usia, dan
pekerja baru atau baru pindah dari bagian lain.
H. Kerangka Teori

Asupan makanan, pendidikan, status sosial


ekonomi, usia, jenis kelamin, penyakit, aktivitas
fisik, penyedia layanan kesehatan, sanitasi dan air
bersih, jenis pekerjaan, lingkungan, beban kerja,
produksi pangan, budaya
Status Gizi Pekerjaan : jam kerja,
Masa Kerja waktu istirahat, beban
kerja, jenis pekerjaan,
Usia monoton, shift kerja.
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan makan pagi KELELAHAN

Penyakit
Lingkungan: Pencahayaan,
Kejiawaan (mental)
Gangguan tidur ventilasi atau pengaturan
Jenis kelamin udara, kebisingan, vibrasi,
Gambar 1. Kerangka teori modifikasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
suhu.
kelelahan kerja oleh Sumamur (1989) (1996), Sumamur dalam Subur (2007)
Hallowell (2010), Fardiaz dalam Ahirawati & Astuti (2009), Sjarifah dkk (2012),
Kodrat (2009), Wicken et al dalam Maurits & Widodo (2008), Retnani dalam
Azhar (2012), Nurmianto (2008), Setyawati (2010), Phoon dalam Setyawati
(2010)

I. Kerangka Konsep

Status Gizi
KELELAHAN
Masa Kerja
Usia Beban Kerja
Kebiasaan Merokok
: Variabel yang tidak diteliti
24

Gambar 2. Kerangka Konsep

J. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara status gizi dengan perasaan kelelahan pada
tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama.
2. Ada hubungan antara masa kerja dengan perasaan kelelahan pada
tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama.
3. Ada hubungan antara usia dengan perasaan kelelahan pada tenaga
kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama.
4. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan perasaan kelelahan
pada tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama
5. Ada hubungan antara status gizi, masa kerja, usia, dan kebiasaan
merokok yang dianalisis secara simultan dengan perasaan kelelahan
pada tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama.
25

6. BAB III
7. METODE PENELITIAN
8.
A. Bahan Penelitian
1. Jenis dan rancangan penelitian
9. Jenis penelitian ini menggunakan metode analitik
observasional dengan rancangan cross sectional. Dalam studi analitik
dengan rancangan cross sectional, peneliti mempelajari dinamika hubungan
atau korelasi antara faktor-faktor risiko dengan dampak atau efeknya. Faktor
risiko dan dampak atau efeknya diobservasi pada saat yang sama, artinya
setiap subyek penelitian diobservasi hanya satu kali saja dan faktor risiko
serta dampak diukur menurut keadaan atau status pada saat diobservasi
(Budiharto, 2008).
2. Lokasi dan waktu penelitian
10. Penelitian ini dilakukan di PT. Rofenty Karsa Tama.
3. Populasi dan sampel penelitian
a. Populasi
11. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pegawai atau
karyawan lapangan PT. Rofenty Karsa Tama. Kriteria inklusi dan
eksklusi adalah sebagai berikut :
1) Inklusi
a) Masa kerja 1 tahun (pengelola lapangan)
b) Bersedia menjadi responden
2) Eksklusi
12. Absen akibat mengalami kecelakaan atau jatuh sakit
sehingga butuh perawatan atau istirahat dalam waktu yang cukup
lama.
b. Besar sampel
13. Apabila jumlah populasi sudah diketahui, maka besar
sampel minimal dalam penelitian ini dicari dengan menggunakan rumus
Lemeshow dalam Isgiyanto (2009) yaitu sebagai berikut :
2
N z 1 /2 P (1P )
n=
14. 2 2
N d + z 1 /2 P(1P)

15. Keterangan :
16. n : besar sampel
17. N : besar populasi
26

Z 1 /2
18. :besaran nilai pada derajat kepercayaan

yang diinginkan (95%)


19. P : Proporsi kejadian (0,50)
20. d : presisi mutlak (0,05)
21. Hasil perhitungan besar sampel biasanya ditambah 5-10%
untuk antisipasi kemungkinan gagal (drop out) (Badan Litbangkes, 2012).
Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini setelah ditambah 10%
adalah 39,6 atau 40 orang.
c. Cara pengambilan sampel
22. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini termasuk
dalam non-probability sampling yaitu menggunakan teknik sampling
jenuh. Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel apabila semua
anggota populasi digunakan sebagai sampel. Sampel dikatakan jenuh
apabila sampel yang terpilih sudah lebih dari setengah populasi (Isgiyanto,
2009).
23.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Status gizi, masa kerja, usia, dan kebiasaan merokok
2. Variabel terikat : Perasaan kelelahan
24.
C. Definisi Operasional
1. Status gizi adalah suatu keadaan yang memberikan petunjuk tentang
keadaan gizi tenaga kerja yang dihitung dengan indeks massa tubuh (IMT),
yaitu dengan mengetahui hasil perbandingan antara berat badan (BB)
dengan tinggi badan (TB). Rumus IMT adalah sebagai berikut :
25.
26. BB(kg)
IMT =
27. Interpretasi skor menggunakan
TB(m)2 skala rasio, dan untuk kepentingan
analisis deskriptif akan dikategorikan sebagai berikut (Depkes dalam
Supariasa dkk, 2012) :
a. 1= Gizi kurang, jika IMT 18,5
b. 2= Gizi normal, jika IMT > 18,5 25,0
c. 3= Gizi lebih, jika IMT > 25,0
28. Selain menggunakan IMT, pengukuran LLA juga dilakukan dalam
penentuan status gizi tenaga kerja sesuai standar LLA laki-laki. Skalanya
Rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif dikategorikan sebagai
berikut (Direktorat Gizi DepKes R.I. dalam Chandra, 2009) :
27

a. 1= Gizi kurang, jika LLA < 25 cm


b. 2= Gizi normal, jika LLA 25 cm 29,5 cm
c. 3= Gizi lebih jika LLA > 29,5 cm
2. Masa kerja adalah lamanya waktu kerja dalam tahun sejak tenaga kerja
diterima bekerja sampai saat dilakukan penelitian. Skala data adalah Rasio.
Demi kepentingan analisis deskriptif masa kerja dikategorikan menjadi 3
yaitu: 1 = >5 tahun, 2 = 4-5 tahun, dan 3 = <4 tahun. Dasar pengkategorian
berdasarkan nilai kuartil (K1, K2, K3) yang diperoleh saat analisis statistik
frekuensi.
3. Usia adalah lama hidup tenaga kerja mulai lahir sampai ulang tahun
terakhir. Skala data adalah rasio. Demi kepentingan analisis deskriptif, usia
dikategorikan menjadi dua yaitu: 2 = usia produktif (<40 tahun) dan 1 = usia
kurang produktif (40 tahun). Alasan pengkategorian usia tersebut didasari
atas acuan teori Asad dalam Rantung (2009).
4. Perasaan kelelahan kerja adalah keadaan yang dirasakan oleh tenaga kerja,
yang dapat memberikan gambaran mengenai kelelahan yang dialami oleh
tenaga kerja. Dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan alat ukur
KAUPK2 seri I dan juga skala kelelahan IFRC. Interpretasi skor
menggunakan skala rasio. Demi kepentingan analisis deskriptif, perasaan
kelelahan kerja dikategorikan menjadi 4 yaitu: 1= tidak lelah (jika jumlah
skor jawaban 17), 2= kurang lelah (jika jumlah skor jawaban 18-33), 3=
lelah (jika jumlah skor jawaban 34-51), dan 4= sangat lelah (jika jumlah
skor jawaban >51). Dasar pengkategorian berdasarkan nilai mean dan
standar deviasi.
5. Kebiasaan merokok adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dalam
menghisap rokok mulai dari satu batang ataupun lebih dalam satu hari.
Skala pengukuran adalah rasio. Demi kepentingan analisis deskriptif,
kebiasaan merokok dikategorikan menjadi 4 yaitu 1 = bukan perokok (jika
tidak memiliki kebiasaan merokok), 2 = perokok ringan (jika 1-9
batang/hari), 3 = perokok sedang (jika 10-16 batang/hari), dan 4 = perokok
berat (jika >16 batang/hari). Dasar pengkategorian berdasarkan nilai kuartil
(K1, K2, K3) yang diperoleh saat analisis statistik frekuensi.
29.
D. Alat Penelitian
28

30. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :


1. Lembar isian data
31. Lembar isian data terdiri dari pertanyaan untuk
mengumpulkan informasi mengenai kebiasaan merokok, kondisi
kesehatan tenaga kerja dan riwayat penyakit tenaga kerja.
2. Timbangan berat badan dan meteran pengukur tinggi badan
32. Alat ini digunakan untuk mengetahui berat badan dan tinggi
badan tenaga kerja yang selanjutnya dimasukkan dalam rumus IMT untuk
penentuan status gizi tenaga kerja.
3. Pita pengukur lingkar lengan atas
33. Alat ini juga digunakan untuk menentukan status gizi
responden selain berat badan dan tinggi badan. Hasil pengukuran lingkar
lengan akan disesuaikan dengan standar yang sudah ada.
4. Alat ukur perasaan kelelahan kerja
a. KAUPK2
34.KAUPK2 (Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja)
merupakan paremeter untuk mengukur perasaan kelelahan kerja.
KAUPK2 merupakan suatu alat untuk mengukur indikator perasaan
kelelahan kerja yang telah di disain oleh Setyawati khusus bagi
pekerja Indonesia. Instrumen pengukur kelelahan kerja ini
dipersiapkan untuk penelitian masal pada para pekerja di unit-unit
kerja, sehingga harus bersifat sederhana, sahih, handal, berbahasa
Indonesia, dan mudah dimengerti serta berisi butir-butir keluh kesah
kelelahan kerja yang dapat dialami pekerja di Indonesia. Instrumen ini
dapat digunakan oleh tenaga non medis dan tidak memerlukan tatap
muka dengan responden (Setyawati, 2010).
b. Skala IFRC
35.Skala kelelahan IFRC (Industrial Fatigue Research
Committee) dalam Saito (1999) merupakan kuesioner untuk mengukur
tingkat kelelahan subjektif. Kuesioner tersebut berisi 30 daftar
pertanyaan yang terdiri dari 10 pertanyaan tentang pelemahan
kegiatan, meliputi: perasaan berat di kepala, merasa lelah di seluruh
badan, merasa lelah di bagian kaki, menguap, pikiran terasa kacau,
mengantuk, merasa berat pada mata, merasa kaku atau canggung
29

dalam bergerak, merasa tidak stabil ketika berdiri, merasa ingin


berbaring.
36.Kemudian, 10 pertanyaan berikutnya tentang pelemahan
motivasi meliputi: merasa sulit untuk berpikir, merasa lelah untuk
berbicara, merasa gugup, tidak mampu untuk memusatkan perhatian
atau konstentrasi, merasa tidak memiliki minat untuk berpikir, mudah
lupa akan beberapa hal, merasa kurang percaya diri, mudah merasa
cemas tentang beberapa hal, sulit untuk mengontrol sikap, dan merasa
kurang sabar.
37.Selanjutnya, 10 pertanyaan bagian terakhir tentang
gambaran kelelahan fisik, meliputi: kepala terasa sakit, merasa kaku di
bagian bahu, merasa sakit di bagian pinggang, merasa sulit untuk
bernafas, merasa haus, suara terasa serak, merasa pusing atau pening,
merasa spasme (kejang) pada kelopak mata, merasa tremor (gemetar)
pada anggota tubuh, dan merasa kurang sehat.
c. Modifikasi Kuesioner Kelelahan dari KAUPK2 dan Skala IFRC.
38.Pada penelitian ini, peneliti mencoba menggabungkan dua
alat ukur yang dapat mengukur indikator perasaan kelelahan kerja
yang dirancang oleh Setyawati (2010) yaitu KAUPK2 seri I dan juga
alat ukur skala kelelahan IFRC dalam Saito (1999). Kedua alat ukur
ini merupakan pengukuran kelelahan yang dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan mengenai gejala-gejala atau perasaan yang
secara subjektif dirasakan oleh responden.
39.Alasan penggabungan kedua alat ukur ini adalah untuk
mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang peneliti butuhkan dengan
mengacu pada Setyawati dan IFRC. Peneliti menambahkan beberapa
pertanyaan yang akan menunjukkan adanya pelemahan aktivitas
(3,5,7,10), kelelahan fisik (11,12,15,16,17), dan pelemahan motivasi
(1) yang dirasakan oleh responden yang diperoleh dari skala IFRC
(Subjective Feelings of Fatigue) (Saito, 1999).
40.Pertanyaan yang diperoleh dari KAUPK2 seri I yaitu
adanya pelemahan motivasi (2,4,6,8,9) dan pelemahan aktivitas
(13,14) (Setyawati, 2010). Total jumlah pertanyaan adalah 17 nomor
30

dengan pilihan jawaban yang terbagi menjadi 4 kategori besar yaitu


sangat sering (SS) diberi nilai 4, sering (S) diberi nilai 3, Kadang-
kadang (K) diberi nilai 2, dan tidak pernah (TP) diberi nilai 1. Total
skor jawaban tertinggi adalah 68 sedangkan total skor jawaban
terendah adalah 17.
41.
E. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
1. Uji Validitas
42. Menurut Husein Umar dalam Soegoto (2008), untuk
menguji tingkat validitas instrumen dalam penelitian, digunakan teknik
analisis Koefisien Korelasi Pearson Product Moment. Jika koefisien korelasi
yang diperoleh antara skor butir dengan skor total test lebih besar dari r tabel
pada = 0,05 (rtabel=0,444), maka butir tersebut dikatakan valid (Matondang,
2009).
43.
2. Uji Reliabilitas
44. Uji reliabilitas suatu instrumen dalam penelitian dapat
dilakukan dengan menggunakan model Aplha Cronbachs (Gumilar, 2007).
Reliabilitas suatu konstruk variabel dikatakan baik jika memiliki nilai Alpha
Cronbachs >0,60 (Santoso dalam Gumilar, 2007).
45.
F. Metode Pengumpulan Data
1. Data primer
46. Data primer pada penelitian ini diperoleh melalui :
a) Lembar isian data
47.Lembar isian data dibagikan kepada responden dan diisi oleh
responden. Lembar isian data berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai
kebiasaan merokok, kondisi kesehatan tenaga kerja, riwayat alamiah
penyakit tenaga kerja., makanan yang biasa dikonsumsi pada saat jam
istirahat, dan lokasi dimana makanan tersebut diperoleh oleh
responden.
b) Alat timbangan
48.Alat timbangan berfungsi untuk membantu peneliti mengetahui
berat badan responden yang selanjutnya akan digunakan untuk
mengetahui status gizi responden melalui rumus IMT.
31

c) Meteran tinggi badan


49.Meteran tinggi badan berfungsi untuk membantu peneliti
mengetahui tinggi badan responden yang selanjutnya akan digunakan
untuk mengetahui status gizi responden melalui rumus IMT.
d) Pita pengukur lingkar lengan
50.Pita pengukur berfungsi sebagai alat bantu bagi peneliti untuk
mengetahui lingkar lengan responden dalam penentuan status gizi
yang akan disesuaikan dengan standar yang sudah ada.
e) Alat ukur perasaan kelelahan kerja
51.Alat ukur yang digunakan adalah KAUPK2 dan Skala IFRC.
Kedua alat ini digabungkan menjadi sebuah kuesioner untuk
mengetahui perasaan kelelahan kerja responden. Kuesioner dibagikan
kepada responden dan diberikan pengarahan mengenai prosedur
pengisian kuesioner. Setelah pengarahan selesai, responden dapat
melakukan pengisian lembar kuesioner sampai selesai dan lembar
kuesioner dikembalikan kepada peneliti.
2. Data sekunder
52. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui pihak
PT. Rofenty Karsa Tama. Data tersebut berupa jumlah tenaga kerja
lapangan, usia, masa kerja dan juga data kejadian kecelakaan kerja serta
profil PT. Rofenty Karsa Tama.
53.
G. Jalan Penelitian
1. Tahap persiapan
a. Mengajukan Ethical Clearence pada komisi etik UGM
b. Mengajukan surat ijin untuk penelitian kepada Fakultas Ilmu
Kesehatan Masyarakat UGM
c. Mengajukan surat ijin untuk melakukan penelitian kepada PT. Rofenty
Karsa Tama.
d. Melakukan konsultasi dengan Assistant Manager HRD PT. Rofenty
Karsa Tama.
e. Melakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner penelitian terhadap
tenaga kerja outsourching.
f. Melakukan konsultasi dengan Assistant Manager masing-masing unit
PT. Rofenty Karsa Tama mengenai waktu untuk melaksanakan
pengambilan data responden.
32

2. Tahap pelaksanaan penelitian


a. Pengambilan data sampel dilakukan mulai pada tanggal 2 Juni 6
Juni 2018, pengambilan data tersebut dilakukan sebelum responden
berangkat ke lapangan (lokasi kerja). Sebelum pelaksanaan, peneliti
meminta kesediaan responden untuk ikut serta dalam penelitian ini
dengan menandatangani lembar Informed Consent.
b. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan melakukan kegiatan
pengukuran berat badan, tinggi badan, dan juga lingkar lengan atas
responden sebagai data untuk penentuan status gizi. Kegiatan
pengukuran dibantu oleh asisten peneliti yang merupakan tenaga
kesehatan di salah satu Rumah Sakit Kota Ende. Pengukuran berat
badan menggunakan alat timbang dan dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Alat timbang dipersiapkan terlebih dahulu dan di letakan pada
lantai yang datar.
2) Selanjutnya responden yang akan ditimbang diminta untuk
melepaskan alas kaki dan jaket (apabila mengenakan) serta
mengeluarkan segala isi kantong yang berat (kunci, handphone,
dompet, dll).
3) Setelah itu responden diminta naik ke alat timbangan dengan
posisi kaki tepat ditengah alat timbang tetapi tidak menutupi
layar penunjuk angka, sikap tenang (tidak bergerak-gerak) dan
kepala memandang lurus ke depan.
4) Jarum pada layar akan menunjukkan berapa berat badan
responden dan pencatatan berat badan responden dilakukan
setelah jarum pada alat timbang tidak berubah (statis). Setelah
pencataan selesai, responden dipersilahkan turun dari alat
timbangan.
54.Kegiatan selanjutnya adalah pengukuran tinggi badan, pengukuran
tersebut menggunakan meteran tinggi badan dan dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Alat meteran tinggi badan dipersiapkan terlebih dahulu dan
setelah siap, responden yang akan diukur tinggi badannya
33

diminta untuk berdiri dengan tegak dengan pandangan lurus ke


depan dan posisi tangan tergantung bebas.
2) Setelah responden sudah dalam posisi yang benar, peneliti dan
asisten peneliti melakukan kegiatan pengukuran dengan menarik
alat meteran mulai dari telapak kaki sampai bagian atas kepala
responden.
3) Setelah itu, kegiatan pembacaan dan pencatatan angka tinggi
badan dapat dilakukan.
55.Kegiatan selanjutnya adalah pengukuran lingkar lengan atas,
pengukuran tersebut menggunakan pita pengukur dan dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Responden diminta berdiri dengan tegak tetapi rileks, tidak
memegang apapun serta otot lengan tidak tegang.
2) Baju pada lengan dilipat ke atas sampai pangkal bahu terlihat
atau lengan bagian atas tidak tertutup.
3) Titik tengah antara pangkal bahu dan ujung siku ditentukan
dengan menggunakan pita pengukur. (Posisi siku dilipat dengan
telapak tangan ke arah perut).
4) Pengukuran lingkar lengan dilakukan sesuai dengan hasil titik
tengah yang diperoleh, pita pengukur dilingkarkan pada lengan
(tidak terlalu longgar atau ketat). Setelah itu pembacaan angka
dapat dilakukan dan dicatat hasilnya.
c. Setelah kegiatan pengukuran selesai, peneliti memberikan lembar
isian data dan kuesioner alat ukur perasaan kelelahan kepada
responden. Lembar isian memberikan infomasi kepada peneliti
mengenai kebiasaan merokok responden, kondisi kesehatan responden
dan juga riwayat alamiah penyakit responden.
d. Melakukan pengolahan dari hasil pengukuran tinggi badan dan berat
badan dengan rumus IMT dan juga hasil pengukuran lingkar lengan
atas untuk menentukan status gizi responden. Kemudian melakukan
pengolahan hasil jawaban dari kuesioner perasaan kelelahan yang
diberikan oleh responden untuk menentukan kelelahan yang dialami
oleh responden.
56.
34

57.
3. Tahap penyelesaian
58.Data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis, dibahas,
kemudian ditarik kesimpulan dan saran untuk disusun sebagai laporan
penelitian.
59.
H. Analisis Data
1. Analisis univariat
60. Analisis ini digunakan untuk menjabarkan secara deskriptif
mengenai distribusi frekuensi dan proporsi masing-masing variabel yang
diteliti, baik variabel bebas maupun variabel terikat. Analisis ini bertujuan
untuk menjelaskan karakteristik setiap variabel penelitian sesuai dengan jenis
datanya (Sumantri, 2011).
2. Analisis bivariat
61. Analisis bivariat digunakan untuk mengkaji hubungan
antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat, yaitu a)
hubungan antara status gizi dengan perasaan kelelahan kerja, b) hubungan
antara masa kerja dengan perasaan kelelahan kerja, c) hubungan antara usia
dengan perasaan kelelahan kerja, d) hubungan antara kebiasaan merokok
dengan perasaan kelelahan kerja. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah ada
hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat perlu
dilakukan pengujian dengan menggunakan uji pearson product moment.
Tingkat kesalahan adalah 5% (0,05), jika diperoleh hasil p < 0,05 maka Ho
ditolak yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kedua variabel
tersebut (Sugiyono dalam Indah, 2011).
3. Analisis Multivariat
62. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui variabel-
variabel bebas mana yang benar-benar memiliki hubungan dengan variabel
terikat dengan cara menghubungkan beberapa variabel bebas dengan satu
variabel terikat secara bersama-sama (Hastono dalam Trisnawati, 2010).
Analisis multivariat dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier
ganda yang menghubungkan variabel bebas (status gizi, masa kerja, usia, dan
kebiasaan merokok) dengan variabel terikat (kelelahan kerja) sehingga dapat
35

diperoleh variabel manakah yang paling dominan atau benar-benar memiliki


hubungan dengan variabel terikat (Yasril & Kasjono, 2009).
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90. DAFTAR PUSTAKA
91.
92. Adriani, M. & Wirjatmadi, B. (2012) Pengantar gizi masyarakat. Jakarta :
Kencana.
93. Agung, I.G. (2008) Pengaruh perbaikan gizi kesehatan terhadap
produktivitas kerja. Jurnal Piramida, 4 (1) Juli, 73-87.
94. Ahirawati & Astuti, D. (2009) Hubungan masa kerja dengan kandungan
karboksihemoglobin (COHb) dalam darah polisi lalulintas di Jalan Slamet
Riyadi Surakarta. Jurnal Kedokteran Indonesia, 1 (1) Januari, 76-82.
95. Azhar, N.P.N. (2012) Hubungan antara kebiasaan makan pagi dan status
gizi dengan kelelahan kerja pada karyawan sekolah Sugar Group
Lampung. Skripsi, Universitas Gadjah Mada.
36

96. Budiharto. (2008) Metodologi penelitian kesehatan dengan contoh bidang


ilmu kesehatan gigi. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.
97. Cakrawati, D. & Mustika. (2012) Bahan pangan, gizi, dan kesehatan.
Bandung : Alfabeta.
98. Chandra, B. (2009) Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
99. Department of Labour. (2007) Managing shift work to minimise workplace
fatigue. Wellington : The Department of Labour.
100. De Vries, J., Michielsen, H.J., Van Heck, G.L. (2003) Assessment of
fatigue among working people: a comparison of six questionnaires.
Journal of Occupational and Environmental Medicine, 60 (1) June, 10-15.
101. Gumilar, I. (2007) Modul Praktikum Metode Riset untuk Bisnis &
Manajemen. Bandung: Universitas Widyatama. Tersedia dalam:
<books.google.co.id> [diakses 28 mei 2014].
102. Hadiyani, M.I. (2013) Komitmen organisasi ditinjau dari masa kerja
karyawan. Jurnal Psikologi, 1 (1) Juli, 159-173.
103. Hallowell, M.R. (2010) Worker Safety. Worker fatigue. Managing
concerns in rapid renewal highway construction projects. The American
Society of Safety Engineers. Tersedia dalam:
<www.asse.org/professionalsafety> [diunduh 10 januari 2014].
104. Hendrayati, Rowa, S.S., Mappeboki, Hj. S. (2009) Gambaran asupan zat
gizi, status gizi dan produktivitas karyawan CV. Sinar Matahari Sejahtera
di Kota Makassar. Jurnal Media Gizi Pangan, 7 (1), 35-40.
105. Indah, M, F. (2011) Hubungan faktor individu dengan perasaan kelelahan
kerja dan waktu reaksi pengemudi mobil tangki di PT. X tahun 2011. Tesis,
Universitas Gadjah Mada.
106. Iqbal, M. (2009) Hubungan antara shift kerja, umur, dan masa kerja
dengan stres kerja pada penjaga jalan perlintasan kereta api di
Yogyakarta. Tesis, Universitas Gadjah Mada.
107. Isgiyanto, A. (2009) Teknik pengambilan sampel pada penelitian non-
eksperimental. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press.
108. Koesyanto, H. (2008) Hubungan antara beban kerja dengan kelelahan
kerja mengajar pada guru sekolah dasar se-Kecamatan Semarang Barat
tahun ajaran 2006/2007. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3 (2) Januari, 115-
125.
37

109. Kodrat, K.F. (2009) Pengaruh shift kerja terhadap kemungkinan terhadap
terjadinya kelelahan pada pekerja pabrik kelapa sawit PT. X Labuhan
Batu. Tesis, Universitas Sumatera Utara.
110. Krupp, L.B. (2014) Living well with MS: Managing Fatigue. Multiple
Sclerosis Society of Canada. Teva Neuroscience. Tersedia dalam:
<mssociety.ca/en/pdf/livingWell.pdf> [diunduh 10 januari 2014].
111. Kurniawidjaja, L.M. (2011) Teori dan aplikasi kesehatan kerja. Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia.
112. Matondang, Z. (2009) Validitas dan reliabilitas suatu instrumen penelitian.
Jurnal Tabularasa PPS UNIMED, 6 (1), 87-97.
113. Mauludi, M.N. (2010) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan
pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD (Paper Bag
Division) PT. Indocement Tunggal Prakarsa TBK Citeureup-Bogor.
Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
114. Mutiah, A. (2013) Analisis tingkat Musculoskeletal Disorders (MSDs)
dengan Brief Survey dan karakteristik individu terhadap keluhan MSDs
pembuat wajan di Desa Cepogo Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2
(2) April.
115.
116. Nasution, I.K. (2007) Perilaku merokok pada remaja. Makalah penelitian,
Universitas Sumatera Utara.
117.
118. Nurmianto, E. (2008) Ergonomi, konsep dasar dan aplikasinya. Edisi
Kedua. Cetakan Kedua. Surabaya : Penerbit Guna Widya.
119. Pratiwi, A.D. (2010) Masa kerja, status gizi, tempat kerja, fungsi paru dan
kelelahan kerja pada pekerja di stasiun gilingan pabrik gula Madukismo
PT. Madu Baru. Tesis, Universitas Gadjah Mada.
120. Rantung, N.A. (2009) Hubungan antara lama kerja, shift kerja, dan status
gizi dengan kelelahan kerja karyawan laboratorium klinik (kajian pada
karyawan laboratorium klinik Prodia cabang Manado). Tesis, Universitas
Gadjah Mada.
121. Ratnawati, I. (2011) Pengaruh kecukupan gizi bagi pekerja [ Internet ],
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Gizi
dan KIA. Tersedia dalam : < www.gizikia.depkes.go.id > [ diakses 25 mei
2013].
122. Russeng, S.S. (2009) Status gizi dan kelelahan kerja (Kajian pada
pengemudi bus malam di Sulawesi Selatan dan Barat). Disertasi,
Universitas Hasanuddin.
38

123. Saito, K. (1999) Measurement of fatigue in industries. Industrial Health,


(37) January, 134-142.
124. Setyawati, L. (2010) Selintas tentang kelelahan kerja. Yogyakarta : Amara
Books.
125. Setyawati, L.M., & Widodo, I.J. (2008) Faktor dan penjadualan shift kerja.
Jurnal Teknoin, 13 (2) Desember, 18-22.
126. Siahaan, R.F. (2010) Pengaruh karakteristik individu dan kepuasan kerja
terhadap komitmen organisasi pada PT. Angkasa Pura II Bandar Udara
Polonia Medan. Tesis, Universitas Sumatera Utara.
127. Sjarifah, I., Qadrijati, I., Ismayenti, L. (2012) Hubungan antara kadar
Haemoglobin (Hb) dengan kelelahan kerja dan produktivitas pada pekerja
Batik Tulis di Surakarta. Artikel Penelitian, Universitas Sebelas Maret.
Tersedia dalam: <lppm.mipa.uns.ac.id> [diunduh 10 januari 2014].
128. Subur, I. M. (2007) Hubungan antara penggunaan alat semprot, masa
kerja, dan lama kerja terhadap perasaan kelelahan kerja pada petani
penyemprot tanaman. Tesis, Universitas Gadjah Mada.
129. Sumamur. (1989) Ergonomi untuk produktivitas kerja. Jakarta : Haji
Masagung.
130. Sumamur. (1996) Higiene perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta : PT.
Toko Gunung Agung.
131. Sumantri, A. (2011) Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Kencana.
132. Supariasa, I.D., Bakri, B., Fajar, I. (2012) Penilaian status gizi. Jakarta :
Penerbit buku kedokteran EGC.
133. Susetyo. (2012) Pengaruh shift kerja terhadap kelelahan karyawan dengan
metode Bourdon Wiersma dan 30 items of rating scale. Jurnal Teknologi, 5
(1) Juni, 32-39.
134. Swaen, G., van Amelsvoort, L., Bltman, U., Kant, IJ., (2003) Fatigue is a
risk factor for being injured in an occupational accident: results from the
Maastricht Cohort Study. Journal of Occupational and Environmental
Medicine, 60 (1) June, 88-92.
135. Trisnawati, E. (2010) Kualitas tidur, status gizi dan kelelahan kerja pada
pekerja wanita industri tekstil. Tesis, Universitas Gadjah Mada.
136. Triyunita, N. (2013) Hubungan beban kerja fisik, kebisingan dan faktor
individu dengan kelelahan pekerja bagian weaving PT. X Batang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 2 (2) April.
39

137. Tungdim, M.G., & Kapoor A.K. (2010) Nutritional status and chronic
disease among the adult tribal population of Northeast India. The Open
Anthropology Journal, 3, 188-191.
138. Williams, C., & Ratel, S. (2009) Human Muscle Fatigue. New York :
Routledge.
139. Yasril & Kasjono, H.S. (2009) Analisis Multivariat untuk Penelitian
Kesehatan. Yogyakarta : MITRA CENDEKIA press.
140. Yuniastuti, A. (2008) Gizi dan kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
141.
142.
143.
144.
145.
146.
147.
148.
149.
150.
151.
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158. LAMPIRAN 1. INFORMED CONSENT

159.
160. PROGRAM STUDI ILMU KESELAMATAN DAN KESEHATAN
KERJA
161. PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
162. YOGYAKARTA TAHUN 2018
163.
164. PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
165. Perihal : Surat Pengantar Permohonan Menjadi Responden
Penelitian
166.

167. Dengan Hormat,

168. Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan dengan judul


Hubungan antara status gizi, masa kerja, usia, dan kebiasaan merokok dengan
perasaan kelelahan pada tenaga kerja lapangan PT. Rofenty Karsa Tama, maka
40

dengan kerendahan hati peneliti mohon kesediaan Bapak untuk ikut serta sebagai
responden dalam kegiatan penelitian ini.

169. Penelitian ini dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan


semata dalam penyusunan Tesis dan bukan untuk kepentingan organisasi tertentu
ataupun kepentingan pribadi. Penelitian ini tidak akan dipublikasikan oleh
peneliti dalam bentuk apapun. Kerahasiaan data yang Bapak berikan dijamin oleh
peneliti, dan penelitian ini juga tidak akan merugikan atau mempengaruhi karir
dan pekerjaan Bapak nantinya.

170. Kegiatan penelitian yang akan dilakukan meliputi pengukuran


berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan juga melakukan pengisian
lembar isian data serta kuesioner perasaan kelelahan. Peneliti berharap Bapak
bersedia untuk ikut serta sebagai responden dalam penelitian ini, dan untuk
kesedian yang Bapak berikan peneliti ucapkan terima kasih.

171.

172.

173.
174. Hormat
Peneliti,

175.

176. Taufik
Abdullah

177.

178.

179.
180.
181. PROGRAM STUDI ILMU KESELAMATAN DAN KESEHATAN
KERJA
182. PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
183. YOGYAKARTA TAHUN 2018
184.
185. LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
186.

187. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian dengan Judul


Hubungan antara Status Gizi, Masa Kerja, Usia, dan Kebiasaan Merokok
dengan Perasaan Kelelahan Pada Tenaga Kerja Lapangan PT. Rofenty Kars
Tama

188.

189. PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN


41

190. Setelah mendengar penjelasan mengenai penelitian yang akan


dilakukan oleh Ttaufik Abdullah, Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, dengan rasa penuh kesadaran
dan keikhlasan saya bersedia untuk ikut serta sebagai responden dalam penelitian
ini. Demikian surat pernyataan dan persetujuan ini ditandatangani tanpa ada
paksaan dari pihak manapun, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

191.

192. Peneliti Responden

193.

194. Taufik Abdullah


()

195.

196.

197.

198.

199.

200.

201.

202.

203.

204.

205. LAMPIRAN II

206. LEMBAR ISIAN DATA

207.

208. Tanggal Pengisian :

209. Peneliti : Taufik Abdullah

210. Petunjuk Pengisian :


42

211. Lingkari pilihan jawaban dan isilah titik-titik dibawah ini sesuai
dengan pertanyaan yang diberikan !

212. Nama :

213. Umur : Tahun

214. Masa Kerja : Tahun

215. Tinggi Badan : . cm

216. Berat Badan : . kg

1. Apakah bapak mempunyai kebiasaan merokok ?


a) Ya b) Tidak
217. *Apabila Ya, berapa batang yang bapak habiskan dalam
sehari ? batang
2. Apakah bapak memiliki riwayat penyakit seperti penyakit jantung,
hipertensi, gangguan ginjal, diabetes, asma ? a) Ya
b) Tidak
218. dan lain-lain, sebutkan :

219.

3. Apakah bapak sedang dalam kondisi sakit atau masih dalam masa
pengobatan ?
220. a). Ya b). Tidak
4. Apakah bapak masih dalam tahap penyembuhan atau baru sembuh dari
sakit ?
221. a). Ya b). Tidak
222. *Jika Ya, sudah berapa lama bapak sembuh dari sakit :
223. a). < 1 Minggu b). 1 minggu
5. Berapa kali bapak makan dalam sehari ? . Kali
6. Pada saat istirahat makan siang, apakah makan siang yang bapak
konsumsi :
a) Disediakan oleh perusahaan
b) Beli sendiri
c) Makan siang di rumah
7. Makanan apa yang biasa bapak konsumsi saat makan siang ?
224.


225. *Contoh : Nasi, Ikan, Ayam, Tahu, Tempe, Sayur, Buah,
dan lain sebagainya*
226.
227.
43

228.
229.
230.
231.
232.
233.
234.
235.
236.
237.
238.
239.
240.
241.
242.
243.
244.
245.
246.
247.
248.
249.
250.
251.
252.
253.
254.
255.
256.
257.
258.
259.
260.
261.
262.
263. LAMPIRAN III

264. ALAT UKUR PERASAAN KELELAHAN KERJA

265. *Sumber KAUPK2 dan Skala Kelelahan IFRC : Setyawati


(2010) & Saito (1999)*
266.

267. Lingkarilah jawaban sesuai dengan apa yang anda rasakan selama
bekerja di tempat kerja anda. Jawaban yang anda berikan tidak akan dinilai
44

dan tidak akan dipublikasikan dalam bentuk apapun, hanya sebagai bahan
untuk melakukan penelitian.

268. *Keterangan: Setelah bekerja maksudnya adalah setelah 8 jam kerja


dalam satu hari*

269. Pertanyaan-pertanyaan :

1. Apakah setelah bekerja bapak menjadi sulit untuk mengontrol sikap (merasa
cepat marah, cepat tersinggung) ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
2. Apakah bapak merasa lelah ataupun malas untuk berbicara setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
3. Apakah bapak merasa mengantuk setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
4. Apakah bapak merasa sulit untuk berkonsentrasi dalam mengerjakan sesuatu
setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
5. Apakah setelah bekerja bapak merasa berat pada mata, perih pada mata, berair
dan penglihatan menjadi kabur ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
6. Apakah bapak cenderung lupa akan sesuatu setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
7. Apakah bapak merasa ingin terjatuh atau tidak stabil ketika berdiri setelah
bekerja?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
8. Apakah bapak cenderung terburu-buru dalam melakukan sesuatu setelah
bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
45

c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)


d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
9. Apakah bapak merasa cemas akan hal yang berkaitan dengan pekerjaan atau
diluar pekerjaan setelah bekerja? (cemas tersebut muncul secara tiba-tiba
tanpa ada alasan yang kuat)
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
10. Apakah bapak merasa ingin berbaring setelah bekerja?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
11. Apakah bapak merasa kaku dibagian bahu setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
12. Apakah bapak merasa sulit untuk bernapas atau sesak napas setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
13. Apakah setelah bekerja bapak merasa kaku dan canggung atau lamban dalam
bergerak ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
14. Apakah kaki bapak terasa berat sehingga bapak merasa tidak mampu lagi
untuk berjalan setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
15. Apakah bapak merasa pusing setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
16. Apakah bapak merasa gemetar pada bagian tubuh tertentu setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)
17. Apakah bapak merasa nyeri dibagian pinggang setelah bekerja ?
a. Ya, sangat sering ( jika tiap hari terasa dalam seminggu)
b. Ya, sering ( jika 3-4 hari terasa dalam seminggu)
c. Ya, kadang-kadang ( jika 1-2 hari terasa dalam seminggu)
46

d. Tidak pernah ( jika tidak pernah terasa)


270.

Anda mungkin juga menyukai