Anda di halaman 1dari 20

1.

Farmakokinetik dan farmakodinamik

Farmakodinamik

Ketoconazole adalah obat azole oral pertama yang digunakan oleh klinisi untuk mengobati
infeksi fungal. Ketoconazole bekerja dengan memblok sintesis dari ergosterol (salah satu
komponen dari membrane sel fungal) melalui inhibisi pada sitokrom P-450 pada enzim
lanosterol 14α – demetilase. Karena enzim tersebut diinhibisi, maka lanosterol tidak dapat
melakukan konversi menjadi ergosterol pada sel membran fungal.Ergosterol yang tidak
dapat terbentuk dan semakin tipis pada dinding membran sel akan menyebabkan struktur
dan fungsi pada membran sel menjadi lemah

 Ketokonazol merupakan derivat imidazol dioxolane sintetis yang memiliki efek


antimikotik yang berpotensi dan sensitif terhadap dermatofit. Dermatofit adalah sejenis
jamur superfisial penyebab infeksi jamur kulit. Jamur dalam kategori ini diklasifikasikan
dalam tiga genus antara lain: Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Ketiga
genus ini memiliki morfologi patogenisitas yang sama terhadap Malassezia sp..
Ketokonazol akan membuat lisis ergosterol pada membrane sel jamur Malassezia sp
 Ketokonazol akan membuat lisis ergosterol pada membrane sel jamur Malassezia sp..Obat
azol diabsorbsi baik pada saluran cerna dan mampu bertahan didalam darah selama 30
menit. Penyerapan obat melalui pencernaan akan terganggu bila pada pasien dengan
pemberian obat penetral asam lambung antacid. Pemberian obat ini akan menyebabkan pH
lambung menjadi berkurang sehingga penyerapan obat ketokonazol menjadi sangat rendah.
Setelah melewati lambung, kadar ketokonazol akan terdetoksifikasi melalui hepar dan
menghambat enzim CYP450 sitokrom melalui sel hepatosit di hati yang didistribusikan ke
jaringan melalui kulit, sehingga efek ini menyebabkan penekanan senyawa 14 alfa metil
sterol pada kulit. 14 alfa metil sterol merupakan konversi lanosterol yang berperan sebagai
pemain kunci dalam metabolisme zat organik dan biosintesis steroid, lipid, serta vitamin
pada spesies jenis eukariota seperti jamur sehingga fungsinya dapat meningkatkan
ergosterol pada membran sel jamur. Setelah adanya pemberian ketokonazol maka
diharapkan produksi 14 alfa metil sterol menurun dan terjadi kerusakan pada membran sel
jamur sehingga permeabilitas dinding sel serta komponen-komponen intraselulernya
berkurang. Pada pemberian per oral ketokonazol, saat di absorbsi kadarnya akan ditemukan
dalam kelenjar lemak, saliva juga pada kulit yang mengalami infeksi, tendo, cairan synovial
dan cairan vulvovaginal.
 Obat golongan azol ini juga sering mengalami resistensi. Penggunaan ketokonazol ini
sebagian besar digunakan untuk profilaksis karena semakin banyak strain yang resisten
terhadap ketokonazol maka ketokonazol ini hanya digunakan untuk terapi antijamur
sementara.21
 Ketokonazol adalah obat antijamur yang mampu menghasilkan kadar plasma yang cukup
menekan berbagai jenis jamur. Jenis jamur yang ditekan aktif baik sistemik dan non sitemik
adalah efektif terhadap Candida sp, Coccidioides imistis, Cryptococcus neoformans,
Histoplasma capsulatum, Blastomyces dermatitidis, Aspergilus sp, dan Sporotrichosis sp..
 Kadar ketokonazol dalam cairan otak sangat kecil. Dalam plasma 84% ketokonazol
berikatan dengan protein plasma terutama albumin. Pada penelitian tahun 2006 juga
ditemukan bahwa ketokonazol efektif menghambat heme- oxygenase.27 Di dalam darah
ketokonazol hanya 15% yang berikatan dengan eritrosit dan 1% dalam bentuk bebas
melalui distribusi metabolit lintas pertama. Sisa-sisa metabolit ini sebagian besar akan
dikeluarkan melalui cairan empedu di usus dan sebagian kecil diekskresikan dalam urine.
Produk reabsorbsi obat ini merupakan jumlah hasil keluaran metabolit yang di ekskresikan
bersama natrium, kreatinin dan ureum. 20
 Pada sediaan topikal, tiap 20 gr krim mengandung ketokonazol 20 mg yang terdiri dari
bahan yang terbuat dari komponen dasar dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen
bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat
 pembawa yang biasa digunakan seperti lanolin, paraben serta gliserin adalah bagian inaktif
sediaan topikal dalam bentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif secara kontak
pada kulit. Tiap 20 mg ketokonazol efektif bekerja pada reseptor lapisan kulit dengan
menghambat sintesis ergosterol pada dinding sel jamur melalui penekanan senyawa 14 alfa
metil sterol yang telah didistribusikan melalui hepar pada permukaan superfisial kulit dan
mukosa. Preparat sediaan topikal ini digunakan untuk infeksi jamur, seperti athlete’s foot,
kurap, infeksi dermatofit pada kulit atau kuku tangan (tidak pada kuku kaki), Kandidiasis
(infeksi jamur atau sariawan). 29
Efek Samping ketokenazol
Ketoconazole memiliki banyak efek samping serius, misalnya pemanjangan interval QT,
sehingga penggunaannya tidak disarankan jika terapi antifungal lain tersedia. Interaksi obat
di antaranya dengan rifampisin dan isoniazid berupa peningkatan risiko hepatotoksik dan
penurunan konsentrasi ketoconazole.

Sediaan dan dosis


Selenium Sulfida ( Selsun , Topisel)
Lotion 1%
Shampoo 1%
Lotion 2,5 %
Shampoo 2,5%
Krim Terbinafin HCl 1%
Ketokenazol
Krim 2%
Larutan (scalp solution) 1%
Larutan (scalp solution) 2%

Sumber :
1. Katzung B G. et al. Basic and Clinical Pharmacology 11th edition. Lange, 2009;839-830.
6. Youdim, et al. Application of CYP3A4 in vitro data to predict clinical drug-drug interaction;
predictions of compounds as objects of interaction. Br J Clin Pharmacol. 2008; 65:680-692
7. Ketoconazole (2016). Available from URL : https://www.drugs.com/mtm/ketoconazole.htm
8. Schmalreck A, Becker K, Fegeler W. Ketoconazole: Cross-resistance determined by
susceptibility pattern analysis. 15th Annual Focus on Fungal Infection (2005)

Mekanisme Gatal pada PV dan mengapa diberikan loratadine

Belum ada penjelasan mengenai gatal yang muncul pada lesi, akan tetapi terdapat hipotesis bahwa
lingkungan yang lembab dan basah meningkatkan virulensi jamur sehingga muncul rasa gatal
segera setelah paparan sinar matahari, berkeringat, maupun mandi
Sumber :

Mayser PA, Lang SK, Hort W. Pathogenicity of Malassezia Yeasts. In: Brakhage AA, Zipfel PF.
nd
editors. The Mycota VI. 2 ed. Berlin: Springer; 2008. p. 115-54.
Vaselin album

Vaselin putih digunakan dalam formulasi sediaaan salep dengan fungsi utama sebagai emolient.
Vaselin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal sebagai basis yang bersifat emolient.
Vaselin album digunakan sebagai emolien krim, topikal emulsi, topikal ointments dengan
konsentrasi antara 10-30%.

Patofisiologi tinea versicolor dimulai ketika Malassezia furfur berubah bentuk menjadi
miselia. Malassezia merupakan jamur kulit yang secara komensal terdapat pada kulit yang sehat
dan biasa terdapat pada area yang berminyak seperti daerah muka, kulit kepala dan punggung.
Orang imunokompeten dapat mengeleminasi Malassezia melalui monocyte-derived dendritic
cells yang memfagosit organisme ini, sehingga mengaktifkan respon adaptif sel T-helper.
Malassezia dapat menyebabkan tinea versicolor ketika berubah menjadi bentuk filamentosa
patogenik. Faktor yang menyebabkan perubahan patogenik ini dapat disebabkan oleh predisposisi
genetik, kondisi lingkungan yang hangat dan lembap), imunodefisiensi, kehamilan, kulit
berminyak, dan aplikasi lotion atau krim dengan kandungan minyak tinggi.

Perubahan Pigmentasi
Patofisiologi terjadinya lesi hipopigmentasi berbeda dengan lesi hiperpigmentasi. Pada lesi
hipopigmentasi, terjadi perusakan melanosit dan inhibisi tirosinase oleh asam dicarboxylic yang
diproduksi oleh Malassezia. Selain itu, juga terjadi akumulasi dari lipid-like material pada stratum
korneum yang menghalangi sinar ultraviolet.
Lesi hiperpigmentasi diduga disebabkan oleh efek langsung dari inflamasi. Dilaporkan bahwa lesi
hiperpigmentasi memiliki lapisan keratin yang lebih tebal, serta spora Pityrosporon dan hifa yang
lebih banyak. [1,4,5]

Referensi
1. Hudson A, Sturgeon A, Peiris A. Tinea versicolor. JAMA. 2018; 320(13):1396. DOI :
10.1001/jama.2018.12429
4. Kallini JR. Riaz F, Khachemune A. Tinea versicolor in dark-skinned individuals. Internasional
Journal of Dermatology. 2014 ; 53 : 137-141
5. Santana JO, Anrade de Azevedo FL, Campos PD, Filho. Pityriasis versicolor : clinical –
epidemiological characterization of patients in the urban area of Buerarema-BA, Brazil. An Bras
Dermatol.2013; 88(2):216-221

Epidemiologi

Angka kejadian tinea versicolor di negara dengan iklim panas seperti Samoa Barat memiliki angka
tinggi yaitu 50%. Sedangkan pada negara beriklim dingin seperti Swedia, angka kejadian tinea
versicolor rendah dengan angka 1,1%.

Crouse LN. Tinea versicolor. 2018. https://emedicine.medscape.com/article/1091575-


overview#a3
7. Radiono S, Suyosos S, Bramono K. Tinea versicolor. Dalam : Bramono K, Suoyso S, Indriatmi
W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E. Dermatomikosis superficialis. Ed ke -2. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI ; 2013. h.24-34

Prognosis tinea versicolor baik karena penyakit ini jinak dan tidak menular. Terapi antifungal
topikal umumnya cukup untuk mengatasi tinea versicolor, namun jika terjadi rekurensi atau
penyakit melibatkan area kulit yang luas, dapat dipertimbangkan pemberian antifungal sistemik.
[17]

Komplikasi
Meski tinea versicolor mudah untuk diobati, namun kekambuhan sering terjadi. 35% pasien yang
menerima terapi adekuat dilaporkan mengalami rekuren. Lesi kulit yang telah diobati dengan
antifungal dapat meninggalkan bekas yang menetap selama beberapa bulan hingga tahunan (28-
47% kasus). [18]

2. Crouse LN. Tinea versicolor. 2018. https://emedicine.medscape.com/article/1091575-


overview#a3
17. Drago L, Micali G, Papini M, Piraccini BM, Veraldi S. Management of mycoses in daily
practice. G Ital Dermatol Venereol. 2017; 152 (6):642-650
18. Manford J, Flores-Genuino RN, Ray S,Bigby M et all. Interventions for the treatment of
pityriasis versicolor. Cochrane database of systematic review. 2014.
19. Marinello E, Piaserico S, Alaibac M. Atrophic Pityriasis Versicolor in a Patient with Sjorgen’s
Syndrome. http://sci-hub.tw/http://dx.doi.org/10.1136/bcr-2016-218108

KULTUR
Kultur umumnya tidak digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi Malassezia karena kebutuhan lipid
organisme, yang membuat kultur lebih menantang secara logistik — lapisan minyak zaitun harus
ditambahkan atau media pertumbuhan khusus seperti Dixon yang dimodifikasi diperlukan — dan ini
diperumit lebih lanjut dengan sedikit perbedaan. persyaratan pertumbuhan di antara spesies yang berbeda.
Selain itu diagnosis pitiriasis versikolor sudah dapat ditegakkan dengan morfologi dan pemeriksaan
dermoskopi serta bantuan pemeriksaan penunjang seperti lampu wood dan KOH kerokan kulit.

BIAKAN DAN BIOPSI

Hasil biakan Malassezia dalam media agar Sabourraud dengan tambahan streptomycin, penicillin,
dan Actidione ditutup dengan minyak zaitun di atasnya tidak bernilai diagnostik oleh karena
1,2
Malassezia merupakan flora normal kulit. Hernandez et al. menemukan bahwa M.globosa adalah
spesies terbanyak pada kultur dari sampel PV di Meksiko. Hasil serupa juga ditemukan oleh Makni
et al. di Tunisia yang mengkonfimasi predominasi Malassezia globosa sebanyak 65% pada kultur
15
dengan medium Dixon dengan teknik molekuler.

Biopsi kulit jarang diperlukan untuk diagnosis PV, walaupun hifa dan spora yang terdapat di
stratum korneum dapat terlihat dengan pengecatan Periodic Acid Schiff (PAS)atau methenamine
silver. Pada lesi terdapat hiperkeratotik dan koloni hifa dan spora, subepidermal fibroplasia, tidak
15
ada melanosit dan infiltrat sel radang minimal. Organisme terkadang tampak di sekitar folikel
rambut dan di sekitar muara folikel.

Biopsi kulit tidak diperlukan untuk memastikan diagnosis, tetapi jika dilakukan, temuan

histologis meliputi hiperkeratosis, akantosis, dan infiltrat perivaskular superfisial ringan di

dermis. Elemen jamur terlokalisasi hampir secara eksklusif di dalam stratum korneum dan

sering dapat divisualisasikan bahkan di bagian yang diwarnai dengan hematoxylin-eosin.

Baik spora dan hifa Malassezia hadir dan sering disamakan dengan spageti dan bakso.

Pewarnaan asam-Schiff berkala dapat meningkatkan pengenalan jamur .

Sumber : Fitz
Erchiga VC and Hay RJ. Pityriasis Versicolor and Other Malassezia Skin Diseases. In:
th
Boekhout T, Gueho-Kellerman E, Mayser P, Velegraki A. editors. Malassezia and the Skin. 9
ed. Berlin: Springer; 2010, p.175-99.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu dalam menegakkan diagnosis,
menentukan klasifikasi penyakit kusta sebelum pengobatan, menilai respons pengobatan, dan
menentukan prognosis. Sediaan yang digunakan diambil dari kerokan jaringan kulit atau usapan
dan kerokan mukosa hidung yang kemudian akan diberi pewarnaan menggunakan Ziehl-Neelsen
(Gambar 2).2,7 Harus ditentukan terlebih dahulu lesi kulit yang diharapkan paling padat ditempati
oleh kuman. Selain lesi kulit yang dicurigai, daun telinga merupakan salah satu sumber cairan
jaringan yang cocok untuk digunakan dalam deteksi bakteri, bahkan jika pada saat awal b elum
tampak infiltrasi.2,3 Lokasi yang sering diambil untuk sediaan hapus jaringan antara lain adalah
daun telinga, lengan, punggung, bokong, dan paha. Apusan ulang diperoleh dari 3 sampai 4 lokasi
paling aktif yang sama dengan sebelumnya untuk mengevaluasi pengobatan.7
Cara pengambilan sampel:2,16
1. Lakukan desinfeksi pada tempat lesi yang akan diambil.
2. Jepit daun telinga menggunakan ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi pucat, agar
kerokan jaringan tidak bercampur dengan darah.
3. Lakukan insisi sepanjang 3-5 mm dan dengan kedalaman 2-3 mm menggunakan
skalpel (Gambar 1).
4. Setelah insisi dibuat, lakukan pemutaran 90 0 dan lakukan kerokan 2-3 kali untuk
mengeluarkan bubur jaringan, pastikan tidak ada darah yang ikut keluar.
5. Letakkan bubur jaringan ke kaca objek dengan membuat apusan berukuran kurang
lebih 8 mm, dimulai dari perifer dan berakhir ditengah.
6. Beri label pada apusan yang telah dibuat.
7. Beri tekanan pada lesi yang diinsisi menggunakan kasa dan plester untuk
menghentikan perdarahan.
8. Biarkan apusan kering dengan suhu ruangan dan lakukan fiksasi dengan cara
pemanasan diatas api bunsen sebanyak 2-3 kali, jangan sampai mendidih.

Gambar 1. Pengambilan sampel dari daun telinga. 17

Cara melakukan pewarnaan:14,16


1. Setelah sediaan apusan dikeringkan dan difiksasi, letakkan pada rak pewarnaan dan
tetesi dengan larutan karbol fuchsin sampai tergenang selama 20 menit.
2. Panaskan diatas api bunsen hingga terlihat warna kemerahan, jangan sampai
mendidih.
3. Diamkan selama 15 menit, kemudian cuci dengan air mengalir sampai warna hilang.
4. Lakukan dekolorisasi menggunakan alkohol asam 3% atau 5% asam sulfur selama 10
detik, kemudian cuci dengan air mengalir.
5. Teteskan larutan biru metilen 1% selama 1 menit, kemudian cuci dengan air mengalir,
dan biarkan kering.
6. Lakukan pengamatan dibawah mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
pembesaran lensa objektif 100x.
Gambar 2. Proses pewarnaan Ziehl-Neelsen.22

Cara melakukan pembacaan skin smear:19


1. Letakkan kaca obyek di bawah mikroskop dengan hapusan menghadap keatas dan
label berada di kiri.
2. Fokuskan gambar menggunakan lensa obyektif 10x.
3. Tetesi hapusan dengan setetes minyak imersi.
4. Lensa obyektif diubah menjadi pembesaran 100x.
5. Buka diafragma seluruhnya dan naikkan kondensor ke posisi tertinggi.
6. Fokuskan dengan tepat menggunakan mikrometer.
7. Mulailah menghitung lapangan pandang, menggunakan cara zig-zag, huruf Z, dan
setengah atau seperempat lingkaran (Gambar 3).

Gambar 3. Cara menghitung bakteri dibawah mikroskop.19

Interpretasi hasil:2
M. leprae termasuk kedalam bakteri tahan asam, maka akan tampak berwarna merah
pada sediaan. Basil Mycobacterium terlihat sebagai titik merah yang diwarnai oleh karbol
fuchsin dan menonjol dengan jelas dengan latar belakang biru metilen (Gambar 4).10,16 Hasil
bakterioskopi negatif bukan berarti pada orang tersebut tidak terdapat bakteri M. leprae.2

Gambar 4. Hasil pemeriksaan basil tahan asam dari slit-skin smear pada pasien kusta.8,18

Lakukan penilaian terhadap bentuk bakteri, apakah berbentuk batang utuh (solid), batang
terputus (fragmented), dan butiran (granular) (Gambar 5). Bentuk solid merupakan kuman
yang hidup, sedangkan bentuk fragmented dan granular merupakan kuman mati, hal ini perlu
dibedakan karena bentuk yang hidup lebih berbahaya dan dapat berkembang biak dan
menularkan kepada orang lain.2,7

Gambar 5. Bentuk bakteri M. leprae.20

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada sebuah sediaan dinyatakan
sebagai Indeks Bakteri (IB), dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley (Tabel 1). 2,7 Indeks
bakteri seseorang adalah indeks bakteri rata-rata dari semua lesi yang dibuat sediaan, yang
merupakan total dari jumlah basilus pada pewarnaan dan mencakup basilus yang hidup dan
mati.16 Indeks bakteri berguna untuk membantu dalam menentukan tipe kusta dan menilai
hasil pengobatan.19
Tabel 1. Klasifikasi Indeks Bakteri. 2

Indeks Bakteri
0 Tidak terdapat BTA dalam 100 lapang pandang (LP)
1+ Terdapat 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ Terdapat 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ Terdapat 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ Terdapat 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ Terdapat 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ Terdapat >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Menurut klasifikasi WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar yaitu tipe
Lepromatosa, borderline-lepromatosa, dan borderline-borderline dengan indeks bakteri lebih
dari 2+, dan pausibasilar yaitu tipe indeterminate, tuberkuloid, dan borderline-tuberkuloid
dengan indeks bakteri kurang dari 2+.2
Indeks Morfologi (IM) merupakan teknik standar yang dipakai untuk memperkirakan
proporsi kuman yang hidup diantara seluruh kuman dalam persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan non-solid. Perhitungan indeks morfologi dilakukan
untuk mengetahui daya penularan kuman, menilai respon pengobatan, dan menentukan
resistensi terhadap obat. 2,7,19
Rumus perhitungan Indeks Morfologi: 2,16
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑
𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 + 𝑛𝑜𝑛 − 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑
Syarat perhitungan:
- Basil yang dihitung adalah basil yang terpisah, tidak berbentuk globus
- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari dalam
1000 sampai 10.000 lapangan.
- Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimal harus dicari dalam
100 lapangan.

b. Pemeriksaan histopatologi
Tergantung pada presentasi klinis, spektrum histopatologi kusta sangat beragam. Penegakan
diagnosis pasien dari berbagai bentuk kusta biasanya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis
dan pemeriksaan bakterioskopis, tetapi pada kasus yang meragukan diperlukan pemeriksaan
histologis. Sebaiknya, biopsi kulit diambil dari tepi lesi dan harus mencakup dermis dan jaringan
subkutan dari lesi.3,7 Pada kusta nervus murni, biopsi nervus diperlukan untuk menetapkan
diagnosis.15
Biopsi nervus dilakukan pada nervus yang dicurigai terutama nervus sensoris, yang paling
sering adalah nervus ulnaris pada punggung tangan, nervus suralis pada pergelangan kaki, dan
nervus peroneus di atas pergelangan kaki.21 Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada
anak-anak bila pemeriksaan nervus sensoris sulit dilakukan, atau pada lesi dini serta untuk
menentukan klasifikasi yang tepat.7 Temuan histopatologi dinilai berdasarkan skala Ridley dan
Jopling (Tabel 2).8
Cara melakukan biopsi nervus:21,23

1. Lakukan tindakan aseptik pada lokasi yang akan dibiopsi.


2. Berikan anestesi lokal berupa lidokain 2%, hindari terkena vena, kemudian tunggu 5 menit
hingga anestesi bekerja.
3. Pastikan kembali lokasi nervus yang akan diambil, lakukan insisi 1-2 cm.
4. Insisi diperdalam ke lemak subkutan, lalu pisahkan nervus dari struktur sekitar.
5. Beri sekat berupa plastik atau wax di bawah nervus yang telah dipisahkan, reseksi jaringan
nervus dengan insisi longitudinal sekitar 3 cm (Gambar 6).
6. Lakukan eksisi pada jaringan yang telah dipotong, kemudian gunakan forceps untuk
memotong ujungnya.
7. Bagi jaringan yang telah diambil menjadi dua bagian, satu bagian difiksasi dengan larutan
Flemming selama 24 jam atau menggunakan formalin buffer 10%.
8. Jaringan yang telah difiksasi sebelumnya dipotong secara melintang dengan ketebalan
5μm kemudian diwarnai dengan pewarnaan hematosiklin eosin, dan pewarnaan Wade
Fite untuk basil lepra.
Gambar 6. Cara melakukan biopsi nervus.23

Tabel 2. Karakteristik tipe kusta menurut klasifikasi Ridley-Jopling.2

Tipe kusta
TT BT BB BL LL
TT Ti BT BB BL Li LL
Reaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -
Stabilitas imunologik ++ + ± - ± + ++
Reaksi borderline - ± + ++ + ± -
ENL - - - - + + +
Kuman dalam hidung - - - - + ++ ++
Kuman dalam granuloma 0 0-1+ 0-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+
Sel epiteloid + + + + - - -
Sel datia Langhans +++ ++ + + - - -
Globi - - - - - + +
Sel busa (sel Virchow) - - - - + ++ +++
Limfosit +++ +++ ++ + + +/± ±
Infiltrasi zona sub epidermal + + ± - - - --
Kerusakan nervus ++ +++ ++ + ± + -

Tipe indeterminate
Hingga 70% kasus tipe indeterminate tidak memiliki histopatologi yang spesifik. Pada
epidermis atau lapisan basal menunjukkan adanya reduksi melanin. Terdapat infiltrat makrofag
dan limfosit pada perivaskular dan perineural tanpa pembentukan granuloma (Gambar 7).
Terkadang infiltrat mengelilingi adneksa kulit dan jarang terlihat basilus di nervus. Limfosit
intraneural sering terlihat. Pada tahap awal penyakit, beberapa mikobakteri dapat ditemukan
perineural, di otot arektor pili, atau langsung di bawah epidermis .3,8
Gambar 7. Histopatologi tipe indeterminate. Infiltrasi perineural dengan delaminasi nervus (A dan B,
), dan basilus tahan asam (C, ). 8

Tipe tuberkuloid
Kusta tuberkuloid ditandai dengan granuloma tuberkuloid dermal dengan sel epiteloid,
beberapa terletak tepat di bawah epidermis, yang lain di sekitar pembuluh darah dalam dan
nervus. Keterlibatan nervus perifer, infiltrasi seluler kelenjar keringat, dan invasi otot arektor pili
oleh infiltrat granulomatosa sering terjadi (Gambar 8). Tidak ada basil tahan asam atau bila ada
lebih sering ditemukan di dalam nervus perifer, otot arektor pili, atau bahkan granuloma.
Terdapat sel raksasa berinti banyak (tipe Langerhans).3,8

Gambar 8. Histopatologi tipe tuberkuloid. Adanya granuloma dalam dan superfisial, yang menyentuh
epidermis (A), terkait dengan infiltrasi limfosit di sekitar atau menyerang dan menghancurkan
adneksa kulit, seperti nervus, otot arektor pili (B), atau kelenjar keringat (C). 8

Tipe borderline-borderline
Terdapat kumpulan sel epiteloid, limfosit tersebar jarang, tidak ada sel raksasa berinti banyak
Langhans, dan peningkatan jumlah basil tahan asam. Terlihat gambaran granuloma tuberkuloid
yang membentuk zona grenz, dan basil tahan asam yang lebih banyak dengan beberapa terlihat
membentuk globi (Gambar 9).8

Gambar 9. Histopatologi tipe borderline-borderline. Granuloma tuberkuloid dalam dan superfisial yang
tidak menyentuh epidermis, mulai membentuk zona grenz (A). Sel-sel inflamasi menyerang adneksa kulit
dan nervus, yang mengalami degenerasi (B), dan basil tahan asam dapat ditemukan lebih mudah,
beberapa membentuk globi (C).8

Tipe borderline-tuberkuloid
Histopatologi bentuk borderline-tuberkuloid dapat dibedakan dari kusta tuberkuloid dengan
adanya zona grenz subepidermal. Secara umum, tidak ada granuloma yang terbentuk dengan
baik dengan kumpulan sel epiteloid yang terorganisir, dan ada pengurangan frekuensi limfosit
dan sel Langhans dengan basil tahan asam yang jarang. Granuloma tuberkuloid tidak menyentuh
epidermis dan dapat menginvasi nervus (Gambar 10).8
Gambar 10. Histopatologi tipe borderline-tuberkuloid. Terlihat granuloma tuberkuloid yang dalam dan
superfisial (A) yang tidak menyentuh epidermis (B). Granuloma tuberkuloid dapat menginvasi nervus (C), dan
dapat ditemukan basil tahan asam (D, 100x).8

Tipe borderline lepromatosa


Kusta borderline-lepromatosa menunjukkan zona grenz subepidermal, agregat makrofag,
beberapa sel epiteloid dengan sitoplasma yang banyak, dan beberapa sel berbusa, dengan sedikit
limfosit. Infiltrat inflamasi limfositik makrofag campuran terdapat pada dermis superfisial dan
tidak menyentuh epidermis, dan ditemukan sejumlah besar basil dan beberapa globi (Gambar
11).8

Gambar 11. Histopatologi borderline-lepromatosa. Terdapat infiltrat inflamasi limfositik makrofag


campuran (granuloma makrofag) pada dermis superfisial dan dalam (A). Infiltrat campuran tidak
menyentuh epidermis dan terlihat disekitar atau menginvasi berkas nervus (B). Terlihat sejumlah
besar basil tahan asam (C).8

Tipe lepromatosa
Pada kusta lepromatosa terdapat epidermis normal sampai gepeng, zona grenz
subepidermal, kumpulan dan lembaran makrofag berbusa abu-abu kebiruan (sel Virchow) di
seluruh dermis dan ke dalam lemak subkutan. Sejumlah besar basil tahan asam dan globi
ditemukan dalam makrofag berbusa (sel Virchow), nervus, otot arektor pili, epitel folikel, dan
kelenjar keringat (Gambar 12)3,8

Gambar 12. Histopatologi tipe lepromatosa. Terlihat infiltrat inflamasi yang sebagian besar terdiri
dari makrofag berbusa di dermis. Terdapat zona grenz pada interface dermis-epidermis (A). Pada
hasil Fite-Faraco terlihat adanya globi basil tahan asam di dalam makrofag (B), dan pada sel kelenjar
keringat (C).8

c. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis merupakan alternatif dari metode diagnostik jika terjadi kegagalan
dalam pembiakan dan isolasi kuman. Selain itu, pemeriksaan serologis juga dapat membantu
menentukan kusta subklinis karena tidak didapati lesi di kulit, misalnya pada orang-orang yang
kontak dengan pasien. Pemeriksaan serologis didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
yang terinfeksi M. leprae. Antibodi yang dapat terbentuk yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-
1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD yang bersifat spesifik terhadap M. leprae.
Antibodi yang tidak spesifik antara lain adalah antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM) yang juga
dihasilkan oleh M. tuberculosis.2
Metode uji serologis memiliki sensitivitas yang baik dalam bentuk multibasiler (sekitar 70%)
melibatkan pengukuran antibodi terhadap PGL-1 di dinding sel bakteri. Terdapat peningkatan
kadar antibodi sepanjang spektrum dari tuberkuloid hingga kusta lepromatosa. Mengingat
sensitivitasnya yang sedang, tes serologis tidak cocok untuk konfirmasi diagnostik bentuk kusta
pausibasiler.3 Pada tipe pausibasiler sering didapatkan hasil yang negatif, karena lebih banyak
respons imun selular yang berperan dan hanya sedikit antibodi yang terbentuk. Karena yang
diperiksa merupakan antibodi spesifik basil kusta, maka bila terdapat antibodi dalam titer yang
cukup tinggi, maka patut dicurigai sebagai infeksi M. leprae.7
Kadar titer antibodi berhubungan dengan indeks bakteri, dan titer akan menurun mengikuti
pengobatan yang diberikan. Penurunan titer antibodi akan mengikuti penurunan indeks bakteri,
sehingga dapat dipakai sebagai evaluasi dari hasil pengobatan. Beberapa uji serologis yang
banyak digunakan untuk membantu dalam menegakkan diagnosis kusta antara lain:2,7
1. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Agglutination)
Uji MLPA merupakan teknik yang dikembangkan oleh Izumi dkk., dengan dasar reaksi
antigen-antibodi yang akan menimbulkan pengendapan (aglutinasi) partikel yang terikat.
Teknik ini telah banyak digunakan sebagai skrining kasus kusta subklinis di daerah endemik
karena mudah dan cepat.
Antigen yang digunakan adalah antigen polisakarida sintetik yang sesuai dengan
phenolic glycolipid-1 (PGL-1), yang termasuk kedalam antigen spesifik dari dinding kapsul
M. leprae. Antigen ini akan berikatan dengan antibodi anti PGL-1 IgM didalam serum pasien
kusta. Hasil pemeriksaan dikatakan positif bila terjadi aglutinasi dengan pengenceran 1/32.
2. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
Uji ini hanya dilakukan pada keadaan tertentu, seperti kepentingan penelitian atau
kasus tertentu karena memerlukan peralatan khusus dan keterampilan yang tinggi. Uji
ELISA memiliki keuntungan dapat mendeteksi antibodi dalam jumlah yang sangat sedikit
karena memiliki sensitivitas yang tinggi. Pada pemeriksaan ini dapat digunakan berbagai
antigen, sehingga bermacam-macam antibodi dapat diukur.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen-antibodi yang terbentuk
dengan memberi label pada ikatan tersebut, kemudian diukur dengan alat
spektrofotometer menggunakan panjang gelombang tertentu. Uji ELISA untuk penyakit
kusta dapat mengukur kadar antibodi terhadap basil kusta, seperti antibodi anti PGL-1 dan
antibodi anti protein 35kD. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan
ditemukan dibandingkan dengan IgG, sedangkan antibodi terhadap protein biasanya
didominasi oleh IgG. Uji ELISA dapat digunakan untuk memantau hasil pengobatan, dengan
adanya penurunan antibodi spesifik pada serum penderita yang diperiksa secara berkala
setiap 3 bulan sekali.
3. ML dipstick
Pemeriksaan Mycobacterium leprae dipstick bertujuan untuk mendeteksi antibodi IgM
yang spesifik terhadap M. leprae. Dipstick terdiri atas 2 pita horizontal, pita yang terletak di
bawah mengandung epitop imunodominan M. leprae yang spesifik yaitu PGL-1, dan pita
kedua yang terletak di atas sebagai kontrol. Pengukuran ini dilakukan berdasarkan ikatan
antara antibodi IgM M. leprae spesifik terhadap antigen M. leprae. Dipstick yang
mengandung antigen dicelupkan ke dalam serum yang diencerkan 1:50 dan dicampur
dengan reagen, kemudian diinkubasi selama 3 jam. Pewarnaan pada pita antigen
menunjukkan adanya antibodi IgM spesifik terhadap M. leprae.

- 2.Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES. Kusta. Dalam: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017.h.87.
- 7.Fischer, Marcellus. Leprosy - An Overview of Clinical Features, Diagnosis, and
Treatment. Journal of the Common Society of Dermatology. 2017;801-818.
- 16.Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2003.h.26
- 14.Stinson KW, Eisenach K, Kayes S, Matsumoto M, Siddiqi S, Nakashima S, et al, editor.
Mycobacteriology Laboratory Manual. Global Laboratory Initiative. 2014.
- 15.Lockwood DN, Leprosy. Dalam: Griffiths CE, Barker J, Bleiker T, Chalmers R, Creamer
D, editor. Rook's Textbook of Dermatology. Edisi ke-9. United Kingdom: John Wiley &
Sons. 2016.h.803
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta. 2012.
- 21.Ilona SE, Mulianto N. Pure Neural Leprosy. CDK Journal. 2017;44(7):485.
- 23.World Health Organization. Laboratory Techniques for Leprosy. 1987.

Anda mungkin juga menyukai