Anda di halaman 1dari 17

PATOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

DIABETES MELITUS

Dosen Pengajar : Ira Dwijayanti, S.Gz., M.Sc

Disusun Oleh :

1. Christina Ulfa Cessara (181131009)


2. Darul Hikmah (181131010)
3. Fawaas Alvin M (181131016)
4. Iffat Inayah (181131017)
5. Nisa’ul Rofifah (181131025)
6. Prima Widya C (181131029)

SI ILMU GIZI

STIKES SURABAYA

TAHUN AJARAN 2018/2019


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus adalah penyakit gangguan metabolik terutama metabolisme
karbohidrat yang disebabkan oleh berkurangnya atau ketiadaan hormon insulin dari sel
beta pankreas, atau akibat gangguan fungsi insulin, atau keduanya (Sutedjo, 2010).
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
disebabkan oleh adanya peningkatan kadar gula glukosa darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Syahbudin, 2009).
Terdapat dua jenis penyakit diabetes mellitus, yaitu Diabetes mellitus tipe I (insulin-
dependent diabetes mellitus) dan diabetes mellitus tipe II (non- insulin-dependent
diabetes mellitus). Diabetes mellitus tipe I yaitu dicirikan dengan hilangnya sel
penghasil insulin pada pulau-pulau langhernas pankreas sehingga terjadi kekurangan
insulin pada tubuh. Diabetes mellitus tipe II, terjadi akibat ketidakmampuan tubuh
untuk merespon dengan wajar terhadap aktivitas insulin yang dihasilkan pankreas
(resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar glukosa yang normal dalam darah.
Diabetes mellitus tipe II lebih banyak ditemukan dan meliputi 90% dari semua
kasus diabetes di seluruh dunia (Maulana, 2009).
Menurut WHO tahun 2011, diabetes mellitus termasuk penyakit yang paling banyak
diderita oleh penduduk di seluruh dunia dan merupakan urutan ke empat dari prioritas
penelitian nasional untuk penyakit degeneratif.
Prevalensi Diabetes Mellitus pada populasi dewasa di seluruh dunia diperkirakan akan
meningkat sebesar 35% dalam dua dasawarsa dan menjangkit 300 juta orang dewasa
pada tahun 2025. Bagian terbesar peningkatan angka pravalensi ini akan terjadi di
negara-negara berkembang (Gibney, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan penyakit diabetes melitus?
1.2.2 Bagaimana populasi pada penderita penyakit diabetes melitus?
1.2.3 Bagaimana sebab dan asal muasal penderita mengidap penyakit diabetes
melitus?
1.2.4 Bagaimana perjalanan atau tahapan penyakit diabetes melitus?
1.2.5 Bagaimana diagnosis dan metode pemeriksaan dari penyakit diabetes
melitus?
1.2.6 Bagaimana manajemen perawatan dari penyakit diabetes melitus?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu keadaan didapatkan peningkatan kadar gula


darah yang kronik sebagai akibat dari gangguan pada metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein karena kekurangan hormone insulin. Masalah utama pada
penderita DM ialah terjadinya komplikasi, khususnya komplikasi DM kronik yang
merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian penderita DM (Surkesda,
2008). DM adalah suatu sindrom kronik gangguan metabolisme karbohidrat,
protein, dan lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin atau resistensi insulin
pada jaringan yang dituju (Dorland, 2005).

DM adalah penyakit metabolik (kebanyakan herediter) sebagai akibat dari


kurangnya insulin efektif (DM Tipe 2) atau insulin absolut (DM Tipe 1) di dalam
tubuh. Pada DM terdapat tanda-tanda hiperglikemi dan glukosuria, dapat disertai
dengan atau tidaknya gejala klinik akut seperti poliuri, polidipsi, penurunan berat
badan, ataupun gejala kronik seperti gangguan primer pada metabolisme
karbohidrat dan sekunder pada metabolisme lemak dan protein (Tjokroprawiro,
2007).

Penderita DM mengalami gangguan metabolisme dari distribusi gula oleh


tubuh sehingga tubuh tidak bisa memproduksi insulin secara efektif, akibatnya
terjadi kelebihan glukosa di dalam darah (80-110 mg/dl) yang akan menjadi racun
bagi tubuh. Sebagian glukosa yang tertahan dalam darah tersebut melimpah ke
sistem urin (Wijayakusuma, 2004).

2.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Berdasarkan trend statistik selama 10 tahun terakhir IDF memprediksi


bahwa Indonesia akan berada pada peringkat ke enam dengan jumlah penderita
mencapai 12 juta jiwa pada tahun 2030 (IDF, 2011). Peningkatan jumlah
penderita diabetes ini 90% hingga 95% adalah diabetes mellitus tipe II. Diabetes
mellitus tipe II ini terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau
karena gangguan sekresi insulin (Smeltzer & Bare, 2013).

Di Indonesia, diabetes mellitus berada diurutan 4 penyakit kronis berdasarkan


pravalensinya. Data Riskesdas tahun 2013, menyatakan prevalensi nasional
penyakit diabetes mellitus adalah 1,5%. Merujuk kepada prevalensi nasional,
Sumatera Barat memiliki prevalensi total DM sebanyak 1,3%. Dimana Sumatera
Barat berada diurutan 14 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Berdasarakan
umur, penderita banyak dalam rentang usia 56-64 tahun dengan prevalensi sebesar
4,8% (Kemenkes, 2013).

Di Kota Padang, tahun 2013 angka tertinggi kasus baru diabetes mellitus
berdasarkan jumlah kunjungan di Puskesmas berada di wilayah Puskesmas
Nanggalo Padang dengan jumlah kunjungan sebanyak 258 dengan kasus
terbanyak yaitu diabetes mellitus tipe 2. Kemudin diikuti oleh Puskesmas
Ambacang dengan jumlah kunjungan 229, dan diurutan ketiga berada di
Puskesmas Lubuk Kilangan dengan jumlah kunjungan 195 orang (Dinkes Kota
Padang, 2013).

2.3 Etiologi Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu sindroma klinik yang ditandai oleh


poliuri, polidipsi, danpolifagi serta peningkatan kadar glukosa atau disebut
hiperglikemia yaitu suatu kadar guladarah yang tingginya sudah membahayakan
(farkolUI,2009). Hal tersebut dikarenakan tubuhtidak mampu mengendalikan
jumlah gula, atau glukosa, dalam aliran darah dan terjadi sekresi insulin yang
tidak adekuat atau tidak ada, dengan atau tanpa gangguan kerja
insulin(Katzung,2007). Insulin merupakan suatu hormon polipeptida yang
disintesis oleh sel khususdi pancreas yaitu sel beta pulau Langerhans. Insulin memberi sinyal
kepada sel tubuh agarmenyerap glukosa. Insulin, bekerja dengan hormone pancreas lain yang
disebut glukagon, juga mengendalikan jumlah glukosa dalam darah. Apabila tubuh
menghasilkan terlampausedikit insulin atau jika tubuh tidak menanggapi insulin
dengan tepat terjadilah diabetesmellitus. Gangguan metabolisme lemak dan
protein serta resiko timbulnya gangguanmikrovaskular dan makrovaskular
meningkat dapat terjadi apabila diabetes mellitus tidak segera diatasi(farkol
UI,2009).Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengendalikan diabetes
mellitus antara lainmakanan yang rendah kadar gulanya, obat yang di minum, atau
suntikan insulin secarateratur. Meskipun begitu, penyakit ini lama kelamaan
terkadang menyebabkan komplikasi seperti kebutaan dan stroke. Penyebab utama
diabetes di era globalisasi adalah adanyaperubahan gaya hidup (pola makan yang
tidak seimbang, kurang aktivitas fisik). Selain itu,adanya stress, kelainan genetika, usia
yang semakin lama semakin tua dapat pula menjadisalah satu faktor penyebab timbulnya
penyakit diabetes. Penyakit ini dapat dicegah denganmerubah pola makan yang
seimbang (hindari makanan yang banyak mengandung protein,lemak, gula, dan garam),
melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit setiap hari (berenang,bersepeda,
jogging, jalan cepat), serta rajin memeriksakan kadar gula urine setiap
tahun(Sinaga, 2003).
Klasifikasi dan Etiologi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009, klasifikasi Diabetes
Melitus adalah sbb:
a. Diabetes Melitus tipe 1
DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “Insulin
dependent” atau “Ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian
dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah “juvenile onset” sendiri
diberikan karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan
memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30
atau menjelang 40. Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di
sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta
pankreas gagal berespons terhadap stimulus yang semestinya meningkatkan
sekresi insulin. DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun.
Pemeriksaan histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan
destruksi sel Langerhans. Pada 85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang
menyerang glutamic-acid decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut.
Prevalensi DM tipe 1 meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun lain,
seperti penyakit Grave, tiroiditis Hashimoto atau myasthenia gravis. Sekitar 95%
pasien memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA) DR3 atau HLA DR4. Kelainan
autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di mana
sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang
molekul sel beta pankreas yang ‘menyerupai’ protein virus sehingga terjadi
destruksi sel beta dan defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan
memicu serangan terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie),
toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa bayi. Selain akibat
autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang idiopatik. Tidak
ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1 yang bersifat idiopatik
ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika dan
Asia.
b. Diabetes Melitus tipe 2
Tidak seperti pada DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan
aktivitas HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta
yang masih berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak
bergantung seumur hidup). DM tipe 2 ini bervariasi mulai dari yang predominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan
gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Pada DM tipe 2 resistensi
insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta terdapat respons yang inadekuat
pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas di plasma,
penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan produksi glukosa hati dan
peningkatan lipolisis. Efek yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh gaya
hidup yang diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, aktivitas fisik yang
rendah, obesitas) ditambah kecenderungan secara genetik. Nilai BMI yang dapat
memicu terjadinya DM tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap ras.
c. Diabetes Melitus tipe lain
 Defek genetik fungsi sel beta
Beberapa bentuk diabetes dihubungkan dengan defek monogen pada fungsi sel
beta, dicirikan dengan onset hiperglikemia pada usia yang relatif muda (<25
tahun) atau disebut maturity-onset diabetes of the young (MODY). Terjadi
gangguan sekresi insulin namun kerja insulin di jaringan tetap normal. Saat ini
telah diketahui abnormalitas pada 6 lokus di beberapa kromosom, yang paling
sering adalah mutasi kromosom 12, juga mutasi di kromosom 7p yang mengkode
glukokinase. Selain itu juga telah diidentifikasi kelaian genetik yang
mengakibatkan ketidakmampuan mengubah proinsulin menjadi insulin.
 Defek genetik kerja insulin
Terdapat mutasi pada reseptor insulin, yang mengakibatkan hiperinsulinemia,
hiperglikemia dan diabetes. Beberapa individu dengan kelainan ini juga dapat
mengalami akantosis nigricans, pada wanita mengalami virilisasi dan pembesaran
ovarium.
 Penyakit eksokrin pankreas
Meliputi pankreasitis, trauma, pankreatektomi, dan carcinoma pankreas.
 Endokrinopati
Beberapa hormon seperti GH, kortisol, glukagon dan epinefrin bekerja
mengantagonis aktivitas insulin. Kelebihan hormon-hormon ini, seperti pada
sindroma Cushing, glukagonoma, feokromositoma dapat menyebabkan diabetes.
Umumnya terjadi pada orang yang sebelumnya mengalami defek sekresi insulin,
dan hiperglikemia dapat diperbaiki bila kelebihan hormon-hormon tersebut
dikurangi.
 Karena obat/zat kimia
Beberapa obat dapat mengganggu sekresi dan kerja insulin. Vacor (racun tikus)
dan pentamidin dapat merusak sel beta. Asam nikotinat dan glukokortikoid
mengganggu kerja insulin.
 Infeksi
Virus tertentu dihubungkan dengan kerusakan sel beta, seperti rubella,
coxsackievirus B, CMV, adenovirus, dan mumps.
 Imunologi
Ada dua kelainan imunologi yang diketahui, yaitu sindrom stiffman dan antibodi
antiinsulin reseptor. Pada sindrom stiffman terjadi peninggian kadar autoantibodi
GAD di sel beta pankreas.
o Sindroma genetik lain
o Down’s syndrome, Klinefelter syndrome, Turner syndrome, dll.
d. Diabetes Kehamilan/gestasional
Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa dengan onset pada
waktu kehamilan. Diabetes jenis ini merupakan komplikasi pada sekitar 1-14%
kehamilan. Biasanya toleransi glukosa akan kembali normal pada trimester ketiga.

2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel


akan berkurang juga. disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak
terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk
menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan
mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan
kalium). Diurisis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri)
akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis
diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga
500 mEq natrium, kalium serta klorida selam periode waktu 24 jam.
Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi
asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi
badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton
yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan
mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila
bertumpuk dalam sirkulais darah, badan keton akan menimbulkan asidosis
metabolik.

2.5 Metode Pemeriksaan dan Diagnosa Diabetes Melitus

A. Pemeriksaan Lab Diabetes Melitus.


Seperti diketahui bahwa masalah yang dihadapi oleh seorang diabetisi adalah
timbulnya komplikasi spesifik seperti retinopati (bisa menyebabkan kebutaan),
gagal ginjal, neuropati, aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), gangren, dan
penyakit arteria koronaria (coronary artery disease).
Oleh sebab itu seorang diabetisi membutuhkan beberapa jenis pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui dan memantau perkembangan komplikasi spesifik
diatas. Dengan demikian, perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat
mencegah komplikasi.
Jenis Pemeriksaan Medis Kedokteran yang biasa dilakukan adalah kadar glukosa
darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya
HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin. Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang
dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu
lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini
bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa
melalui reduksi urin.
1. Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara
glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk
yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil
dan ireversibel.
 Metode pemeriksaan HbA1C
a) Metode Ion-exchange chromatography: harus dikontrol perubahan suhu
reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang mengganggu
adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil negatif palsu.
b) Metode HPLC (high performance liquid chromatography): prinsip sama
dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki akurasi
dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode
referensi.
c) Metode Electroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi
presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi
kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode
ini.
d) Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur
HbA1C yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.
e) Metode Affinity chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk
labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak
dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit
mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated
hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari
metode HPLC.
f) Metode Analisis kimiawi dengan Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2
jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun
glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran
yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.
 Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena
itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada
penderita diabetes (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-
nya) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih
intensif untuk menghindari komplikasi.Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk
HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%. Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah
penatalaksanaan sudah ada kuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini
dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.
2. Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi Diabetes
Komplikasi spesifik DM: Aterosklerosis, Nefropati, Neuropati, dan Retinopati.
Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari
komplikasi spesifik tersebut, misalnya untuk memprediksi Nefropati dan
gangguan Aterosklerosis.
 Memprediksi Nefropati
Pemeriksaan mikroalbuminuria untuk memantau komplikasi nefropati:
mikroalbuminuria serta heparan sulfat urine (pemeriksaan ini jarang dilakukan).
Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah pemeriksaan serum ureum dan kreatinin
untuk melihat fungsi ginjal.
Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau
sebesar 20-200 mg/menit. Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi
makroalbuminuria. Sekali makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan
yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang ketat dapat memperbaiki
mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan menuju ke nefropati
bisa diperlambat.
Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan menggunakan strip
atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor pasien tes-tes ini
kurang akurat sehingga jarang digunakan. Yang sering adalah cara kuantitatif:
metode Radial Immunodiffusion (RID), Radio Immunoassay (RIA), Enzym-
linked Immunosorbent assay (ELISA), dan Immunoturbidimetry. Metode
kuantitatif memiliki presisi, sensitivitas, dan range yang mirip, serta semuanya
menggunakan antibodi terhadap human albumin. Sampel yang digunakan untuk
pengukuran ini adalah sampel urine 24 jam.
 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria
normal (<20 mg/menit), mikroalbuminuria (20–200 mg/menit), Overt
Albuminuria (>200 mg/menit). Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan
minimal 1 X per tahun pada semua penderita DM usia > 12 tahun.
3. Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil lipid, yaitu
kolesterol total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density
lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria.
Pada pemeriksaan profil lipid ini, penderita diminta berpuasa sedikitnya 12 jam
(karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan mencapai puncaknya 6 jam
setelah makan).
4. Tes Toleransi Glukosa Oral/TTGO
Tes toleransi glukosa oral/TTGO (oral glucose tolerance test, OGTT) dilakukan
pada kasus hiperglikemia yang tidak jelas; glukosa sewaktu 140-200 mg/dl, atau
glukosa puasa antara 110-126 mg/dl, atau bila ada glukosuria yang tidak jelas
sebabnya. Uji ini dapat diindikasikan pada penderita yang gemuk dengan riwayat
keluarga diabetes mellitus; pada penderita penyakit vaskular, atau neurologik,
atau infeksi yang tidak jelas sebabnya.
TTGO juga dapat diindikasikan untuk diabetes pada kehamilan (diabetes
gestasional). Banyak di antara ibu-ibu yang sebelum hamil tidak menunjukkan
gejala, tetapi menderita gangguan metabolisme glukosa pada waktu hamil.
Penting untuk menyelidiki dengan teliti metabolisme glukosa.
Faktor yang dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium
a) Penggunaan obat-obatan tertentu
b) Stress (fisik, emosional), demam, infeksi, trauma, tirah baring, obesitas
dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
c) Aktifitas berlebihan dan muntah dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Obat hipoglikemik dapat menurunkan kadar glukosa darah.
d) Usia. Orang lansia memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Sekresi
insulin menurun karena proses penuaan.

Dinyatakan DM apabila terdapat :

1. Kadar glukosa darah sewaktu ( plasma vena ) ≥ 200 mg/dl, ditambah

dengan gejala klasik: poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang

tidak jelas sebabnya atau

2. Kadar glukosa darah puasa ( plasma vena ) ≥ 126 mg/dl atau

3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban

glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak

dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologis pada penduduk

dianjurkan memakai kriteria diagnosis kadar glukosa darah puasa.

2.6 Manajemen Perawatan atau Pengobatan

Penderita diabetes melitus tipe 1 umumnya menjalani pengobatan terapi


insulin (Lantus/Levemir, Humalog, Novolog atau Apidra) yang
berkesinambungan, selain itu adalah dengan berolahraga secukupnya serta
melakukan pengontrolan menu makanan (diet).
Pada penderita diabetes melitus tipe 2, penatalaksanaan pengobatan dan
penanganan difokuskan pada gaya hidup dan aktifitas fisik. Pengontrolan nilai
kadar gula dalam darah adalah menjadi kunci program pengobatan, yaitu dengan
menguragi berat badan, diet, dan berolahraga.
Jika hal ini tidak mendapat hasil yang diharapkan, maka pemberian obat
tablet akan diperlukan. Bahkan pemberian suntikan insulin turut diperl.ukan jika
tablet tidak mengatasi pengontrolan kadar gula darah.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Diabetes atau yang sering disebut dengan Diabetes Mellitus
merupakan penyakit kelainan metabolisme yang disebabkan kurangnya
produksi insulin,zat yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas.Bisa pula karena
adanya gangguan pada fungsi insulin,meskipun jumlahnya normal.
Penyakit Diabetes terdiri atas dua macam, yaiti Diabetes tipe 1
(IDDM) dan Diebetes tipe 2 (NIDDM).
Cara mengontrol gula darah dalam tubuh ialah dengan cara berolah
raga secara teratur, melakukan senam khusus diabetes, berjalan kaki,
bersepeda, berenang, serta diet dengan cara yang benar.
DAFTAR PUSTAKA

Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV ed.
Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI; 2006.

Howard S. Nephropathy. 2011; Available from: http://www.diabetescare.net/


content_detail.asp?id=793.

Adam J. Komplikasi Kronik Diabetik Masalah Utama Penderita Diabetes dan


Upaya
\Pencegahan.Availablefrom:http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/fil
es/medhas/9John%20Adam.

Lubis HR. Penyakit Ginjal Diabetik. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV ed.
Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI; 2006.

Hendromartono. Nefropati Diabetik. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV ed.


Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI 2006.

Anda mungkin juga menyukai