Anda di halaman 1dari 68

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN NUTRISI

DAN METABOLIK: DM, OBESITAS, KKP

Dosen Pengampu: Dr. Arbianingsih, S. Kep., Ns., M. Kes

Disusun Oleh:

Annisa Dilla Ita Taqiyah 70300119040

Nadya Wulandari 70300119054

Hijriyah Febriela 70300119047

Abdul Rahman 70300119064 (TIDAK AKTIV)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha


penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang
telah memberikan kepada kami kesehatan dan kesempatan sehingga dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak
Dengan Gangguan Nutrisi Dan Metabolik: Obesitas, KKP, DM”

Makalah ini kami susun dengan sebaik-baiknya dan secara maksimal


serta dengan bantuan berbagai pihak sehingga kami dapat memperlancar
pembuatan makalah kami ini.

Terlepas dari semua itu kami sadari bahwa masih terdapat kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun dari segi tatanan bahasa. Kami
menerima dengan tangan terbuka segala kritikan dan saran yang sifatnya
membangun, agar kedepannya pembuatan makalah kami menjadi lebih baik.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih dan semoga makalah kami ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Gowa, 05 Mei 2021


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang ..………………………………………………………………….1

B. Tujuan Penulisan …………………… ………………………………………….2

C. Asuhan Keperawatan (DM, Obesitas, KKP) ………………… ………………2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................21

A. Diabetes Melitus (DM) …………………………………………………………. 21

B. Obesitas ………………………………………………………………………..... 28

C. KKP ………………………………………………………………………………. 43

BAB III PENUTUP..............................................................................................51

A. Kesimpulan..............................................................................................51

B. Saran.......................................................................................................53

WOC Obesitas ……………………………………………………………….………. 55

WOC DM ……………………………………………………………………………... 58

WOC KKP …………………………………………………………………… ……... 60

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..60

LAMPIRAN …………………………………………………………………………... 64
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat
ketidakseimbangan asupan energy (energy intake) dengan energy yang
digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama. Obesitas ditemukan
pada orang dewasa, remaja dan anak-anak. Lebih dari 1,4 miliar orang
dewasa yang overwight dan lebih dari 500 juta orang dewasa di dunia
mengalami obesitas (WHO, 2008). Selain itu, overwight dan obesitas
memiliki resiko mengalami diabetes (44 %), penyakit jantung iskemik (23 %),
dan kanker (7%-41%).
Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (riskesdas),
menunjukkan peningkatan prevalensi obesitas pada penduduk berusia > 18
tahun dari 11,7% (2010) menjadi 15, 4% (2013). Riskesdas tahun 2013 juga
menunjukkan disparitas prevalensi obesitas dari nilai prevalensi nasional
pada beberapa provinsi di Indonesia. Peningkatan obesitas akan berdampak
pada terjadinya peningkatan pembiayaan kesehatan. Diperkirakan 30 tahun
mendatang biaya pengobatan balita obesitas setiap tahun di Indonesia yang
menderita penyakit diabetes mellitus (DM) tanpa komplikasi sekitar 2,9 triliun
rupiah dan DM dengan komplikasi sekitar 66,9 triliun rupiah (PT. askes,
2011). Melihat besarnya masalah obesitas yang mengancam kesehatan
masyarakat bila tidak segera ditanggulangi maka obesitas merupakan factor
resiko terjadinya berbagai penyakit metabolic dan degenerative seperti
penyakit kardiovaskuler, DM, kanker, osteoarthritis, dll. (Kementrian
Kesehatan RI, 2017)
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, memperlihatkan
secara nasional prevalensi gemuk pada anak usia 5-12 tahun masih tinggi,
yakni, 18,8 persen, terdiri atas gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk
(obesitas) 8,8 persen. Sedangkan prevalensi gemuk pada remaja usia 13-15
tahun sebesar 10,8 persen, terdiri atas 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen
sangat gemuk (obesitas). Bila dibandingkan dengan kondisi Prevalensi
Obesitas di Sulawesi Selatan tahun 2016 yaitu sebesar 10,10% maka
capaian ini walaupun masih dibawah angka batas yang ditargetkan (18,6%)
namun perlu diwaspadai karena obesitas dan berat berlebih menyebabkan
munculnya berbagai penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung
bahkan berakhir dengan gagal ginjal. (Dinkes SulSel, 2018)

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pentingnya penerapan asuhan keperawatan Terkhusus
orang-orang yang menderita penyakit Diabetes mellitus, obesitas dan KKP.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang penyakit
Diabetes mellitus, obesitas dan KKP beserta penatalaksanaannya.
b. Sebagai sarana untuk menambah pengetahuan tentang asuhan
keperawatan
c. Mencari data-data secara umum tentang tindakan pengkajian pada
pasien dengan penyakit Diabetes mellitus, obesitas dan KKP
d. Mencari data-data secara umum tentang perumuskan dan penegakan
diagnosa keperawatan pengkajian pada pasien dengan penyakit Diabetes
mellitus, obesitas dan KKP
e. Mencari data-data secara umum tentang tindakan intervensi keperawatan
pada pasien dengan penyakit Diabetes mellitus, obesitas dan KKP
f. Mencari data-data secara umum tentang pelaksanaan implementasi
keperawatan pada pasien dengan penyakit Diabetes mellitus, obesitas
dan KKP

C. Asuhan Keperawatan
 Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus (DM)
A. Pengkajian

Menurut (Sujono Riyadi, 2012) hal yang berhubungan dengan kasus


diabetes melitus antara lain : Biodata, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat kesehatan yang lalu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat psikososial,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. Biodata

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan. Umur


memberikan petunjuk tipe Diabetes Mellitus, Tipe 1 menyerang usia kurang
dari 30 tahun dan diabetes melitus tipe 2 menyerang usia lebih dari 40
tahun. Aktivitas yang kurang dapat mendasari terjadinya diabetes melitus
tipe 2.

2. Keluhan Utama

Adalah alasan yang menyebabkan klien mencari pertolongan.


Biasanya pasien mengeluh sering lapar (polifagi) disertai dengan kencing
(poliuri) dan banyak minum (polidipsi), sudah makan tapi mengeluh lemas,
nafsu makan menurun ( mungkin disertai mual dan muntah), berat badan
yang terus menurun secara signifikan dibawah BB ideal, keluhan pusing,
tremor ( jika GDA turun dibawah batas normal) ataupun komplikasi diabetes
mellitus tipe 2 yang lalu secara Hipertensi, KP, Nefropati, dan Neuropati.

3. Riwayat penyakit Sekarang

Adalah riwayat yang menyebabkan klien MRS saat ini. Biasanya


penderita diabetes mellitus datang berobat karena ada keluhan mual dan
tiga gejala khas diabetes mellitus tipe 2 (polifagi, poliuri, polidipsi,
kelemahan, mati rasa, kesemutan, sakit kepala, pandangan mata kabur,
perubahan mood, suasana hati, luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh.

4. Riwayat kesehatan yang lalu

Merupakan keadaan gambaran keadaan kesehatan klien di masa lalu


yang mendasari diabetes mellitus tipe 2. Pada klien didapatkan riwayat
terjadinya infeksi, virus, keganasan pada penkreas, obesitas (terutama DM
tipe 2), dan obat-obatan yang dapat mengurangi produksi insulin, diabetes
mellitus akibat heredias, polifagi, poliuri, nuktoria, polidipsi, luka yang tidak
sembuh-sembuh.

5. Riwayat kesehatan keluarga

Diabetes mellitus merupakan penyakit herediter sehingga perlu


ditanyakan apakah ada anggota yang menderita diabetes mellitus.

6. Riwayat psikososial

Klien yang dirinya terkena diabetes mellitus biasanya mengalami denial


dan akan takut mengkonsumsi makanan dan minuman sembarangan
atau malah enggan mengatur makanannya karena sudah merasa bosan
dengan penyakitnya yang bersifat kronis. Klien juga bisa mengalami
putus asa, serta cemas karena kurangnya pengetahuan tentang
penyakit diabetes mellitus yang dideritanya.

7. Pemeriksaan fisik (Sujono Riyadi, 2012)


a. Keadaan Umum

Adalah keadaan umum klien secara sekilas. Biasanya klien nampak


lemas karena sel-sel tubuh tidak optimal menyerap glukosa, pasien
dengan diabetes mellitus tipe 2 pada masa tua (> 30 tahun), obesitas
disertai komplikasi mikro/makro vaskuler. Namun status obesitas
tersebut bisa jadi berubah karena klien sering mengalami polifagi atau
merasa lapar dalam frekuensi yang sering sehingga terjadi masalah
pada perubahan nutrisi klien yang beresiko mengalami penurunan.

b. Pemeriksaan Kepala dan Rambut

Meliputi bentuk kepala,keadaan kulit kepala, keadaan dari


penyebaran rambut, bau rambut, ekspresi muka, bentuk muka, kulit
muka, dan keadaan muka. Penderita diabetes mellitus yang sudah
menahun dan tidak terawat secara baik biasanya rambutnya lebih tipis,
rambutnya mudah rontok.

c. Pemeriksaan mata/penglihatan

Diabetes mellitus tipe 2 menyebabkan kebutaan pada orang


berusia antara 20-65 tahun, penderita diabetes mellitus juga dapat
mengalami pembentukan katarak. Katarak mungkin disebabkan oleh
adanya hiperglikemi yang berkepanjangan yang menyebabkan
pembengkakan lensa.

d. Pemeriksaan Integrumen dan Ekstermitas

Perubahan-perubahan makrovaskuler, perubahan mikrovaskuler


dan neuropati semuanya menyebabkan perubahan pada ekstermitas
bahwa perubahan yang penting yakni adanya anesthesia. Keadaan ini
berperan dalam terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya infeksi
yang menyebabkan gangren.
e. Pemeriksaan Saraf

Diabetes mellitus dapat mempengaruhi syaraf-syaraf perifer, jenis


diabetes mellitus neuropati yang paling lazim adalah polineuropati
perifersimetris. Hal ini terlihat pertama kali dengan hilangnya sensasi
pada ujung-ujung ekstermitas bawah. Kemudian hilangnya kemampuan
motoric dan ekstermitas dan mati rasa.

f. Pemeriksaan Pendengaran

Karena urat syaraf bagian pendengaran penderita diabetes


mellitus mudah rusak, telinga sering mendenging. Bila keadaan ini tidak
segera diobati dan diabetes mellitus tidak terawat dengan baik,
pendengaran akan merosot bahkan dapat menjadi tuli sebelah ataupun
tuli keduanya.

g. Sistem Pernapasan

Klien diabetes mellitus rentan terhadap penyakit infeksi


termasuk infeksi saluran pernapasan disebabkan penurunan kekebalan
tubuh sampai terserang TBC paru.

h. Sistem Kardiovaskuler

Kadar glukosa darah yang tinggi dapat menimbulkan


aterosklerosis, yang akan menyebabkan deprivasi O2 di jaringan yang
akan berlanjut menjadi Hipertensi, infark miokard, dan stroke juga klien
bisa terserang penyakit jantung koroner karena adanya daya pompa
jantung menurun dan rendahnya kadar HDL.

i. Sistem Pencernaan

Adanya rasa lapar yang sering (polifagi) disebabkan karena


glukosa yang diperleh dari karbohidrat tidak dapat dimetabolisme
seluruhnya menjadi energi, sehingga menimbulkan kelemahan.
Penurunan kemampuan mengosongkan isi yang dikarenakan adanya
neuropati syaraf-syaraf otonom system gastrointestinal.

j. Sistem Perkemihan dan Reproduksi.

Kencing yang sering (poliuri) dan dalam jumlah yang banyak


terutama malam hari sangat mengganggu penderita sehingga
mendorong periksa. Kerusakan syaraf-syaraf pada ginjal tidak mampu
melakukan absorbsi zat-zat yang terlarut dalam air seni sehingga terjadi
proteinuria. Kondisi seperti ini akan mudah terjadi infeksi salurah kemih.
Didapatkan keluhan kesulitan ereksi, impoten yang disebabkan
neuropati.

k. Sistem Muskuloskeletal

Awalnya mungkin hanya nampak kondisi leah pada penderita


sampai terjadinya kejang pada otot kaki disebabkan dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, pada tulang terjadi osteomielitis. Jika terjadi
gangren, biasanya sering progresif dan memerlukan amputasi.

l. Pemeriksaan diagnostik
1) Glukosa darah : meningkat 200-100 mg/dl atau lebih
2) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat
3) Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari
300 mOsm/l
4) Elektrolit:
a. Natrium: mungkin normal, meningkat atau menurun
b. Kalium: normal atau peningkatan semu
(perpindahan seluler), selanjutnya akan menurun
c. Fosfor: lebih sering menurun
d. Gas darah arteri: biasanya menunjukkan pH
rendah dan penurunan pad HCO3 (asidosis
metabolik) dengan kompensasi alkalosis
respiratorik
e. Trombosit darah: hematokrit mungkin meningkat
(dehidrasi), leukositosis, hemokonsentrasi,
merupakan respons terhadap stress atau infeksi.

f. Pemeriksaan fungsi tiroid: peningkatan aktivitas


hormone tiroid dapat meningkatkan glukosa darah
dan kebutuhan akan insulin.
g. Urin: gula positif, berat jenis dan osmolalitas mungkin
meningkat.
m. Kultur dan sensitivitas
kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi
pernapasan, dan infeksi pada luka.

B. Diagnosa Keperawatan (Wilkinson, 2013)

1) Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan faktor mekanik (daya


gesek, tekanan, imobilitas fisik)
2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
3) Ansietas (klien, keluarga) yang berhubungan dengan diabetes,
potensial komplikasi, injeksi insulin dan efek negatif pada gaya
hidup.
4) Resiko tinggi terhadap koping inefektif (klien, keluarga) yang
berhubungan dengan penyakit kronis, program perawatan diri yang
rumit, dan masa depan tak tentu.
5) Perubahan nutrisi: lebih dari kebutuhan yang berhubungan dengan
masukkan yang melebihi aktivitas, kurang pengetahuan, atau koping
inefektif.
6) Resiko tinggi terhadap cidera yang berhubungan dengan sensasi
raba, penurunan ketajaman penglihatan dan episode hipoglikemia.
7) Resiko tinggi terhadap perubahan pola seksualitas (pria) yang
berhubungan dengan masalah ereksi sekunder neuropati perifer atau
konflik psikologis.
8) Resiko tinggi terhadap disfungsi tinggi (wanita) yang berhubungan
dengan masalah genitourinaria yang sering, stresor diabetes terhadap
fisik dan psikologis.
9) Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan resiko komplikasi
diabetes
(retinopati, gagal ginjal, nefropati, neuropati, dan penyakit vaskular).

B. Intervensi Keperawatan

Intervensi NIC (Wilkinson, 2013)

1) Kaji fungsi alat-alat, seperti alat penurun tekanan, meliputi kasur


udara statis, terapi low-air loss, terapi udara yang dicairkan, dan
kasur air

2) Inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, atau tanda-tanda


dehidrasi atau eviserasi pada area insisi Perawatan luka: inspensi
luka setiap mengganti balutan

3) Kaji luka terhadap karakteristik berikut:

(1) lokasi, luas dan kedalaman luka.

(2) Karakter eksudat, termasuk kekentalan, warna, dan bau.

(3) Ada atau tidaknya granulasi atau epitelisasi

(4) Ada atau tidaknya jaringan nekrotik. Deskripsikan warna,


bau, dan banyaknya

(5) Ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi luka setempat


(misalnya, nyeri saat palpasi, edema, pruritus, indurasi,
hangat, bau busuk, eskar, dan eksudat)

(6) Ada atau tidaknya perluasan luka ke jaringan dibawah kulit


dan pembentukan saluran sinus

4) Berikan pendidikan kesehatan untuk pasien / keluarga

5) Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan, termasuk tanda dan


gejala infeksi, cara mempertahankan luka insisi tetap kering saat
mandi, dan mengurangi penekanan pada insisi tersebut

 Kolaboratif:

6) Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral,


kalori dan vitamin

7) Konsultasikan pada dokter tentang implementasi pemberian makanan


dan nutrisi enteral atau parenteral untuk meningkatkan potensi
penyembuhan luka

C. Implementasi Keperawatan

Implementasi yang bisa dilakukan pada klien yang mengalami diabetes


mellitus dengan komplikasi gangren adalah:
a. Mengkaji ulang lokasi, luas dan kedalaman,

b. Mengkaji adanya karakteristik eksudat, termasuk


kekentalan, warna, dan bau.,

c. Mengkaji ada atau tidaknya granulasi atau epitalisasi,

d. Perawatan luka dengan menginspeksi luka pada setiap


mengganti balutan,

e. Lakukan perawatan luka atau kulit secara rutin

f. Ubah dan atur posisi pasien sesering mungkin

g. Pertahankan jaringan sekitar terbebas dari drainase dan


kelembaban yang berlebihan

h. Bersihkan luka menggunakan teknik steril dan bersihkan


dengan cairan normal salin

i. Balut luka kembali

D. Evaluasi Keperawatan

Kriteria evaluasi yang diharapkan pada klien yang menderita


diabetes mellitus komplikasi gangren adalah:

a. Menunjukkan Integritas Jaringan : kulit dan Membran


Mukosa, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut
(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan,
atau tidak ada gangguan): Suhu, elastisitas, hidrasi dan
sensasi

b. Perfusi jaringan

c. keutuhan kulit

d. Menunjukkan penyembuhan luka: primer, yang dibuktikan


oleh indikator berikut (sebutkan 1-5: tidak ada, sedikit,
sedang, banyak, atau sangat banyak)
1

 Asuhan Keperawatan Obesitas


A. Pengkajian
a. Identitas pasien

Identitas klien nama, umur, jenis, kelamin, status perkawinan, agama,


suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat dan nomor
daftar

b. Riwayat kesehatan
 Kesehatan sekarang : Kaji pasien saat ini
 Kesehatan masa lalu : kaji apakah ada keluarga dari pasien yang
pernah menderita obesitas
 Kesehatan keluarga : kaji apakah ada di antara keluarga yang
mengalami penyakit serupa atau item
c. Pemeriksaan fisik
 Kardiovaskuler.dll : untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya
distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung
 Aspirasi : untuk mengetahui ada tidaknya gangguan kesulitan nafas
 Patologi : untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan.
 Genital : ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang
 Musculoskeletal : kaji ada tidaknya kesulitan dalam pergerakan, sakit
pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak
 Kekebalan tubuh : Ada tidaknya pembesaran pada getah bening
d. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan metabolik/ endokrin dapat tak normal, misal :


hipoteriodisme, hipopituitarisme, sindrom cushing ( peningktan kadar insulin)

e. Pola fungsi kesehatan


 Aktivitas istirahat : kelemahan dan cenderung mengantuk, ketidak
mampuan atau kurang keinginan untuk beraktifitas
 Sirkulasi : pola hidup mempengaruhi pilihan makan, dengan makan
akan dapat menghilangkan perasaan tidak senang
 Makanan / cairan : Mencerna makanan berlebihan
1

 Kenyamanan : pasien obesitas akan merasakan ketidak nyamanan


berupa nyeri dalam menopang berat badan atau tulang belakang
 Pernafasan : pasien obesitas biasanya mengalami dipsnea
 Seksualitas : pasien obesitas biasanya mengalami pangguan
menstruasi dan amoneuris.

B. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


1. Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan masuk makanan yang lebih
2. Gangguan pencitraan diri yang berhubungan dengan biofisika atau
psikososial pandangan seseorang terhadap diri
3. Hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan ungkapan atau
tampak tidak nyaman dalam situasi sosial
4. Pola nafas tak efektif yang berhubungan dengan penurunan perluasan
paru, nyeri,, ansietas, kelemahan dan obstruksi trakeobronkial, dll.
C. Perencanaan
 Diagnosa 1

Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan


pemasukan makanan yang lebih.

a. Tujuan :

Kebutuhan nutrisi kembali normal

b. Kreteria Hasil :

Perubahan pola makan dan interaksi individu dalam program latihan

Menunjukkan perubahan berat badan

c. Intervensi
1. Kaji penyebab kegemukan dan buat rencana makan pasien
2. Timbang berat badan secara periodik
3. Tentukan tingkat aktivitas dan rencana program latihan diet
4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan kalori dan
nutrisi perubahan berat badan
1

5. Kolaborasi dengan dokter dalam memberikan obat penekan nafsu


makan ( mis. Dietilpropinion)
d. Rasional
1. Mengidentifikasi\ mempengaruhi penentuan intervensi
2. Memberikan informasi tentang program keefektifan
3. Mendorong pasien untuk menyusun tujuan lebih nyata dan sesuai
dengan rencana
4. Kalori dan nutrisi terpenuhi secara normal
5. Penurunan berat badan

 Diagnosa 2
Gangguan pencitraan diri bd biofisika atau psikososial pandangan pasien
terhadap diri
a. Tujuan
Menyatakan gambar diri lebih nyata
b. Kriyetia hasil
Menunjukkan beberapa penerimaan diri dari pandangan idealisme
Mengakui individu yang mempunyai tanggung jawab sendiri
c. Intervensi
1. Beri privasi kepada pasien selama perawatan
2. Diskusi dengan pasien tentang pandangan menjadi gemuk dan apa
artinya bagi pasien tersebut
3. Waspada mitis pasien/orang terdekat
4. Tingkatkan komunikasi terbuka dengan pasien untuk menghindari
kritik
5. Waspadai makan berlebih
6. Kolaborasi dengan kelompok terapi
d. Rasional
1. Individu biasanya sensitif terhadap diri sendiri
2. Pasien mengungkapkan beban psikologisnya
3. Keyakinan tentang seperti apa tubuh yang ideal atau motifasi dapat
menjadi upaya penurunan berat badan
1

 Diagnosa 3

Hambatan intervensi sosial bd ungkapan atau mendapat anak tidak


nyaman dalam situasi sosial.

a. Tujuan
Mengungkapkan kesadaran adanya perasaan yang menyebabkan
interaksi sosial yang buruk
b. Kriteria hasil
Menunjukan peningkatan perubahan positif dalam perilaku sosial dan
interpersonal
c. Intervensi
1. Kaji perilaku hubungan keluarga dan perilaku sosial
2. Kaji pengunaan keterampilan koping pasien
3. Rujuk untuk terapi keluarga atau individu sesuai dengan tanda
d. Rasional
1. Keluarga dapat membantu mengubah perilaku sosial pasien
2. Mekanisme koping yang baik dapat melindungi pasien dari perasaan
kesepian
3. Pasien mendapat keuntungan dari interaksi orng tersekat untuk
memberi dukungan.

 Diagnosa 4

Pola nafas tak efektif yang berhubungan dengan penurunan perubahan


perluasan paru, nyeri, ansietas, kelemahan dan obesitas trakeobronkial. Dll

a. Tujuan
Mengembalikan pola nafas normal
b. Kreteria hasil
Mempertahankan ventilasi yang adekuat
Tidak mengalami sianosis atau tanda hiposia lain
c. Intervensi
1. Awasi auskultasi bunyi nafas
2. Tinggikan kepala tempat tidur 30 derajat
3. Bantu ajarkan tehnik nafas dalam
4. Ubah posisi secara periodik
1

5. Berikan alat bantu pernafasan, jika perlu


d. Rasional
1. Pernapasan mengorok/ pengaruh anastesi menurunkan ventilasi,
potensial atalektasi, hipoksia.
2. Mendorong pengembangan diafragma sehingga peluasan paru
optimal, pasien lebih nyaman.
3. Ekspansi paru maksimal, pelayanan jalan nafas resiko atelektas
adalah minimal.
4. Meemaksimalkan sediaan O2 untuk perubahan dan penurunan kerja
nafas. (Ayu, R., & Sartika, 2014)

 Asuhan Keperawatan Kurang Kalori Protein (KKP)


A. Pengkajian
1. Identitas.
a. Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan & kontak dengan
klien tentang : nama perawat, nama klien, panggilan perawat, panggilan
klien, tujuan waktu, tempat, pertemuan, dantopik yang akan dibicarakan.
b. Usia dan nomor Rekam Medik.
c. Mahasiswa menuliskan sumber data yang di dapat.
2. Alasan Masuk
a. Tanyakan kepada klien / keluarga yang datang :
b. Apa yang menyebabkan klien / keluarga datang ke rumah sakit ini?
3. Focus pengkajian marasmus menurut Mi Ja Kim adalah :
a. Data Subjektif
1) Rasio berat badan
a) Kehilangan BB dengan asupan makan yang adekuat.
b) BB 20% atau lebih dibawah BB ideal untuk tinggi badan & bentuk
tubuh yang normal.
2) Tinggi aktivitas
Berkurangnya aktivitas tampak pada kebanyakan kasus marasmus.
Anak tampak lesu dan tidak bergairah & pada anak yang lebih tua
terjadi penurunan produktivitas kerja.
3) Masukan atau intake nutrisi
a) Melaporkan asupan makan yang tidak adekuat kurang dari jumlah
harian yang dianjurkan.
1

b) Melaporkan / terlihat kurang makan.


4) Diet
Melaporkan perubahan dalam hal merasakan makanan.
5) Pengetahuan tentang nutrisi
Memperlihatkan / terobservasi kurangnya pengetahuan dalam
perilaku peningkatan kesehatan.
b. Data Objektif
1) Data umum
a) Perubahan rambut
Warnanya lebih muda (coklat, kemerah-merahan dan lurus,
panjang, halus, mudah lepas biladitarik).
b) Warna kulit lebih muda
Seluruh tubuh / lebih sering pada muka, mungkin menampakan
warna lebih muda daripadawarna kulit anak sehat.
c) Tinja encer
Disebabkan gangguan penyerapan makan, terutama gula.
d) Adanya ruam “bercak bersepih”
Noda warna gelap pada kulit, bila terkelupas meninggalkan warna
kulit yang sangat muda / bahkan ulkus di bawahnya.
e) Gangguan perkembangan & pertunbuhan
f) Hilangnya lemak di otot & bawah kulit karena makanan kurang
mengandung kalori dan protein.
g) Adanya perut yang membuncit atau cekung dengan gambaran
usus yang jelas.
h) Adanya anemia yang berat
Kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi, asam
folat dan berbagai vitamin.
i) Mulut dan gigi
Adanya tanda luka di sudut-sudut mulut.
j) Kaji adanya anoreksia, mual.
1

B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang kurang.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status nutrisi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh menurun.
4. Keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan malnutrisi.
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, diit, perawatan, dan
pengobatanberhubungan dengan kurangnya informasi

C. Intervensi
diagnosa : Ketidakseimbangan nutisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang kurang.
NOC : status nutrisi : intake nutrisi dan cairan.
Kriteria hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan berat badan ideal
sesuai dengan tinggi badan.
b. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
c. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
d. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
Skala Nilai :
1: tidak pernah menunjukkan
2: jarang menunjukkan
3: kadang-kadang menunjukkan
4: sering menunjukkan
5: selalu menunjukkan

NIC : Nutrition Monitoring

Intervensi :

1. BB pasien dalam batas normal.


2. Monitor adanya penurunan berat badan.
3. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi.
4. Monitor turgor kulit.
5. Monitor kekeringan,rambut kusam dan mudah patah.
6. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
7. Monitor kalori dan intake nutrisi.
1

Diagnosa: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status


nutrisi.

NOC : Tissue Integrity : skin and mucous membranes.

Kriteria hasil :

a. Integritas kulit yang baik bias dipertahankan.


b. Tidak ada luka / lesi pada kulit.
c. Perfusi jaringan baik.
d. Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang.
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit dan
perawatan alami.
Skala Nilai :
1: tidak pernah menunjukkan
2: jarang menunjukkan
3: kadang menunjukkan
4: sering menunjukkan
5: selalu menunjukkan

NIC : Tissue integrity;skin and mucous.

Intervensi :

1. Monitor kulit akan adanya kemerahan.


2. Oeskan lotion pada derah yang tertekan.
3. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali.
4. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.

Diagnosa: Resiko infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh menurun.

NOC : Risk Control

Kriteria hasil :

a. Kenali faktor resiko infeksi


1

b. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko.


c. Monitor perubahan status kesehatan.
d. Mendorong gaya hidup status kesehatan (dari status kesehatan yang
buruk ke status kesehatan yang baik).
e. Menunjukan perilaku hidup sehat.
Skala Nilai :
1: tidak pernah dilakukan
2: jarang dilakukan
3: kadang dilakukan
4: sering dilakukan
5: selalu dilakukan

NIC : Infection Protection

Intervensi :

1. Monitor tanda dan gejala infeksi.


2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
3. Batasi pengunjung.
4. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan dan panas.
5. Ajarkan cara menghindari infeksi
6. Instruksikan pasien untuk minum obat antibiotic sesuai resep.

Diagnosa: Keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan malnutrisi.

NOC : Neglect Recorvery

Kriteria hasil :

a. Nutrisi adekuat.
b. Mendapatkan diet yang dianjurkan.
c. Pertumbuhan & perkembangan dalam batas normal.
d. Kemampuan kognitif dalam batas yang sesuai.
e. Mendapat perawatan yang sesuai.
Skala Nilai :
1 : tidak pernah menunjukkan
2 : jarang menunjukkan
1

3 : kadang menunjukkan
4 : sering menunjukkan
5 : selalu menunjukkan

NIC : Management behavior

Intervensi :

a. Gunakan suara yang lembut dan pelan dalam berbicara dengan


pasien
b. Tingkatkan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuan.
c. Diskusikan dengan keluarga untuk membuat dasar kognitif
prainjury.
d. Buat rutinitas untuk pasien.
e. Hindari untuk menyudutkan pasien.
f. Hindari untuk membantah pasien.

Diagnosa: Kurang pengetahuan mengenai kondisi, diri, perawatan, dan


pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.

NOC : Knowledge : disease process

Kriteria hasil :

a. pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis, dan program


pengobatan.
b. Mampu malaksanakan prosedur yang dijelaskan.
c. Mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim
kesehatan lainnya.
Skala Nilai :
1 : tidak pernah dilakukan
2 : jarang dilakukan
3 : kadang dilakukan
4 : sering dilakukan
5 : selalu dilakukan

NIC : Teaching ;Disease Process


1

Intervensi :

1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang


proses penyakit.
2. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit.
3. Gambarkan proses penyakitnya.
4. sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara
tepat.
5. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan. (Imania, 2017)
1

BAB II

PEMBAHASAN

A. DIABETES MELITUS
1. DEFINISI DIABETES MELITUS
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik
yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah(hiperglikemia)
akibat kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit atau gangguan
metabolik dengan karakteristik hipeglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi urin, kerja insulin, atau kedua-duanya. (Smeltzer, S.C dan B,
2015)
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika
pankreas tidak cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak
efisien menggunakan insulin itu sendiri. Insulin adalah hormon yang
mengatur kadar gula darah. Hiperglikemia atau kenaikan kadar gula
darah, adalah efek yang tidak terkontrol dari diabetes dan dalam waktu
panjang dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem
tubuh, khususnya pada pembuluh darah jantung (penyakit jantung
koroner), mata (dapat terjadi kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal).
Diabetes Mellitus (kencing manis) adalah suatu penyakit dengan
peningkatan glukosa darah diatas normal. Dimana kadar diatur
tingkatannya oleh hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas
(Shadine, 2010)
2. ETIOLOGI
Menurut (Smeltzer, S.C dan B, 2015) Diabetes Melitus dapat
diklasifikasikan kedalam 2 kategori klinis yaitu:
a. Diabetes Melitus tergantung insulin (DM TIPE 1)
1. Genetik
Umunya penderita diabetes tidak mewarisi diabetes type 1
namun mewarisi sebuah predisposisis atau sebuah
kecendurungan genetik kearah terjadinya diabetes type 1.
Kecendurungan genetik ini ditentukan pada individu yang
memiliki type antigen HLA (Human Leucocyte Antigen)
tertentu. HLA ialah kumpulan gen yang bertanggung jawab
1

atas antigen tranplantasi & proses imunnya. (Smeltzer, S.C


dan B, 2015)
2. Imunologi
Pada diabetes type 1 terdapat fakta adanya sebuah respon
autoimum. Ini adalah respon abdomal dimana antibodi terarah
pada jaringan normal tubuh secara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya sebagai jaringan asing. (Smeltzer,
S.C dan B, 2015)
3. Lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta. (Smeltzer, S.C dan B, 2015)

b. Diabetes melitus tidak tergantung insulin (DM TIPE II)


Menurut (Smeltzer, S.C dan B, 2015) Mekanisme yang tepat yang
menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di
atas 65 thn)
b) Obesitas
c) Riwayat keluarga

3. MANIFESTASI KLINIS
Menurut (PERKENI, 2015) , penyakit diabetes melitus ini pada
awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari penderita. Tanda
awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing
manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah,
dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160-180
mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung
gula (glucose),sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut.
Menurut PERKENI gejala dan tanda tanda DM dapat digolongkan
menjadi 2 yaitu:
1) Gejala akut penyakit DM
1

Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap, bahkan mungkin tidak


menunjukan gejala apapun sampai saat tertentu. Pemulaan gejala
yang ditunjukan meliputi:
a) Lapar yang berlebihan atau makan banyak(poliphagi)
Pada diabetes,karena insulin bermasalah pemaasukan
gula kedalam sel sel tubuh kurang sehingga energi yang dibentuk
pun kurang itun sebabnya orang menjadi lemas. Oleh karena itu,
tubuh berusaha meningkatkan asupan makanan dengan
menimbulkan rasa lapar sehingga timbulah perasaan selalu ingin
makan
b) Sering merasa haus(polidipsi)
Dengan banyaknya urin keluar, tubuh akan kekurangan air
atau dehidrasi.untu mengatasi hal tersebut timbulah rasa haus
sehingga orang ingin selalu minum dan ingin minum manis,
minuman manis akan sangat merugikan karena membuat kadar
gula semakin tinggi.

c) Jumlah urin yang dikeluarkan banyak(poliuri)


Jika kadar gula melebihi nilai normal , maka gula darah
akan keluar bersama urin,untu menjaga agar urin yang keluar,
yang mengandung gula,tak terlalu pekat, tubuh akan menarik air
sebanyak mungkin ke dalam urin sehingga volume urin yang
keluar banyak dan kencing pun sering.Jika tidak diobati maka
akan timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan
mulai berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10
kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah dan bila tidak lekas
diobati, akan timbul rasa mual (PERKENI, 2015)
2) Gejala kronik penyekit DM
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM (PERKENI,
2015) adalah:
a) Kesemutan
b) Kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum
c) Rasa tebal dikulit
d) Kram
e) Mudah mengantuk
1

f) Mata kabur
g) Biasanya sering ganti kaca mata
h) Gatal disekitar kemaluan terutama pada wanita
i) Gigi mudah goyah dan mudah lepas
j) Kemampuan seksual menurun
k) Dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian
janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari
4kg

4. PATOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer,Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe I terdapat
ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel sel beta
prankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.Hiperglikemi puasa
terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping
glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dihati meskipun
tetap berada dalam darah menimbulkan hiperglikemia prospandial.jika
kosentrasi glukosa daram darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa
tersebut muncul dalam urine(glikosuria). Ketika glukosa yang berlebihan
dieksresikan kedalam urine,ekresi ini akan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis
ostomik,sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan
mengalami peningkatan dal berkemih(poliurea),dan rasa haus (polidipsi).
(Smeltzer, S.C dan B, 2015)
Difisiensi insulin juga akan menganggu metabilisme protein dalam
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat
mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunan
simpanan kalori. Gejala lainya kelelahan dan kelemahan . dalam keadaan
normal insulin mengendalikan glikogenolisis(pemecahan glikosa yang
tersimpan) dan glukoneogenesis(pembentukan glukosa baru dari asam
asam amino dan subtansi lain).
Namun pada penderita difisiensi insulin,proses ini akan terjadi
tampa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hipergikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk smping
1

pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menganggu


keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebih.
Ketoasidosis yang disebabkan dapat menyebabkan tanda tanda gejala
seperti nyeri abdomen mual, muntah, hiperventilasi ,mafas berbaun
aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan penurunan
kesadaran,koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan
dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan
metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis.
Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering
merupakan komponen terapi yang penting. (Smeltzer, S.C dan B, 2015)
DM tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan
karakteristik utama adalah terjadinya hiperglikemia kronik. Meskipun pula
pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan
yang sangat penting dalam munculnya DM tipe II. Faktor genetik ini akan
berinterksi dengan faktor faktor lingkungan seperti gaya hidup,
obesitas,rendah aktivitas fisik,diet, dan tingginya kadar asam lemak
bebas (Smeltzer, S.C dan B, 2015). Mekanisme terjadinya DM tipe II
umunya disebabkan karena resistensi insulin dan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terkait dengan reseptor khusus pada permukaan
sel.sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel.
Resistensi insulin DM tipe II disertai dengan penurunan reaksi
intra sel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah,harus
terjadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.(Smeltzer, S.C dan
B, 2015).Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel sel B tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadinya
DM tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang berupakan ciri
khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton
yang menyertainya, karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM
1

tipe II, meskipun demikian, DM tipe II yang tidak terkontrol akan


menimbulkan masalah akut lainya seperti sindrom Hiperglikemik
Hiporosmolar Non-Ketotik(HHNK). (Smeltzer, S.C dan B, 2015) Akibat
intoleransi glukosa yang berlangsung lambat(selama bertahun tahun) dan
progesif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalannya
dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan,
iritabilitas, poliuria,polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi
vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi.
(Smeltzer, S.C dan B, 2015)

5. KOMPLIKASI
Secara umum komplikasi diabetes melitus dibagi menjadi 2 yaitu:
 Komplikasi macrovaskular: adalah komplikasi yang mengenai
pembuluh darah arteri yang lebih besar,sehingga menyebabkan
atherosklerosis. Akibat atheroklerosis antara lain timbul penyakit
jantung koroner,hipertensi dan stroke. Komplikasi macrovaskular
yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit
jantung koroner,penyakit pembuluh darah otak,dan penyakit
pembuluh darah perifer. Komplikasi macrovaskular ini sering
terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang umumnya
menderita hipertensi,dislipidemia dan atau kegemukan. (Fowler,
2011)
 Komplikasi microvaskular: komplikasi microvaskular terutama
terjadi pada penderita diabetes melitus tipe-1. Hiperglikemia yang
persisten dan pembentukan protein yang terglikasi menyebabkan
dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan
terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal
inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi
microvaskular,antaralain retinopati,nefropati,dan neuropati.
(Fowler, 2011)
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Aurora(2017) pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi
4 hal yaitu:
 Postprandial dilakukan 2 jam setelah makan atau setelah
minum. Angka diatas 130 mg/dl mengindikasikan diabetes
1

 Hemoglobin glikosilat: Hb1C adalah sebuah pengukuran untuk


menilai kadar gula darah selama 140 hari terakhir. Angka Hb1C
yang melebihi 6,1% menunjukkan diabetes
 Tes toleransi glukosa oral. Setelah berpuasa semalaman
kemudian pasien diberi air dengan 75 gr gula,dan akan diuji
selama periode 24 jam. Angka gula darah yang normal dua jam
setelah meminum cairan tersebut harus <dari 140 mg/dl
 Tes glukosa darah dengan finger stic. Jari ditusuk dengan
sebuah jarum, sample darah diletakkan pada sebuah strip yang
dimasukkan kedalam celah pada mesin
glukometer,pemeriksaan ini digunakan hanya untuk memantau
kadar glukosa yang dapat dilakukan dirumah.
(Rahmasari, 2019)
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan diabetes melitus pada dasarnya berprinsip pada
upaya preventif dari segala macam komplikasi diabetes melitus. Tujuan
dari penatalaksanaan diabetes melitus yaitu menghilangkan
keluhan,gejala,mempertahankan rasa nyaman,dan mencapai glukosa
darah yang stabil. Adapun penatalaksanaan diabetes melitus dibagi atas
4 pilar yaitu:
 Pertama pendidikan kesehatan yang komprehensif sebagai
dukungan bagi penderita diabetes melitus.
 Pengaturan pola makan(diet)dengan cara menjaga keseimbangan
makan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi yang
diperlukan individu serta menekankan ketaatan dalam hal jumlah
makan,jenis makan dan jadwal makan
 Ketiga aktivitas fisik yang teratur 3-4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit.
 Keempat obat farmakologi
(Simatupang, 2020)
1

B. OBESITAS
A. Pengertian
Obesitas adalah berasal dari bahasa Latin obesitas, yang berarti
“lemak atau gemuk” atau dapat diartikan secara pengertian bahasa yakni
kelebihan makanan. Pengertian obesitas atau kegemukan menurut WHO
adalah kondisi medis dimana tubuh kelebihan lemak yang memiliki
akumulasi berefek negatif pada kesehatan, yang menyebabkan
berkurangnya harapan hidup dan atau peningkatan masalah kesehatan.
(Sumbono, 2016)

Kejadian obesitas telah dijelaskan dalam firman Allah SWT. dalam


surah Al – A’raf ayat 31

٣١ - ࣖ ‫ٰي َبن ِْٓي ٰادَ َم ُخ ُذ ْوا ِز ْي َن َت ُك ْم عِ ْندَ ُك ِّل َمسْ ِج ٍد وَّ ُكلُ ْوا َوا ْش َرب ُْوا َواَل ُتسْ ِرفُ ْو ۚا ِا َّن ٗه اَل ُيحِبُّ ْالمُسْ ِرفِي َْن‬

Artinya : “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada
setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan
berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Obesitas juga diartikan yaitu kegemukan atau kelebihan berat


badan yang melampaui berat badan normal, merupakan salah satu
problem kesehatan masyarakat yang mempunyai dampak yang cukup
besar bagi orang-orang tertentu yang mengalaminya, baik dari segi
kosmetika, estetika, yang lebih banyak dikaitkan dengan penampilan
seseorang, dan juga dari segi medis. Obesitas menjadi salah satu faktor
risiko bagi timbulnya beberapa penyakit tertentu yang kadang-kadang
berakibat fatal jika tidak ditanggulangi secara dini. (Sumbono, 2016)

Kegemukan dan obesitas didefenisikan sebagai akumulasi lemak


abnormal atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan. Defenisi
obesitas telah disempurnakan berikut: obesitas dapat didefenisikan
sebagai proses dimana lemak terakumulasi selama jangka waktu yang
panjang karena peningkatan tingkat penyimpanan trigliserida dalam
jaringan adiposa, dan konsekuensi dari makan yang diperlukan
1

berlebihan tetapi sedikit makanan yang diperlukan dengan


menyeimbangkan jumlah energi dialihkan ke penyimpanan. Obesitas
merupakan salah satu faktor risiko penyebab terjadinya penyakit
degeneratif seperti Diabetes Mellitus (DM), Penyakit Jantung Koroner
(PJK) dan Hipertensi. (Sumbono, 2016)

Obesitas adalah keadaan kelebihan lemak dalam tubuh yang


pada umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan, sekitar organ tubuh,
dan kadang- kadang terjadi infiltrasi ke dalam organnya. Seseorang yang
memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat
badannya yang normal dianggap mengalami obesitas. Jika kelebihan
mencapai sekitar 100% disebut superobese, sedangkan obesitas yang
telah menimbulkan kelainan, keluhan, atau gejala penyakit disebut
morbidly obese. Obesitas secara klinis dinyatakan dalam bentuk Indeks
Massa Tubuh (IMT) ≥ 30 kg/m2. (Adriani, Merryana, Wijatmadi, 2012)
B. Etiologi
Etiologi obesitas bersifat multifaktorial, namun penyebab dasarnya
adalah ketidakseimbangan antara kalori yang dikonsumsi dan yang
dikeluarkan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan terjadinya penimbunan
kelebihan energi di sel adiposit sehingga sel tersebut mengalami hipertrofi
dan hiperplasia. Bertambahnya massa lemak tubuh berdampak pada
bertambahnya ukuran sel adiposit (hipertrofi) dan bertambahnya jumlah
sel lemak (hiperplasia) yang berhubungan dengan disfungsi adiposit
intraselular terutama stress pada retikulum endoplasma dan mitokondria.
Hal ini menyebabkan diproduksinya sel adiposit abnormal, asam lemak
bebas/free fatty acid (FFA), dan penanda inflamasi. Makin berat disfungsi
adiposit yang terjadi, makin nyata manifestasi klinis dan komorbiditas
obesitas. (Kumar S, 2016)
Faktor risiko obesitas dapat bersumber dari satu atau lebih dari
faktor-faktor berikut ini: (Bustan, 2015)
1. Genetik
Pada dasarnya gen mempengaruhi komposisi dan distribusi
lemak tubuh. Faktor genetik juga berperan terhadap efisiensi tubuh
dalam metabolisme makanan menjadi energi, dan bagaimana tubuh
membakar energi selama beraktivitas fisik dan berolahraga. Beberapa
1

penyakit keturunan sangat jelas terkait dengan obesitas, yang paling


menonjol antara lain sindrom prader-willi dan sindrom bardet-biedel.
Siswa/ anak yang mengalami obesitas mempunyai latar belakang
bermacam-macam yang mengakibatkan mereka mengalami obesitas,
ditinjau dari faktor keturunan yang ada di dalam keluarga, orang tua
mereka juga menderita obesitas dan memiliki gen yang diturunkan
pada anak mereka sehingga anak tersebut juga mengalami obesitas.
Jika salah satu orangtuanya yang mengalami obesitas, maka
pengaruh terhadap anaknya mempunyai resiko 40% untuk menjadi
obesitas sedangkan jika kedua orangtuanya obesitas, maka anak
tersebut mempunyai peluang besar 80%. Menurut Andini & Indri
(2016), Remaja dengan ayah obesitas lebih banyak mengalami
obesitas sebanyak (60,82%) yang obesitas dan (32,4%) dengan berat
badan normal. Sedangkan remaja yang memiliki ibu obesitas (41,9%)
yang obesitas dan (20,3%) dengan  remaja dengan konsumsi camilan
goreng dibandingkan dengan remaja yang mengkonsumsi camilan
non goreng.

2. Kurang aktivitas fisik


Jika hidup tidak aktif, hanya sedikit kalori yang terbakar. Gaya
hidup sedentery lebih memudahkan untuk mendapatkan masukan
kalori yang lebih banyak, karena kalori yang terbakar lebih sedikit.
Artinya walaupun makan sedikit (kalori masuk rendah), jika kurang
gerak, kelebihan energi tetap bisa terjadi. Tersebar luasnya komputer
dan sarana hiburan elektronik di rumah-rumah mengurangi aktifitas di
luar rumah.

Aktifitas fisik mempengaruhi kejadian obesitas pada murid


sekolah dasar. Kelompok murid yang mempunyai aktifitas fisik ringan
atau dan sedang mempunyai kemungkinan menderita obesitas 2,4
kali dibandingkan kelompok murid yang mempunyai aktifitas fisik
berat.

3. Merokok
Merokok menyebabkan berbagai penyakit, utamanya kanker
paru. Jika berhenti merokok, kenaikan berat badan bisa terjadi.
1

Walaupun demikian, merokok masih lebih tinggi risikonya


dibandingkan berhenti merokok.

4. Lingkungan
Lingkungan hidup manusia pada dasarnya mendukung
kehidupan yang sehat dan bugar. Hanya saja manusia kurang mampu
mengelola lingkungan secara bersahabat, sehingga lingkungan
berubah menjadi faktor risiko kegemukan. Faktor lingkungan  (pola
makan dan aktifitas fisik) memiliki hubungan yang bermakna antara
faktor lingkungan dengan tingkat obesitas pada anak sekolah di
Sekolah Dasar Kartika XIV-I Lampriet Banda Aceh.

Lingkungan yang berpengaruh terhadap obesitas yaitu:

a. Lingkungan fisik
1) Kurang tersedianya alur jalan kaki disekitar rumah dan tempat
terbuka yang aman untuk kegiatan olahraga.
2) Tidak tersedianya area parking, trotoar, alur jalan kaki/trails
dan tempat gym yang murah menyebabkan orang kesulitan
dalam melakukan aktivitas fisik.
3) Jadwal kerja yang padat menjadi alasan seseorang tidak
punya waktu untuk olahraga, karena jam kerja yang panjang
dan habis diperjalanan.
4) Ketersediaan makanan yang berlebih. Lingkungan dengan
ketersediaan makanan dimana-mana, seperti restauran
umum, kedai cepat saji, stasiuon bensin, bioskop,
supermarket, merupakan lingkungan yang memungkinakan
orang makan berlebih. Jika ini berlanjut atau menjadi perilaku
tetap, akan berakhir dengan obesitas karena energi masuk
lebih besr dari energi keluar.
5) Lingkungan yang terdapat berbagai macam promosi iklan/
reklame makanan yang tidak mendidik seperti makanan yang
tinggi kalori tinggi, high-fats nacks and sugary drink.
 
1

b. Faktor Sosial ekonomi.


Secara sosial seseorang banyak berteman dan bergaul
dengan orang-orang gemuk, dikatakan mempunyai kemungkinan
lebih besar juga untuk menjadi gemuk. Dari segi ekonomi,
masyarakat yang kaya cenderung mengalami kegemukan karena
mampu membeli makan yang berlebih. Kaya miskin bisa diserang
kegemukan, yang kaya karena makan berlebih, dan yang miskin
karena makanan yang tidak berkualitas, khususnya kelebihan
lemak.

Faktor ekonomi berkaitan dengan ketidaktauhan dan


ketidakmampuan memilih makanan yang sehat, atau tidak mampu
memasak makanan sehat, atau tidak punya cukup uang untuk
membeli makanan sehat. Obesitas terjadi karena masyarakat
lebih cenderung memakan makanan yang kurang berkualitas
karena proporsi lemak yang berlebi dan tidak sehat.

5. Budaya Makan
Budaya sangat berpengaruh terhadap status gizi seseorang
karena termasuk nilai, sikap, kebiasaan yang dipelajari dan diperoleh
seseorang dari kecil. Banyak orang ketika lapar tidak mengkonsumsi
bahan makanan yang bergizi sebagai makanan karena alasan
agama, pantangan, dan kepercayaan.

6. Iklan/Media
Media memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap pola
makan anak – anak. Oleh karena itu pengaturan mengenai media,
terutama media massa seprti televisi perlu diawasi oleh pemerintah.
Secara keseluruhan, tujuan dari iklan adalah untuk mengajak
konsumen untuk membeli barang atau jasa. Anak – anak memiliki
kemampuan kognitif yang terbatas dan sangat mudah berpikir bahwa
makanan dan minuman yang berada di iklan adalah makanan dan
minuman sehat. Remaja dan Anak yang cenderung menggunakan
gadget sehari-hari membutuhkan lebih banyak aktivitas fisik,
(Lamboglia et a,l 2013). Anak yang terpapar iklan televisi sering
1

cenderung berisiko mengalami obesitas dibandingkan dengan anak


yang jarang terpapar iklan televisi.

7. Faktor Psikologis
Faktor psikologi berhubungan dengan kurang tidur malam dan
faktor emosi (bosan, marah, tegang) bisa mendorong overeating yang
berakhir dengan obesitas.

C. Manifestasi Klinis
Seseorang yang menderita obesitas biasanya mudah dikenali,
terutama pada anak-anak. Ciri yang khas pada obesitas diantaranya
adalah wajah membulat, pipi
tembem, dagu rangkap, leher pendek, payudara membesar karena
adanya deposit lemak, kedua tungkai membentuk X serta pangkal paha
bergesekan dan menempel yang akan menimbulkan ulserasi, dan perut
yang membuncit. Pada anak laki-laki penis terlihat kecil karena tertutup
oleh jaringan lemak. (Hari, 2015)

Distribusi lemak pada obesitas juga mempengaruhi bentuk fisik


seseorang yang menderitanya.Pada obesitas terdapat 3 bentuk distribusi
lemak yaitu apple shape body (android), pear shape body (gynoid), dan
intermediate.Pada apple shape body, distribusi lemak cenderung
bertumpuk pada bagian atas tubuh (dada dan pinggang), bentuk tubuh
seperti ini juga beresiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskular,
hipertensi dan diabetes. Pear shape body distribusi lemak cenderung
lebih banyak pada bagian bawah (pinggul dan paha).Sedangkan bentuk
tubuh intermediate lemak terdistribusi ke seluruh bagian tubuh secara
hampir merata. (Hari, 2015)

D. Patofisiologi
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran
kalori dari tubuh serta penurunan aktivitas fisik (sedentary life style) yang
menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh. Penelitian
yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu makan dan
tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan
1

humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik,


nutrisi,lingkungan, dan sinyal psikologis. Pengaturan keseimbangan
energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu
pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran
energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan
penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat
di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan
adiposa, usus dan jaringan otot. (Sherwood, 2012)

Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar


serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik
(anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2
kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek
mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan
dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang
diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam
peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived
hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan
keseimbangan energi. (Sherwood, 2012)

Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka


jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin
dalam peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang
anorexigeniccenter di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro
Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula
sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka
jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic
center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan.
Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga
tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan.
(Sherwood, 2012)

E. Komplikasi
Obesitas yang muncul pada anak dan remaja meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas pada usia dewasa muda dan dapat berlajut
1

menjadi obesias pada usia dewasa. Obesitas pada anak menjadi faktor
risiko beberapa penyakit seperti kardiovaskular, diabetes mellitus tipe 2,
hipertensi, hiperlipidemia, non alcoholic fatty liver disease (NAFLD),
pubertas dini, haid yang tidak teratur dan sindrom ovarium polikistik,
steatohepatitis, sleep apnea, asma, gangguan muskuloskeletal, dan
masalah psikologi seperti depresi. (Kementrian Kesehatan RI, 2012)

Resistensi insulin meningkat seiring dengan meningkatnya


jaringan adiposa dan secara tidak langsung memiliki efek terhadap
metabolise lipid dan kesehatan kadiovaskular. NAFLD terjadi 10-25%
remaja obesitas. NAFLD dapat muncul dengan fibrosis berat atau
steatohepatitis alkohol dan dapat menyebabkan sirosis dan karsinoma
hepatoseluler. NAFLD berkaitan secara tidak langsung dengan penyakit
kardiovaskular. Anak obesitas memiiki risiko tinggi mengalami
prediabetes, dislipidemia, steatosis hati, dan hipertensi. Anak laki-laki
cenderung memiliki profil risiko metabolisme dan kardiovaskular yang
lebih buruk dan komorbiditas yang lebih tinggi dibandingkan anak
perempua. (Kementrian Kesehatan RI, 2012)

Beberapa komplikasi mekanik dari obesitas seperti obstructive


sleep apnea dan gangguan orthopedi. Komplikasi orthopedi termasuk
penyakit Blount dan slipped femoral capital epiphysis. Komplikasi
psikologikal pada anak obesitas seperti ansietas, depresi, kurang percaya
diri, tanda-tanda depresi, memburuknya prestasi sekolah, isolasi sosial,
masalah dengan intimidasi atau ditindas. (Kementrian Kesehatan RI,
2012)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk obesitas mencakup pemeriksaan
dasar (profil lipid dan fungsi hepar) dan pemeriksaan klinis yang sesuai
dengan indikasi (Kementrian Kesehatan RI, 2018)
1. Profil Lipid
Hasil pemeriksaan profil lipid yang mencakup kadar kolesterol puasa,
trigliserida, high-density lipoprotein cholesterol (HDL-C) pada pasien
obesitas dapat normal atau termasuk dislipidemia tipikal terkait
1

sindrom kardiometabolik yang ditandai dengan berkurangnya HDL-C


dan meningkatnya trigliserida puasa. Peningkatan low-density
lipoprotein cholesterol (LDL-C) dan kadar kolesterol total yang normal
atau sedikit meningkat juga tidak jarang ditemui pada obesitas.

2. Fungsi Hepar
Fungsi hepar dapat ditemukan normal pada sebagian pasien
obesitas. Namun, adanya peningkatan kadar transaminase dapat
mengindikasikan kondisi steatohepatitis non alkoholik atau
infiltrasi fatty liver.

3. Fungsi Tiroid
Pemeriksaan fungsi tiroid digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan hipotiroid primer yang ditandai dengan peningkatan
serum tirotropin (Thyroid-Stimulating Hormone/TSH), kadar tiroksin,
dan/atau triiodothyronine normal atau berkurang.

4. Fungsi Ginjal
Pemeriksaan fungsi ginjal berupa ureum, kreatinin dan asam urat.

5. Pemeriksaan Gula Darah dan Kadar Insulin


Setiap pasien dengan obesitas harus diskrining untuk diabetes.
Pemeriksaan kadar glukosa darah dan HbA1c merupakan skrining
rutin pada pasien obesitas. Peningkatan serum insulin dan C-
peptide juga dapat ditemukan pada pasien obesitas tetapi jarang
digunakan untuk pemeriksaan skrining.

6. Pemeriksaan Pendukung Lain


Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk evaluasi sistem organ
terkait komorbiditas.
a. Sistem respirasi: pencitraan adenoid (pada anak yang
obesitas), sleep study seperti polisomnografi (untuk
mendeteksi apnea hypopnea index)
1

b. Sistem gastrohepatologi: USG untuk menilai


kolelitiasis/kolesistitis, steatohepatitis non alkoholik, biopsi hati
(jarang dilakukan, kecuali ada temuan khusus pada pencitraan)
c. Sistem endokrinologi: USG ovarium untuk menilai sindrom
polikistik ovarium,  pemeriksaan hormon seks steroid (testosteron,
estradiol, dehydroepiandrosterone sulfate/DHEAS,
androstenedion), pemeriksaan terkait
peningkatan adrenocorticotropic hormone/ACTH, kortisol bebas
urin 24 jam, serta kadar kortisol plasma setelah tes supresi
deksametason dosis tinggi, kadar ACTH plasma, CT-scan/MRI
kepala (apabila ada gangguan kadar hormon yang
mengindikasikan kelainan pada pituitary)
d. Sistem saraf: funduskopi (untuk skrining pada obesitas remaja
yang mengalami diplopia atau gangguan penglihatan lain).

7. Pencitraan
Pencitraan pada obesitas dapat melalui modalitas seperti Dual-
energy radiographic absorptiometry (DEXA), magnetic resonance
imaging (MRI) dan computed tomography(CT) untuk penghitungan
lemak viseral.
DEXA dapat diindikasikan untuk mengukur lemak dan massa tubuh
regional maupun  seluruh tubuh pada pasien dengan
overweight/obese dan/atau dengan faktor komorbid lain yang dapat
mempengaruhi bone mass density.
DEXA dapat mengukur jumlah semua elemen lemak jaringan lunak,
namun tidak dapat membedakan jaringan adiposa, sehingga tidak
dapat digunakan untuk membandingkan jumlah lemak viseral
(visceral adipose tissue/VAT) dan lemak subkutan (subcutaneous
adipose tissue/SAT).
CT-scan dapat membedakan jaringan adiposa dan non-adiposa, akan
tetapi memiliki dampak paparan radiasi yang lebih besar. MRI juga
dapat digunakan dalam menilai jaringan adiposa, namun sensitivitas
yang rendah serta cenderung membutuhkan waktu lama untuk
pemeriksaan dan analisisnya membuat penggunaan modalitas ini
menjadi lebih terbatas.
1

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan obesitas meliputi modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa hingga pembedahan. (Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2014)
1. Modifikasi Gaya Hidup
Penatalaksanaan modifikasi gaya hidup berupa konseling,
perubahan diet, aktivitas fisik, dan terapi perilaku diindikasikan pada
IMT ≥ 25 kg/m2.
a. Konseling
Konseling pada obesitas dianjurkan ≥14 kali sesi baik secara
individual maupun grup dalam jangka waktu 6 bulan, dilanjutkan
setiap bulan atau bisa lebih sering dalam ≥ 1 tahun masa
pemeliharaan.
b. Diet
Pengaturan diet direncanakan sesuai dengan kebutuhan individu,
pengurangan kalori dapat sebesar sekitar 500-1000 kkal/hari,
disertai aktivitas fisik yang teratur, penurunan berat badan
sebaiknya tidak lebih dari 0,5- 1 kg seminggu, dengan target
penurunan berat badan 5-10% dari berat badan
awal. Pembatasan diet pada kelompok makanan tertentu (seperti
protein, lemak, karbohidrat) tidak memberikan manfaat jangka
panjang dan dapat berisiko defisiensi mikronutrien.
Pada anak, pengaturan diet seimbang sesuai dengan kebutuhan
kalori yang diperoleh dari hasil perkalian antara kebutuhan kalori
berdasarkan requirement daily allowances (RDA) menurut height
age dengan berat badan ideal menurut tinggi badan.
c. Pengaturan Diet pada Anak Obesitas
Pengaturan diet pada anak obesitas dilakukan dengan diet
seimbang (komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 30%, dan protein
cukup untuk tumbuh kembang normal 15-20%). Penjadwalan
makan juga penting dilakukan dengan makanan besar 3x/hari dan
camilan 2x/hari yang terjadwal dengan camilan diutamakan dalam
bentuk buah segar.
Feeding rules perlu diterapkan dalam pengaturan diet anak,
seperti berikut :
1

1) Di antara jadwal makan utama dan camilan hanya boleh


diberikan air putih,
2) Lama makan 30 menit/kali
3) Ciptakan lingkungan netral dengan cara tidak memaksa anak
4) Berikan bentuk dan jenis makanan harus dapat diterima anak
5) Tidak dipaksa mengonsumsi makanan yang tidak disukai

Pengurangan kalori sekitar 200-500 kalori per hari dengan target 


penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. Penurunan berat
badan ditargetkan sampai mencapai kira-kira 20% di atas berat
badan ideal atau cukup dipertahankan agar tidak bertambah
karena pertumbuhan linier masih berlangsung.

d. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik dewasa dapat dimulai dengan meningkatkan
aktivitas fisik setidaknya selama 30 menit intensitas sedang atau
berat sekitar 5 hari atau lebih dalam satu minggu. Aktivitas dalam
satu sesi atau beberapa sesi yang berlangsung 10 menit atau
lebih. Pasien obesitas yang sudah mengalami penurunan berat
badan perlu melakukan aktivitas fisik 60-90 menit sehari untuk
mencegah pertambahan berat.
Aktivitas fisik anak dapat disesuaikan dengan tingkat
perkembangan motorik, kemampuan fisik, dan umur. Pada anak
berusia usia sekolah dapat memulai aktivitas fisik dengan
keterampilan otot seperti bersepeda, berenang, menari, karate,
senam, sepak bola, dan basket.
Aktivitas sehari-hari juga dapat dioptimalkan seperti berjalan kaki
atau bersepeda ke sekolah atau tempat kerja, menempati kamar
tingkat agar naik dan turun tangga, mengurangi lama menonton
televisi atau bermain games di komputer, dan menganjurkan anak
bermain di luar rumah.
e. Terapi Perilaku
Terapi perilaku dilakukan untuk mengurangi hambatan dalam
mengurangi berat badan, seperti kebiasaan makan yang
berlebihan, pilihan makanan yang berlemak, atau kebiasaan
1

makan berlebihan saat malam hari, serta kebiasaan aktivitas


sedenter yang menetap.
Strategi yang dapat digunakan untuk terapi perilaku antara lain
monitoring mandiri terhadap kebiasaan dan kemajuan, kontrol
stimulus, menetapkan tujuan, mengurangi kecepatan makan,
memastikan dukungan sosial, pemecahan masalah, ketegasan,
restrukturisasi kognitif, penguatan perubahan, pencegahan relaps,
dan strategi mengatasi berat badan yang kembali meningkat.

2. Medikamentosa
Medikamentosa dapat ditambahkan pada pasien obesitas
dengan IMT ≥30 kg/m2 atau IMT ≥27 kg/m2 yang disertai dengan
penyakit yang berhubungan dengan obesitas. Obat yang telah
disetujui Food and Drug Administration (FDA) untuk kasus ini antara
lain orlistat, phentermine, lorcaserin, liraglutide, dietilpropion,
phentermine/topiramate, naltrexone/bupropion, phendimetrazine.
a. Orlistat
Orlistat biasanya menjadi pilihan pertama karena mempunyai efek
sistemik yang lebih sedikit. Obat ini merupakan inhibitor lipase
intestinal, yang mengakibatkan malabsorpsi lemak yang diinduksi
obat, sehingga mampu menurunkan berat badan hingga 9-10%
pada 12 bulan disertai modifikasi gaya hidup.
Efek samping utama obat ini dapat berupa gangguan sistem
gastrointestinal, seperti diare dan flatulensi. Multivitamin harian
direkomendasikan untuk mencegah defisiensi vitamin.
Penggunaan bersamaan dengan obat-obatan seperti siklosporin,
amiodaron dan warfarin dapat mengurangi efektivitas orlistat.
Orlistat dapat digunakan mulai dari usia di atas 12 tahun.
b. Phentermine
Phentermine adalah obat golongan simpatomimetik yang dapat
menekan nafsu makan. Pada umumnya, obat ini digunakan untuk
terapi jangka pendek. Masih sedikit studi yang meneliti tentang
penggunaan jangka panjang obat ini  sehingga belum ada data
yang cukup untuk menunjukkan efektivitas dan keamaanan dalam
penggunaan jangka panjang (>12 minggu). Efek
1

samping phnetermine berupa mulut kering, insomnia, konstipasi,


serta potensi penyalahgunaan obat.
Phentermine dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan
kardiovaskular, anxiety disorder, hipertiroidisme, riwayat
penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, penggunaan
bersamaan dengan monoamine oxidase inhibitor, serta kehamilan
dan menyusui. Namun, obat ini belum tersedia di Indonesia.
c. Lorcaserin 
Lorcaserin adalah agonis reseptor serotonin selektif yang dapat
menyebabkan rasa kenyang, hipofagia, hingga terjadi penurunan
berat badan. Sebuah studi menunjukkan bahwa kombinasi
lorcaserin dan diet hipokalori menghasilkan penurunan berat
badan yang lebih besar dibandingkan dengan plasebo.
Penghentian obat ini direkomendasikan jika penurunan berat
badan <5% setelah 12 minggu. Monitor gejala toksisitas serotonin
dan penyakit katup jantung perlu dilakukan apabila mengonsumsi
obat ini.
d. Liraglutide
Liraglutide merupakan reseptor glucagon-like peptide-1 (GLP-1)
agonis. Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan injeksi subkutan.
Dosis umum yang digunakan untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah
1,8 mg dan pada dosis lebih tinggi digunakan untuk obesitas yaitu
3,0 mg.
Efek samping paling umum dari liraglutideadalah gangguan sistem
gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, konstipasi, dan
dispepsia. Beberapa kasus dapat berkembang menjadi batu
empedu dan pankreatitis. Liraglutide tidak dianjurkan pada
insufisiensi ginjal berat, insufisiensi hepar, kehamilan, riwayat
pankreatitis, depresi berat, dan kelainan psikiatri.
e. Pengobatan pada Pasien Obesitas dengan Diabetes Mellitus Tipe
2
Pada pasien obesitas dengan diabetes mellitus tipe 2 disarankan
untuk menggunakan obat antidiabetik yang memiliki efek
tambahan untuk meningkatkan penurunan berat badan seperti
analog glucagon-like peptide-1 (GLP-1) atau sodium-glucose-
1

linked transporter-2 (SGLT-2) inhibitor, sebagai pendamping terapi


lini pertama untuk diabetes mellitus tipe 2 dan obesitas, yaitu
metformin.
Pasien yang memerlukan terapi insulin, disarankan diterapi
dengan setidaknya 1 dari obat berikut: metformin, pramlintide,
atau agonis GLP-1 untuk mengurangi kenaikan berat badan terkait
insulin. Insulin lini pertama untuk pasien jenis ini haruslah insulin
basal. Kombinasi ini lebih baik daripada menggunakan insulin saja
atau insulin dengan sulfonylurea.
f. Pengobatan Hipertensi pada Pasien Obesitas dengan Diabetes
Mellitus Tipe II
Terapi lini pertama untuk mengobati hipertensi pada pasien
obesitas dengan diabetes mellitus tipe 2 adalah obat
golongan angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin receptor blockers (ARB),
dan calcium channel blockers.
g. Obat-obat Lain
Obat-obatan lain telah terbukti mempunyai manfaat dalam
menurunkan berat badan seperti metformin dan hydrogel. Namun,
pemakaian obat ini untuk menurunkan berat badan belum disetujui
oleh FDA.

3. Pembedahan
Pembedahan merupakan salah satu pilihan terapi untuk
menurunkan berat badan. Indikasi untuk tindakan pembedahan
bariatrik adalah indeks massa tubuh (IMT) > 40 atau IMT > 35 yang
disertai komorbiditas terkait berat badan, riwayat manajemen berat
badan secara medis sebelumnya, tidak ada kontraindikasi psikologis,
dan harapan hidup lebih dari 5 tahun.

Khusus pada anak dan remaja juga diperhatikan tingkat


maturitas tulang (≥ 13 tahun pada wanita dan ≥15 tahun pada pria). Di
antara tindakan pembedahan yang sering dilakukan pada obesitas
antara lain laparoscopic adjustable gastric banding(LAGB), Roux-en-
Y gastric bypass (RYGB) dan sleeve gastrectomy (SG).
1

Follow-up pasca bedah setidaknya dilakukan minimal selama


2 tahun untuk memantau asupan nutrisi (termasuk protein dan
vitamin) dan defisiensi mineral, komorbiditas, pengobatan, aktivitas
fisik, dukungan psikologis, informasi tentang kelompok profesional
atau dukungan sebaya.

C. KURANG KALORI PROTEIN (KKP)

A. Pengertian
Kekurangan kalori dan protein adalah karakteristik pada pasien
dengan nafiu makan menurun sebagai efek sekunder dari imobilitas.
Tubuh secara konstan mensintesis protein dan menguraikannya menjadi
awam amino untuk membentuk protein lain. Ketika pasien tidak bergerak,
tubuhnya sering mengeluarkan lebih banyak nitrogen (produk akhir dari
pemecahan astm amino) daripada yang dicerna dalam protein,
menyebabkan keseimbangan nitrogen yang negatil. Penurunan berat
hadan, penurunan massa olot, dan kelemahun adalah akibat dari
katabolisme jaringan (kerusakan jaringan). (Enie Novieastari, Kusman
Ibrahim, 2019)
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi
yan g disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam
makanan seharihari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.
Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada
pemeriksaan hanya tampak kurus. (Rahmawati, 2019)

Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi


yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam
makanan seharihari sehingga tidak memenuhi an gka kecukupan
gizi. (Rahmawati, 2019)

B. Etiologi
Penyebab langsung KEP adalah defisiensi kalori maupun protein
dengan berbagai gejala, sedangkan penyebab tidak langsung KEP
1

sangat banyak, sehingga penyakit ini sering disebut juga dengan kausa
multifaktorial. satu penyebabnya adalah keterkaitan dengan waktu
pemberian ASI dan makanan tambahan setelah disapih. (Lili Asranti
Lestari, 2018)

Selain itu, KEP merupakan penyakit lingkungan, karena ada


beberapa faktor yang bersama-sama berinteraksi menjadi penyebab
timbulnya penyakit ini, antara lain faktor diet, faktor sosial, kepadatan
penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain. Peran diet menurut konsep
klasik terdiri dari dua konsep. Konsep pertama adalah diet yang
mengandung cukup energi, tetapi kurang protein, schingga anak menjadi
penderita kwasiorkor. Konsep kedua adalah diet kurang energi, walaupun
zat gizi (esensial) seimbang. akan menyebabkan marasmus. Peran faktor
sosial, seperti pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu
yang sudah turun-temurun, dapat memengaruhi terjadinya KEP. Ada
pantangan berdasarkan agama, tetapi ada juga pantangan berdasarkan
tradisi yang sudah turun-temurun. Jika pantangan tersebut berdasarkan
agama, akan sulit untuk diatasi. Jika pantangan berdasarkan pada
kebiasaan atau tradisi, dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan
dengan terus-menerus, akan dapat diatasi. (Lili Asranti Lestari, 2018)

Salah satu penyebab marasmus adalah kehamilan berturut-turut


dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini. Selain itu, marasmus
juga disebabkan oleh pemberian makanan tambahan yang tidak
terpelihara kebersihannya serta susu buatan yang terlalu encer yang
jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga
kandungan protein dan kalori pada makanan anak menjadi rendah.
Keadaan perumahan dan lingkungan yang kurang sehat juga dapat
menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan kurang bersih. Demikian
juga dengan penyakit infeksi, terutama saluran pencernaan. Pada
keadaan lingkungan yang kurang schat dapat terjadi infeksi yang
berulang, schingga menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh dan zat-
zat gizi. Akibatnya, anak menjadi kurus serta turun berat badannya. (Lili
Asranti Lestari, 2018)
1

Kwasiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah


mendapatkan ASI dalam jangka waktu lama, kemudian disapih dan
langsung diberi makan. Makanan yang diberikan pada umumnya adalah
rendah protein. Kebiasaan makan yang kurang baik dan diperkuat
dengan adanya tabu, seperti anak-anak dilarang makan ikan dan
memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi anggota keluarga
laki-laki yang lebih tua, dapat menyebabkan terjadinya kwasiorkor. Selain
itu, tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga dapat mengakibatkan
terjadinya kwasiorkor karena berhubungan dengan rendahnya tingkat
pengetahuan ibu tentang gizi. (Lili Asranti Lestari, 2018)

Penyebab langsung KEP adalah asupan gizi dan penyakit infeksi.


Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga
karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik, tetapi
sering menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi.
Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan
mutunya), daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan
demikian, anak akan mudah diserang infeksi sehingga akan mengurangi
nafsu makan, kemudian dapat menderita kurang gizi atau gizi buruk. (Lili
Asranti Lestari, 2018)

Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat


keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan
kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household food
security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik
jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan
keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan
dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-
baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan
kesehatan lingkungan meliputi tersedianya air bersih dan sarana
pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan. Ketiga faktor tersebut saling berhubungan. Selain itu,
ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan,
dan keterampilan keluarga. Semakin tinggi pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan, kemungkinan semakin baik tingkat ketahanan pangan
1

keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, demikian juga sebaliknya.
(Lili Asranti Lestari, 2018)

C. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang ditemukan adalah anak tampak kurus. Gejala klinis
berat atau gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai
marasmus, kwasiorkor, atau marasmik-kwasiorkor. Tanpa mengukur
berat badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah
KEP berat gizi buruk tipe kwasiorkor. (Lili Asranti Lestari, 2018)

1. Marasmus Kata "marasmus" berasal dari bahasa Yunani yang


artinya 'kurus kering'. Marasmus merupakan defisiensi intake
energi yang umumnya terjadi anak-anak sebelum 18 bulan karena
terlambat diberi makanan tambahan. Hal ini terjadi karena
penyapihan mendadak, formula pengganti ASI yang terlalu encer
dan tidak higienis, atau sering terkena infeksi, terutama
gastroentritis. Penyakit ini sering terjadi pada masyarakat kelas
sosial ekonomi yang relatif rendah.
Adapun gejala yang ditimbulkan adalah:

a. Keterlambatan pertumbuhan yang parah


b. Kurus sehingga hampir tidak ada lemak di bawah kulit
c. Otot-otot berkurang dan melemah
d. Rambut jarang dan tipis
e. Kulit keriput dan tidak elastis
f. Wajah seperti orang tua
g. Cengeng dan rewel
h. Perut cekung
i. Iga gambang
j. Sering terjadi dehidrasi, infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA), tuberkulosis, cacingan berat, dan penyakit kronis
lainnya serta
k. Sering disertai defisiensi vitamin A dan D.
2. Kwasiorkor Kata "kwarshiorkor" berasal dari bahasa Ghana
yang artinya 'penyakit yang terjadi ketika bayi berikutnya lahir'.
Istilah "kwarshiorkor" pertama diperkenalkan oleh Dr. Cecile
1

Williams pada 1933. Penyakit ini lebih banyak diderita pada anak
berumur 2-3 tahun, tepatnya terjadi pada anak yang terlambat
disapih. Hal ini menyebabkan komposisi makanan, terutama
makanan yang mengandung protein, kurang dikonsumsi. (Lili
Asranti Lestari, 2018)

Adapun gejala yang ditimbulkan adalah:

a. Ocdema (pembengkakan), moonface, dan gangguan


psikomotor
b. Anak menjadi apatis, tidak mau makan, dan suka
merengek
c. Kulit dan rambut mengalami depigmentas, kulit bersisik
d. Hati membesar dan berlemak
e. Sering mengalami anemia dan xeroftamia
f. Pandangan mata sayu
g. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata diperiksa pada posisi
berdiri atau duduk
h. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas
dan berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan
terkelupas serta
i. Sering discrtai penyakit infeksi (umumnya akut), anemia,
dan diare. Marasmus-kwarsiorkor
3. Marasmus-kwarsiorkor Marasmus-kwarsiorkor merupakan
gabungan dari marasmus dan kwasiorkor. Tanda-tandanya adalah
gejala dari keduanya, dengan BB/U 60% baku median WHO-
NCHS, disertai edema yang tidak mencolok. (Lili Asranti Lestari,
2018)
D. Patofisiologis
Adapun energi dan protein yang diperoleh dari makanan
kurang, padahal untuk kelangsungan hidup jaringan, tubuh
memerlukan energi yang didapat, dipengaruhi oleh makanan yang
diberikan sehingga harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga cada
ngan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi
tersebut. Kekurangan energi protein dalam makanan yang dikonsumsi
akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino essensial yang
1

dibutuhkan untuk sintesis, oleh karena dalam diet terdapat cukup


karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat dan sebagai
asam amino di dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut
akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum
merupakan penyebab kurangnya pembentukan alkomin oleh heper,
sehingga kemudian timbul edema, perlemahan hati terjadi karena
gangguan pembentukan lipo protein beta sehingga transport lemak
dari hati ke hati dapat lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi
akumuasi lemak dalam heper. (Rahmawati, 2019)
E. Komplikasi
Komplikasi Malnutrisi Energi Protein

Ada beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat malnutrisi energi


protein (kwashiorkor dan marasmus), yaitu:

● Hipotermia (penurunan suhu tubuh)


● Anemia dan hipoglikemia (penurunan kadar gula darah)
● Ensefalopati (kerusakan jaringan otak)
● Gangguan fungsi organ, seperti gagal ginjal dan penyakit jantung
● Gagal tumbuh atau stunting pada anak
● Gangguan belajar
● Koma. (Dr. Amanda, 2020)

F. Pemeriksaan diagnotis
Penilaian antropometri merupakan salah satu bagian pemeriksaan
yang tidak terpisahkan dari rangkaian penilaian status gizi. Antropometri
sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan beberapa parameter
seperti umur,berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar
kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit.
Penilaian biokimiawi merupakan salahsatu metoda kuantitatif
untukmengevaluasi status nutrisi. Penilaiansecara biokimiawi meliputi
pemeriksaanlaboratorium terhadap protein serum, lipidserum,mikronutrien
serum, danpemeriksaan spesifik lain untukmengidentifikasi keadaan
defisiensi zatnutrisi tertentu. (Irdina Rauza & Meizly Andina, 2017)
1

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan malnutrisi energi


protein adalah sebagai berikut:

1. Lakukan pengaturan makanan dengan berbagai tahap, seperti


tahap penyesuaian yang dimulai dengan pemberian kalori sebesar
50 kalori/kgBB/hari dan cairan 200 ml/kgBB/ hari pada anak
dengan kwasiorkor, serta 250 ml/kgBB/hari pada anak dengan
marasmus.
2. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein (3-4 g/kgBB/hari
dan 160-175 g/kgBB/ 2. hari) pada kekurangan energi dan protein
yang berat, serta mineral dan vitamin.
3. Pada bayi dengan berat badan kurang dari 7 kg, berikan susu
yang mengandung rendah laktosa (LLM) dengan cara 1/3 LLM
ditambah glukosa 10% tiap 100 ml susu ditambah g glukolin untuk
mencegah hipoglikemia selama 1-3 hari kemudian pada hari
berikutnya 2/3. Apabila berat badan lebih dari 7 kg, dapat
diberikan makanan dimulai dengan makanan
4. Dehidrasi ringan: 1 jam pertama 25–50 ml/kgBB selanjutnya 125
ml/kgBB/hari.
● Dehidrasi sedang: 1 jam pertama 50-100 ml/KGBB
selanjutnya 125 ml/kgBB/hari.
● Dehidrasi sedang: 1 jam pertama 50-100 ml/KGBB
selanjutnya 125 ml/kgBB/hari.
● Dehidrasi berat: dapat dilihat pada rincian berikut ini.
- Bayi Baru Lahir (Berat Badan 2-3 kg)
Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 mi + 25 ml: 250
ml/kgBB/24 jam dengan pemberian cairan 4: 1 (4
glukosa 5% + 1 NaHCO, 1 4%) dengan cara
pemberian: 4 jam pertama 25 ml/kgBB/jam, 20 jam
berikutnya 150 mnl/KGBB/20 jam.

- Bayi Berat Badan Lahir Rendah (Berat Badan < 2


Kg)
1

Kebutuhan cairan: 250 ml/kgBB/24 jam, pemberian


cairan adalah 4 glukosa 10% + 1 NaHCO, 1 14%,
dengan pemberian 4 jam pertama 25 ml/kgBB/jam,
20 jam berikutnya 150 ml/kgBB/20 jam.

- Usia 1 Bulan-2 Tahun (Berat Badan 3-10 Kg)


Cara pemberiannya adalah 1 jam pertama 40
ml/K8BB/jam kemudian dilanjutkan 7 jam
berikutnya 12 ml/kgBB/menit dan 16 jam kemudian
125 ml/kgBB.

- Usia 2-5 Tahun (Berat Badan 10-15 kg)


Cara pemberiannya adalah 1 jam pertama 30
ml/kgBB/jam kemudian dilanjutkan 7 jam berikutnya
10 ml/kgBB/menit dan 16 jam kemudian 125
ml/KGBB.

- Usia 5-10 Tahun (Berat Badan 15-25 kg)


Cara pemberiannya adalah 1 janm pertama 20
ml/KGBB/jam kemudian dilanjutkan 7 jam
berikutnya 10 ml/kgBB/menit dan 16 jam kemudian
105 ml/KGBB.

● Melakukan pemantauan atau observasi


terhadap jumlah cairan yang masuk dan
keluar (mengukur status hidrasi), seperti
turgor kulit, muntahan, membran mukosa,
berat badan, mata, dan ubun-ubun besar.
● Memantau adanya tanda renjatan
hipovolemik, seperti denyut jantung atau
nadi cepat tapi kecil, tekanan darah
menurun, dan kesadaran menurun.
● Pantau adanya tanda asidosis metabolik.
● Memberikan penjelasan kepada keluarga
tentang hal-hal yang menyebabkan
kurangnya volume cairan, faktor yang
1

menyebabkan terjadinya diare, dan lain-lain.


(A. Aziz Alimul Hidayat, 2018)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.  Obesitas pada anak adalah kondisi medis pada anak yang ditandai
dengan barat badan di atas rata-rata dari Indeks Massa Tubuhnya (Body
Mass Index) yang di atas normal. Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung
dengan cara mengalikan berat badan anak kemudian dibagi dengan
kuadrat dari besar tinggi anak. Jika seorang anak memiliki IMT di atas 30
kg/m2, maka anak tersebut menderita obesitas. Anak yang nafsu makannya
lebih banyak ternyata tidak semua menjadi gemuk atau menjadi obesitas.
System metabolism anak berbeda-beda, anak yang kecepatan
metabolismenya lambat akan lebih berisiko menjadi obesitas. Factor-faktor
obesitas di antaranya adalah Faktor genetic, budaya makan, dan
kurangnya aktivitas fisik. Penanggulangan obesitas pada anak lebih sulit
dibandingkan obesitas dewasa, karena penyebab obesitas yang
multifaktorial dan anak yang masih dalam taraf tumbuh kembang.
Penurunan berat badan bukanlah tujuan yang utama dalam penanganan
obesitas anak. Perubahan pola makan dan perilaku hidup sehat lebih
diutamakan untuk mendapatkan hasil yang menetap. Penanggulangan
obesitas anak sebaiknya dilakukan secara terapadu antara dokter anak,
dietisien, psikolog dan petugas kesehatan lain. Peran serta orang tua
memegang peranan penting dalam penangan anak obesitas. Pencegahan
sebaiknya dilakukan sebelum anak menjadi obesitas karena pencegahan
lebih mudah daripada pengobatan. Pencegahan harus dimulai sejak dini
dengan menerapkan pola hidup sehat dalam keluarga.
2. Diabetes (diabetes melitus) adalah suatu penyakit metabolik yang
diakibatkan oleh meningkatnya kadar glukosa atau gula darah. Gula darah
sangat vital bagi kesehatan karena merupakan sumber energi yang penting
bagi sel-sel dan jaringan.diabetes tipe 1 terjadi karena beberapa factor
yaitu genetik, imunologi, dan lingkungan, sedangkan pada diabetes tipe 2
terjadi karena factor usia, obesitas, dan riwayat keluarga. Ditinjau dari
genetik, penyebab dan perjalanan penyakit, DM pada anak dan remaja
1

berbeda dengan DM pada orang dewasa. Diabetes mellitus pada anak dan
remaja terutama merupakan akibat kerusakan sel-sel beta pankreas yang
memproduksi insulin. Gejala klinik diabetes mellitus berupa poliuria,
polidipsia, lemas, berat badan menurun, kesemutan, gatal, mata kabur,
impotensia (pada pria), pruritus vulvae (pada wanita). Jika tidak dikelola
dengan baik, diabetes dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi,
seperti penyakit jantung koroner, stroke, obesitas, serta gangguan pada
mata, ginjal, dan saraf.Selain itu, diabetes juga dapat menyebabkan
terjadinya fluktuasi kadar gula darah dalam tubuh. Hal ini dapat
mengakibatkan penurunan (hipoglikemia) atau peningkatan kadar gula
darah (hiperglikemia). Sangat penting juga untuk melakukan pencegahan
diabetes jika Anda memiliki faktor risiko diabetes. Misalnya, jika Anda
kelebihan berat badan atau mempunyai keluarga dengan riwayat diabetes.
Untuk menghindari diabetes, menerapkan pola hidup sehat adalah kunci
utama. Konsumsilah makanan sehat dan bergizi seimbang, berolahraga
secara teratur, dan jaga berat badan tetap ideal.
3. Agen penyakit adalah substansi tertentu yang terjadi karena kehadiran atau
ketidak hadirannya dapat menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan
suatu penyakit.Agen penyakit dapat berupa nutrisi atau gizi seperti protein.
Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang
kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan
kalori dan protein kurang dalam waktu yang cukup lama. Kurang kalori
protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan
adanyadefisiensi kalori dan protein dengan tekanan yang bervariasi pada
defisiensi protein maupun energy. Ketidakseimbangan konsumsi protein
akan mengakibatkan beragam penyakit. Misal saja penyakit kurang energi
protein atau yang sering dikenal dengan penyakit KEP seperti kwashiorkor
dan marasmus pada wanita hamil dan anak. Kurang kalori protein akan
terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya
tidak tercukupi oleh diet. Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh
selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi
kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan
karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh
seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar. Kekurangan protein banyak
1

terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Setidaknya ada 4 faktor


yang melatarbelakangi penyakit kurang kalori protein (KKP), yaitu: masalah
sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Penyakit kekurangan protein bisa
ditanggulangi dengan mengkonsumsi protein secara cukup dan rutin.Hal itu
bisa dilakukan dengan mengubah menu makanan setiap hari, konsumsi
makanan yang mengandung protein yang banyak misalnya daging, telur,
buah-buahan dan sayuran.minuman bergizi juga tidak boleh dilupakan
misalnya susu sapi, madu, minyak zaitun dan lainnya.
B. Saran
1. Jadikan kebiasaan yang sehat sebagai hal wajib bagi keluarga. Jika Anda
melakukannya, kebiasaan itu akan menjadi pola hidup bagi anak-anak. Beli
dan sajikan lebih banyak buah dan sayuran daripada makanan yang siap
saji. Batasi minuman ringan, minuman yang manis-manis, dan camilan
manis yang kaya lemak. Sebaliknya, berikan air atau susu rendah lemak
dan camilan yang sehat. Memasaklah dengan metode rendah lemak,
seperti memanggang dan mengukus, ketimbang menggoreng. Sajikan
makanan dalam porsi yang lebih kecil. Jangan gunakan makanan sebagai
upah atau suap. Jangan sampai anak tidak sarapan, karena dapat
membuat mereka makan berlebihan setelah itu. Makanlah di meja makan.
Makan di depan TV atau layar komputer membuat orang tidak menyadari
seberapa banyak yang dikonsumsi dan apakah ia sudah kenyang.
Anjurkan gerak badan, seperti bersepeda, main bola, dan lain-lain.
Rencanakan kegiatan keluarga yang aktif di luar rumah, seperti berenang,
atau bermain di taman. Suruhlah anak-anak melakukan pekerjaan fisik dan
berilah contoh dalam pola makan yang sehat dan olahraga.
2. Tingkatkan penyuluhan-penyuluhan pada masyarakat, sehingga pengertian
masyarakat tentang diabetes mellitus akan bertambah. Selain itu, kita juga
harus mengerti serta menyadari tentang seluk beluk penyakit diabetes
mellitus dan mengetahui tanda bahaya dari adanya komplikasi diabetes
secara dini sangat perlu agar tindakan medis secara dini dapat
dilaksanakan.
3. Masyarakat diharapkan untuk memperhatikan pola makan sehari-hari
dengan mempertimbangkan asupan gizi khususnya protein agar kebutuhan
tubuh akan nutrisi dapat terpenuhi sehingga bisa menghindari penyakit
kurang kalori protein (kkp).
1

WOC OBESITAS

Masukan makanan Aktifitas tubuh genetic

Mekanisme neurohumoral

Hipotalamus

Mengatur keseimbangan energy

Pengatur lapar dan kenyang, regulasi

Sekreksi hormone, laju pengeluaran energy

Sinyal eferen

Setelah mendapat sinyal eferen dari perifer

(jar. adiposa, usus, jar. Otot)

Sinyal bersifat anabolic

Rasa lapar

Pengeluaran energy

CCK sebagai stimulator rasa lapar


1

Asupan energi rendah Asupan energi


tinggi

Jar. Adiposa berkurang jar. Adiposa

Merangsang orexigeniccenter kadar


leptin

Nafsu makan resistensi


leptin

Penumpukan lemak pada otak tidak


menerima sinyal

Sejumlah bagian tubuh leptin

Berat badan abdomen merasa


lapar

Kegemukan menekan diafragma naik Nafsu


makan

Malu dan tidak percaya diri inspirasi inefektif


Penumpukan lemak pada

Sejumlah
bagian tubuh

MK: gangguan citra tubuh lapang thorax tidak maksimal

Berat
badan

massa tubuh lebih Sesak napas

berat MK:
obesitas
1

MK: pola napas tidak efektif

Malas bergerak

Gaya hidup monoton tidak mampu beraktifitas lebih MK: intoleransi


aktifitas
1

WOC DIABETES MILLITUS

Genetic Imunologi
lingkungan

Mewarisi predisposisis respon autoimun abnormal virus/toksin


tertentu

Individu yang memiliki proses


autoimun

Type antigen HLA

hematogen

Reaksi autoimun

Masuk ke
kelenjar pancreas

Destruksi sel β

Defisiensi insulin MK:


ketidakstabilan kadar

Glukosa darah

Glukosa tidak sampai ke hiperglikemia glukosa tidak


1

Sel yang lapar (starvasi) dapat difiltrasi

Pembatasan oleh
glumerulus

Pemecahan cadangan diet

Makanan diotot dan lemak urin banyak


kekurangan

Intake yang tidak


mengandung glukosa

Berat badan menurun adekuat glukosa


dalam

tubuh

Cepat lelah dan letih MK: defisit nutrisi glikosuria

MK: keletihan poliuria

fleksibilitas darah menurun adanya pembatasan Sel


kekurangan

gerak dan aktivitas Cairan

pelepasan O2 menurun
dehidrasi

keterbatasan polidipsi

MK: perfusi perifer tidak bermain dan sosialisasi

Efektif dengan teman sebaya MK:


risiko hipovolemia

MK: gangguan tumbuh kembang


1

WOC KKP

Defisiensi kalori/protein ekonomi rendah,


kegagalan menyusui

Pendidikan kurang, asi,


tidak memulai

Hygiene rendah
makanan tambahan

KEP

Penurunan jumlah protein tubuh


energy menurun

Terjadi perubahan biokimia dalam tubuh


marasmus

Kwashiorkor

Gangguan absorpsi dan produksi albumin oleh

transportasi zat-zat gizi hepar rendah


( hipoalbuminemia)

pengambilan energi

selain dari protein (otot)


1

penyusutan otot tekanan osmotic gangguan


pembentukan

plasma menurun lipoprotein (lemak) dari


hati

penurunan berat badan

cairan dari intravaskuler penurunan


detoksifikasi

MK: nutrisi kurang dari ke intersisial hati

Kebutuhan tubuh

Edema MK: resti infeksi

MK: ganguan integritas

Mk: gangguan keseimbangan cairan kulit

Cadangan protein otot terpakai secara terus

Menerus untuk memperoleh asam amino

Perbandingan asam amino yang berbeda

dengan protein jaringan

salah satu jenis asam amino rendah

konsentrasinya

asam amino tidak berguna bagi sel

tubuh mengalami kehilangan energi

secara terus menerus

otot-otot melemah dan menciut


1

MK: resiko gangguan tumbang

DAFTAR PUSTAKA

A. Aziz Alimul Hidayat. (2018). Lengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk


Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba medika.

Adriani, Merryana, Wijatmadi, B. (2012). Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta:


Kencana.

Ayu, R., & Sartika, D. (2014). ASUHAN KEPERAWATAN OBESITAS PADA


ANAK 5-15 TAHUN DI INDONESIA, 15(1), 37-43.

Bustan, M. N. (2015). Manajemen Pengendalian Penyakit Tidak Menular.


Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dinkes SulSel. (2018). Rencana Kerja.

Dr. Amanda. (2020). Malnutrisi Energi Protein.

Enie Novieastari, Kusman Ibrahim, Sri R. (2019). Fundamentals of Nursing Vol


1- 9th Indonesian Edition. Hooi Ping Chee. Singapure.

Fowler, M. (2011). Microvascular and Macrovascular Complications of Diabetes.


Clinical Diabetes,29(3),pp.116-122.

Hari, V. (2015). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Obesitas Pada Ana
Usia 3 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Asemrowo Kota Surabaya.
Skripsi Stikes Majapahit Mojokerto.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2014). Diagnosis, Tata Laksana, dan


Pencegahan Obesitas pada Anak dan Remaja.

Imania, A. intan. (2017). Asuhan keperawatan marasmus.

Irdina Rauza & Meizly Andina. (2017). Hubungan Indeks Massa Tubuh Anak
Kurang Gizi terhadap Total Protein dan Albumin. journal.umsu.ac.id. Vol
2(3), 133.
1

Kementrian Kesehatan RI. (2012). Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan


Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.

Kementrian Kesehatan RI. (2017). Panduan Pelaksanaan GENTAS.

Kementrian Kesehatan RI. (2018). Dietik Penyakit Tidak Menular. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI.

Kumar S, K. A. (2016). Review of Childhood Obesity: From Epidemiology,


Etiology, and Comorbidities to Clinical Assessment and Treatment. Mayo
Clinic Proceedings. 2016;92(2):1–15.

Lili Asranti Lestari, S. H. (2018). Peran probiotik di bidang gizi dan kesehatan.
Yogyakarta: Gadjha mada university press.

PERKENI. (2015). Konsensus pengelolaan dan pencegahan Diabetes Melitus


Tipe 2 di Indonesia. Jakarta :PERKERNI Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas). 2017.

Q,S Al-A’raf ayat 31

Rahmasari, I. (2019). Efektifitas Memordoca Carantia(PARE)Terhadap


Penurunan Kadar Glukosa Darah. Infokes,Vol 9 No 1. ISSN:2086-2628.
Departemen Keperawatan Medikal Bedah Prodi Sarjana Keperawatan
STIKES Aisyah Surakarta.

Rahmawati, U. A. (2019). HUBUNGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING


AIR SUSU IBU (MP ASI) DENGAN KEJADIAN KURANG ENERGI
PROTEIN (KEP) PADA ANAK USIA 1224 BULAN DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS SENTOLO I KABUPATEN KULON PROGO TAHUN
2019.eprints.poltekkesjogja.ac.id.

Shadine, M. (2010). Mengenal Penyakit Diabetes Melitus. Jakarta : Penebit


Keenbooks.

Sherwood, L. (2012). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC.

Simatupang, R. (2020). Pedoman Diet Penderita Diabetes Melitus. Banten:


Yayasan Pendidikan dan Sosial Indonesia.
1

Smeltzer, S.C dan B, G. B. (2015). Baru Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.

Sujono Riyadi, S. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan


Endokrin Pada Pankreas. Yogyakarta: graha ilmu.

Sumbono, A. (2016). Biokimia Pangan Dasar. Yogyakarta: Deepublish.

Wilkinson, J. M. (2013). Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis NANDA,


Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta: BGC.
1

LAMPIRAN

Bab I Pendahuluan (Annisa Dila Ita Taqiyah & Mardaniar K)

a. Latar (Insidensi kasus bahasan secara global, nasional dan regional Sulsel)

b. Tujuan penulisan

c. Askep secara umum 3 kasus (DM, Obesitas, KKP)

- pengkajian

- diagnosa

- rencana keperawatan

Bab II Pembahasan (DM) Hijriyah Febriela

a. Definisi

b. Etiologi

c. Manifestasi klinis

d. Patofisiologi

e. Komplikasi

f. Pemeriksaan diagnostik

g. Penatalaksanaan

Pembahasan (obesitas) Nadya Wulandari


1

a. Definisi

b. Etiologi

c. Manifestasi klinis

d. Patofisiologi

e. Komplikasi

f. Pemeriksaan diagnostik

g. Penatalaksanaan

Pembahasan (kkp) Madinatul Munawar

a. Definisi

b. Etiologi

c. Manifestasi klinis

d. Patofisiologi

e. Komplikasi

f. Pemeriksaan diagnostik

g. Penatalaksanaan

Bab Kesimpulan + saran (Membuat inti sari tujuan penulisan) + Web of


Causation (WOC) (3 kasus) Ika Afriani

Susun/gabung makalah (sampul, kata pengantar, daftar isi, kesimpulan, dapus


pake mendeley) Raden Sri Hasrianti

Woc dalam bentuk poster (3 kasus) + ppt (Indrawaty Agus & Abdul Rahman)

Anda mungkin juga menyukai