Anda di halaman 1dari 6

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada


pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia
obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin.
Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian
atau cacat organ tubuh menetap.

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:

1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah
jantung dan menaikkan tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan
leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada
syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan
jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan
bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis,
atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang
penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.

A. Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati
syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas ototjantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme
kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu
denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek.

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi
pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam
keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB
untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah
dan nadi menunjukkanperbaikan. Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena
kecuali pada keadaantertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun
selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan
absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benardiragukan, adrenalin mungkin diberikan
dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat
dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa
menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu
membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnyaperlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat
memberikan adrenalin tersebut. Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita
anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator
dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat
pengganti adrenalin. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena.
Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml
NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin
pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang
juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit),
diulang tiap 6 jam selama 48 jam.

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak


banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang
hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil
(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 200 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 0,2 mg/kg BB.

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4- 7


mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atauaminofilin
5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin,
salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4
ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrose
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10
mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter
dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam
secara infus dengan dextrose 5%.

B. Terapi Cairan.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma.

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler,volume nterstitial,
dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan
onkotik intravaskuler.

C. Mempertahankan Suhu Tubuh

Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk


mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh
penderita karena akan sangat berbahaya.

D. Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa
harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah
teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama
selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.

Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital
sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema
laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan
gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark
miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat
adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.
Gambar. Algoritma Resusitasi Syok Anafilaksis

Referensi :

1. Penatalaksanaan syok anafilaktik in http://nursingbegin.com/penatalaksanaan-syok-


anafilaktik/

2. Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of


anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008.

Anda mungkin juga menyukai