Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), penyebab kematian keempat di


dunia, ini merupakan tantangan yang penting untuk kesehatan masyarakat
supaya dapat dicegah dan diobati. COPD merupakan penyebab utama
morbiditas kronis dan kematian di seluruh dunia, banyak orang menderita
penyakit ini selama bertahun-tahun, dan meninggal usia muda atau mengalami
komplikasi. Secara global, beban COPD diproyeksikan meningkat pada decade
mendatang karena paparan dari faktor risiko PPOK dan penuaan penduduk.
(GOLD, 2016)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan
hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang
diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah
perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di
dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. (PDPI, 2016)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyebab utama
morbiditas dan mortalitas. Pasien dengan PPOK memiliki klinis yang berbeda,
pencitraan, dan fenotipe biologi. Salah satu fenotipe ini adalah acute COPD
exacerbations (AECOPD). Setelah perawatan rumah sakit , 10% sampai 20%
dari pasien COPD kembali dalam waktu 30 hari. Pasien yang diterima kembali
setelah dirawat di rumah sakit COPD berada pada risiko kematian yang lebih
besar dan memiliki hasil terapi yang lebih buruk. Beberapa intervensi telah
diusulkan untuk mengurangi Jumlah pasien yang dirawat kembali ke rumah
sakit . Namun, intervensi ini belum menunjukkan penurunan jumlah mortalitas
dan perawatan kembali ke rumah sakit. Salah satu alasan mungkin
ketidakmampuan untuk mengidentifikasi pasien yang risiko terbesar untuk
perawatan kembali ke rumah sakit dan untuk menargetkan sumber untuk pasien
berisiko tinggi ini. (Simmering,2016)

1
Sedangkan dari hasil survey yang dilakukan Direktorat PPM dan PL pada
tahun 2004 untuk penyakit yang tidak menular di 5 rumah sakit propinsi
Indonesia yang antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung
dan Sumatera Selatan, PPOK juga menempati urutan pertama (35%), diikuti
dengan asma bronkial (33%) dan kanker paru (30%) serta yang lainnya (2%).
(RISKESDAS, 2013)

1.2. Tujuan Penulisan


Makalah ini diselesaikan guna melengkapi tugas review dalam menjalani
Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Penyakit Dalam RST dr.
Soepraoen, selain itu untuk memberikan pengetahuan kepada penulis dan
pembaca mengenai penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi PPOK


Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara yang
persisten dan umumnya bersifat progresif, berhubungan dengan respon
inflamasi kronis yang berlebihan pada saluran napas dan parenkim paru akibat
gas atau partikel bahaya. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK
disebabkan oleh gabungan antara obstruksi bronkiolitis dan kerusakan

2
parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. Akibat inflamasi
kronik yang menyebabkan hilangnya hubungan alveoli dan saluran nafas kecil
dan penurunan elastisitas recoil paru. (PDPI, 2016)

2.2. Faktor Resiko PPOK


Pada dasarnya semua resiko ppok merupakan hasil interaksi lingkungan dan
gen. dua orang dengan riwayat merokok yang sama, hanya satu yang
berkembang menjadi PPOK karena perbedaan presdiposisi genetic untuk
penyakit ini. Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam
pencegahan dan penatalaksanaan PPOK. Beberapa hal yang berkaitan dengan
resiko timbulnya PPOK sampai saat ini dapat disimpulkan sebagai berikut
(PDPI, 2016)
2.2.1. Asap rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap
rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian
dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan VEP1. Perokok adalah
seseorang yang dalam hidupnya pernah menghisap sebanyak 100
batang atau lebih dan saat ini masih merokok. Sedangkan bekas
perokok adalah seseorang yang telah meninggalkan kebiasaan
merokok selama satu tahun. (Thomsen, 2015)
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang
dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok perhari dan
lamanya merokok (Indeks Brinkman). Dalam pencatatan riwayat
merokok perlu diperhatikan (PDPI, 2016) :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun
- Ringan : 0-199
- Sedang : 200-599

3
- Berat : >600
c. 10 Pack Years adalah perhitungan derajat berat merokok
denganmenggunakan rumus sebagai berikut:
Jumlah bungkus rokok yang dihisap per hari x jumlah tahun
2.2.2. Polusi udara
Pajanan udara dari wilayah pekerjaan, termasuk debu organik
dan anorganik dan agen kimia dan asap, merupakan faktor risiko
kurang diperhatikan untuk COPD. Berbagai macam partikel dan gas
yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi penyebab terjadinya
polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek yang
berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar lebih mudah
mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi :
(GOLD, 2016)
Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

2.2.3. Infeksi saluran napas bawah berulang


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam pathogenesis dan
progresivitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan
nafas, berperan secara bermakna menimbulkn eksaserbasi. Infeksi
saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi
paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Seringnya
kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya
hiperreaktivitas bronkus yang merupakan faktor risiko pada PPOK.
Dalam Survey Masyarakat Eropa Respiratory Kesehatan,
hyperresponsiveness bronkial adalah penyebab kedua setelah merokok
sebagai faktor risiko utama untuk COPD, yang bertanggung jawab
untuk 15% dari populasi risiko yang timbul (merokok memiliki
populasi risiko yang timbul dari 39%). (GOLD, 2016)
2.2.4. Sosial ekonomi

4
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum
dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar
ruangan, pemukinan yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain
yang berhibungan dengan status sosial ekonomi seperti peningkatan
daya beli kendaraan dan berkembangnya industri berdapmat pada
peningkatan polusi udara. (PDPI, 2016)
2.2.5. Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama
kehamilan, kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal
penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko untuk terjadinya
PPOK. Studi metaanalias menyatakan bahwa berat lahir
mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.(GOLD, 2016)

2.2.6. Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi
antara gen dengan lingkungan. Faktor resiko genetik yang paling sering
terjadi adalah mutasi gen Serpina-1 yang mengakibatkan kekurangan -
antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin, dimana pada usia muda
dengan penurunan fungs paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan
perokok dengan kekurangan -antitripsin yang berat. (PDPI, 2016)

2.3. Fenotip
Definisi fenotip PPOK secara khusus adalah satu atau
kombinasi beberapa penyakit yang menggambarkan perbedaan antara
individu dengan PPOK karena terkait dengan hasil klinis yang bermakna
(seperti gejala, eksaserbasi, respons terhadap pengobatan, kecepatan
perkembangan dari penyakit, atau kematian). Dengan kata lain fenotip
PPOK harus mempunyai nilai prediktif yang nyata. Oleh karena itu,
fenotip harus mampu mengklasifikasikan pasien menjadi subkelompok
dengan nilai prognostik yang memungkinkan untuk menentukan terapi
yang terbaik untuk mencapai hasil klinis yang lebih baik.Dari berbagai
penelitian yang telah mengidentifikasi fenotip PPOK, terdapat tiga
fenotip utama yang mendasar, yaitu fenotip campuran PPOKasma,
fenotip eksaserbator, dan fenotip emfisema- hiperinflasi.(Hasanah,2013)

5
Pada fenotip campuran PPOK-asma, pemberian kortikosteroid
inhalasi akan memberikan respons klinis yang baik. Pada fenotip
eksaserbator pemberian bronkodilator kerja lama telah terbukti dapat
menurunkan frekuensi eksaserbasi. Ketika eksaserbasi menetap setelah
pengobatan bronkodilator, diindikasikan pemberian antiinflamasi seperti
kortikosteroid inhalasi atau roflumilast, suatu phosphodiesterase
inhibitor. Dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis untuk
menurunkan mikroorganisme patogen potensial untuk mencegah
eksaserbasi. Pasien dengan fenotip emfisema hiperinflasi akan
memperoleh manfaat lebih besar dengan penggunaan terapi
bronkodilator ganda dan juga dengan rehabilitasi pernapasan karena
akan memberi efek yang menguntungkan pada dispnea dan toleransi
latihan. (Hasanah,2013)

2.4. Patologi, Patogenesis dan Patofisiologi PPOK


Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi di saluran
nafas dan paru yang tampak pada penderita PPOK. Respon inflamasi abnormal
ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim (menyebabkan emfisema) dan
mengganggu perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menyebabkan
fibrosis saluran nafas kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan air trapping
dan keterbatasan saluran nafas yang progresif. (GOLD, 2016)
2.4.1. Patologi
Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran
napas, parenkim dan vaskular paru, seperti pada tabel berikut ini;
Tabel 1. Perubahan Patologis pada PPOK (GOLD, 2016)
Saluran nafas prosimal (Trakea, Bronki > 2mm diameter internal)
Perubahan structural : Sel goblet meningkat, pembesaran kelenjar submukosal
( keduanya menyebabkan hipersekresi lendir), metaplasia sel epitel squamosa.
Saluran Nafas Perifer (Bronkiolus diameter < 2mm)
Parenkim Paru (bronkioulus respirasi dan alveoli)
Perubahan struktural : kerusakan dinding alveolus, apoptosis sel epitel dan
endotel.
Emfisema sentrilobular : dilatasi dan kerusakan bronkiolus respirasi , paling
sering terlihat pada perokok
Emfisema paracinar : perusakan alveolus dan bronkiolus paling sering terlihat
pada kekurangan alpha-1 antitrypsin
Pembuluh darah baru
Perubahan structural : penebalan intima, disfungsi sel endotel, penebalan otot

6
polos (hipertensi pulmonal)

2.4.2. Patogenesis
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari
respon inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok.
Mekanisme amplifikasi ini bekum dimengerti, kemungkinan disebabkan
faktor genetic. Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon
inflamasi pada pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat
oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase. (PDPI, 2016)
Sel inflamasi pasien ppok ditandai dengan pola tertentu peradangan
yang melibatkan peningkatan jumlah sel CD8+ (sitotoksik) Limfosit Tc1
yang hanya terjadi pada perokok, bersama sel neutrofil, makrofag
melepaskan mediator inflamasi dan enzim yang berinteraksi dengan sel
saluran napas, parenkim dan vaskular paru. (PDPI, 2016)

Gambar 1. Patogenesis PPOK

2.4.3. Patofisiologi

7
Penurunan VEP1 pada PPOK terjadi disebabkan peradangan dan
penyempitan saluran nafas perifer, sementara transfer gas yang
menurun disebabkan kerusakan parenkim yang terjadi pada emfisema.
Keterbatasan aliran udara dan air trapping yang terjadi sesuai dengan
tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara
kecil berkolerasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1 / KVP.
Obstruksi jalan nafas prefer ini menyebabkan udara terperangkap dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas
residual fungsional, khususnya selama latihan, yang terlihat sebagai
dypsnea dan keterbatasan kapasitan latihan. (GOLD, 2016)
Ketidakseimbangan dari pertukaran gas itu akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran
nafas periferal menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi
(VA/Q) disertai gangguan fungsi otot pernafasan, terjadilah retensi
CO2. Hipersekresi mukus, penyebab batuk produktif kronis, tidak
dialami semua pasien dengan PPOK. Hal ini disebabkan metaplasia
mukosa dengan peningkatan jumlah sel-sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi kronik saluran
nafas akibat asap rokok dan agen berbahaya lainnya. Hipertensi
pulmoner ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini
disebabkan vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang
akhirnya menyebabkan trejadinya hiperplasia intima dan kemudian
hipertrofi otot polos / hiperplasia.. (GOLD, 2016)

2.5. Diagnosis PPOK


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci diterangkan
pada tabel berikut (PDPI 2016) :

8
Tabel 2. Indikator Kunci untuk mendiagnosis PPOK

2.5.1. Anamnesis
Pada umumnya pada saat anamnesis ditanyakan hal-hal berikut
ini (PDPI 2016):
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
- Riwayat keluarga yang menderita PPOK
- Riwayat perawatan sebelumnya karena penyait paru
- Penyakit komorbidseperti penyakit jantung, osteoporosis,
muskulokeletal, dan keganasan

2.5.2. Pemeriksaan fisik


a. Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)

9
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
b. Palpasi, pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar dan
fremitus melemah
c. Perkusi, pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh

2.5.3. Pemeriksaan rutin


a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1/KVP (%). Menurut
GOLD obstruksi terjadi bila VEP1/KVP) < 70%,
sedangkan penelitian pneumobile Indonesia menyatakan
VEP1/KVP < 75%
- VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas
harian pagi dan sore yang tidak lebih dari 20%. (PDPI
2016)

10
Gambar 2. Uji Faal paru dengan spirometer
b. Uji bronkodilator
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil, dengan
menggunakan spirometri dan bila tidak ada spirometri
dapat digunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 4-8
hisapan (dosis 400-800g salbutamol), 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE. Pada
PPOK nilai VEP1 setelah pemberian bronkodilator
dibandingkan dengan nilai awal meningkat kurang dari
12% dan 200 ml. Bila menggunakan peak flow meter
maka peningkatannya < 20%.
2. Laboratorium darah (Hb, HCT, Trombosit, Leukosit dan Analisa
Gas Darah)
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Sela iga melebar
Diafragma melebar
Tear drop heart
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler meningkat (pada 21% kasus)
Gambar 3 . Foto thoraks PPOK

11
2.5.4. Kombinasi penilaian PPOK
Menurut GOLD 2016, penilaian PPOK dilakukan untuk
menentukan tingkat keparahan penyakit, efeknya pada status
kesehatan pasien dan resiko eksaserbasi sehingga dapat dijadikan
pedoman terapi. (GOLD 2016)
Gejala diukur berdasarkan CAT ( COPD Assessment Test
[lampiran 1] ) atau mMRC ( Modified Medical Research Council
Dyspneu score ), kedua pedoman ini memperlihatkan diagnose PPOK
dalam indicator kualitas hidup untuk membantu para klinisi untuk
memilih terapi yang sesuai. Jika mMRC hanya mengevaluasi dampak
jangka pendek dari sesak, CAT mencakup dampak PPOK dalam
kehidupan sehari hari. Kedua pedoman diagnosa ini sekarang
dijadikan standar diagnostik dan juga biasanya dikombinasikan
dengan hasil test spirometry dan resiko eksaserbasi sebagai pedoman
terapi. (Guarascio A. 2013)
Klasifikasi Keparahan Limitasi Airflow pada PPOK
(Berdasarkan Post-bronkodilator FEV1) :
GOLD I Ringan FEV1 80% predicted
GOLD II Sedang 50% FEV1 < 80% predicted
GOLD III Parah 30% FEV1 < 50% predicted
GOLD IV Sangat parah FEV1 < 30% predicted

12
Tabel 3 . mMRC ( Modified Medical Research Council Dyspneu score ).
0 Tidak bermasalah dengan sesak, kecuali dengan latihan berat
1 Sesak napas apabila terburu-buru atau menaiki bukit yang agak tinggi
2 Berjalan pelan atau berhenti sejenak untuk bernapas.
3 Berhenti untuk bernapas setelah berjalan selama 100 meter
4 Sesak bila meninggalkan rumah atau sesak saat berpakaian atau melepaskan
pakaian.

Tabel 4. Penilaian kombinasi PPOK


Populasi C : Populasi D :
Risiko tinggi, gejala sedikit. Klasifikasi Risiko tinggi, gejala banyak. Klasifikasi
spirometeri GOLD III dan IV, spirometeri GOLD III dan IV, eksaserbasi
eksaserbasi pertahunnya > 2 kali. Skor
pertahunnya > 2 kali. Skor mMRC
mMRC 0-1 dan skor CAT <10.
2 dan skor CAT 10.
Populasi A : Populasi B :
Risiko rendah, gejala sedikit. Klasifikasi Risiko rendah, gejala banyak. Klasifikasi
spirometeri GOLD I dan II, eksaserbasi spirometeri GOLD I dan II, eksaserbasi
pertahunnya 0-1 kali. Skor mMRC 0-1
pertahunnya 0-1 kali. Skor mMRC
dan skor CAT <10.
2 dan skor CAT 10

2.6. Diagnosis Banding PPOK


Beberapa penyakit paru atau di luar paru bisa memberikan gambaran
menyerupai PPOK, antara lain (PDPI 2016) :
a. Asma
- Terdapat pada semua umur, lebih sering pada usia anak
- Gejala bervariasi dari hari ke hari
- Gejala pada malam / menjelang pagi
- Dapat disertai dengan alergi , rinitis atau eksim
- Riwayat keluarga dengan asma
- Sebagian besar keterbatasan aliran udara bersifat reversibel
b. Gagal jantung kongestif
- Auskultasi terdengar rhonki halus di bagian basal
- Foto thoraks tampak jantung membesar, edema paru
- Uji faal paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi
c. Bronkiektasis
- Sputum produktif dan purulen

13
- Umumnya terkait dengan infeksi bakteri
- Auskultasi terdengar rhonki kasar
- Foto thoraks / CT-Scan menunjukkan pelebaran dan penebalan bronkus
d. Tuberkulosis
- Onset segala usia
- Foto thoraks menunjukkan infiltrat di paru
- Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
- Prevalens tuberkulosis tinggi didaerah endemik
e. Bronkiolitis obliterans
- Onset pada usia muda, bukan perokok
- Mungkin memiliki riwayat rheumatois arthritis atau pajanan asap
- CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah hipodens
f. Panbronkiolitis difus
- Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok
- Hampir semua menderita sinusistis kronik
- Foto thoraks dan HRCT torkas menunjukkan nodul opak menyebar kecil di
centrilobular dan gambaran hiperinflasi.

Dari semua diagnosis banding di atas, secara klinis yang paling mirip
dengan PPOK adalah asma baik dalam gejala, pemeriksaan fisik dan uji faal
paru. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat faktor-faktor yang membedakan
antara PPOK, asma dan asthma copd overlap syndrome (ACOS):

Tabel 5. Perbedaan PPOK dan Asma

Perbedaan PPOK Asma ACOS


Biasanya usia 40 tahun, tetapi
Semua umur, biasanya
Onset Biasanya > 40 tahun mungkin memiliki gejala pada
anak-anak
anak-anak atau dewasa awal
Riwayat Biasanya > 10 bks/tahun
Biasanya > 20 bks/tahun Biasanya tidak merokok
merokok
Sering degan riwayat asma yang
Biasanya tidak ada didiagnosis oleh dokter (saat ini
Riwayat
kecuali kekurangan 1- Biasanya ada atau sebelumnya), alergi dan
keluarga
antitrypsin riwayat keluarga asma, dan / atau
riwayat eksposur berbahaya
Tidak reversibel penuh,
Reversibel hanya reversibel Keterbatasan aliran udara tidak
Sangat reversibel
saluran napas sebagian dengan sepenuhnya reversibe
bronkodilator.
Biasanya kronik dengan Bervariasi dari hari ke hari Muncul secara bertahap, tapi
Pola gejala berkurang dengan terapi
progresif lambat malam/menjelang pagi
Batuk (paling Batuk bervariasi dari waktu ke
Dini hari Malam/setelah latihan
menonjol) waktu
Sputum purulen Khas Jarang Khas

14
Peningkatan
Jarang Sering Sering
IgE
Eosinofil Jarang Sering sering

2.7. Penatalaksanaan PPOK


Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi beberapa hal di bawah ini;

2.7.1. Edukasi
Edukasi merupakan hal yang penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
irreversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan antara lain
adalah pengetahuan dasar tentang PPOK, obat-obatan (manfaat dan
efek sampingnya), cara pencegahan perburukan penyakit, berhenti
merokok dan penyesuaian aktivitas. (GOLD 2016)
2.7.2. Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang
paling efektif dalam mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan
memperlambat progresivitas penyakit. Selain berhenti merokok,
penatalaksanaan non farmakologi yang lain adalah rehabilitasi paru,
latihan fisik dan vaksinasi dapat dilihat dalam table berikut (PDPI
2016) :
Tabel 6. Terapi Non Farmakologi pada PPOK

Tergantung pada
Grup pasien PPOK Utama Direkomendasikan
pedoman setempat
Berhenti merokok Semua umur,
Vaksinasi flu &
A (termasuk terapi biasanya anak-
pneumokokus
farmakologi) anak
Berhenti merokok
(termasuk terapi Biasanya tidak Vaksinasi flu &
B-D
farmakologi) & merokok pneumokokus
Rehabilitasi Paru

2.7.3. Obat-obatan
a) Bronkodilator

15
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam terapi inhalasi terutama saat
menggunakan nebulizer, adalh kombinasi jenis obat, bentuk terapi
inhalasi, alat bantu serta pemilihan sumber tenaga dari
nebulisernya.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat kerja lama (long acting). Kombinasi
bronkodilator dari kelas yang berbeda dapat memperbaiki efikasi
dan menurunkan resiko efek samping. Adapun golongan
bronkodilator;
- Golongan antikolinergik, digunakan pada derajat ringan
sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis -2, bentuk inhaler digunakan unttuk
mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis -2, kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
- Golongan xantin, dalam bentuk lepas lambat sebagai
pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. (PDPI 2016)
b) Anti-inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison terutama pada
kelompok C dan D dalam bentuk glukokortikoid, kombinasi
LABACs dan PDE41.
c) Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.
d) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N-asetilsistein.

16
e) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis
kronik dengan sputum yang viscous (misalnya ambroksol,
erdostein).
f) Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.
g) Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien kelompok C atau D yang telah mendapat
inhalasi kortikosteroid namun belum memberikan hasil yang
optimal.

Tabel 7 . Pengobatan berdasarkan kelompok PPOK (GOLD 2016)


Kelompo
Obat pilihan pertama Obat pilihan alternatif Obat yang lain
k pasien
Antikolinergik long-
Antikolinergik short-
acting/beta 2 agonis long
acting, bila perlu atau beta
A acting/Antikolinergik Teofilin
2 agonis short acting, bila
short-acting dan beta 2
perlu
agonis short acting
Beta 2 agonis short
Antikolinergik long-acting Antikolinergik long-acting acting dan/atau
B atau beta 2 agonis long dan beta 2 agonis long Antikolinergik short
acting acting acting
Teofilin
Antikolinergik long-acting
dan beta 2 agonis long Beta 2 agonis short
Kortikosteroid inhalasi +
acting/Antikolinergik acting dan/atau
beta 2 agonis long acting
C long-acting dan PDE4 Antikolinergik short
atau antikolinergik long
inhibitor/ beta 2 agonis acting
acting
long acting dan PDE4 Teofilin
inhibitor
D Kortikosteroid inhalasi + Kortikosteroid Carbocystein
beta 2 agonis long acting inhalasi+beta 2 agonis N-acetylsistein
dan atau antikolinergik long acting dan Beta 2 agonis short
long acting antikolinergik long acting dan/atau
acting/Kortikosteroid Antikolinergik short
inhalasi+beta 2 agonis acting
long acting dan PDE4 Teofilin
inhibitor/Antikolinergik
long-acting dan beta 2
agonis long
acting/Antikolinergik

17
long-acting dan PDE4
inhibitor

2.7.4. Terapi oksigen


Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ
lainnya. Indikasi pemberian terapi oksigen adalah :
a) PaO2 < 55 mmHg atau Sat O2 < 88 % dengan atau tanpa
hiperkapnia yang dikonfirmasi dua kali selama rentang tiga
minggu.
b) PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai cor
pulmonale, perubahan P pulmonal, Ht > 55 % dan tanda-tanda
gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain. (PDPI 2016)
2.7.5. Ventilasi mekanis
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi
mekanik dapat dilakukan dengan cara :
a) Ventilasi mekanik tanpa intubasi, indikasi ;
- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan
muskulus respirasi dan abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7.30 7.35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit
-
b) Ventilasi mekanik dengan intubasi, indikasi :
- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi
tambahan dan pergerakan abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (PaO2 < 40 mmHG)
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (PCO2 > 60 mmHg)
- Gagal napas
- Somnolen, gangguan kesadaran
- Aspirasi masif

18
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia,
emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif).(PDPI 2016)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Selain penatalaksanaan tersebut di atas, pasien dengan PPOK juga perlu
diperhatikan nutrisi serta progam rehabilitasinya.

2.8. Penatalaksanaan pada Keadaan Stabil


2.7.1 Kriteria PPOK stabil adalah :
Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
Dahak jernih tidak berwarna
Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan. (PDPI,2016)

2.7.2 Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :


Mempertahankan fungsi paru
Meningkatkan kualiti hidup
Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi
berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan
mencegah eksaserbasi. (PDPI,2016)

2.7.3 Penatalaksanaan di rumah.


Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang
stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien
sendiri maupun oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi
penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.
(PDPI,2016)
1. Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a. Menjaga PPOK tetap stabil
b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik

19
f. Meningkatkan kualiti hidup. (PDPI,2016)

2. Penatalaksanaan di rumah meliputi :


a. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.
Obat-obatan sesuai klasifikasi. Pemilihan obat dalam bentuk dishaler,
nebuhaler atau tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut,
koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan
bentuk MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan
secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul
eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
b. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang
oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan
aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada waktu
aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis
oksigen tidak lebih dari 2 liter
c. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya.
Beberapa penderita PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah.
(PDPI,2016)
d. Rehabilitasi
Penyesuaian aktivitas
Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
"Pursed-lips breathing"
Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas.
e. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
Tanda eksaserbasi
Efek samping obat
Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen. (PDPI,2016)

2.9. Penatalaksanaan pada Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Gejala eksaserbasi :
Sesak bertambah
Produksi sputum meningkat
Perubahan warna sputum. (PDPI,2016)

2.8.1. Klasifikasi Eksaserbasi akut.

20
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% dari nilai dasar. (PDPI,2016)

2.8.2. Penatalaksanaan ekserbasi dibagi menjadi :


Eksaserbasi ringan : meningkatkan pemakaian bronkodilator ( dapat
dilakukan di rumah atau poliklinik)
Eksaserbasi sedang : menambahkan antibiotic atau kortikosteroid sistemik
atau keduanya ( dapat dilakukan di puskesmas, poliklinik, atau praktek
dokter)
Eksaserbasi berat : perawatan di rumah sakit
Penyebab eksaserbasi paling umum dari suatu eksaserbasi adalah infeksi
trakeobronkial dan polusi udara, 1/3 penyebab dari eksaserbasi berat tidak dapat
diidentifikasi. (PDPI,2016)
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang
telah diedukasi dengan cara :
Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk
nebulizer
Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
Menambahkan mukolitik
Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
(PDPI,2016)
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat
jalan atau rawat inap dan dilakukan di ,Poliklinik rawat jalan, Unit gawat darurat,
Ruang rawat, Ruang ICU. (PDPI,2016)
1. Penatalaksanaan di poliklinik rawat jalan, indikasi :
Eksaserbasi ringan sampai sedang

21
Gagal napas kronik
Tidak ada gagal napas akut pada gagal napas kronik.
Sebagai evaluasi rutin meliputi :
a. Pemberian obat-obatan yang optimal
b. Evaluasi progresifiti penyakit
c. Edukasi
d.
2. Penatalaksanaan rawat inap, Indikasi rawat :
Esaserbasi sedang dan berat
Terdapat komplikasi
Infeksi saluran napas berat
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Gagal jantung kanan
3. Selama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan :
Menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan cara
evaluasi klinis yang tepat dan terapi adekuat
Terapi oksigen dengan cara yang tepat
Obat-obatan maksimal, diberikan dengan drip, intrvena dan nebulizer
Perhatikan keseimbangan asam basa
Nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang
Rehabilitasi awal
Edukasi untuk pasca rawa
4. Penanganan di gawat darurat :
a. Tentukan masalah yang menonjol, misalnya
Infeksi saluran napas
Gangguan keseimbangan asam basa
Gawat napas
b. Triase untuk ke ruang rawat atau ICU
5. Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang dan berat (belum
memerlukan ventilasi mekanik)
a. Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebuliser
b. Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask
c. Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas
d. Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi mekanik
6. Indikasi perawatan ICU
a. Sesak berat setelah penangan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat
b. Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirsi
c. Menetap atau perburukan hipoksemia (PaO2 < 5,3 kPa, 40 mmHg) dan/atau
asidosis respiratorik (pH < 7,25) meskipun dengan suplementasi oksigen dan
ventilasi non invasive.
d. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)

22
e. Hemodinamik tidak stabil dan memerlukan vasopresor
7. Tujuan perawatan ICU
a. Pengawasan dan terapi intemsif
b. Hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik
yang tepat
c. Mencegah kematian

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera


eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi
gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus
diperhatikan meliputi: (PDPI,2016)
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
Kesadaran
Tanda vital
Analisis gas darah
Pneomonia
2. Terapi oksigen adekuat
Suplementasi Oksigen untuk memperbaiki kondisi hipoksemia sebaiknya
dititrasi dengan target saturasi oksigen 88 92%. Pemerikasaan gas darah
harus dilakukan 30-60 menit sesudahnya untuk memastikan terpenuhinya
kebutuhan oksigenasi tanpa adanya retensi karbon dioksida atau asidosis.
Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%,
28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,
tergantung kadar Paco2 dan Pao2.
3. Bronkodilator
Digunakan inhalasi beta-2 agonis kerja singkat (short acting beta-2 agonist
SABA) dengan atau tanpa antikolinergik kerja singkat diberikan pada kondisi
eksaserbasi. Namun bila tidak tersedia bronkodilator inhalasi maka dapat
diberikan bronkodilator oral (SABA dengan atau tanpa golongan
metilxantin). Pemberian metilxantin intravena seperti teofilin dan aminofilin
dipertimbangkan sebagai terapi line kedua, digunakan apabila tidak
didapatkan respon adekuat terhadap bronkodilator kerja singkat.
4. Kortikosteroid

23
Pemberian kortikosteroid sistemik dapat mempercepat pemulihan,
memperbaiki fungsi paru (VEP1) serta kondisi hipoksemia arteri, serta
mengurangi rresiko kambuh, kegagalan terapi dan lama perawatan.
Disarankan pemberian oral prednisone 40mg perhari selama 5 hari. Bila
diberikan secara intravena diberikan metilprednisolon 3 x 30mg perhari
sampai bisa disulih oral.
5. Antioksidan
Pemberian NAC 1200 mg/hari intravena selama 5 hari dapat meningkatkan
perubahan skala klinis dan CRP pada pasien PPOK eksaserbasi. Sedangkan
pada penggunaan erdostein 2 x 300 mg/hari selama 7 hari pada pasien PPOK
eksaserbasi menunjukan hasil, perbaikan klinis yang bermakna dan
menurunkan kebutuhan bronkodilator.
6. Mukolitik
Pada eksaserbasi, mukolitik dapat diberikan
7. Imunomodulator
Pemberian kombinasi Echinacea purpurea 500mg dan vitamin C 50mg serta
mikronutrien (selenium 15 ug dan zinc 10mg) satu kali sehari selama 2
minggu dapat mengurangi gejala eksaserbasi yang disebabkan infeksi saluran
nafas.
8. Nutrisi
Perbaikin nutrisi pada pasien PPOK dapat memperbaiki kekuatan otot dan
pengukuran antropometri sehingga tercapai kualitas hidup dan ketahanan
hidup yang lebih baik.

Pemberian Antibiotik Optimal pada pasien PPOK dengan eksaserbasi akut


diberikan dan disesuaikan dengan pola kuman setempat.
Tabel 8. Pemilihan antibiotic pada PPOK eksaserbasi. (PDPI,2016)
Kelompok Pengobatan Oral Alternatif Pengobatan parenteral
pengobatan oral
Kelompok Pasien dengan satu gejala -lactam/ -
A cardinal sebaiknya tidak lactamase inhibitor
medapatkan antibiotic (co-amoxyclav)
Bila ada indikasi dapat Makrolid
diberikan : (azitromisin,claritr
-lactam (penisilin,

24
ampisilin, amoksisilin), omisin)
Sefalosporin
Tetrasiklin, Trimetoprim,
sulfametoksasol generasi 2 dan 3
Ketolid
Kelompok -lactam/ -lactamase Florokuinolon -lactam/ -lactamase
B inhibitor (co- (levofloxacin, inhibitor (co-
amoxyclav) moxifloksasin) amoxyclav)
Sefalosporin generasi 2
dan 3
Florokuinolon
(ciprofloxacin,
levofloxacin dosis
tinggi)
Kelompok Pasien dengan resiko Florokuinolon
C infeksi pseudomonas, (ciprofloxacin,
fluorokuinolon levofloxacin dosis
(ciprofloxacin, tinggi)
-lactam dengan
levofloxacin dosis
tinggi) aktivitas P. areuginosa

Tabel 9. Pembagian kelompok derajat PPOK berdasarkan pathogen penyebab potensial.


(PDPI,2016)
Kelompok Definisi Kuman pathogen
Kelompok Eksaserbasi Ringan H. influenza
A Tidak memiliki factor resiko S. Pneumonia
untuk prognosis buruk M. catarrhalis
Chlamydia pneumonia
Virus

Kelompok Eksaserbasi sedang Kuman pathogen kelompok A + pathogen


B Memiliki factor resiko untuk resisten (-lactamase producing penicillin
prognosis buruk resistant S. pneumonia), enterobactericeae (E.

25
coli, protus, enterobacter)
Kelompok Eksaserbasi Berat
C Dengan factor resiko P.
aeruginosa

Penggunaan ventilasi mekanis pada pasien PPOK eksaserbasi berat akan


mengurangi mortalitas dan morbiditas dan memperbaiki gejala. Ventilasi dapat
dilakukan secara non invasive ( Non Invasive Ventilation-NIV) dan invasive, tetapi
disarankan untuk mendahulukan penggunaan NIV dan bila gagal baru kemudian
dipertimbangkan penggunaan ventilasi mekanis dengan intubasi. (PDPI,2016)
Indikasi penggunaan NIV pada eksaserbasi PPOK antara lain :
Asidosis respiratorik (pH < 7,35 dan/atau PaCO2 > 45 mmHg)
Sesak berat dengan tanda-tanda kelelahan otot pernafasa, peningkatan
usaha bernafas, serta penggunaan otot bantu pernafasan, pergerakan
abdomen paradoksal, atau refraksi interkosta. (PDPI,2016)
Ventilasi mekanis secara invasive atau intubasi diindikasikan pada pasien yang tidak
berhasil menunjukan perbaikan dengan NIV, atau ada tanda berikut :
Gagal napas
Gagal napas dengan penurunan kesadaran atau mengap-mengap
Penurunan kesadaran dengan agitasi yang tidak terkontrol denga sedasi
Aspirasi massif
Ketidakmampuan untuk mengeluarkan secret saluran napas
Denyut jantung < 50x/menit dengan penurunan kesadaran
Ketidakstabilan hemodinamik yang tidak berespon dengan pemberian cairan
dan zat vasoaktif
Aritmia ventrikuler
Hipoksemia (PaO2 < 50mmHg) yang mengancam jiwa pada psien yang tidak
mampu mentolerasi NIV. (PDPI,2016)

Evaluasi Ketat Progresivitas Penyakit. Pada pasein yang sebelumnya mengalami


hipoksemia selama eksaserbasi, perlu dilakukan evaluasi analisis gas daran dan/atau
pulse oximetry sebelum keluar perawatan dan evaluasi dalam 3 bulan berikutnya.
Kriteria untuk pasien dapat keluar dari perawatan antara lain :
Dapat menggunakan bronkodilator, baik beta-2 agonis dan/atau antikolinergik
dengan ataupun tanpa kortikosteroid inhalasi

26
Penggunaan inhalasi beta-2 agonis kerja singkat tidak lebih dari setiap 4 jam
Kondisi pasien stabil selama 12-24 jam
Pasien (atau yang menangani di rumah) sudah memahami penggunaan terapi
dengan benar
Ada perencanaan observasi lanjutan (kunjungan perawat, pemberian oksigen,
nutrisi)
Pasien, keluarga, tenaga medis cukup yakin bahwa pasien dapat dikelola
dengan baik dirumah. (PDPI,2016)

2.10. Prognosis
Komorbiditas merupakan kelainan atau penyakit kronik lain yang
menyertai suatu penyakit tertentu. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan
salah satu penyakit yang memiliki banyak komorbiditas. Komorbiditas dapat
terjadi pada semua derajat PPOK.(Kulsum,2016)
Kejadian PPOK sering bersamaan dengan penyakit lain sebagai
komorbid yang mempengaruhi prognosis penyakit. Prognosis penyakit PPOK
sangat bergantung dengan ada atau tidaknya penyakit lain sebagai komorbid.
Suatu studi menunjukkan bahwa lebih pasien usia muda dengan PPOK lebih
sering dirawat kembali ke Rumah sakit daripada pasien PPOK usia tua bahkan
setelah pengendalian komorbiditasnya. Temuan ini disebabkan, pasien PPOK
usia muda memiliki keparahan yang lebih. Pasien PPOK yang dapat hidup
untuk usia yang lebih tua mungkin memiliki PPOK yang lebih ringan atau
tingkat yang lebih lambat dari perkembangan penyakit tersebut.
(Simmering,2016)
Bebereapa komorbid tersebut muncul secara independen atau tidak
berhubungan dengan PPOK, sementara beberapa komorbid lain dapat
berhubungan, baik dalam hal faktor resiko, maupun berpengaruh dalam
meningkatkan risiko satu sama lain. Beberapa penyakit komorbid yang dapat
mempengaruhi prognosis PPOK anatara lain seperti penyakit kardiovaskuler,
osteoporosis, kecemasan, kanker paru, infeksi saluran nafas, diabetes mellitus
serta GERD. Penilaian BODE Index (BMI, Obstruksi, Dipsneu, Exercise)
dapat digunakan untuk menilai prognosis. (PDPI,2016)
Pada suatu studi ditemukan orang dengan BMI yang rendah memiliki
resiko yang lebih pada obstrusi jalan nafas dan penyakit vascular perifer namun

27
pada orang dengan BMI yang tinggi memiliki resiko yang lebih pada penyakit
kardiovakular dan inflamsi sistemik.(Divo, Miguel J.2014)

2.11. Komplikasi
PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu
ke waktu. Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel seperti (PDPI 2016):
1. Gagal napas
Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa
PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Pada
keadaan kronis, pasien dengan PPOK sering menunjukkan pernafasan yang
cepat dan dangkal. Ini kemungkinan sebagai kunci mekanisme perlindungan
dalam mencegah kelelahan otot-otot pernafasan. Pada PPOK yang berat
dengan cadangan fungsi yang sangat terbatas, gagal nafas akut pada kondisi
kronis bisa memperburuk keadaan gagal nafas kronis yang sudah ada
sebelumnya. Hal ini dapat terjadi ketika kemunduran akut dari apapun
kelainan awal, sering meningkatkan sumbatan pada saluran nafas selama
proses eksaserbasi akut, yang merupakan beban tambahan pada system
respirasi. Kelainan mekanik yan sudah ada sebelumnya lebih jauh diperburuk
oleh proses pengosongan paru yang tidak komplit, menyebabkan
terperangkapnya udara didalam ruang-ruang paru. Hal ini meningkatkan
tekanan saluran nafas pada akhir respirasi positif intrinsik (PEEPi) yang
memperburuk lebih jauh disfungsi otot pernafasan dan meningkatkan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Gagal napas akut pada gagal napas
kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum
bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. (Widiastika,2014)
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan, menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang,
pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan
menurunya limfosit darah. (PDPI,2016)
3. Hipertensi pulmone, Kor pulmonale dan Gagal jantung kongstif

28
Curah jantung dari ventrikel kanan seperti pula di kiri disesuaikan
dengan preload, kontraktilitas dan afterload. Mwski dinding ventrikel kanan
tipis, namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena
yang meningkat mendadak (seperti saat menarik napas). Peningkatan
afterload akan menyebabkan pembesaran ventrikel kanan yang berlebihan.
Hal ini terjadi karena tahanan di pembuluh darah paru sebagai akibat
kerusakan parenkim paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi
karena hiperinflasi paru akibat PPOK, sebagai akibat kompresi kapiler
alveolar dan pemanjangan pembuluh darah dalam paru. Peningkatan ini juga
dapat terjadi ketika volume paru turun mendadak akibat reseksi paru,
demikian pula pada restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami
kompresi dan perubahan bentuk. Afterload meningkat pada ventrikel kanan
juga dapat ditimbulkan pada vasokonstriksi paru dengan hipoksia atau
asidosis. (Sudoyo,2014)
Perubahan hemodinamik pada PPOK dari normal ke hipertensi
pulmonal, kor pulmonale, dimana terjadi hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan, lalu diikuti oleh gagal jantung kongestif. (Sudoyo,2014)
4. Pneumothoraks.
Penyakit PPOK merupakan salah satu penyebab pneumotorakas
spontan sekunder terjadi akibat kelainan/ penyakit paru yang sudah ada
sebelumnya Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan
alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan
berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan
pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura
parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks.
(Rawal, 2015)
Penyakit paru obstruktif kronik tidak hanya berdampak pada kerusakan paru
semata tapi juga menimbulkan kelainan di luar paru yang akan berkontribusi
terhadap makin beratnya penyakit seperti disfungsi otot dan rangka, penyakit
kardiovaskuler, depresi, berkurangnya toleransi latihan dan buruknya status
kesehatan yang pada akhirnya berhubungan dengan meningkatnya kematian pada
pasien PPOK. (Putri,2016)

29
BAB III
PENUTUP

Penyakit Paru Obstruktif Kronik ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara
yang persisten dan umumnya bersifat progresif. Kebiasaan merokok adalah satu-
satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab
lainnya. Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi di saluran nafas
dan paru yang tampak pada penderita PPOK. Respon inflamasi abnormal ini
menyebabkan kerusakan jaringan parenkim dan mengganggu perbaikan normal dan
mekanisme pertahanan dan menyebabkan fibrosis saluran nafas kecil. Gejala dan
tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas
dan tanda inflasi paru. Gejala diukur berdasarkan CAT ( COPD Assessment Test
[lampiran 1] ) atau mMRC ( Modified Medical Research Council Dyspneu score ).
Kedua pedoman diagnosa ini sekarang dijadikan standar diagnostik dan juga
biasanya dikombinasikan dengan hasil test spirometry dan resiko eksaserbasi sebagai
pedoman terapi. Penatalaksanaan PPOK non farmakoligis berupa edukasi dan
berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif.. Sedangkan

30
penatalaksanaan farmakologis berupa bronkodilator dapat berupa Golongan
antikolinergik, agonis -2, xantin, atau Kombinasi antikolinergik dan agonis -2.
Selain bronkodilator diberikan juga antiinflamasi, antioksidan, antibiotic, mukolitik,
antitusif, Phosphodiesterase-4 inhibitor, terapi oksigen dan ventilasi mekanis.
Beberapa penyakit komorbid yang dapat mempengaruhi prognosis PPOK anatara
lain seperti penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, kecemasan, kanker paru, infeksi
saluran nafas, diabetes mellitus serta GERD. . Komplikasi pada PPOK merupakan
bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan tidak sepenuhnya reversibel seperti
gagal napas, infeksi berulang hipertensi pulmoner, kor pulmonale, gagal jantung
kongstif, pneumothoraks.

DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2016. Global
strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of Health. National Heart, Lung and
Blood Institute
Guarascio A, Ray SM, Finch CK. 2013. The Clinical and Economic Burden of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in the USA. Clinicoecon Outcomes.
USA
Hasanah, Mufidatun, Susanthy Djajalaksana.2013. Fenotip Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Iceu Dimas Kulsum, Faisal Yunus.2016. Sindrom Metabolik pada Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK). Departemen Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUP Persahabatan,.
Jakarta
Jacob E. Simmering, MS Linnea A. Polgreen, PhD,et all.2016. Identifying Patients
With COPD at High Risk of Readmission. Journal of the COPD Foundation.

31
Laura H. Thomsen, MD, PhD1 Saher B. Shaker, MD, PhD.2015. Correlation
Between Emphysema and Lung Function in Healthy Smokers and Smokers
With COPD. Journal of the COPD Foundation.
Miguel J. Divo, MD, Carlos Cabrera, MD,et all. 2014. Comorbidity Distribution,
Clinical Expression and Survival in COPD Patients with Different Body Mass
Index. Journal of the COPD Foundation.
Nanda Aulia Putri, Oea Khairsyaf,dkk.2016. Hubungan Derajat PPOK dan Kejadian
Eksaserbasi pada Penderita PPOK dengan Komponen Sindrom Metabolik.
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Padang.
Perhimpunan Dokter Paru Indinesia (PDPI).2016. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Diagnosis dan Penatalaksanaan. UI press. Jakarta.
Rawal, Gautam, Sankalp Yadav, et all.2015. Secondary Spontaneous Pneumothorax
(SSP) with Bronchopleural Fistula in A Patient with COPD. Journal of Clinical
and Diagnostic Research. Rockland Hospital, Qutab Institutional Area, New
Delhi, India.
Riset Kesehatan Dasar.2013.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Sudoyo, A.W., et al. 2014. Buku ajar penyakit dalam jilid I edisi VI. Jakarta : Interna
Publishing.
Widiastika Made, Dewa Made Artika.2014.Gagal Napas pada Penyakit Paru
Obstruksi Kronis. SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah.
Denpasar.

32

Anda mungkin juga menyukai