Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Virus merupakan salah satu penyebab penyakit menular yang perlu diwaspadai.
Dalam 20 tahun terakhir, beberapa penyakit virus menyebabkan epidemi seperti severe
acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV) pada tahun 2002-2003,
influenza H1N1 pada tahun 2009 dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS-
CoV) yang pertama kali teridentifikasi di Saudi Arabia pada tahun 2012.[1]
Pada tanggal 31 Desember 2019, Tiongkok melaporkan kasus pneumonia
misterius yang tidak diketahui penyebabnya. Dalam 3 hari, pasien dengan kasus
tersebut berjumlah 44 pasien dan terus bertambah hingga saat ini berjumlah jutaan
kasus. Pada awalnya data epidemiologi menunjukkan 66% pasien berkaitan atau
terpajan dengan satu pasar seafood atau live market di Wuhan, Provinsi Hubei
Tiongkok. Sampel isolat dari pasien diteliti dengan hasil menunjukkan adanya infeksi
coronavirus, jenis betacoronavirus tipe baru, diberi nama 2019 novel Coronavirus
(2019-nCoV). Pada tanggal 11 Februari 2020, World Health Organization memberi
nama virus baru tersebut SARS-CoV-2 dan nama penyakitnya sebagai Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19). Virus corona ini menjadi patogen penyebab utama
outbreak penyakit pernapasan. Virus ini adalah virus RNA rantai tunggal (single-
stranded RNA) yang dapat diisolasi dari beberapa jenis hewan, terakhir disinyalir virus
ini berasal dari kelelawar kemudian berpindah ke manusia. Pada mulanya transmisi
virus ini belum dapat ditentukan apakah dapat melalui antara manusia-manusia. Jumlah
kasus terus bertambah seiring dengan waktu. Akhirnya dikonfirmasi bahwa transmisi
pneumonia ini dapat menular dari manusia ke manusia. Pada tanggal 11 Maret 2020,
WHO mengumumkan bahwa COVID-19 menjadi pandemi di dunia. [1]
Kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan pada tanggal 2 Maret 2020
atau sekitar 4 bulan setelah kasus pertama di Cina. Kasus pertama di Indonesia pada
bulan Maret 2020 sebanyak 2 kasus dan setelahnya pada tanggal 6 Maret ditemukan
kembali 2 kasus. Kasus COVID-19 hingga kini terus bertambah. Saat awal
penambahan kasus sebanyak ratusan dan hingga kini penambahan kasus menjadi
ribuan. Pada tanggal 31 Desember 2020 kasus terkonfirmasi 743.196 kasus, meninggal
22.138 kasus, dan sembuh 611.097. Propinsi dengan kasus COVID-19 terbanyak
adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat. [1]
Kasus Covid 19 di Sumatera Utara pertama kali terjadi pada tanggal 18 Maret,
yaitu seorang pria dikonfirmasikan meninggal dunia karena positif terjangkit virus
corona yang dimana sebelumnya ia memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri.[2] .
Sejak diumumkan pertama kali ada di Indonesia, kasus COVID-19 meningkat
jumlahnya dari waktu ke waktu sehingga memerlukan perhatian. Pada prakteknya di
masa pandemi, tatalaksana COVID-19 diperlukan kerjasama semua profesi untuk
menanganinya. Diperlukan panduan tatalaksana yang sederhana dan mudah dimengerti
dan diterapkan oleh semua pihak di seluruh Indonesia. Kita menghadapi virus dengan
tabiat yang belum jelas, semua anjuran yang dituangkan dalam buku ini masih punya
peluang untuk selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan yang ada
sehingga perlu kehati-hatian bila digunakan untuk semua kondisi pasien COVID-19.[1]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

2.1.1 DEFINISI

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang


dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-
perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi
yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang berbahaya.

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya.

2.1.2 EPIDEMIOLOGI

Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus


merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi
mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih
rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris
dari 2484 pria dan 3063 wanita yang berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP 1 berada 2
simpang baku di bawah VEP prediksi, dimana jumlahnya meningkat seiring usia,
khususnya pada perokok. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan
lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas
(Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2%
penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok.
Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika
bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah
tangga merupakan perokok pasif.
Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia.
Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada
tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan
pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga
semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK
sebesar 59.936 vs 59.118 pada wanita vs pria secara berurutan. Di bawah ini di
gambarkan angka kematian pria per 100.000 populasi.

Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya
Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-
sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian
terbanyak di Indonesia.

2.1.3 FAKTOR RISIKO

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang
menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko
tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan.
Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru.
Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin
protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap
rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan
pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru
diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.

Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan


dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas,
status sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.

Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya.

2.1.3.1 Genetik

PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan


genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti
lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor.
Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah
emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi
memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika,
dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.

2.1.3.2 Paparan Partikel Inhalasi

Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama
hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat
berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan
terintegrasi secara langsung terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai
macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu
pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK.
Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif,
bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri
pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati
penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan
perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya
perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain
didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit
saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat.1,16 Shahab dkk
melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan
besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan
merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan
hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita
penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit
paru dan tetap merokok. Status merokok justru didapatkan pada penderita PPOK
sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai
riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita
PPOK yang sedang (7,1%, p<0,02).

Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang


terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun
bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi
dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa
studi populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75
tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS)
sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan
kerusakan yang bermakna pada PPOK. Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa
kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga
akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu,
polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK
menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur
dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada
saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada
fungsi paru.
2.1.3.3 Pertumbuhan Dan Perkembangan Paru
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada
terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi
pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana
pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan
VEP1 pada masa dewasanya.
2.1.3.4 Stres Oksidatif
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami
oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup
baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara
oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru.
Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan
inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK.1
2.1.3.5 Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK.
Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering
terjadi pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara
maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata
hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita
lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan
perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini.
2.1.3.6 Infeksi
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan
dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan
yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga
dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran
nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada
terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan
dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas
40 tahun.
2.1.3.7 Status Sosioekonomi Dan Nutrisi
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik
indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan
erat dengan status sisioekonomi.
2.1.3.8 Komorbiditas
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari
suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease,
bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko
menderita PPOK.

2.1.4 PATOGENESIS & PATOLOGI

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap


rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia
yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa


eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama
eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya
inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan
perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.

Gambar 2.1 Konsep Patogenesis PPOK

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,


metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat
fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,


terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama

- - Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan


terbanyak pada paru bagian bawah

- - Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Gambar 2.2 Perbedaan patogenesis asma dan PPOK


2.1.5 DIAGNOSIS
2.1.5.1 Anamnesis
a. Faktor Risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan
adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat
kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok
perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif,
atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB),
yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600),
dan berat ( >600) (PDPI, 2003).
b. Gejala Klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi
pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan
hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan
gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas.
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat
progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak
napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak
menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD, 2009).

Tabel 2.1 Skala sesak menurut British Medical research Council (MRC)

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan Dengan Aktivitas

1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat

3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit

5 Sesak bila mandi atau berpakaian


2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
 Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing
 Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
 Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
2.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK
dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
b. Radiologi (Foto Toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat,
jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil
pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan
radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya
atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien (GOLD, 2009).
c. Laboratorium Darah Rutin
d. Analisa Gas Darah
e. Mikrobiologi Sputum (PDPI, 2003)
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi
(derajat) PPOK, yaitu (GOLD, 2009):
Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK
Klasifikasi Gejala Klinis Spirometri
-Dengan atau tanpa batuk
-VEP1 ≥ 80% prediksi
-Dengan atau tanpa produksi sputum
PPOK Ringan (nilai normal spirometri)
-Sesak napas derajat sesak 1 sampai
-VEP1/KVP < 70%
derajat sesak 2
-Dengan atau tanpa batuk -VEP1/KVP < 70%
PPOK Sedang -Dengan atau tanpa produksi sputum -50% ≤ VEP1 < 80%
-Sesak napas derajat 3 prediksi
-VEP1/KVP < 70%
-Sesak napas derajat sesak 4 dan 5
PPOK Berat -30% ≤ VEP1 < 50%
-Eksaserbasi lebih sering terjadi
prediksi
PPOK Sangat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 -VEP1/KVP <70%
Berat dengan gagal napas kronik -VEP1 < 30% prediksi,
-Eksaserbasi lebih sering terjadi atau
-Disertai komplikasi kor pulmonale -VEP1 < 50% dengan
atau gagal jantung kanan gagal napas kronik

2.1.6 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK
adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus
dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari
asma.
Adapun tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
2. Obat – obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat
lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih ;
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas ;
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Anti oksidan
e. Mukolitik
f. Anti tusif
3. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik
di otot maupun organ lainnya.
 Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
 Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit
paru lain
5. Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat
adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi
mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan
tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-
tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari
dalam beberapa Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang
secara konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil
ini menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan
frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD,
2009).
2.1.7 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas
akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik
ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO 2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg,
serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak
napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan
kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada
kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG,
hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).
DAFTAR PUSTAKA

[1] Burhan, E, dkk. 2020. Pedoman Tatalaksana PPOK. Jakarta: Penerbit Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI), Penerbit Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Penerbit Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Penerbit Perhimpunan Dokter Anestesiologi
dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

[2] Suqihantono, A, dkk. 2020. Pedoman Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Jakarta: Penerbit Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

[3] Burhan, E, dkk. 2020. PPOK. Jakarta: Penerbit Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI).

Anda mungkin juga menyukai