Anda di halaman 1dari 65

Laporan Kasus

SYOK HIPOVOLEMIK

Oleh:
Adinda Amalia, S.Ked 04054822022198
Yuffa Ainayya, S.Ked 04054822022103

Pembimbing:
dr. Silvia Triratna, Sp.A(K)

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Oleh:

Adinda Amalia, S.Ked 04054822022198


Yuffa Ainayya, S.Ked 04054822022103

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 30
November – 4 Januari 2020.

Palembang, Desember 2020


Pembimbing

dr. Silvia Triratna, Sp. A (K)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Syok Hipovolemik ”.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di RSMH Palembang. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. Silvia
Triratna Sp.A (K) atas bimbingan yang telah diberikan.
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan.Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis
pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Palembang, Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II STATUS PEDIATRIK...............................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................13
BAB IV ANALISIS KASUS.................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................47
BAB I

PENDAHULUAN

Syok pada bayi dan anak-anak merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan
memerlukan intervensi resusitasi segera. Syok merupakan salah satu penyebab
terbesar morbiditas dan kematian pada bayi dan anak, namun kurang dipahami dengan
baik. Syok adalah suatu sindroma kegagalan sistem sirkulasi untuk
menyediakan/memasok oksigen dan substrat metabolik lainnya yang cukup ke
sel/jaringan agar dapat berfungsi maksimal. Kegagalan sirkulasi pada bayi dan anak
terbanyak diakibatkan oleh hipovolemia. Berdasarkan komponen sistem sirkulasi,
terdapat 5 jenis syok yaitu syok hipovolemik, kardiogenik,obstruktif, distributif dan
sepstik. Syok hipovolemik merupakan penyebab terbanyak pada bayi dan anak.
Penyebab tersering syok hipovolemik pada anak adalah diare dan muntah.1,2
Pada negara atau daerah dengan sarana dan sumber daya terbatas pengelolaan
anak sakit parah di rumah sakit dan klinik kesehatan adalah merupakan masalah
kesehatan masyarakat global. Manajemen lebih dini dan secepat mungkin memberikan
resusitasi cairan untuk mengatasi syok dikaitkan dengan meningkat secara signifikan
hasilnya. Perlu pengetahuan dan kemampuan mengenal tanda bahaya yang ditemukan
pada anak dengan penyakit kritis. Pengenalan syok secara cepat, terutama di awal atau
pada fase syok kompensasi, sangat penting untuk mencegah syok berlanjut ke fase
syok dekompensasi atau terminal.1,2
Penanganan lebih awal dan mengatasi syok sesegera mungkin dikaitkan
dengan meningkatnya angka keberhasilan secara signifikan. Namun, manajemen awal
sangat tergantung pada kemampuan mengenal secara dini dan menetapkan diagnosis
syok secepat mungkin. Kegagalan mengenali tanda-tanda dan gejala syok serta
terlambatnya penanganan mengarah ke tingkat kematian lebih tinggi pada anak-anak
dan orang dewasa.2,3 Menetapkan diagnosis syok secara klinis memerlukan indeks
kecurigaan yang tinggi. Untuk hal ini diharapkan, semua penyedia layanan kesehatan
anak harus menyadari presentasi klinis, patofisiologi dan manajemen awal syok.
BAB II

STATUS PEDIATRIK

I. IDENTIFIKASI

Nama : An. MFM


Umur : 8 bulan (31 Maret 2020)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat badan : 7,2 kg
Panjang badan : 73 cm
Lingkar kepala : 39 cm
Agama : Islam
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Palembang
MRS : 9 November 2020

Pediatric Assesment Triangle (PAT)


1. Evaluasi
Appeareance
• Tonus : Pasien hipoaktif
• Interactiveness : Pasien masih sadar dengan lingkungan sekitar
• Consolability : Pasien bisa ditenangkan
: Mata terbuka tetapi tidak ada kontak mata dengan
• Look/Gaze pemeriksa
• Speech/Cry : Pasien menangis lemah
Work of Breathing
• Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-),Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-).
• Abnormal Positioning: Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-).
• Retractions : Subcostal (+), Intracostal (+),
Suprasternal (-), Epigastrium (-)
• Nasal Flaring : (+)
Circulation to Skin
• Pallor : (-)
• Mottling : (+)
• Sianosis : (+)

2. Identifikasi

Penampilan Abnormal Upaya napas

Sirkulasi Menurun

Identifikasi: Pasien mengalami Cardio Pulmonary Failure

3. Intervensi
• Memposisikan pasien (head tilt chin lift)
• 02 NRM 10 LPM

• Pasang akses IV

Primary Assessment
1. Evaluasi
• Airway : Bebas, paten/tidak ada obstruksi jalan napas
• Breathing : Frekuensi napas 66x/menit, napas spontan (+), sesak (+),
Napas cuping hidung (+), dada simetris dan dinamis, retraksi (+)
subcostal dan intercostal. Bibir dan lidah pucat (+). Bunyi paru
vesikuler (+), ronkhi basah halus nyaring (-/-), wheezing (-/-), stridor (-),
grunting (-), SpO2 80% dengan02 NRM 10 LPM
• Circulation : HR: 170x/menit, Nadi teraba kuat, Tekanan darah 100/70
mmHg, perdarahan (-), akral dingin (-), CRT <2”
• Disability : AVPU Scale : Alert
PCS (pediatric coma scales) 14 (E4M6V4)
• Exposure : luka, memar dan ruam di ekstremitas (-). Temp: 40,2ºC
2. Identifikasi
- Identifikasi keluhannya di respiratory
Respiratory Distress Respiratory Failure
Open without Airway Obstruksi parsial
support
Takipneu Respiratory Rate Bradipneu
Usaha meningkat Usaha nafas Tidak ada usaha
Suara normal Suara paru Suara abnormal
Takikardi Heart Rate Bradikardia
Agitasi Respon Gagal respon
Pucat Apperance Siaonis

Tergolong: respiratory distress


- Untuk tipe dan severity -> gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas
Gagal dalam ventilasi alveoli
Pneumonia, edema
pulmonal
Gagal difusi
Pneumonia, edema
pulmonal
3. Intervensi

• Bed rest (tirah baring) senyaman mungkin

• Oksigenasi: O2 10-12 L//menit via sungkup NRM

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis diberikan oleh ibu pasien)
Keluhan utama : Sesak nafas
Keluhan tambahan : BAB cair
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien dating dengan keluhan demam sejak 7 hari SMRS , peak 38,7 C. Demam tidak
turun dengan pemberian parasetamol. Terdapat batuk berdahak sejak 4 hari SMSRS.
Demam hari ketiga terdapat kejang umum, tonik dengan frekuensi 3x selama < 5 menit .
Anak dibawa ke RS Kayu Agung dirawat diruang isolasi covid . Pada hari.1 perawatan
anak mengalami BAB cair dengan frekuensi 7-10x sehari , komposisi cairan lebih banyak
dari ampas, kurang lebih ½ gelas tiap BAB. Darah (-) , lendir (-). Anak mulai tampak sesak
dan orang membawa pulang secara paksa.
Riwayat Penyakit Dahulu

o Riwayat berpergian keluar kota (-)


o Riwayat dikunjungi keluarga dari luar kota (-)
o Riwayat kontak dengan pasien covid (-)
p Riwayat kejang berulang sejak usia 2 bulan 3x episode dengan demam

Riwayat Pengobatan
Ceftriaxone, Ampicilin, diazepam, parasetamol sirup

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


o Keluarga dengan keluhan sama disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan : kurang bulan
Partus : sectio cesare a.i oligohidramnion dan gawat janin
Ditolong Oleh : Dokter
Berat badan : 2670 gr
Panjang Badan : tidak diketahui
Keadaan saat lahir : langsung menangis
Riwayat Vaksinasi
IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur Umur
HB 0 Lahir HB 1 2 Bulan HB 2 3 Bulan HB 3 4 Bulan
Polio 1 1 Bulan Polio 2 2 Bulan Polio 3 3 Bulan Polio 4 4 Bulan
BCG 1 Bulan
(Scar +)
DPT- 2 Bulan DPT- 3 Bulan DPT- 4 Bulan
Hib 1 Hib 2 Hib 3
Campak
Kesan:Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Fisik Pertumbuhan

BB/U : < -3 SD (Severely wasted)

PB/U : < -3 SD (Severely stunted)

BB/PB : -1 SD > z > -2 SD (Normal)


Kesan : Gizi baik dengan perawakan pendek
Perkembangan

USIA MOTORIK MOTORIK SOSIALISAS


KASAR HALUS I BICARA
(bulan)
Ikata
- n bonding
orang tua dan
- Menahan barang
- Mengangkat kepala yang bayi
setinggi dipegangnya mulai
-
45˚ & dada Menggapa
- i mainan tersenyum
ditumpu lengan pada meliha
yang digerakkan - t & Vokalisasi masih
0-3 waktu tengkurap Menggapa
- i kearah menatap wajah sembarang
- Menggerakkan berteria
kepala dari objek yang tiba-tiba - k bila
kiri/kanan dijauhkan dari senang
ke tengah pandanganny
a - bereaksi
terkeju
t terhadap
suara keras

Kesan: sesuai dengan usia


Riwayat Sosial Ekonomi
Pekerjaan Ayah adalah pedagang dan Ibu seorang guru, dengan penghasilan perbulan
mereka ± Rp 3.000.000
- Kesan : Sosial ekonomi menengah-kebawah.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Fisis Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E4M6V4
Tekanan Darah : 100/70
Heart rate : 170 kali/menit (pada monitor)
Pernapasan : 65 kali/menit
o
Suhu : 40,2 C
Berat badan : 4,3 kg
Panjang badan : 55 cm
Keadaan Spesifik
Kepala : fontanella menonjol (-)

Mata : Mata cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,


refleks cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, ø 3 mm/3 mm, air
mata tidak ada
Hidung : sekret tidak ada, napas cuping hidung (+)
Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mulut : bibir pucat (+), bibir kering (+)
Tenggorok : tidak diperiksa
Leher : perbesaran KGB tidak ada,

Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (+) Intercostal dan subcostal
Palpasi : Stremfremitus (tidak bisa dilakukan)
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus nyaring (+/-), wheezing
(-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordistidak terlihat

Palpasi : Thrill tidak teraba

Auskultasi : HR = 170x/menit, bunyi jantung I dan II normalirama reguler,

murmur dan gallop tidak ada,


Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus meningkat
Palpasi : Lemas, hepar tidak teraba,lien tidak teraba, cubitan perut
kembali lambat
Perkusi : Timpani, Asites (-)

Lipat paha dan genitalia


Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas
Akral dingin (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-), CRT <2 detik
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Fungsi Motorik Lengan Lengan Tungkai Tungkai


Kanan Kiri kanan kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Normal Normal Normal Normal
Klonus - -
Refleks fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks patologis - - - -

GRM: Kaku kuduk (-), Brudzinki I (-), Kernig sign (-)

IV. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hb : 14,2 g/dL Hitung Jenis :0/0/53/41/6

Eritrosit : 5,54 x 106/mm³ AST/SGOT : 58 U/L


Leukosit : 7,09 x 10³/mm³ ALT/SGPT :9U/L
Ht : 45% Albumin : 1,8 gr/dL

Trombosit : 199 x 103/µL Ureum :6


MCV : 81 fL Kreatinin : 0,58
MCH : 26 pg
MCHC : 32 g/dL

Pemeriksaan elektrolit
Kalsium (Ca): 7,8 mg/dL Kalium (K) : 4,0 mEq/L
Natrium (Na): 141 mEq/L Klorida (Cl) : 126 mEq/L
Magnesium (Mg): 2,30

V. DIAGNOSIS BANDING
• Distress nafas ec susp. Pneumonia + diare akut dengan dehidrasi berat +
kejang dengan demam ec susp. meningitis bakterialis
• Distress nafas ec susp. Covid-19 + diare akut dengan dehidrasi berat +
kejang dengan demam ec susp. meningitis bakterialis

VI. DIAGNOSIS KERJA


Distress nafas ec susp. Pneumonia + diare akut dengan dehidrasi berat + kejang
dengan demam ec susp. meningitis bakterialis

VII. RENCANA PEMERIKSAAN


• Pemeriksaan CRP kuantitatif, AGD
• Pemeriksaan kultur darah
• Pemeriksaan rontgen thorax
• Pemeriksaan Swab PCR
• Pemeriksaan lumbal pungsi jika stabil

VIII. PENATALAKSANAAN
• O2 simple mask 10-12 L/menit
• Pada dehidrasi berat:
• KAEN 3A 60cc/kgBB selama 4 jam (3/4) = 195 cc selama 4
jam (50cc/jam)
• KAEN 3A 190cc/kgBB selama 20 jam (3/4) = 612 cc selama 4 jam
(150cc/jam)
• Diazepam 1,2 mg IV
• Ampicilin 215 mg IV tiap 8 jam
• Ceftriaxone 430 mg + D5% 500 cc IV tiap 24 jam
• Dexamethasone 0,7mg IV tiap 8 jam (dibagi 3 dosis)
• Observasi tanda vital dan diuresis/1jam
• Evaluasi syok
• Menilai derajat dehidrasi
• Evaluasi tiap 15-30 menit
• Evaluasi status dehidrasi setiap 3 jam
IX. FOLLOW UP DAN INTERVENSI
Time Condition Intervention Response
13.00 Sens: E1M2V1 Intubasi ETT no. 4 Sens: E1M1VT
HR: 180x/m Kedalaman 11 HR: 170x/m
teraba lemah di teraba lemah di
brachialis brachialis
RR: 10-15x/m RR: on bagging

T: 40,2˚C T: 40,2˚C

SpO2: 85% via SpO2: 92% on


NRM bagging

Kemudian saat di kamar rawat terapi cairan intravena tidak adekuat akibat akses intravena
macet sehingga pasien mulai tampak perburukan, kaki dan tangan semakin dingin dan kulit
sangat pucat, dan nadi tidak teraba.

Pediatric Assesment Triangle (PAT) di Bangsal Borang


1. Evaluasi
Appeareance
• Tonus : Pasien tidak bisa bergerak spontan
• Interactiveness : Pasien tidak sadar
• Consolability : Pasien tidak ada respon
• Look/Gaze : Mata tidak terbuka.
• Speech/Cry : Pasien tidak menangis
Work of Breathing
• Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor
(-), Grunting (-), Wheezing (-).
• Abnormal Positioning: Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-).
• Retractions: Subcostal (-), Intracostal (-), Suprasternal (-),
Epigastrium (-)
• Flaring: (-)

Circulation to Skin
• Pallor : (+)
• Mottling : (+)
• Sianosis : (-)

2. Identifikasi
Syok

Penampilan Upaya napas (-)


on ventilator
II.

Sirkulasi kulit

Identifikasi: Pasien mengalami syok


3. Intervensi
• Bed rest dan posisikan pasien senyaman mungkin
• Ventilator modus PSIMV PEEP 6 PIP 15 RR setting 30x/menit. Time
inspiration 0,65 detik FiO2 100%
• Loading RL 20cc/kgBB (86 cc) intraosseus

Primary Assessment
4. Evaluasi
• Airway : maintanable on ventilator
• Breathing : Frekuensi napas 30x/menit on ventilator, napas on ventilator,
sesak (-), Napas cuping hidung (-), dada simetris dan dinamis, retraksi (-)
subcostal dan intercostal. Bibir dan lidah pucat (-). Bunyi paru vesikuler (+),
ronkhi basah halus nyaring (+/+), wheezing (-/-), stridor (-), grunting (-),
SpO2 80%
• Circulation : HR: 140x/menit, Nadi tidak teraba, Tekanan Darah
65/45 mmHg, perdarahan (-), akral dingin (+), CRT >3”
• Disability : AVPU Scale : Unresponsive

• Exposure : luka, memar, ruam di ekstremitas (-). Suhu: 35,5ºC

5. Identifikasi
Gejala klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan ≤25% 25-40% >40%
darah
Frekuensi Takikardi + Takikardi ++ Takikardi/bradikardi
Jantung
Volume nadi Normal/ Menurun + Menurun ++
Menurun
Pengisian Normal Memanjang+ Memanjang++
Kapiler /memanjang
Kulit Dingin, pucat Dingin, Pucat mati
mottled
RR Takipneu+ Takipneu ++ Sighing respiration
Tingkat Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya
kesadaran pada sakit / tidak
Responsive

6. Intervensi

• Bed rest (tirah baring) senyaman mungkin

• Ventilator modus PSIMV PEEP 6 PIP 15 RR setting 30x/menit. Time


inspiration 0,65 detik FiO2 100%

• Loading RL 20cc/kgBB (86 cc) intraosseus


• Ampicilin 215 mg intraosseus tiap 8 jam
• Ceftriaxone 430 mg + D5% 500 cc intraosseus tiap 24 jam

IX. ANAMNESIS (Bangsal Borang)


Keluhan utama : Kulit pucat dan dingin
Keluhan tambahan : -
Riwayat Perjalanan Penyakit
Di IGD pasien didiagnosis dehidrasi berat et causa diare dengan pneumonia
suspek Covid-1 dan kejang dengan demam ec suspek meningitis bakterialis.
Kemudian diberikan rehidrasi dengan KAEN 3A intravena, terintubasi, serta
pemberian Diazepam, Amipicilin, Ceftriaxon. Setelah itu anak semakin sesak dan
nadi teraba lemah dan dilakukan intubasi. Pasien kemudian dipindahkan ke bangsal
Borang.
Selama perawatan di bangsal Borang, anak sudah terintubasi, Kemudian saat di
kamar rawat terapi cairan intravena tidak adekuat akibat akses intravena macet
sehingga pasien mulai tampak perburukan, kaki dan tangan semakin dingin dan
kulit sangat pucat, dan pasien tampak lemah.

X. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisis Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E1M1VT
Tekanan Darah : 65/45 mmHg
Heart rate : 140 x/menit (pada monitor)
Pernapasan : 30 kali/menit dengan ventilator
o
Suhu : 35,5 C
Berat badan : 4,3 kg
Panjang badan : 55 cm

Keadaan Spesifik
Kepala : fontanella menonjol (-)

Mata : Mata cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,


refleks cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, ø 3 mm/3 mm, air
mata tidak ada
Hidung : sekret tidak ada, napas cuping hidung (-)
Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mulut : bibir pucat (+), bibir kering (+)
Tenggorok : tidak diperiksa
Leher : perbesaran KGB tidak ada,

Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-) Intercostal dan subcostal
Palpasi : Stremfremitus (tidak bisa dilakukan)
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus nyaring (+/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : Thrill tidak teraba


Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : HR = 140x/menit, bunyi jantung I dan II normal, irama reguler,
murmur dan gallop tidak ada.
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus meningkat
Palpasi : Lemas, hepar tidak teraba,lien tidak teraba, cubitan perut
kembali lambat
Perkusi : Timpani, Asites (-)

Lipat paha dan genitalia


Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas
Akral dingin (+), pucat (+), mottling (+), sianosis (-), edema (-), CRT > 3 detik

XI. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


(Tanggal 11 November 2020, pukul 07.00)
GDS : 79 mg/dL
Swab PCR : Reaktif
XII. DIAGNOSIS BANDING
• Syok hipovolemik ec diare akut dengan dehidrasi berat + hipotermia +
Pneumonia Covid-19 + pneumonia Covid-19 + kejang dengan demam ec
suspek meningitis bakterialis + failure to thrive + bronkopulmonary displasia
• Syok hipovolemik ec diare akut dengan dehidrasi berat + hipotermia +
Pneumonia Covid-19 + kejang dengan demam ec susp. imbalans elektrolit+
failure to thrive + bronkopulmonary displasia

XIII. DIAGNOSIS KERJA


Syok hipovolemik ec diare akut dengan dehidrasi berat + hipotermia + Pneumonia
Covid-19+ kejang dengan demam ec susp. meningitis bakterialis

XIV. RENCANA PEMERIKSAAN


• Pemeriksaan CRP kuantitatif, AGD
• Pemeriksaan kultur darah
• Pemeriksaan lumbal pungsi jika stabil
XV. PENATALAKSANAAN
• Akses intraosseus RL 86 cc (20 cc/kgBB) dihabiskan secepatnya
• Evaluasi syok untuk memastikan akses intravena dapat terpasang
• Maintenance KAEN 3A setelah syok teratasi
15
• Ampicilin 215 mg intraosseus tiap 8 jam
• Ceftriaxone 430 mg + D5% 500 cc intraosseus tiap 24 jam

XVI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
X. RESUME
Pasien an. JPA, usia 8 bulan, berjenis kelamin perempuan datang dengan
keluhan BAB cair, komposisi cairan lebih banyak dibanding ampas, berwarna
kuning, lendir (-), darah (-), frekuensi BAB 5-6x/hari, volume BAB sebanyak ½ -1
pampers. Muntah tidak ada. Pasien belum dibawa berobat dan hanya diberikan zinc
1x10 mg. Terdapat muntah 5-6x sebanyak kurang lebih 50 cc setiap muntah. Pasien
biasa minum susu infantrini 60 cc tiap 2,5 jam dan diganti dengan susu LLM.
Pasien mengalami batuk berdahak sejak lahir, disertai sesak, dan di rumah biasa
menggunakan oksigen nasal 1 lpm.
Sejak 1 hari SMRS, pasien masih terlihat sesak, masih terdapat BAB cair 5-
6x/hari, lendir (-), darah (-), muntah 4x terutama setiap habis makan dan minum
O
susu botol, disertai demam 38 C. Kemudian pasien dibawa ke poli NPM dan GEH,
disarankan untuk dirawat, tetapi keluarga menolak. Pasien kemudian disarankan
untuk melanjutkan konsumsi zinc.
Sejak 3 jam SMRS, pasien terlihat semakin sesak, BAB cair 3x tidak ada ampas,
darah (-), muntah (-), demam (+) tidak diukur. Lalu pasien dibawa ke IGD RSMH,
di IGD terdapat kejang 2x berupa kejang tonik klonik umum, jarak antar kejang 10
menit. Pasien tampak mengantuk dan cenderung tidak mau minum disertai nafas
yang tidak teratur. Menangis sangat lemah dan tidak tampak air mata keluar, bibir
kering dan mata cekung. Di IGD pasien didiagnosis dehidrasi berat et causa diare
dengan pneumonia dd/ suspek Covid-19. Kemudian diberikan rehidrasi dengan
KAEN 3A intravena, terintubasi, serta pemberian Diazepam, Amipicilin,
Ceftriaxon. Setelah itu anak semakin sesak dan nadi teraba lemah dan dilakukan
intubasi. Pasien kemudian dipindahkan ke bangsal Borang.
Pasien lahir secara sectio cesaria atas indikasi oligohidramnion dibantu oleh
dokter dari Ibu G3P2A0 35 minggu, tidak langsung menangis sesaat setelah lahir,
berat badan lahir 2670 gram, panjang badan lahir tidak diketahui, lingkar kepala
tidak diketahui. Riwayat ibu demam saat melahirkan (-). Riwayat ketuban pecah
dini (-). Riwayat ketuban berwarna hijau, kental, dan bau (-).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan HR 67 x/menit, nadi teraba kuat, suhu
O
40,2 C, RR 66x/menit, BB 4,3 kg, PB 55 cm. Fontanella cembung (+), mata
cekung (+), nafas cuping hidung (+). Retraksi dinding dada (+), suara vesikuler (+)
dikedua lapangan paru, ronkhi (+/-), wheezing (-). Jantung dalam batas normal.
Abdomen datar dan lemas. Pada ekstremitas didapatkan akral pucat dan dingin,
CRT 2 detik. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb: 14,2 g/dL, RBC
6 3 3 3 2+
5,54x10 /mm , leukosit 7,09x10 /mm , Ht: 19%, Ca : 7,8 Mg/dL, SGOT: 58,
SGPT 9.
Selama perawatan di bangsal Borang, anak sudah terintubasi, Kemudian saat di
kamar rawat terapi cairan intravena tidak adekuat akibat akses intravena macet
sehingga pasien mulai tampak perburukan, kaki dan tangan semakin dingin dan
kulit sangat pucat, dan nadi tidak teraba.

XI. FOLLOW UP DAN INTERVENSI


Time Condition Intervention Response
10.00 AM Sens: E1M1VT • Maintenance KAEN 3A Sens: E1M1VT
(11-11- HR: 120x/m. Nadi tidak 430 cc/24 jam intraosseus HR: 120x/m. Nadi tidak teraba
2020) teraba • Rencana masuk incubator RR: 38x/m on ventilator
RR: 38x/m on ventilator • Dripepinephrine 0,1 T: 35,5˚C
TD: 55/20 mmHg mcg/kgBB/menit
TD: 54/20 mmHg
T: 35,5 ˚C
(Tidak ada respon)

T: 35˚C

11.00 AM Sens: E1M1VT • Masuk inkubator Sens: E1M1VT


HR:67x/menit HR: arrest
Nadi tidak teraba Nadi tidak teraba
RR:38x/m on ventilator T: 35˚C
TD: 55/20 mmHg RR: 38x/menit on ventilator
T: 35,5˚C TD: 54/19 mmHg
(Tidak ada respon)

RJP
11.30 AM Sens: E1M1VT RJP5xsiklusdisertai Sens: E1M1VT
HR: - pemberian epinefrin 1:10.000 HR: -
Nadi tidak ada Nadi tidak ada
RR: 38x/meniton RR: 38x/menit on ventilator
ventilator T: 35˚C

T: 35˚C (Tidak ada respon)

Diagnosis Akhir : Gagal kardiorespiratosi ec syok hipovolemik + diare


akut dengan dehidrasi berat + pneumonia Covid-19 + suspek infeksi intrakranial
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.2 Syok pada Anak


3.2.1 Definisi
Syok adalah kegagalan sirkulasi untuk membawa oksigen dan nutrien ke
jaringan. Syok merupakan suatu sindrom klinis yang kompleks ditandai oleh
disfungsi sirkulasi akut dimana kebutuhan dan pasukan oksigen tidak seimbang
sehingga sistem kardiovaskuler gagal menjalankan fungsi utamanya dalam
membawa substrat dan membuang metabolit dan menyebabkan terjadinya
metabolise anaerob dan asidosis jaringan. Jika perfusi oksigen ke jaringan terus
berkurang maka respon sistem endokrin, pembuluh darah, inflamasi,
metabolisme, seluler dan sistemik akan muncul dan mengakibatkan pasien
menjadi tidak stabil.5
Syok merupakan suatu proses progresif yang ditandai dengan 3 stadium
berbeda. Pada fase dini, stadium kompensasi, sejumlah mekanisme
neurohormonal yang bersifat kompensatorik dan fisiologis bekerja untuk
mempertakankan tekanan darah dan memelihara kecukupan perfusi jaringan.
Apabila tidak ditatalaksana dengan benar syok akan berlanjut ke dekompensasi.
Pada fase kompensasi dan dekompensasi, apabila pasien ditatalaksana dengan
adekuat maka syok dapat mengalami perbaikan. Pada stadium yang lebih lanjut,
yaitu irreversible stage, syok berlanjut ke cidera organ dan jaringan yang berat
dan tidak responsif terhadap terapi konvensional.5
Syok sering menimbulkan sindrom respon inflamasi sistemik dan
sindrom kegagalan multiorgan. Kegagalan kardiovaskular diakibatkan kekurangan
kardiak output (CO), sistemic vascular resistance (SVR), atau keduanya. CO adalah
hasil dari heart rate dan stroke volume. Stroke volume ditentukan tekanan pengisian
ventrikel kiri dan kontraksi miokard. SVR menggambarkan tahanan ke ejeksi ventrikel
kiri (afterload). Di dalam kamus "shock," yang didominasi vasokonstriksi
diklasifikasikan sebagai "cold shock" dan yang didominasi oleh vasodilatasi disebut
"warm shock." Pengenalan dan manajemen dini dari tipe dan kegagalan sirkulasi adalah
sangat krusial untuk mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat sebelum kerusakan
organ menjadi irreversible.5
3.2.2 Patofisiologi
Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya
berupa lemahnya aliran darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun
ada bermacam-macam penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat system
yang terpisah namun saling berkaitan yaitu: jantung, volume darah, resistensi
arteriol (beban akhir), dan kapasitas vena. Jika salah satu faktor ini bermasalah
dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok.
Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan
isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan
vasokontriksi perifer meningkat. Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3
fase yaitu:5,6
- Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga
timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan
gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi
untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan
aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk
menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi
air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di
daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan frekuensi dan
kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan
respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal
menurun, tetapi ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan
filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi
glomeruler juga menurun.5,6
- Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan
tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi
mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat
tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan
bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme, produk metabolisme
menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi
lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, venous return
menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan
tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan
trombosis luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya
aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di
otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia
menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan
bridikinin) yang ikut memperburuk syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi
jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa
usus pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan
penurunan fungsi detoksifikasi hepar memperburuk keadaan. Timbul sepsis,
DIC bertambah nyata, integritas system retikuloendotelial rusak, integritas
mikrosirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan
metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis
metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam
karbonat di jaringan.5,6
- Fase Irreversibel/Refrakter
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat
diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya irreversibilitas syok.
Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang
cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun,
dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea. 5,6

 Patogenesis dan Patofisiologi Syok Hipovolemik


Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan terselubung adalah antara
lain trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus
obstruksi, dan peritonitis. Secara klinis syok hipovolemik ditandai oleh volume
cairan intravaskuler yang berkurang bersama-sama penurunan tekanan vena
sentral, hipotensi arterial, dan peningkatan tahanan vaskular sistemik. Respon
jantung yang umum adalah berupa takikardia, Respon ini dapat minimal pada
orang tua atau karena pengaruh obat-obatan. Gejala yang ditimbulkan
bergantung pada tingkat kegawatan syok.6,7
 Patogenesis dan Patofisiologi Syok Kardiogenik
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi
kontraktilitas miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah
jantung, tekanan darah rendah, insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi
penurunan kontraktilitas dan curah jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan
gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi
jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok
kardiogenik oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih
jaringan otot pada ventrikel kiri. Selain dari kehilangan masif jaringan otot
ventrikel kiri juga ditemukan daerah-daerah nekrosis fokal diseluruh ventrikel.
Nekrosis fokal diduga merupakan kibat dari ketidak seimbangan yang terus-
menerus antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner
yang terserang juga tidak mampu meningkatkan alira darah secara memadai
sebagai respon terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung
oleh aktivitas respon kompensatorik seperti perangsangan simpatik. Sebagai
akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi
sangat terganggu. 6,7
Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan
curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Maka
dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai dengan terjadinya infark yang
berlanjut dengan gangguan fungsi miokardium. Gangguan fungsi miokardium
yang berat akan menyebabkan menurunnya curah jantung dan hipotensi arteria.
Akibatnya terjadinya asidosis metabolik dan menurunnya perfusi koroner, yang
lebih lanjut mengganggu fungsi ventrikel dan menyebabkan terjadinya aritmia.
6,7

 Patogenesis Syok Septik


Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif
yang berada dalam darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi
penyebab septicemia. Syok septik sering diikuti dengan hipovolemia dan
hipotensi. Hal ini dapat disebabkan karena penimbunan cairan disirkulasi mikro,
pembentukan pintasan arteriovenus dan penurunan tahanan vaskuler sistemik,
kebocoran kapiler menyeluruh, depresi fungsi miokardium. Beberapa faktor
predisposisi syok septic adalah trauma, diabetes, leukemia, granulositopenia
berat, penyakit saluran kemih, terapi kortikosteroid jangka panjang,
imunosupresan atau radiasi. Syok septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia
di atas 50 tahun, dan penderita gangguan sistem kekebalan. 6,7

 Patogenesis Syok Neurogenik


Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok
distributif. Syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena
hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh sehingga
terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh darah pada capacitance
vessels. Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini diakibatkan
oleh cidera pada sistem saraf (seperti : trauma kepala, cedera spinal atau anestesi
umum yang dalam). Syok neurogenik juga disebut sinkop.6,7
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus
sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya
disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat.
Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan,
umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepaa
yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala
harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medulla spinalis akan
menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari
syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer. 6,7

 Patogenesis Syok Anafilaksis


Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau Immediate type
reaction. Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
o Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit
dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran napas
atau saluran makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen
tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil. 6,7
o Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya
yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang.
Pada kesempatan lain masuk allergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari
granula yang disebut preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi
merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed
mediators. 6,7
o Fase Efektor, yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil
dengan aktivitas farmakologik pada organ – organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet Activating
Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan leukotrien. 6,7

Stadium-Stadium Syok
Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau
irreversibel sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut:
Stadium 1: anticipation stage (Gambar 1)

Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam


batas normal. Biasanya masih cukup waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi
kondisi dasar. 6

Stadium 2. pre-shock slide (Gambar 2)

Gangguan sudah bersifat sistemik.


Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas atau batas bawah kisaran normal. 6
Sadium 3. compensated shock (Gambar 3)

Compensated shock bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal


rendah, suatu kondisi yang disebut normotensive, cryptic shock. Banyak
klinisi gagal mengenali bagian dini dari stadium syok ini. Compensated
shock memiliki arti khusus pada pasien DBD dan perlu dikenali dari tanda-
tanda berikut: Capillary refill time > 2 detik; penyempitan tekanan nadi,
takikardia, takipnea, akral dingin. 6,7

Stadium 4: decompensated shock, reversible (Gambar 4)

Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairan
intravena dan/atau vasopresor.6,7
Stadium 5. decompensated irreversible shock (Gambar 5)

Kerusakan mikrovaskular dan organ sekarang menjadi menetap dan tak bisa diatasi. 6,7

Gagal sirkulasi mengakibatkan penurunan hantaran O2 (DO2) ke jaringan dan


disusul oleh berkurangnya tekanan oksigen parsial sel (PO2).Bila sampai ke titik
kritis PO2, fosforilasi oksidatif dibatasi oleh kurangnya oksigen, sehingga
menggeser metabolisme dari aerob menjadi anaerob.Hal ini menghasilkan
kenaikan laktat sel dan darah, serta asidosis laktat. 6
DO2 bergantung pada dua variabel: kandungan oksigen darah arteri (CaO2)
dan curah jantung. CaO2 adalah produk dari kandungan Hb, arterial SaO2 dan
kapasitas angkut oksigen dari hemoglobin. Selanjutnya, curah jantung bergantung
pada detak jantung dan curah sekuncup, yang ditentukan oleh kontraktilitas
miokard dan preload serta afterload.6

Pada anak, curah jantung lebih bergantung pada detak jantung dibanding
curah sekuncup karena miokard belum matang. Metabolisme energi yang tidak
adekuat dapat berasal dari peningkatan konsumsi oksigen total tubuh (VO 2),
walaupun DO2 normal. Kebutuhan oksigen bervariasi menurut jenis jaringan dan
waktu. Walaupun kebutuhan oksigen tidak bisa diukur atau dihitung, VO 2 dan
DO2 bisa dihitung, dan dihubungkan sebagai berikut:6
VO2 = DO2 x ERO2 (oxygen extraction ratio)
Pada kondisi normal, kebutuhan oksigen setara dengan DO2 Normal. ERO2
adalah kira - kira 25 % yang berarti 25 % dari oksigen yang dibawa akan diambil
jaringan dan 75 % kembali ke paru . ER0 2 berbanding terbalik dengan SvO2.yang
diperlihatkan dalam persamaan berikut:6

SvO2 = 1 - ERO2

Bila kebutuhan meningkat, DO2 harus menyesuaikan dan meningkat.Pada


syok sirkulasi atau hipoksemia, karena DO2 berkurang, VO2 dipertahankan
dengan peningkatan kompensatorik dari ERO2. Namun, jika DO2 terusturun,
hingga titik kritis menyebabkan ERO2 tidak bisa lagi bertambah untuk
mengkompensasi penurunan DO2;. Pada syok septik, oksigenasi jaringan bisa
tidak adekuat sekalipun ada aliran darah normal yang disebabkan peningkatan
jumlah dari kebutuhan metabolik dan gangguan ekstraksi oksigen. 6
Konsekuensi patofisiologis dari syok kardiogenik dan hipovolemik lebih
berkaitan dengan defisiensi oksigen akut, sedangkan efek-efek patofisiologi dari
syok septık diakibatkan oleh banyaknya produksi mediator radang.Pada syok
septik ada interaksi kompleks antara vasodilatasi patologis, hipovolemia relatif
dan absolut, depresi miokard langsung dan perubahan distribusi aliran darah, yang
terjadi akibat respon radang terhadap infeksi. Respon inflamasi yang berlebihan
selanjutnya berperan terhadap gangguan hemodinamik dan iskemia jaringan yang
tersebar, dengan berakhir sebagai disfungsi organ ganda. 6
3.2.3 Klasifikasi dan Etiologi
Berdasarkan komponen sistem sirkulasi, terdapat 5 jenis syok yaitu:
1. Syok hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang paling sering
dijumpai pada anak, terjadi akibat kehilangan cairan tubuh (preload)
yang berlebihan. Penyebab tersering syok hipovolemik pada anak
adalah muntah, diare, glikosuria, kebocoran plasma (misalnya pada
demam berdarah dengue), sepsis, trauma, luka bakar, perdarahan
saluran cerna dan perdarahan intrakranial. Akibat kehilangan cairan,
terjadi penurunan preload. Sesuai dengan hukum Starling, penurunan
preload menurunkan penurunan isi sekuncup dan selanjutnya
penurunan curah jantung. Baroreseptor akan merangsan saraf simpatis
untuk meningkatkan denyut jantung dan vasokonstriksi untuk
mempertahankan curah jantung dan tekanan darah. Syok hipovolemik
yang lama dapat mengakibatkan gangguan fungsi berbagai organ.
Dalam keadaan normal, ginjal menerima 25% curah jantung. Pada
syok hipovolemik akan terjadi redistribusi aliran darah dari korteks ke
medula. Bila keadaan ini berlangsung lama, akan terjadi tubular
nekrosis akut serta gangguan glomerulus dengan akibat gagal ginjal
akut. Depresi miokardium juga sering terjadi, sementara hipotensi
yang lama dapat pula menyebabkan gangguan hati.1,2,4
Tabel 1. Gambaran Klinis Derajat Hipovolemia pada Anak.10
2. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi akibat kegagalan pompa jantung yang
dapat disebabkan oleh preload, afterload atau kontraktilitas
miokardium. Fisiologis menunjukkan diantaranya adalah penurunan
fungsi sistolik dan curah jantung. Gangguan preload dapat terjadi
akibat pneumotoraks, efusi perikardium, hemoperikardium atau
pneumoperikardium. Gangguan afterload dapat terjadi akibat kelainan
obstruktif kongenital, emboli, peningkatan resistensi vaskular sistemik
(misalnya pada feokromositoma). Gangguan kontraktilitas
miokardium dapat diakibatkan oleh infeksi virus, gangguan metabolik
(seperti asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia), penyakit kolagen, dan
lain-lain. Disritmia, misalnya blok arterioventrikular atau takikardia
atrial paroksismal dapat mengakibatkan syok kardiogenik. Respons
neurohumoral seperti pada syok hipovolemik, dapat juga terjadi pada
syok kardiogenik. Peningkatan resistensi vaskular sistemik akan
meningkatkan afterload yang lebih lanjut dan berakibat penurunan
curah jantung.1,2,4

3. Syok distributif
Syok distributif disebabkan oleh tonus vasomotor yang
inadekuat dan menyebabkan kebocoran kapiler dan maldistribusi
cairan menuju interstitium. Syok distributif dapat terjadi akibat
berbagai sebab, syok neurogenik, anafilaksis dan sepsis. Syok
distributif merupakan suatu keadaan abnormalitas vasodilatasi,
penurunan resistensi vaskular sistemik secara mendadak akan
berakibat penumpukan darah dalam pembuluh darah perifer menjauhi
organ vital dan penurunan tekanan vena sentral. Hal ini mengakibatkan
pengurangan preload dan afterload secara signifikan Pada syok septik,
keadaan ini diperberat dengan adanya peningkatan permeabilitas
kapiler sehingga volume intravaskular berkurang.1,2,4
Syok neurogenik dicurigai bila ditemukan hipotensi, tekanan
nadi lebar, denyut nadi normal atau menurun pada penderita dengan
riwayat blok saraf otonom pada anestesia, riwayat trauma kepala berat
atau trauma/injuri spina servikal. Syok anafilaktik dicurigai pada
penderita dengan riwayat kontak dengan alergen (obat-obatan,
makanan atau sengatan lebah). Ditemukan stridor, wheezing, tekanan
nadi lebar, vasodilatasi, urtikaria, edema pada muka.1,2,4

4. Syok obstruktif
Syok yang berasal dari suatu lesi yang membuat barier
mekanik yang mengakibatkan tidak adekuatnya curah jantung;
contohnya tamponade pericardial, tension pneumothorax, emboli
pulmonal, dan kelainan kongenital jantung.1,2,4

5. Syok septik
Syok septik sering dianggap sinonim dengan syok distributif,
tetapi syok septik biasanya meliputi interaksi kompleks antara syok
distributif, hipovolemi dan kardiogenik. Hipovolemi terjadi akibat
kehilangan cairan intravaskular melalui kebocoran kapiler. Syok
kardiogenik diakibatkan efek depressant miokardium akibat sepsis dan
syok distributi akibat pengurangan resistensi sistemik vaskuler. Derajat
keparahan pasien bervariasi namun umumnya terjadi gangguan pada
preload, afterload dan kontraktilitas miokardium. Pada syok septik
penting dibedakan antara kejadian infeksi dan respon inflamasi host.
Normalnya imunitas host mencegah berkembangnya sepsis melalui
aktifasi sistem retikuloendotelial bersama dengan imunitas seluler dan
humoral. Imunitasi host memproduksi suatu kaskade inflamasi berupa
mediator toksik meliputi hormon, sitokin dan enzim. Apabila kaskade
inflamasi tidak terkontrol, gangguan mikrosirkulasi sistem
mengakibatkan gangguan organ dan disfungsi seluler.

Seorang pasien mungkin bisa memiliki lebih dari satu jenis syok (misalnya
seorang anak dengan miokarditis sebagai akibat dari kontraktilitas jantung terjadi
syok kardiogenik, anak ini bisa juga disertai syok hipovolemik karena sebelumnya
tidak dapat minum, atau pasien dengan dehidrasi akibat gastroenteritis yang
berkembang menjadi septik.1,2,4
Tabel 2. Klasifikasi syok.1,2,4
Tipe syok CO SVR MAP Capillary Capillary
Wedge Venous
Pressure Pressure
Hipovolemi ↓ ↑ ↔ atau ↓ ↓↓↓ ↓↓↓
Cardiogenik
:
Sistolik ↓↓ ↑↑↑ ↔ atau ↓ ↑↑ ↑↑
Diastolik ↔ ↑↑ ↔ ↑↑ ↑
Obstruktif ↓ ↑ ↔ atau ↓ ↑↑ ↑↑
Distributif ↑↑ ↓↓↓ ↔ atau ↓ ↔ atau ↓ ↔ atau ↓
Septik
Awal ↑↑↑ ↓↓↓ ↔ atau ↓ ↓ ↓
Akhir ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↑ ↑ atau ↔

3.2.4 Manifestasi Klinis

Diagnosis syok hipovolemik merupakan diagnosis klinis berdasarkan


adanya kehilangan volume intravaskular akibat diare, muntah, asupan tidak
adekuat, luka bakar, perdarahan, kebocoran plasma, kehilangan melalui urin, dan
pemakaian obat-obatan diuretik osmotik. Tanda awal syok hipovolemik adalah
takipnu, takikardia, nadi lemah, tekanan nadi menyempit, waktu pengisian kapilar
memanjang, pucat, sianosis, oliguria, dan asidosis laktat. Sedangkan tanda lanjut
dari syok hipovolemik dapat berupa penurunan kesadaran, nadi tidak teraba,
sianosis sentral, hipotensi, bradikardia.9

Berbeda dengan gambaran klinis pada dewasa, pada anak hipotensi


merupakan keadaan yang sudah terlambat, sehingga sangat diperlukan kecurigaan
yang cukup besar dari para klinisi serta pemeriksaan fisis yang terarah agar dapat
mendiagnosis syok pada fase awal. Pada syok hipovolemik, hipotensi baru terjadi
setelah kehilangan lebih dari 25 % volume intravaskular. Agitasi hingga obtundasi
dapat terjadi akibat penurunan perfusi serebral. Bila kehilangan darah lebih dari
40% akan terjadi koma, bradikardia, penurunan tekanan darah, asidosis dan
anuria.8,9
Pada syok kardiogenik dengan kegagalan fungsi ventrikel kiri, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik vaskular paru. Akibatnya, terjadi transudasi
hingga mengganggu pertukaran gas alveolar. Pada pemeriksaan fisik biasanya
anak tampak takipnu disertai ronkhi basah halus tidak nyaring di kedua lapangan
paru,

kadang- kadang dapat juga ditemukan wheezing. Kegagalan fungsi ventrikel


kanan biasanya disertai dengan kongesti vena sistemik dengan peningkatan
tekanan vena juguler dan pembesaran hati. Bunyi gallop dapat dijumpai pada
auskultasi jantung. Untuk mempertahankan tekanan darah, pada curah jantung
yang rendah, akan terjadi vasokonstriksi hingga dapat dijumpai akral yang dingin,
sianosis atau mottled. Vasokonstriksi sistemik akan mengakibatkan peningkatan
afterload hingga memperburuk kerja jantung.8
Pada syok distributif, yang sering dijumpai pada syok septik, terjadi
paralisis vasomotor, sehingga terjadi vascular pooling dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Situasi semacam ini dikenal dengan kondisi hipovolemia
efektif. Pemeriksaan fisis menunjukan takikardia dengan akral yang hangat,
penurunan produksi urine, penurunan kesadaran dan hipotensi.8

3.2.5 Diagnosis
3.2.5.1 Anamnesis
Pada syok hipovolemik, khususnya dengan etiologi nonhemoragik, dapat
digali melalui anamnesis mengenai beberapa hal dibawah ini seperti riwayat
kehilangan cairan dari saluran gastrointestinal, seperti ada tidaknya riwayat diare,
muntah serta pemasangan selang nasogastrik. Selain itu perlu pula ditanyakan
apakah pasien sedang mengalami hematemesis, melena atau hematokezia sebagai
tanda perdarahan gastrointestinal. Riwayat kehilangan cairan dari ginjal, apakah
sedang mengonsumsi obat-obatan diuretik, obat-obatan antikoagulan yang dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan spontan, sedang mengidap tumor atau
memiliki riwayat penyakit endokrin seperti hiperaldosteronisme dan diabetes
insipidus. Riwayat kehilangan cairan dari kulit, baik dari trauma seperti luka
bakar, dehidrasi akibat heatstroke, maupun demam sebagai penanda infeksi.6-9
Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis syok sangat bervariasi, tetapi ada beberapa tanda dan gejala umum
yang sering ditemukan. Tanda tersebut adalah takikardia dan tanda-tanda perfusi
organ terganggu (kulit, otak dan ginjal) sebelum terjadi hipotensi. Walaupun tanda
klinis harus dibuat sebagai pegangan, namun bila hanya mengambil salah satu dari
tanda-tanda syok sendiri akan menyebabkan salah diagnosis atau menjadi over
diagnosis terutama pada populasi anak yang heterogen.2,5
1. Takikardia
Takikardia merupakan salah satu indikator fisiologis yang penting.
Meskipun takikardia merupakan indikator awal yang penting dari syok, itu
bukanlah tanda yang spesifik. Banyak kondisi umum pada anak-anak tanpa
gangguan sirkulasi seperti demam, nyeri dan kecemasan dapat menyebabkan
takikardia. Denyut jantung normal dengan tanda-tanda syok kompensasi dapat
terjadi pada cedera tulang belakang. Bradikardia dapat terjadi sebagai akibat dari
hipoksia, pengaruh beberapa obat-obatan (seperti beta blockers dan calcium
channel blockers). Bradikardi dengan tanda gangguan perfusi merupakan salah
satu tanda syok ireversibel.2,5
2. Perubahan Kulit
Kulit biasanya teraba dingin, lembab, tampak pucat atau belang-belang
(motled). Perubahan warna kulit ini akibat dari proses regulasi mengkompensasi
penurunan perfusi jaringan. Mekanisme vasokonstriksi merupakan cara yang
efektif untuk mengalihkan darah dari pembuluh perifer, splanchnic, dan ginjal
untuk mempertahankan perfusi koroner dan serebral. Perlu diwaspadai pada fase
awal syok distributif, fase hiperdinamik syok sepsis. Pada tipe ini terjadi
vasodilatasi perifer kulit tampak tetap merah kadang terlihat lebih hiperemik.2,5
3. Capillary refill time (CRT)
Waktu pengisian kapiler setelah dilakukan penekanan kapiler diujung
ekstremitas. Normal CRT <2 detik. Pada studi observasional terbatas,
menunjukkan bahwa waktu pengisian kembali kapiler mungkin berkorelasi
dengan saturasi oksigen vena sentral. Dalam sebuah penelitian prospektif dari 21
anak yang sakit kritis, sebagian diantaranya memiliki syok septik, CRT ≤ 2 detik
memiliki sensitivitas 84% dan nilai prediksi positif 50% untuk saturasi oksigen
vena sentral ≥ 70%. Flash capillary refill (<1 detik) dapat hadir pada pasien
dengan distributif (hangat) syok.2,5
4. Perubahan – penurunan kesadaran
Anak-anak dengan gangguan perfusi serebral mungkin awalnya lesu atau
gelisah dan tidak berinteraksi dengan pengasuh. Kesadaran akan terus berlanjut
sampai menjadi koma bila syok berlanjut sampai fase ireversibel.2,5
5. Oliguria
Oliguria dengan penurunan laju filtrasi glomerular. Keadan ini akibat dari
pengalihan distribusi shunting aliran darah ginjal ke organ vital lainnya.2,5
6. Asidosis laktat
Hipoperfusi progressive jaringan menyebabkan penumpakan asam laktat.
Tingginya nilai laktat serum mencerminkan metabolisme anaerobik terkait dengan
hipoksia seluler dan diduga menjadi penanda penting dari gangguan perfusi
jaringan pada pasien dengan sepsis.2,5
Elevasi serum atau laktat darah (≥ 4 mmol / L) dapat membantu
mengidentifikasi tingkat keparahan syok. Meskipun bukti terbatas pada anak-
anak, penurunan serum atau laktat darah kadar telah dikaitkan dengan
meningkatkan harapan hidup pada orang dewasa dengan syok.2,5
Tatalaksana syok hipovolemik
Resusitasi awal:1,2,5
1. Airway
Bila perlu ventilatory support

2. Breathing
Berikan oksigen (FiO2 100%)
3. Circulation
Pasang akses vaskuler secepatnya untuk resusitasi cairan dan berikan cairan kristaloid
atau koloid sebanyak 10 – 20 cc/kgBB (selama kurang dari 10 – 20 menit) dan
bisa diulang 2-3 kali sampai nadi teraba kembali (setelah dilakukan pemantauan).
Bila resusitasi cairan telah diberikan (2-3 kali bolus) dimana kurang lebih 40-60%
dari volume darah telah dimasukkan namun belum ada respon adekuat lakukan
intubasi bila diperlukan. Evaluasi kemungkinan penyebab syok dan lakukan
tatalaksana lanjut sesuai penyebabnya. Adapun penyebab syok terbanyak pada
anak adalah hipovolemik

Pemantauan awal:
1. Nilai respon penderita terhadap pemberian fluid challenge (loading) dengan
memantau status kardiovaskuler/tanda vital dan perfusi perifer
2. Pasang kateter urin untuk menilai respon perbaikan sirkulasi dengan memantau
produksi urin
3. Ambil pemeriksaan urin darah cito untuk darah tepi, analisa gas darah, kadar
glukosa dan elektrolit (bila perlu kultur, resistensi dan golongan darah)
Bila dilakukan pemantauan respon positif tetapi syok belum teratasi maka
resusitasi dapat diulang 2-3 kali. Bila tidak ada respon kemungkinan syok lain.1,2,5
Resusitasi lanjutan:
1. Bila resusitasi lanjutan telah diberikan (2-3 fluid challenge) dimana kurang lebih
40-50% dari volume darah telah diberikan namun masih belum ada respon yang
adekuat, maka dilakukan intubasi dan bantuan ventilasi. Evaluasi hasil analisis gas
darah dan koreksi asidosis metabolik bila pH<7,15
2. Bila masih tedapat hipotensi dan nadi tidak teraba sebaiknya dipasang kateter
vena sentral untuk pemberian resusitasi cairan berikutnya berdasarkan nilai CVP
3. Nilai kembali kenaikan CVP setelah pemberian fluid challenge secara berhati-hati
4. Evaluasi apakah efek inotropik negatif yang terjadi pada syok telah dikoreksi,
sebelum pemberian obat inotropik dimulai. Obat vasoaktif diberikan bila diyakini
tidak terdapat lagi hipovolemia dan oksigenasi telah adekuat
5. Bila kadar Hb <5g/dl, koreksi dengan transfusi PRC (10 ml/kgBB)

Medikamentosa.1,2,5
1. Dopamine
Diberikan pada hipotensi atau perfusi perifer buruk dengan volume intravaskuler
cukup dan irama jantung stabil
Dosis Efek
5-10 Meningkatkan kontraktilitas miokard, curah
mcg/kg/ jantung, dan konduksi otot jantung
min IV
10-20 Vasokontriksi perifer dan tekanan darah sentral
mcg/kg/
min IV
>20 Vasokontriksi tanpa efek inotropik
mcg/kg/
min IV
Dosis maksimum yang dianjurkan 15 mcg/kg/min. Bila dosis maksimum
(12,5 – 15 mcg/kg/min) tercapai belum memberikan efek adekuat
tambahkan inotropik lainnya sesuai keadaan hemodinamik. Dopamin
dapat menyebabkan takikardi (meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard), aritmia, supra dan ventrikular takikardia dan hipertensi.
Dopamin dosis tinggi dapat menyebabkan vasokontriksi perifer berat
dan iskemia.

2. Dobutamin
Diberikan pada hipoperfusi.
Paling efektif untuk gagal jantung kongestif berat dan syok kardiogenik
terutama kardiomiopati karena bisa menurunkan resistensi vaskuler
perifer.
Dosis dimulai 5 mcg/kg/min dan dinaikan bertahap sampai 12,5
mcg/kg/min
Dobutamin sedikit dapat menyebabkan takikardia, takiartmia, atau ectopic
beat. Efek samping lain adalah mual, muntah, dan hipotensi.

3. Epinefrin
Diberikan pada perfusi sistemik buruk atau hipotensi non hipovolemik,
yaitu bila saat resusitasi terdapat bradikardia, asistole, atau nadi tidak
teraba.
Dosis rendah <3 mcg/kg/menit  meningkatkan kontraktilitas miokard,
laju denyut jantung, TD sistolik dan tekanan nadi.
Dosis > 3 mcg/kg/menit  peningkatan TD sistolik dan diastolik dan
menyempitkan tekanan nadi
Dosis dimulai pada 0,05 mcg/kg/min IV dan titrasi sampai memberikan
efek. Pada kasus berat dosis 2-3 mcg/kg/min IV
Epinefrin dapat menyebabkan supraventrikular, ventrikular takikardia dan
ventrikular ektopik.

4. Norepinephrine
Merupakan vasopresor yang dipakai untuk hipotensi yang resisten terhadap
pemberian bolus cairan dosis tinggi
Dosis hampir sama dengan epinferine dimulai pada 0,05 mcg/kg/min IV

Pemantauan lanjut:
1. Carilah penyebab syok lainnya yang mungkin terjadi (perdarahan akibat trauma
tumpul abdomen, pneumothorax, syok kardiogenik, tamponade jantung, dll). Foto
thoraks secepatnya bila kondisi klinis stabil, konsultasi bedah bila diperlukan.
2. Setelah diresusitasi cairan dilakukan, berbagai kemungkinan disfungsi organ lain
akibat syok perlu dievaluasi untuk tatalaksana lanjutan.
a. Gagal prerenal (ATN = Acute Tubular Necrosis) periksa kadar ureum,
kreatinin dan fraksi ekskresi natrium
b. ARDS = (Acute Respiratory Distress Syondrome/Shock Lung) edema dan
kerusakan jantung paru dapat terjadi pasca syok, bantuan ventilasi
mekanik dan pemberian PEEP mungkin diperlukan
c. Depresi miokardinal. Untuk memperbaiki kontraktilitas jantung obat
inotropik positif dan pemantauan intensif mungkin diperlukan
(pemasangan Swans Gans Kateter)
d. Gangguan koagulasi/pembekuan. Akibat lanjut syok, dapat timbul DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation), hal tersebut perlu dicermati,
bila timbul kecenderungan perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis
dilakukan pemeriksaan gangguan pembekuan/masa perdarahan (BT/CT,
PT/PTT, FDP, trombosit)
e. SSP dan organ lain
f. Evaluasi gejala sisa. SSP sangat penting, mengingat organ ini sangat
sensitif terhadap hipoksik iskemik yang dapat terjadi pada syok
berkepanjangan (prolonged shock). Demikian pula organ lainnya harus
dipantau seperti hati dan saluran pencernaan.

Syok Hipovolemik
1. Evaluasi dan koreksi asidosis metabolik yang terjadi1,2,5
2. Bila masih hipotensi dan nadi tidak teraba sebaiknya dipasang kateter vena sentral
(CVP = Central Venous Pressure) sebagai penuntun pemberian resusitasi cairan
berikutnya. Adapun pilihan utama cairannya adalah kristaloid isotonik
3. Nilai kembali kenaikan CVP setelah pemberian bolus secara berhati-hat
4. Evaluasi apakah efek inotropik negatif yang terjadi pada syok telah dikoreksi
sebelum pemberian inotropik dimulai. Obat vasoaktif diberika bila yakin sudah
normovolemik dan oksigenasi adekuat
5. Koreksi anemi dengan transfusi darah, usahakan Hb > 10g/dL

Pemeriksaan anak pada kegawadaruratan (PAT dan ABCDE)


Segitiga Penilaian Pediatrik
Anak bukan miniatur orang dewasa, penilaian akurat harus disesuaikan fase
perkembangannya. Misalnya perkembangan anatomi dan fisiologi. Perkembangan sistem
saraf misalnya tonus otot, koordinasi gerakan dan perkembangan interaksi sosial. Tanda-
tanda vital seperti laju jantung dan laju nafas,3,4,5
Teknik pemeriksaan dan penilaian perlu perhatian khusus. Anak sulit diperiksa
karena cenderung takut pada orang dan alat-alat yang tidak dikenalnya. Diperlukan teknik
khusus untuk menilai kegawatan tanpa menyentuh pasien terutama pada bayi dan balita
melakukan pemeriksaan hands-on. Anak yang lebih besar dan remaja bisa langsung
dilakukan pemeriksaan walaupun demikian interaksi komunikasi tetap harus disesuaikan
dengan usianya.3,4,5
PAT adalah penilaian kegawatan secara cepat, tanpa menyentuh pasien. Disebut
juga doorway assessment atau First impression. Terdapat 3 komponen yang dinilai pada
PAT.3,4,5
A. Appearance: Penampilan Anak
Menggambarkan status ventilasi dan oksigenasi ke susunan saraf pusat.
Beberapa keadaan lain yang dapat mempengaruhi penampilan
diantaranya adalah hipoglikemia, infeksi intrakranial perdarahan otak,
edema otak dan keracunan
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Skala TICLS
merupakan skala yang lebih baik

Karakteristi Hal yang dinilai


k
Tone Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan.
Apakah tonus ototnya baik/lumpuh
Interactivness Bagaimana kesadarannya, apakah suara
mepengaruhinya, apakah ia mau bermain, atau anak
tidak bersemangat berinteraksi dengan orang
tua/pengasuh atau pemeriksa
Consolability Apakah anak dapat ditenangkan atau anak menangis
terus, atau terlihat agitasi sekalipun dilakukan
pendekatan dengan lembut oleh orang yang
dikenalinya
Look/Gaze Apakah ia memfokuskan penglihatan pada muka,
mengikuti arah gerakan pemeriksa atau pandangan
kosong
Speech/Cry Apakah anak berbicara dengan vokalisasi jelas atau
menangis kuat, atau lemah, atau parau
Perubahan signifikan dalam penampilan (seperti tonus otot lemah, lesu,
tatapan tidak fokus, atau menangis lemah) mungkin indikator perfusi
serebral menurun. Perbedaan halus kadang tidak begitu jelas dalam
penampilan (seperti penurunan daya ingat terhadap pengasuh atau
tidak berespons terhadap prosedur yang menyakitkan) mungkin juga
indikator penting syok

B. Breathing : Upaya napas


Upaya napas merefleksikan usaha anak mengatasi gangguan oksigenasi
dan ventilasi
Terdapat 2 goals yaitu mengkonfirmasi anak apakah bernafas dan apakah
ada peningkatan usaha nafas.3,4,5
 Takipnea atau bradipnea
 Gerakan yang terlihat: observasi pergerakan dinding dada dan abdomen.
Pada bayi dan anak kecil: pergerakan dinding abdomen lebih dominan
karena otot intercosta relatif lebih lemah, iga lebih horizontal, compliance
rendah sehingga susah mengembang dinding dada; atas hal tersebut
pernafasan sangat tergantung dengan kontraksi diafragma
 Mendengarkan apakah terdengar suara tambahan
Elemen Keterangan
Abnormal Suara parau, mengorok, stridor,
airway wheezing, grunting (merintih)
sounds
Abnormal Head bobbing, tripoding, sniffing
positioning
Retractions Retraksi oto dinding dada, supraclavicula,
intercostal, substernal
Flaring Napas cuping hidung
Pada awal pernafasan mungkin normal atau takipnea sebagai kompensasi
penurunan perfusi. Bisa berkembang menjadi cepat dan dalam sebagai respon
terhadap asidosis metabolik. Pada anak dengan kesadaran semakin menurun
akibat syok mungkin tidak dapat mempertahankan jalan napas paten. Anak-anak
dengan syok kardiogenik biasanya selain takipnu juga terdapat peningkatan usaha
nafas

C. Circulation
Sirkulasi kulit merupakan cerminan kecukupan curah jantung dan perfusi
ke organ vital. Penilaian dengna cara melihat warna kulit, bibir, lidah
telapak tangan dan telapak kaki.3,4,5
Elemen Keterangan
Kulit atau mukosa tampak pucat akibat dari kurangnya
aliran darah kedaerah tersebut
Mottling Kulit berbercak kebiruan bercampur pucat akibat dari
vasokonstriksi pembuluh darah
Cyanosis Kulit dan mukosa berwarna biru
Perfusi yang buruk paling cepat diidentifikasi, sebelum pengukuran tekanan darah.
Kulit tampak motled atau pucat dan kulit teraba dingin, tetapi temuan ini juga dapat
dipengaruhi oleh suhu lingkungan.

Gambar 1. Segitiga Penilaian Pediatrik.5


Initial Assessment

INITIAL ASSESSMENT
Proses ini meliputi persiapan, triase, primary survey, resusitasi, tambahan
terhadap primary survey dan resusitasi, secondary survey, pemeriksaan fisik dan
anamnesis, tambahan terhadap secondary survey, pemantauan dan re-evaluasi
berkesinambungan, dan penanganan definitif. Urutan kejadian diterapkan seolah-olah
berurutan (sekuensial, namun dalam praktek sehari-hari dapat dilakukan secara
bersamaan (simultan).11
Prinsip tatalaksana Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure
(ABCDE) dengan pendekatan sistematis berguna dalam penilaian dan tatalaksana
langsung pasien kritis atau cedera. Pendekatan ini berlaku di semua kondisi klinis darurat.
Tindakan ini dapat diterapkan di tempat umum tanpa peralatan khusus (Gambar 1) atau
dalam bentuk yang lebih canggih, terutama saat berada di layanan medis darurat, bangsal
umum rumah sakit, atau di unit perawatan intensif.11

Gambar 2. Pendekatan ABCDE tanpa penggunaan alat.11


A – Airway (patensi jalan napas)
Jika pasien merespons dengan suara normal, maka jalan napasnya paten.
Obstruksi jalan napas bisa terjadi sebagian atau total. Tanda-tanda obstruksi parsial jalan
napas termasuk perubahan suara, suara bising pernapasan (stridor), dan usaha pernapasan
yang meningkat. Dengan obstruksi total jalan napas, maka tidak akan ada respirasi
meskipun dengan usaha maksimal (respirasi paradoks, atau see-saw sign). Penurunan
kesadaran adalah penyebab umum obstruksi parsial atau total jalan napas. Tanda umum
obstruksi parsial jalan napas dalam keadaan tidak sadar adalah mendengkur.11
Gambar 3. Head-tilt dan chin-lift untuk membuka jalan napas

Obstruksi jalan napas yang tidak diobati dapat dengan cepat menyebabkan henti
jantung. Penilaian jalan napas seperti dijelaskan dan menggunakan manuver head-tilt dan
chin-lift guna membuka jalan napas (Gambar 3). Dengan peralatan yang tepat,
direkomendasikan suction penyebab obsturksi jalan napas (misalnya darah atau muntah).
Jika mungkin, benda asing yang menyebabkan obstruksi jalan napas harus dihilangkan.
Dalam obstruksi total jalan napas, pengobatan harus diberikan sesuai dengan guideline.
Jika ada obstruksi maka lakukan:12
 Chin lift / jaw thrust
 Suction / hisap (jika alat tersedia)
 Guedel airway / nasopharyngeal airway
 Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Saat menilai dan tatalaksana jalan napas pasien, berhati-hati untuk mencegah
pergerakan tulang belakang leher yang berlebihan. Berdasarkan mekanisme trauma,
asumsikan bahwa ada cedera tulang belakang. Pemeriksaan neurologis saja tidak
mengecualikan diagnosis cedera tulang belakang leher. Tulang belakang harus dilindungi
dari mobilitas yang berlebihan untuk mencegah perkembangan defisit. Kecurigaan
trauma tulang belakang leher harus dilindungi dengan collar neck.12
Gambar 4. Teknik restriksi gerak tulang belakang leher.12

Penanganan pasien sadar dengan obstruksi jalan napas dapat diberikan hentakan lima
kali kembali bergantian dengan lima kali dorongan pada perut hingga obstruksi
berkurang. Tindakan penyelamatan pada orang dewasa juga disesuaikan dengan usia
pasien. Jika korban menjadi tidak sadar, panggil bantuan dan mulai resusitasi
kardiopulmoner sesuai dengan pedoman. Fokus terpenting yaitu pemberian oksigen aliran
tinggi harus diberikan pada kondisi kritis dengan sesegera mungkin.11

Gambar 6. Tatalaksana obstruksi napas pada pasien sadar.13

B - Breathing: apakah bernafas cukup?


Dalam menguapayakan breathing, penting untuk menentukan laju pernapasan,
gerakan dinding toraks (simetris atau tidak dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan)
dan perkusi dada untuk menentukan pekak atau tidak. Sianosis, distensi vena leher, dan
lateralisasi trakea dapat diidentifikasi. Jika stetoskop tersedia, auskultasi paru harus
dilakukan dan, jika mungkin, pulse oxymeter harus diterapkan. Tension pneumothorax
harus segera diatasi dengan memasukkan kanula ruang interkostal kedua melewati garis
midclavicular (thoracocentesis jarum). Bronkospasme harus diterapi dengan inhalasi. Jika
pernapasan tidak adekuat, bantuan ventilasi harus dilakukan dengan memberikan bantuan
pernapasan dengan atau tanpa alat. Penolong yang terlatih harus menggunakan bag mask
jika tersedia.11
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan:12
• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
• Pernafasan buatan

C - Circulation: apakah sirkulasi cukup?


Waktu pengisian kapiler dan denyut nadi dapat dinilai. Inspeksi pada kulit dapat
memberi petunjuk jika terdapat gangguan sirkulasi. Perubahan warna kulit, berkeringat,
dan penurunan tingkat kesadaran adalah tanda-tanda penurunan perfusi. Jika stetoskop
tersedia, auskultasi jantung harus dilakukan. Pemantauan elektrokardiografi dan
pengukuran tekanan darah juga harus dilakukan sesegera mungkin. Hipotensi adalah
tanda klinis buruk yang penting. Efek hipovolemia dapat dikurangi dengan menempatkan
pasien pada posisi terlentang dan mengangkat kaki pasien. Akses intravena harus
diperoleh sesegera mungkin dan pemberian infus normal saline.11
Menilai sirkulasi atau peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan napas
paten dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan:12
- Hentikan perdarahan eksternal
- Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14-16 G)
- Berikan infus cairan
Identifikasi sumber perdarahan berasal dari eksternal atau internal. Perdarahan
eksternal diidentifikasi dan dikendalikan selama survei primer. Kehilangan darah yang
cepat dan eksternal dikelola dengan tekanan manual langsung pada luka. Tourniquets
efektif dalam massive exsanguination ekstremitas tetapi berisiko cedera iskemik pada
ekstremitas itu. Clamping blind dapat menyebabkan kerusakan pada saraf dan vena. Area
utama pendarahan internal adalah dada, perut, retroperitoneum, panggul, dan tulang
panjang. Sumber perdarahan biasanya diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dan
pencitraan (mis., Rontgen dada, rontgen panggul, penilaian terfokus dengan sonografi
untuk trauma [FAST], atau diagnostic peritoneal lavage [DPL]). Manajemen segera
dapat mencakup dekompresi dada, dan bidai ekstremitas. Lakukan konsultasi bedah atau
prosedur transfer awal pada pasien ini.12
Kontrol perdarahan definitif sangat penting, bersama dengan penggantian volume
intravaskular yang tepat. Akses vaskular harus ditetapkan; biasanya dua kateter vena
perifer besar ditempatkan untuk memberikan cairan, darah, dan plasma. Pemeriksaan
hematologi dasar, termasuk tes kehamilan untuk semua wanita usia subur dan golongan
darah dan pencocokan silang, analisis gas darah dan/atau laktat. Ketika akses perifer tidak
bisa diakses, infus intraoseus, akses vena sentral, dapat digunakan tergantung tingkat
keterampilan dokter.12
Syok terkait dengan cedera paling sering berasal hipovolemik, mulai terapi cairan
IV dengan kristaloid. Semua cairan IV harus dipanaskan baik dengan penyimpanan di
lingkungan yang hangat (misal 37°C hingga 40°C, atau 98,6°F hingga 104°F) atau
diberikan melalui perangkat penghangat cairan. Bolus 1 L larutan isotonik diperlukan
untuk mencapai respons yang sesuai pada pasien dewasa. Jika seorang pasien tidak
responsif terhadap terapi kristaloid awal, ia harus menerima transfusi darah. Cairan
diberikan secara bijaksana, karena resusitasi agresif sebelum kontrol perdarahan telah
terbukti meningkatkan mortalitas dan morbiditas.12

D - Diasbility: apa tingkat kesadarannya?


Tingkat kesadaran dapat dinilai dengan cepat menggunakan metode AVPU, di
mana pasien dinilai sebagai waspada atau alert (A), responsif suara atau verbal (V),
respons nyeri atau pain (P), atau unresponsive (U). Penilaian lain dapat dengan
menggunakan Skor Koma Glasgow Coma Scale. Gerakan tungkai harus diperiksa untuk
mengevaluasi tanda-tanda lateralisasi. Tatalaksana terlebih dahulu pada stabilisasi jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Khususnya, ketika pasien hanya nyeri responsif atau
tidak responsif, patensi jalan napas harus dipastikan, dengan menempatkan pasien pada
recovery position dan pertimbangan intubasi. Refleks cahaya pupil dan glukosa darah
harus dievaluasi. Tingkat kesadaran yang menurun karena glukosa darah rendah dapat
dikoreksi dengan cepat dengan pemberian glukosa oral atau glukosa infus.11
Pasien dengan bukti cedera otak harus dirawat di fasilitas khusus yang memiliki
tenaga ahli dan sumber daya untuk mengantisipasi dan mengelola pasien ini. Ketika
sumber daya untuk merawat pasien-pasien ini tidak tersedia, petimbangkan untuk dirujuk
dan dikonsultasikan dengan ahli bedah saraf setelah cedera otak dikenali.12

E - Environment: kondisi pasien?


Tanda-tanda trauma, perdarahan, reaksi kulit (ruam), bekas jarum, dll, harus
diperhatikan. Pakaian harus dilepas untuk memungkinkan melakukan pemeriksaan fisik
menyeluruh. Pemeriksaan suhu tubuh dapat diperkirakan dengan palpasi kulit atau
menggunakan termometer yang tersedia.11
Hipotermia termasuk salah satu kondisi yang mengancam dan berkembang dengan cepat
di UGD. Tentukan tindakan agresif untuk mencegah hilangnya panas tubuh dan
mengembalikan suhu tubuh ke normal, disarankan menggunakan penghangat cairan
untuk memanaskan cairan kristaloid hingga 39°C (102,2°F).12
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dilaporkan, kasus an.MFM/Laki-laki/8 bulan dengan diagnosis awal distress


nafas ec susp. Pneumonia + diare akut dengan dehidrasi berat + kejang dengan
demam susp. Meningitis bakterialis. Pada saat di IGD, dilakukan Pedriatric
Assessment Triangle (PAT) pada pasien dimana didapatkan:
1. Appeareance
 Tonus : Pasien bisa bergerak spontan
 Interactiveness : Pasien masih sadar dengan lingkungan sekitar
 Consolability : Pasien bisa ditenangkan
 Look/Gaze : Mata terbuka dan kontak mata baik
 Speech/Cry : Pasien menangis lemah

2. Work of Breathing
 Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-).
 Abnormal Positioning : Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-).
 Retractions : SC (+), IC (+), SS (-), E (-).
 Flaring : (+)
3. Circulation to Skin
 Pallor : (-)
 Mottling : (-)
 Sianosis : (-)

Dari pemeriksaan PAT yang dilakukan, didapatkan gangguan pada


penampilan dimana anak tidak sadar, tidak bergerak spontan dan terjadi gangguan
pada sirkulasi yang ditunjukkan dengan anak tampak pucat dan mottling. Untuk
peernafasan anak telah menggunakan terintubasi dan memakai ventilator. Setelah
pemeriksaan PAT secara umum, dilakukan intervensi dengan pasien harus Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan survey primer seperti berikut:
1. Penilaian Airway : Bebas, tidak ada obstruksi jalan napas,
bunyi napas abnormal seperti stridor (-)
2. Penilaian Breathing : Frekuensi napas 66x/menit, napas spontan
(+), sesak (-), Napas cuping hidung (+), dada simetris dan dinamis,
retraksi (+) intercostal dan subcostal. Bunyi paru vesikuler (+), ronkhi
basah halus nyaring (+/+), wheezing (-/-), stridor (-), grunting (-)
3. Penilaian Circulation : HR=170x/menit, Tekanan Darah 100/70
mmHg, perdarahan (-), akral dingin (-), CRT <2”

4. Penilaian Disability : AVPU Scale : Alert

PCS (Pediatric Coma Scale) 14 (E4M6V4)


5. Penilaian Exposure : Luka, memar dan ruam di ekstremitas (-). Temp: 40,2ºC
Dari survey primer, didapatkan situasi dimana pasien mengalami distress nafas.

- Identifikasi keluhannya di respiratory


Respiratory Distress Respiratory Failure
Open without Airway Obstruksi parsial
support
Takipneu Respiratory Rate Bradipneu
Usaha meningkat Usaha nafas Tidak ada usaha
Suara normal Suara paru Suara abnormal
Takikardi Heart Rate Bradikardia
Agitasi Respon Gagal respon
Pucat Apperance Siaonis

Tergolong: respiratory distress


- Untuk tipe dan severity -> gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas
Gagal dalam ventilasi alveoli Pneumonia, edema
pulmonal
Gagal difusi Pneumonia, edema
pulmonal

Berdasarkan gejala klinisnya, anak ini telah mengalami gangguan respirologi


dengan tingkat keparahan distress nafas ec sus. pneumonia yang
membutuhkan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadi perburukan lebih
lanjut.
Tatalaksana distress nafas awal:
 Tirah baring
 Oksigen 10-12 LPM via NRM
Setelah dilakukan tatalaksana awal, maka dilakukan secondary survey di mana
didapatkan: dari anamnesis, diketahui bahwa pasien dating dengan sesak nafas disertai
BAB cair. Sejak 2 hari SMRS, pasien mengalami BAB cair, komposisi cairan lebih banyak
dibanding ampas, berwarna kuning, lendir (-), darah (-), frekuensi BAB 5-6x/hari, volume
BAB sebanyak ½ -1 pampers. Muntah tidak ada. Pasien mengalami batuk berdahak sejak
lahir, disertai sesak, dan di rumah biasa menggunakan oksigen nasal 1 lpm. Pasien belum
dibawa berobat dan hanya diberikan zinc 1x10 mg. Terdapat muntah 5-6x sebanyak kurang
lebih 50 cc setiap muntah. Pasien biasa minum susu infantrini 60 cc tiap 2,5 jam dan
diganti dengan LLM.
Sejak 1 hari SMRS, pasien masih terlihat sesak, masih terdapat BAB cair 5-6x/hari,
lendir (-), darah (-), muntah 4x terutama setiap habis makan dan minum susu botol, disertai
demam 38OC. Kemudian pasien dibawa ke poli NPM dan GEH, disarankan untuk dirawat,
tetapi keluarga menolak. Pasien kemudian disarankan untuk melanjutkan konsumsi zinc.
Sejak 3 jam SMRS, pasien terlihat semakin sesak, BAB cair 3x tidak ada ampas, darah
(-), muntah (-), demam (+) tidak diukur. Lalu pasien dibawa ke IGD RSMH, di IGD
terdapat kejang 2x berupa kejang tonik klonik umum, jarak antar kejang 10 menit. Pasien
tampak mengantuk dan cenderung tidak mau minum disertai nafas yang tidak teratur.
Menangis sangat lemah dan tidak tampak air mata keluar, bibir kering dan mata cekung,
kaki dan tangan teraba dingin.
Pasien lahir secara section cesarean a.i oligohidramnion + gawat janin dibantu oleh
dokter dengan kehamilan kurang bulan, tidak langsung menangis sesaat setelah lahir, berat
badan lahir 2670 gram, panjang badan lahir tidak diketahui, lingkar kepala tidak diketahui.
Pasien sempat dirawat di NICU dengan diagnosis Hyalin Membran Disease Grade IV.
Riwayat ibu demam saat melahirkan (-). Riwayat ketuban pecah dini (-). Riwayat ketuban
berwarna hijau, kental, dan bau (-). Riwayat ANC dengan dokter (+). Riwayat
pertumbuhan dan perkembangan normal. Riwayat imunisasi untuk umur 6 bulan
lengkap. Status gizi baik dengan perawakan pendek. Dari pemeriksaan fisik

didapatkan TD 100/70, nadi 170x/menit, suhu 40,2˚C, RR 65x/menit, BB 4,3 kg,

PB 55 cm. Mata cekung (+), air mata tidak ada, nafas cuping hidung (+), bibir pucat
(+), retraksi dinding dada (+) intercostal dan subcostal. Suara vesikuler (+) dikedua
lapangan paru, ronkhi basah halus nyaring (+/+). Jantung dalam batas normal.
Abdomen cembung dan bising usus meningkat. Pada ekstremitas didapatkan akral
hangat, CRT <2’’. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb: 14,2 g/dL, RBC
5,54x103/mm3, leukosit 7,09x103/mm3, Ht: 45%, Ca2+: 7,8 Mg/dL, Na: 141
mEq/L, K: 4,0 mEq/L Cl: 126 mEq/L, SGOT: 58, SGPT: 9
Berdasarkan gejala-gejala yang timbul pada anak tersebut, mengindikasikan
bahwa anak tersebut mengalami Diare akut dengan dehidrasi berat berdasarkan
klasifikasi diare berdasarkan derajat dehidrasi, yaitu:
Gejala/ derajat Diare tanpa Diare dehidrasi Diare dehidrasi berat
dehidrasi dehidrasi ringan/sedang
Bila terdapat dua Bila terdapat dua Bila terdapat dua tanda
tanda atau lebih tanda atau lebih atau lebih
Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, lunglai/tidak
sadar
Mata Tidak cekung Cekung Cekung
Keinginan untuk Normal, tidak ada Ingin minum terus, Malas minum
Minum rasa haus ada rasa haus
Turgor Segera kembali Kembali lambat Kembali sangat
lambat

Tatalaksana yang diberikan:


 O2 simple mask 10-12 L/menit
 Pada dehidrasi berat:
• KAEN 3A 60cc/kgBB selama 4 jam (3/4) = 195 cc selama 4 jam
(50cc/jam)
• KAEN 3A 190cc/kgBB selama 20 jam (3/4) = 612 cc selama 4 jam
(150cc/jam)
 Diazepam 1,2 mg IV
 Ampicilin 215 mg IV tiap 8 jam
 Ceftriaxone 430 mg + D5% 500 cc IV tiap 24 jam
 Dexamethasone 0,7mg IV tiap 8 jam (dibagi 3 dosis)
 Observasi tanda vital dan diuresis/1jam
 Evaluasi syok dan menilai derajat dehidrasi
 Evaluasi tiap 15-30 menit
Kemudian di IGD pasien sempat mengalami gagal nafas dan dilakukan intubasi.Saat stabil
pasien dipindahkan ke kamar rawat. Di kamar rawat terapi cairan intravena tidak adekuat
akibat akses intravena macet sehingga pasien mulai tampak perburukan, kaki dan tangan
semakin dingin dan kulit sangat pucat, dan nadi tidak teraba.
Dilakukan kembali pemeriksaan PAT,
1. Appeareance
 Tonus : Pasien tidak bisa bergerak spontan
 Interactiveness : Pasien tidak sadar
 Consolability : Pasien tidak ada respon
 Look/Gaze : Mata tidak terbuka
 Speech/Cry : Pasien tidak menangis

2. Work of Breathing
 Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-).
 Abnormal Positioning : Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-).
 Retractions : SC (-), IC (-), SS (-), E (-).
 Flaring : (-)
3. Circulation to Skin
 Pallor : (+)
 Mottling : (+)
 Sianosis : (-)

Dari pemeriksaan PAT yang dilakukan, didapatkan gangguan pada


tampilan umum dimana sesak napas ditandai usaha nafas yang meningkat
dengan adanya nafas cuping hidung dan retraksi intercoistal dan subcostal.
Setelah pemeriksaan PAT secara umum, dilakukan intervensi dengan pasien
harus Ventilator modus PSIMV PEEP 6 PIP 15 RR setting 30x/menit. Time
inspiration 0,65 detik FiO2 100% dan loading RL 20cc/kgBB (86 cc)
intraosseus. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan survey primer seperti berikut:
1. Penilaian Airway : Bebas, tidak ada obstruksi jalan napas,
bunyi napas abnormal seperti stridor (-)
2. Penilaian Breathing : Frekuensi napas 35x/menit, napas spontan (-),
sesak (-), Napas cuping hidung (-), dada simetris dan dinamis, retraksi
(-). Bunyi paru vesikuler (+), ronkhi basah halus nyaring (+/+),
wheezing (-/-), stridor (-), grunting (-)
3. Penilaian Circulation : HR=140x/menit, Tekanan Darah 65/45 mmHg,
perdarahan (-), akral dingin (+), CRT >3”

4. Penilaian Disability : AVPU Scale : Unresponsive

PCS (Pediatric Coma Scale) 2T (E1M1VT)


5. Penilaian Exposure : Luka, memar dan ruam di ekstremitas (-). Temp: 35,5ºC
Dari survey primer, didapatkan situasi dimana pasien mengalami syok. Secara
klinis syok dibagi dalam 3 fase, yaitu:
Gejala klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan ≤25% 25-40% >40%
darah
Frekuensi Takikardi + Takikardi ++ Takikardi/bradikardi
Jantung
Volume nadi Normal/ Menurun + Menurun ++
Menurun
Pengisian Normal Memanjang+ Memanjang++
Kapiler /memanjang
Kulit Dingin, pucat Dingin, Pucat mati
mottled
RR Takipneu+ Takipneu ++ Sighing respiration
Tingkat Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya
kesadaran pada sakit / tidak
Responsive

Berdasarkan gejala klinisnya, pasien telah mengalami syok irreversible yang


membutuhkan penatalaksanaan segera.
Tatalaksana syok awal:
 Akses intraosseus RL 86 cc (20 cc/kgBB) dihabiskan secepatnya
 Evaluasi syok untuk memastikan akses intravena dapat terpasang
 Maintenance KAEN 3A setelah syok teratasi
 Ampicilin 215 mg intraosseus tiap 8 jam
 Ceftriaxone 430 mg + D5% 500 cc intraosseus tiap 24 jam
Tanda dan gejala syok
 Kesadaran menurun
 Capillary refill time > 2detik
 Akral dingin
 Frekuensi nadi meningkat, isi dan tegangan lemah
 Tekanan nadi ≤ 20 mmHg
 Frekuensi nafas meningkat
 Jumlah kencing berkurang
 Tensi turun
Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, pasien ini masuk
dengan syok hipovolemik akibat diare akut dengan dehidrasi berat.. Adapun
komplikasi yang bisa terjadi pada pasien ini adalah kejang, kerusakan multiorgan
hingga kematian.
Prognosa pada pasien syok hipovolemik tergantung dari beberapa faktor,
berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada pasien ini, prognosisnya dubia ad
malam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton A, Hall J. Textbook of medical physiology. Edisi ke-12.


Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010.
2. Finfer, S. R., Vincent, Jean-Louis & De Backer, Daniel. (2013). Critical
care medicine : circulatory shock. The New England Journal of Medicine.
Ed. 369 vol. 18. 1726 - 1734.
3. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of
Emergency Surgery. 2006. 1-14
4. American College of Surgeons Committe On Trauma. Advanced Trauma
Life Support Untuk Dokter. 1997. 89-115
5. Carcillo,J A. 2009. Syok pada Anak. Edisi ke 1. Farmedia. Jakarta
6. Zingarelli B. Shock and reperfusion. Dalam: Nichols DG, penyunting.
Roger’s textbook of Pediatric Intensive Care, edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams &Wilkins, 2008; 252-65.
7. Schwarts A, Hilfiker ML. Shock. Update October 2004.
http://www/emedicine.com/ped/topic3047
8. WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta, Indonesia
9. Partini PT, dkk. 2012. Kegawatan pada Bayi dan Anak. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta, Indonesia.
10. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, Indonesia
11. Japardi, Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologik Shock Sepsis.
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi20.pdf
12. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
13. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock.
Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and
Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 -
499.
14. Strehlow M. Pediatric shock. Dalam: Amieva-wang NE, Shandro J, Sohoni
A, Fassl B, editor. A practical guide to pediatric emergency medicine. Edisi
ke-1. United Kingdom: Cambridge University Press; 2011. h.16-24.
15. Behrman RE., et.al. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.Saunders,
Philadelphia.2004
16. Pardede, SO, dkk. 2013. Tata Laksana Berbagai Keadaan dan Gawat
Darurat pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Jakarta, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai