Anda di halaman 1dari 43

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

a. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang

dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya keterbatasan aliran

udara yang persisten dan umumnya bersifat progresif, berhubungan

dengan respons inflamasi kronik yang berlebihan pada saluran napas

dan parenkim paru akibat gas atau partikel berbahaya (PDPI, 2016).

Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada beratnya penyakit.

Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh

gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis)

dan kerusakan parenkim (enfisema) yang bervariasi pada setiap

individu, akibat inflamasi kronik yang menyebabkan hilangnya alveoli

dan saluran napas kecil dan penurunan rekoli paru (GOLD, 2015).

PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok

dalam waktu yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik

yang bermakna sebagai pertanda sudah terdapat kondisi komorbid

lainnya. PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan berhubungan

dengan berbagai factor risiko seperti merokok, polusi udara, usia, dan

lain-lain (Am J Respir, 2015). PPOK sendiri juga mempunyai sistemik


commit to user

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang bermakna sebagai petanda sudah terdapat kondisi komorbid

lainnya. Dampak PPOK pada setiap individu tergantung derajat

keluhan (khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek

sistemik dan gejala komorbid lainnya. Hal tersebut tidak hanya

dipengaruhi oleh derajat keterbatasan aliran udara (PDPI, 2016).

Bronkitis kronik dan enfisema tidak dimasukkan definisi PPOK

karena enfisema merupakan diagnosis patologik dan bronchitis kronik

merupakan diagnosis klinis. Selain itu keduanya tidak selalu

mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran napas (PDPI,

2016).

Gambar 1. Ilustrasi penyempitan jalan napas pada PPOK

b. Epidemiologi

Penyakit paru obtruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu

penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di


commit to user
Indonesia. Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan semakin tinggi pajanan factor risiko, seperti factor pejamu yang

diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya

jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda serta

pencemaran udara didalam ruangan maupun di luar ruangan dan di

tempat kerja (PDPI,2016).

Prevalensi PPOK bervariasi di beberapa negara. Perbedaan dalam

metode diagnosis dan klasifikasi PPOK menjadi salah satu penyebab

variasi. Perkiraan prevalensi PPOK akan lebih tinggi ketika

menggunakan spirometri sebagai metode diagnosis dibandingkan

hanya berdasarkan pada gejala. PPOK juga lebih umum dijumpai pada

populasi dengan usia yang lebih tua dan sangat umum dijumpai pada

mereka yang berusia lebih dari 75 tahun (Vijayan, 2013). Studi di

Amerika Serikat menunjukkan bahwa riwayat emfisema yang

terdiagnosis oleh dokter atau kondisi gangguan fungsi paru (biasanya

FEV1<60 atau 65% dari nilai prediksinya) dijumpai pada 4-6% pria

dewasa berkulit putih dan 1-3% wanita dewasa berkulit putih.

Sebaliknya, pada populasi berkulit hitam, prevalensi PPOK

(FEV1<65% nilai prediksi) adalah 3,7% pada pria dan 6,7% pada

wanita (Bang KM, 1993). Pada kebanyakan penelitian di Negara maju,

prevalensi PPOK lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Hal

ini kemungkinan terkait dengan riwayat merokok. Prevalensi PPOK

juga lebih besar pada individu yang lebih tua, terutama mereka yang

berusia 75 tahun dan lebih tua. Berdasarkan studi di Kanada dan


commit to user

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Jepang, tren prevalensi dari waktu ke waktu cenderung serupa antara

pria dan wanita. Namun, di Australia, terjadi penurunan prevalensi

pada pria antara tahun 1998 dan 2003, tetapi meningkat pada wanita

(Bang KM, 1993).

Di Indonesia sendiri tidak ada data yang akurat tentang prevalensi

PPOK. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun 1986, asma, bronkitis kronik, dan emfisema menduduki

peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab

kesakitan utama. Berdasarkan data RISKESDAS 2013, prevalensi

PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10%), diikuti

Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan

masing-masing 6,7%. Berdasarkan data RISKESDAS, prevalensi

PPOK mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia.

PPOK juga lebih umum dijumpai pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat

dengan pendidikan rendah (RISKESDAS, 2013).

c. Etiologi

1) Asap Rokok

Kebiasaan merokok saat ini adalah satu-satunya penyebab

kausal yang terpenting. Asap rokok mempunyai prevalensi yang

tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru.

Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat rata-rata

penurunan VEP( GOLD,2015). Perokok adalah seseorang yang


commit to user

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dalam hidupnya pernah menghisap rokok sebanyak 100 batang

atau lebih dan saat ini masih merokok. Sedangkan bekas perokok

adalah yang telah meninggalkan kebiasaan merokok selama 1

tahun (WHO COPD, 2015).

2) Polusi Udara

Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara

dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan

macam partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap

timbul dan beratnya PPOK (PDPI,2016). Agar lebih mudah

mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi:

a. Polusi di dalam ruangan: asap rokok, asap dapur ( kompor,

kayu, arang, dll ).

b. Polusi di luar ruangan: gas buang kendaraan bermotor,

debu jalanan.

c. Polusi di tempat kerja: bahan kimia, zat iritasi, gas beracun.

3) Infeksi Saluran Napas Bawah Berulang

Infeksi virus dan bakteri berperan dalam pathogenesis dan

progresivitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi

jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi.

Infeksi saluran napas berat pada saat anak. Akan menyebabkan

penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat

dewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan

penyebab keadaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada


commit to user

22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperaktivitas bronkus

yang merupakan faktor risiko pada PPOK. Pengaruh berat badan

lahir rendah akan meningkatkan infeksi virus yang juga merupakan

faktor risiko PPOK. Riwayat infeksi tuberculosis berhubungan

dengan obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun (PDPI,

2016).

4) Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK

belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan di

luar ruangan, pemukiman yang padat, nutrisi yang buruk dan faktor

lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi, kemungkinan

dapat menjelaskan hal ini. Peningkatan daya beli menyebabkan

peningkatan kendaraan bermotor di Indonesia. Kemajuan ekonomi

menyebabkan berkembangnya berbagai industri dengan dampak

peningkatan polusi udara (PDPI,2016).

5) Tumbuh Kembang Paru

Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama

kehamilan, kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan

maksimal penurunn fungsi paru seseorang adalah risiko untuk

terjadinya PPOK. Studi metaanalisa menyatakan bahwa berat lahir

mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak (PDPI,2016).

6) Genetik

commit to user

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari

interaksi gen lingkungan. Faktor risiko genetic yang paling sering

terjadi adalah mutase gen serpina-1 yang mengakibatkan

kekurangan α-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin.

Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada penduduk asli

Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan

emfisema panlobular dengan penururnsn fungsi paru yang terjadi

baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan α-1

antitripsin yang berat. Banyak variasi individu dalam hal beratnya

emfisema dan penurunan fungsi paru. Meskipun kekurangan α-1

antitripsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di dunia, hal ini

menggambarkan interaksi antara gen dan pajanan lingkungan yang

menyebabkan PPOK. Gambaran diatas menjelaskan bagaimana

faktor risiko genetic berkontribusi terhadap timbulnya PPOK

(PDPI,2016).

Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara

genetil telah diteliti pada peroko yang mempunyai keluarga PPOK

berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor genetic

mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi

kromosom 2q7 terlibat dalam pathogenesis PPOK, termasuk TGF-

1, mEPHX1 dan TNF (Respirology, 2013).

7) Jenis Kelamin

commit to user

24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sampai saat ini hubungan yang pasti antara gender dengan

kejadian PPOK masih belum jelas, penelitian terdahulu

menyatakan angka kesakitan dan kematian akibat PPOK lebih

sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan, namun saat ini

angka kejadian PPOK hamper sama antara laki-laki dan

perempuan, terkait dengan bertambahnya jumlah perokok

perempuan (PDPI,2016).

Penelitian Torres dkk ( Torres JP, 2011) yang

menghubungkan gender dengan PPOK menyimpulkan:

a. Laki-laki dan perempuan perokok dengan PPOK terdapat

perbedaan kadar beberapa biomarker plasma yang berimplikasi

pada emfisema (IL-6, IL 16, VEGF).

b. Laki-laki dan perempuan dengan PPOK terdapat perbedaan kadar

biomarker plasma sesuai dengan perbedaan manifestasi klinis yaitu

pada perempuan lebih berat.

d. Patogenesis

Selama beberapa tahun terakhir, pemahaman terkait

patogenesis dari PPOK terus berkembang secara signifikan dan

konsep-konsep baru terus bermunculan. Padangan terkini terkait

patogenesis PPOK adalah penyakit tersebut disebabkan oleh

hambatan aliran udara yang berlangsung kronik akibat respons

inflamasi yang abnormal akibat partikel dan gas yang terhirup ke

dalam paru. Patogenesis PPOK berhubungan erat dengan efek asap


commit to user

25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

rokok terhadap paru-paru. Terdapat hubungan antara riwayat

merokok dengan tingkat keparahan hambatan aliran udara. Namun

demikian, terdapat variasi yang sangat besar antar individu.

Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari

respons inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok.

Mekanisme untuk amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan

disebabkan faktor genetik. Beberapa pasien menderita PPOK tanpa

merokok, respons inflamasi pada pasien ini belum diketahui.

Inlamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan

proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik

perubahan patologis PPOK (PDPI,2016).

e. Diagnosis

Diagnosis PPOK dapat di tegakkan dengan melakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan melakukan pemeriksaan penunjang, meliputi

pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus. Ketika melakukan

anamnesis, hal-hal yang perlu diketahui adalah riwayat merokok atau

bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan, riwayat pajanan

zat iritan yang bermakna di tempat kerja, riwayat emfisema pada

keluarga, faktor predisposisi pada masa kanak-kanak (seperti berat

badan lahir rendah, infeksi saluran napas berulang, lingkungan dengan

asap rokok dan polusi udara), ada tidaknya gejala batuk berulang

dengan atau tanpa dahak, sesak degan atau tanpa bunyi mengi.

commit to user

26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada tahap awal PPOK biasanya dijumpai gejala minimal atau

tanpa gejala dan seiring berkembangnya penyakit, gejala pada masing-

masing pasien bervariasi. Pasien individu menilai pentingnya gejala

yang berbeda secara berbeda. Namun, pada umumnya, sesak napas

adalah gejala yang paling memprihatinkan. Dalam melakukan

pemeriksaan fisik, beberapa kondisi yang penting untuk inspeksi

adalah pursed-lips breathing, barrel chest (diameter antero-posterior

dan transversal sebanding), penggunaan obat bantu napas, hipertrofi

otot bantu napas, pelebaran sela iga, apabila terjadi gagal jantung maka

terlihat denyut vena jugularis dan edema tungkai, pink puffer, dan blue

bloater. Pink puffer merupakan gambaran yang khas pada emfisema,

dimana penderita tampak kurus, kulit kemerahan, dan dijumpai

pursed-lips breathing. Sedangkan blue bloater merupakan gambaran

klinis yang khas pada bronkitis kronik. Penderita biasanya tampak

gemuk, sianosis, edema tungkai, ronki basah di basal paru, serta

sianosis sentral dan perifer.

Palpasi pada pasien emfisema akan dijumpai fremitus yang

melemah, dan pelebaran sela iga. Hasil perkusi didapatkan hipersonor,

batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar terdorong

ke bawah. Pada auskultasi dijumpai suara napas vesikuler normal atau

melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa

atau ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, dan bunyi jantung

commit to user

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terdengar jauh. Pemeriksaan rutin yang dilakukan dalam diagnosis

PPOK adalah (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) :

1. Faal paru

a) Spirometri biasanya dilakukan untuk menilai faal paru. VEP1

merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Dikatakan

obstruksi apabila nilai %VEP1 < 80% dari nilai prediksi atau

rasio VEP1/KVP < 75%.

b) Uji bronkodilator dilakukan dengan menggunakan spirometri.

Setelah pasien diberikan bronkodilator inhalasi sebanyak 8

hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1.

Dikatakan obstruksi apabila perubahan nilai VEP1 < 20% nilai

awal. Uji bronkodilator ini dilakukan pada PPOK stabil.

2. Darah rutin (Hb, Ht, leukosit)

3. Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan

penyakit paru lainnya. Pada emfisema umumnya terlihat gambaran

hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma

mendatar. Sedangkan pada bronkitis kronik dapat dijumpai

gambaran normal atau corak bronkovaskuler bertambah pada 21%

kasus.

f. Tatalaksana

commit to user

28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tujuan tatalaksana PPOK adalah untuk mengurangi gejala,

mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah

penurunan faal, meningkatkan kualitas hidup penderita. Secara umum,

tatalaksana pasien PPOK meliputi edukasi, obat-obatan, terapi oksigen,

penggunaan ventilasi mekanik, terapi nutrisi, dan rehabilitas

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Pada PPOK fase stabil,

pada dasarnya hanya terdapat tiga intervensi telah terbukti

mempengaruhi riwayat alami pasien dengan PPOK, yakni berhenti

merokok, terapi oksigen pada pasien hipoksemia kronis, dan operasi

pengurangan volume paru pada pasien tertentu dengan emfisema

(Reilly et al, 2015).

1. Edukasi

Tujuan edukasi pada pasien PPOK adalah untuk mengenal

perjalanan penyakit dan pengobatannya, melaksanakan pengobatan

yang maksimal, mencapai aktivitas optimal, dan meningkatkan

kualitas hidup pasien. Edukasi pasien PPOK mulai diberikan sejak

diagnosis ditegakkan dan terus berlanjut pada setiap kunjungan

pasien. Edukasi tidak hanya diberikan pada pasien, tapi juga bagi

keluarganya. Secara umum, bahan edukasi yang diberikan adalah

pengetahuan dasar tentang PPOK, obat apa yang biasa dikonsumsi

dan apa saja efek sampingnya, cara mencegah perburukan

penyakit, menghindari perburukan dengan berhenti merokok, serta

commit to user

29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

aktivitas apa yang sesuai untuk pasien (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2003).

Terkait dengan menghentikan kebiasaan merokok, telah

dibuktikan bahwa perokok yang berhasil menghentikan kebiasaan

merokok akan mengalami peningkatan yang signifikan dalam

tingkat penurunan fungsi paru, kembali ke perubahan tahunan

serupa dengan pasien yang tidak merokok. Dengan demikian,

semua pasien dengan PPOK harus sangat didorong untuk berhenti

merokok dan dididik tentang manfaat berhenti. Terdapat tiga

pendekatan farmakologis utama untuk mendorong seseorang

berhenti merokok, yakni bupropion; terapi penggantian nikotin

tersedia sebagai permen karet, transdermal patch, permen, inhaler,

dan semprot hidung; dan varenicline, agonis reseptor / antagonis

asam nikotinat (Reilly et al, 2015).

2. Penggunaan Obat-obatan

Bronkodilator digunakan untuk mengatasi gejala

simptomatik pada pasien dengan PPOK. Rute inhalasi biasanya

lebih disukai dalam pemberian obat karena memiliki efek samping

yang lebih rendah daripada pemberian obat secara parenteral.

Antiinflamasi biasanya diberikan apabila terjadi eksaserbasi akut,

berperan dalam menekan inflamasi yang terjadi (biasanya dipilih

golongan metilprednisolon atau prednison). Pada eksaserbasi akut,

biasanya antiinflamasi diberikan dalam bentuk oral atau injeksi.


commit to user

30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Terapi inhalasi diberikan sebagai terapi jangka panjang apabila uji

kortikosteroid terbukti positif, yakni terdapat perbaikan VEP1

pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Studi terdahulu mengindikasikan bahwa infeksi bakteri

dapat memperburuk eksaserbasi. Percobaan awal antibiotik

profilaksis atau supresif, yang diberikan baik secara musiman atau

tahunan, gagal menunjukkan dampak positif pada kejadian

eksaserbasi. Baru-baru ini, uji klinis menggunakan azitromisin,

dipilih untuk kedua sifat anti-inflamasi dan antimikrobanya,

diberikan setiap hari kepada subjek dengan riwayat eksaserbasi

dalam 6 bulan terakhir menunjukkan pengurangan frekuensi

eksaserbasi. Terapi lainnya adalah N-acetyl cysteine yang

diberikan pada pasien dengan PPOK baik sebagai mukolitik atau

antioksidannya. Akan tetapi, percobaan prospektif gagal

menemukan manfaat apa pun yang berhubungandengan penurunan

fungsi paru-paru atau pencegahan eksaserbasi (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2003).

3. Terapi Oksigen

Suplementasi O2 adalah satu-satunya terapi farmakologis

yang menunjukkan penurunan tingkat mortalitas pada pasien

dengan PPOK. Manfaat dari terapi oksigen adalah mengurangi

sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulmonal,


commit to user

31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki

fungsi neuropsikiatri, dan meningkatkan kualitas hidup. Indikasi

pemberiaannya adalah ketika PaO2 < 60mmHg atau saturasi O2 <

90%, Pao2 diantara 55-59 mmHg atau saturasi O2 > 89% disertai

kor pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan,

sleep apnea, dan penyakit paru lain. Terapi oksigen di rumah

diberikan kepada pasien PPOK stabil dengan napas berat yang

kronik. Sedangkan di rumah sakit, oksigen diberikan pada pasien

PPOK eksaserbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat atau ICU

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003; Reilly et al, 2015).

4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik diberikan kepada pasien PPOK

eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas kronik pada

pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi

mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK derajat berat

yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya, terdapat

komorbid yang berat (misalnya : edema paru dan keganasan),

aktivitas sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal.

Beberapa kemungkinan komplikasi dari terapi ventilasi mekanik

adalah VAP (ventilator acquired pneumonia), barotrauma

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

5. Terapi Nutrisi

commit to user

32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Meningkatnya kebutuhan energi akibat peningkatan kerja

muskulus respirasi akibat hipoksemia kronik dan hiperkapni

menyebabkan terjadinya hipermetabolisme yang kemudian

menyebabkan terjadinya malnutrisi pada pasien PPOK. Kondisi

malnutrisi akan menambah mortalitas pasien PPOK karena

berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru-paru dan gas

darah. Dengan demikian, diperlukan keseimbangan antara kalori

yang masuk dengan yang diperlukan. Bila diperlukan, nutrisi dapat

diberikan terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa

nasogaster.

Komposisi nutrisi yang cukup dapat mencakup tinggi

lemak rendah karbohidrat. Protein dapat meningkatkan ventilasi

semenit oxygen comsumption dan respon ventilasi terhadap

hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas

kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Gangguan keseimbangan elektrolit juga sering terjadi pada

PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai

akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan ini dapat

mengurangi fungsi diafragma dan dianjurkan pemberian nutrisi

dengan komposisi seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu

pemberian yang lebih sering (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2003).
commit to user

33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Rehabilitasi PPOK

Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen, yaitu latihan

fisik, psikososial, dan latihan pernapasan. Latihan fisik yang baik

akan menghasilkan peningkatan VO 2 max, perbaikan kepasitas

kerja aerobik maupun anaerobik, peningkatan cardiac output dan

stroke volume, peningkatan efisiensi distribusi darah. Disamping

latihan fisik, status psikososial pasien juga perlu diamati dengan

cermat dan bila diperlukan juga dapat diberikan obat. Latihan

pernapasan pada pasien PPOK bertujuan untuk mengurangi dan

mengontrol sesak napas. Teknik latihan yang digunakan adalah

pernapasan diafragma dan pursed lips untuk memperbaiki ventilasi

dan sinkronisasi kerja otot abdomen dan toraks (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2003).

2. Depresi

a. Definisi

Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup

serius. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa bepresi

berada pada urutn ke-empat penyakit di dunia. Sekitar 20% wanita dan

12% pria ( Nurmiati Amir, 2016). Hingga saat ini, depresi diperkirakan

mempengaruhi 350 juta orang, dengan Survei Kesehatan Mental Dunia

yang dilakukan di 17 negara menemukan bahwa, rata-rata, sekitar 1

dari 20 orang dilaporkan mengalami episode depresi pada tahun

sebelumnya (Robatmili et al, 2014). Gejala dari depresi meliputi


commit to user

34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

suasana hati yang depresi di luar proporsi terhadap penyebab apa pun.

Sebagian besar individu yang didiagnosis depresi melaporkan bahwa

mereka mengalami kehilangan minat dalam segala hal dalam hidup,

suatu gejala yang disebut sebagai anhedonia. Bahkan ketika mereka

mencoba melakukan sesuatu yang menyenangkan, mereka mungkin

tidak merasakan emosi. Pada kondisi depresi, perubahan nafsu makan,

tidur, dan tingkat aktivitas dapat terjadi dalam bentuk yang berbeda

pada masing-masing orang. Beberapa orang dengan depresi kehilangan

nafsu makan, sementara yang lain justru menjadi lebih banyak makan,

bahkan mungkin makan berlebihan. Beberapa orang dengan depresi

ingin tidur sepanjang hari, sementara yang lain sulit tidur dan dapat

mengalami bangun pagi, di mana mereka bangun pada pukul 3 atau 4

pagi setiap pagi dan tidak dapat kembali tidur (Hoeksema, 2011).

Secara perilaku, banyak orang dengan depresi mengalami

perlambatan, suatu kondisi yang dikenal sebagai retardasi psikomotor.

Mereka berjalan lebih lambat, bergerak lebih lambat, dan berbicara

lebih lambat dan tenang. Individu dengan depresi akan lebih sering

mengalami kecelakaan karena mereka tidak dapat bereaksi cukup cepat

untuk menghindarinya. Banyak orang dengan depresi kekurangan

energi dan merasa lelah secara kronik. Sebagian kecil orang dengan

depresi menunjukkan agitasi psikomotor, dimana mereka merasa

gelisah secara fisik, tidak bisa duduk diam, dan mungkin bergerak atau

jatuh tanpa tujuan. Pikiran orang-orang dengan depresi biasanya


commit to user

35
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dipenuhi dengan perasaan tidak berharga, rasa bersalah, hilang

harapan, dan bahkan bunuh diri. Mereka sering kesulitan

berkonsentrasi dan membuat keputusan. (Hoeksema, 2011)

Berdasarkan DSM-IV, kriteria diagnosis untuk depresi mayor

terdiri atas :

1. Lima atau lebih dari gejala berikut ini hadir hampir setiap hari

selama minimal 2 minggu; setidaknya salah satu gejalanya adalah

perasaan depresi atau kehilangan minat atau kesenangan:

a) Suasana hati depresi

b) Menurunnya minat secara signifikan atau kesenangan dalam

semua hal, atau hampir semua aktivitas

c) Penurunan berat badan yang signifikan, atau perubahan nafsu

makan

d) Insomnia atau hypersomnia

e) Retardasi psikomotor atau agitasi

f) Kelelahan atau kehilangan energi

g) Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau

tidak pantas

h) Penurunan kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau ragu-

ragu

i) Pikiran berulang tentang kematian, atau usaha bunuh diri atau

rencana khusus

2. Gejalanya tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran.


commit to user

36
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Gejala-gejala yang timbul menyebabkan distres atau gangguan yang

signifikan secara klinis di bidang fungsi sosial, pekerjaan, atau area

penting lainnya.

4. Gejala-gejalanya bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat

(misalnya obat penyalahgunaan atau obat-obatan) atau kondisi medis

umum (misalnya : Hipotiroidisme).

5. Gejala yang timbul bukan karena kondisi berkabung; depresi berat

masih dapat didiagnosis jika gejala-gejala setelah kehilangan orang

yang dicintai bertahan selama lebih dari 2 bulan atau ditandai dengan

gangguan fungsional, ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi

psikomotor

Pasien dengan gangguan mood mengalami kelainan pada

metabolit amin biogenik, termasuk asam 5-hydroxyindoleacetic (5-

HIAA), asam homovanilic (HVA), dan 3-methoxy-4 hydroxyphenil-

glycol (MPHG) di dalam darah, urin, dan cairan serebrospinal (Siste

dan Ismail, 2010 ). Hingga saat ini, terdapat beberapa hipotesis yang

menjelaskan patofisiologi depresi. Terdapat hipotesis yang menyatakan

bahwa menurunnya jumlah neurotransmitter norepinefrin (NE),

serotonin (5-HT) dan dopamin (DA) dalam otak dapat menyebabkan

depresi. Hipotesis lainnya menyatakan bahwa perubahan patologis pada

reseptor akibat terlalu kecilnya stimulasi oleh monoamine dapat

menyebabkan terjadinya depresi. Sedangkan menurut hipotesis

disregulasi, tidak beraturannya neurotransmitter menyebabkan


commit to user

37
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terjadinya gangguan depresi dan psikiatrik. Adanya kegagalan

hemostatik sistem neurotransmitter merupakan faktor yang sangat

ditekankan pada hipotesis ini, bukan pada penurunan atau peningkatan

absolut aktivitas neurotransmitter (Sukandar dkk., 2009 ).

b. Depresi pada pasien PPOK

Depresi sering terjadi pada pasien PPOK. Sekitar 40% pasien

dipengaruhi oleh gejala depresi berat atau depresi klinis. Prevalensi

gejala depresi pada pasien PPOK bervariasi (Stage et al, 2006) Van

Ede et al (1999) dan Mikkelsen et al (2004) melaporkan prevalensi

depresi pada pasien PPOK berkisar antara 6% hingga 57%. Studi

longitudinal oleh Schneider et al (2010), dari 35.000 pasien dengan

PPOK dan dengan follow up 10 tahun kemudian, dijumpai kejadian

depresi adalah 16,2 kasus per 1.000 orang-tahun pada kelompok PPOK

dibandingkan dengan 9,4 kasus per 1.000 orang-tahun dalam kontrol

non-PPOK kelompok. Mereka dengan PPOK berat memiliki peluang

dua kali lebih mungkin mengalami depresi dibandingkan dengan

pasien dengan PPOK ringan (Atlantis et al, 2013) Studi cross-sectional

oleh Eisner et al (2010), melaporkan bahwa pasien PPOK 85% lebih

mungkin untuk mengembangkan gangguan kecemasan dibandingkan

dengan kontrol yang sehat dan cocok (variabel perancu seperti

karakteristik demografi dan keparahan penyakit telah disesuaikan).

Studi lainnya oleh Manen et al, menunjukkan prevalensi depresi pada

pasien PPOK dengan obstruksi jalan napas berat (FEV1 <50%) adalah
commit to user

38
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25% dan bahwa mereka memiliki risiko depresi 2,5 kali lebih besar

daripada kontrol yang sebanding untuk variabel demografi dan adanya

komorbiditas (Manen, 2002).

Tinjauan sistematis dan meta-analisis dari 25 penelitian dengan

tindak lanjut jangka panjang mengungkapkan bahwa hubungan antara

COPD dan depresi cenderung bersifat bidireksional (Atlantis et al,

2013). Hal ini dikarenakan depresi dapat menjadi penyebab dan

konsekuensi dari PPOK Pumar et al (2016). menyatakan bahwa

individu dengan depresi akan berisiko lebih tinggi untuk merokok

secara rutin dan akhirnya akan menjadi sulit berhenti merokok.

Sebaliknya, seorang perokok akan lebih mudah mengalami depresi

yang disebabkan oleh aktivasi reseptor asetilkolin nikotinik (Mineur

dan Piciotto, 2010), atau dampak dari inflamasi langsung dari rokok

(Sinden dan Stockley, 2010). Namun, mekanisme pasti yang

menghubungkan PPOK dengan depresi dan kecemasan masih belum

teridentifikasi. Keterkaitan antara merokok, depresi dan / atau

kecemasan dan PPOK masih tidak jelas. Merokok dikatakan dapat

meningkatkan risiko dan keparahan PPOK, membuat kegiatan sehari-

hari menjadi sulit dan stressful, serta meningkatkan risiko depresi atau

kecemasan pada pasien dengan COPD. Hubungan antara gangguan

kecemasan dan COPD tampaknya sebagian besar dijelaskan oleh

faktor perancu, seperti riwayat merokok sebelumnya dan

ketergantungan nikotin (Goodwin et al, 2011). Hubungan gangguan


commit to user

39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mood dengan PPOK tampaknya sebagian besar disebabkan oleh

ketergantungan nikotin. Depresi dan kecemasan dapat menyebabkan

rasa takut, panik dan putus asa, harga diri rendah, isolasi sosial dan

ketergantungan pada pengasuh, sehingga memulai lingkaran setan

yang memperparah kecemasan dan depresi.

Studi lain oleh Al-shair et al (2015), menyatakan bahwa inflamasi

lokal paru yang berlebihan pada sirkulasi kemungkinan merupakan

mekanisme yang terlibat. Marker sTNFR-1 menunjukkan adanya

hubungan yang kuat dengan tingkat depresi pada pasien PPOK. Hasil

yang berlawanan ditunjukkan oleh TNF- α. Akan tetapi lagi-lagi masih

belum jelas apakah inflamasi sistemik yang menyebabkan depresi atau

apakah depresi disebabkan oleh marker fenotip PPOK spesifik seperti

seringnya eksaserbasi. Faktor lain yang diduga terlibat dalam

perkembangan depresi pada pasien PPOK adalah kondisi hipoksia

(Puma et al, 2016). Rendahnya saturasi oksigen arterial berhubungan

dengan lesi periventrikuler substansia alba yang umumnya dijumpai

pada pasien depresi. Namun, signifikansi dari temuan ini masih

kontroversial, sebab lokasi hiperintensitas subkortikal pada pasien

depresi sangat bervariasi akibat perbedaan teknologi imaging, definisi

dari lesi, dan teknik pengukuran.

c. Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD)

HDRS adalah skala penilaian depresi administrasi klinik yang

paling sering digunakan. Versi asli mengandung 17 item (HDRS17)


commit to user

40
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berkaitan dengan gejala depresi yang dialami selama seminggu

terakhir. Meskipun skala dirancang untuk penyelesaian setelah

wawancara klinis tidak terstruktur, sekarang ada panduan wawancara

semi terstruktur yang tersedia. HDRS awalnya dikembangkan untuk

pasien rawat inap di rumah sakit, sehingga penekanan pada gejala

depresi melankolis dan fisik. Sebuah versi 21-item (HDRS21)

termasuk 4 item yang dimaksudkan untuk subtipe depresi, tetapi yang

kadang-kadang, salah, digunakan untuk menilai tingkat keparahan.

Keterbatasan HDRS adalah gejala depresi yang atipikal (mis :

Hipersomnia, hiperfagia) yang tidak dinilai. Metode untuk penilaian

bervariasi berdasarkan versi. Untuk HDRS17, skor 0-7 umumnya

dikategorikan sebagai kisaran normal (atau dalam remisi klinis),

sementara skor 20 atau lebih tinggi (menunjukkan setidaknya tingkat

keparahan moderat) biasanya diperlukan untuk masuk ke uji klinis

(Hamilton, 1960).

3. Kualitas Hidup

a. Definisi

Kualitas hidup merupakan konsep multidimensional yang luas

yang biasanya mencakup evaluasi subyektif baik aspek positif maupun

negatif dari kehidupan. Meskipun kesehatan merupakan salah satu

domain penting dari kualitas hidup secara keseluruhan, domain

lainnya, termasuk pekerjaan, tempat tinggal, sekolah, lingkungan,


commit to user
aspek budaya, nilai dan spiritualitas juga merupakan domain kunci dari

41
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kualitas hidup. Hal inilah yang menambah kompleksitas dari

pengukuran kualitas hidup. Sejak tahun 1980, mulailah berkembang

konsep health-related quality of life. Pada tingkat individu, konsep ini

mencakup persepsi kesehatan secara fisik dan mental, termasuk tingkat

energi dan suasana hati dan berkorelasi dengan risiko kesehatan, status

fungsional, dukungan sosial, dan status sosioekonomi.

b. Kualitas hidup pada pasien PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit umum pada

populasi dan merupakan penyakit dengan beban yang cukup besar

pada pasien yang secara negatif mempengaruhi kualitas hidup. PPOK

dikaitkan dengan masalah fisik, psikologis, dan sosial dan kualitas

hidup yang lebih buruk (QOL) (Anecchino et al, 2007). Sesak napas

dan kelelahan merupakan gejala yang paling dikeluhkan, yang

mempengaruhi kinerja tingkat aktivitas harian dan menurunkan

kualitas hidup pasien secara keseluruhan. Demikian pula, pasien

dengan PPOK juga mengalami penurunan fungsi psikologis dan fungsi

sosial, yang juga terkait dengan penurunan kualitas hidup keseluruhan.

Studi oleh Ahmed et al (2016), menunjukkan terjadinya penurunan

kualitas hidup di antara 124 pasien PPOK yang dinilai dengan

menggunakan Saint George’s Respiratory Questionnaire untuk pasien

PPOK (Dignani et al 2015), melaporkan bahwa semakin parah kondisi

PPOK, maka semakin buruk kualitas hidup pasien. Karena fungsi

paru-paru memburuk setiap hari, maka kegiatan juga akan terhambat,


commit to user

42
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sehingga kualitas hidup juga mengalami perburukan. Beberapa studi

juga telah membuktikan korelasi yang signifikan antara merokok

dengan merokok skor QOL. Karena merokok bertahun-tahun

meningkat, QOL memburuk (Miravitlles et al, 2007; Christopher et al,

2012; Engstrom et al, 2001). Merokok adalah agen etiologi yang

diketahui untuk PPOK dan peningkatan paparan akan menyebabkan

bertambah parahnya penyakit sehingga menyebabkan kualitas hidup

pasien yang lebih buruk. Merokok juga telah terbukti berdampak

secara independen terhadap kualitas hidup dengan cara negatif terlepas

dari kehadiran PPOK. (Prigatano, 1984) Dengan berhenti merokok,

terbukti akan meningkatkan skor kualitas hidup dan pengurangan

gejala yang berhubungan dengan PPOK (Papadopoulos et al, 2011).

Hal ini mengindikasikan pentingnya intervensi aktif untuk membantu

pasien PPOK berhenti merokok sebagai alat utama untuk manajemen

PPOK yang adekuat dan perbaikan kualitas hidup pasien.

Di antara variabel sosiodemografi, usia dan status sosial ekonomi

memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup. Dengan

bertambahnya usia, kualitas hidup akan memburuk. Namun, beberapa

studi menunjukkan hasil yang beragam terkait hal ini. Beberapa telah

menunjukkan hasil yang signifikan (Ferrer et al, 1997; Miravitlles et

al, 2007; Hesselink et al, 2006), namun studi lainnya ternyata

menunjukkan tidak ada korelasi antara usia dan kualitas hidup

(Engstrom et al, 2001). Beberapa bahkan melaporkan bahwa pasien


commit to user

43
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang lebih muda memiliki status kesehatan yang lebih buruk (Moy et

al, 2009). Studi lain juga menemukan status sosioekonomi yang buruk

akan berdampak buruk terhadap QOL (McSweeny et al, 1982). Di

samping itu, jenis kelamin juga telah terbukti berdampak pada kualitas

hidup. Kwon dalam studinya melaporkan pasien PPOK laki-laki

memiliki skor kualitas hidup yang lebih tinggi daripada pasien

perempuan. Namun, beberapa studi lain telah menunjukkan bahwa

gender tidak memainkan peran dalam QOL pasien PPOK (Medinas-

Amorós et al, 2008).

c. Saint George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ)

Saint George’s Respiratory Questionnaire dirancang untuk

mengukur gangguan kesehatan pada pasien dengan asma dan PPOK.

Kuesioner ini juga berlaku untuk menilai bronkiektasis dan telah

berhasil digunakan pada pasien dengan kyphoscoliosis dan sarkoidosis.

Kuesioner ini terdiri atas 2 bagian. Bagian pertama (pertanyaan No. 1-

8) membahas frekuensi gejala pernapasan. Kuesioner ini tidak

dirancang untuk menjadi alat epidemiologi yang tepat, tetapi untuk

menilai persepsi pasien tentang masalah pernapasan baru-baru ini.

Bagian kedua (pertanyaan No. 9-16) membahas keadaan pasien saat

ini. Skor aktivitas mengukur gangguan terhadap aktivitas fisik harian.

Skor dampak mencakup berbagai gangguan fungsi psikososial. Studi

validasi untuk SGRQ yang original, menunjukkan bahwa komponen

ini berkaitan dengan gejala pernapasan, tetapi juga berkorelasi cukup


commit to user

44
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kuat dengan kinerja latihan (misalnya : tes berjalan 6 menit), sesak

napas dalam kehidupan sehari-hari (skor sesak napas MRC) dan

gangguan suasana hati (kecemasan dan depresi). Oleh karena itu, skor

dampak merupakan komponen yang paling luas dari kuesioner, yang

mencakup seluruh rentang gangguan yang dialami pasien pernafasan

dalam kehidupan mereka.

4. Logoterapi

a. Sejarah perkembangan logoterapi

Logoterapi dikembangkan oleh Viktor Frankl pada tahun 1930-an

sebagai Sekolah Psikoterapi Vienna Ketiga (yang pertama adalah

Psikoanalisis oleh Sigmund Freud dan yang kedua adalah Psikologi

Individu oleh Alfred Adler). Setelah menyelesaikan gelar M.D. pada

tahun 1930, Victor Frankl bekerja di klinik neuropsikiatrik di

University of Vienna. Selain bekerja di universitas, Frankl mendirikan

pusat-pusat penasehat bagi orang-orang muda yang mengalami

tekanan. Dari sinilah prinsip dasar logoterapi terbentuk, yakni bahwa

semua realitas memiliki makna (logo) dan bahwa kehidupan tidak

pernah berhenti memiliki arti bagi siapa pun; arti ini bersifat sangat

spesifik dan berubah dari orang ke orang dan, untuk setiap individu,

berbeda dari waktu ke waktu: bahwa setiap orang itu unik dan setiap

kehidupan mengandung serangkaian tugas unik yang harus ditemukan

dan ditanggapi: hal tersebut adalah pencarian penugasan spesifik


commit to user
seseorang, dan tanggapannya, yang memberikan makna: dan bahwa

45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kebahagiaan, kepuasan, kedamaian pikiran hanyalah produk

sampingan dalam pencarian itu (Calabrese, 1974).

Pada masa Perang Dunia II Frankl menghabiskan dua setengah

tahun di Kamp konsentrasi Jerman sebagai tawanan perang. Selama di

dalam tahanan ini, Frankl berbuat banyak hal untuk mengkonfirmasi

teori-teori yang sudah ia kembangkan sebelumnya. Setelah menjalani

kehidupan di berbagai kamp penjara, kehidupan Frankl diperbaharui

dan kepercayaannya terhadap keunikan masing-masing individu untuk

dapat mempertahankan kemanusiaannya pada masa-masa sulit

semakin diperkuat. Dari pengalamannya di penjara Frankl belajar

bahwa segala sesuatunya dapat diambil dari diri seseorang, akan tetapi

kebabsan untuk memilih dan membuat keputusan terkait perilakunya

akan tetap ada dalam dirinya (Calabrese, 1974).

b. Dasar teori logoterapi

Ajaran mendasar dari logoterapi yang diajarkan oleh Frankl adalah

bahwa visi manusia terdiri atas tiga komponen yang saling tumpang

tindih, yakni somatik, psikologis, dan spiritual. Dimensi spiritual

disebut sebagai "noetic" dan dianggap sebagai tempat fenomena

manusia yang otentik seperti cinta, humor, atau rasa syukur dan

membedakan manusia dari hewan. Intentionality adalah faktor kunci

dalam konsep ini dan melibatkan pemahaman bahwa kita memiliki

pilihan dalam cara kita berperilaku. Konsep kebebasan akan

menggarisbawahi anggapan bahwa manusia bebas memilih tanggapan


commit to user

46
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mereka dalam batas-batas kemungkinan yang diberikan, di bawah

semua keadaan kehidupan. Mereka tidak "bebas dari" kondisi biologis,

psikologis, atau sosiologis mereka, tetapi mereka juga tidak

sepenuhnya ditentukan karena mereka "bebas untuk" mengambil sikap

terhadap kondisi-kondisi tersebut (Calabrese, 1974).

Frankl juga berbicara tentang kemauan untuk mamaknai keadaan,

yang melibatkan motivasi utama manusia untuk mencari tahu makna

dan tujuan hidup mereka. Makna bisa melampaui kesenangan karena

manusia mampu mengorbankan kesenangan dan mendukung rasa sakit

demi tujuan yang bermakna. Oleh karena itu, makna dalam kehidupan

melibatkan makna dalam semua keadaan, bahkan dalam penderitaan

dan kesengsaraan yang tak terhindarkan (Ameli and Dattilio, 2013).

Logoterapi milik Frankl (2006) bekerja di bawah asumsi bahwa dalam

hidup kita terus-menerus dihadapkan dengan apa yang disebut "Tragic

Triad." Triad ini terdiri dari rasa sakit, rasa bersalah, dan penderitaan.

Karena kehidupan bersifat dinamis, kita secara konstan dihadapkan

pada beberapa variasi dari keadaan pikiran ini. Menurut Frankl (2006),

kita dapat menangani triad kecemasan eksistensial ini dengan

mengubah sikap kita terhadap cara kita memahami dan akhirnya

menghadapinya.

c. Prinsip dasar logoterapi

Logoterapi adalah salah satu pendekatan yang paling penting dari

psikoterapi eksistensial atau berorientasi manusia yang berfokus pada


commit to user

47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

aspek spiritual manusia dan makna eksistensi manusia. Logoterapi

didasarkan pada gagasan bahwa penderitaan adalah bagian integral

dari kehidupan, jadi pasti terdapat makna di dalamnya, dan ketika

penderitaan seseorang bermakna, maka tidak akan mengganggu lagi.

Itu sebabnya ideologi ini diberi judul Logoterapi (Frankl, 1967).

Berikut ini merupakan prinsip dasar dari logoterapi (Frankl, 1973) :

1) The Freedom of Will (Kebebasan menentukan kehendak. Setiap

orang memiliki kebebasan untuk menemukan makna dalam apa

yang mereka lakukan, dan apa yang mereka alami, atau paling

tidak dalam sikap yang diambil ketika menghadapi situasi

penderitaan yang tidak dapat diubah. Akan tetapi, kebebasan ini

bukan tak terbatas, sebab manusia adalah makhluk terbatas

2) The Will to Meaning (Keinginan untuk hidup bermakna). Motivasi

utama seseorang untuk hidup adalah keinginan untuk menemukan

makna dalam hidup.

3) The Meaning of Life (Makna hidup). Makna hidup merupakan

segala hal yang dianggap penting dan berharga serta memberikan

nilai khusus bagi seseorang, sehingga dapat dijadikan tujuan hidup.

d. Filosofi logoterapi

Filosofi dasar dari logoterapi adalah untuk membantu individu

dan makna dalam hidupnya. Menurut Frankl, sangat penting bahwa

agama dan psikologi atau terapi harus dekat satu sama lain. Agama dan

psikoterapi adalah dua fenomena yang saling melengkapi satu sama


commit to user

48
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lain menurut logoterapi. tetapi bergerak ke arah yang berbeda. Dengan

filosofi logoterapi, tidak mungkin untuk menyebutkan makna tanpa

mendiskusikan agama atau spiritualitas di beberapa titik. Agama dan

spiritualitas ada dalam proses terapi, dengan adanya kedua komponen

tersebut, pasien dapat mencapai pemahaman yang lebih tinggi.

hubungan logoterapi dengan agama dan spiritualitas sangat dalam dan

ketat, seperti yang dipahami dari uraian Frankl. Oleh karena itu

ditekankan bahwa tidak ada ketidaknyamanan dalam menggunakan

spiritualitas dalam logoterapi, selama agama atau spiritualitas tidak

digunakan sebagai sarana penindasan. Oleh karena itu, studi logoterapi

berorientasi spiritual akan memberikan penjelasan pada efektivitas dan

filosofi logoterapi (Calabrese, 1974).

e. Teknik logoterapi

Peran terapis dalam logoterapi termasuk mengenai klien

sebagai sesama manusia, menekankan keunikan mereka, mengajarkan

bahwa mereka memiliki kebebasan untuk menanggapi situasi atau

masalah mereka, dan menunjukkan kepada klien berbagai teknik dan

bagaimana mereka dapat diterapkan pada situasi mereka. atau masalah.

Ketika klien menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kebebasan

untuk menanggapi, terapis membantu mereka untuk mencari

kebebasan mereka yang tersisa, dan mendorong mereka untuk

bertanggung jawab menanggapi kebebasan tersebut melalui perilaku,

commit to user

49
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pengalaman, atau perubahan sikap dengan cara yang mereka anggap

bermakna dan adaptif (Schulenberg et al, 2008).

Logoterapi menggunakan tiga teknik utama yang dikenal

sebagai Paradoxical Intention, Dereflection, dan Socratic Dialogue.

Teknik paradoxical intention pertama kali digunakan oleh Frankl pada

tahun 1929 dan didasarkan pada konsep self-distancing melalui

penggunaan humor atau, kadang-kadang, absurditas. Logoterapi

menunjukkan bahwa penggunaan humor sebagai esensi dari

paradoxical intention dan hal inilah yang membedakannya dari teknik

modifikasi perilaku (Frankl, 2004). Paradoxical intention dimulai

dengan self-distancing dari gejala seseorang (melalui humor), yang

diikuti dengan perubahan sikap dan pengurangan gejala. Studi Ascher

dan Efran (1978) menyatakan bahwa paradoxical intention adalah

teknik yang efektif secara klinis untuk kasus-kasus insomnia onset

yang resisten terhadap perawatan perilaku. Validasi paradoxical

intention secara empirik juga telah dibuktikan oleh studi Schulenberg

(2008) pada individu dengan gangguan tidur, agoraphobia, dan

kecemasan berbicara di depan publik (Dattillio, 1987), juga

melaporkan kerberhasilan penerapan paradoxical intention bersama

dengan teknik perubahan perilaku dalam mengatasi individu dengan

gangguan panik.

Derefleksi didasarkan pada gagasan bahwa selama penderitaan

seseorang akan menjadi hiper-reflektif, terus-menerus fokus ke dalam


commit to user

50
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diri sendiri dan persepsi kita sehingga membuat masalah atau gejala

menjadi lebih buruk (Frankl, 2006). Teknik derefleksi akan mampu

melawan hiper-refleksi dengan mengalihkan perhatian klien dari gejala

atau mengalihkannya ke orang lain atau area yang memotivasi /

bermakna, dengan demikian memungkinkan klien untuk memfokuskan

kembali pada pengejaran yang lebih bermakna dan bertujuan yang

penting untuk mencapai kesehatan menurut Existential Psychotherapy

(Frankl, 2006). Terdapat 4 tahapan pada proses derefleksi, meliputi

self-transcendence, menemukan tugas dan tujuan yang bermakna,

pengurangan gejala, dan perubahan sikap.

Terakhir adalah socratic dialogue, dimana terapis akan masuk

ke dalam dialog dan perdebatan dengan klien dan mengajukkan

pertanyaan sedemikian rupa sehingga pasien menjadi lebih sadar akan

keputusan pada alam bawah sadar mereka, harapan yang dipendam,

dan pengetahuan diri yang tidak diakui. Kata-kata klien sendirilah

yang digunakan sebagai metode untuk menemukan jati diri sendiri.

Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat spesifik,

diharapkan dapat membantu klien menemukan dan memiliki

kebebasan untuk memaknai.

Metode lainnya dalam logoterapi adalah existential analysis

dan medical ministry. Pada existential analysis, logoterapi hanya

berfungsi untuk membuka pandangan individu terhadap berbagai nilai

sebagai sumber makna hidup, yaitu nilai kreatif, nilai penghayatan, dan
commit to user

51
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

nilai sikap. Terapis hanya bertugas untuk membantu individu tersebut

menemukan sendiri makna hidupnya dan mampu menetapkan tujuan

hidup secara jelas. Pendekatan medical ministry memanfaatkan

kemampuan untuk mengambil sikap (to take a stand) terhadap kondisi

diri dan lingkungan yang tidak mungkin dirubah lagi. Medical ministry

merupakan perealisasian dari nilai-nilai bersikap (attitudinal values)

sebagai salah satu sumber makna hidup. Tujuan utama dari metode

medical ministry adalah membantu seseorang menemukan makna dari

penderitaannya (meaning in sufferin) dengan menerapkan metode/

tahap terapi berupa pemahaman diri, pengakraban hubungan, berpikir

positif, pendalaman 4 nilai, termasuk nilai berkarya, nilai penghayatan,

nilai bersikap dan nilai pengharapan dan ibadah (Bastaman, 2007).

f. Penerapan logoterapi

Logoterapi telah terbukti efektif pada beberapa kondisi seperti

kecemasan dan depresi pada ibu dengan anak yang menderita kanker

(Delavari et al, 2014), berhasil mengurangi depresi serta meningkatkan

arti hidup pada mahasiswa di Iran (Robatmili et al, 2014), reduksi

depresi pada orang-orang yang kecanduan obat-obatan (Arzani, 2016) ,

dan berpotensi mengatasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

pada tentara. Dalam studinya, Delavari menyatakan bahwa adanya

pelatihan logoterapi pada ibu dengan anak yang menderita kanker,

memungkinkan para ibu untuk menyadari makna penderitaan hidup

dan hal tersebut dapat mengubah sikap mereka terhadap kehidupan,


commit to user

52
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kehidupan sosial dan bertahan pada setiap kondisi sulit, sehingga

mengarahkan mereka pada pemahaman dan penerimaan yang lebih

baik atas tujuan hidup yang sesungguhnya dan penyakit anak mereka.

Studi Kang Kyung terkait efektivitas logoterapi pada remaja

menunjukkan bahwa terapi ini efektif dalam menurunkan rasa sakit

dan meningkatkan kemampuan remaja dengan kanker dalam

memaknai kehidupan (Kang et al, 2009). Studi Arzani terkait manfaat

logoterapi dalam tatalaksana depresi pada orang-orang dengan

kecanduan obat, menekankan bahwa depresi muncul ketika kehidupan

menjadi tidak berarti. Ketika manusia melihat hidupnya tidak berarti

karena masalah tertentu, maka dia akan menjadi depresi. Orang

tersebut melihat kehidupan yang dipenuhi rasa takut yang tidak dapat

diatasi. Ia melihat dirinya sendiri tidak berdaya melawan peristiwa

kehidupan. Orang yang kecanduan obat-obatan akan melihat

kehidupan mereka tanpa makna dan tidak mengetahui tujuan hidup.

Dengan mengetahui makna dalam hidup, dapat membantu pasien

untuk menjadi lebih baik dari depresi dan memikul tanggung jawab

mereka sendiri dengan mengandalkan kebebasan untuk memilih

kehidupan. Dalam logoterapi, Frankl menyatakan bahwa seseorang

harus memiliki tujuan hidup, sehingga dapat mengalahkan rasa

depresinya dan memikul tanggung jawabnya sendiri sembari

mengandalkan kebebasan untuk memilih kehidupan. Logoterapi

bertujuan untuk menyadari tanggung jawab sendiri secara tepat,


commit to user

53
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

meninggalkan kewajiban kepada pasien untuk memilih untuk

mengambil tanggung jawab untuk orang lain. Pasien yang menerapkan

logoterapi belajar untuk menyerah rasa takutnya dan merawat orang

lain. Penerapan logoterapi pada pasien leukemia, terbukti dapat

meningkatkan harapan pasien leukemia (Ebrahimi et al, 2014).

Penelitian oleh Rodini, dan Bijari et al., juga telah menyimpulkan

bahwa logoterapi kelompok bersifat efektif untuk meningkatkan

kesehatan mental, harapan akan masa depan, fungsi sosial, mengubah

sikap, dan mengurangi rasa putus asa (Rodini, 2007; Bijari et al, 2009).

g. Metode Logoterapi

Ada beberapa metode logoterapi yang biasa digunakan, yaitu:

1. Paradoxical Intention

Tehnik paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan

kemampuan mengambil jarak dan kemampuan mengambil sikap

terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan. Tehnik ini juga

memanfaatkan salah satu kualitas khas manusia lainnya, yaitu rasa

humor khususnya terhadap diri sendiri yang diharapkan dapat

membantu pasien untuk tidak lagi memandang gangguannya

sebagai sesuatu yang berat tetapi berubah menjadi sesuatu yang

ringan dan lucu.

2. Dereflection

Dereflection memanfaatkan kemampuan transendensi diri

yang ada pada setiap manusia dewasa yaitu kemampuan untuk


commit to user

54
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

membebaskan diri dan tidak memperhatikan lagi kondisi yang

tidak nyaman untuk lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal

yang positif dan bermanfaat sehingga gejala hyper intention dan

hyper reflection menghilang. Selain itu, akan terjadi perubahan

sikap, yaitu dari semula terlalu memperhatikan diri sendiri menjadi

komitmen terhadap sesuatu yang penting baginya

(Bastaman,2007).

3. Existential Analysis

Terapis membantu mereka yang mengalami kehampaan

hidup untuk menemukan sendiri makna hidupnya dan mampu

menetapkan tujuan hidup secara lebih jelas. Fungsi logoterapis

hanya sekedar membantu membuka cakrawala pandangan para

penderita terhadap berbagai nilai sebagai sumber makna hidup,

yaitu nilai kreatif, nilai penghayatan, dan nilai bersikap. Disamping

itu, logoterapi menyadarkan mereka terhadap tanggung jawab

pribadi untuk keluar dari kondisi kehampaan hidup

(Bastaman,2007).

4. Socratic Dialogue

Merupakan metode berpikir kritis dan reflektif, gaya

Socrates ini menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

dengan jalan mengembalikan pertanyaan-pertanyaan itu kepada si

penanya untuk dijawabnya sendiri dengan memfungsikan

kemampuan berpikir sehat sehingga akhirnya ia benar-benar dapat


commit to user

55
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memahami sendiri. Socratic Dialogue diaplikasikan dalam

logoterapi dan juga mendasari pendekatan Client-centered Therapy

dari Carl Rogers (Bastaman,2007).

5. Medical Ministry

Dalam kehidupan sering ditemukan berbagai pengalaman

tragis yang tidak dapat dihindarkan lagi, sekalipun upaya-upaya

penanggulangantelah dilakukan secara maksimal, tetapi tidak

berhasil. Untuk itu, logoterapi mengarahkan penderita untuk

berusaha mengembangkan sikap (attitude) yang tepat dan positif

terhadap kondisi tragis tersebut. Metode di kalangan medis

khususnya gangguan-gangguan somatogenik (misalnya depresi

pasca amputasi). Namun selanjutnya, metode diamalkan pula oleh

para profesiona lain dalam mengatasi berbagai kasus tragis

nonmedis (misalnya PHK, perceraian). Pendekatan ini

memanfaatkan kemampuan untuk mengambil sikap (to take a

stand) terhadap kondisi diri dan lingkungan yang tidak mungkin

dirubah lagi. Medical ministry merupakan perealisasian dari nilai-

nilai bersikap (attitudinal values) sebagai salah satu sumber makna

hidup. Ini sesuai pula dengan ungkapan Sahakian “...if you cannot

change condition, then alter your attitude toward them...”. tujuan

utama metode medical ministry membantu seseorang menemukan

makna dari penderitaannya (meaning in sufferin). Metode/ tahap

terapi yang dilakukan adalah: pemahaman diri, pengakraban


commit to user

56
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hubungan, berpikir positif, pendalaman 4 nilai dengan nilai

berkarya, nilai penghayatan, nilai bersikap dan nilai pengharapan

dan ibadah (Bastaman, 2007).

h. Aplikasi Klinis Logoterapi.

Logoterapi tidak hanya mengemukakan asas-asas dan filsafat

manusia yang bercorak humanistik eksistensial, tetapi juga

mengembangkan metode dan tehnik tehnik terapi untuk mengatasi

gangguan-gangguan neurosis somatogenik, neurosis psikogenik,

neurosis noogenik. Untuk neurosis somatogenik, yaitu gangguan-

gangguan perasaan yang berkaitan dengan hendaya ragawi, logoterapi

mengembangkan metode Medical Ministry, sedangkan untuk neurosis

psikogenik yang bersumber dari hambatan hambatan emosional

dikembangkan tehnik Paradoxical Intention dan Dereflection.

Selanjutnya untuk neurosis noogenik yaitu gangguan neurosis yang

disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna,

logoterapi mengembangkan Existential Analysis/logoterapi. Ini bukan

panacea, karena metode-metode ini hanyalah jabaran dari pandangan

logoterapi yang mengakui kepribadian manusia sebagai totalitas raga-

jiwa-rohani (bio-psychosociocultural-spiritual) dan logoterapi

memfungsikan potensi berbagai kualitas insani untuk mengembangkan

metode dan tehnik-tehnik terapi. Tentu saja logoterapi tidak

menggantikanmetode psikoterapi yang sudah ada, tetapi dapat

commit to user

57
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diamalkan bersama metode terapi lainnya seperti hipnosis, relaksasi,

terapi kognitif, terapi perilaku, dan obat-obatan (Bastaman,2007).

Penerapan metode logoterapi pada pasien PPOK ditujukan

untuk membantu para pasien yang mengalami kehilangan makna hidup

dan menurunnya kualitas hidup. Kehilangan makna hidup akibat

merasa hilangnya integritas diri yang mengakibatkan terjadinya

neurosis somatogenik, neurosis psikogenik dan neurosis noogenik.

Dalam studi ini peneliti menggunakan metode Medical Ministry.

commit to user

58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Berpikir

PPOK

BIOLOGIS PSIKOLOGIS SOSIAL


Inflamasi sistemik • Sesak nafas • Sosialekonomi
pada • Sulit tidur rendah
IL-1β, IL-6,IL 18,
• Sedih • Pendidikan
TNFα,CRP,SAA • Dukungan
keluarga

LOGOTERAPI

Depresi Kualitas Hidup

HRSD SGRQ

commit to user

59
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis

1. Terdapat pengaruh logoterapi untuk menurunkan tingkat depresi pada

pasien PPOK

2. Terdapat pengaruh logoterapi untuk meningkatkan kualitas hidup pada

pasien PPOK.

commit to user

60

Anda mungkin juga menyukai