Anda di halaman 1dari 25

REFLEKSI KASUS

Nama : Ni Putu Dea Pawitri Handayani


Stambuk : N 111 14 010
Pembimbing Klinik : dr. Joko Maharto., Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2015
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.H
Jenis kelamin : Laki-laki
Status pernikahan : Menikah
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Labu Lorong 3
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 1 September 2015
DESKRIPSI KASUS
Pasien laki-laki usia 32 tahun datang ke poli jiwa RSU
Anutapura dengan keluhan cemas. Pasien merasa cemas
saat berada di tempat yang ramai, saat berada sendirian di
suatu tempat, saat bepergian yang jauh dan bahkan saat
berada di rumah sehingga cenderung ingin ditemani.
Pasien merasa khawatir jika seandainya pasien tiba-tiba
pingsan. Saat cemas, pasien merasa kepala terasa tegang,
pusing, sesak napas, jantung berdebar-debar, kadang
disertai dengan rasa mual, dan keringat dingin. Susah tidur
disangkal. Keluhan ini telah dialami pasien hampir setiap
hari selama sekitar 3 tahun. Namun dalam 1 tahun
belakangan ini, keluhan semakin sering dirasakan.
DESKRIPSI KASUS
Pasien sempat berobat ke poliklinik penyakit
dalam mengenai keluhan jantung berdebar dan
sesak napasnya, namun setelah dilakukan
pemeriksaan fisik dan rekam jantung, tidak
didapatkan adanya kelainan. Pada akhirnya,
pasien dirujuk ke poliklinik psikiatri.
DESKRIPSI KASUS
Riwayat perjalanan penyakit pasien yaitu pasien
pernah dirawat di RS Anutapura pada tahun 2011
karena terkena DBD. Pasien pernah dirawat di RS
Anutapura pada tahun 2012 dan 2013 karena
jantung terasa berdebar-debar. Sejak tahun 2012
itulah pasien menjadi cemas memikirkan jantung
berdebar-debarnya dan khawatir jika ia mengalami
sakit jantung.
DESKRIPSI KASUS
Pasien terkadang merasa sedih karena kepikiran
mengenai keluhannya. Pasien menjadi malas bekerja
dan sulit berkonsentrasi saat bekerja. Akibatnya,
pasien biasanya tidak datang bekerja. Pasien juga
cepat merasa lelah saat bekerja. Hal ini menjadi beban
pikiran pasien karena pekerjaannya terhambat. Pasien
biasanya melamun karena memikirkan penyakitnya ini.
Pasien juga menjadi lebih sensitif (cepat tersentuh
perasaannya) dan mudah marah sejak mengalami
keluhan ini. Pasien mengalami penurunan nafsu
makan. Keluhan ini terjadi hampir setiap hari selama 3
tahun terakhir.
DESKRIPSI KASUS
Untuk mengatasi keluhannya, pasien biasanya
melakukan sholat, mencari tempat tenang,
berkumpul & bercerita dengan keluarganya. Hal ini
mampu membuat perasaan pasien menjadi lebih
tenang. Perasaan cemas sedikit mereda saat
bangun tidur. Pasien tidak pernah mengalami
keluhan seperti ini sebelumnya.
DESKRIPSI KASUS
Sosialisasi pasien dengan lingkungan sekitar
rumahnya baik. Pasien tidak suka menyendiri di
rumah. Pasien tidak pernah memiliki masalah
dengan tetangga di lingkungan rumahnya.
DESKRIPSI KASUS
Pasien menyangkal pernah merasa mendengar bisikan-
bisikan yang tidak didengar oleh orang lain, melihat sosok-
sosok penampakan yang tidak dilihat oleh orang lain,
mencium bau-bau aneh yang tidak nyata, mengecap rasa-
rasa aneh yang tidak nyata di lidahnya, ataupun merasakan
sensasi rabaan atau sentuhan atau sesuatu menjalar di
kulitnya. Pasien menyangkal bahwa pikirannya dikendalikan
dan diperintah untuk melakukan sesuatu, menyangkal
bahwa pikirannya tersiar ke luar kepala dan orang-orang
menjadi tahu jalan pikiran pasien. Pasien juga menyangkal
perasaan ada orang yang ingin berniat jahat ke dirinya.
Saat bercermin, pasien merasa sosok dirinya di cermin
sama dengan dirinya sebenarnya, dan pasien merasa tidak
ada yang berubah dengan dirinya. Pasien menyangkal
perasaan asing terhadap lingkungan sekitarnya ataupun
perasaan bahwa lingkungannya berubah.
EMOSI YANG TERLIBAT

Kasus ini menarik untuk dibahas karena


pasien mengalami rasa cemas dan
kesedihan yang berlangsung cukup
lama namun baru dikonsultasikan
kepada ahli jiwa.
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I : F41.2 Gangguan campuran ansietas dan
depresi
Aksis II : Z 03.2 Tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III : tension headache, dizziness, dispnea,
palpitasi, nausea
Aksis IV : Masalah berkaitan dengan pekerjaan
Aksis V : 70-61 beberapa gejala ringan & menetap,
disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih
baik.
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan campuran ansietas dan depresi ini
menggambarkan pasien dengan keadaan gejala
ansietas dan depresif yang tidak memenuhi
kriteria diagnostik gangguan ansietas atau
gangguan mood. Kombinasi gejala depresif dan
ansietas menimbulkan hendaya fungsional yang
bermakna pada orang yang mengalami gangguan
ini.1
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Temuan teori neuroendokrin: menumpulnya respon kortisol terhadap
hormon adrenokortikotropik, respon hormon pertumbuhan yang tumpul
terhadap klonidin (catapres) dan respon TSH (thyroid stimulating
hormone) serta prolaktin yang tumpul terhadap TRH (thyrotropin-
releasing hormone).
Hiperaktivitas sistem noradrenergik sebagai penyebab relevan pada
sejumlah pasien dengan gangguan depresif dan gangguan panik.
Adanya konsentrasi metabolit norepinefrin 3-methoxy-4-
hydroxyphenylglycol (MHPG) yang meningkat dalam urin, plasma atau
cairan serebrospinal pada pasien dengan depresi dan gangguan panik
yang sedang aktif mengalami serangan. Seperti pada gangguan
ansietas dan gangguan depresif lain, serotonin dan asam -
aminobutirat (GABA) dapat terlibat sebagai penyebab di dalam
gangguan campuran ansietas depresif.
Serotonergik, seperti fluoxetine dan clomipramine berguna dalam
terapi gangguan depresif dan ansietas.
Keempat, sejumlah studi keluarga melaporkan data yang menunjukkan
bahwa gejala ansietas dan depresif berhubungan pada secara genetik
sedikitnya beberapa keluarga. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Kriteria diagnostik
Kriteria diagnostik DSM IV gangguan campuran ansietas depresif yaitu:

Mood disforik yang berulang atau menetap dan bertahan sedikitnya 1 bulan.

Mood disforik disertai empat atau lebih gejala berikut selama sedikitnya 1 bulan:

Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran kosong

Gangguan tidur (sulit untuk jatuh tertidur atau tetap tidur atau gelisah, tidur tidak
puas)
Lelah atau energi rendah

Iritabilitas

Khawatir

Mudah menangis

Hipervigilans

Antisipasi hal terburuk

Tidak ada harapan (pesimis yang menetap akan masa depan)

Harga diri yang rendah atau rasa tidak berharga


TINJAUAN PUSTAKA
Kriteria diagnostik
Gejala menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya dalam area fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi
penting lain.
Gejala tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat
(misalnya penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis
umum.
Semua hal berikut ini:

Kriteria tidak pernah memenuhi gangguan depresi berat, gangguan


distimik, gangguan panik, atau gangguan ansietas menyeluruh
Kriteria saat ini tidak memenuhi gangguan mood atau ansietas lain
(termasuk gangguan ansietas atau gangguan mood, dalam remisi
parsial)
Gejala tidak lebih mungkin disebabkan gangguan jiwa lain 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pada kasus ini, pasien memenuhi kriteria diagnosis untuk
gangguan campuran ansietas dan depresi menurut DSM
IV. Kriteria A terpenuhi, karena pada pasien keluhan dan
mood disforik telah ada sejak 3 tahun. Kriteria B terpenuhi
karena pada pasien didapatkan kesulitan berkonsentrasi
saat bekerja, lelah, iritabilitas (mudah marah), khawatir
(khawatir akan penyakitnya), antisipasi hal terburuk (cemas
saat berada di tempat ramai ataupun sendirian karena
takut pingsan, sehingga perlu ditemani). Kriteria C
terpenuhi karena kondisi pasien menyebabkan hendaya
pekerjaan. Kriteria D terpenuhi, karena gejala tidak
disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (misalnya
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis
umum. Kriteria E juga terpenuhi, karena gejala tidak
memenuhi kriteria gangguan ansietas maupun gangguan
mood lain dan tidak disebabkan gangguan jiwa lain.
TINJAUAN PUSTAKA
Pedoman diagnostik gangguan campuran ansietas depresif
menurut PPDGJ III yaitu:
Terdapat gejala-gejala ansietas maupun depresi, di mana
masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup
berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk ansietas,
beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus
menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
Bila ditemukan ansietas berat disertai depresi yang lebih ringan,
maka harus dipertimbangkan kategori gangguan ansietas lainnya
atau gangguan ansietas fobik.
Bila ditemukan sindrom depresi dan ansietas yang cukup berat
untuk menegakkan diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut
harus dikemukakan dan diagnosis gangguan campuran tidak
dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat
dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif harus
diutamakan.
Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress
kehidupan yang jelas, maka harus digunakan kategori F43.2
gangguan penyesuaian.2
TERAPI
Farmakoterapi
Farmakoterapi untuk gangguan campuran ansietas
depresi dapat mencakup obat antiansietas, obat
antidepresif atau keduanya. Di antara obat
ansiolitik, penggunaan triazolobenzodiazepin
(contohnya alprazolam) dapat diindikasikan karena
efektivitasnya dalam mengobati depresi yang
disertai ansietas. Di antara antidepresan,
antidepresan serotonergik (contohnya fluoxetine)
dapat menjadi obat yang efektif mengobati
gangguan campuran ansietas depresif.1
TERAPI
Psikoterapi
Terapi kognitif-perilaku dilakukan dengan
pendekatan kognitif mengajak pasien secara
langsung mengenali distorsi kognitif dan
pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik
secara langsung. Teknik utama yang digunakan
pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan
biofeedback. Terapi suportif dilakukan dengan
pasien diberikan reassurance dan kenyamanan,
digali potensi-potensi yang ada dan belum tampak,
didukung egonya agar lebih bisa beradaptasi
optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya. 3
TERAPI
Pada kasus ini, pasien diberikan farmakoterapi
yaitu alprazolam 2x0,5 mg, haloperidol 2x0,5 mg
dan diazepam 2x2mg. Menurut teori, pada
gangguan campuran ansietas depresi dapat
mencakup obat antiansietas, obat antidepresif
atau keduanya. Untuk antiansietas dapat diberikan
golongan triazolobenzodiazepin (contohnya
alprazolam) karena efektivitasnya dalam
mengobati depresi yang disertai ansietas.
Antidepresan serotonergik (contohnya fluoxetine)
efektif mengobati gangguan campuran ansietas
depresif.
TERAPI
Psikoterapi
Terapi Kognitif-Perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara
langsung mengenali distorsi kognitif dan pendekatan
perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung.
Teknik utama yang digunakan pada pendekatan
behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.1

Terapi Suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan,
digali potensi-potensi yang ada dan belum tampak,
didukung egonya agar lebih bisa beradaptasi optimal
dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.1
KESIMPULAN
Gangguan campuran ansietas dan depresi ini menggambarkan
pasien dengan keadaan gejala ansietas dan depresif yang tidak
memenuhi kriteria diagnostik gangguan ansietas atau gangguan
mood. Kombinasi gejala depresif dan ansietas menimbulkan
hendaya fungsional yang bermakna pada orang yang mengalami
gangguan ini. Etiologinya berkaitan dengan teori neuroendokrin,
hiperaktivitas sistem noradrenergik, serotonergik dan genetik.
Farmakoterapi untuk gangguan campuran ansietas depresi dapat
mencakup obat antiansietas, obat antidepresif atau keduanya.
Psikoterapi yang diberikan melalui terapi kognitif-perilaku dan terapi
suportif.
Farmakoterapi untuk gangguan campuran ansietas depresi dapat
mencakup obat antiansietas, obat antidepresif atau keduanya. Di
antara obat ansiolitik, penggunaan triazolobenzodiazepin (contohnya
alprazolam) dapat diindikasikan karena efektivitasnya dalam
mengobati depresi yang disertai ansietas. Di antara antidepresan,
antidepresan serotonergik (contohnya fluoxetine) dapat menjadi
obat yang efektif mengobati gangguan campuran ansietas depresif.1
REFERENSI
1. Sadock B J, Sadock V A. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC.
2. Maslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK-Unika Atmajaya.
3. Kusumawardhani, AAAA et al. 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Gunawan, S. et al. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Tiller, J.W. 2012. Depression and anxiety. Medical Journal of
Australia [cited 2015 September 3]; 4(1): 31. Diakses dari:
https://www.mja.com.au/system/files/issues/001_04_011012/til1
0628_fm.pdf
VIDEO
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai