Anda di halaman 1dari 31

Nama Peserta: dr.

Chandra Putra
Nama Wahana : RSUD Dr. Soegiri Lamongan
Topik : Gagal Ginjal Kronis
Pendamping : Pembimbing :
dr. Maya Dewi H. dr. Abdur Rohman, Sp.PD
Tanggal Presentasi : 12 Mei 2018 Tempat Presentasi : Komite Medik
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Ketrampilan □ Penyegaran □Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Bahan Bahasan : □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit

Cara Membahas : □ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ Email □ Pos

Data Pasien : Nama : Sdr. S.K No. Registrasi : 250561

Nama Klinik :- Telp : - Terdaftar: -

BAB I
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama pasien : Sdr. S.K
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 27 Tahun
Alamat : Turi, Lamongan
Suku : Jawa
Tgl. MRS : 13 Desember 2017
No. Register : 250561

ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Sesak Nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Dr. Soegiri Lamongan dengan keluhan sesak nafas sejak
3 hari SMRS. Keluhan sesak semakin memberat saat dibuat tiduran atau
beraktivitas dan berkurang saat istirahat dengan posisi setengah duduk. Selain itu
pasien juga mengeluh seluruh badan terasa lemas, pusing, dan disertai bengkak
pada kedua tangan. Pasien juga mengeluh perut terasa sebah dan mual tapi tidak

1
disertai dengan muntah. Nafsu makan berkurang. BAB dalam batas normal, BAK
masih bisa sedikit, warna kuning, dan tidak nyeri.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
DM (-), HT (-), GGK (+) sejak 4 bulan yang lalu.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami sakit seperti pasien.
5. Riwayat Pengobatan
Sudah dilakukan hemodialisa di RS Gresik, 1 minggu sekali dan setiap hari senin.
6. Riwayat Kebiasaan
Sering mengkonsumsi obat-obatan di toko, sejak 4 bulan yang lalu. Pasien suka
makan makanan seperti gorengan, daging, jeroan, dan jarang makan sayur. Pasien
juga jarang melakukan olahraga.

Pemeriksaan fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Berat Badan : 55 kg
Vital sign
 Nadi : 108x/ menit
 Respiration Rate : 28x/ menit
 Suhu : 36,70C
 Tekanan Darah : 200/120 MmHg
 SpO2 : 99% dengan O2 nasal 3 lpm
Status Interna Singkat
Kepala
 Mata: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
 Hidung: sekret (-/-), darah (-/-), deviasi septum (-/-)
 Mulut: bibir kering (-), lidah kotor (-)
 Telinga: sekret (-/-), darah (-/-)
Leher
 Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tyroid
 Peningkatan JVP (-/-), deviasi trakea (-/-)

2
Thorak
 Cor
o Inspeksi: iktus kordis tidak tampak
o Palpasi: iktus kordis tidak teraba
o Perkusi: batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo
o Inspeksi: hemitoraks kanan dan kiri simetris, retraksi (-/-)
o Palpasi: stem fremitus hemitoraks kanan dan kiri sama
o Perkusi: sonor pada hemitoraks kanan dan kiri
o Auskultasi: suara dasar vesikuler di kedua lapang paru, wheezing
(-/-), rhonki (+/-)
Abdomen
 Inspeksi: cembung dan simetris
 Auskultasi : bising usus (+) dbn
 Perkusi: timpani
 Palpasi: soepel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
 Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (+/+)
 Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)

Diagnosis
Dyspnea ec. CKD Stage V + ALO + Anemia + HT Emergency

Planning
 O2 nasal 3-4 lpm
 IVFD Nacl life line
 Inj. Ranitidine 2x1 amp iv
 Inj. Furosemide 2x1 amp iv
 Pasang DC

3
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


13/12/2017
Hematologi
Hemoglobin 7.6 11.7 – 15.5 g/dL
Lekosit 5000 3.600- 11.000 µL
LED 70-115 10-20/jam Jam
Trombosit 172.000 150.000-440.000 103 µL
Diff count 1-0-0-54-38- 2-4/0-1/50-70/25-
7 40/2-8
Fungsi Hati
SGOT 36 < 37 uL
SGPT 33 <39 uL
Glukosa Darah
Glukosa Sewaktu 98 <200 mg/dL

Fungsi Ginjal
Urea 79 10-50 mg/dl
Serum Kreatinin 10.18 0.50 – 1.10 mg/dL

Elektrolit
Natrium 137 136 – 144 meq/l
Kalium 4.9 3.8 – 5.0 meq/l
Clorida 103 94 - 111 meq/l

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 - 27) x 55 kg x 0,85

72 x 10,18 (mg/dl)

= 5423

732,96
= 7,39 ml/menit/1,73 m2
Dari hasil LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockroft-Goult didapatkan hasil
7,39 ml/menit/1,73 m2. Dimana hasil tersebut dapat menggambarkan bahwa pasien
ini menderita GGK stadium 5 dan merupakan indikasi untuk dilakukannya tindakan
hemodialisis.

4
Hasil EKG:
Kesimpulan: Sinus Takikardi

5
FOLLOW UP
13 Desember 2017
S : Sesak nafas, Badan lemas, pusing, bengkak pada kedua tangan, perut terasa sebah
dan mual, muntah (-), nafsu makan menurun, BAB dbn, BAK masih bisa sedikit.
O: Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 108x/ menit
 Respiration Rate : 28x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 200/120 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = +/-/-/+
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rh +/- , whez -/-
Abdomen : flat, soepel, nyeri tekan (-), timpani, H/ L tidak teraba, BU(+)N
Ekstremitas :
Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (+/+)
Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Dyspnea ec. CKD Stage V + ALO + Anemia + HT Emergency
P: O2 Nasal 3-4 lpm
IVFD Nacl life line
Inj. Ranitidine 2x1 amp iv
Inj. Furosemide 2x1 amp iv
Pasang DC
Konsul dr. Abdur Rohman, Sp.PD:
Pump Lasik 5 mg/jam
Pro HD Cito
Konsul dr. Eko, Sp.PD:
Cek HbsAg, Anti HIV, HBC bila negatif acc HD cito

6
14 Desember 2017
S : Sesak berkurang, Badan masih lemas, bengkak pada kedua tangan, perut terasa
sebah dan mual, muntah (-), makan dan minum sudah mau sedikit, BAB dbn, BAK
masih bisa sedikit.
O: Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 98x/ menit
 Respiration Rate : 22x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 160/90 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = +/-/-/-
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rh +/- , whez -/-
Abdomen : flat, soepel, nyeri tekan (-), timpani, H/ L tidak teraba, BU(+)N
Ekstremitas :
Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (+/+)
Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Dyspnea ec. CKD Stage V + ALO + Anemia + HT Emergency
P: O2 Nasal 3-4 lpm
IVFD Nacl life line
Inj. Ranitidine 2x1 amp iv
Inj. Furosemide 2x1 amp iv
15 Desember 2017
S : Sesak berkurang, kedua tangan masih bengkak, mual (+), muntah (-), makan dan
minum sudah mau sedikit, BAB dbn, BAK dbn.
O: Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 98x/ menit
 Respiration Rate : 22x/ menit

7
 Suhu : 36.70C
 TD : 160/90 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = +/-/-/-
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rh -/- , whez -/-
Abdomen : flat, soepel, nyeri tekan (-), timpani, H/ L tidak teraba, BU(+)N
Ekstremitas :
Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (+/+)
Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Dyspnea ec. CKD Stage V + ALO + Anemia + HT Emergency
P: O2 Nasal 3-4 lpm
IVFD Nacl life line
Inj. Ranitidine 2x1 amp iv
Inj. Furosemide 2x1 amp iv
Hasil Lab:

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


15/12/2017
Hematologi
Hemoglobin 8.2 11.7 – 15.5 g/dL
Lekosit 10.540 3.600- 11.000 µL
PCV 25.1 35-47% %
Trombosit 181.000 150.000-440.000 103 µL
Diff count 1-0-0-81-12- 2-4/0-1/50-70/25-
6 40/2-8
Fungsi Hati
SGOT < 37 uL
SGPT <39 uL
Albumin 3.0 3.8-5.1 mg/dL
Glukosa Darah
Glukosa Sewaktu <200 mg/dL
Fungsi Ginjal
Urea 73 10-50 mg/dl
Serum Kreatinin 6.73 0.50 – 1.10 mg/dL
Uric Acid 4.3 1.9-7.9 mg/dL

8
Elektrolit
Natrium 138 136 – 144 meq/l
Kalium 4.6 3.8 – 5.0 meq/l
Clorida 101 94 - 111 meq/l

16 Desember 2017
S : Sesak berkurang, kedua tangan masih bengkak, mual (-), muntah (-), makan dan
minum sudah mau, BAB dbn, BAK dbn.
O: Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 98x/ menit
 Respiration Rate : 22x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 160/90 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = +/-/-/-
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rh -/- , whez -/-
Abdomen : flat, soepel, nyeri tekan (-), timpani, H/ L tidak teraba, BU(+)N
Ekstremitas :
Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (+/+)
Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Dyspnea ec. CKD Stage V + ALO + Anemia + HT Emergency
P: O2 Nasal 3-4 lpm
IVFD Nacl life line
Inj. Ranitidine 2x1 amp iv
Inj. Furosemide 2x1 amp iv
17 Desember 2017
S : Sesak berkurang, kedua tangan bengkak (-), mual (-), muntah (-), makan dan
minum sudah mau, BAB dbn, BAK dbn.
O: Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456

9
Vital sign
 Nadi : 96x/ menit
 Respiration Rate : 22x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 150/90 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rh -/- , whez -/-
Abdomen : flat, soepel, nyeri tekan (-), timpani, H/ L tidak teraba, BU(+)N
Ekstremitas :
Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Dyspnea ec. CKD Stage V + ALO + Anemia + HT Emergency
P: O2 Nasal 3-4 lpm
IVFD Nacl life line
Inj. Ranitidine 2x1 amp iv
Inj. Furosemide 2x1 amp iv
18 Desember 2017
S : Sesak berkurang, kedua tangan bengkak (-), mual (-), muntah (-), makan dan
minum biasa, BAB dbn, BAK dbn.
O: Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 96x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 150/90 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

10
Pulmo : ves/ves, rh -/- , whez -/-
Abdomen : flat, soepel, nyeri tekan (-), timpani, H/ L tidak teraba, BU(+)N
Ekstremitas :
Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Dyspnea ec. CKD Stage V + ALO + Anemia + HT Emergency
P: O2 Nasal 3-4 lpm
IVFD Nacl life line
Inj. Ranitidine 2x1 amp iv
Inj. Furosemide 2x1 amp iv
19 Desember 2017
S : Sesak (-), kedua tangan bengkak (-), mual (-), muntah (-), makan dan minum
dbn, BAB dbn, BAK dbn, keluhan (-).
O: Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 456
Vital sign
 Nadi : 92x/ menit
 Respiration Rate : 20x/ menit
 Suhu : 36.70C
 TD : 140/90 MmHg
 SpO2 : 99%
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves/ves, rh -/- , whez -/-
Abdomen : flat, soepel, nyeri tekan (-), timpani, H/ L tidak teraba, BU(+)N
Ekstremitas :
Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)
A: Dyspnea ec. CKD Stage V + ALO + Anemia + HT Emergency
P: Pro KRS
Kontrol poli penyakit dalam

11
P/O:
- Tab. Furosemide 2x40 mg
- Tab. Ranitidine 2x150 mg
- Tab. Asam Folat 2x2 mg
Hasil Lab:

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


19/12/2017
Hematologi
Hemoglobin 8.0 11.7 – 15.5 g/dL
Lekosit 9.500 3.600- 11.000 µL
PCV 23.7 35-47% %
Trombosit 218.000 150.000-440.000 103 µL
Diff count 5-1-0-68-20- 2-4/0-1/50-70/25-
6 40/2-8
Fungsi Hati
SGOT < 37 uL
SGPT <39 uL
Albumin 3.8-5.1 mg/dL
Glukosa Darah
Glukosa Sewaktu 79 <200 mg/dL
Fungsi Ginjal
Urea 77 10-50 mg/dl
Serum Kreatinin 7.00 0.50 – 1.10 mg/dL
Uric Acid 4.6 1.9-7.9 mg/dL
Elektrolit
Natrium 133 136 – 144 meq/l
Kalium 4.5 3.8 – 5.0 meq/l
Clorida 102 94 - 111 meq/l

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal
yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration
rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana GFR
< 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal
(National Kidney Foundation, 2002).

B. ETIOLOGI
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi, yaitu
sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015). Keadaan lain
yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit peradangan seperti
glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, malformasi saat perkembangan janin dalam
rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar prostat, dan
infeksi saluran kemih yang berulang (Wilson, 2005).

C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus mengalami peningkatan di seluruh
belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk dunia mengalami PGK dan 1 juta
dari mereka membutuhkan terapi pengganti ginjal. 17 Penelitian di jepang memperkirakan
sekitar 13 % dari jumlah penduduk atau sekitar 13,3 juta orang yang memiliki penyakit
ginjal kronik pada tahun 2005. Menurut data dari CDC tahun 2010, lebih dari 20 juta warga
Amerika Serikat yang menderita penyakit ginjal kronik, angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Lebih dari 35% pasien diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan
lebih dari 20% pasien hipertensi juga memliki penyakit ginjal kronik dengan insidensi
penyakit ginjal kronik tertinggi ditemukan pada usia 65 tahun atau lebih. 19 Studi di
Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien PGK sebesar 30,7 perjuta penduduk dan
angka kejadianya sebesar 23,4 perjuta penduduk. Jumlah pasien yang menderita penyakit
ginjal kronik diperkirakan akan terus meningkat, peningkatan ini sebanding dengan
bertambahnya jumlah populasi, peningkatan populasi usia lanjut, serta peningkatan jumlah
pasien hipertensi dan diabetes.

13
D. KLASIFIKASI STADIUM
Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan kemampuan
ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk memfasilitasi
penerapan pedoman praktik klinis, pengukuran kinerja klinis dan peningkatan kualitas
pada evaluasi, dan juga manajemen CKD (National Kidney Foundation, 2002). Berikut
adalah klasifikasi stadium CKD:

Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh pasien
sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD yang dialami,
maka nilai GFRnya akan semakin kecil (National Kidney Foundation, 2010).
Pedoman K/DOQI merekomendasikan perhitungan GFR dengan rumus Cockroft-Goult
untuk orang dewasa, yaitu:
Klirens Kreatinin (ml/menit) = (140-umur) x berat badan (kg) x (0,85 jika wanita)
72 x kreatinin serum

E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari, namun
perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini menyebabkan
berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada
akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit

14
yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2009). Selain itu adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Beberapa hal lain yang
juga berperan dalam progresifitas penyakit ginjal kronik, yaitu: albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Hal yang diduga ikut andil dalam progresifitas penyakit ginjal
kronik menjadi gagal ginjal diantaranya adalah peningkatan tekanan glomerulus (akibat
dari peningkatan tekanan darah sistemik maupun vasokonstriksi arteriol eferen akibat dari
peningkatan kadar angiotensin II) dan kebocoran protein glomerulus. Pada stadium dini
CKD, dapat terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), tapi GFR masih normal.
Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

15
F. GEJALA KLINIS
Pada dasarnya gejala yang timbul pada gagal ginjal kronis erat hubungannya dengan
penurunan fungsi ginjal, yaitu :
1. Kegagalan fungsi sekresi, penurunan GFR, gangguan resorbsi dan sekresi di tubulus.
Akibatnya akan terjadi penumpukan toksin uremik dan gangguan keseimbangan
cairan, elektrolit serta asam-basa tubuh.

2. Kegagalan fungsi hormonal:

 Penurunan eritropoetin

 Penurunan vitamin D3 aktif

 Gangguan sekresi renin

Keluhan dan gejala klinis yang timbul pada penyakit ginjal kronik (PGK) hampir mengenai
seluruh sistem, yaitu:
 Umum : lemah, malaise, gangguan pertumbuhan dan debilitas, edema

 Kulit : pucat, rapuh, gatal, bruising

 Kepala dan leher : foetor uremi

 Mata : fundus hipertensi, mata merah

 Jantung dan Vaskuler : hipertensi, sindroma overload, payah jantung, perikarditis


uremik, tamponade

 Respirasi : efusi pleura, edema paru, nafas Kussmaul, pleuritis uremik

 Gastrointestinal : anoreksia, mual, muntah, gastritis, ulkus, kolitis uremik,


perdarahan saluran cerna.

 Ginjal : nokturia, poliuria, haus, proteinuria, hematuria.

 Reproduksi : penurunan libido, impotensi, amenorhoe, infertilitas.

 Syaraf : letargi, malaise, anoreksia, drowsiness, tremor, mioklonus,


asteriksis, kejang, penurunan kesadaran, koma.

 Tulang : Renal Osteodistrofi (ROD), kalsifikasi di jaringan lunak.

16
 Sendi : gout, pseudogout, kalsifikasi.

 Darah : anemia, kecenderungan berdarah akibat penurunan fungsi


trombosit, defisiensi imun akibat penurunan fungsi imunologis dan
fagositosis.

 Endokrin : intoleransi glukosa, resistensi insulin, hiperlipidemia, penurunan


kadar testosteron dan estrogen.

 Farmasi : penurunan eksresi lewat ginjal.

G. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaran histopatologis.
Penegakan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Pada anamnesis dapat dicari gambaran klinis yang mungkin terjadi pada pasien gagal
ginjal. Diawali dengan keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit pasien sehingga
ditemukan faktor-faktor risiko pada pasien. Dari gambaran klinis adalah sesuai dengan
penyakit yang mendasari misalnya diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, hipertensi,
hiperuricemia, lupus eritematosus sistemik dan sebagainya. Yang kedua yaitu sindrom
uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang, sampai koma.
Dan yang ketiga adalah gejala komplikasi antara lain hipertensi, anemia, osteodistropi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, khlorida).

b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus

17
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar
hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinalisis
meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, dan silinder.

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis


Pemeriksaan radiologis pada penyakit ginjal kronik meliputi:
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. Intravena pielografi: sekarang jarang digunakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik
oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, dan kalsifikasi.

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: 1) terapi spesifik terhadap penyakit
dasarnya, 2) pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, 3) memperlambat progresi
perburukan fungsi ginjal, 4) memperkecil risiko kardiovaskuler dan 5) pencegahan dan
terapi terhadap komplikasi serta 6) terapi pengganti ginjal. Penatalaksanaan pasien
penyakit ginjal kronis dapat disesuaikan dengan derajat LFG nya.

LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/min/1,73m2)
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
1 >90
perburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular

2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 <15 Terapi pengganti ginjal


Tabel 5. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Derajatnya

a. Terapi Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin uremia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit1.

18
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin uremia. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Cara untuk memperlambat perburukannya adalah dengan
pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein dimulai pada LFG kurang atau sama
dengan 60 ml/menit, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak
dianjurkan. Protein yang diberikan adalah 0,6-0,8 gr/kgbb/hari.1 Hal ini penting karena
mengingat kelebihan protein dalam tubuh tidak disimpan dalam tubuh, seperti lemak dan
karbohidrat melainkan dipecah menjadi urea dan nitrogen yang terutama diekskresikan oleh
ginjal. Selain itu, ion hidrogen, fospat, sulfat dan ion anorganik lainnya juga diekskresikan
lewat ginjal. Oleh karena itu pemberian diet tinggi protein pada pasien GGK akan
mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen yang menimbulkan manifestasi klinis yang
disebut uremia. Masalah penting lainnya adalah diet tinggi protein akan mengakibatkan
perubahan hemodinamika ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerular (interglomerular hyperfiltration) yang akan mempercepat perburukan
fungsi ginjal. Pembatasan fungsi ginjal juga bermanfaat untuk mencegah hiperfospatemia
mengingat protein dan fospat berasal dari sumber yang sama.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk pasien GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi. Jumlah kalori yang dibutuhkan sebesar 30-35
kkal/kgbb/hari.1
3) Kebutuhan cairan
Pembatasan asupan air pada pasien GGK sangat perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Air yang
masuk adalah sejumlah urin yang keluar ditambah insensible water loss (sekitar 500-800
ml/hari).1
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease). Elektrolit yang harus diawasi terutama
adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia akan
membuat aritmia yang fatal. Oleh karena itu pemberian obat-obatan yang mengandung
kalium harus dibatasi termasuk makanan (sayuran dan buah). Jumlah kalium yang optimal

19
adalah 3,5-5,5 Meq/Lt. Tujuan pengurangan asupan natrium adalah untuk mengendalikan
hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan adalah sesuai dengan derajat
hipertensi dan edema yang terjadi.1

b. Terapi Spesifik
Waktu yang paling tepat untuk mengobati penyakit dasar adalah ketika laju filtrasi
glomerulus masih normal, ukuran ginjal pada pemeriksaan foto abdomen belum mengecil,
sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Jika LFG sudah menurun 20-30% nya terapi
penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.1

c. Terapi Penyakit Komorbid


Faktor-faktor komorbid yang memperburuk keadaan pasien contohnya gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya. Maka dari itu penting sekali untuk mengikuti atau mencatat kecepatan
penurunan LFG pada pasien gagal ginjal kronik. Melalui pemantauan ini dapat diketahui
kondisi komorbid yang memperburuk keadaan pasien.1

d. Terapi Simptomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus diperhatikan. Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) dapat
dipertimbangkan diberikan intravena bila pH < 7,35 atau serum bikarbonat < 20 mmol/L.1
2) Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada GGK adalah defisiensi eritropoietin namun
dapat juga terjadi karena hal lain.1Hal lain yang ikut berperan misalnya defisiensi besi,
kehilangan darah (misalnya pendarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat adanya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai
saat kadar hemoglobin kurang atau sama dengan 10 g % atau hematokrit kurang atau sama
dengan 30 g% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi/serum iron, total iron
binding capacity, serum feritin), mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya pendarahan, dan sebagainya. Jika penyebabnya karena defisiensi
EPO, pemberian EPO merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian eritropoietin

20
(EPO) status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan zat besi dalam
mekanisme kerjanya. Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Transfusi mulai diberikan pada pasien
dengan keadaan anemia berat < 6 gr/dL yang nampak secara klinis memberatkan pasien,
pasien dengan gagal jantung, pasien dalam kehamilan trimester ketiga, dan pasien yang akan
mendapatkan tindakan operatif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati dan teliti
karena jika tidak teliti dapat menimbulkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal.1
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK.
Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik. Keluhan mual dan muntah dapat diberikan metoklopramid pada pasien.1
4) Hipertensi
Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan terapi
pada gagal ginjal kronik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek
perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ
kardiovaskuler. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula
renoproteksinya. Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu non-
farmakologis dan famakologis. Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya
hidup antara lain menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan
merokok, serta mengurangi konsumsi garam. Harus diingat bahwa untuk mencapai target
ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat dengan berbagai efek
samping dan harga obat yang kadang sulit dijangkau pasien. Hal terpenting yang perlu
diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun jenis obat yag
dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) dan
Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai efek antiprotein uric maupun
renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian obat-obatan ini sebagai awal
pengobatan hipertensi pada pasien penyakit gagal ginjal kronik. Pada pasien hipertensi
dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB merupakan
terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima atau memberikan

21
hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan Non Dihydropyridine

Calcium–Channel Blockers (NDCCBs).1

5) Kelainan sistem kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler merupakan hal yang penting
mengingat 40-45% kematian pada penyakit gagal ginjal kronik disebabkan oleh komplikasi
kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk dalam terapi kardiovaskuler adalah pengendalian
tekanan darah, pengendalian gula darah, dislipidemia, pengendalian anemia,
hiperfospatemia, dan terrapi terhadapi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.1

e. Terapi Pengganti Ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,
dan transplantasi ginjal.1
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik uremia,
dan malnutrisi. Terdapat 2 indikasi dalam terapi dialisis yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati uremik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)
> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8

mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.1

2) Dialisis peritoneal (DP)


Indikasi medik CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis), yaitu (1) pasien
anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), (2) pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, (3) pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, (4) kesulitan pembuatan AV shunting, (5) pasien
dengan stroke, (6) pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup,
dan (7) pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri),
dan di daerah yang jauh dari pusat perawatan ginjal.1

22
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.

b) Kualitas hidup normal kembali.


c) Masa hidup (survival rate) lebih lama.

d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat


imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal donor.

I. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita GGK akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari GGK menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah1 :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme dan masukan
diet berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi ureum dan dialisis
yang tidak adekuat.
3. Anemia akibat penurunan eritropoietin.
4. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium
akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
5. Sindroma uremik akibat ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit, asam basa,
retensi nitrogen, metabolisme lain, gangguan hormonal.
6. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
7. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.

J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan GGK menurut data epidemiologi menunjukkan bahwa
GGK sering menyebabkan kematian. Tingkat kematian secara keseluruhan meningkat oleh
karena penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama kematian pada pasien dengan GGK
adalah penyakit jantung. Hal ini lebih sering karena perkembangan GGK ke tahap 5.

23
Sementara terapi transplantasi ginjal dapat mempertahankan kondisi pasien dan
memperpanjang kehidupan dan kualitas hidup. Transplantasi ginjal dapat meningkatkan
kelangsungan hidup pasien dengan GGK stadium 5 secara signifikan bila dibandingkan
dengan terapi pilihan lain. Namun, hal ini dapat meningkatkan mortalitas jangka pendek.
Hal ini lebih sering terjadi akibat komplikasi dari operasi transplantasi ginjal tersebut.
Pilihan terapi lain seperti home hemodialysis menunjukkan peningkatan kehidupan dan
kualitas hidup dibandingkan dengan hemodialisis secara konvensional (3 kali dalam
seminggu) dan peritoneal dialysis.

24
BAB III
PEMBAHASAN

The National Kidney Foundation-Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative (NKF-


K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai (1) kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau
lebih, berupa kelainan struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi kelainan patologis atau petanda (marker)
kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah maupun urin, atau kelainan dalam
tes pencitraan; atau (2) LFG < 60 ml/menit/1,73 m2 selama tiga bulan atau lebih, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal. Berdasarkan derajat penyakit, yang ditentukan dari nilai laju filtrasi
glomerulus, maka NKF-K/DOQI merekomendasikan klasifikasi CKD menjadi 5 stadium.
Menurut klasifikasi ini, CKD stage V ditegakkan bila nilai LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.
Gejala klinik yang ditunjukkan oleh penderita CKD meliputi: (1) sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus
urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya. (2)
gejala-gejala Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual dan muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (3) Gejala komplikasinya antara lain,
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
Pada kasus ini, pasien perempuan, 27 tahun, mengeluh sesak nafas sejak 3 hari SMRS,
yang bertambah berat bila pasien berbaring atau beraktivitas, namun agak membaik dengan
perubahan posisi dan beristirahat. Pasien juga mengeluh perut terasa sebah dan mual tanpa
disertai muntah. Pasien mengeluh kedua tangannya bengkak secara bersamaan. Semenjak
timbulnya keluhan-keluhan diatas, pasien merasa badannya lemah seperti tidak bertenaga.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia th. 2000 meliputi: Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes melitus
(18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), Sebab lain (13,65%).
Gambaran laboratorium CKD meliputi: (1) sesuai dengan penyakit yang mendasarinya;
(2) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum serta
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault; (3) kelainan
biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin (anemia), peningkatan kadar asam
urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,

25
hipokalsemia, asidosis metabolik dan (4) kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria,
hematuria, leukosuria.
Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya anemia
(hemoglobin 7,6 g/dl) Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan adanya peningkatan kadar
BUN (79 mg/dl), peningkatan kreatinin (10,18 mg/dl) dan penurunan LFG (7,39 ml/menit/1,73
m2 )
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini di
diagnosis dengan CKD Stage V karena secara klinis dijumpai 3 gejala/tanda klasik CKD yaitu
edema, anemia, dan hipertensi, ditambah penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan LFG <
15 ml/menit/1,73m2.
Penatalaksanaan CKD meliputi: (1) terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, (2)
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid tersebut antara lain
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-
obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya), (3)
memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi farmakologis), (4)
pencegahan dan terapit erhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit), (5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi
renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan (6) terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.
Terapi pengganti ginjal merupakan terapi definitif pada pasien CKD stadium V. Terapi
pengganti ginjal tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal.
Hemodialisis emergensi adalah salah satu pilihan hemodialisis yang dikerjakan pada pasien-
pasien CKD dengan LFG < 5 ml/menit/1,73 m2 dan atau bila ditemukan salah satu dari keadaan
berikut: (1) adanya keadaan umum yang buruk dan kondisi klinis yang nyata, (2) serum kalium
> 6 meq/L, (3) ureum darah > 200 mg/dL, (4) pH darah < 7,1, (5) anuria berkepanjangan (> 5
hari), (6) serta adanya bukti fluid overload.
Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi kegagalan
fungsi ginjal yang didukung dengan GFR 7,39 mL/min/1,73 m2. Sehingga penatalaksanaan
utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Hemodialisis
emergensi dipilih pada pasien ini karena dijumpai adanya uremic lung yang merupakan salah
satu petanda terjadinya fluid overload. Selanjutnya pasien ini menjalani Hemodialisis regular
1x seminggu.

26
Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Mekanisme terjadinya anemia pada CKD
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin akibat menurunnya fungsi ginjal. Hal-hal yang
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah: defisiensi besi, kehilangan darah
(misalnya akibat perdarahan saluran cerna atau hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek
akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar
hemoglobin ≤ 10 gr % atau HCT ≤ 30% yang meliputi evaluasi terhadap status besi
(SI/TIBC/ferritin), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, serta kemungkinan adanya
hemolisis. Pemberian tranfusi pada pasien CKD harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh dan hiperkalemia, yang kita ketahui dapat
menyebabkan perburukan fungsi ginjal.
Kontrol terhadap tekanan darah sangat penting, tidak hanya untuk menghambat
perburukan CKD, tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler.
Penatalaksanaan hipertensi pada pasien CKD berupa diet rendah garam dan pemberian obat
antihipertensi golongan ACE inhibitor dan atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB). ACE
inhibitor dan ARB merupakan pilihan obat antihipertensi untuk pasien CKD karena keduanya
mengurangi hipertensi glomerulus melalui 2 mekanisme, yaitu: (1) menurunkan tekanan darah
sistemik dan menyebabkan vasodilatasi arteriol eferen; dan (2) meningkatkan permeabilitas
membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin fibrogenik. ARB mempunyai efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan ACE inhibitor (seperti batuk atau hiperkalemia), akan
tetapi karena harga ARB lebih mahal, maka biasanya ARB direkomendasikan bagi pasien yang
tidak memberikan respon positif terhadap pengobatan dengan ACE inhibitor.
Adapun target penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien CKD,
tergantung pada kadar protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar protein urin > 1
gr/hari, target tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75mmHg, sedangkan bila kadar
protein dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan tekanan darah yang diharapkan ialah < 130/80
mmHg.
Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD ialah edema
paru. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada pasien dengan penyakit
ginjal secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru renal primer dan (2) edema paru
sekunder sebagai konsekuensi renal dan jantung. Edema paru renal secara klasik berkaitan
dengan adanya kelebihan volume cairan ekstraseluler sebagai akibat dari kegagalan eksresi air
dan natrium. Edema paru mikrovaskular merupakan bentuk edema paru renal primer lainnya,

27
yang terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas kapiler paru, yang mungkin disebabkan
karena penurunan tekanan onkotik plasma. Sedangkan edema paru sekunder sebagai
konsekuensi ginjal dan jantung biasanya merupakan komplikasi dari kelainan jantung yang
telah ada sebelumnya, misalnya akibat kardiomiopati hipertensif, anemik, maupun uremikum.
Pada kasus CKD, mekanisme utama yang mendasari terjadinya edema paru ialah fluid
overload akibat retensi cairan dan natrium. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan hidrostatik
pada kapiler paru yang diikuti oleh terjadinya transudasi cairan dari kapiler paru ke dalam
ruang interstisial maupun alveolus paru. Adanya cairan yang mengisi ruang alveolus
mengakibatkan gangguan pada proses difusi gas, dari alveolus ke kapiler paru. Secara klinis,
keadaan ini ditandai oleh adanya keluhan sesak nafas, rhonki pada pemeriksaan fisik, serta
gambaran foto thorax yang mengarah pada kesan suatu edema paru. Pada kasus ini, pasien
mengeluh sesak nafas dan ditemukan rhonki pada paru kanan dan kesan edema pulmonum pada
foto thoraxnya. Temuan-temuan ini mengarahkan dugaan adanya edema paru pada pasien ini.
Pembatasan asupan air pada pasien CKD sangat perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun insesible water loss (IWL) antara
500 sampai 800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk
dianjurkan 500 sampai 800 ml, ditambah jumlah urin per hari.
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Salah satu cara untuk mengurangi keadaan tersebut adalah dengan pembatasan
asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit/1,73m2.
Jumlah protein yang dianjurkan ialah 0,6–0,8g/kgBB/hari, yang mana 0,35-0,50 gram
diantaranya sebaiknya merupakan protein dengan nilai biologis tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Diet rendah garam (2-3 gr/hari) juga dianjurkan
sebagai upaya untuk mencegah volume overload sekaligus sebagai terapi nonfarmakologis
untuk mengatasi hipertensi.
Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat fosfat. Agen yang banyak
dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat.
Pasien CKD mengalami peningkatan risiko athesklerosis karena tingginya prevalensi
faktor risiko “tradisional” dan non “tradisional”. Peningkatan kadar homosistein merupakan
salah satu faktor risiko non tradisional yang sering terjadi pada pasien CKD. Adapun
mekanisme peningkatannya, hingga saat ini masih belum jelas. Homosistein berperan dalam

28
memicu proses atherogenesis melalui beberapa cara: (1) menyebabkan kerusakan sel endotel
pembuluh darah, (2) merangsang aktivasi trombosit, (3) mempengaruhi beberapa faktor yang
terlibat dalam kaskade pembekuan darah, seperti menurunkan aktivitas anti thrombin,
menghambat aktivitas kofaktor trombomodulin dan aktivasi protein C, meningkatkan aktivitas
faktor V dan faktor XII, mengganggu sekresi faktor von Willebrand oleh endotel dan
mengurangi sintesis prostasiklin.
Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya
hiperhomosisteinemia pada pasien CKD, karena asam folat merupakan salah satu substansi
penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein. Pada kasus ini, pasien diberikan terapi
asam folat 2 x 2 mg.

29
BAB IV
KESIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal
yang ditandai dengan adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan yang dengan atau
tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73m2, yang bersifat progresif dan irreversible. Adapun
gejala klasik CKD diantaranya adalah edema, hipertensi, dan anemia. Berdasarkan derajat
penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage yang dinilai dari LFG. Gejala klinis CKD meliputi
gejala penyakit dasar, gejala sindrom uremikum, serta gejala komplikasi CKD.
Penatalaksanaan CKD disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.
Pada kasus ini, pasien di diagnosis dengan CKD stage V, sehingga penatalaksanaan
utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Disamping itu pada
pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang lainnya, yang disesuaikan dengan
manifestasi klinis yang muncul. Penanganan etiologi, gejala, dan komplikasi penyakit dengan
tepat, serta perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan akan
membantu mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono, S., 2009. Penyakit Ginjal Kronik. In: Ketut suwitra, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam, 1035-49.
2. Prodjosudjadi, W. Glomerulonefritis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006:527-30.
th
3. PERNEFRI. 2011. Naskah lengkap & abstrak makalah bebas, The 11 national
congress of InaSN & Annual meeting of nephrology 2011.
4. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;2011:591-3.
5. Smeltzer, Suzanne, Bare BG. 2001. Buku ajar medical bedah. Jakarta: EGC

6. Chung, R. T., Podolsky, D. K., 2011. Harrison’s Principles of Internal Medicine:

Azotemia and urinary abnormalities.18th editing, New York: McGraw-Hill. Harrison's


Online Chapter 44.
7. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK,
Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
8. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 25 Mei
2013.
9. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
10. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta:
CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.

31

Anda mungkin juga menyukai