Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TREND DAN ISSUE KEMAMPUAN

KOLABORASI PERAWAT TERHADAP KINERJA

DI RUMAH SAKIT

Dosen Pengajar :

Kurniawan Erman, S.kep.,Ners.,M.kes

Disusun Oleh:

Liliosa F. Mumu : 1608. 14201. 492

Arni Berlita : 1305. 14201. 199

Ferdinandus M. Ate : 1608. 14201. 501

PROGRAM STUDI S-1 ILMU KEPERAWATAN

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Era globalisasi dan era informasi telah menyebabkan


berkembangnya tuntutan baru di segala sektor, tidak terkecuali dalam sector
pelayanan kesehatan. Hal tersebut telah membuat dunia keperawatan di
Indonesia untuk terus mengembangkan kualitas pelayanan keperawatan.
Namun, masih ada hambatan yang dihadapi oleh keperawatan di Indonesia, di
antaranya adalah keterbatasan sumber daya manusia bidang
keperawatan yaitu kurangnya kemampuan kolaborasi perawat dengan tenaga
kesehatan lainnya di pelayanan kesehatan. (Rini, 2009). Dalam upaya untuk
meningkatkan prestasi kerjanya, maka seorang perawat dituntut untuk selalu
melakukan perbaikan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Untuk
mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang baik tersebut maka seorang
perawat harus menjadi perawat yang profesional, yaitu perawat yang memiliki
kemampuan intelektual, teknikal dan interpersonal, bekerja berdasarkan standart
praktek, memperhatikan kaidah etik dan moral. Banyak faktor yang
berhubungan dengan prestasi kerja antara lain adalah faktor kemampuan kerja,
motivasi, kepuasan kerja dan kondisi fisik pekerjaan. Faktor kemampuan
memiliki indikasi paling kuat dengan prestasi kerja perawat yang ada di Rumah
Sakit yaitu factor kemampuan berkolaborasi.

Rumah sakit merupakan sarana kesehatan yang dapat memberikan


pelayanan kesehatan kepada masyarakat, yang memiliki peran dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit dituntut untuk
memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan,
standar pelayanan meliputi; pelayanan medis, pelayanan penunjang, pelayanan
keperawatan, yang terdiri dari manajemen sumber daya manusia, keuangan,
sistem informasi rumah sakit, sarana prasarana dan manajemen mutu pelayanan
(Depkes, 2002 dalam Solihati, 2012). Berbagai upaya dilakukan untuk
peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit termasuk dalam pelayanan
keperawatan yaitu dengan mengembangkan strategi Model Praktik Keperawatan
(MPKP). MPKP adalah suatu sistem (struktur, proses, nilai-nilai profesional) yang
memungkinkan perawat proesional mengatur pemberian asuhan keperawatan
termasuk lingkungan untuk menunjang asuhan tersebut (Hoffart & Woods 1996
dalam Sitorus, 2006). Dari hasil penelitian oleh Sirait (2012) dengan judul
Hubungan Penerapan MPKP Pemula dengan Tingkat Kepuasan Kerja Perawat
dan Dokter pada Ruangan MPKP Pemula di RS PGI Cikini Jakarta, menunjukkan
hasil dari subvariabel hubungan profesional masih terdapat hasil kurang baik
sebanyak 46 responden (40,0 %). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Solihati (2012) dengan judul Gambaran Penerapan Model Praktik
Keperawatan Profesional Menurut Persepsi Perawat Pelaksana di IRNA B RSUP
Fatmawati Jakarta, bahwa kondisi di RSUP Fatmawati untuk hubungan
profesional masih ada sebanyak 44 orang (43,1%) responden menyatakan
kurang baik.

Rumah sakit merupakan salah satu bentuk industry jasa, di mana eksis
dan tidaknya sebuah rumah sakit tergantung pada tingkat kepercayaan
masyarakat dalam menggunakan jasa rumah sakit tersebut. Kualitas pelayanan
rumah sakit menjadi harapan bagi masyarakat. Kualitas pelayanan keperawatan
biasanya dikaitkan dengan proses penyembuhan, berkurangnya rasa sakit,
kecepatan dalam pelayanan, keramah tamahan,dan tariff pelayanan yang
murah (Wiyono, 1999). Hasil dari pengujian tersebutm menyatakan bahwa
kemampuan kerja perawat di RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo dan rumah
sakit Rekso Waluyo Mojokerto berpengaruh secara signifikan positif
langsung terhadap kualitas layanan keperawatan, dengan koefisien jalur
sebesar 0,35. Hasil ini diperkuat oleh perolehan nilai p=0,000 (< 0, 05)
yang menunjukkan bahwa hubungan terbukti secara signifikan antara
kemampuan kerja perawat dengan kualitas layanan keperawatan.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing
pengetahuan yang direncanakan dan menjadi tanggung jawab bersama untuk
merawat pasien. Bekerja bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari
kolaborasi yang kita gunakan untuk menggambarkan hubungan perawat dan
dokter. Tentunya ada konsekweksi di balik issue kesetaraan yang dimaksud.
Kesetaraan kemungkinan dapat terwujud jika individu yang terlibat merasa
dihargai serta terlibat secara fisik dan intelektual saat memberikan bantuan
kepada pasien. Pertanyaannya apakah kolaborasi dokter dan perawat telah
terjadi dengan semestinya. Efektifitas hubungan kolaborasi profesional
membutuhkan mutual respek baik setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai
dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi merupakan usaha yang baik
sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih baik bagi pasien dalam
mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup.

Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja


bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa
kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang
aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari
perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang
dapat dilakukan.

American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui diskusi dan


negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan
perawat, mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah
proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai
kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek
mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap
setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan
masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kami tertarik untuk menelaah
lebih jauh mengenai trend dan issue mengenai pelaksanaan kolaborasi perawat-
dokter, mengingat bahwa kerjasama antara dokter-perawat merupakan salah
satu faktor sangat penting untuk mencapai keberhasilan dan kualitas pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien. Oleh karena itu perawat di tuntut untuk
memperoleh kemampuan tersebut untuk mencapai kepuasan pasien dan Rumah
Sakit.

1.2. TUJUAN

1.2.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yaitu meningkatkan kemampuan kolaborasi perawat


antara tenaga kesehatan terhadap kualitas Rumah Sakit.

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pengertian dari kemampuan kolaborasi perawat


terhadap kinerja di Rumah Sakit

2. Mnegidentifikasi tujuan dari kolaborasi perawat terhadap kinerja di


Rumah Sakit

3. Mengidentifikasi factor penyebab kemampuan kolaborasi perawat


dan dokter yang rendah

4. Mengidentifikasi cara mengatasi factor penyebab kurangnya


kemampuan kolaborasi perawat terhadap kinerja di Rumah Sakit.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Lidenke dan Sieckert ( 2005 ), kolaborasi merupakan proses kompleks
yang membutuhkan sharing pengetahuan yang merencanakan yang
disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien, dan
kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga kesehatan
yang profesiaonal.
Menurut Health Services Foundation ( 2006 ), kolaborasi adalah suatu
interaksi atau hunbungan dari dua atau lebih professional kesehatan yang
bekerja saling bergantungan untuk memberikan perawatan untuk pasien.
Tujuan dari kolaborasi ini untuk memberikan perawatan kepada pasien dan
berbagai informasi untuk mengambil kepurtusan bersama.
Nurachmah ( 2001 ) Kolaborasi merupakan suatu pengakuan keahlian
seseorang oleh orang lain di dalam maupun di luar profesi orang tersebut.
Kaloborasi ini juga merupakan proses interpersonal dimana dua orang atau
lebih membuat suatu komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif untuk
menyelesaikan masalah klien dan mencapai tujuan, target atau hasil yang
ditetapkan. Kemampuan mewujudkan komitmen untuk berinteraksi secara
kontruktif tergantung dari persamaan persepsi, tentang tujuan bersama,
kompetensi klinik, dan kemampuan interpersonal, humor, kepercayaan,
menghargai dan menghormati pengetahuan dan praktik keilmuan yang
berbeda.
Menurut Kamus Heritage Amerika ( 2000 ), kolaborasi adalah bekerja
bersama khususnya dalam usaha penggabungan pemikiran. Kolaborasi
adalah suatu inisiasi atau kegiatan yang bertujuan untuk memperkuat
hubungan antara pekerja yang memiliki profesi yang berbeda yang saling
bekerjasama dalam kemitraan.
Menurut American Medical Assosiation ( AMA ),1994, Kolaborasi adalah
proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama
sebagai kolega, bekerja saling ketergantungandalam batasan – batasan
lingkup praktek mereka dengan berbagi nilai – nilai dan saling mengakui dan
menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu,
keluarga dan masyarakat.
ANA ( 1992 ) menambahkan kolaborasi adalah hubungan kerja sama
antara tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien adalah
dalam melakukan diskusi tentang diagnose, melakukan kerja sama dalam
asuhan keperawatan, saling berkonsultasi dengan masing – masing
bertanggung jawab pada pekerjaannya.
Dari definisi yang dikemukakan para ahli tersebut dapat disimpulkan
bahwa kolaborasi adalah suatu proses interaksi yang kompleks dan beragam
yang melibatkan beberapa orang untuk bekerja sama dengan
menggabungkan pemikiran secara berkesinambungan dalam menyikapi suatu
hal di mana setiap pihak yang terlibat harus saling ketergantungan
didalamnya.

2.2. Tujuan Kolaborasi


Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan
menggabungkan keahlian unik dari masing – masing profesi, untuk
menggabungkan keahlian unik ini dibutuhkan kesadaran dan kemampuan dari
masing – masing profesi, kurangnya kesadaran dan kemampuan dalam
berkolaborasi dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap kualitas
layanan yang diberikan.

2.3. Faktor Penyebab Kemampuan Kolaborasi Perawat Dan Dokter Rendah


Meningkatnya pelayanan kesehatan, tugas perawat tidak lagi hanya
terbatas pada bentuk asuhan pelayanan pasien berupa perawatan saja.
Namun mulai dengan apa yang sering disebut program keperawatan mandiri
atau INP (Independent Nurse Practitioner). Hanya saja program ini membawa
dampak yang cukup besar di masyarakat karena kemudian terjadi kerancuan
pengertian dan tugas pendelegasian antara dokter dan perawat
( Damaiyanti,2008 : 11 )
Perawat sebagai salah satu tenaga paramedis yang bertugas
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum. Tugas utama
perawat adalah memberikan pelayanan kesehatan atau memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan keterampilan dan keahlian yang dimilikinya.
Perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan terdapat beberapa peran.
Pertama, perawat memiliki peran dalam mengatasi masalah yang dihadapi
pasien. Kedua, perawat memiliki tanggung jawab dalam memberikan
penyuluhan kepada pasien/klien. Ketiga, perawat memiliki peran dalam
menjamin dan memantau kualitas asuhan keperawatan. Keempat, perawat
memiliki tugas sebagai peneliti dalam upaya untuk mengembangkan body of
knowledge keperawatan.( smith, et.all 1995 )
Sifat interaksi antara perawat – dokter menentukan kualitas praktik
kolaborasi . ANA ( 1980 ) menjabarkan kolaborasi sebagai hubungan rekanan
sejati dimana masing-masing pihak menghargai kekuasaan pihak lain, dengan
mengenal dan menerima lingkup kegiatan dan tanggung jawab masing-
masing yang terpisah maupun bersama, saling melindungi kepentingan
masing masing dan adanya tujuan bersama yang diketahui kedua pihak. Dari
penjabaran sifat kolaborasi dapat disimpulkan bahwa kolaborasi dapat
dianalisis melalui empat buah indikator :
a. Kontrol – kekuasaan
Berbagi kekuasaan atau kontrol kekuasaan bersama dapat terbina
apabila baik dokter maupun perawat terdapat kesempatan sama untuk
mendiskusikan pasien tertentu. Beberapa peneliti telah
mengembangkan instrumen penelitian untuk mengukur kontrol-
kekuasaan pada interaksi perawat-dokter. Feiger dan Schmitt,( 1979 ).
b. Lingkungan Praktik
Lingkungan praktik menunjukan kegiatan dan tanggung jawab
masingmasing pihak. Meskipun perawat dan dokter memiliki bidang
praktik yang terpisah sesuai dengan peraturan praktik perawat dan
dokter,tapi ada tugastugas tertentu yang dibina bersama. Weis dan
Davis ( 1993 ) telah mengembangkan suatu instrumen yang disebut
Healt Role Expectation Index, mengukur persepsi kolaborasi hubungan
antara perawat,dokter, pasien.
c. Kepentingan Bersama
Menganalisa kepentingan bersama sebagai indicator kolaborasi antara
perawat dan dokter seringkali menanggapi dari sudut pandang perilaku
organisasi. Para teoris ini menjabarkan kepentingan bersama secara
operasional menggunakan istilah tingkat ketegasan masing masing
usaha untuk memuaskan sendiri dan faktor kerja sama ( usaha untuk
memuaskan kepentingan pihak lain ).Thomas dan Kilmann (1974) telah
merancang model untuk mengukur pola managemen penanganan
konflik.
d. Tujuan Bersama
Tujuan manajemen penyembuhan sifatnya lebih terorientasi kepada
pasien dan dapat membantu menentukan bidang tanggung jawab yang
erat kaitannya dengan prognosis pasien. Ada tujuan yang sepenuhnya
menjadi tanggung jawab perawat, ada yang dianggap sebagai
tanggung jawab sepenuhnya dari dokter, ada pula tujuan yang
merupakan tanggung jawab bersama antara dokter dan perawat.
( ANA : Baggs dan Schmitt,1998;Evens dan Carlson )
Kolaborasi interprofesional merupakan merupakan strategi untuk
mencapai kualitas hasil yang dinginkan secara efektif dan efisien dalam
pelayanan kesehatan. Komunikasi dalam kolaborasi merupakan unsur penting
untuk meningkatkan kualitas perawatan dan keselamatan pasien (Reni,A
al,2010). Kemampuan untuk bekerja dengan profesional dari disiplin lain untuk
memberikan kolaboratif, patient centred care dianggap sebagai elemen
penting dari praktek profesional yang membutuhkan spesifik perangkat
kompetensi.

2.4. Cara Mengatasi Factor Penyebab Kurangnya Kolaborasi Di Rumah Sakit


The Institute of Medicine (IOM) telah memberikan banyak bukti tentang
dampak positif yang dapat dimiliki oleh kolaborasi lintas disiplin dan kerja tim
pada dimensi kunci dari kinerja organisasi (IOM, 2000, 2001, 2003, 2010).
Namun, kemampuan untuk berkolaborasi secara konsisten, dan dengan cara
yang menjamin perawatan berkualitas, terus kita hindari. Kurangnya
kolaborasi interdisipliner ini tetap menjadi tantangan penting bagi para
eksekutif perawatan kesehatan, dekan kampus, perawat praktik, dokter, dan
profesional perawatan kesehatan lainnya.
Kendala komunikasi antarprofesi kesehatan seringkali memicu
terjadinya kesalahan penangan kepada pasien yang dapat merugikan pasien.
Barier komunikasi interprofesional antara lain adalah perilaku sering
merendahkan profesi lain, terlalu berharap pada profesi lain, kurang
memahami kompetensi dan peran dari profesi lain, tidak pernah dididik
bersama oleh karakteristik perawat yang meliputi usia, pendidikan, posisi
fungsional, dan lama bekerja. Sedangkan karakteristik dokter (usia,
pendidikan, dan lama bekerja) memberikan pengaruhi sebesar 43,5 %. Hal ini
menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi praktik kolaboratif
interprofesional yang perlu diteliti lebih jauh.
Perawat dapat menjadi anggota tim kolaboratif melalui:
a. re-sosialisasi
b. pemahaman dan penyampaian peran perawat, pengetahuan dan
ketrampilan untuk yang lain.
c. sharing hal yang sama dengan perawat dari pelayanan kesehatan lain
d. mengidentifikasi di mana peran dapat dibagi, pengetahuan dan
keterampilan yang baik; dan
e. belajar bekerja dalam tim kolaborasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
46% praktik kolaborasi dokter perawat dipengaruhi perawat yang terdata
bertugas di ruang rawat jalan dan rawat inap rumah sakit dan bersedia
menjadi responden dengan menandatangani informed consent.

Pelayanan pasien di ruang rawat inap RSUD Nganjuk dilakukan oleh


kelompok dokter spesialis dari berbagai disiplin ilmu, dokter umum, perawat
dan tenaga kesehatan lainnya. Namun demikian masih banyak kendala yang
terjadi di lapangan untuk mewujudkan kolaborasi dokter-perawat, antara lain:
para dokter merasa ketrampilan perawat masih perlu ditingkatkan, para dokter
merasa perawat kurang komunikatif, para dokter merasa para perawat kurang
ramah dalam memberikan asuhan keperawatan, terutama pada ruang
pelayanan kelas 3 ( Nursalam, 2002 : 297 )
Kolaborasi interprofesional merupakan merupakan strategi untuk
mencapai kualitas hasil yang dinginkan secara efektif dan efisien dalam
pelayanan kesehatan. Komunikasi dalam kolaborasi merupakan unsur penting
untuk meningkatkan kualitas perawatan dan keselamatan pasien.
Kemampuan untuk bekerja dengan profesional dari disiplin lain untuk
memberikan kolaboratif, patient centred care dianggap sebagai elemen
penting dari praktek profesional yang membutuhkan spesifik perangkat
kompetensi. Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang
berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana
proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi.
Bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami
oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama. (
Reni,A al, 2010 ).
BAB III
PEMBAHASAN

Dari beberapa jurnal yang kami dapatkan bahwa kemampuan kolaborasi


perawat antara tenaga kesehatan lainnya sangat berpengaruh besar terhadap
kepuasan di Rumah sakit serta membantu kinerja perawat dalam memberikan
asuhan keperawatannya. Oleh karena itu, perawat mampu berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan jika itu sangat diperlukan dalam melakukan tindakan.
Apabila perawat tidak mampu melakukan tindakan ataupun tindakan tersebut
memang untuk tindakan kolaborasi, maka perawat wajib melakukan tindakan
kolaborasi. Kemampuan kolaborasi ini sendiri juga dapat meningkatkan
interaksi antara perawat dengan tenaga kesehatan lainnya supaya adanya
kerjasama yang baik dari perawat dengan tenaga kesehatan lainnya.
Menurut (Efendi dan Makhfudli, 2009: 126). Mutu pelayanan di rumah
sakit misalnya dapat ditinjau dari sisi keperawatan, yaitu yang meliputi aspek
jumlah dan kemampuan tenaga profesional, motivasi kerja, dana, sarana dan
perlengkapan penunjang, manajemen rumah sakit yang perlu disempurnakan
dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Efendi dan Makhfudli, 2009:126). Faktor komunikasi dalam lingkungan kerja
juga sangat menunjang kinerja perawat, di samping persepsi tentang
profesionalisme. Faktor itu adalah seperti kemampuan perawat dalam
kemampuan interpersonal yaitu kemampuan dalam berhubungan dengan orang
lain atau sering di sebut kemampuan kolaborasi seperti antar perawat, tenaga
medis lainnya, pasien maupun keluarga pasien. Kemampuan ini yang dimaksud
adalah kemampuan perawat dalam mengkomunikasikan berkaitan dengan
tugas dan perannya sebagai perawat.
Menurut Robbins (2008) bahwa umpan balik adalah sampai sejauh
mana karyawan menerima informasi yang mengungkapkan seberapa baik
mereka melaksanakan tugas pada saat bekerja. Semakin tinggi skor
pencapaian karakteristik pekerjaan, maka pekerjaan tersebut menunjukkan
kompleksitas yang semakin tinggi, yang berarti semakin memberi tantangan
dan semakin kuat menentukan potensi bahwa pekerjaan itu sendirilah yang
menciptakan motivasi internal, meningkatkan pertumbuhan dan kepuasan kerja
serta menambah efektivitas dan prestasi kerja. Hal lain yang terlihat adalah
kurangnya mendapatkan informasi (umpan balik) tentang hasil pekerjaannya
baik dari atasan, rekan kerja maupun pasien mengakibatkan ia tidak
mengetahui apakah hasil pekerjaannya sudah cukup baik atau tidak, agar ia
dapat melakukan perbaikan apabila ada kekurangan terhadap hasil kerjanya
sehingga ia dapat meningkatkan prestasi kerjanya.
Dari hasil penelitian oleh Sirait (2012) dengan judul Hubungan
Penerapan MPKP Pemula dengan Tingkat Kepuasan Kerja Perawat dan Dokter
pada Ruangan MPKP Pemula di RS PGI Cikini Jakarta, menunjukkan hasil dari
subvariabel hubungan profesional masih terdapat hasil kurang baik sebanyak
46 responden (40,0 %). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Solihati (2012) dengan judul Gambaran Penerapan Model Praktik
Keperawatan Profesional Menurut Persepsi Perawat Pelaksana di IRNA B
RSUP Fatmawati Jakarta, bahwa kondisi di RSUP Fatmawati untuk hubungan
profesional masih ada sebanyak 44 orang (43,1%) responden menyatakan
kurang baik.
Waluya (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa komunikasi
dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu
ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan
pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua
anggota tim dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu
dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan
komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif. Penelitian di atas sesuai
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dimana 57 orang
responden (90.5%) dari 63 responden menjawab komunikasi yang baik
terhadap tenaga kesehatan lain dengan mengembangkan catatan status
kesehatan pasien dapat mewujudkan kolaborasi yang efektif.
Dengan kata lain kemampuan kolaborasi perawat terhadap kinerja di
Rumah Sakit sangat diperlukan oleh system pelayanan kesehatan karena untuk
mencapai kepuasan dari pasien itu sendiri di lihat dari bagaimana tenaga
kesehatan di Rumah Sakit tersebut dapat menjalankan kolaborasi atau
kerjasamanya dalam mencapai kesehatan masyarakat yang baik. Jadi
kemampuan kolaborasi perawat dengan tenaga kesehatan lainnya bukan
hanya membuat suatu komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif untuk
menyelesaikan masalah klien dan mencapai tujuan, target atau hasil yang
ditetapkan. Tetapi dalam kemampuan berkolaborasi juga perlu adanya
kemampuan mewujudkan komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif
tergantung dari persamaan persepsi, tentang tujuan bersama, kompetensi
klinik, dan kemampuan interpersonal, humor, kepercayaan, menghargai dan
menghormati pengetahuan dan praktik keilmuan yang berbeda. Jadi
kemampuan kolaborasi perawat dengan tenaga kesehatan lainnya bukan
hanya membuat suatu komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif untuk
menyelesaikan masalah klien dan mencapai tujuan, target atau hasil yang
ditetapkan.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Kolaborasi merupakan suatu pengakuan keahlian seseorang oleh
orang lain di dalam maupun di luar profesi orang tersebut. Kaloborasi ini juga
merupakan proses interpersonal dimana dua orang atau lebih membuat
suatu komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif untuk menyelesaikan
masalah klien dan mencapai tujuan, target atau hasil yang ditetapkan.
Kemampuan kolaborasi perawat terhadap kinerja di Rumah Sakit sangat
berpengaruh besar terhadap system pelayanan kesehatan serta terhadap
kepuasan dari pasien.

4.2. Saran
Bagaimana mahasiswa keperawatan diharapkan mampu memahami dan
mengaplikasi semua hal mengenai praktik keperawatan professional dan
praktik perawata untuk saat ini dan marilah kita belajar dengan sungguh-
sungguh agar kita dapat menjadi perawat yang professional.
DAFTAR PUSTAKA

Utami, L. (2016). Hubungan Antara Sikap dan Perilaku Kolaborasi dan Praktik
Kolaborasi Interprofesional di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih.
Jurnal Keperawatan Muhammadiah. Diunduh pada hari sabtu, 20 Mei 2017.

Waluya, N, A. (2012).Trend Dan Issue Keperawatan Pelaksanaan Kolaborasi


Perawat – Dokter. Diunduh dari http://pkko.fik.ui.ac.id/files/kolaborasi
%20perawat%20dan%20dokter.doc pada hari sabtu, 20 mei 2017.

Yulya Fazyanda ; Ardia Putra.Hubungan Profesional Perawat Di Ruangan Rawat


Inap Penyakit Dalam Dan Bedah. Jurnal Keperawatan Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh. Diunduh Tanggal 15 Maret 2017.

Abdul Muhith ; Nurwidji.Kualitas Layanan Keperawatan DI rungan Rawat Inap Di


Rumah Sakit Mojokerto. Mojokerto ; Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 Oktober201 4: 321–
328.

Anda mungkin juga menyukai