Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA Ny. T DENGAN MESH

EXPOSE POST CRANIOPLASTY TEHNIK GENERAL ANESTESI DI

INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD KOTA BANDUNG TAHUN 2022

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Praktik Klinik Komprehensif


Neuro Anestesi
Dosen Pembimbing
Dr. Catur Budi Susilo,S.Pd.,S.Kp.,M.Kes

OLEH :
Tata Juarta
Dede Muhlis
Siti Mulyati
F.X. Jimmie Mantow
Yudha Pramana
Budiyono
Hudya
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
YOGYAKARTA
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

Judul………………………………………………………………………………..i

Daftar isi…………………………………………………………………………...ii

BAB I Pendahuluan……………………………………………………………...1

A. latar belakang…………………………………………………………………..1

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...2

C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………….2

D. Waktu dan Tempat……………………………………………………………..3

E. Metode………………………………………………………………………….3

BAB II Tinjauan Pustaka………………………………………………………..4

A. MeshvExpose…………………………………………………………………..4

B. Cranioplasty…………………………………………………………………….5

C. Anestesi Umum…………………………………………………………….…..7

BAB III Tinjauan Kasus………………………………………………………..20

A. Pengkajian…………………………………………………………………….20

B. Persiapan anestesi……………………………………………………………..29

C. Penatalaksanaan Anestesi……………………………………………………..31
D. Pengakhiran anestesi……………………………………………….…………37
E. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi……………………………………….38

F. lampiran Askan………………………………………………………………..41
BAB IV Kesimpula dan Saran…………………………………………………45

A. Kesimpulaan…………………………………………………………………..45

B. Saran…………………………………………………………………………..45

Daftar Pustaka………………………………..………………………………....46

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Meskipun secara teknis dianggap sebagai prosedur sederhana, kranioplasti

titanium mesh dapat menyebabkan berbagai komplikasi bedah, termasuk

paparan implan pasca operasi. Namun, ada sedikit data yang tersedia tentang

kejadian dan faktor risiko komplikasi.

Kranioplasti merupakan tindakan intervensi bedah bertujuan memperbaiki

defek tulang tengkorak untuk keperluan komestik dan perbaikan fungsi.

Kemajuan teknik operasi bedah saraf telah meningkatkan jumlah kranioplasti

pada pasien-pasien pasca-kranioktomi dekompresi. Berbagai metode dan

material telah diteliti, tetapi belum ada konsensus terbaik, sehingga saat ini

belum ada panduan baku prosedur kranioplasti.

Defek tulang dapat disebabkan baik kongenital maupun didapat. Defek

tulang didapat disebabkan antara lain cedera kepala, tumor (primer tulang

ataupun sekunder penyebaran tumor di lokasi lain ke tulang tengkorak), dan

infeksi tulang. Operasi kranioplasti pasca- kraniektomi dekompresi pada

orang dewasa, sebagian besar (47%) disebabkan oleh kasus cedera kepala

karena kecelakaan lalu lintas.

Defek tulang non-traumatik sebagian besar disebabkan tumor primer tulang

tengkorak; dominan tipe sarkoma (fibrosarkoma,


2

osteosarkoma,kondrosarkoma), osteoma, dan kondroma serta eosinofilik

granuloma dan tumor tulang kistik. Tumor di tempat lain yang dapat

menyebabkan defek karena penyebarannya pada tulang tengkorak adalah tipe

dermoid, epidermoid, hemangioma, retikulum sarkoma, dan Ewing’s Sarcoma.

B. Rumusan Masalah

Pada bagian ini, penulis mengambil kasus bagaimana asuhan kepenataan

perianestesi pada Ny. T dengan diagnosa medis Mesh Expose Post

Cranioplasty yang akan dilakukan tindakan Up Mesh dengan general anestesi

di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD Kota Bandung

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mendapatkan pengalaman yang

nyata dalam memberikan asuhan kepenataan perianestesi pada Ny. T

dengan diagnosa Mesh Expose Post Cranioplasty yang akan dilakukan

tindakan Up Mesh dengan general anestesi.

2. Tujuan Khusus

a. Memberikan gambaran mengenai pengkajian asuhan kepenataan

perianestesi pada Ny. T dengan diagnosa Mesh Expose Post

Cranioplasty yang akan dilakukan tindakan Up Mesh dengan general

anestesi.

b. Memberikan gambaran mengenai  diagnosa yang timbul pada asuhan

kepenataan perianestesi pada Ny. T dengan diagnosa Mesh Expose


3

Post Cranioplasty yang akan dilakukan tindakan Up Mesh dengan

general anestesi.

c. Memberikan gambaran mengenai perencanaan kepenataan perianestesi

pada Ny. T dengan diagnosa Mesh Expose Post Cranioplasty yang

akan dilakukan tindakan Up Mesh dengan general anestesi.

d. Memberikan gambaran mengenai  implementasi kepenataan

perianestesi pada Ny. T dengan diagnose Mesh Expose Post

Cranioplasty yang akan dilakukan tindakan Up Mesh dengan general

anestesi..

e. Memberikan gambaran mengenai  evaluasi kepenataan Perianestesi

pada Ny. T dengan diagnosa Mesh Expose Post Cranioplasty yang

akan dilakukan tindakan Up Mesh dengan general anestesi.

D. Waktu dan Tempat

Pelaksanaan kegiatan asuhan kepenataan perianestesi dilakukan pada

tanggal 22 Maret 2022, tempat pelaksanaan dilakukan di Instalasi Bedah

Sentral (IBS) RSUD Kota Bandung.

E. Metode

Pengumpulan data dan pembuatan laporan pendahuluan ini dilakukan

dengan menggunakan metode pengkajian langsung, studi dokumen dan studi

kasus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. MESH EXPOSE

Titanium mesh cranioplasty adalah salah satu kegunaan paling umum

untuk memperbaiki tulang yang rusak di tengkorak dan memiliki komplikasi

paling sedikit. Kecelakaan yang mengerikan atau pukulan lain di kepala dapat

menyebabkan kerusakan parah pada tengkorak. Pukulan semacam itu

menyebabkan kehancuran sebagian tulang dan deformitas bentuk bulat

tengkorak. Salah satu cara untuk mengkompensasi cedera ini adalah operasi

kranioplasti . Cranioplasty dapat dilakukan dalam berbagai jenis bahan dan

Titanium mesh cranioplasty adalah salah satu penggunaan paling umum dari

berbagai jenis cranioplasty yang ada.

Mesh expose adalah terbukanya mesh titanium pada kulit kepala, sehingga

terbuka sebagian atau lebih luas. Mesh expose dapat terjadi akibat infeksi atau

alergi akibat adanya benda asing pada tubuh. Tindakan yang akan dilakukan

oleh operator adalah pengangkatan mesh titanium, pembersihan bekas luka dan

di tutup kembali kulit kepalanya. Pasien harus hati – hati jangan sampai ada

benturan pada kepala, karena sudah tidak ada pelindung.

Titanium adalah bahan yang sulit untuk dibentuk, tetapi relatif

murah, mudah didapatkan, dan radiolusen setelah dicampur dengan logam lain

(Kuttenberger dan Hardt 2001). Tahan terhadap infeksi, walaupun kontak


5

dengan sinus paranasal. Tapi bahan ini bukan pilihan baik untuk kasus

viabilitas kulit yang buruk seperti operasi berulang, radioterapi dan lainnya

(Sanus et al. 2008).

Gambar : Titanium Mesh Gambar : Titanium Mesh yang terpasang

B. CRANIOPLASTY

Kraniopasti adaalah operasi untuk memperbaiki defek pada tulang

cranium. Kranioplasti dilakukan pada pasien yang telah dilakukan kraniektomi.

Indikasi kranioplasti pada kasus cedera kepala antara lain: pencegahan atau

eliminasi kolapsnya hemisfer otak atau herniasi serebri, penanganan lesi

desak ruang, perlindungan gangguan mekanik dari luar, serta perbaikan

kosmetik dan estetik kranium eksterna.

Kontraindikasi kranioplasti antara lain keadaan peningkatan akut tekanan

intrakranial, hidrosefalus, prolaps serebri, nekrosis kulit pada defek, infeksi

sistemik dan lokal pada kepala, defek kranial disertai hubungan ke sinus

paranasalis, dan defek tulang kecil (kurang dari 2 cm) yang dilapisi lapisan

otot tebal.
6

Prinsip-prinsip material yang ideal untuk menutup defek kranial

antara lain: sesuai ukuran defek yang akan ditutup, tahan infeksi, konduksi

panas rendah, non-magnetik, radiolusen, dapat diterima oleh jaringan (inert),

kuat, dapat dibentuk dengan mudah, dan tidak mahal. Sayangnya material

ideal yang memenuhi seluruh syarat tersebut belum dapat diciptakan.

Pemilihan material kranioplasti pasca- cedera kepala dibagi dua, yaitu

organik dan non-organik. Material kranioplasti organik terutama

autologous/autograft (kranium utuh atau split-thickness, tibia, kosta, skapula,

fasia, sternum, ileum), sedangkan allograft, graft homolog, ataupun xenolog

kini ditinggalkan. Material autograft yang umum digunakan adalah kranium

penderita yang telah melalui salah satu cara penyimpanan seperti: subgaleal,

lemak abdominal atau “bank jaringan” dengan teknik dry freeze hingga -70°C.

Material kranioplasti non-organik yang pernah diterapkan pada manusia dapat

dibagi menjadi metal (aluminium, emas, perak, tantalum, timbal, platinum,

vitalium, stainless steel, titanium), dan non-metal (metil-metakrilat/akrilik,

selluloid, hidroksiapatit, silikon, koral, keramik). Konduksi, panas, kesulitan

dibentuk serta sifat radioopasitas membuat metal jarang digunakan sebagai

material kranioplasti.

Tujuan dari Cranioplasty bukan hanya masalah kosmetik; juga, perbaikan

cacat kranial memberikan bantuan untuk kelemahan psikologis dan

meningkatkan kinerja sosial. Selain itu, kejadian epilepsi terbukti menurun

setelah kranioplasti. Di sisi lain, kontraindikasi untuk Cranioplasty adalah


7

adanya hidrosefalus, infeksi, dan pembengkakan otak. Pada anak di bawah 4

tahun, jika ada dura mater utuh, tempurung kepala dapat mencapai penutupan

sendiri. Menunggu untuk melakukan kranioplasti adalah penting untuk

mencegah perkembangan infeksi autograft atau allograft yang didevitalisasi.

Secara umum diterima untuk menunggu 3 hingga 6 bulan sebelum operasi

rekonstruksi. Jika ada area yang terinfeksi, masa tunggu ini bisa selama satu

tahun.

Komplikasi kranioplasti berkisar 7% hingga 39% termasuk perdarahan

intrakranial, infeksi, kejang pasca-kranioplasti, hidrosefalus, dan penumpukan

cairan subgaleal. Komplikasi utama graft homolog adalah resorpsi tulang.

Resorpsi tulang terjadi pada kurun waktu 12 bulan pada lebih dari

separuh kranioplasti menggunakan tulang homolog. Komplikasi- komplikasi

tersebut dapat dicegah dengan pengaturan saat kranioplasti disertai evaluasi

ketat mengenai kesiapan pasien dan perhitungan kemungkinan komplikasi

pasca-operasi, teknik yang benar seperti penjahitan dura dengan kedap air,

serta pemilihan material graft yang tepat dan sesuai.

C. Anestesi Umum (General Anestesi)

Menurut Mangku (2010) general anestesi merupakan tindakan meniadakan

nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali

(reversible). General anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke

jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi. Selama masa induksi
8

pemberian obat bius harus cukup untuk beredar di dalam darah dan tinggal di

dalam jaringan tubuhStadium Anestesi

Menurut Munaf (2008), tahapan dalam anestesi terdiri dari empat stadium

yaitu stadium analgesia, stadium eksitasi, stadium pembedahan, dan stadium

depresi oblongata. Dalam memberikan pelayanan kepenataan anestesi, penata

anestesi perlu mengetahui stadium - stadium anestesi untuk memonitoring

sejauh mana pasien bisa diberikan intervensi seperti pembedahan. Stadium

anestesi menurut Guedel:

1) Stadium I (Analgesia/Disorientasi)

Dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan

hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas

dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.

2) Stadium II (Eksitasi/Delirium)

Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium

pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak

menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin,

muntah, pupil midriasis, hipertensi, dan takikardia.

3) Stadium III (Pembedahan)

Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan

hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadia ini ditandai oleh

hilangnya pernapasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan

dapat digerakkannya kepala ke kiri dan ke kanan dengan mudah.

Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:


9

a) Plana 1 : Pernapasan teratur spontan dada dan perut seimbang,

terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil

midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks

faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot

lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).

b) Plana 2 : Pernapasan teratur spontan perut dan dada, volume

tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak

terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai

menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang

sehingga dikerjakan intubasi.

c) Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal

mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,

refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik

hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).

d) Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot

interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya

hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada,

relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun)

4) Stadium IV (Depresi medulla)

Ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi.

Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena

terhentinya sekresi lakrimal.

1. Status Fisik Pra Anestesi


10

Mangku dan Senapathi (2010), menyampaikan bahwa persiapan pre

anestesi merupakan langkah lanjut dari hasil evaluasi pra operatif

khususnya anestesi untuk mempersiapkan pasien baik psikis maupun

fisik pasien agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur

anestesi dan diagnostik atau pembedahan yang akan direncanakan.

American Society of Anesthesiologist (ASA) menyusun klasifikasi

status fisik pra anestesi:

a. ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi

b. ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik

karena penyakit bedah maupun penyakit lain, contoh pasien batu

ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis

akut dengan leukositosis dan febris.

c. ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang

diakibatkan karena berbagai penyebab, contoh pasien appendisitis

perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstruktif dengan

iskemia miokardium.

d. ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung

mengancam kehidupannya, contoh pasien dengan syok atau

dekompensasi kordis.

e. ASA 5 : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun di

operasi atau tidak, contoh pasien tua dengan perdarahan basis kranii

dan syok hemorargik karena ruptur hepatik.

f. ASA E: Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat


11

dengan mencantumkan tanda darurat (E = Emergency), misalnya

ASA IE atau IIE.

2. Teknik Anestesi Umum

Menurut Mangku dan Senapathi (2010), anestesi umum dilakukan

dengan beberapa teknik yaitu anestesi umum intavena, anestesi umum

inhalasi, dan anestesi imbang.

a. Anestesi Umum Intravena

Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi

umum yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi

parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena. Dalam

perkembangan selanjutnya, terdapat beberapa jenis obat anestesi.

Obat yang digunakan di Indonesia hanya beberapa jenis obat saja

seperti tiopenton, diazepam, dehidrobenzoperidol, fentanil, ketamin

dan propofol. Kelebihan teknik anestesi umum intravena diantaranya

adalah kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat dititrasi

dalam dosis yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan, tidak

menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi

sekitar jalan nafas atau paru-paru, anestesi yang mudah dan tidak

memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus. Tujuan teknik

anestesi umum intravena adalah untuk induksi anestesi, induksi dan

pemeliharaan anestesi pada tindakan pembedahan singkat,

menambah efek hipnosis pada anestesi atau analgesia lokal, dan

menimbulkan sedasi pada tindakan medis (Latief, Kartini, Suryadi,


12

dan Dahlan, 2009).

Variasi anestesi umum intravena adalah sebagai berikut:

1. Anestesi Intravena Klasik

Anestesi intravena klasik menggunakan kombinasi obat ketamin

hidroklorida dengan sedatif misalnya

diazepam,midazolam, atau dehidrobenzperidol yang

memberikan efek hipnotik dan anestesi. Indikasi anestesi

intravena klasik yaitu pada operasi kecil dan sedang yang tidak

memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan

berlangsung singkat, dengan pengecualian operasi di daerah

jalan nafas dan intra okuler. Sedangkan kontra indikasinya pada

pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik

(penderita diabetes mellitus, hipertensi, tirotoksikosis, dan

paeokromo sitoma), pasien yang menderita hipertensi intra

kranial, pasien yang menderita glaucoma, operasi intra okuler.

2. Total Intravenous Anesthesia (TIVA)

TIVA menggunakan kombinasi obat anestetika intravena yang

berkhasiat hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot secara

berimbang. Komponen trias anestesi yang dipenuhi adalah

hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Indikasi TIVA yaitu pada

operasi yang memerlukan relaksasi lapangan oporasi optimal.

Tidak ada kontra indikasi yang absolut pada TIVA, pilihan obat

disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien. Induksi


13

biasanya dengan suntikan bolus obat, disusul mempertahankan

infus secara kontinyu. Infus altesin dan etomidat terbukti

merupakan agen TIVA yang berguna tetapi ditarik kembali

karena efek sampingnya. Agen anestesi yang lebih mutakhir

seperti propofol, memberikan harapan kembali kepopuleran

teknik intravena total ini (Boulton danThomas, 2012).

3. Anestesi Analgesia Neurolept

Anestesi analgesia neurolept menggunakan kombinasi obat

neuroleptik dengan analgetik opioid secara intravena yang

memberikan efek hipnotik ringan dan analgesia ringan. Indikasi

pada teknik ini yaitu pada tindakan endoskopi dan sebagai

suplemen tindakan anestesi lokal. Teknik ini kontra indikasi

pada penderita parkinson, penyakit paru obstruktif, dan kontra

indikasi relatif pada bayi dan anak-anak.

b. Anestesi Umum Inhalasi

Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi

umum yang dilakukan dengan cara memberikan kombinasi obat

anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah

menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara

inspirasi. Ada tiga teknik anestesi umum inhalasi yaitu inhalasi

sungkup muka, inhalasi sungkup laring, inhalasi pipa endotrakea.

Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada

anestesi umum tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama


14

pada pasien anak-anak. Obat-obat yang digunakan pada anestesi

umum inhalasi antara lain N2O, isofluran, desfluran, dan sevofluran.

Pemakaian N2O sebagai analgetik harus selalu dikombinasikan

dengan oksigen dengan perbandingan N2O:O2 70%:30%, 60%:40%,

atau 50%:50% sesuai dengan kondisi pasien.

Kemudahan dalam pemberian dan efek yang dapat dimonitor

membuat anestesi inhalasi disukai dalam praktik anestesi umum.

Tidak seperti anestetik intravena, anestesi umum inhalasi dapat

menilai konsentrasi anestesi inhalasi pada jaringan dengan melihat

nilai konsentrasi tidal akhir pada obat-obat ini. Sebagai tambahan,

penggunaan gas volatil lebih murah penggunaanya untuk anestesi

umum. Hal yang harus sangat diperhatikan dari anestesi inhalasi

adalah sempitnya batas dosis terapi dan dosis yang mematikan.

Sebenarnya hal ini mudah diatasi, dengan memantau konsentrasi

jaringan dan dengan mentitrasi tanda-tanda klinis dari pasien.

c. Anestesi Umum Imbang

Anestesi imbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan

obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi

inhalasi atau kombinasi teknik anetesia umum dengan analgesia

regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan

berimbang. Teknik anestesi umum dengan analgesia regional kerap

kali juga dilakukan untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan

berimbang misalnya dalam operasi besar dan lama seperti


15

kraniotomi dan torakotomi.

3. Intubasi Trakhea (ETT)

Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam

trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira

dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief,

2007). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi

umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang

berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi

langsung ke udara inspirasi.

1) Ukuran ETT

Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu

misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa

ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk

mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal

mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon

biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas

adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa

dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea.

2) Indikasi Intubasi Trakhea

Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan

sebagai berikut (Latief, 2007):


16

a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun kelainan

anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret

jalan nafas dan lain-lain.

b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat

resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,

ventilasi jangka panjang.

c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan

lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4

gradasi (Latief, 2007).

3) Kontraindikasi ETT

Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan

mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:

a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom

b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis

c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin

teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial

d. Benda asing

e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang

leher

f. Obesitas

g. Ekstensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondylosis

arkilosing, halo traction


17

h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher

pendek, gigi moncong.

4) Pemasangan Intubasi Endotrakheal

Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut

(Latief, 2007):

a. Persiapan Alat (STATICS):

1) Scope : Laringoscope, Stetoscope

2) Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran

3) Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA

4) Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting

5) Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep, bugie.

6) Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan

anestesi.

7) Suction : Penghisap lendir siap pakai.

8) Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin

anestesi yang siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber gas).

9) Sarung tangan.

10) Xylocain jelly/ Spray 10%

11) Gunting plester

12) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff

13) Bantal kecil setinggi 12 cm

14) Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi

dan emergency).
18

b. Pelaksanaan

1) Mesin siap pakai

2) Cuci tangan

3) Memakai sarung tangan

4) Periksa balon pipa/ cuff ETT

5) Pasang macintosh blade yang sesuai

6) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai

7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag

8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan

9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan

10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan

11) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat

epiglotis, dorong blade sampai pangkal epiglottis.

12) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%

13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan

tangan kanan

14) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan

nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB

15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak

terdengar

16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan

17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran

18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester


19

19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lender

20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan

21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

5). Komplikasi Intubasi

Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan

nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi

yang biasa terjadi adalah:

a. Saat Intubasi

1) Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi

balon di laring.

2) Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan

lidah, dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.

3) Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial

dan intra okuler, laringospasme.

4) Kebocoran balon.

b. Saat ETT di tempatkan

1) Malposisi (kesalahan letak)

2) Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet

mukosa hidung.

3) Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.

c. Setelah ekstubasi
20

1) Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan

trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.

2) Laringospasme.
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

a. Identitas Pasien

Nama : Ny. T

Jenis Kelamin : perempuan

Umur : 55 tahun

BB/TB : 50 kg / 150 cm

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Alamat : Komp. Panyileukan f5/11

Tanggal masuk RS : 20 Maret 2022

Tanggal Pengkajian : 21 Maret 2022

Diagnosa Medis : Mesh expose

Rencana Operasi : up mesh post cranioplasti

Nomer Medis : 301102

Dokter Bedah : dr Anggiat SpBS

Dokter Anestesi : dr. IGB Surya Ningrat SpAn

Rencana Anestesi : general anestesi

b. Keluhan Utama

Pasien mengatakan ada luka terbuka pada kepala bagian depan sebelah kiri

sekitar dua centi meter, terasa nyeri serta keluar cairan seperti nanah.
22

c. Riwayat Kesehatan

1) Riwayat Kesehatan Sekarang

Pasien mengatakan nyeri di kepala bagian temporalis sebelah kiri, ada

luka terbuka seluar dua centi meter, keluar cairan seperti nanah serta

cairan bening. Pasien datang ke rumah sakit dua hari yang lalu rujukan

dari puskesmas, pasien dalam keadaaan composmentis, GCS : E4, M6,

V5. Pasien mempunyai riwayat hipertensi, tidak ada riwayat DM.

2). Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah di operasi lima tahun yang lalu, operasi akibat kecelakaan.

Operasi sebanyak dua kali, pertama pembersihan perdarahan di kepala

dan yang kedua pemasangan titanium mesh. Hasil operasi sembuh luka

operasi dengan baik, tetapi dalam tiga bulan terakhir timbul luka kecil di

kepala depan sebelah kiri dan mengeluarkan cairan di sertai bau yang

menyengat.

3) Riwayat Penyakit Keluarga :

Pasien dan keluarga mengatakan anggota keluarganya tidak memiliki

riwayat hipertensi, penyakit jantung, gangguan ginjal, asma, maupun

diabetes mellitus.

d. Kelengkapan Rekam Medis

Persetujuan bedah, persetujuan anestesi, hasil laboratorium, hasil radiologi,

CT-Scan.
23

e. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum

Keadaan pasien dengan kesadaran compos mentis.

Suhu = 36,5 oC

Nadi = 72 x / menit

BB = 50 kg

TB = 150 cm

TD = 147/89 mmHg

RR = 18 x/ menit.

2) Pemeriksaan Kepala dan leher

Ada luka terbuka pada frontalis sisi kiri, tidak ada perdarahan yang

keluar pada mata, mulut maupun hidung dan tidak ada gigi yang goyang

maupun palsu tetapi ada beberapa gigi yang sudah tanggal. Leher tampak

normal tidak pendek, tidak nampak ada penyulit intubasi.

3) Pemeriksaan dada (paru dan jantung)

1). Pemeriksaan paru

a) Inspeksi

Dada simetris, perbandingan anterior-posterior dan transversal 1:2,

penarikan nafas seimbang antara dada kiri dan kanan.

b) Palpasi

Tidak ada krepitasi, ekspansi dada kedepan dan kesamping

seimbang.
24

c) Perkusi

Interkosta 1-3 paru kiri terdengar suara resonan, interkosta 4-6 paru

kiri terdengar suara redup, interkosta 1-6 paru kanan terdengar

suararesonan, interkosta 6 paru kanan terdengar suara redup.

d) Auskultasi

Pada trakhea terdengar suara trakheal, bronkus terdengar suara

bronkheal, bronkeolus terdengar suara bronkovesikuler.

4) Pemeriksaan jantung

a. Inspeksi

Tidak terlihat denyut pada intercosta 2 kanan (area katup aorta),

intercosta 2 kiri (area katup pulmonalis) maupun intercosta 5 (ictus

cordis).

b. Palpasi

Tidak teraba denyut pada intercosta 2 kanan (area katup aorta),

intercosta 2 kiri (area katup pulmonalis) tetapi teraba denyut pada

intercosta 5 (ictus cordis).

c. Perkusi

Suara redup dibagian intercosta kiri 2-5.

d. Auskultasi

Bunyi jantung reguler (BJ 1 dan BJ 2 tunggal), tidak ada suara

tambahan. Denyut jantung 72 x/ menit.

5) Pemeriksaan Tulang Belakang

Bentuk tulang belakang normal, tidak ada luka maupun benjolan.


25

6) Abdomen

Lama puasa : pasien makan terakhir pukul 02:00 WIB, operaasi

dilakukan 10:00 WIB, puasa 8 jam.

a. Inspeksi

Bentuk simetris, tidak terdapat bekas luka dan tidak ada benjolan.

b. Auskultasi

Terdengar bunyi peristaltic

c. Palpasi

Tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen, tidak terdapat massa dan

tidak acites.

d. perkusi

Terdengar suara timpani.

7) Ekstremitas

a). Atas

Tangan simetris, tidak terlihat adanya lesi dan odem. kapillary refill <

3 detik, turgor kulit elastis, nadi radialis teraba kuat, teratur, terpasang

infus RL pada tangan sebelah kiri dengan kecepatan 15 tpm.

b). Bawah

Kaki simetris, tidak ada lesi kaki, turgor kulit elastis, kapillary refill <

3 detik.

8). Status ASA


26

Pasien memiliki riwayat hipertensi, sehingga dapat dikategorikan pasien

memiliki status fisik ASA II.

f. Pemeriksaan penunjang

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Masa perdarahan 2 1 – 3 Menit


Masa pembekuan 8 5 – 11 Menit
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 13,6 11 – 17 g/dl
Lekosit 4910 5000 – 10000 /ul
Trombosit 291.000 150.000 – 400.000 /ul
Eritrosit 4,5 4-5 Juta/ul
Hematocrit 41,1 40 – 52 %
MCV 83 76-86 Fl
MCH 26 25-29 Pg
MCHC 31 31-36 g/dl
Basofil 1 0-1 %
Eosinophil 1,7 1-3 %
N. staf 3 2-6 %
N. segment 71 50-70 %
Limfosit 20,9 20-40 %
Monosit 7,1 2-8 %
Gula darah sewaktu 109 <180 Mg/dl
Golongan darah O
Rhesus +
AS/GOT
AlT/GPT
Ureum
Cretinin Negative
HBsAg Negative
Non reaktif Non reaktif
HIV Non reaktif
Antigent covid – 19 Non reaktif
27

Hasil CT – Scan
28
29

B. Persiapan anestesi :

a. Alat

Mesin anestesi dihubungkan aliran listrik untuk mengetahui mesih dapat

menyala atau hidup sesuai fungsinya. Memeriksa ulang kelengkapan dan

fungsinya mesin anestesi, jika tidak ada kebocoran gas atau kebocoran

oksigen, untuk memastikan bahwa mesin dapat di pergunakan sebagai

mestinya, memeriksa vaporizer sudah terisi dan soda lime masih berwarna

pink, jika warna sudah berubah maka harus diganti karena sangat

berpengaruh buruk terhadap pasien, jika tidak ada kebocoran mesin dan

tersambung dengan aliran listrik dan mesin menyala atau berfungsi maka

mesin tersebut dapat di pergunakan dan jika mesin ada kerusakan maka

harus di laporkan kepada petugas IPRS.

b. Face mask sesuai ukuran dan spuit

c. STATICS :

1. Stetoskop dan Laringoskop no blade 3 dan 4 (pastikan lampunya

menyala)

2. Tube ( Selang endotrakeal tube) ETT non king king ukuran 6.5, 7.0, 7.5

(pastikan tidak bocor)

3. Air way ( Gudel / Mayo ) ukuran medium no 3 (disesuaikan sesuai

Kebutuhan )
30

4. Tape ( Plester )

5. Introducer ( magil, stilet, forcep, bugie )

6. Conector

7. Suction ( cek mesin suction harus berfungsi, selang dan kanul harus siap)

Persiapan obat pra induksi

1. Analgetik : fentanyl 100 mcg


2. Induksi : propofol 100 mg
3. Pelumpuh otot : rocuronium 25 mg
4. Maintnace dengan sevoflurane 1 MAC 2 % , N2O : O2, 2 : 2.
e. Pemeriksaan pra induksi

1. Tanda –tanda vital pasien :


Tekanan darah : 148/89mm/Hg
Nadi : 72 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Berat badan : 50 Kg
Spo2 : 97 %
f. Persiapan Pasien pre anestesi

1. Mengecek kelengkapan rekam medic pasien


2. Mengecek inform concent
3. Menanyakan puasa pasien
4. Menanyakan gigi palsu
5. Mengganti baju pasien
6. Memasang topi operasi
7. Membingbing pasien untuk berdoa
8. Meberikan informasi tentang prosedur operasi
31

C. Penatalaksanaan Anestesi

a. Ruang persiapan

Pasien masuk ke kamar persiapan pada pukul 09:00 WIB, pasien langsung

diganti baju operasi, infus sudah terpasang pada tangan kiri dengan iv line

ukuran 18 dan lancar. Selama di ruang persiapan pasien kooperatif dengan

tingkat kesadaran compos mentis. Sebelum tindakan anestesi diperlukan

pengecekan surat izin anestesi (SIA) dan surat izin operasi (SIO) terlebih

dahulu.

b. Ruang operasi

1. Pasien masuk ke kamar operasi pada pukul 09:45 WIB, Pasien di

baringkan dengan posisi supine di meja operasi dan atur kecepatan

infus.

2. Nyalakan monitor dan mesin anestesi

3. Pasien dilakukan pemasangan monitor tanda-tanda vital, saturasi

oksigen dan tensi meter.

4. Menunggu intruksi dan lapor kepada dokter anestesi dan operator

bila sudah siap.

5. Menganjurkan pasien untuk berdoa, berikan premedikasi ondansentron

4 mg.

6. Kemudian dilakukan induksi pada jam 10: 00 WIB dengan obat :

7. fentanyl 100 mcg IV, propofol 100 mg IV, rocuronium 25 mg IV.

8. Sevoflurane, MAC ( sesuai kebutuhan pasien).


32

9. Reflek bulu mata hilang, terjadi penurunan pernapasan dan dilakukan

bagging dengan jaw trust.

10. Intubasi dilakukan pada pukul 10:05 WIB dengan prosedur :

 Posisikan kepala pasien dengan ektensi

 Buka mulut pasien dengan cross finger pegang laringoskop

dengan tangan kiri kemudian masukan kedalam mulut kemudian

menyingkirkan lidah ke kiri pasien dengan posisi laringoskop

membuka rongga mulut

 Cari epiglottis, tempatkan ujug bilah laringoskop di valekula.

 Angkat epiglottis dengan elevasi laringoskop ke atas ( jangan

menekan gigi) untuk melihat plica vocalis.

 Bila sudah terlihat ambil selang ETT yang sudah terpasang stilet

dengan tangan kanan,

 Masukan ETT dari sisi mulut kanan, sampai masuk ke saluran

trakea dengan ukuran batas mulut minimal 18 cm.

 lepaskan stilet dari ETT, isi balon sebanyak 10 cc udara kemudian

hubungkan dengan konektor kuregatet mesin anestesi.

 Tes kedalam ETT dengan stetoskope pada daerah apex dan basal

kanan dan kiri untuk memastikan ETT benar-benar masuk

kedalam trakea dan mengecek kesimbangan pengembangan antara

paru-paru kanan dan kiri.

11. Setelah ETT sudah dipastikan dalam keadaan seimbang maka dilakukan
33

fiksasi dengan menggunakan plester agar tidak terjadi perubahan letak

posisi ETT. Pukul 10:10 WIB pasien terhubung ke ventilator.

12. Pukul 10:30 WIB di mulai tindakan operasi

13. Perhitungan respirasi selama operasi.

a. Perhitungan rencana pemberian ventilasi


: Tidal Volume
Tidal Volume = BB (Kg) x Konstanta (6-8)
= 50 x 7
= 350 ml
b. Minute Volume
Minute Volume= TD x rr (12-20x/menit)
= 350 x 12/menit
= 4200 ml = 4,2 L/menit
14. menggunkan teknik ventilator volume control

c. Intra Operasi

Pasein sudah terintubasi dengan ETT no 7.0 cup (+), mayo ukuran no

3(wana kuning), terhubung ke ventilator mesin anestesi. Monitoring Intake

dan output cairan :

1. Perhitungan cairan pasien selama operasi :

BB : 50 kg

Jenis Operasi : Berat

Puasa : 8 jam

2. Kebutuhan cairan mentenance untuk pasien BB 50 Kg Rumus dewasa

( 1,5 - 2 ml / kg BB ) , Kebutuhana cairan maintenance :

1,5 ml x 50 kg
34

Jumah = 75 ml/jam

3. Kebutuhan cairan selama puasa :

Maintenace x lama puasa ml/jam

75 x 8 jam = 600 ml

4. Insensible Water Lose (IWL)

Stres Operasi : Ringan = 2 – 4 ml, sedang = 4 -6 ml, berat = 6 –

8 ml IWL = Stress operasi x BB (Kg) pasien

= 4 x 50 kg

= 200 ml

5. Estimated Blood Volume

EBV dewasa wanita 65 ml x BB (kg)

EBV = 65 x 50 = 3250 cc

6. EBL (Estimated Blood Loss)

Kelas 1 : 15% = 15% x 3250 cc = 487,5 cc

Kelas 2 : 15% - 30 % =30% x 3250 cc = 975 cc

Kelas 3 : 30% - 40% = 40% x 3250 cc = 1300 cc

Kelas 4 : > 40%

7. Jumlah pendarahan

1 jam pertama :

Suction = 50 cc
35

Kasa ( 1 kasa = 10 cc x 5) =50 cc

Perdarahan di ganti dengan cairan kristaloid dengan

perbandingan 1:3

= 100 cc darah : 300 cc Cairan kristaloid

1 jam kedua :

Suction = 0 cc

Kasa ( 1 kasa = 10 cc x 5) =50 cc

Perdarahan di ganti dengan cairan kristaloid dengan

perbandingan 1:3

= 50 cc darah : 150 cc Cairan kristaloid

1 jam ketiga :

Suction = 0 cc

Kasa ( 1 kasa = 10 cc x 50) =50 cc

Perdarahan di ganti dengan cairan kristaloid dengan

perbandingan 1:3

= 50 cc darah : 150 cc Cairan kristaloid

Total perdarahan selama operasi diperkirakan sebanyak 200 cc,

dengan perhitungan terbanyak pada jumlah kasa yang digunakan

untuk control perdarahannya. EBL kurang dari 15% sehingga tidak di

berikan tranfusi darah dan konjungtifa masih nampak merah.


36

8. Kebutuhan cairan selama operasi

Rumus : Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan =ml

Jam ke 1 = ½ Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan =ml

½ 600 + 75 +200 + 300 = 875 ml

Jam ke 2 = ¼ Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan =ml

¼ 600 + 75 + 200 + 150 = 575 ml

Jam ke 3 = ¼ Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan =ml

¼ 600 + 75 + 200 + 150 = 575 ml

9. Total cairan yang keluar

Darah = 200 cc

Urine = 100 cc

10. Cairan yang sudah diberikan

(Kristaloid) Pre operasi = 300 cc

Kristaloid intra operasi = 1000 cc

Koloid intra operasi = 500 cc

11. Tetesan infus per menit

Satu jam pertama intraoperative = 875 x 20


60
= 292 tetes/menit
Satu jam ke dua intraoperative = 575 x 20
60
= 192 tetes/menit.
37

Satu jam ke tiga intraoperative = 575 x 20


60
= 192 tetes/menit
12. Maintenance obat

Diberikan rocuronium 5 mg pada pukul 11:30 WIB. Fentanyl 25 mcg

pada pukul 11:15 WIB.

D. Pengakhiran anestesi

Operasi selesai pada pukul 12:30 WIB, pasien dilakukan spontanisasi pada

pernapasan dengan bagging ( assist ) tanpa menggunakan ventilator dan di

berikan terapi injeksi neostigmine 0,5 mg + sulfat atropine 0.25 mg untuk

menghilangkan efek dari obat relaksan (rocuronium). Pasien bernapas

spontan dengan adekuat dengan tanda pasien mampu menelan ludah,

kekuatan otot sudah pulih, tensi normal, saturasi normal. Pasien dilakukan

ekstubasi pada pukul 12;50 WIB. Pasien terpasang infus di tangan kiri,

chateter dan drain di kepala. Setelah 10 menit diberi oxygen sebanyak 5 lt/mt

dengan sungkup, nafas adekuat, sudah ada respon membuka mata, reflet

menelah sudah ada pasien di pindahkan di ruang recovery room.

Pasien di pantau di ruang recovery room selama dua jam, pasien dalam

keadaan sadar, nafas adekuat. Dilakukan penilaiaan aldrete skore dengan nilai

10, dengan kriterian kesadaran 2, aktifitas 2, respirasi 2, sirkulaasi 2, warna

kulit 2. Pasien dalam keadaan compose mentis dan di pindahkan ke ruang

rawat inap, tidak di masukkan ke ICU karena kondisi dalam keadaan stabil.
38

E. PERENCANAAN, PELAKSANAAN DAN EVALUASI

Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Implementasi Evaluasi


Keperawatan
Pra Anestesi
Cemas berhubungan Selasa 22 Maret 2022 pukul Selasa 22 Maret 2022 Selasa 22 Maret 2022 Selasa 22 Maret 2022
09:30 WIB 09:40 WIB 09:45 WIB 09:50 WIB
dengan tindakan
operasi (craniotomy) Setelah dilakukan tindakan Kaji tingkat kecemasan Mengkaji tingkat kecemasan S : pasien mengatakan paham akan
tindakan pembiusan
keperawatan selama 5 menit
Jelaskan jenis prosedur tindakan Memberikan penjelasan jenis O ; pasien tampak tenang, RR : 16
pasien tidak merasa cemas anestesi yang akan di lakukan prosedur tindakan anestesi yang x/mnt
akan di lakukan A : intervensi dalam mengatasi
kecemasan tercapai
P : edukasi pasien dalam memulai
pembiusan

Intra Anestesi
Risiko gangguan Selasa 22 Maret 2022 pukul Selasa 22 Maret 2022 pukul Selasa 22 Maret 2022 pukul Selasa 22 Maret 2022
keseimbangan 10:00-13:00 10:00-13:00 10:00-13:00 13.00 WIB
cairan dan
Setelah dilakukan tindakan, a. Kaji tingkat kekurangan a. Mengkaji tingkat S: -
elektrolit b.d
keseimbangan cairan dalam volume cairan kekurangan volume cairan O:
prosedur
ruang intrasel dan ekstrasel b. Kolaborasi untuk pemberian b. Melakukan kolaborasi - Terpasang infus
pembedahan
tubuh tercukupi cairan dan elektrolit untuk pemberian cairan
mayor - Perdarahan:
(craniotomy a. Akral kulit hangat c. Monitor masukan dan dan elektrolit
±200 ml
b. Hemodinamik normal keluaran cairan dan c. Memonitor masukan dan Masuk : Ring – AS 2000 ml
39

c. Masukan cairan dan keluaran elektrolit keluaran cairan dan A:Risiko gangguan
cairan imbang d. Monitor hemodinamik elektrolit keseimbangan cairan teratasi
Urine output 0.5 – 1 e. Monitor perdarahan d. Memonitor hemodinamik sebagian
e. Memonitor perdarahan P: Lakukan monitoring TTV dan
cc/kgBB/ jam
input/output cairan secara berkala

Pola nafas tidak Selasa 22 Maret 2022 pukul Selasa 22 Maret 2022 pukul
Selasa 22 Maret 2022 pukul Selasa 22 Maret 2022
efektif b/d 10:00-13:00 WIB 12:30 WIB 12:30 WIB 13:00 WIB
disfungsi a. membersihkan secret pada S:-
Setelah selesai tindakan a. Bersihkan secret pada jalan jalan nafas O : respirasi 17 x/mnt
neuromuscular
anestesi pola nafas pasien nafas b. Memasang perlatan oxygen A : pola nafas tidak efektif
dampak sekunder menjadi efektif atau normal b. Pasang perlatan oxygen dan dan beri suplai 5 lt/mnt P : intervensi pola nafas efektif,
obat pelumpuh beri suplai 5 lt/mnt c. Memonitoring nafas spontan, lama teratur.
otot pernafasan c. Monitoring irama,kedalaman dan usaha
irama,kedalaman dan usaha respirasi
respirasi
POST ANESTESI
Risiko Cidera b.d Selasa 22 Maret 2022 Selasa 22 Maret 2022 Pukul Selasa 22 Maret 2022 Pukul Selasa 22 Maret 2022 Pukul
transport dan transfer Pukul 13:00 WIB 13:00 WIB 13:15 WIB 13: 30 WIB
ruangan Setelah dilakukan tindakan a.Sediakan lingkungan yang a. Menyediakan lingkungan S:-
Faktor resiko : keperawatan selama 10 menit aman untuk pasien yang aman untuk klien O:
Eksternal klien tidak mengalami injury b.Identifikasi kebutuhan b. Mengidentifikasi - pasien tidak jatuh
- Fisik (contoh : mode dengan kriteria hasil : keamanan pasien, sesuai kebutuhan keamanan -pasien berada di bed ruang
transpor atau cara a. Klien terbebas dari dengan kondisi fisik dan pasien, sesuai dengan RR tanpa cidera
perpindahaan) cedera Menggunakan fungsi kognitif pasien dan kondisi fisik dan fungsi -pengaman tempat tidur
terpasang
- kimia (obat-obatan : fasilitas kesehatan yang riwayat penyakit terdahulu kognitif klien dan riwayat
A : Risiko cidera tidak terjadi
agen farmasi anestesi) ada pasien penyakit terdahulu
P : intervensi pengendalian
c. Menghindarkan lingkungan c. Menghindarkan
40

- pasien rencana b. Mampu mengenali yang berbahaya lingkungan yang resiko cidera dilakukan unit
transport dari OK ke perubahan status d.Memasang side rall tempat berbahaya petugas kesehatan sampai
RR, TD 122/68 kesehatan tidur d. Memasang side rall dengan pasien sadar penuh dan
mmHg, N 77 x/mnt, e.Menyediakan tempat klien tempat tidur/brankar dan pindah ke ruang rawat.
RR 17x/mnt, S 36,7 yang nyaman dan bersih memasang pengunci
derajat celcius brankar
e. Menyediakan tempat
klien yang nyaman dan
bersih
41

F. lampiran Askan
42
43
44
45
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kranioplasti titanium mesh secara teknis dianggap sebagai prosedur

sederhana, tetapi dapat menyebabkan berbagai komplikasi bedah, termasuk

paparan implan pasca operasi. Mesh expose dapat terjadi akibat infeksi atau

alergi akibat adanya benda asing pada tubuh.

Tindakan anestesi pada mesh expose tidak memerlukan tehnik khusus,

karena tindakan operasi pada mesh expose tidak membuka tulang tengkorak,

tidak membutuhkan pengempesan otak. Tehnik anestesi pada mesh expose

tidak jauh dengan tindakan general anestesi pada umumnya.

B. SARAN

Tehnik anestesi pada operasi up mesh expose tidak menggunakan tehnik

khusus, tetapi kita sebagai tenaga anestesi harus tetap hati – hati dan waspada.

Selalu siap dengan segala kemungkinan yang akan tibul saat intra operasi, seperti

permintaan operator jika harus mengempeskan otak, menjaga tekanan intra kranial

agar tidak naik.


DAFTAR PUSTAKA

Aydin S, Kucukyuruk B, Abuzayed B, Aydin S, Sanus GZ. Cranioplasty:


Review of material and techniques. J Neurosci Rural Pract. 2011
Greenberg MS. Cranioplasty. In: Greenberg MS, editor. Handbook of
neurosurgery. 8th Ed. New York: Thieme; 2016
Kuttenberger JJ dan Hardt N. 2001. Long-term results following reconstruction of
craniofacial defects with titanium micro-mesh systems. Journal
Craniomaxillofacial Surgery. 29:75-81.
Margules A, Jallo J. Complications of decompressive craniectomy. JHN Journal.
2010
Mangku, G dan Senapathi, T. G. A. (2010). Ilmu anestesi dan reanimasi. Jakarta.

Munaf, S. (2008). Kumpulan kuliah farmakologi. Palembang.

Sanus GZ, Tanriverdi T, Ulu MO, Kafadar AM, Tanriover N, Ozlen F. 2008. Use
of Cortoss as an alternative material in calvarial defects: The first clinical results
in cranioplasty. Journal Craniofacial Surgery.19:88-95.

Anda mungkin juga menyukai