Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH ILMU DASAR KEPERAWATAN

PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN


DAN SISTEM PENCERNAAN: DIABETES MELITUS
diajukan sebagai salah satu syarat tugas mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan

dengan dosen pengampu Sajodin, S.Kep.,Ners.,M.Kes., AIFO

DISUSUN OLEH:

1. Tresna Sari 302022061


2. Regina Rahayu 302022073
3. Amanda Mirella 302022078
4. Dinda Iswari 302011095
5. Nisa Shofia A 302022100

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS AISYIYAH BANDUNG


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb puji serta syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai
selesai tepat waktu yang telah ditentukan.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sajodin, S.Kep., Ners.,
M.Kes., AIFO. serta teman-teman yang telah memberikan kontribusi berupa dukungan dalam
penyusunan makalah ini. Tentunya, makalah ini tidak akan bisa maksimal pengerjaannya jika
tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Kami menyadari masih banyak kekurangan ataupun kesalahan dalam penyusunan
makalah yang membuat makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik beserta
saran kami harapkan seluas-luasnya dari para pembaca agar dapat menjadi bahan evaluasi
bagi kami untuk lebih meningkatkan kemampuan menulis.

Bandung, 24 Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
Latar Belakang........................................................................................................................4
Rumusan Masalah..................................................................................................................5
Tujuan.....................................................................................................................................5
BAB II.......................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.......................................................................................................................7
2.1 Sistem Endokrin...............................................................................................................7
2.1.1 Fisiologi Sistem Endokrin.........................................................................................7
2.1.2 Perubahan Patofisiologi.............................................................................................8
2.1.3 Gangguan Sistem Endokrin.......................................................................................8
2.2 Sistem Pencernaan..........................................................................................................16
2.2.1 Fisiologi Sistem Pencernaan....................................................................................16
2.2.2 Perubahan Patofisiologi...........................................................................................17
2.2.3 Gangguan Sistem Pencernaan..................................................................................20
2.2.4 Penyakit yang Mengancam Kehidupan...................................................................29
BAB III....................................................................................................................................35
PENUTUPAN.........................................................................................................................35
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................35
3.2 Saran..........................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................36

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Endokrin berasal dari bahasa Yunani yang artinya “sekret ke dalam”. Masuk sirkulasi
ke dalam darah yaitu hormon (merangsang). Sistem endokrin adalah control kelenjar tanpa
saluran (ductiess) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah
untuk mempengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai “pembawa pesan” dan di
bawah oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh yang selanjutnya akan menerjemahkan
“pesan” tersebut menjadi suatu tindakan. (Evi L. D, 2014).
Sistem endokrin terdiri atas badan-badan jaringan kelenjar, seperti tiroid, tapi juga
terdiri atas kelenjar yg ada di dalam suatu organ tertentu, seperti testis, ovarium, dan jantung.
Sistem endokrin menggunakan hormon untunk mengendalikan dan mengatur fungsi tubuh
sama seperti sistem saraf menggunakan sinyal listrik kecil. Kedua sistem berinteraksi di otak
dan saling melengkapi, tapi mereka cenderung berkerja dengan kecepatan yang berbeda.
(Philip E.P, 2001). Jika kelenjar endokrin mengalami kelainan fungsi, maka kadar hormon di
dalam darah bisa menjadi tinggi atau rendah, sehingga mengganggu fungsi tubuh. Untuk
mengendalikan fungsi endokrin, maka pelepasan setiap hormon harus diatur dalam batas-
batas yang tepat (Philip E.P, 2001).
Diabetes melitus adalah gangguan pada sistem endokrin yang dapat mengakibatkan
kematian. Penyakit inidisebabkan tingginya kadar glukosa dalam darah yang diakibatkan
karena kerusakan pada pankreas sehingga sekresi insulin menurun atau bahkan produksi
insulin yang menurun atau insulin yang tidak sensitive karena kerusakan pada sel beta
pankreas ataupun kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik. Diabetes mellitus
dapat menyebabkan penyakit seperti kebutaan, serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal
serta luka yang tak kunjung sering menyebabkan harus dilakukan amputasi.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun 2018 melakukan
pengumpulan data penderita diabetes melitus pada penduduk berumur 2 15 tahun. Kriteria
diabetes melitus pada Risksesdas 2018 mengacu pada konsensus Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PERKEN) yang mengadopsi kriteria American Diabetes Association (ADAL
Menurut kirteria tersebut, diabetes melitus ditegakkan bila kadar glukosa darah puasa≥ 126
mg/dl, atau glukosa darah 2 jam pasca pembebanan 200 mgl/dl, atau glukosa darah sewaktu 2
200 mg/dl dengan gejala sering lapar, sering haus. sering buang air kecil dan dalam jumlah
banyak. dan berat badan turun
Sistem pencernaan merupakan sistem yang memproses mengubah makanan dan
menyerap sari makanan yang berupa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Sistem
pencernaan akan memecah molekul makanan yang kompleks menjadi molekul yang
sederhana dengan bantuan enzim sehingga mudah dicerna oleh tubuh.
Gangguan pada sistem pencernaan dapat disebabkan oleh pola makan yang salah,
infeksi bakteri, dan kelainan alat pencernaan yang memberikan gejala seperti gastroenteritis,
konstipasi, obstipasi maupun ulkus. Gangguan pencernaan ini banyak disebabkan oleh
sebagian besar Enterobacteriaceae, namun tidak semua Enterobacteriaceae dapat
menyebabkan gangguan pencernaan, seperti Proteus mirabilis yang merupakan flora normal
usus manusia dapat menjadi patogen bila berada di luar usus manusia dan mengenai saluran
kemih.
Indonesia mempunyai angka kejadian yang tinggi untuk infeksi saluran pencernaan,
contoh diare yang disebabkan oleh infeksi Escherichia coli yang termasuk keluarga
Enterobacteriaceae, merupakan penyakit yang morbiditasnya cukup tinggi di Indonesia,
walaupun pada tahun 2010 sudah mengalami sedikit penurunan yaitu dari 423 per 1000
penduduk pada tahun 2006 menurun menjadi 411 per 1000 penduduk pada tahun 2010
(Dinkes, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah merupakan pokok-pokok yang akan diuraikan. Pokok permasalahan
utama adalah memberitahukan apa yang dimaksud dengan Patologi Dan Patofisiologi
Gangguan Sistem Endokrin Dan Pencernaan. Oleh sebab itu, rumusan masalah dalam
makalah ini sebagai berikut:
a. Apa itu Sistem Endokrin?
b. Bagaimana Fisiologi Sistem Endokrin?
c. Bagaimana Gangguan Sistem Endokrin?
d. Apa itu Sistem Pencernaan?
e. Bagaimana Fisiologi Sistem Pencernaan?
f. Bagaimana Perubahan Patofisiologi Sistem Pencernaan?
g. Bagaimana Gangguan Sistem Pencernaan?

1.3 Tujuan
Tujuan umum merupakan tujuan secara menyeluruh yang ingin dicapai dari pembuatan
makalah ini. Adapun tujuan umum dalam makalah ini adalah untuk memahami apa Patologi
Dan Patofisiologi Ganggua Sistem Endokrin Dan Pencernaan.
Tujuan khusus merupakan tujuan terperinci yang ingin dicapai dari pembuatan makalah
ini. Adapun tujuan khusus dalam makalah ini sebagai berikut:
a. untuk mengetahui Sistem Endokrin;
b. untuk mengetahui Sistem Pencernaan;
c. untuk mengetahui Patologi Dan Patofisiologi Gangguan Sistem Endokrin Dan
Pencernaan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Endokrin


2.1.1 Fisiologi Sistem Endokrin
Sistem endokrin adalah suatu sistem yang bekerja dengan perantaraan zat- zat kimia
(hormon) yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin. Kelenjar endokrin merupakan kelenjar
buntu (sekresi interna) yang mengirim hasil sekresinya langsung masuk ke dalam darah dan
cairan limfe, beredar dalam jaringan kelenjar tanpa melewat duktus (saluran). Permukaan sel
kelenjar menempel pada dinding stenoid/kapiler darah. Hasil sekresinya disebut hormon.
Hor- mon merupakan bahan yang dihasilkan tubuh oleh organ yang memiliki efek regulatorik
spesifik terhadap aktivitas organ tertentu, yang disekresi oleh kelenjar endokrin, diangkut
oleh darah ke jaringan sasaran untuk meme- ngaruhi/mengubah kegiatan alat/jaringan
sasaran. Hormon yang dihasilkan ada yang satu macam hormon (hormon tunggal) di samping
itu ada yang lebih dari satu (hormon ganda). Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar
endokrin dan bekerja sama dengan sistem saraf, mempunyai peranan penting dalam
pengendalian kegiatan organ-organ tubuh. Kelenjar endokrin menge luarkan suatu zat yang
disebut hormon.
Dalam keadaan fisiologis hormon di dalam peredaran darah mempunya mekanisme
pengaturan sendiri sehingga kadarnya selalu dalam keadaan optimum dalam menjaga
keseimbangan dalam organ tujuan yang berada di bawah pengaruhnya. Mekanisme
pengaturan ini disebut sistem umpan balik negatif. Misalnya, hipofise terhadap hormon seks
yang dihasilkan oleh gonad hiponse pars anterior menghasikan gonadotropin, merangsang
kelenjar gonad untuk menghasilkan hormon seks. Bila hormon seks dalam peredaran darah
mencapai keadaan yang melebihi sehingga produksi hormon lebih tinggi hormon seks akan
menghambat hipofise untuk mengurangi produksi hormon gonadotropin sehingga hormon
seks menurun mencapai kadar optimum.
Mekanisme kerja hormon pada tingkat sel.
1. Hormon yang bermolekul besar (polipeptida dan protein). Tidak dapat menembus sel
dan bekerja pada permukaan sel dengan cara mengikat pada suatu reseptorkhas disebelah luar
membran sel tersebut, merangsang enzim adenilatsiklase dalam sel sehingga terbentuk AMP
(adenosin mono- fosfat) siklik. Ada pengecualian yaitu pada insulin, prolaktin, dan growth
hormone (GH), mekanisme kerjanya tidak mengikuti pola di atas. Selanjut AMP siklik dapat
mengaktifkan kinase-kinase protein tertentu di dalam sel untuk menginduksi serangkaian
reaksi metabolik di dalam sel sasaran.

2. Hormon yang molekulnya kecil (hormon steroid dan hormon tiroid). Hormon ini
mempunyai pengaruh terhadap spektrum jenis sel-sel sasaran yang lebih luas. Hormon steroid
menembus membran sel, berkaitan dengan reseptor protein khas sitoplasma. Ikatan kompleks
steroid resep- tor masuk ke dalam inti sel berkaitan dengan kromatin yang memengaruhi
ekskresi gen, sehingga terjadi perubahan pada kegiatan polimerasi RNA (ribonucleic acid)
yang bergantung pada DNA (deoxyribonucleic acid). Aki- batnya terjadi kenaikan/penurunan
kecepatan produksi RNA, selanjutnya memengaruhi produksi protein yang khas.
2.1.2 Perubahan Patofisiologi
Perubahan pada kadar hormon yang secara signifikan tinggi atau rendah dapat terjadi
karena berbagai sebab. Sistem umpan-balik mungkin tidak dapat berfungsi dengan baik atau
mungkin bereaksi terhadap sinyal yang salah. Disfungsi kelenjar endokrin dapat
bermanifestasi sebagai kegagalan memproduksi hormon aktif dengan jumlah memadai atau
dalam bentuk sintesis atau pelepasan hormon yang berlebihan. Sesudah dilepaskan, hormon
tersebut da- pat diuraikan dengan kecepatan yang berubah atau di- hilangkan aktivitasnya
oleh antibodi sebelum mencapai sel target. Respons sel target yang abnormal meliputi
perubahan yang berkaitan dengan reseptor dan perubahan intra- seluler.

Perubahan terkait reseptor


Perubahan ini berkaitan dengan hormon (peptida) yang larut air dan meliputi:
 reseptor yang lebih sedikit sehingga terjadi penurunan atau gangguan pada
pengikatan reseptor-hormon
 kerusakan fungsi reseptor yang mengakibatkan kehilangan sensitivitas reseptor
terhadap hormon
 keberadaan antibodi terhadap reseptor tertentu yang dapat mengurangi tempat
pengikatan yang ada atau meniru kerja hormon serta menekan ataupun mening-
katkan secara berlebihan respons sel target ekspresi fungsi reseptor yang
abnormal.

Perubahan intraseluler
Perubahan ini meliputi sintesis pengantar kedua (second messenger) yang diperlukan
untuk mengubah sinyal hor- monal menjadi peristiwa intraseluler. Dua mekanisme ber-
beda yang dapat terlibat meliputi:

 respons sel target bagi hormon larut-air yang salah terhadap pengikatan hormon-
reseptor dan kegagalan menghasilkan pengantar kedua yang diperlukan
 respons sel target yang abnormal terhadap pengantar kedua dan kegagalan
mengekspresikan efek hormonal yang normal.

Perubahan patofisiologis yang memengaruhi sel target bagi hormon (steroid) larut-
lemak lebih jarang terjadi atau mungkin lebih jarang dikenali.

2.1.3 Gangguan Sistem Endokrin


Disfungsi sistem endokrin yang sering terjadi diklasifikasi menjadi hipofungsi serta
hiperfungsi, inflamasi, dan tumor.
1 Hipofungsi Adrenal
Hipofungsi adrenal dapat dibedakan menjadi hipofungsi primer ataupun sekunder.
Hipofungsi atau insufisiensi adrenal yang primer (penyakit Addison) berasal dari dalam
kelenjar adrenal dan ditandai oleh penurunan sekresi hormon-hormon mineralokortikoid,
glukokortikoid, serta androgen. Hipofungsi adrenal sekunder terjadi karena gang- guan di
luar kelenjar adrenal, seperti gangguan sekresi kor- tikotropin oleh kelenjar hipofisis.
Keadaan ini ditandai oleh penurunan sekresi glukokortikoid. Sekresi aldosteron, yang
merupakan mineralokortikoid utama, umumnya tidak ter- ganggu.

Penyakit Addison relatif jarang dijumpai dan dapat terjadi pada segala usia serta pada
laki-laki maupun perem- puan. Hipofungsi adrenal sekunder terjadi ketika pasien mendadak
menghentikan penggunaan terapi steroid ekso- genus yang sudah lama dijalani atau kalau
kelenjar hipofisis mengalami cedera karena tumor atau karena proses infiltrasi ataupun
autoimun. Keadaan yang terakhir ini terjadi ketika antibodi yang beredar dalam darah
bereaksi secara khusus terhadap jaringan adrenal sehingga timbul inflamasi dan infiltrasi oleh
limfosit. Dengan diagnosis dini dan terapi sulih yang adekuat, baik hipofungsi adrenal yang
primer maupun yang sekunder memiliki prognosis yang baik.

Krisis adrenal (krisis adisonian), yang merupakan defi- siensi mineralokortikoid dan
glukokortikoid, umumnya terjadi sesudah seseorang mengalami stres akut, sepsis, trauma,
pembedahan, atau sesudah terapi steroid dihentikan pada pasien insufisiensi adrenal yang
kronis. Krisis adrenal merupakan keadaan kedaruratan medis yang memerlukan penanganan
yang intensif dan segera.

Penyakit Addison yang bersifat autoimun paling sering ditemukan pada wanita kulit
putih dan kemungkinan besar terdapat predisposisi genetik. Penyakit ini lebih sering ter- jadi
pada pasien dengan predisposisi familial terhadap penyakit endokrin yang bersifat autoimun.
Sebagian besar pasien penyakit Addison didiagnosis pada usia dekade ketiga hingga kelima
mereka.

Etiologi
Hipofungsi adrenal primer serta sekunder dan krisis adrenal memiliki penyebab yang
berlainan. Keadaan yang paling sering menyebabkan hipofungsi primer meliputi:
• penyakit Addison (kerusakan lebih dari 90% pada ke- dua kelenjar adrenal dan
biasanya disebabkan oleh proses autoimun, ketika antibodi yang beredar dalarn darah
bereaksi secara khusus terhadap jaringan adrenal),

Penyebab lain meliputi:


• tuberkulosis (pernah menjadi penyebab utama, tetapi kini merupakan penyebab pada
kurang dari 20% kasus dewasa)
• adrenalektomi bilateral
• perdarahan pada kelenjar adrenal • neoplasma
• infeksi (histoplasmosis, sitomegalovirus [CMV])
• riwayat penyakit autoimun dalam keluarga (dapat men- jadi faktor predisposisi untuk
penyakit Addison dan endokrinopati lain)

Patofisiologi
Penyakit Addison merupakan keadaan kronis yang terjadi karena destruksi parsial atau
total korteks adrenal. Keadaan ini bermanifestasi sebagai suatu sindrom klinis yang terdiri
atas beberapa gejala yang disertai defisiensi produksi hor- mon korteks adrenal, yaitu
kortisol, aldosteron, dan hormon androgen Kadarkortikotropin dan hormon pelepas-koniko-
tropin yang tinggi menyertai kadar hormon glukokortikoid yang rendah.

Kortikotropin terutama bekerja mengatur pelepasan glukokortikoid (terutama kortisol)


dari kelenjar adrenal; mineralokortikoid, termasuk aldosteron; dan hormon ste roid seks yang
melengkapi semua hormon yang diproduksi oleh gonad..Sekresi kortikotropin dikendalikan
melalui hormon pelepas-kortikotropin dari hipotalamus dan melalui

Kontrol umpan-balik yang negatif oleh glukokortikoid. Penyakit Addison mieliputi


semua zona pada korteks adrenal sehingga terjadi defisiensi sekresi korteks adrenal, yang
meliputi hormon-hormon glukokortikoid, androgen, dan mineralokortikoid.

Defisiensi hormon korteks adrenal memberi manifestasi yang jelas ketika telah terjadi
kehilangan sel-sel fungsional lebih dari 90% pada kedua kelenjar adrenal. Biasanya atrofi
seluler hanya terbatas pada korteks meskipun dapat terjadi gangguan pada medula adrenal,
yang mengakibatkan defi- siensi katekolamin. Defisiensi kortisol menyebabkan penu- runan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari molekul yang bukan karbohidrat) di dalam hati.
Kadar glukosa da- rah rendah yang diakibatkan dapat turun secara berbahaya pada pasien-
pasien yang secara rutin menggunakan in- sulin.

Defisiensi aldosteron menyebabkan peningkatan kehi- langan natrium melalui ginjal


dan meningkatkan reabsorpsi kalium. Ekskresi natrium menyebabkan penurunan volume air
yang menimbulkan hipotensi. Pasien penyakit Addison dapat memiliki tekanan darah yang
normal ketika berbaring telemang, tetapi akan menunjukkan hipotensi dan takikardia yang
nyata sesudah berdiri selama beberapa menit. Volume plasma dan tekanan arteriol yang
rendah menstimulasi pelepasan renin dan akibatnya, terjadi peningkatan produksi angiotensin
II.

Defisiensi hormon androgen dapat mengurangi per- tumbuhan rambut di daerah aksila
dan pubis selain di bagi an ekstremitas pada wanita. Efek metabolik yang bulkan oleh
hormon androgen testis membuat gangguan ditim- pertumbuhan rambut tersebut tidak begitu
terlihat pada laki-laki,

Penyakit Addison merupakan suatu kondisi penurunan biosintesis, penyimpanan, atau


pelepasan hormon-hormon korteks adrenal. Pada sekitar 80% pasien, terdapat proses
autoimun yang menyebabkan destruksi parsial atau total kedua kelenjar adrenal. Antibodi
autoimun dapat menyekat reseptor kortikotropin atau mengikat kortikotropin sehingga
hormon ini tidak dapat menstimulasi sel-sel adrenal. Infeksi merupakan etiologi kedua paling
sering yang menyebabkan penyakit Addison, khususnya infeksi tuberkulosis yang menjadi
penyebab sekitar 20% kasus. Penyakit lain yang dapat menyebabkan penyakit Addison
meliputi penyakit AIDS (acquired immunodeficiency syndrome), infeksi fungus sistemik,
CMV, tumor adrenal, dan kanker meta- statik. Infeksi dapat mengganggu fungsi seluler dan
meme- ngaruhi kortikotropin pada setiap tahap regulasi.

Tanda dan gejala


Gambaran klinis hipofungsi adrenal bervariasi menurut tipenya. Tanda dan gejala
hipofungsi primer meliputi:
• kelemahan
• rasa mudah lelah
• penurunan berat badan
• mual, muntah, dan anoreksia
• warna logam (kuning kecokelatan) yang nyata pada kulit, khususnya di bagian
lipatan tangan dan di daerah persendian metakarpofalangeal (tangan serta jari-jari
tangan), siku, dan lutut .
• jaringan parut yang warnanya bertambah gelap, bercak-bereak vitiligo (keadaan tidak
terdapat pigmen- tasi), dan peningkatan pigmentasi pada membran mu- kosa,
khususnya mukosa pipi, akibat penurunan sekresi kortisol yang menyebabkan sekresi
kortikotropin dan melanocyte-stimulating hormone (MSH) yang berle- bihan oleh
kelenjar hipofisis
• kelainan kardiovaskuler, termasuk hipotensi ortostatik. penurunan ukuran serta curah
jantung, dan denyut nadi yang lemah serta tidak teratur penurunan toleransi terhadap
stres ringan sekalipun
• hipoglikemia puasa akibat penurunan glukoneogenesis
• mengidam makanan yang asin akibat penurunan se- kresi mineralokortikoid (yang
pada kondisi normal menyebabkan retensi garam)

Penatalaksanaan
Penanganan hipofungsi adrenal dapat meliputi:
• terapi sulih kortikosteroid seumur hidup, yang biasanya dilakukan dengan pemberian
kortison atau hidrokor- tison; kedua preparat ini akan memberi efek
mineralokortikoid (pada hipofungsi adrenal primer atau sekunder)
• fluorokortison oral (Florinef), suatu mineralokortikoid sintetik untuk mencegah
keadaan dehidrasi yang ber- bahaya, hipotensi, hiponatremia, dan hiperkalemia (pada
penyakit Addison)
• penyuntikan bolus IV hidrokortison 100 mg setiap enam jam sekali selama 24 jam;
kemudian 50 hingga 100 mg yang disuntikkan IM atau diencerkan dalam larutan DS
(dekstrosa dalam salin) dan disuntikkan melalui infus sampai kondisi pasien stabil;
mungkin diperlukan penyuntikan sampai 300 mg hidrokortison per hari dan 3 hingga
5 L (3,2 hingga 5,3 qt) larutan DS (pada krisis adrenal).

Dengan penanganan yang tepat, biasanya krisis adrenal akan mereda dengan cepat;
tekanan darah menjadi stabil, dan kadar air serta natrium kembali normal. Sesudah krisis,
pemberian hidrokortison dengan dosis rumatan dapat men- jaga kestabilan fisiologis.

2 Sindrom Cushing
Sindrom Cushing merupakan kumpulan abnormalitas klinis yang disebabkan oleh
keberadaan hormon korteks adrenal (khususnya kortisol) dalam jumlah berlebih atau
kortikosteroid yang berkaitan, dan hormon androgen serta aldoteron (dalam taraf lebih
rendah). Penyakit Cushing (kelebihan kortikotropin yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis)
menempati sekitar 80% kasus endogen sindrom Cushing. Penyakit Cushing paling sering
terjadi pada usia antara 20 dan 40 tahun, dan tiga hingga 8 kali lipat lebih sering pada wanita.

Etiologi
Kelebihan hormon hipofisis anterior (kortikotropin) sekresi kortikotropin yang bersifat
otonom dan ektopik oleh tumor di luar kelenjar hipofisis (biasanya bersifat malignan, kerap
kali berupa karsinoma oat cell pada paru-paru) pemberian kortikosteroid yang berlebihan,
termasuk pemakaian yang lama.

Patofisiologi
Sindrom Cushing disebabkan oleh pajanan lama pada obat- obat glukokortikoid yang
berlebihan. Sindrom Cushing dapat bersifat eksogen dan terjadi karena pemberian
glukokortikoid atau kortikotropin yang lama, atau bersifat endogen, akibat peningkatan
sekresi kortisol atau kortikotropin. Kelebihan kortisol akan menimbulkan efek antiinflamasi
dan katabolisme protein serta lemak perifer yang berlebihan untuk mendukung produksi
glukosa oleh hati. Mekanisme tersebut dapat bergantung kortikotropin (kenaikan kadar
kortikotropin plasma menstimulasi korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol secara
berlebihan) atau tidak bergantung kortikotropin (kortisol yang berlebihan diproduksi oleh
korteks adrenal atau diberikan secara eksogen). Kortisol yang berlebihan akan menekan poros
hipotalamus-hipofisis-adrenal dan juga ditemukan pada tumor yang menyekresi kortikotropin
secara ektopik.

Tanda dan Gejala


Gejala yang dialami penderita Sindrom Cushing tergantung pada tingginya kadar
kortisol di dalam tubuh. Gejalanya antara lain:
 Berat badan meningkat
 Penumpukan lemak, terutama di bahu (buffalo hump) dan wajah (moon face)
 Guratan berwarna ungu kemerahan di kulit perut, paha, payudara, atau lengan
 Penipisan kulit, sehingga kulit menjadi mudah memar
 Luka atau gigitan serangga di kulit sulit sembuh
 Jerawat
 Lemah otot
 Lemas
 Depresi, cemas, atau mudah marah
 Gangguan mengingat
 Tekanan darah tinggi
 Sakit kepala
 Pengeroposan tulang
 Gangguan pertumbuhan pada anak

Pada wanita, sindrom Cushing dapat membuat haid menjadi tidak teratur atau terlambat
dan menimbulkan gejala hirsutisme yaitu rambut yang tumbuh lebat di wajah atau bagian lain
yang biasanya hanya tumbuh pada pria.
Sedangkan pada pria, keluhan lain yang mungkin muncul akibat sindrom Cushing
adalah penurunan gairah seksual, gangguan kesuburan, dan impotensi.
Penatalaksanaan
Membedakan penyebab hipofisis, adrenal, atau ektopik pada hiperkortisolisme
merupakan tindakan esensial bagi pelaksanaan terapi yang efektif dan spesifik untuk meng-
atasi penyebab kelebihan kortisol serta meliputi medikasi, radiasi, dan pembedahan. Terapi
yang mungkin dilakukan meliputi:
 Pembedahan bagi tumor adrenal dan kelenjar hipofisis atau jaringan lain (seperti
paru)
 Terapi radiasi (tumor)
 Terapi obat yang dapat meliputi pemberian ketokonazol, metirapon, dan
aminoglutethimid untuk menghambat sintesis kortisol; mitotane untuk
menghancurkan sel- şel korteks adrenal yang menyekresi kortisol; dan bro-
mokriptin serta siproheptadin untuk menghambat sekresi kortikotropin.

3 Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa serum) akibat kurangnya hormon insulin, menurunnya
efek insulin atau keduanya. Ada tiga jenis diabetes melitus yang dikenal diantaranya yaitu:
 Tipe 1 (DMT1) insufisiensi absolut insulin
 Tipe 2 (DMT2) resistensi insulin yang disertai defek sekresi insulin dengan derajat
bervariasi
 Diabetes kehamilan (gestasional) yang muncul pada saat hamil.

Etiologi
Bukti menunjukkan bahwa diabetes melitus memiliki berbagai penyebab, diantaranya:
 Hereditas
 Lingkungan (infeksi, makanan, toksin, stres)
 Perubahan gaya hidup pada orang yang secara geneti rentan
 Kehamilan

Patofisiologi
Pada individu yang secara genetik rentan terhadap diabetes tipe 1, pemicunya yakni
kemungkinan infeksi virus, akan menimbulkan produksi auto antibodi terhadap sel-sel beta
pankreas. Destruksi sel beta yang diakibatkan menyebabkan penurunan sekresi insulin dan
berakhir kekurangan hormon insulin. Defisiensi insulin mengakibatkan keadaan
hiperglikemia, peningkatan lipolisis (penguraian lemak) dan katabolisme protein.
Karakteristik ini terjadi ketika sel-sel, beta yang mengalami destruksi melebihi 90%

Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh satu atau
lebih faktor berikut ini: kerusakan sekresi insulin, produksi glukosa yang tidak tepat di dalam
hati, atau penurunan sensitivitas reseptor insulin perifer. Faktor genetik merupakan hal yang
signifikan, dan awitan diabetes dipercepat oleh obesitas serta gaya hidup sedentari (sering
duduk). Sekali lagi, stres tambahan dapat menjadi faktor penting.

Diabetes gestasional terjadi ketika seorang wanita yang sebelumnya tidak didiagnosis
sebagai penyandang diabetes memperlihatkan intoleransi glukosa selama kehamilannya. Hal
ini dapat terjadi jika hormon-hormon plasenta melawan balik kerja insulin sehingga timbul
resistensi insulin, Diabetes kehamilan merupakan faktor risiko yang signifikan bagi
terjadinya diabetes melitus tipe 2 di kemudian hari.

Tanda dan Gejala


 Poliuria dan polidipsia yang disebabkan oleh osmolalitas serum yang tinggi akibat
kadar glukosa serum yang tinggi.
 Anoreksia (sering terjadi) atau polifagia (kadang-kadang terjadi)
 Penurunan berat badan (biasanya sebesar 10% hingga 30%; penyandang diabetes
tipe I secara khas tidak memiliki lemak pada tubuhnya saat diagnosis ditegak kan)
karena tidak terdapat metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang normal
sebagai akibat fungsi insulin yang rusak atau tidak ada.
 Sakit kepala, rasa cepat lelah, mengantuk, tenaga yang berkurang, dan gangguan
pada kinerja sekolah serta pekerjaan; semua ini disebabkan oleh kadar glukosa
intrasel yang rendah.
 Kram otot, iritabilitas, dan emosi yang labil akibat ketidakseimbangan elektrolit
 Gangguan penglihatan, seperti penglihatan kabur, akibat pembengkakan yang
disebabkan glukosa.
 Patirasa (baal) dan kesemutan akibat kerusakan jaringan saraf.
 Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen akibat neuropati otonom yang
menimbulkan gastroparesis dan konstipasi.
 Mual, diare, atau konstipasi akibat dehidrasi dan ketidak seimbangan elektrolit
ataupun neuropati otonom.
 Infeksi atau luka pada kulit yang lambat sembuhnya rasa gatal pada kulit.
 Infeksi kandida yang rekuren pada vagina atau anus.

Penatalaksanaan
Penanganan Diabetes Melitus (DM) Tipe 1 Meliputi:
 Terapi sulih insulin, perencanaan makanan, dan latihan fisik
 Transplantasi pankreas

Penanganan Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 Meliputi:


 Obat antidiabetik oral untuk menstimulasi produksi insulin endogen, meningkatkan
sensitivitas terhadap insulin pada tingkat seluler, menekan glukoneogenesis hepar,
dan memperlambat absorpsi karbohidrat dalam traktus GI (dapat digunakan
kombinasi obat-obat ter- sebut)
 Penanganan Kedua Tipe Diabetes melitus (DM) meliputi:
 Pemantauan kadar glukosa darah secara cermat
 Perencanaan makan yang dirancang secara perorangan untuk memenuhi kebutuhan
gizi, mengendalikan kadar glukosa serta lipid

4 Defisiensi Hormon Pertumbuhan


Defisiensi Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone, GH) terjadi karena hipofungsi
kelenjar hipofisis anterior dengan terjadinya penurunan sekresi GH. Defisiensi GH meliputi
sekelompok gangguan pada usia kanak-kanak yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan
di bawah normal, keter- lambatan usia tulang, dan respons di bawah normal terhadap
sedikitnya dua buah stimulus bagi pelepasan hormon tersebut. Defisiensi GH pada orang
dewasa ditandai oleh kelemahan umum dan peningkatan mortalitas.

Etiologi
Keadaan yang mungkin menyebabkan defisiensi GH meliputi:
1. Galur autosom resesif, autosomal dominan, atau X-linked
2. tumor pada hipofisis atau sistem saraf pusat
3. nekrosis hipoksia kelenjar hipofisis
4. inflamasi kelenjar hipofisis
5. kegagalan hipotalamus
6. ketidakpekaan reseptor GH
7. GH yang secara biologis tidak aktif
8. gangguan hematologi
9. penyebab idiopatik
10. trauma
11. iradiasi hipofisis.

Patofisiologi
Tidak adanya atau defisiensi sintesis GH menyebabkan gagal pertumbuhan pada anak.
Pada dewasa, gangguan metabolik akan menurunkan respons GH terhadap stimulasi.

Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala defisiensi GH meliputi:
 Tubuh pendek (2 standar deviasi lebih rendah daripada nilai rerata (mean) yang
diperkirakan bagi usia dan jenis kelamin)
 Penurunan massa otot dan peningkatan lemak subkutan akibat penurunan sintesis
protein serta anabolisme otot yang tidak memadai
 Hipoglikemia (biasanya pada neonatus)
 Keterlambatan atau kurang/tidak ada perkembangan seksual.

Penatalaksanaan
Penanganan defisiensi GH meliputi:
Penyuntikan GH eksogen secara subkutan sampai beberapa kali dalam seminggu
hingga usia pubertas

5 Penyakit Gondok
Penyakit gondok biasa (nontoxic goiter atau simple goiter) merupakan pembesaran
kelenjar tiroid yang bukan di- sebabkan oleh inflamasi atau neoplasma dan umumnya
digolongkan sebagai kelainan yang bersifat endemik atau sporadik. Defek yang diturunkan
dapat menyebabkan insu- fisiensi sintesis tiroksin (T) atau kerusakan metabolisme yodium.
Karena banyak keluarga cenderung berkelompok dalam suatu daerah geografik yang tunggal,
maka faktor familial ini dapat turut mengontribusi pada insidensi pe- nyakit gondok endemik
dan sporadik.
Penyakit gondok biasa (simple goiter) Jebih banyak mengenai wanita ketimbang pria,
khususnya pada usia remaja, kehamilan, dan menopause, ketika tubuh mereka membutuhkan
lebih banyak hormon tiroid. Penyakit gon- dok sporadik tidak mengenai segmen populasi
tertentu. Dengan penanganan yang tepat, prognosis kedua tipe pe- nyakit gondok ini cukup
baik.

Etiologi
Penyebab gondok endemik meliputi asupan yodium yang tidak memadai dari makanan.
Penyebab gondok sporadik mencakup:

 Konsumsi dalam jumlah yang besar, jenis-jenis makanan yang mengandung zat yang
menghambat produksi T, seperti kubis, kedelai, kacang tanah, kacang polong, persik,
strawberi, bayam, dan lobak
 Pemakaian obat-obat tertentu oleh ibu hamil, seperti propiltiourasil, preparat yodida,
fenilbutazon, asampara-aminosalisilat, kobalt dan litium, yang dapat melewati plasenta
dan memengaruhi janin.

Tanda dan Gejala


Pembesaran tiroid dapat berkisar dari pembesaran kelenjar gondok yang ringan hingga
penyakit gondok yang masif dan multinoduler. (Lihat, Goiter yang masif)

Penatalaksanaan
Tujuan penanganan penyakit gondok biasa (simple goiter) adalah mengurangi
hiperplasia tiroid.
 Penggantian hormon tiroid dari luar (eksogenus) dengan levotiroksin (terapi pilihan)
menghambat sekre- si TSH dan memberikan kesempatan istirahat kepada kelenjar
tiroid.
 Pemberian yodida dengan dosis kecil (Larutan yodium Lugol atau kalium yodida) yang
umumnya akan me- redakan penyakit gondok akibat defisiensi yodium.
 Tindakan menghindari obat atau makanan yang diketahui bersifat goitrogenik.
 Untuk gondok berukuran besar yang tidak responsif terhadap terapi, diperlukan
tindakan tiroidektomi subtotal.

2.2 Sistem Pencernaan


2.2.1 Fisiologi Sistem Pencernaan
Saluran cerna merupakan pipa muskuler berongga yang dimulai dalam mulut dan
berakhir pada anus. Saluran ini meliputi rongga mulut (kavum oris), faring, esofagus,
lambung (gaster), usus halus (intestinum), dan usus besar (kolon). Gerakan peristalsis
mendorong makanan atau ba- han yang ditelan di sepanjang saluran cema. Keberadaan
sfingter dalam saluran cerna mencegah refluks atau aliran balik. Kelenjar dan organ-organ
pelengkapnya meliputi kelenjar air liur (glandula salivarius), hati (hepar), sistem bilier
(kandung empedu dan salurannya), dan pankreas.
Secara bersama-sama traktus GI dan organ asesorius melaksanakan dua macam
pekerjaan: pencernaan (menguraikan makanan padat dan cair menjadi zat-zat kimia
sederhana yang dapat diserap ke dalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh) dan
eliminasi produk limbah dari dalam tubuh melalui defekasi.
Makanan yang dimakan penting sebagai sumber energi, kemudian digunakan oleh sel
dalam menghasilkan ATP untuk menjalankan aktivitas, sebagai zat pembangun dan
pengganti sel-sel yang rusak. Pembuangan sisa atau sampah tubuh hanya merupakan fungsi
kecil dari sistem pencernaan melalui defekasi. Pembuangan lain berlangsung melalui paru,
ginjal, dan kulit berupa keringat.
Agar makanan dapat dicerna secara optimal dalam saluran pencernaan, saluran
pencernaan harus memiliki persediaan air, elektrolit, dan makanan yang terus menerus, untuk
ini dibutuhkan:
1. Pergerakan makanan melalui saluran pencernaan
2. Sekresi getah pencernaan
3. Absorpsi hasil pencernaan air dan elektrolit
4. Sirkulasi darah melalui organ-organ gastrointestinal membawa zat yang akan diabsorpsi
5. Pengaturan semua fungsi oleh sistem saraf dan hormon.

2.2.2 Perubahan Patofisiologi


Gangguan pada sistem GI secara khas bermanifestasi dalam bentuk keluhan atau
permasalahan nonspesifik yang tidak jelas dan mencerminkan disrupsi pada salah satu atau
lebih fungsi sistem tersebut. Sebagai contoh, gerakan pada traktus GI dapat lebih lambat,
lebih cepat, atau terhalang, dan fungsi sekresi, absorpsi serta motilitasnya bisa berubah.
Akibatnya, seorang pasien dapat memiliki beberapa keluhan dan keluhan anoreksia,
konstipasi, diare, disfagia, ikterus, nausea, serta muntah merupakan beberapa di antara- nya
yang paling sering ditemukan.
1. Anoreksia
Anoreksia merupakan kehilangan selera makan atau kurang kemauan untuk makan.
Mual, nyeri abdomen, dan diare dapat menyertai keluhan ini. Anoreksia dapat terjadi karena
disfungsi pada sistem GI atau sistem yang lain, seperti penyakit kanker, penyakit jantung,
atau penyakit renal.

Pada keadaan normal, stimulus fisiologis bertanggung jawab atas timbulnya rasa lapar.
Penurunan kadar glukosa darah akan menstimulasi pusat rasa lapar di hipotalamus; kenaikan
kadar asam lemak dan asam amino dalam darah akan meningkatkan rasa kenyang. Rasa lapar
juga dirang- sang oleh kontraksi lambung yang kosong dan ditekan ketika traktus GI
mengalami distensi. Penekanan atau su- presi rasa lapar ini kemungkinan merupakan akibat
stimu- lasi nervus vagus. Pemandangan, sentuhan, dan aroma (bau) memainkan peranan yang
begitu halus dalam mengendalikan pusat rasa lapar.
Pada anoreksia terdapat stimulus fisiologis, tetapi pasien tidak memiliki selera makan
ataupun kemauan untuk makan. Pengisian lambung yang lambat atau stasis lambung dapat
menyebabkan anoreksia. Kadar neuro- transmiter, seperti serotonin, yang tinggi (dapat turut
menimbulkan rasa kenyang) dan kadar kortisol yang berlebihan (dapat menekan kontrol
hipotalamus terhadap rasa lapar), juga turut terlibat sebagai penyebab anoreksia.

2. Konstipasi
Konstipasi (sembelit) merupakan keadaan feses yang keras atau defekasi yang sulit atau
yang jarang sebagaimana didefinisikan dengan penurunan frekuensi buang air besar per
minggu. Definisi konstipasi harus bersifat individual karena frekuensi buang air besar yang
normal bisa berkisar dari dua hingga tiga kali sehari hingga satu kali per minggu. Penyebab
konstipasi meliputi dehidrasi, konsumsi makanan yang rendah serat, gaya hidup sering duduk
(sedentari), kurang melakukan latihan secara teratur, dan sering menekan keinginan untuk
buang air besar.

Kalau seseorang mengalami dehidrasi atau menunda defekasi, ususnya akan


mengabsorpsi lebih banyak cairan sehingga feses menjadi lebih keras dan terjadi konstipasi.
Diet tinggi-serat akan menarik air ke dalam feses inelalui proses osmosis sehingga feses tetap
lembek dan pengeluaran feses dari dalam usus menjadi lebih mudah. Diet tinggi- serat juga
menyebabkan pelebaran usus yang akan me rangsang gerakan peristalsis, Sebaliknya, diet
rendah-serat akan turut menimbulkan konstipasi.

3. Diare
Diare merupakan peningkatan fluiditas atau volume feses dan frekuensi defekasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi volume serta konsistensi feses meliputi kandungan air di
dalam kolon serta keberadaan makanan yang tidak terserap, bahan yang tidak terserap, dan
sekresi intestinal. Diare dengan volume yang banyak biasanya terjadi karena ter- dapat air,
sekret, atau keduanya dalam jumlah yang berlebihan di dalam usus halus. Diare dengan
volume yang sedikit biasanya disebabkan oleh motilitas intestinal yang berlebihan. Diare
dapat pula terjadi karena stimulasi para- simpatis usus, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor
psikologis, seperti rasa takut atau stres.

Tiga mekanisme utama terjadi diare meliputi:


• Diare osmotik
Keberadaan substansi yang tidak terserap, seperti gula sintetis atau peningkatan jumlah
partikel osmotik di dalam usus halus, akan menaikkan tekanan osmotik dan menarik
air secara berlebihan ke dalam usus halus sehingga terjadi peningkatan berat serta
volume feses.
• Diare sekretorik
Mikroorganisme patogen atau tumor akan mengiritasi otot dan lapisan mukosa
intestinum Peningkatan motilitas dan sekret (air, elektrolit, serta lendir) sebagai
konsekuensinya akan mengakibatkan diare.
• Diare motilitas
Inflamasi, neuropati, atau obstruksi menimbulkan refleks berupa kenaikan motilitas
usus untuk mendorong keluar iritan atau melepaskan obstruksi.
4. Ikterus
Ikterus (jaundice), yaitu pigmentasi kuning pada kulit dan sklera, disebabkan oleh
penumpukan bilirubin secara berlebihan dalam darah. Bilirubin yang merupakan produk
penguraian sel darah merah akan menumpuk di dalam darah jika produksinya melampaui
metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan ini dapat terjadi karena pe- lepasan
prekursor bilirubin yang berlebihan ke dalam aliran darah atau karena kerusakan ambilan
bilirubin oleh hati, kerusakan metabolisme, atau ekskresi bilirubin.
(LihatIkterus: Kerusakan metabolisme bilirubin.) Ikterus terjadi kalau kadar bilirubin
melebihi 2,0 hingga 2,5 mg/dl, yang besarnya sekitar dua kali batas atas kisaran normalnya.
Kadar bilirubin yang lebih rendah dapat menimbulkan gejala ikterus, yang terdeteksi bila
kulit pasien berwarna cerah, sementara gejala ikterus pada pasien yang berkulit gelap
mungkin sulit dideteksi.

5. Nausea
Nausea atau rasa mual merupakan perasaan ingin muntah. Keluhan ini dapat terjadi
tanpa diikuti oleh muntah (vomi- tus) atau dapat mendahului dan disertai gejala muntah.
Lintasan saraf yang spesifik untuk rasa mual belum di- ketahui, tetapi peningkatan salivasi,
penurunan aktivitas fungsional lambung, dan perubahan motilitas usus halus berkaitan
dengan rasa mual. Rasa mual juga dapat disti- mulasi oleh pusat yang lebih tinggi di dalam
otak.
6. Vomitus
Vomitus atau muntah merupakan ekspulsi isi lambung yang disemburkan keluar. Otot
lambung memberikan ke- kuatan untuk menyemburkan isi lambung. Bagian fundus lambung
serta sfingter gastroesofageal mengadakan relak- sasi dan kontraksi diafragma serta otot
dinding perut yang kuat meningkatkan tekanan intraabdomen. Keadaan ini yang
dikombinasikan dengan kontraksi anulus pilorik lam- bung akan memaksa isi lambung masuk
ke dalam esofagus. Kemudian peningkatan tekanan intratorakal menggerakkan isi lambung
dari esofagus ke dalam mulut.
Muntah dikontrol oleh dua buah pusat di dalam medula oblongata: pusat muntah dan
zona pemicu kemoreseptor (chemoreceptor trigger zone, CTZ). Pusat muntah memulai
muntah yang sebenarnya. Pusat ini distimulasi oleh traktus- GI dan pusat yang lebih tinggi di
dalam batang otak serta korteks serebri dan CTZ. CTZ sendiri tidak dapat meng- induksi
muntah. Berbagai stimulus atau obat, seperti apo- morfin, levodopa, digitalis, toksin bakteri,
radiasi, dan ke- lainan metabolisme dapat mengaktifkan zona tersebut. Zona yang sudah
diaktifkan itu akan mengirimkan impuls saraf ke pusat muntah dalam medula oblongata dan
rang- kaian berikut ini mulai terjadi:
1. Otot-otot abdomen dan diafragma berkontraksi.
2. Gerakan peristalsis terbalik mulai terjadi dan menye- babkan isi usus mengalir balik
ke dalam lambung serta menimbulkan distensi lambung.
3. Lambung mendorong diafragma ke arah kavum toraks sehingga terjadi kenaikan
tekanan intratorakal.
4. Tekanan ini memaksa sfingter esofagus bagian atas untuk terbuka, glotis menutup,
dan palatum mole menyekat nasofaring.
5. Tekanan tersebut juga memaksa isi lambung melewati sfingter untuk disemburkan
keluar melalui mulut.

2.2.3 Gangguan Sistem Pencernaan

1. Apendisitis
Sebagai penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan,
apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis. Apendiks
vermiformis, yang disebut pula umbai cacing atau lebih dikenal dengan nama usus buntu,
merupakan kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum. Apendisitis dapat terjadi pada
segala usia dan mengenai laki-laki serta perem- puan sama banyak. Akan tetapi, pada usia
antara pubertas dan 25 tahun, prevalensi apendisitis lebih tinggi pada laki- laki. Sejak
terdapat kemajuan dalam terapi antibiotik, insi- densi dan angka kematian karena apendisitis
mengalami penurunan. Apabila tidak ditangani dengan benar, penyakit ini hampir selalu
berakibat fatal.

Etiologi
Penyebab dapat meliputi:
 ulserasi mukosa
 massa feses
 striktur
 barium mealinfeksi virus

Patofisiologi
Ulserasi mukosa memicu inflamasi yang secara temporer akan menyumbat apendiks.
Obstruksi tersebut menghalangi aliran keluar mukus, Tekanan dalam apendiks yang kini
mengalami distensi akan meningkat dan apendiks tersebut berkontraksi. Bakteri mulai
memperbanyak diri sementara proses inflamasi serta tekanan terus meningkat dan meng-
ganggu aliran darah ke dalam apendiks sehingga timbul nyeri abdomen yang hebat.

Tanda dan gejala


Tanda dan gejala apendisitis dapat meliputi:
 nyeri abdomen yang disebabkan oleh inflamasi apendiks dan distensi serta obstruksi usus;
rasa nyeri ini dimulai pada regio epigastrium dan kemudian beralih ke kuadran kanan
bawah,
 anoreksia sesudah awitan nyeri
 mual atau muntah yang disebabkan oleh inflamasi demani dengan derajat rendah
(subfebris) akibat manifestasi sistemik inflamasi dan leukositosis
 nyeri tekan karena inflamasi

Penatalaksanaan
Penanganan apendisitis dapat meliputi:
 puasa yang dipertahankan sampai operasi dilakukan
 posisi Fowler untuk membantu mengurangi rasa nyeri intubasi Gl untuk dekompresi
 apendektomi
 pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi jika terjadi peritonitis
 pemberian infus cairan dan elektrolit untuk memulihkan keadaan dehidrasi yang mungkin
terjadi karena pem- bedahan atau karena mual dan muntah.

2. Kolesistitis
Kolesistitis, yang merupakan keadaan inflamasi akut atau kronis dengan menimbulkan
distensi kandung empedu yang nyeri, biasanya disertai batu empedu yang terjepit dalam
duktus sistikus.

Kolesistitis merupakan keadaan yang membuat 10% hingga 25% pasien harus
menjalani pembedahan kandung empedu. Bentuk yang akut paling sering ditemukan di antara
wanita yang berusia pertengahan; bentuk kronis di antara manula. Kolesistitis dengan
penanganan yang baik tuempunyai prognosis yang cukup baik.

Etiologi
Penyebab kolesistitis dapat meliputi:
 batu empedu (penyebab paling sering)
 aliran darah yang buruk atau tidak terdapat pada kandung empedu
 metabolisme kolesterol dan garam empedu yang abnormal

Patofisiologi
Pada kolesistitis akut, inflamasi dinding kandung empedu biasanya terjadi setelah
terdapat batu empedu yang terjepit di dalam duktus sistikus, (Lihat Memahami pembentukan
batu enpachi Kalau aliran empedu tersumbat, kandung empedu akan mengalami infiamasi
dan distensi Pertum buhan bakteri, biasanya Escherichia coli, bisa turut menimbulkan
inflamasi Edema kandung empedu (dan kadang kadang duktus sistikus) akan menyumbat
aliran empedu dan keadaan ini menimbulkan iritasi kimia pada kandung empedu, Sel-sel
dalam dinding kandung empedu dapat kekurangan oksigen dan mati ketika organ yang
mengalami distensi tersebut menekan pembuluh darah dan mengganggu aliran darah. Sel-sel
yang mati akan mengelupas sehingga kandung empedu melekat pada struktur di sekitarnya.

Tanda dan gejala


Tanda dan gejala dapat meliputi:
 nyeri abdomen yang akut pada kuadran kanan atas dan bisa menjalar ke punggung, ke
daerah di antara kedua skapula, atau ke depan dada; rasa ini terjadi sekunder karena
inflamasi dan iritasi serabut saraf
 kolik akibar lewatnya batu empedu di sepanjang saluran empedu
 mual dan muntah yang dipicu oleh respons inflamasi
 menggigil yang berkaitan dengan demam
 demam dengan derajat rendah (subfebris) yang terjadi sekunder karena inflamasi
 ikterus akibat obstruksi duktus koledokus oleh batu.
Penatalaksanaan
Penanganan kolesistitis dapat meliputi:
 kolesistektomi untuk mengangkat kandung empedu yang mengalami inflamasi lewat
pembedahan
 koledokostomi untuk menibuat lubang lewat pem- bedahan pada duktus koledokus untuk
drainase
 kolesistostomi transhepatik perkutaneus
 endoskopik retrograd kolangiopankreatografi (endos- copic retrograde
cholangiopancreatography, ERCP) untuk mengangkat batu empedu
 •litotripsi untuk menghancurkan batu empedu dan menghilangkan obstruksi
 pemberian obat oral asam kenodeoksikolat atau decksikolat untuk melarutkan batu
empedu
 diet rendah lemak untuk mencegah serangan
 pemberian vitamin K untuk mengurangi keluhan gatal- gatal, ikterus, dan kecenderungan
perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi vitamin K
 pemberian antibiotik selama serangan akut untuk mengatasi infeksi
 •pemasangan pipa nasogastrik selama serangan akut untuk dekompresi abdomen

3. Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh obstruksi difus dan
regenerasi fibrotik sel-sel hepar. Karena jaringan yang nekrotik menghasilkan fibrosis, maka
penyakit ini akan merusak jaringan hati serta pem- buluh darah yang normal, mengganggu
aliran darah serta cairan limfe, dan pada akhirnya menyebabkan insufisiensi hati. Sirosis
hepatis ditemukan pada laki-laki dengan insidensi dua kali lebih sering dibandingkan pada
wanita dan khususnya prevalen di antara para penderita malnutrisi usia di atas 50 tahun
dengan alkoholisme kronis. Angka mortalitasnya tinggi dan banyak pasien meninggal dalam
lima tahun sejak awitan sirosis tersebut.

Etiologi
Etiologi dari sirosis hepatis bersifat multifaktorial. Sirosis hepatis di negara maju sering
kali disebabkan oleh alkoholisme kronis dan infeksi virus hepatitis C. Sementara itu, sirosis
hepatis di negara berkembang umumnya disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan virus
hepatitis C.
Konsumsi Alkohol
Hepar merupakan organ yang menjadi target utama yang akan mengalami kerusakan akibat
konsumsi alkohol yang berlebihan, karena sebagian besar metabolisme etanol terjadi di
hepar. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penyakit hati kronis
seperti steatosis (fatty liver), steatohepatitis, fibrosis dan sirosis hepatis

Patofisiologi
Sirosis hepatis dimulai dengan pembentukan jaringan parut atau fibrosis. Parut atau
sikatriks ini berawal sebagai peningkatan komponen matriks ekstrasel, yaitu kolagen yang
membentuk fibril, proteoglikan, fibronektin, dan asam hialuronat. Lokasi pengendapan
kolagen bervariasi menurut penyebabnya. Fungsi hepatosit akhirnya akan terganggu karena
terjadi perubahan matriks. Sel-sel yang menyimpan lemak diyakini sebagai sumber
pembentukan komponen matriks yang baru. Pengerutan sel-sel ini juga dapat turut
menimbulkan disrupsi arsitektur lobulus hati dan obstruksi aliran darah ataupun getah
empedu. Perubahan seluler yang menghasilkan pita jaringan parut juga menghancurkan
struktur lobulus.

Tanda dan gejala


Berikut ini merupakan tanda dan gejala stadium awal:
 anoreksia akibat perubahan citarasa terhadap makanan tertentu
 mual dan muntah akibat respons inflamasi dan efek sistemik inflamasi hati
 diare akibat malabsorpsi
 nyeri tumpul abdomen akibat inflamasi hati

Penatalaksanaan
Penanganan dapat meliputi:
 pemberian vitamin serta suplemen gizi untuk membantu menyembuhkan sel-sel hati yang
rusak dan memper- baiki status gizi pasien
 pemberian antasid untuk mengurangi distres lambung dan menurunkan potensi perdarahan
GI
 emberian diuretik yang mempertahankan kalium untuk mengurangi penumpukan cairan
 pemberian vasopresin untuk mengatasi varises esofagus
 intubasi esofagogastrik dengan kateter multilumen untuk mengendalikan perdarahan dari
varises esofagus atau lokasi perdarahan lain dengan menggunakan balon untuk menekan
lokasi perdarahan tersebut

4. Penyakit Crohn
Penyakit Crohn, yang juga dikenal dengan nama enteritis regional atau kolitis
granulomatosa, merupakan keadaan inflamasi pada setiap bagian traktus GI (biasanya pada
kolon bagian proksimal dan lebih jarang lagi pada ileum terminalis) yang membentang
melewati semua lapisan dinding intestinal. Inflamasi ini dapat pula melibatkan nodus limf
dan mesenterium. Penyakit Crohn paling pre- valen pada dewasa usia 20 hingga 40 tahun.

Etiologi
Penyebab pasti penyakit Crohn tidak diketahui, tetapi keadaan yang dapat
menimbulkan penyakit ini meliputi:
 obstruksi limfatik
 alergi
 gangguan imun
 infeksi
 predisposisi genetik.

Patofisiologi
Apapun yang menjadi penyebab penyakit Crohn, inflamasi berlangsung perlahan dan
progresif. Nodus limfe yang membesar menghalangi aliran cairan limfe dalam sub- mukosa.
Obstruksi limfatik ini akan menimbulkan edema, ulserasi mukosa, dan fisura, abses, serta
kadang-kadang granuloma. Ulserasi mukosa dinamakan "skipping lesions" (lesi yang
meloncat-loncat) karena lesi tidak menyambung seperti kolitis ulseratif.
Bercak-bercak menonjol yang berbentuk oval dan terdiri atas folikel-folikel limfe yang
memadat menjadi satu, terbentuk pada dinding usus halus. Bercak-bercak ini dinamakan plak
Peyeri. Fibrosis yang terjadi kemudian akan membuat dinding usus menebal dan
menimbulkan stenosis atau penyempitan lumennya (Lihat Perubahan usus pada penyakit
Crohn.) Membran serosa akan meng- alami inflamasi (serositis), gelungan usus yang
mengalami inflamasi akan saling melekat dengan gelungan lain yang sakit ataupun yang
masih sehat, dan segmen-segmen usus yang sakit tersebar dan diselingi segmen-segmen usus
yang sehat. Akhirnya, bagian usus yang sakit akan menebal, menyempit, dan menjadi lebih
pendek.

Tanda dan gejala


Tanda dan gejala penyakit Crohn meliputi:
 nyeri yang bersifat kolik dan persisten pada kuadran kanan bawah; nyeri abdomen ini
disebabkan oleh infla- masi akut serta iritasi serabut saraf
 rasa kram akibat inflamasi akut
 nyeri tekan akibat inflamasi akut
 massa yang teraba pada kuadran kanan bawah
 penurunan berat badan yang terjadi sekunder karena diare dan malabsorpsi
 diare akibat malabsorpsi garam empedu, kehilangan daerah permukaan usus yang sehat, dan
pertumbuhan bakteri
 steatore yang terjadi sekunder karena malabsorpsi lemak
 feses berdarah yang terjadi sekunder karena perdarahan dari bagian usus yang mengalami
inflamasi dan ulserasi.

PerubahanUsus Pada Penyakit Crohn

Seiring berlanjutnya penyakit Crohn, pembentukan fibrosis menebalkan dinding usus


dan menyempitkan lumennya. Penyempitan atau stenosis-dapat terjadi pada setiap bagian
intestinum dan menyebabkan berbagai derajat obstruksi intestinal. Mula-mula mukosa usus
mungkin tampak normal tetapi ketika penyakit berlanjut, penampilannya akan menyerupai
"batu kerikil" sehingga dinamakan "cobblestone" appearance sebagaimana terlihat di sini.

GAMBAR
 Sigmoidoskopi dan kolonoskopi menunjukkan bercak- bercak inflamasi (yang membantu
menyingkirkan kemungkinan kolitis ulseratif) dengan gambaran per- mukaan mukosa usus
yang mirip batu kerikil (cobble- stone appearance). Jika kolon ikut terkena, kita dapat
melihat ulkus.
 Biopsi mengungkapkan granuloma pada separuh dari seluruh spesimen yang diperiksa.
 Tes darah memperlihatkan peningkatan jumlah sel darah putih serta laju endap darah dan
penurunan kadar kalium, kalsium, magnesium, serta nilai hematokrit.

Penanganan:
Tindakan penanganan bagi penyakit Crohn meliputi:
 preparat kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dan selanjutnya diare, rasa nyeri, serta
perdarahan
 preparat imunosupresan untuk menekan respons ter- hadap antigen
 sulfasalazin untuk mengurangi inflamasi
 metronidazol untuk mengatasi komplikasi perianal •obat-obat antidiare untuk mengatasi
diare (jangan di- lakukan pada pasien dengan obstruksi usus yang signifikan)
 preparat analgetik narkotik untuk mengendalikan rasa nyeri dan diare
 reduksi/penurunan stres dan aktivitas fisik untuk mengistirahatkan usus dan memberi
kesempatan sembuh
 suplemen vitamin untuk menggantikan dan mengimbangi ketidakmampuan usus menyerap
vitamin
 perubahan diet (menghindari sayuran, buah, makanan berserat tinggi, produk susu,
makanan pedas, serta ber- lemak, makanan yang dapat mengiritasi mukosa usus, minuman
yang mengandung soda serta kafein, dan makanan atau cairan lain yang menstimulasi
aktivitas usus secara berlebihan) untuk mengurangi aktivitas usus sementara pemberian
nutrisi yang adekuat tetap dipertahankan
 pembedahan jika diperlukan untuk memperbaiki per- forasi usus dan mengoreksi
perdarahan yang masif, fistula ataupun obstruksi intestinal yang akut; kolektomi disertai
ileostomi pada pasien dengan penyakit yang luas pada usus besar dan rektum.

5. Penyakit Refluks Gastroesofagus


Penyakit refluks gastroesofagus atau yang secara populer dikenal sebagai nyeri ulu hati
atau pirosis. Merupakan aliran balik (refluks) isi lambung atau duodenum atau keduanya ke
dalam esofagus dan melewati sfingter esofagus bagian bawah tanpa disertai muntah atau
belching (muntah tanpa isi). Aliran balik isi lambung menyebabkan nyeri akut epigastrium
yang biasanya terjadi sesudah makan. Rasa nyeri tersebut dapat menjalar ke dada atau lengan.
Refluks gastroesofagus umumnya ditemukan pada ibu hamil atau pasien obesitas. Berbaring
sesudah makan juga dapat ikut menimbulkan refluks.

Etiologi
Penyebab penyakit refluks gastroesofagus yaitu meliputi:
 sfingter esofagus yang lemah
 peningkatan tekanan intra abdomen, seperti pada kehamilan atau obesitas
 obat-obatan seperti morfin, diazefam, penyakit saluran kalsium, meperidin, dan obat-
obatan antikolinergik
 makanan, alkohol, atau rokok yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah
 intubasi nasogastrik yang lebih dari empat hari

Patofisiologi
Dalam keadaan normal, sfingter esofagus bagian bawah akan mempertahankan tekanan
di sekitar ujung distal esofagus untuk menutup bagian tersebut dan mencegah refluks. Secara
khas sfingter tersebut akan mengadakan relaksasi sesudah setiap gerakan menelan untuk
memungkinkan makanan masuk ke dalam lambung. Pada penyakit refluks gastroesofagus,
sfingter ini tidak bisa menutup (biasanya karena tekanan sfingter esofagus bagian bawah
kurang atau tekanan dalam lambung melebihi tekanan sfingter esofagus bagian bawah) dan
tekanan di dalam lambung akan mendorong isi lambung ke dalam esofagus. Asiditas yang
tinggi pada isi lambung akan menimbulkan rasa nyeri dan iritasi ketika isi lambung tersebut
memasuki esofagus.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala penyakit refluks gastroesofagus meliputi:
•rasa nyeri seperti terbakar di daerah epigastrium, yang bisa menjalar ke lengan dan dada,
rasa nyeri ini terjadi karena aliran balik atau refluks isi lambung ke dalam esofagus sehingga
timbul iritasi dan spasme esofagus.
•rasa nyeri yang biasanya terjadi sesudah makan atau pada waktu berbaring serta rasa nyeri
ini terjadi karena peningkatan tekanan abdomen yang menyebabkan refluks.
•rasa adanya penumpukan cairan dalam tenggorok yang tidak disertai rasa asam atau pahit
akibat hipersekresi saliva.

Penatalaksanaan
Penanganannya dapat meliputi:
 terapi diet dengan makan sedikit, sering dan menghindari kebiasaan makan sebelum tidur
untuk mengurangi tekanan abdomen serta insidensi refluks.
 pengaturan posisi duduk selama atau sesudah makan dan tidur dengan bagian kepala
tempat tidur ditinggikan untuk mengurangi tekanan abdomen serta mencegah refluks
 peningkatan asupan cairan untuk membilas isi lambung dari dalam esofagus.
 preparat antasid untuk menetralkan isi lambung yang asam dan mengurangi iritasi.
 preparat antagonis histamin-2 untuk menghambat sekresi asam lambung.
 preparat inhibitor pompa proton untuk mengurangi asiditas lambung.
 preparat kolinergik untuk meningkatkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah
 penghentian kebiasaan merokok untuk memperbaiki tekanan stingter esofagus bagian
bawah (nikotin me- nurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah)
 pembedahan bila penyebab penyakit refluks gastroesofagus berupa hernia hiatus atau jika
pasien memiliki gejala yang membandel.

6. Hepatitis NonVirus
Hepatitis nonvirus merupakan keadaan inflamasi pada hati yang biasanya terjadi akibat
pajanan zat kimia atau obat tertentu. Sebagian besar pasien akan sembuh dari keadaan sakit
ini meskipun sebagian kecil dapat mengalami hepatitis fulminan atau sirosis hepatis.
Etiologi
Penyebab hepatitis nonvirus meliputi:
 pola hidup
 kelainan genetik
 zat kimia yang hepatotoksik
 obat yang hepatotoksik.
Patofisiologi
Berbagai hepatotoksin seperti karbon tetraklorida, asetaminofen, trikloroetilen,
cendawan beracun, dan vinil klorida dapat menyebabkan hepatitis. Sesudah terpajan preparat
di atas, akan terjadi nekrosis seluler hepatik, pembentukan parut, hiperplasia sel kupffer, dan
infiltrasi fagosit mononuklear dengan berbagai intensitas pada jaringan hati. Alkohol,
keadaan anoksia, dan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya akan memperberat efek
beberapa jenis hepatotoksin tersebut.
Hepatitis yang diinduksi oleh obat (idiosikratik) dapat muncul sebagai reaksi
hipersensitivitas yang unik pada setiap pasien, keadaan ini berbeda dari hepatitis toksik yang
bisa menular ke semua pasien yang terkena tanpa perbedaan. Di antaranya sejumlah
penyebab hepatitis idiosinkratik ini terdapat masin, halotan, obat-obat golongan sulfonamid,
isoniazid, asetaminofen, metildopa, dan fenotiazin (hepatitis yang ditimbulkan oleh
kolestasis). Gejala disfungsi hepatik dapat timbul setiap saat selama atau sesudah pasien
terpajan obat-obat ini, tetapi manifestasi klinisnya biasanya baru terjadi dua hingga lima
minggu sesudah terapi.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejalanya meliputi:
 anoreksia, mual, dan muntah akibat efek sistemik inflaması hati
 ikterus akibat penurunan metabolisme bilirubin yang menimbulkan hiperbilirubinemia
 urine yang berwarna gelap akibat kenaikan kadar urobilinogen
 hepatomegali akibat inflamasi
 kemungkinan terdapatnya nyeri abdomen akibat inflamasi hati
 feses yang berwarna dempul dan gejala ini terjadi sekunder karena sekresi getah empedu
ke dalam traktus GI akibat nekrosis hati
 pruritus yang terjadi sekunder karena ikterus dan hiperbilirubinemia
Penatalaksanaan
Penanganannya meliputi:
 lavase, obat pencahar, atau hiperventilasi menurut jalur pajanan untuk menghilangkan
agens penyebab
 asetilsistein sebagai antidotum untuk keracunan asetaminofen
 kortikosteroid untuk meredakan keluhan dan gejala hepatitis nonvirus yang diinduksi
oleh pemakaian obat.

7. Hepatitis Virus
Hepatitis virus merupakan infeksi hati yang sering terjadi dan mengakibatkan destruksi,
nekrosis, serta autolisis sel hati. Pada kebanyakan pasien, sel-sel hati akhirnya meng- adakan
regenerasi dengan sedikit kerusakan yang tersisa atau tanpa kerusakan sama sekali. Namun,
usia lanjut dan gangguan serius yang ada di balik infeksi ini akan mem- perbesar
kemungkinan komplikasi. Hepatitis virus memiliki prognosis yang buruk jika terjadi edema
dan ensefalopati hepatik.

Ada lima bentuk utama hepatitis yang kini dikenal:

Tipe A (hepatitis infeksiosa atau hepatitis dengan masa inkubasi singkat) paling sering
ditemukan di antara para homoseksual pria dan penderita infeksi HIV (human
immunodeficiency virus). Umumnya hepatitis A menyebar melalui jalur fekal-oral dengan
mengon- sumsi makanan yang terkontaminasi feses penderita hepatitis A tersebut.

Tipe B (hepatitis serum atau hepatitis dengan masa inkubasi yang panjang) juga paling
sering ditemukan di antara orang-orang dengan hasil tes HIV yang positif. Skrining rutin
darah donor untuk mendeteksi antigen permukaan hepatitis B telah menurunkan insidensi
kasus pascatransfusi. Akan tetapi, penularan melalui jarum suntik yang dipakai bersama oleh
para pecandu obat bius tetap menjadi persoalan utama.

Tipe C ditemukan pada sekitar 20% dari semua kasus hepatitis virus dan pada sebagian
besar kasus pasca- transfusi.

Tipe D (hepatitis delta) menyebabkan sekitar 50% dari semua kasus hepatitis fulminan
yang memiliki angka mortalitas tinggi. Hepatitis fulminan yang terjadi pada 1% pasien
hepatitis virus menyebabkan gagal hati ireversibel yang disertai ensefalopati. Hepatitis fulmi-
nan akan berlanjut ke dalam keadaan koma dan umum- nya menimbulkan kematian dalam
tempo dua minggu. Di Amerika Serikat, hepatitis tipe D hanya terjadi pada orang-orang yang
sering terpajan darah serta produk darah, seperti para penyuntik obat bius IV dan pasien-
pasien hemofilia. Hepatitis D ini hanya ditemukan pada pasien hepatitis B dalam episode
yang akut atau kronis dan memerlukan keberadaan antigen permukaan hepatitis B. Untuk
mengadakan replikasi, virus tipe D bergantung pada virus tipe B yang memiliki bungkus
ganda. (Karena alasan inilah, infeksi tipe D tidak kin lebih lama daripada infeksi tipe B.)

Tipe E (yang dahulunya dikelompokkan ke dalam tipe D dan E dengan nama hepatitis
non-A, non-B) terutama terjadi pada pasien-pasien yang baru datang dari daerah endemik
(seperti India, Afrika, Asia, atau Amerika Tengah). Infeksi ini lebih sering ditemukan di
antara para dewasa muda dan lebih berat pada ibu hamil (Lihat Hepatitis virus dari A hingga
E.)
Tipe yang lain terus teridentifikasi seiring peningkatan populasi pasien dan semakin
canggihnya teknik peme- riksaan laboratorium.

Penyebab
Kelima bentuk utama hepatitis virus terjadi karena infeksi oleh virus penyebab: A, B,
C, D, atau E.

Patofisiologi
Kerusakan hati yang terjadi biasanya serupa pada semua tipe hepatitis virus. Cedera dan
nekrosis sel hati ditemukan dengan berbagai derajat. Ketika memasuki tubuh, virus hepatitis
menyebabkan cedera dan kematian hepatosit yang bisa dengan cara membunuh langsung sel
hati atau dengan cara mengaktifkan reaksi imun serta inflamasi. Reaksi imun dan inflamasi
ini selanjutnya akan mencederai atau menghancurkan hepatosit dengan menimbulkan lisis
pada sel-sel yang terinfeksi atau yang berada di sekitarnya. Kemudian, serangan antibodi
langsung pada antigen virus menyebabkan destruksi lebih lanjut sel-sel hati yang terinfeksi.
Edema dan pembengkakan interstisium menimbulkan kolaps kapiler serta penurunan aliran
darah, hipoksia jaringan, dan pembentukan parut, serta fibrosis.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala hepatitis virus mencerminkan stadium penyakit tersebut.

Stadium prodromal. Tanda dan gejala stadium prodromal meliputi:


 keluhan mudah lelah dan tidak enak badan yang menyeluruh akibat efek sistemik
inflamasi hati
 anoreksia dan sedikit penurunan berat badan akibat efek sistemik inflamasi hati
 atralgia dan mialgia akibat efek sistemik inflamasi hati
 mual dan muntah akibat efek inflamasi hati pada GI
 perubahan pada indera pengecap dan pembau yang berhubungan dengan inflamasi hati
 demam yang terjadi sekunder karena proses inflamasi
 nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas akibat inflamasi hati dan iritasi serabut saraf
di daerah tersebut
 urine berwarna gelap akibat urobilinogen
 feses berwarna seperti dempul akibat penurunan sekresi empedu ke dalam traktus GI

Stadium klinis. Tanda dan gejala stadium klinis meliputi:


 semua gejala pada stadium prodromal yang semakin parah
 keluhan gatal-gatal akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah
 nyeri abdomen atau nyeri tekan pada abdomen akibat inflamasi hati yang berlanjut
 gejala ikterus akibat kenaikan kadar bilirubin di dalam darah.

Stadium pemulihan. Keluhan dan gejala yang dialami pasien mereda dan selera
makannya kembali pulih.

Penatalaksanaan
Penanganan dapat meliputi:
 istirahat untuk mengurangi kebutuhan energi
 menghindari konsumsi alkohol atau obat lain untuk mencegah kerusakan hati lebih lanjut
 terapi diet berupa makanan tinggi kalori tetapi dalam porsi kecil untuk mengatasi
anoreksia
 nutrisi parenteral jika pasien tidak bisa makan karena vomitus yang persisten
 vaksinasi terhadap hepatitis A dan B untuk memberikan kekebalan terhadap virus ini
sebelum terjadi penularan.

2.2.4 Penyakit yang Mengancam Kehidupan


1. Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschsprung, juga disebut megakolon kongenital dan megakolon aganglionik
kongenital, merupakan gang- guan kongenital pada usus besar yang ditandai oleh tidak ada
atau penurunan secara nyata sel-sel ganglion parasim patik di dalam dinding kolorektal.
Penyakit Hirschsprung tampak sebagai defek kongenital yang bersifat familial dan terjadi
pada 1 dalam 2000 hingga 1 dalam 5000 kelahiran hidup.
Penyakit ini memiliki insidensi tujuh kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan pada
wanita (meskipun men aganglionik biasanya lebih pendek pada laki-laki) den paling prevalen
di antara populasi kulit putih di Amerika. Aganglionosis total mengenai laki-laki dan wanita
sama banyaknya. Wanita yang menderita penyakit Hirschsprung menghadapi risiko yang
lebih besar untuk mempunyai anak dengan penyakit ini. Biasanya penyakit Hirschsprung
muncul bersama anomali kongenital lain, khususnya trisomi 21, dan anomali pada traktus
urinarius, seperti megaloureter. Tanpa penanganan segera, bayi dengan obstruksi kolon dapat
meninggal dunia dalam tempo 24 jam akibat entero- kolitis yang menyebabkan diare hebat
dan syok hipovole- mik. Dengan penanganan segera, prognosis cukup baik.

Etiologi
Penyebab penyakit Hirschsprung meliputi:
 defek kongenital yang bersifat familial.
 kelainan saraf pada bagian usus besar sehingga menyebabkan bayi sulit atau bahkan tidak
dapat BAB secara normal

Tanda dan gejala


Tanda dan gejala pada neonatus meliputi:
 muntah dengan muntahan yang mengandung feses atau empedu sebagai akibat obstruksi
intestinal
 distensi abdomen yang terjadi sekunder karena retens îsi usus dan obstruksi usus
 iritabilitas (anak menjadi rewel) akibat distensi abdomen yang ditimbulkan
 kesulitan menyusu dan kegagalan tumbuh-kemban yang berhubungan dengan retensi isi
usus dan distens abdomen

Penatalaksanaan
Penanganan dapat meliputi:
 pembedahan korektif untuk menarik segmen usus nor- mal yang memiliki ganglion sampai
anus (biasanya tindakan ini dilakukan setelah bayi menginjak usia sedikitnya 10 bulan)
 lavase kolon, yang dilakukan setiap hari untuk mengo- songkan usus bayi sampai ketika
pembedahan hendak dilakukan
 kolostomi atau ileostomi temporer untuk mengurangi kompresi kolon pada kasus penyakit
Hirschsprung dengan obstruksi total usus.

2. Gagal Hati
Gagal hati dapat merupakan hasil akhir semua penyakit hati. Hati melaksanakan lebih
dari 100 macam fungsi yang terpisah dalam tubuh. Ketika hati mengalami kegagalan, akan
timbul suatu sindrom yang kompleks dan melibatkan gangguan pada organ serta fungsi
tubuh. (Lihat Fungsi hati.) Ensefalopati hepatik dan sindrom hepatorenal merupakan dua
keadaan yang terjadi pada gagal hati. Satu- satunya cara untuk menyembuhkan gagal hati
adalah trans- plantasi hati.

Etiologi
Penyebab gagal hati meliputi:
 hepatitis virus
 hepatitis nonvirus
 sirosis hepatis
 kanker hati
Patofisiologi
Manifestasi gagal hati meliputi ensefalopati hepatik dan sindrom hepatorenal.
Ensefalopati hepatik, yaitu serangkaian kelainan pada sistem saraf pusat, terjadi ketika hati
tidak lagi mampu melaksanakan detoksifikasi darah. Disfungsi hati dan pembuluh darah
kolateral yang memintaskan darah di sekitar hati ke sirkulasi sistemik memungkinkan zat-zat
beracun yang terserap dari traktus GI mengalir dengan bebas ke dalam otak. Amonia yang
merupakan produk sampingan metabolisme protein adalah salah satu toksin penting yang
menyebabkan ensefalopati hepatik. Hati yang normal akan mengubah amonia menjadi ureum
yang kemudian diekskresikan keluar oleh ginjal. Kalau hati mengalami kegagalan dan tidak
lagi mampu mengubah amonia menjadi ureum, maka kadar amonia dalam darah akan
meninggi dan amonia dibawa darah ke dalam otak. Asam lemak rantai pendek, serotonin,
triptofan dan zat-zat pseudoneurotransmiter dapat turut menumpuk di dalam darah dan ikut
menimbulkan ensefalopati hepatik.

Sindrom hepatorenal merupakan gagal ginjal yang terjadi bersama penyakit hati; ginjal
tampak normal tetapi secara mendadak berhenti bekerja. Keadaan ini menye- babkan
peningkatan volume darah, penumpukan ion-ion hidrogen, dan gangguan elektrolit. Sindrom
hepatorenal paling sering ditemukan pada pasien sirosis alkoholik atau hepatitis fulminan.
Penyebabnya adalah penumpukan sub- stansi vasoaktif yang menyebabkan konstriksi arteriol
renal secara tidak tepat sehingga terjadi penurunan filtrasi glomerular dan oliguria.
Vasokonstriksi tersebut dapat pula merupakan respons kompensasi terhadap hipertensi porta
dan penumpukan darah dalam sirkulasi splenikus.

Tanda dan gejala


Tanda dan gejala meliputi:
1. ikterus akibat kegagalan hati melakukan konjugasi bilirubin
2. nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen akibat inflamasi hati
3. mual dan anoreksia akibat efek sistemik inflamasi rasa lelah dan penurunan berat badan
akibat kegagalan metabolisme hati
4. pruritus akibat penumpukan bilirubin dalam kulit
5. oliguria akibat vasokonstriksi intrarenal
6. splenomegali yang terjadi sekunder karena hipertensi porta
7. asites akibat hipertensi porta dan penurunan kadar protein plasma
8. edema perifer akibat penumpukan cairan yang mengalami retensi karena penurunan
produksi protein plasma dan kehilangan albumin pada kondisi asites
9. varises pada esofagus, rektum, dan dinding abdomen yang terjadi sekunder karena
hipertensi porta
10. tendensi perdarahan akibat trombositopenia (yang ter- jadi sekunder karena penumpukan
darah di dalam limpa) dan pemanjangan waktu protrombin (akibat gangguan produksi
faktor-faktor pembekuan)
11. petekie akibat trombositopenia
12. amenore yang terjadi sekunder karena perubahan pro- duksi dan metabolisme hormon
steroid
13. ginekomastia pada laki-laki akibat penumpukan estrogen yang disebabkan oleh kegagalan
fungsi biotransformasi hepatik.
Penanganange himerigo parame
Penanganan dapat meliputi:
 transplantasi hati
 diet tinggi karbohidrat rendah protein untuk mengoreksi defisiensi gizi dan mencegah
beban kerja hati yang berlebihan
 pemberian laktulosa untuk mengurangi kadar amonia darah dan membantu mengurangi
sebagian gejala ensefalopati hepatik.

Pada asites, penanganan meliputi:


 pembatasan garam dan pemberian diuretik yang meng- amankan kalium untuk
meningkatkan ekskresi air
 suplemen kalium untuk membalikkan efek dari kadar aldosteron yang tinggi
 parasentesis untuk mengeluarkan cairan asites dan mengurangi ketidaknyamanan abdomen
 pemasangan shunt untuk membantu mengeluarkan cairan asites dan mengurangi
ketidaknyamanan abdo- men.

Pada hipertensi porta, penanganan meliputi:


pemasangan shunt antara vena porta dan vena sistemik lain untuk mengalihkan aliran darah
serta mengurangi tekanan.

Pada perdarahan varises, penanganan meliputi:


 pemberian obat-obat vasokonstriktor untuk mengendalikan perdarahan
 tamponade balon untuk mengendalikan perdarahan
 melalui penekanan daerah varises menggunakan balon kateter
 pembedahan untuk ligasi kolateral vena porta yang mengalami perdarahan
 pemberian vitamin K untuk mengendalikan perdarahan dengan menurunkan waktu
protrombin.

3. Pankreatitis
Pankreatitis, yang merupakan inflamasi pankreas, terjadi dalam bentuk akut serta kronis
dan dapat disebabkan oleh edema, nekrosis, atau perdarahan Pada laki-laki, pan- kreatitis
sering menyertai alkoholisme, trauma, atau ulkus peptikum. pada wanita, penyakit ini bisa
menyertai pe nyakit saluran empedu. Pankreatitis yang menyertai penya- kit saluran empedu
memiliki prognosis yang baik, tetapi pankreatitis yang menyertai alkoholisme mempunyai
prog nosis yang buruk. Angka mortalitasnya bisa mencapai 60% kalau pankreatitis tersebut
disebabkan oleh nekrosis dan perdarahan.
Etiologi
Penyebab pankreatitis meliputi:
 penyakit saluran empedu
 alkoholisme
 struktur organ yang abnorma
 gangguan metabolik atau endokrin, seperti kadar kolesterol yang tinggi atau kelenjar tiroid
yang aktif berlebihan
 kista atau tumor pankreas
 ulkus peptikum yang mengadakan penetrasi
 trauma tumpul atau trauma akibat pembedahan
 obat-obatan, seperti glukokortikoid, sulfonamid, thia- zida, kontrasepsi oral, dan obat-obat
golongan NSAID (antiinflamasi nonsteroid)
 gagal ginjal atau transplantasi ginjal
 pemeriksaan endoskopik saluran empedu dan pankreas.

Patofisiologi
Pankreatitis akut terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk edematosa (interstisial) dan
nekrotik (hemoragik). Pankreatitis edematosa menyebabkan penumpukan cairan dan
pembengkakan. Pankreatitis nekrotik atau hemoragik mengakibatkan kematian sel dan
kerusakan jaringan. Inflamasi yang terjadi pada kedua tipe pankreatitis tersebut disebabkan
oleh aktivasi enzim yang prematur dan menyebabkan kerusakan jaringan pankreas. Enzim
pankreas mengalir balik dan tumpah ke dalam jaringan pankreas sehingga terjadi autodigesti
pankreas.
Pada keadaan normal, kelenjar asinus pankreas menyekresi enzim dalam bentuk
tidak aktif. Ada dua teori yang menjelaskan mengapa enzim-enzim pankreas tersebut
mengalami aktivasi secara prematur.

Salah satu pandangan menyatakan bahwa zat toksik seperti alkohol telah mengubah
cara pankreas menyekresi enzim-enzimnya. Kemungkinan alkohol meningkatkan se- kresi
pankreas, mengubah metabolisme sel-sel asinus, dan mendorong terjadi obstruksi saluran
pankreas sehingga protein dalam sekret pankreas mengalami pengendapan.
Téori lain mengatakan bahwa aliran balik isi duodenum yang mengandung enzim-
enzim aktif masuk ke dalam saluran pankreas dengan mengaktifkan enzim-enzim lain dan
menimbulkan siklus kerusakan pankreas yang lebih parah.

Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala meliputi:
 nyeri abdomen midepigastrium yang dapat menjalar ke daerah punggung; rasa nyeri ini
disebabkan oleh perembesan eksudat inflamasi dan enzim ke posterior peritoneum,
edema serta distensi kapsula pankreas, dan obstruksi saluran empedu
 muntah persisten (pada serangan yang berat) akibat hipermotilitas atau ileus paralitik
yang terjadi sekunder karena pankreatitis atau peritonitis
 distensi abdomen (pada serangan yang berat) akibat hipermotilitas usus dan penumpukan
cairan di dalam rongga abdomen
 penurunan aktivitas usus (pada serangan yang berat) yang menunjukkan perubahan
motilitas yang terjadisekunder karena peritonitis

Penatalaksanaan
Penanganan pankreatitis dapat meliputi:
 infus cairan, protein, dan elektrolit untuk mengatasi syok
 penggantian volume cairan untuk membantu mengo- reksi asidosis metabolik
 transfusi darah untuk mengganti kehilangan darah akibat perdarahan
 memuasakan pasien (tidak memberi makanan serta cairan) untuk mengistirahatkan
pankreas dan mengu- rangi sekresi enzim-enzim pankreas

BAB III
PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Sistem endokrin adalah sekumpukin kelenjar dan organ yang memproduksi


hormon. Hormon adalah senyawa organik pembawa pesan kimiawi di dalam
aliran darah menuju ke sel-sel atau jaringan tubuh.
Proses pencernaan adalah proses perubahan makanan dari bentuk kasar
(kompleks) menjadi bentuk yang halus (sederhana) sehingga dapat diserap usus.
Proses pencernaan pada manusia dibedakan menjadi pencernaan secara mekanik
dan pencernaan secara kimiawi. Pencernaan secara mekanik yaitu mengubah
makanan dari bentuk kasar menjadi halus. Sedangkan pencernaann secara
kimiawi, yaitu pencernaan dengan bantuan enzim.
Sistem pencernaan berfungsi untuk menyediakan makanan, air, dan
elektrolit bagi tubuh dari nutrient yang dicerna sehingga siap diabsorpsi.
3.2 Saran

Pada sistem endokrin dan pencernaan ditemukan berbagai macam


gangguan dan kelainan, baik karena bawaan maupun karena faktor luar, seperti
virus atau kesalahan mengkonsumsi makanan. Untuk itu jagalah kesehatan anda
agar selalu dapat beraktivitas dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Jennifer, K. (2003). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Pearsce, Evelyn C. (2011). Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Pack, E Philip, Ph. 2001. Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Pakar Karya

Anda mungkin juga menyukai