Anda di halaman 1dari 8

PROMOTOR : Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat

Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia


Vol. 6, No. 4, Agustus 2023, pp. 370~377
ISSN: 2654-8127, DOI: 10.32832/pro 402
http://ejournal2.uika-bogor.ac.id/index.php/PROMOTOR

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja


pada Pekerja Pembuat Bolu Talas Kujang di Home Industry
Kelurahan Bubulak Tahun 2022

Nur Santriyana 1, Eny Dwimawati 2, Rahma Listyandini 3


Universitas Ibn Khaldun, Indonesia

Article Info ABSTRAK


Article history: Kelelahan kerja merupakan perasaan lelah yang bermacam dikeluhkan dengan
ditandai penurunan aktivitas dan motivasi sehingga dapat mempengaruhi
Received Juni 4, 2023 tubuh hingga tidak dapat kembali bekerja. Tujuan penelitian ini untuk
Revised Juli 12, 2023 mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada
Accepted Agustus 3, 2023 pekerja pembuat Bolu Talas kujang di Home Industry Kelurahan Bubulak
Tahun 2022. Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik kuantitatif yang
menggunakan pendekatan desain cross sectional bertujuan untuk melihat
Kata Kunci: hubungan antara variabel dependen (kelelahan kerja) dengan variabel
independen (usia, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, waktu kerja dan beban
Kelelahan Kerja kerja). Teknik pengambilan sampel diperoleh secara total sampling atau
Masa Kerja sampling jenuh dari jumlah sampel sebanyak 43 pekerja pembuat bolu talas
Usia kujang. Analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat
dengan menggunakan uji chi-square. Instrument penelitian yang digunakan
untuk varaibel kelelahan yaitu Subjektive Self ranting test dari industrial
fatigue research committee (IFRC). Hasil penelitian menunjukan Usia (p-
value= 0,000), Jenis Kelamin (p-value= 0,680), Masa Kerja (p-value= 0,014),
Status Gizi (p-value= 0,074), Waktu Kerja (p-value= 1,000), Beban Kerja (p-
value= 0,064) dengan kelelahan kerja. Terdapat hubungan (usia dan masa
kerja) dengan kelelahan kerja) dan tidak terdapat hubungan jenis kelamin,
status gizi, waktu kerja dan beban kerja dengan kelelahan kerja. Maka dari itu
pekerja disaranakan untuk melakukan peregangan minimal 5 menit disela-sela
pekerjaan untuk menginghindari risiko kelelahan berat serta para pekerja agar
rutin meminum air putih saat bekerja untuk mengindari terjadinya dehidrasi.
This is an open access article under the CC BY-SA license.

Corresponding Author:
Nur Santriyana
Universitas Ibn Khaldun
Email: nursantriyana@gmail.com

PENDAHULUAN
Kelelahan adalah mekanisme perlindungan untuk mengaktifkan tubuh untuk menghindari kerusakan
lebih lanjut, dan pemulihan dapat terjadi setelah istirahat (Tarwaka, 2014). Kelelahan kerja dapat ditandai
dengan melemahnya tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaan atau aktivitas, hingga meningkatnya
kesalahan dalam melakukan pekerjaan dan berakibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja. Kelelahan
mampu menurunkan daya tampung kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh sensasi lelah, lambat dalam
reaksi, kesulitan menentukan keputusan, dan motivasi yang menurun. Tingkat kelelahan yang tinggi
menghalangi pekerja untuk bekerja, dan jika tetap dipaksa bekerja, kelelahan dapat meningkat dan

Journal homepage: http://ejournal2.uika-bogor.ac.id/index.php/PROMOTOR


403
ISSN: 2654-8127

mengganggu kelancaran pekerjaan serta berdampak negatif bagi kesehatan pekerja. Hal itu dapat menurunkan
kinerja hingga menimbulkan tingkat pada kesalahan kerja yang mana memberikan peluang terjadinya
kecelakaan kerja dalam dunia industri. (Santoso, 2014; Suma’mur, 2014).
Bidang industry atau usaha dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu usaha formal dan usaha informal.
Sektor bisnis formal adalah pekerjaan terstruktur dan terorganisir, terdaftar secara resmi dalam statistik
ekonomi, dan Kondisi kerja dipayungi oleh hukum. Pada saat yang sama, sektor bisnis informal adalah kegiatan
usaha yang biasanya sederhana dalam skala komersial relatif kecil, umumnya tidak memiliki izin usaha, dapat
bekerja di industri ini sektor informal lebih mudah daripada sektor formal, tingkat pendapatan di sektor
informal umumnya lebih rendah, dan koneksi sektor informal ke dunia usaha lainnya sangat kecil. Usaha di
sektor informal sangat kecil dan sangat beragam (Effendi, 1993). Di sektor informal, implementasi K3 masih
belum terlaksana karena kurangnya dukungan hukum untuk Perkembangan sektor informal serta kurangnya
kesadaran K3 dan kolaborasi lintas sektor yang terkait dengan sektor informal (L. Setyawati, 2007).
Kelelahan yang terjadi disektor informal dapat dilihat dari hasil penelitian terdahulu yang mana sampel
penelitian mengalami kelelahan kerja dengan tingkat yang berbeda. Ada pekerja mebel informal yang
pekerjanya sedikit mengalami kelelahan, sedangkan beberapa penelitian menunjukan banyak pekerja yang
mengalami kelelahan. Hal tersebut menjadikan sektor informal memiliki potensi besar terjadinya kelelahan
karena tergolong fleksibel, tidak terlalu banyak aturan dan kurang diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan
kelelahan bagi pekerja.
Menurut data World Health Organization (WHO,2018) dalam model kesehatan yang dibuat sampai
tahun 2020 terjadinya gangguan psikis berupa perasaan lelah yang berat dan berujung pada depresi akan
menjadi penyakit pembunuh nomer dua setelah penyakit jantung. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
kementerian tenaga kerja jepang terhadap 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara
tersebut yang dipilih secara acak memperlihatkan bahwa 65% pekerja mengeluh kelelahan fisik akibat dari
kerja rutin, 28% mengeluh kelelahan mental dan 7% pekerja mengeluh stress berat dan merasa tersisihkan.
Di Indonesia berdasarkan data Kementrian tenaga kerja dan trasmigrasi menyatakan bahwa setiap hari
rata-rata terjadi 414 kecelakaan kerja, 27,8% disebabkan kelelahan kerja yang cukup tinggi. Kurang lebih 9,5%
atau 39 orang mengalami cacat. Di Indonesia rata-rata pertahun memiliki 99.000 kasus kecelakaan kerja. Dari
total tersebut sekitar 70% berakibat fatal yakni kematian dan cacat seumur hidup (Mentri Tenaga Kerja, 2013).
Data tersebut dapat disimpulkan berdasarkan penelitian terdahulu menurut Grandjen (2000) dalam Tarwaka
(2010) Kelelahan kerja pada umumnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor internal yaitu jenis
kelamin, umur, dan status gizi. Adapun faktor eksternal yaitu masa kerja, shift kerja, dan lama kerja. Pendapat
lain menambahkan kelelahan kerja juga berkaitan dengan sifat pekerjaan yang kurang bervariasi (monoton),
kelelahan kerja mental dan fisik yang tinggi, intensi kerja, kondisi lingkungan kerja (pencahayaan, kebisingan,
cuasa kerja dan radiasi), status gizi, sebab mental, beban kerja dan status kesehatan (Suma’mur, 2009).
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas dan melihat dari data kelelahan kerja terhadap pekerja
di dunia dan Indonesia hasilnya cukup tinggi sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja Pada Pekerja Pembuat Bolu Talas Kujang
Di Home Industry Kelurahan Bubulak Tahun 2022” dengan bertujuan dapat dilakukan pencegahan serta
mampu meningkatkan produktivitas pekerja.

METODE
Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2022 sampai bulan Mei 2022. Menggunakan desain
penelitian analitik kuantitatif dengan pendekatan Cross Sectional dengan populasi seluruh pekerja pembuat
Bolu Talas Kujang di Home Industry Kelurahan Bubulak Tahun 2022 yang berjumlah 43 orang dan
menggunakan teknik Total Sampling. Selanjutnya dianalisis menggunakan uji Chi-Square. Intrumen yang
digunakan untuk mengetahui variabel kelelahan menggunakan instrumen Subjektive Self ranting test dari
industrial fatigue research committee (IFRC), untuk variabel beban kerja menggunakan instrumen perhitungan
laju metabolik dari acuan Permenkes No. 70 Tahun 2016, untuk variabel status gizi menggunakan perhitungan
Indeks Massa Tubuh (IMT) dari Depkes 2014.
404
PROMOTOR : Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat ISSN: 2654-8127

HASIL
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 65,1% responden mengalami kelelahan, 76,7%
responden berusia >25 tahun, 83,7% responden berjenis kelamin perempuan, 81,4% responden dengan masa
kerja >2 tahun, 72,1% responden memiliki status gizi tidak ideal, 97,7% responden memiliki >8 jam waktu
kerja dan 55,8% responden memiliki beban kerja berat.

Tabel 1. Gambaran Kelelahan Kerja, Usia, Jenis Kelamin, Masa Kerja, Status Gizi, Waktu Kerja dan
Beban Kerja

Variabel Jumlah %
Kelelahan Kerja
Mengalami Kelelahan 28 65,1%
Tidak Mengalami Kelelahan 15 34,9%
Usia
>25 Tahun 33 76,7%
≤25 Tahun 10 32,3%
Jenis Kelamin
Perempuan 36 83,7%
Laki-laki 7 16,3%
Masa Kerja
>2 Tahun 35 81,4%
≤2 Tahun 8 18,6%
Status Gizi
Tidak Ideal 31 72,1%
Ideal 12 27,9%
Waktu Kerja
>8 Jam 42 97,7%
≤8 Jam 1 2,3%
Beban Kerja
Berat 24 55,8%
Ringan 19 44,2%

Hasil analisis bivariat diketahui dua variabel terdapat hubungan yang signifikan antara variabel
independen dan dependen yaitu sebagai berikut. (Usia p-value = 0,000) dan (Masa Kerja p-value = 0,014)
dengan kelelahan kerja, selain itu terdapat empat variabel yang tidak ada hubungan yang signifikan antara
variabel independen dan dependen yaitu, (Jenis Kelamin p-value = 0,680), (Status Gizi p-value = 0,074),
(Waktu Kerja p-value = 1,000), dan (Beban Kerja p-value = 0,064) dengan kelelahan kerja pada pekerja
pembuat Bolu Talas Kujang Di Home Industry Kelurahan Bubulak Tahun 2022.

PROMOTOR : Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Vol. 6, No. 4, Agustus 2023: 402-409
405
ISSN: 2654-8127

Tabel 2 Hubungan usia, jenis kelamin, masa kerja, status gizi, waktu kerja dan beban kerja dengan
kelelahan kerja pada pekerja pembuat Bolu Talas Kujang Di Home Industry Kelurahan Bubulak
Tahun 2022

Kelelahan Kerja
Tidak
Faktor-faktor Mengalami OR
Mengalami Jumlah Pvalue
kelelahan kerja Kelelahan (95% CI)
Kelelahan
n % n % n %
Usia
>25 Tahun 27 81,8 6 18,2 33 100
40,50
≤25 Tahun 0,000
1 10,0 9 90,0 10 100 (4.28-383.25)

Jenis Kelamin
Perempuan 24 66,7 12 33,3 36 100 1.50
0,680
Laki-laki 4 57,1 3 42,9 7 100 (0.28-7.80)
Masa Kerja
>2 Tahun 26 74,3 9 25,7 35 100 8,66
0,014
≤2 Tahun 2 25,0 6 75,0 8 100 (1.47-50.91)
Status Gizi
Tidak Ideal 23 74,2 8 25,8 31 100 4.02
0,074
Ideal 5 41,7 7 58,3 12 100 (0.99-16.34)
Waktu Kerja
>8 Jam 27 64,3 15 35,7 42 100 1,000
≤8 Jam 1 100 0 0,0 1 100
Beban Kerja
Berat 19 79,2 5 20,8 24 100 4.22
0,064
Ringan 9 47,4 10 52,6 19 100 (1.11-16.04)

PEMBAHASAN
Usia memiliki hubungan dengan kelelahan yang menjelaskan bahwa kondisi umur berpengaruh
terhadap kemampuan kerja fisik atau kekuatan otot seseorang. Kemampuan fisik maksimal seseorang mencapai
pada usia antara 25-39 tahun dan akan terus menurun seiring dengan bertambahnya usia (Suma’mur dalam
Faiz, 2014). Berdasarkan hasil penelitian ini didapat hubungan yang signifikan dibawah 0,05 antara usia
dengan kelelahan kerja dengan nilai P-Value sebesar 0,000. Usia yang >25 tahun mengalami risiko sebanyak
40,5 kali mengalami kelelahan dibandingkan usia ≤25 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Marif (2013) mengenai Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja Pada
Pekerja Pembuatan Pipa Dan Menara Tambat Lepas Pantai (EPC3) Di Proyek Banyu Urip Pt Rekayasa Industri
Serang-Banten Tahun 2013. Dilihat dari hasil uji statistik, didapatkan P-Value 0,037 yang artinya terdapatnya
hubungan antara usia dengan kelelahan pekerja dapat terjadi karena aktivitas fisik pada pekerjaan yang berumur
lebih tua tidak memiliki perbedaan dengan yang berumur muda.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sari (2019) yang menyatakan bahwa usia tidak
berpengaruh terhadap kelelahan kerja dikarenakan pekerja senior cenderung lebih puas dengan pekerjaanya
karena lebih mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan berdasarkan pengalaman, cenderung lebih stabil
emosinya sehingga secara keseluruhan dapat bekerja dengan terampil dan mantap. Dalam penelitian ini,
terdapat hubungan usia dengan kelelahan kerja yang mana disebabkan oleh peningkatan usia dengan kategori
tua akan mempengaruhi fungsi kekutan otot yang semakin menurun sehingga akan lebih cepat terjadinya
kelelahan kerja. Usia seseorang dapat mempengaruhi aktivitas tubuh pada saat kondisi dan kapasitas sedang
dilakukan. Seseorang yang berkategori muda akan mampu mengerjakan pekerjaan yang berat atau sebaliknya
406
PROMOTOR : Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat ISSN: 2654-8127

jika seseorang bertambah usia maka kemampuan pekerjaaannya akan menurun maka hal ini akan menyebabkan
pekerja semakin mudah mengalami kelelahan.
Jenis kelamin terbagi menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan. Secara umum perempuan hanya
mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari kemampuan fisik atau kekuatan otot laki-laki tetapi dalam hal tertentu
wanita lebih teliti daripada laki-laki (Suma’mur, 1994). Berdasarkan hasil penelitian ini didapat tidak ada
hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kelelahan kerja dengan nilai P-Value sebesar 0,680.
Dari hasil observasi lapangan, pekerja pembuat bolu talas lebih dominan perempuan daripada laki-laki, hal
tersebut menunjukan baik laki-laki maupun perempuan mengalami kelelahan, meskipun laki-laki cenderung
lebih kuat secara fisik daripada perempuan. Hanya saja tingkat kelelahannya berbeda. Hal ini karena
perempuan lebih rentan terhadap kelelahan dibandingkan laki-laki, dan meskipun beban kerja mereka kecil,
pekerjaan perempuan cenderung membosankan dan rentan terhadap kelelahan. Pernyataan tersebut dikuatkan
pada teori Tarwaka et al., (2004) bahwa kelelahan kerja fisik perempuan memiliki volume oksigen (VO2)
maksimal 15-30% lebih ringan dibandingkan laki-laki, kondisi itulah yang menyebabkan persentase lemak
tubuh pada wanita tinggi dan kadar hemoglobin darah juga lebih ringan dari laki-laki sehingga membuat
perempuan lebih cenderung cepat mengalami kelelahan dari pada laki-laki.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Perwitasari & Tualeka (2018) mengenai Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja Subyektif Pada Perawat Di RSUD DR. Mohamad Soewandhie
Surabaya. Penelitian ini meunjukan bahwa mayoritas responden yang mengalami kelelahan kerja berjenis
kelamin perempuan dimana sebagian besar mengalami tingkat kelelahan sedang sebanyak 32 orang (44,4%)
dengan memperoleh nilai P-Value 0,572 (0,572 > 0,05). Dalam penelitian tersebut jenis kelamin pekerja tidak
berhubungan dengan kejadian kelelahan kerja. Dikarenakan hubungan ini memiliki arti bahwa banyak faktor
yang mempengaruhi kelelahan dan faktor jenis kelamin bukan merupakan faktor yang berhubungan secara
langsung dengan terjadinya kelelahan.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Sari (2019) yang menyatakan adanya hubungan antara jenis
kelamin dengan kelelahan kerja. jenis kelamin adalah ciri fisik dan biologis yang dimiliki oleh responden yang
berbeda laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin mempengaruhi tingkat kelelahan risiko otot, hal ini terjadi
karena secara fisiologis kemampuan otot wanita lebih rendah dari pada laki-laki dan laki-laki memiliki
kekuatan fisik lebih besar dibanding perempuan (Tarwaka,2011)
Masa kerja sangat erat hubungannya dengan kemampuan beradaptasi pada pekerjaan dan lingkungan
kerjanya. tenaga kerja yang memiliki masa kerja lama dapat menyimpan informasi serta keterampilan yang
banyak. Namun masa kerja yang panjang dapat menyebabkan kelelahan kronis sebagai akumulasi kelelahan
dalam waktu panjang (Amalia & Widajati, 2019; Tarwaka et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian ini didapat
hubungan yang signifikan dibawah 0,05 antara usia dengan kelelahan kerja dengan nilai P-Value sebesar 0,014.
Masa kerja yang >2 tahun mengalami risiko sebanyak 8,7 kali mengalami kelelahan dibandingkan masa kerja
≤ 2 tahun. Berdasarkan hasil observasi lapangan, penelitian tersebut tentang masa kerja, mayoritas responden
sudah melewati masa kerja 2 tahun, lamanya kerja seseorang juga dapat berpengaruh terhadap kelelahan kerja.
Masa kerja 2 tahun merupakan waktu yang lama bagi seorang pekerja untuk menyesuaikan dan beradaptasi
dengan aktivitas sehari-hari di tempat kerja. Dari analisis ini dapat diketahui bahwa semakin lama seseorang
bekerja maka semakin menyesuaikan tubuh terhadap kelelahan. Hal ini karena semakin lama seseorang
bekerja, rasa adaptasi terhadap pekerjaan mempengaruhi seberapa baik tubuhnya melawan kelelahan alami.
Pengalaman kerja juga dapat membedakan dampak kondisi kerja terhadap kemungkinan dampak diri sendiri.
(Manuaba, 1999; Tarwaka et al., 2004; Wahyuningsih, 2019).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wahyuningsih (2019) mengenai Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Terjadinya Kelelahan Kerja Pada Pekerja Meubel Jepara Fajar Murni Di Kota
Rantauprapat Tahun 2017 yang memperoleh nilai P-Value 0,016 (0,016 < 0,05). Dalam penelitian tersebut
terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kelelahan kerja disebabkan oleh proses kerja
dimeubel lebih banyak melakukan aktifitas atau pembebanan fisik, terutama pada proses perakitan dan
penyemprotan. Hal ini diperburuk lagi dengan sikap kerja yang tidak ergomomis dalam bekerja, seperti posisi
tubuh yang tidak alamiah dalam waktu lama dan terus menerus baik posisi berdiri, posisi duduk maupun
membungkus. Pada saat tubuh berada pada posisi statis maka akan terjadi penyumbatan aliran darah dan
mengakibatkan pada bagian tersebut kekuarangn oksigen dan glokosa dari darah. Hal ini apabila terjadi akan
menimbulkan kelelahan (setyowati,2011)
Penelitian ini tidak sejalan dengan Arfan & Firdaus (2020) mengenai Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kelelahan Kerja Pada Pekerja Bagian Produksi Di Pabrik Pengelolahan Kelapa Sawit yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kelelahan kerja
dikarenakan masa kerja hanya menggambarkan berapa lama kerja yang telah dilewati bertahun-tahun.
Status gizi merupakan suatu kondisi kesehatan yang berkaitan dengan penggunaan makanan yang
dikomsumsi oleh tubuh. Status gizi seseorang dapat dilihat dari perhitungan Indeks Masa Tubuh (IMT) (Izza,
2019). Berdasarkan hasil penelitian ini didapat tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan

PROMOTOR : Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Vol. 6, No. 4, Agustus 2023: 402-409
407
ISSN: 2654-8127

kelelahan kerja dengan nilai P-Value sebesar 0,074. Penyebab tidak adanya hubungan antara status gizi dengan
kelelahan adalah mengenai asupan makanan yang diterima pekerja, pekerja dengan kategori status gizi normal
ataupun tidak normal mengalami kelelahan yang sama (Marif, 2013). Menurut Suma’mur (2014) nutrisi kerja
adalah kalori yang dibutuhkan oleh tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan dengan tujuan tingkat kesehatan
tenaga kerja dan tingkat produktivitas.
Dari hasil observasi lapangan, walaupun status gizi tidak berhubungan dengan kelelahan kerja yang
mana disebabkan responden sebagian besar memiliki tipe pekerja yang menggunakan kemampuan fisik dengan
mengangkat dan mendorong. Serta responden memiliki tingkat status gizi tidak ideal atau obesitas. Namun,
tidak semua responden dengan status gizi tidak ideal mengalami kelelahan. Home Industry Bolu Talas telah
menyediakan fasilitas untuk konsumsi makanan yang mana para pekerja akan mendapatkan menu makanan
seperti sayur, nasi, dan lauk-pauk yang diolah berbeda setiap harinya dan untuk air mineral Home Industry
Bolu Talas telah menyediakan air mineral bagi pekerja agar tidak kekurangan cairan dan mencegah akan
terjadinya dehidrasi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Penelitian dari Utama et al., (2021) mengenai Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kelelahan kerja pada pekerja TPA Kota Padang yang menyatakan tidak ada hubungan
antara status gizi dengan kelelahan kerja pada nilai P-Value 0,079 (0,079 > 0,05). Dalam penelitian tersebut
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan dikarenakan status gizi pekerja tidak berbeda jauh dari standar
IMT dan tidak berpengaruh pada produktivitas sehingga ketahanan kerja tetap tercukupi karena nutrisi pekerja
sesuai dengan kecukupan dalam kebutuhan kerja. Berdasarkan penelitian tersebut sesuai dengan penelitian ini
disebabkan terdapatnya kesamaan yang mana asupan responden telah tercukupi dan hal tersebut tidak
berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan penelitian Oentoro
mengenai pengaruh status gizi terhadap kelelahan seseorang yang menunjukan bahwa secara klinis terdapat
hubungan antara status gizi seseorang dengan performa tubuh secara keseluruhan.
Memperpanjang jam kerja di luar kemampuan untuk bekerja berjam-jam sering kali tidak menghasilkan
efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang optimal, yang sering mengakibatkan penurunan kualitas dan hasil
kerja, jam kerja yang panjang dapat menyebabkan kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit, serta kecelakaan
dan ketidakpuasan (Suma’mur, 2014). Berdasarkan hasil penelitian ini didapat tidak ada hubungan yang
signifikan antara waktu kerja dengan kelelahan kerja dengan nilai P-Value sebesar 1,000. Berdasarkan obervasi
lapangan, menunjukan waktu yang homogen yang disebabkan terjadinya kenaikan produksi pada pembuat
Bolu Talas Kujang di Home Industry kelurahan bubulak yang mana tidak adanya variasi pada pengukuran
waktu kerja. Sebagian besar responden dengan durasi lebih dari 8 jam dalam sehari, hal ini dikarenakan para
pekerja harus lembur jika diminta oleh perusahaan, khususnya saat terjadinya peningkatan produksi. Hampir
seluruh responden lebih dari 8 jam dalam sehari. Dari pengamatan lapangan di Home Industry Kelurahan
Bubulak, pada penelitian ini kelelahan kerja lebih banyak dialami oleh pekerja yang bekerja lebih dari 8 jam
dalam sehari. Hasil penelitian ini sejalan dengan Hutahaean (2018) mengenai Hubungan Durasi Kerja Dengan
Tingkat Kelelahan Kerja Pada Pekerja Pabrik Tapioka PT. Hutahaean Kecamatan Laguboti Rahun 2018
memperoleh hasil dengan nilai P-value 1,000 (1,000 > 0,05). Berdasarkan penelitian tersebut menyatakan
bahwa durasi kerja bukan lah faktor utama yang menyebabkan kelelahan kerja, meskipun secara praktik
ditemukan banyak responden yang bekerja melebihi waktu kerja maksimal yang diperbolehkan yang secara
teori seharusnya menjadi faktor penyebab.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Fadel (2014) mengenai Faktor-faktor Yang Berhubungan
Dengan Kelelahan Kerja pada Pengemudi Pengukuran BBM di TBBM PT> Pertamina Parepare yang hasilnya
didapatkan bahwa ada hubungan antara waktu kerja dengan kelelahan kerja dimana hal tersebut dipengaruhi
oleh perpanjangan waktu kerja lebih dari kemampuan biasanya akan disertai penurunan kemampuan tubuh dan
akan cenderung menimbulkan kelelahan, penyakit dan kecelakaan apabila semakin lama bekerja maka semakin
besar pula kemungkinan terjadinya kelelahan kronik.
Beban kerja yang diterima oleh seseorang harus sesuai dan seimbang terhadap kemampuan fisik,
kognitif maupun keterbatasan manusia menerima beban kerja tersebut (Tarwaka et al., 2004). Berdasarkan
hasil penelitian ini didapat tidak ada hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan kelelahan kerja
dengan nilai P-Value sebesar 0,064. Menurut Innah et al., (2021) mengemukakan setiap beban kerja harus
sesuai dengan kemampuan fisik, kemampuan kongnitif, maupun keterbatasan manusia yang menerima beban
kerja tersebut. Berat ringannya beban kerja yang diterima oleh seseorang tenaga kerja dapat digunakan untuk
menentukan berapa lama seorang tenaga kerja dapat melakukan pekerjaannya dengan kemampuan yang
dimiliki. Dimana semakin berat beban kerja, maka akan semakin pendek waktu kerja untuk bekerja tanpa
kelelahan dan gangguan fisiologi.
Dari hasil observasi lapangan, beban kerja responden pembuatan Bolu Talas Kujang tidak ada
hubungannya dengan tingkat kelelahan, yang mana beban kerja yang mereka dapatkan berkategori berat
walaupun sebagain besar mengalami kelelahan dan tidak mengalami kelelahan. Dengan mempertahankan
beban kerja yang normal, responden dapat meminimalisir risiko penyakit tertentu dan meningkatkan
produktivitas responden, Home Industry pembuat Bolu Talas Kujang memberikan waktu istirahat yang cukup
408
PROMOTOR : Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat ISSN: 2654-8127

bagi responden agar mencegah responden mengalami beban berat dan responden tidak terlalu dipaksakan untuk
menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Marbun (2019) beban
kerja tidak selalu menyebabkan pekerja mengalami kelelahan kerja, tergantung bagaimana individu mengelola
waktu dan pekerjaannya agar performa kerja tidak menurun. Lingkungan dan organisasi juga dapat di jadikan
tempat yang nyaman untuk bekerja sehingga mereka dapat bekerja dengan sebaik mungkin.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Asriyani & Karimuna (2017) mengenai Faktor Yang
Berhubungan Dengan Terjadinya Kelelahan Kerja Pada Pekerja PT. Kalla Kakao Industri Tahun 2017 yang
memperoleh nilai P-Value sebesar 0,121 (0,121> 0,05) yang bermakna tidak terdapat hubungan beban kerja
dengan kelelahan kerja. Berdasarkan penelitian tersebut pekerja yang beban kerjanya berat mengalami
kelelahan ringan sebanyak 3 orang dibandingkan dengan kelelahan berat 8 orang, berarti semakin ringan beban
kerja yang dilakukan pekerja maka semakin sedikit juga risiko untuk mengalami tingkat kelelahan kerja dan
tidak berpengaruh beban kerja terhadap kelelahan kerja.
Penelitian ini tidak sejalan dengan teori Suma’mur, dalam Safitri (2017) yang menyatakan bahwa
volume pekerjaan yang dibebani kepada pekerja baik yang bersifat fisik ataupun mental dan menjadi tanggung
jawab. Pekerja terpapar beban karena aktivitas fisik yang mereka lakukan saat bekerja. Pekerja berat
membutuhkan istirahat yang sering dan waktu yang singkat untuk menghindari kelelahan.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukan Frekuensi kelelahan kerja pada pekerja pembuat Bolu Talas Kujang di
Home Industry Kelurahan Bubulak cukup tinggi yaitu 65,1% dan terdapat hubungan karakteristik usia dan
masa kerja dengan kelelahan kerja pada pekerja pembuat Bolu Talas Kujang Di Home Industry Kelurahan
Bubulak Tahun 2022. Dan tidak ada hubungan jenis kelamin, status gizi, waktu kerja dan beban kerja (laju
metabolik) dengan kelelahan kerja pada pekerja pembuat Bolu Talas Kujang Di Home Industry Kelurahan
Bubulak Tahun 2022.
Disarankan kepada pabrik bolu talas untuk meninjau kembali jenis pekerjaan yang sesuai usia pekerja
pabrik, untuk pekerjaan yang berat lebih baik dilakukan oleh usia dibawah 25 tahun atau usia yang lebih muda.
Mengoptimalkan pekerja yang memiliki masa kerja >2 tahun untuk memperbaiki sikap kerja yang tidak
ergonomik serta menyesuaikan beban kerja agar mengurangi terjadinya kelelahan kerja. Menjadwalkan
kegiatan olahraga bersama setiap satu bulan sekali bagi pekerja untuk menjaga kebugaran para pekerja. Dan
bagi responden untuk melakukan peregangan selama 5 menit disela-sela pekerjaan. Memanfaatkan waktu
istirahat yang diberikan oleh pabrik untuk mengurangi kelelahan kerja.

DAFTAR PUSTAKA
[1]. Amalia, I., & widajati, N. (2019). Objective analysis of work fatigue based on reaction timer at rolling mills worker in pt. X.
Journal of health science and prevention.
[2]. Arfan, I., & firdaus, R. (2020). Faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada pekerja bagian produksi di pabrik
pengolahan kelapa sawit. Jurnal ilmu kesehatan masyarakat, 9(04), 232–238. Https://doi.org/10.33221/jikm.v9i04.785
[3]. Asriyani, N., & Karimuna, S. (2017). Faktor yang berhubungan dengan terjadinya kelelahan kerja pada pekerja pt. Kalla kakao
industri tahun 2017. Jurnal ilmiah mahasiswa kesehatan masyarakat unsyiah, 2(6), 198202.
[4]. Hutahaean, c. (2018). Hubungan durasi kerja dengan tingkat kelelahan kerja pada pekerja pabrik tapioka pt. Hutahaean kecamatan
laguboti tahun 2018. Universitas sumatera utara medan, 2.
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/15036/141000475.pdf?sequence=1&isallowed=y
[5]. Innah, M., Alwi, M. K., Gobel, F. A., & Habo, H. (2021). Faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada penjahit pasar
sentral bulukumba. 01(05), 471–481.
[6]. Izza, A. (2019). Analisis hubungan status gizi dan riwayat penyakit dengan kelelahan kerja pada pekerja di pt. X. Journal mtph,
3(2), 164–169.
[7]. Marbun, M. N. . (2019). Program studi s1 kesehatan masyarakat fakultas kesehatan masyarakat. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan gejala gangguan kelelahan mata pada supir bus antar lintas sumatera (als).
[8]. Marif, A. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai
(epc3) di proyek banyu urip pt rekayasa industri, serang-banten. 1–136.
[9]. Perwitasari, D., & Tualeka, A. R. (2018). Faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja subyektif pada perawat di rsud dr.
Mohamad soewandhie surabaya. The indonesian journal of occupational safety and health, 6(3), 362.
https://doi.org/10.20473/ijosh.v6i3.2017.362-370
[10]. Safitri, M. (2017). Hubungan beban kerja dengan kelelahan kerja pada pekerja industri rumah tangga rambak kering desa doplang
kecamatan teras boyolali.
[11]. Santoso, G. (2014). Ergonomi manusia, peralatan dan lingkungan. Prestasi pustaka publisher.
[12]. Sari, W. R. (2019). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada pekerja bagian penyadap karet di pt.perkebunan
nusantara v riau. Universitas islam negeri sumatra utara.
[13]. Suma’mur. (2014). Higiene perusahaan dan keselamatan kerja (hiperkes). Cv. Sagung seto.

PROMOTOR : Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Vol. 6, No. 4, Agustus 2023: 402-409
409
ISSN: 2654-8127

[14]. Tarwaka. (2014). Ergonomi industri; dasar-dasar pengetahuan ergonomi dan aplikasi di tempat kerja. Harapan press.
[15]. Wahyuningsih, S. (2019). Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kelelahan kerja pada pekerja meubel jepara fajar
murni di kota rantauprapat tahun 2017. Program studi s1 kesehatan masyarakat fakultas kesehatan masyarakat universitas
sumatera utara 2019 universitas. http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/24330

Anda mungkin juga menyukai