PENDAHULUAN
1
Sedangkan dari hasil survey yang dilakukan Direktorat PPM dan PL pada
tahun 2004 untuk penyakit yang tidak menular di 5 rumah sakit propinsi
Indonesia yang antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung
dan Sumatera Selatan, PPOK juga menempati urutan pertama (35%), diikuti
dengan asma bronkial (33%) dan kanker paru (30%) serta yang lainnya (2%).
(RISKESDAS, 2013)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. Akibat inflamasi
kronik yang menyebabkan hilangnya hubungan alveoli dan saluran nafas kecil
dan penurunan elastisitas recoil paru. (PDPI, 2016)
3
- Berat : >600
c. 10 Pack Years adalah perhitungan derajat berat merokok
denganmenggunakan rumus sebagai berikut:
Jumlah bungkus rokok yang dihisap per hari x jumlah tahun
2.2.2. Polusi udara
Pajanan udara dari wilayah pekerjaan, termasuk debu organik
dan anorganik dan agen kimia dan asap, merupakan faktor risiko
kurang diperhatikan untuk COPD. Berbagai macam partikel dan gas
yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi penyebab terjadinya
polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek yang
berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar lebih mudah
mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi :
(GOLD, 2016)
Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
4
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum
dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar
ruangan, pemukinan yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain
yang berhibungan dengan status sosial ekonomi seperti peningkatan
daya beli kendaraan dan berkembangnya industri berdapmat pada
peningkatan polusi udara. (PDPI, 2016)
2.2.5. Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama
kehamilan, kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal
penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko untuk terjadinya
PPOK. Studi metaanalias menyatakan bahwa berat lahir
mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.(GOLD, 2016)
2.2.6. Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi
antara gen dengan lingkungan. Faktor resiko genetik yang paling sering
terjadi adalah mutasi gen Serpina-1 yang mengakibatkan kekurangan -
antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin, dimana pada usia muda
dengan penurunan fungs paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan
perokok dengan kekurangan -antitripsin yang berat. (PDPI, 2016)
2.3. Fenotip
Definisi fenotip PPOK secara khusus adalah satu atau
kombinasi beberapa penyakit yang menggambarkan perbedaan antara
individu dengan PPOK karena terkait dengan hasil klinis yang bermakna
(seperti gejala, eksaserbasi, respons terhadap pengobatan, kecepatan
perkembangan dari penyakit, atau kematian). Dengan kata lain fenotip
PPOK harus mempunyai nilai prediktif yang nyata. Oleh karena itu,
fenotip harus mampu mengklasifikasikan pasien menjadi subkelompok
dengan nilai prognostik yang memungkinkan untuk menentukan terapi
yang terbaik untuk mencapai hasil klinis yang lebih baik.Dari berbagai
penelitian yang telah mengidentifikasi fenotip PPOK, terdapat tiga
fenotip utama yang mendasar, yaitu fenotip campuran PPOKasma,
fenotip eksaserbator, dan fenotip emfisema- hiperinflasi.(Hasanah,2013)
5
Pada fenotip campuran PPOK-asma, pemberian kortikosteroid
inhalasi akan memberikan respons klinis yang baik. Pada fenotip
eksaserbator pemberian bronkodilator kerja lama telah terbukti dapat
menurunkan frekuensi eksaserbasi. Ketika eksaserbasi menetap setelah
pengobatan bronkodilator, diindikasikan pemberian antiinflamasi seperti
kortikosteroid inhalasi atau roflumilast, suatu phosphodiesterase
inhibitor. Dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis untuk
menurunkan mikroorganisme patogen potensial untuk mencegah
eksaserbasi. Pasien dengan fenotip emfisema hiperinflasi akan
memperoleh manfaat lebih besar dengan penggunaan terapi
bronkodilator ganda dan juga dengan rehabilitasi pernapasan karena
akan memberi efek yang menguntungkan pada dispnea dan toleransi
latihan. (Hasanah,2013)
6
polos (hipertensi pulmonal)
2.4.2. Patogenesis
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari
respon inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok.
Mekanisme amplifikasi ini bekum dimengerti, kemungkinan disebabkan
faktor genetic. Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon
inflamasi pada pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat
oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase. (PDPI, 2016)
Sel inflamasi pasien ppok ditandai dengan pola tertentu peradangan
yang melibatkan peningkatan jumlah sel CD8+ (sitotoksik) Limfosit Tc1
yang hanya terjadi pada perokok, bersama sel neutrofil, makrofag
melepaskan mediator inflamasi dan enzim yang berinteraksi dengan sel
saluran napas, parenkim dan vaskular paru. (PDPI, 2016)
2.4.3. Patofisiologi
7
Penurunan VEP1 pada PPOK terjadi disebabkan peradangan dan
penyempitan saluran nafas perifer, sementara transfer gas yang
menurun disebabkan kerusakan parenkim yang terjadi pada emfisema.
Keterbatasan aliran udara dan air trapping yang terjadi sesuai dengan
tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara
kecil berkolerasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1 / KVP.
Obstruksi jalan nafas prefer ini menyebabkan udara terperangkap dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas
residual fungsional, khususnya selama latihan, yang terlihat sebagai
dypsnea dan keterbatasan kapasitan latihan. (GOLD, 2016)
Ketidakseimbangan dari pertukaran gas itu akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran
nafas periferal menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi
(VA/Q) disertai gangguan fungsi otot pernafasan, terjadilah retensi
CO2. Hipersekresi mukus, penyebab batuk produktif kronis, tidak
dialami semua pasien dengan PPOK. Hal ini disebabkan metaplasia
mukosa dengan peningkatan jumlah sel-sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi kronik saluran
nafas akibat asap rokok dan agen berbahaya lainnya. Hipertensi
pulmoner ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini
disebabkan vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang
akhirnya menyebabkan trejadinya hiperplasia intima dan kemudian
hipertrofi otot polos / hiperplasia.. (GOLD, 2016)
8
Tabel 2. Indikator Kunci untuk mendiagnosis PPOK
2.5.1. Anamnesis
Pada umumnya pada saat anamnesis ditanyakan hal-hal berikut
ini (PDPI 2016):
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
- Riwayat keluarga yang menderita PPOK
- Riwayat perawatan sebelumnya karena penyait paru
- Penyakit komorbidseperti penyakit jantung, osteoporosis,
muskulokeletal, dan keganasan
9
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
b. Palpasi, pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar dan
fremitus melemah
c. Perkusi, pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
10
Gambar 2. Uji Faal paru dengan spirometer
b. Uji bronkodilator
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil, dengan
menggunakan spirometri dan bila tidak ada spirometri
dapat digunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 4-8
hisapan (dosis 400-800g salbutamol), 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE. Pada
PPOK nilai VEP1 setelah pemberian bronkodilator
dibandingkan dengan nilai awal meningkat kurang dari
12% dan 200 ml. Bila menggunakan peak flow meter
maka peningkatannya < 20%.
2. Laboratorium darah (Hb, HCT, Trombosit, Leukosit dan Analisa
Gas Darah)
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Sela iga melebar
Diafragma melebar
Tear drop heart
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler meningkat (pada 21% kasus)
Gambar 3 . Foto thoraks PPOK
11
2.5.4. Kombinasi penilaian PPOK
Menurut GOLD 2016, penilaian PPOK dilakukan untuk
menentukan tingkat keparahan penyakit, efeknya pada status
kesehatan pasien dan resiko eksaserbasi sehingga dapat dijadikan
pedoman terapi. (GOLD 2016)
Gejala diukur berdasarkan CAT ( COPD Assessment Test
[lampiran 1] ) atau mMRC ( Modified Medical Research Council
Dyspneu score ), kedua pedoman ini memperlihatkan diagnose PPOK
dalam indicator kualitas hidup untuk membantu para klinisi untuk
memilih terapi yang sesuai. Jika mMRC hanya mengevaluasi dampak
jangka pendek dari sesak, CAT mencakup dampak PPOK dalam
kehidupan sehari hari. Kedua pedoman diagnosa ini sekarang
dijadikan standar diagnostik dan juga biasanya dikombinasikan
dengan hasil test spirometry dan resiko eksaserbasi sebagai pedoman
terapi. (Guarascio A. 2013)
Klasifikasi Keparahan Limitasi Airflow pada PPOK
(Berdasarkan Post-bronkodilator FEV1) :
GOLD I Ringan FEV1 80% predicted
GOLD II Sedang 50% FEV1 < 80% predicted
GOLD III Parah 30% FEV1 < 50% predicted
GOLD IV Sangat parah FEV1 < 30% predicted
12
Tabel 3 . mMRC ( Modified Medical Research Council Dyspneu score ).
0 Tidak bermasalah dengan sesak, kecuali dengan latihan berat
1 Sesak napas apabila terburu-buru atau menaiki bukit yang agak tinggi
2 Berjalan pelan atau berhenti sejenak untuk bernapas.
3 Berhenti untuk bernapas setelah berjalan selama 100 meter
4 Sesak bila meninggalkan rumah atau sesak saat berpakaian atau melepaskan
pakaian.
13
- Umumnya terkait dengan infeksi bakteri
- Auskultasi terdengar rhonki kasar
- Foto thoraks / CT-Scan menunjukkan pelebaran dan penebalan bronkus
d. Tuberkulosis
- Onset segala usia
- Foto thoraks menunjukkan infiltrat di paru
- Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
- Prevalens tuberkulosis tinggi didaerah endemik
e. Bronkiolitis obliterans
- Onset pada usia muda, bukan perokok
- Mungkin memiliki riwayat rheumatois arthritis atau pajanan asap
- CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah hipodens
f. Panbronkiolitis difus
- Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok
- Hampir semua menderita sinusistis kronik
- Foto thoraks dan HRCT torkas menunjukkan nodul opak menyebar kecil di
centrilobular dan gambaran hiperinflasi.
Dari semua diagnosis banding di atas, secara klinis yang paling mirip
dengan PPOK adalah asma baik dalam gejala, pemeriksaan fisik dan uji faal
paru. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat faktor-faktor yang membedakan
antara PPOK, asma dan asthma copd overlap syndrome (ACOS):
14
Peningkatan
Jarang Sering Sering
IgE
Eosinofil Jarang Sering sering
2.7.1. Edukasi
Edukasi merupakan hal yang penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
irreversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan antara lain
adalah pengetahuan dasar tentang PPOK, obat-obatan (manfaat dan
efek sampingnya), cara pencegahan perburukan penyakit, berhenti
merokok dan penyesuaian aktivitas. (GOLD 2016)
2.7.2. Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang
paling efektif dalam mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan
memperlambat progresivitas penyakit. Selain berhenti merokok,
penatalaksanaan non farmakologi yang lain adalah rehabilitasi paru,
latihan fisik dan vaksinasi dapat dilihat dalam table berikut (PDPI
2016) :
Tabel 6. Terapi Non Farmakologi pada PPOK
Tergantung pada
Grup pasien PPOK Utama Direkomendasikan
pedoman setempat
Berhenti merokok Semua umur,
Vaksinasi flu &
A (termasuk terapi biasanya anak-
pneumokokus
farmakologi) anak
Berhenti merokok
(termasuk terapi Biasanya tidak Vaksinasi flu &
B-D
farmakologi) & merokok pneumokokus
Rehabilitasi Paru
2.7.3. Obat-obatan
a) Bronkodilator
15
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam terapi inhalasi terutama saat
menggunakan nebulizer, adalh kombinasi jenis obat, bentuk terapi
inhalasi, alat bantu serta pemilihan sumber tenaga dari
nebulisernya.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat kerja lama (long acting). Kombinasi
bronkodilator dari kelas yang berbeda dapat memperbaiki efikasi
dan menurunkan resiko efek samping. Adapun golongan
bronkodilator;
- Golongan antikolinergik, digunakan pada derajat ringan
sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis -2, bentuk inhaler digunakan unttuk
mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis -2, kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
- Golongan xantin, dalam bentuk lepas lambat sebagai
pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. (PDPI 2016)
b) Anti-inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison terutama pada
kelompok C dan D dalam bentuk glukokortikoid, kombinasi
LABACs dan PDE41.
c) Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.
d) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N-asetilsistein.
16
e) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis
kronik dengan sputum yang viscous (misalnya ambroksol,
erdostein).
f) Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.
g) Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien kelompok C atau D yang telah mendapat
inhalasi kortikosteroid namun belum memberikan hasil yang
optimal.
17
long-acting dan PDE4
inhibitor
18
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia,
emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif).(PDPI 2016)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Selain penatalaksanaan tersebut di atas, pasien dengan PPOK juga perlu
diperhatikan nutrisi serta progam rehabilitasinya.
19
f. Meningkatkan kualiti hidup. (PDPI,2016)
20
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% dari nilai dasar. (PDPI,2016)
21
Gagal napas kronik
Tidak ada gagal napas akut pada gagal napas kronik.
Sebagai evaluasi rutin meliputi :
a. Pemberian obat-obatan yang optimal
b. Evaluasi progresifiti penyakit
c. Edukasi
d.
2. Penatalaksanaan rawat inap, Indikasi rawat :
Esaserbasi sedang dan berat
Terdapat komplikasi
Infeksi saluran napas berat
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Gagal jantung kanan
3. Selama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan :
Menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan cara
evaluasi klinis yang tepat dan terapi adekuat
Terapi oksigen dengan cara yang tepat
Obat-obatan maksimal, diberikan dengan drip, intrvena dan nebulizer
Perhatikan keseimbangan asam basa
Nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang
Rehabilitasi awal
Edukasi untuk pasca rawa
4. Penanganan di gawat darurat :
a. Tentukan masalah yang menonjol, misalnya
Infeksi saluran napas
Gangguan keseimbangan asam basa
Gawat napas
b. Triase untuk ke ruang rawat atau ICU
5. Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang dan berat (belum
memerlukan ventilasi mekanik)
a. Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebuliser
b. Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask
c. Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas
d. Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi mekanik
6. Indikasi perawatan ICU
a. Sesak berat setelah penangan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat
b. Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirsi
c. Menetap atau perburukan hipoksemia (PaO2 < 5,3 kPa, 40 mmHg) dan/atau
asidosis respiratorik (pH < 7,25) meskipun dengan suplementasi oksigen dan
ventilasi non invasive.
d. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)
22
e. Hemodinamik tidak stabil dan memerlukan vasopresor
7. Tujuan perawatan ICU
a. Pengawasan dan terapi intemsif
b. Hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik
yang tepat
c. Mencegah kematian
23
Pemberian kortikosteroid sistemik dapat mempercepat pemulihan,
memperbaiki fungsi paru (VEP1) serta kondisi hipoksemia arteri, serta
mengurangi rresiko kambuh, kegagalan terapi dan lama perawatan.
Disarankan pemberian oral prednisone 40mg perhari selama 5 hari. Bila
diberikan secara intravena diberikan metilprednisolon 3 x 30mg perhari
sampai bisa disulih oral.
5. Antioksidan
Pemberian NAC 1200 mg/hari intravena selama 5 hari dapat meningkatkan
perubahan skala klinis dan CRP pada pasien PPOK eksaserbasi. Sedangkan
pada penggunaan erdostein 2 x 300 mg/hari selama 7 hari pada pasien PPOK
eksaserbasi menunjukan hasil, perbaikan klinis yang bermakna dan
menurunkan kebutuhan bronkodilator.
6. Mukolitik
Pada eksaserbasi, mukolitik dapat diberikan
7. Imunomodulator
Pemberian kombinasi Echinacea purpurea 500mg dan vitamin C 50mg serta
mikronutrien (selenium 15 ug dan zinc 10mg) satu kali sehari selama 2
minggu dapat mengurangi gejala eksaserbasi yang disebabkan infeksi saluran
nafas.
8. Nutrisi
Perbaikin nutrisi pada pasien PPOK dapat memperbaiki kekuatan otot dan
pengukuran antropometri sehingga tercapai kualitas hidup dan ketahanan
hidup yang lebih baik.
24
ampisilin, amoksisilin), omisin)
Sefalosporin
Tetrasiklin, Trimetoprim,
sulfametoksasol generasi 2 dan 3
Ketolid
Kelompok -lactam/ -lactamase Florokuinolon -lactam/ -lactamase
B inhibitor (co- (levofloxacin, inhibitor (co-
amoxyclav) moxifloksasin) amoxyclav)
Sefalosporin generasi 2
dan 3
Florokuinolon
(ciprofloxacin,
levofloxacin dosis
tinggi)
Kelompok Pasien dengan resiko Florokuinolon
C infeksi pseudomonas, (ciprofloxacin,
fluorokuinolon levofloxacin dosis
(ciprofloxacin, tinggi)
-lactam dengan
levofloxacin dosis
tinggi) aktivitas P. areuginosa
25
coli, protus, enterobacter)
Kelompok Eksaserbasi Berat
C Dengan factor resiko P.
aeruginosa
26
Penggunaan inhalasi beta-2 agonis kerja singkat tidak lebih dari setiap 4 jam
Kondisi pasien stabil selama 12-24 jam
Pasien (atau yang menangani di rumah) sudah memahami penggunaan terapi
dengan benar
Ada perencanaan observasi lanjutan (kunjungan perawat, pemberian oksigen,
nutrisi)
Pasien, keluarga, tenaga medis cukup yakin bahwa pasien dapat dikelola
dengan baik dirumah. (PDPI,2016)
2.10. Prognosis
Komorbiditas merupakan kelainan atau penyakit kronik lain yang
menyertai suatu penyakit tertentu. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan
salah satu penyakit yang memiliki banyak komorbiditas. Komorbiditas dapat
terjadi pada semua derajat PPOK.(Kulsum,2016)
Kejadian PPOK sering bersamaan dengan penyakit lain sebagai
komorbid yang mempengaruhi prognosis penyakit. Prognosis penyakit PPOK
sangat bergantung dengan ada atau tidaknya penyakit lain sebagai komorbid.
Suatu studi menunjukkan bahwa lebih pasien usia muda dengan PPOK lebih
sering dirawat kembali ke Rumah sakit daripada pasien PPOK usia tua bahkan
setelah pengendalian komorbiditasnya. Temuan ini disebabkan, pasien PPOK
usia muda memiliki keparahan yang lebih. Pasien PPOK yang dapat hidup
untuk usia yang lebih tua mungkin memiliki PPOK yang lebih ringan atau
tingkat yang lebih lambat dari perkembangan penyakit tersebut.
(Simmering,2016)
Bebereapa komorbid tersebut muncul secara independen atau tidak
berhubungan dengan PPOK, sementara beberapa komorbid lain dapat
berhubungan, baik dalam hal faktor resiko, maupun berpengaruh dalam
meningkatkan risiko satu sama lain. Beberapa penyakit komorbid yang dapat
mempengaruhi prognosis PPOK anatara lain seperti penyakit kardiovaskuler,
osteoporosis, kecemasan, kanker paru, infeksi saluran nafas, diabetes mellitus
serta GERD. Penilaian BODE Index (BMI, Obstruksi, Dipsneu, Exercise)
dapat digunakan untuk menilai prognosis. (PDPI,2016)
Pada suatu studi ditemukan orang dengan BMI yang rendah memiliki
resiko yang lebih pada obstrusi jalan nafas dan penyakit vascular perifer namun
27
pada orang dengan BMI yang tinggi memiliki resiko yang lebih pada penyakit
kardiovakular dan inflamsi sistemik.(Divo, Miguel J.2014)
2.11. Komplikasi
PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu
ke waktu. Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel seperti (PDPI 2016):
1. Gagal napas
Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa
PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Pada
keadaan kronis, pasien dengan PPOK sering menunjukkan pernafasan yang
cepat dan dangkal. Ini kemungkinan sebagai kunci mekanisme perlindungan
dalam mencegah kelelahan otot-otot pernafasan. Pada PPOK yang berat
dengan cadangan fungsi yang sangat terbatas, gagal nafas akut pada kondisi
kronis bisa memperburuk keadaan gagal nafas kronis yang sudah ada
sebelumnya. Hal ini dapat terjadi ketika kemunduran akut dari apapun
kelainan awal, sering meningkatkan sumbatan pada saluran nafas selama
proses eksaserbasi akut, yang merupakan beban tambahan pada system
respirasi. Kelainan mekanik yan sudah ada sebelumnya lebih jauh diperburuk
oleh proses pengosongan paru yang tidak komplit, menyebabkan
terperangkapnya udara didalam ruang-ruang paru. Hal ini meningkatkan
tekanan saluran nafas pada akhir respirasi positif intrinsik (PEEPi) yang
memperburuk lebih jauh disfungsi otot pernafasan dan meningkatkan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Gagal napas akut pada gagal napas
kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum
bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. (Widiastika,2014)
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan, menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang,
pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan
menurunya limfosit darah. (PDPI,2016)
3. Hipertensi pulmone, Kor pulmonale dan Gagal jantung kongstif
28
Curah jantung dari ventrikel kanan seperti pula di kiri disesuaikan
dengan preload, kontraktilitas dan afterload. Mwski dinding ventrikel kanan
tipis, namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena
yang meningkat mendadak (seperti saat menarik napas). Peningkatan
afterload akan menyebabkan pembesaran ventrikel kanan yang berlebihan.
Hal ini terjadi karena tahanan di pembuluh darah paru sebagai akibat
kerusakan parenkim paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi
karena hiperinflasi paru akibat PPOK, sebagai akibat kompresi kapiler
alveolar dan pemanjangan pembuluh darah dalam paru. Peningkatan ini juga
dapat terjadi ketika volume paru turun mendadak akibat reseksi paru,
demikian pula pada restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami
kompresi dan perubahan bentuk. Afterload meningkat pada ventrikel kanan
juga dapat ditimbulkan pada vasokonstriksi paru dengan hipoksia atau
asidosis. (Sudoyo,2014)
Perubahan hemodinamik pada PPOK dari normal ke hipertensi
pulmonal, kor pulmonale, dimana terjadi hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan, lalu diikuti oleh gagal jantung kongestif. (Sudoyo,2014)
4. Pneumothoraks.
Penyakit PPOK merupakan salah satu penyebab pneumotorakas
spontan sekunder terjadi akibat kelainan/ penyakit paru yang sudah ada
sebelumnya Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan
alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan
berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan
pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura
parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks.
(Rawal, 2015)
Penyakit paru obstruktif kronik tidak hanya berdampak pada kerusakan paru
semata tapi juga menimbulkan kelainan di luar paru yang akan berkontribusi
terhadap makin beratnya penyakit seperti disfungsi otot dan rangka, penyakit
kardiovaskuler, depresi, berkurangnya toleransi latihan dan buruknya status
kesehatan yang pada akhirnya berhubungan dengan meningkatnya kematian pada
pasien PPOK. (Putri,2016)
29
BAB III
PENUTUP
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara
yang persisten dan umumnya bersifat progresif. Kebiasaan merokok adalah satu-
satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab
lainnya. Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi di saluran nafas
dan paru yang tampak pada penderita PPOK. Respon inflamasi abnormal ini
menyebabkan kerusakan jaringan parenkim dan mengganggu perbaikan normal dan
mekanisme pertahanan dan menyebabkan fibrosis saluran nafas kecil. Gejala dan
tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas
dan tanda inflasi paru. Gejala diukur berdasarkan CAT ( COPD Assessment Test
[lampiran 1] ) atau mMRC ( Modified Medical Research Council Dyspneu score ).
Kedua pedoman diagnosa ini sekarang dijadikan standar diagnostik dan juga
biasanya dikombinasikan dengan hasil test spirometry dan resiko eksaserbasi sebagai
pedoman terapi. Penatalaksanaan PPOK non farmakoligis berupa edukasi dan
berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif.. Sedangkan
30
penatalaksanaan farmakologis berupa bronkodilator dapat berupa Golongan
antikolinergik, agonis -2, xantin, atau Kombinasi antikolinergik dan agonis -2.
Selain bronkodilator diberikan juga antiinflamasi, antioksidan, antibiotic, mukolitik,
antitusif, Phosphodiesterase-4 inhibitor, terapi oksigen dan ventilasi mekanis.
Beberapa penyakit komorbid yang dapat mempengaruhi prognosis PPOK anatara
lain seperti penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, kecemasan, kanker paru, infeksi
saluran nafas, diabetes mellitus serta GERD. . Komplikasi pada PPOK merupakan
bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan tidak sepenuhnya reversibel seperti
gagal napas, infeksi berulang hipertensi pulmoner, kor pulmonale, gagal jantung
kongstif, pneumothoraks.
DAFTAR PUSTAKA
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2016. Global
strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of Health. National Heart, Lung and
Blood Institute
Guarascio A, Ray SM, Finch CK. 2013. The Clinical and Economic Burden of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in the USA. Clinicoecon Outcomes.
USA
Hasanah, Mufidatun, Susanthy Djajalaksana.2013. Fenotip Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Iceu Dimas Kulsum, Faisal Yunus.2016. Sindrom Metabolik pada Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK). Departemen Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUP Persahabatan,.
Jakarta
Jacob E. Simmering, MS Linnea A. Polgreen, PhD,et all.2016. Identifying Patients
With COPD at High Risk of Readmission. Journal of the COPD Foundation.
31
Laura H. Thomsen, MD, PhD1 Saher B. Shaker, MD, PhD.2015. Correlation
Between Emphysema and Lung Function in Healthy Smokers and Smokers
With COPD. Journal of the COPD Foundation.
Miguel J. Divo, MD, Carlos Cabrera, MD,et all. 2014. Comorbidity Distribution,
Clinical Expression and Survival in COPD Patients with Different Body Mass
Index. Journal of the COPD Foundation.
Nanda Aulia Putri, Oea Khairsyaf,dkk.2016. Hubungan Derajat PPOK dan Kejadian
Eksaserbasi pada Penderita PPOK dengan Komponen Sindrom Metabolik.
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Padang.
Perhimpunan Dokter Paru Indinesia (PDPI).2016. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Diagnosis dan Penatalaksanaan. UI press. Jakarta.
Rawal, Gautam, Sankalp Yadav, et all.2015. Secondary Spontaneous Pneumothorax
(SSP) with Bronchopleural Fistula in A Patient with COPD. Journal of Clinical
and Diagnostic Research. Rockland Hospital, Qutab Institutional Area, New
Delhi, India.
Riset Kesehatan Dasar.2013.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Sudoyo, A.W., et al. 2014. Buku ajar penyakit dalam jilid I edisi VI. Jakarta : Interna
Publishing.
Widiastika Made, Dewa Made Artika.2014.Gagal Napas pada Penyakit Paru
Obstruksi Kronis. SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah.
Denpasar.
32