DISUSUN OLEH:
Assalamualaikum wr. wb puji serta syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai
selesai tepat waktu yang telah ditentukan.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sajodin, S.Kep., Ners.,
M.Kes., AIFO. serta teman-teman yang telah memberikan kontribusi berupa dukungan dalam
penyusunan makalah ini. Tentunya, makalah ini tidak akan bisa maksimal pengerjaannya jika
tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Kami menyadari masih banyak kekurangan ataupun kesalahan dalam penyusunan
makalah yang membuat makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik beserta
saran kami harapkan seluas-luasnya dari para pembaca agar dapat menjadi bahan evaluasi
bagi kami untuk lebih meningkatkan kemampuan menulis.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
Latar Belakang........................................................................................................................4
Rumusan Masalah..................................................................................................................5
Tujuan.....................................................................................................................................5
BAB II.......................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.......................................................................................................................7
2.1 Sistem Endokrin...............................................................................................................7
2.1.1 Fisiologi Sistem Endokrin.........................................................................................7
2.1.2 Perubahan Patofisiologi.............................................................................................8
2.1.3 Gangguan Sistem Endokrin.......................................................................................8
2.2 Sistem Pencernaan..........................................................................................................16
2.2.1 Fisiologi Sistem Pencernaan....................................................................................16
2.2.2 Perubahan Patofisiologi...........................................................................................17
2.2.3 Gangguan Sistem Pencernaan..................................................................................20
2.2.4 Penyakit yang Mengancam Kehidupan...................................................................29
BAB III....................................................................................................................................35
PENUTUPAN.........................................................................................................................35
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................35
3.2 Saran..........................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan umum merupakan tujuan secara menyeluruh yang ingin dicapai dari pembuatan
makalah ini. Adapun tujuan umum dalam makalah ini adalah untuk memahami apa Patologi
Dan Patofisiologi Ganggua Sistem Endokrin Dan Pencernaan.
Tujuan khusus merupakan tujuan terperinci yang ingin dicapai dari pembuatan makalah
ini. Adapun tujuan khusus dalam makalah ini sebagai berikut:
a. untuk mengetahui Sistem Endokrin;
b. untuk mengetahui Sistem Pencernaan;
c. untuk mengetahui Patologi Dan Patofisiologi Gangguan Sistem Endokrin Dan
Pencernaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Hormon yang molekulnya kecil (hormon steroid dan hormon tiroid). Hormon ini
mempunyai pengaruh terhadap spektrum jenis sel-sel sasaran yang lebih luas. Hormon steroid
menembus membran sel, berkaitan dengan reseptor protein khas sitoplasma. Ikatan kompleks
steroid resep- tor masuk ke dalam inti sel berkaitan dengan kromatin yang memengaruhi
ekskresi gen, sehingga terjadi perubahan pada kegiatan polimerasi RNA (ribonucleic acid)
yang bergantung pada DNA (deoxyribonucleic acid). Aki- batnya terjadi kenaikan/penurunan
kecepatan produksi RNA, selanjutnya memengaruhi produksi protein yang khas.
2.1.2 Perubahan Patofisiologi
Perubahan pada kadar hormon yang secara signifikan tinggi atau rendah dapat terjadi
karena berbagai sebab. Sistem umpan-balik mungkin tidak dapat berfungsi dengan baik atau
mungkin bereaksi terhadap sinyal yang salah. Disfungsi kelenjar endokrin dapat
bermanifestasi sebagai kegagalan memproduksi hormon aktif dengan jumlah memadai atau
dalam bentuk sintesis atau pelepasan hormon yang berlebihan. Sesudah dilepaskan, hormon
tersebut da- pat diuraikan dengan kecepatan yang berubah atau di- hilangkan aktivitasnya
oleh antibodi sebelum mencapai sel target. Respons sel target yang abnormal meliputi
perubahan yang berkaitan dengan reseptor dan perubahan intra- seluler.
Perubahan intraseluler
Perubahan ini meliputi sintesis pengantar kedua (second messenger) yang diperlukan
untuk mengubah sinyal hor- monal menjadi peristiwa intraseluler. Dua mekanisme ber-
beda yang dapat terlibat meliputi:
respons sel target bagi hormon larut-air yang salah terhadap pengikatan hormon-
reseptor dan kegagalan menghasilkan pengantar kedua yang diperlukan
respons sel target yang abnormal terhadap pengantar kedua dan kegagalan
mengekspresikan efek hormonal yang normal.
Perubahan patofisiologis yang memengaruhi sel target bagi hormon (steroid) larut-
lemak lebih jarang terjadi atau mungkin lebih jarang dikenali.
Penyakit Addison relatif jarang dijumpai dan dapat terjadi pada segala usia serta pada
laki-laki maupun perem- puan. Hipofungsi adrenal sekunder terjadi ketika pasien mendadak
menghentikan penggunaan terapi steroid ekso- genus yang sudah lama dijalani atau kalau
kelenjar hipofisis mengalami cedera karena tumor atau karena proses infiltrasi ataupun
autoimun. Keadaan yang terakhir ini terjadi ketika antibodi yang beredar dalam darah
bereaksi secara khusus terhadap jaringan adrenal sehingga timbul inflamasi dan infiltrasi oleh
limfosit. Dengan diagnosis dini dan terapi sulih yang adekuat, baik hipofungsi adrenal yang
primer maupun yang sekunder memiliki prognosis yang baik.
Krisis adrenal (krisis adisonian), yang merupakan defi- siensi mineralokortikoid dan
glukokortikoid, umumnya terjadi sesudah seseorang mengalami stres akut, sepsis, trauma,
pembedahan, atau sesudah terapi steroid dihentikan pada pasien insufisiensi adrenal yang
kronis. Krisis adrenal merupakan keadaan kedaruratan medis yang memerlukan penanganan
yang intensif dan segera.
Penyakit Addison yang bersifat autoimun paling sering ditemukan pada wanita kulit
putih dan kemungkinan besar terdapat predisposisi genetik. Penyakit ini lebih sering ter- jadi
pada pasien dengan predisposisi familial terhadap penyakit endokrin yang bersifat autoimun.
Sebagian besar pasien penyakit Addison didiagnosis pada usia dekade ketiga hingga kelima
mereka.
Etiologi
Hipofungsi adrenal primer serta sekunder dan krisis adrenal memiliki penyebab yang
berlainan. Keadaan yang paling sering menyebabkan hipofungsi primer meliputi:
• penyakit Addison (kerusakan lebih dari 90% pada ke- dua kelenjar adrenal dan
biasanya disebabkan oleh proses autoimun, ketika antibodi yang beredar dalarn darah
bereaksi secara khusus terhadap jaringan adrenal),
Patofisiologi
Penyakit Addison merupakan keadaan kronis yang terjadi karena destruksi parsial atau
total korteks adrenal. Keadaan ini bermanifestasi sebagai suatu sindrom klinis yang terdiri
atas beberapa gejala yang disertai defisiensi produksi hor- mon korteks adrenal, yaitu
kortisol, aldosteron, dan hormon androgen Kadarkortikotropin dan hormon pelepas-koniko-
tropin yang tinggi menyertai kadar hormon glukokortikoid yang rendah.
Defisiensi hormon korteks adrenal memberi manifestasi yang jelas ketika telah terjadi
kehilangan sel-sel fungsional lebih dari 90% pada kedua kelenjar adrenal. Biasanya atrofi
seluler hanya terbatas pada korteks meskipun dapat terjadi gangguan pada medula adrenal,
yang mengakibatkan defi- siensi katekolamin. Defisiensi kortisol menyebabkan penu- runan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari molekul yang bukan karbohidrat) di dalam hati.
Kadar glukosa da- rah rendah yang diakibatkan dapat turun secara berbahaya pada pasien-
pasien yang secara rutin menggunakan in- sulin.
Defisiensi hormon androgen dapat mengurangi per- tumbuhan rambut di daerah aksila
dan pubis selain di bagi an ekstremitas pada wanita. Efek metabolik yang bulkan oleh
hormon androgen testis membuat gangguan ditim- pertumbuhan rambut tersebut tidak begitu
terlihat pada laki-laki,
Penatalaksanaan
Penanganan hipofungsi adrenal dapat meliputi:
• terapi sulih kortikosteroid seumur hidup, yang biasanya dilakukan dengan pemberian
kortison atau hidrokor- tison; kedua preparat ini akan memberi efek
mineralokortikoid (pada hipofungsi adrenal primer atau sekunder)
• fluorokortison oral (Florinef), suatu mineralokortikoid sintetik untuk mencegah
keadaan dehidrasi yang ber- bahaya, hipotensi, hiponatremia, dan hiperkalemia (pada
penyakit Addison)
• penyuntikan bolus IV hidrokortison 100 mg setiap enam jam sekali selama 24 jam;
kemudian 50 hingga 100 mg yang disuntikkan IM atau diencerkan dalam larutan DS
(dekstrosa dalam salin) dan disuntikkan melalui infus sampai kondisi pasien stabil;
mungkin diperlukan penyuntikan sampai 300 mg hidrokortison per hari dan 3 hingga
5 L (3,2 hingga 5,3 qt) larutan DS (pada krisis adrenal).
Dengan penanganan yang tepat, biasanya krisis adrenal akan mereda dengan cepat;
tekanan darah menjadi stabil, dan kadar air serta natrium kembali normal. Sesudah krisis,
pemberian hidrokortison dengan dosis rumatan dapat men- jaga kestabilan fisiologis.
2 Sindrom Cushing
Sindrom Cushing merupakan kumpulan abnormalitas klinis yang disebabkan oleh
keberadaan hormon korteks adrenal (khususnya kortisol) dalam jumlah berlebih atau
kortikosteroid yang berkaitan, dan hormon androgen serta aldoteron (dalam taraf lebih
rendah). Penyakit Cushing (kelebihan kortikotropin yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis)
menempati sekitar 80% kasus endogen sindrom Cushing. Penyakit Cushing paling sering
terjadi pada usia antara 20 dan 40 tahun, dan tiga hingga 8 kali lipat lebih sering pada wanita.
Etiologi
Kelebihan hormon hipofisis anterior (kortikotropin) sekresi kortikotropin yang bersifat
otonom dan ektopik oleh tumor di luar kelenjar hipofisis (biasanya bersifat malignan, kerap
kali berupa karsinoma oat cell pada paru-paru) pemberian kortikosteroid yang berlebihan,
termasuk pemakaian yang lama.
Patofisiologi
Sindrom Cushing disebabkan oleh pajanan lama pada obat- obat glukokortikoid yang
berlebihan. Sindrom Cushing dapat bersifat eksogen dan terjadi karena pemberian
glukokortikoid atau kortikotropin yang lama, atau bersifat endogen, akibat peningkatan
sekresi kortisol atau kortikotropin. Kelebihan kortisol akan menimbulkan efek antiinflamasi
dan katabolisme protein serta lemak perifer yang berlebihan untuk mendukung produksi
glukosa oleh hati. Mekanisme tersebut dapat bergantung kortikotropin (kenaikan kadar
kortikotropin plasma menstimulasi korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol secara
berlebihan) atau tidak bergantung kortikotropin (kortisol yang berlebihan diproduksi oleh
korteks adrenal atau diberikan secara eksogen). Kortisol yang berlebihan akan menekan poros
hipotalamus-hipofisis-adrenal dan juga ditemukan pada tumor yang menyekresi kortikotropin
secara ektopik.
Pada wanita, sindrom Cushing dapat membuat haid menjadi tidak teratur atau terlambat
dan menimbulkan gejala hirsutisme yaitu rambut yang tumbuh lebat di wajah atau bagian lain
yang biasanya hanya tumbuh pada pria.
Sedangkan pada pria, keluhan lain yang mungkin muncul akibat sindrom Cushing
adalah penurunan gairah seksual, gangguan kesuburan, dan impotensi.
Penatalaksanaan
Membedakan penyebab hipofisis, adrenal, atau ektopik pada hiperkortisolisme
merupakan tindakan esensial bagi pelaksanaan terapi yang efektif dan spesifik untuk meng-
atasi penyebab kelebihan kortisol serta meliputi medikasi, radiasi, dan pembedahan. Terapi
yang mungkin dilakukan meliputi:
Pembedahan bagi tumor adrenal dan kelenjar hipofisis atau jaringan lain (seperti
paru)
Terapi radiasi (tumor)
Terapi obat yang dapat meliputi pemberian ketokonazol, metirapon, dan
aminoglutethimid untuk menghambat sintesis kortisol; mitotane untuk
menghancurkan sel- şel korteks adrenal yang menyekresi kortisol; dan bro-
mokriptin serta siproheptadin untuk menghambat sekresi kortikotropin.
3 Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa serum) akibat kurangnya hormon insulin, menurunnya
efek insulin atau keduanya. Ada tiga jenis diabetes melitus yang dikenal diantaranya yaitu:
Tipe 1 (DMT1) insufisiensi absolut insulin
Tipe 2 (DMT2) resistensi insulin yang disertai defek sekresi insulin dengan derajat
bervariasi
Diabetes kehamilan (gestasional) yang muncul pada saat hamil.
Etiologi
Bukti menunjukkan bahwa diabetes melitus memiliki berbagai penyebab, diantaranya:
Hereditas
Lingkungan (infeksi, makanan, toksin, stres)
Perubahan gaya hidup pada orang yang secara geneti rentan
Kehamilan
Patofisiologi
Pada individu yang secara genetik rentan terhadap diabetes tipe 1, pemicunya yakni
kemungkinan infeksi virus, akan menimbulkan produksi auto antibodi terhadap sel-sel beta
pankreas. Destruksi sel beta yang diakibatkan menyebabkan penurunan sekresi insulin dan
berakhir kekurangan hormon insulin. Defisiensi insulin mengakibatkan keadaan
hiperglikemia, peningkatan lipolisis (penguraian lemak) dan katabolisme protein.
Karakteristik ini terjadi ketika sel-sel, beta yang mengalami destruksi melebihi 90%
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh satu atau
lebih faktor berikut ini: kerusakan sekresi insulin, produksi glukosa yang tidak tepat di dalam
hati, atau penurunan sensitivitas reseptor insulin perifer. Faktor genetik merupakan hal yang
signifikan, dan awitan diabetes dipercepat oleh obesitas serta gaya hidup sedentari (sering
duduk). Sekali lagi, stres tambahan dapat menjadi faktor penting.
Diabetes gestasional terjadi ketika seorang wanita yang sebelumnya tidak didiagnosis
sebagai penyandang diabetes memperlihatkan intoleransi glukosa selama kehamilannya. Hal
ini dapat terjadi jika hormon-hormon plasenta melawan balik kerja insulin sehingga timbul
resistensi insulin, Diabetes kehamilan merupakan faktor risiko yang signifikan bagi
terjadinya diabetes melitus tipe 2 di kemudian hari.
Penatalaksanaan
Penanganan Diabetes Melitus (DM) Tipe 1 Meliputi:
Terapi sulih insulin, perencanaan makanan, dan latihan fisik
Transplantasi pankreas
Etiologi
Keadaan yang mungkin menyebabkan defisiensi GH meliputi:
1. Galur autosom resesif, autosomal dominan, atau X-linked
2. tumor pada hipofisis atau sistem saraf pusat
3. nekrosis hipoksia kelenjar hipofisis
4. inflamasi kelenjar hipofisis
5. kegagalan hipotalamus
6. ketidakpekaan reseptor GH
7. GH yang secara biologis tidak aktif
8. gangguan hematologi
9. penyebab idiopatik
10. trauma
11. iradiasi hipofisis.
Patofisiologi
Tidak adanya atau defisiensi sintesis GH menyebabkan gagal pertumbuhan pada anak.
Pada dewasa, gangguan metabolik akan menurunkan respons GH terhadap stimulasi.
Penatalaksanaan
Penanganan defisiensi GH meliputi:
Penyuntikan GH eksogen secara subkutan sampai beberapa kali dalam seminggu
hingga usia pubertas
5 Penyakit Gondok
Penyakit gondok biasa (nontoxic goiter atau simple goiter) merupakan pembesaran
kelenjar tiroid yang bukan di- sebabkan oleh inflamasi atau neoplasma dan umumnya
digolongkan sebagai kelainan yang bersifat endemik atau sporadik. Defek yang diturunkan
dapat menyebabkan insu- fisiensi sintesis tiroksin (T) atau kerusakan metabolisme yodium.
Karena banyak keluarga cenderung berkelompok dalam suatu daerah geografik yang tunggal,
maka faktor familial ini dapat turut mengontribusi pada insidensi pe- nyakit gondok endemik
dan sporadik.
Penyakit gondok biasa (simple goiter) Jebih banyak mengenai wanita ketimbang pria,
khususnya pada usia remaja, kehamilan, dan menopause, ketika tubuh mereka membutuhkan
lebih banyak hormon tiroid. Penyakit gon- dok sporadik tidak mengenai segmen populasi
tertentu. Dengan penanganan yang tepat, prognosis kedua tipe pe- nyakit gondok ini cukup
baik.
Etiologi
Penyebab gondok endemik meliputi asupan yodium yang tidak memadai dari makanan.
Penyebab gondok sporadik mencakup:
Konsumsi dalam jumlah yang besar, jenis-jenis makanan yang mengandung zat yang
menghambat produksi T, seperti kubis, kedelai, kacang tanah, kacang polong, persik,
strawberi, bayam, dan lobak
Pemakaian obat-obat tertentu oleh ibu hamil, seperti propiltiourasil, preparat yodida,
fenilbutazon, asampara-aminosalisilat, kobalt dan litium, yang dapat melewati plasenta
dan memengaruhi janin.
Penatalaksanaan
Tujuan penanganan penyakit gondok biasa (simple goiter) adalah mengurangi
hiperplasia tiroid.
Penggantian hormon tiroid dari luar (eksogenus) dengan levotiroksin (terapi pilihan)
menghambat sekre- si TSH dan memberikan kesempatan istirahat kepada kelenjar
tiroid.
Pemberian yodida dengan dosis kecil (Larutan yodium Lugol atau kalium yodida) yang
umumnya akan me- redakan penyakit gondok akibat defisiensi yodium.
Tindakan menghindari obat atau makanan yang diketahui bersifat goitrogenik.
Untuk gondok berukuran besar yang tidak responsif terhadap terapi, diperlukan
tindakan tiroidektomi subtotal.
Pada keadaan normal, stimulus fisiologis bertanggung jawab atas timbulnya rasa lapar.
Penurunan kadar glukosa darah akan menstimulasi pusat rasa lapar di hipotalamus; kenaikan
kadar asam lemak dan asam amino dalam darah akan meningkatkan rasa kenyang. Rasa lapar
juga dirang- sang oleh kontraksi lambung yang kosong dan ditekan ketika traktus GI
mengalami distensi. Penekanan atau su- presi rasa lapar ini kemungkinan merupakan akibat
stimu- lasi nervus vagus. Pemandangan, sentuhan, dan aroma (bau) memainkan peranan yang
begitu halus dalam mengendalikan pusat rasa lapar.
Pada anoreksia terdapat stimulus fisiologis, tetapi pasien tidak memiliki selera makan
ataupun kemauan untuk makan. Pengisian lambung yang lambat atau stasis lambung dapat
menyebabkan anoreksia. Kadar neuro- transmiter, seperti serotonin, yang tinggi (dapat turut
menimbulkan rasa kenyang) dan kadar kortisol yang berlebihan (dapat menekan kontrol
hipotalamus terhadap rasa lapar), juga turut terlibat sebagai penyebab anoreksia.
2. Konstipasi
Konstipasi (sembelit) merupakan keadaan feses yang keras atau defekasi yang sulit atau
yang jarang sebagaimana didefinisikan dengan penurunan frekuensi buang air besar per
minggu. Definisi konstipasi harus bersifat individual karena frekuensi buang air besar yang
normal bisa berkisar dari dua hingga tiga kali sehari hingga satu kali per minggu. Penyebab
konstipasi meliputi dehidrasi, konsumsi makanan yang rendah serat, gaya hidup sering duduk
(sedentari), kurang melakukan latihan secara teratur, dan sering menekan keinginan untuk
buang air besar.
3. Diare
Diare merupakan peningkatan fluiditas atau volume feses dan frekuensi defekasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi volume serta konsistensi feses meliputi kandungan air di
dalam kolon serta keberadaan makanan yang tidak terserap, bahan yang tidak terserap, dan
sekresi intestinal. Diare dengan volume yang banyak biasanya terjadi karena ter- dapat air,
sekret, atau keduanya dalam jumlah yang berlebihan di dalam usus halus. Diare dengan
volume yang sedikit biasanya disebabkan oleh motilitas intestinal yang berlebihan. Diare
dapat pula terjadi karena stimulasi para- simpatis usus, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor
psikologis, seperti rasa takut atau stres.
5. Nausea
Nausea atau rasa mual merupakan perasaan ingin muntah. Keluhan ini dapat terjadi
tanpa diikuti oleh muntah (vomi- tus) atau dapat mendahului dan disertai gejala muntah.
Lintasan saraf yang spesifik untuk rasa mual belum di- ketahui, tetapi peningkatan salivasi,
penurunan aktivitas fungsional lambung, dan perubahan motilitas usus halus berkaitan
dengan rasa mual. Rasa mual juga dapat disti- mulasi oleh pusat yang lebih tinggi di dalam
otak.
6. Vomitus
Vomitus atau muntah merupakan ekspulsi isi lambung yang disemburkan keluar. Otot
lambung memberikan ke- kuatan untuk menyemburkan isi lambung. Bagian fundus lambung
serta sfingter gastroesofageal mengadakan relak- sasi dan kontraksi diafragma serta otot
dinding perut yang kuat meningkatkan tekanan intraabdomen. Keadaan ini yang
dikombinasikan dengan kontraksi anulus pilorik lam- bung akan memaksa isi lambung masuk
ke dalam esofagus. Kemudian peningkatan tekanan intratorakal menggerakkan isi lambung
dari esofagus ke dalam mulut.
Muntah dikontrol oleh dua buah pusat di dalam medula oblongata: pusat muntah dan
zona pemicu kemoreseptor (chemoreceptor trigger zone, CTZ). Pusat muntah memulai
muntah yang sebenarnya. Pusat ini distimulasi oleh traktus- GI dan pusat yang lebih tinggi di
dalam batang otak serta korteks serebri dan CTZ. CTZ sendiri tidak dapat meng- induksi
muntah. Berbagai stimulus atau obat, seperti apo- morfin, levodopa, digitalis, toksin bakteri,
radiasi, dan ke- lainan metabolisme dapat mengaktifkan zona tersebut. Zona yang sudah
diaktifkan itu akan mengirimkan impuls saraf ke pusat muntah dalam medula oblongata dan
rang- kaian berikut ini mulai terjadi:
1. Otot-otot abdomen dan diafragma berkontraksi.
2. Gerakan peristalsis terbalik mulai terjadi dan menye- babkan isi usus mengalir balik
ke dalam lambung serta menimbulkan distensi lambung.
3. Lambung mendorong diafragma ke arah kavum toraks sehingga terjadi kenaikan
tekanan intratorakal.
4. Tekanan ini memaksa sfingter esofagus bagian atas untuk terbuka, glotis menutup,
dan palatum mole menyekat nasofaring.
5. Tekanan tersebut juga memaksa isi lambung melewati sfingter untuk disemburkan
keluar melalui mulut.
1. Apendisitis
Sebagai penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan,
apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis. Apendiks
vermiformis, yang disebut pula umbai cacing atau lebih dikenal dengan nama usus buntu,
merupakan kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum. Apendisitis dapat terjadi pada
segala usia dan mengenai laki-laki serta perem- puan sama banyak. Akan tetapi, pada usia
antara pubertas dan 25 tahun, prevalensi apendisitis lebih tinggi pada laki- laki. Sejak
terdapat kemajuan dalam terapi antibiotik, insi- densi dan angka kematian karena apendisitis
mengalami penurunan. Apabila tidak ditangani dengan benar, penyakit ini hampir selalu
berakibat fatal.
Etiologi
Penyebab dapat meliputi:
ulserasi mukosa
massa feses
striktur
barium mealinfeksi virus
Patofisiologi
Ulserasi mukosa memicu inflamasi yang secara temporer akan menyumbat apendiks.
Obstruksi tersebut menghalangi aliran keluar mukus, Tekanan dalam apendiks yang kini
mengalami distensi akan meningkat dan apendiks tersebut berkontraksi. Bakteri mulai
memperbanyak diri sementara proses inflamasi serta tekanan terus meningkat dan meng-
ganggu aliran darah ke dalam apendiks sehingga timbul nyeri abdomen yang hebat.
Penatalaksanaan
Penanganan apendisitis dapat meliputi:
puasa yang dipertahankan sampai operasi dilakukan
posisi Fowler untuk membantu mengurangi rasa nyeri intubasi Gl untuk dekompresi
apendektomi
pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi jika terjadi peritonitis
pemberian infus cairan dan elektrolit untuk memulihkan keadaan dehidrasi yang mungkin
terjadi karena pem- bedahan atau karena mual dan muntah.
2. Kolesistitis
Kolesistitis, yang merupakan keadaan inflamasi akut atau kronis dengan menimbulkan
distensi kandung empedu yang nyeri, biasanya disertai batu empedu yang terjepit dalam
duktus sistikus.
Kolesistitis merupakan keadaan yang membuat 10% hingga 25% pasien harus
menjalani pembedahan kandung empedu. Bentuk yang akut paling sering ditemukan di antara
wanita yang berusia pertengahan; bentuk kronis di antara manula. Kolesistitis dengan
penanganan yang baik tuempunyai prognosis yang cukup baik.
Etiologi
Penyebab kolesistitis dapat meliputi:
batu empedu (penyebab paling sering)
aliran darah yang buruk atau tidak terdapat pada kandung empedu
metabolisme kolesterol dan garam empedu yang abnormal
Patofisiologi
Pada kolesistitis akut, inflamasi dinding kandung empedu biasanya terjadi setelah
terdapat batu empedu yang terjepit di dalam duktus sistikus, (Lihat Memahami pembentukan
batu enpachi Kalau aliran empedu tersumbat, kandung empedu akan mengalami infiamasi
dan distensi Pertum buhan bakteri, biasanya Escherichia coli, bisa turut menimbulkan
inflamasi Edema kandung empedu (dan kadang kadang duktus sistikus) akan menyumbat
aliran empedu dan keadaan ini menimbulkan iritasi kimia pada kandung empedu, Sel-sel
dalam dinding kandung empedu dapat kekurangan oksigen dan mati ketika organ yang
mengalami distensi tersebut menekan pembuluh darah dan mengganggu aliran darah. Sel-sel
yang mati akan mengelupas sehingga kandung empedu melekat pada struktur di sekitarnya.
3. Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh obstruksi difus dan
regenerasi fibrotik sel-sel hepar. Karena jaringan yang nekrotik menghasilkan fibrosis, maka
penyakit ini akan merusak jaringan hati serta pem- buluh darah yang normal, mengganggu
aliran darah serta cairan limfe, dan pada akhirnya menyebabkan insufisiensi hati. Sirosis
hepatis ditemukan pada laki-laki dengan insidensi dua kali lebih sering dibandingkan pada
wanita dan khususnya prevalen di antara para penderita malnutrisi usia di atas 50 tahun
dengan alkoholisme kronis. Angka mortalitasnya tinggi dan banyak pasien meninggal dalam
lima tahun sejak awitan sirosis tersebut.
Etiologi
Etiologi dari sirosis hepatis bersifat multifaktorial. Sirosis hepatis di negara maju sering
kali disebabkan oleh alkoholisme kronis dan infeksi virus hepatitis C. Sementara itu, sirosis
hepatis di negara berkembang umumnya disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan virus
hepatitis C.
Konsumsi Alkohol
Hepar merupakan organ yang menjadi target utama yang akan mengalami kerusakan akibat
konsumsi alkohol yang berlebihan, karena sebagian besar metabolisme etanol terjadi di
hepar. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penyakit hati kronis
seperti steatosis (fatty liver), steatohepatitis, fibrosis dan sirosis hepatis
Patofisiologi
Sirosis hepatis dimulai dengan pembentukan jaringan parut atau fibrosis. Parut atau
sikatriks ini berawal sebagai peningkatan komponen matriks ekstrasel, yaitu kolagen yang
membentuk fibril, proteoglikan, fibronektin, dan asam hialuronat. Lokasi pengendapan
kolagen bervariasi menurut penyebabnya. Fungsi hepatosit akhirnya akan terganggu karena
terjadi perubahan matriks. Sel-sel yang menyimpan lemak diyakini sebagai sumber
pembentukan komponen matriks yang baru. Pengerutan sel-sel ini juga dapat turut
menimbulkan disrupsi arsitektur lobulus hati dan obstruksi aliran darah ataupun getah
empedu. Perubahan seluler yang menghasilkan pita jaringan parut juga menghancurkan
struktur lobulus.
Penatalaksanaan
Penanganan dapat meliputi:
pemberian vitamin serta suplemen gizi untuk membantu menyembuhkan sel-sel hati yang
rusak dan memper- baiki status gizi pasien
pemberian antasid untuk mengurangi distres lambung dan menurunkan potensi perdarahan
GI
emberian diuretik yang mempertahankan kalium untuk mengurangi penumpukan cairan
pemberian vasopresin untuk mengatasi varises esofagus
intubasi esofagogastrik dengan kateter multilumen untuk mengendalikan perdarahan dari
varises esofagus atau lokasi perdarahan lain dengan menggunakan balon untuk menekan
lokasi perdarahan tersebut
4. Penyakit Crohn
Penyakit Crohn, yang juga dikenal dengan nama enteritis regional atau kolitis
granulomatosa, merupakan keadaan inflamasi pada setiap bagian traktus GI (biasanya pada
kolon bagian proksimal dan lebih jarang lagi pada ileum terminalis) yang membentang
melewati semua lapisan dinding intestinal. Inflamasi ini dapat pula melibatkan nodus limf
dan mesenterium. Penyakit Crohn paling pre- valen pada dewasa usia 20 hingga 40 tahun.
Etiologi
Penyebab pasti penyakit Crohn tidak diketahui, tetapi keadaan yang dapat
menimbulkan penyakit ini meliputi:
obstruksi limfatik
alergi
gangguan imun
infeksi
predisposisi genetik.
Patofisiologi
Apapun yang menjadi penyebab penyakit Crohn, inflamasi berlangsung perlahan dan
progresif. Nodus limfe yang membesar menghalangi aliran cairan limfe dalam sub- mukosa.
Obstruksi limfatik ini akan menimbulkan edema, ulserasi mukosa, dan fisura, abses, serta
kadang-kadang granuloma. Ulserasi mukosa dinamakan "skipping lesions" (lesi yang
meloncat-loncat) karena lesi tidak menyambung seperti kolitis ulseratif.
Bercak-bercak menonjol yang berbentuk oval dan terdiri atas folikel-folikel limfe yang
memadat menjadi satu, terbentuk pada dinding usus halus. Bercak-bercak ini dinamakan plak
Peyeri. Fibrosis yang terjadi kemudian akan membuat dinding usus menebal dan
menimbulkan stenosis atau penyempitan lumennya (Lihat Perubahan usus pada penyakit
Crohn.) Membran serosa akan meng- alami inflamasi (serositis), gelungan usus yang
mengalami inflamasi akan saling melekat dengan gelungan lain yang sakit ataupun yang
masih sehat, dan segmen-segmen usus yang sakit tersebar dan diselingi segmen-segmen usus
yang sehat. Akhirnya, bagian usus yang sakit akan menebal, menyempit, dan menjadi lebih
pendek.
GAMBAR
Sigmoidoskopi dan kolonoskopi menunjukkan bercak- bercak inflamasi (yang membantu
menyingkirkan kemungkinan kolitis ulseratif) dengan gambaran per- mukaan mukosa usus
yang mirip batu kerikil (cobble- stone appearance). Jika kolon ikut terkena, kita dapat
melihat ulkus.
Biopsi mengungkapkan granuloma pada separuh dari seluruh spesimen yang diperiksa.
Tes darah memperlihatkan peningkatan jumlah sel darah putih serta laju endap darah dan
penurunan kadar kalium, kalsium, magnesium, serta nilai hematokrit.
Penanganan:
Tindakan penanganan bagi penyakit Crohn meliputi:
preparat kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dan selanjutnya diare, rasa nyeri, serta
perdarahan
preparat imunosupresan untuk menekan respons ter- hadap antigen
sulfasalazin untuk mengurangi inflamasi
metronidazol untuk mengatasi komplikasi perianal •obat-obat antidiare untuk mengatasi
diare (jangan di- lakukan pada pasien dengan obstruksi usus yang signifikan)
preparat analgetik narkotik untuk mengendalikan rasa nyeri dan diare
reduksi/penurunan stres dan aktivitas fisik untuk mengistirahatkan usus dan memberi
kesempatan sembuh
suplemen vitamin untuk menggantikan dan mengimbangi ketidakmampuan usus menyerap
vitamin
perubahan diet (menghindari sayuran, buah, makanan berserat tinggi, produk susu,
makanan pedas, serta ber- lemak, makanan yang dapat mengiritasi mukosa usus, minuman
yang mengandung soda serta kafein, dan makanan atau cairan lain yang menstimulasi
aktivitas usus secara berlebihan) untuk mengurangi aktivitas usus sementara pemberian
nutrisi yang adekuat tetap dipertahankan
pembedahan jika diperlukan untuk memperbaiki per- forasi usus dan mengoreksi
perdarahan yang masif, fistula ataupun obstruksi intestinal yang akut; kolektomi disertai
ileostomi pada pasien dengan penyakit yang luas pada usus besar dan rektum.
Etiologi
Penyebab penyakit refluks gastroesofagus yaitu meliputi:
sfingter esofagus yang lemah
peningkatan tekanan intra abdomen, seperti pada kehamilan atau obesitas
obat-obatan seperti morfin, diazefam, penyakit saluran kalsium, meperidin, dan obat-
obatan antikolinergik
makanan, alkohol, atau rokok yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah
intubasi nasogastrik yang lebih dari empat hari
Patofisiologi
Dalam keadaan normal, sfingter esofagus bagian bawah akan mempertahankan tekanan
di sekitar ujung distal esofagus untuk menutup bagian tersebut dan mencegah refluks. Secara
khas sfingter tersebut akan mengadakan relaksasi sesudah setiap gerakan menelan untuk
memungkinkan makanan masuk ke dalam lambung. Pada penyakit refluks gastroesofagus,
sfingter ini tidak bisa menutup (biasanya karena tekanan sfingter esofagus bagian bawah
kurang atau tekanan dalam lambung melebihi tekanan sfingter esofagus bagian bawah) dan
tekanan di dalam lambung akan mendorong isi lambung ke dalam esofagus. Asiditas yang
tinggi pada isi lambung akan menimbulkan rasa nyeri dan iritasi ketika isi lambung tersebut
memasuki esofagus.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala penyakit refluks gastroesofagus meliputi:
•rasa nyeri seperti terbakar di daerah epigastrium, yang bisa menjalar ke lengan dan dada,
rasa nyeri ini terjadi karena aliran balik atau refluks isi lambung ke dalam esofagus sehingga
timbul iritasi dan spasme esofagus.
•rasa nyeri yang biasanya terjadi sesudah makan atau pada waktu berbaring serta rasa nyeri
ini terjadi karena peningkatan tekanan abdomen yang menyebabkan refluks.
•rasa adanya penumpukan cairan dalam tenggorok yang tidak disertai rasa asam atau pahit
akibat hipersekresi saliva.
Penatalaksanaan
Penanganannya dapat meliputi:
terapi diet dengan makan sedikit, sering dan menghindari kebiasaan makan sebelum tidur
untuk mengurangi tekanan abdomen serta insidensi refluks.
pengaturan posisi duduk selama atau sesudah makan dan tidur dengan bagian kepala
tempat tidur ditinggikan untuk mengurangi tekanan abdomen serta mencegah refluks
peningkatan asupan cairan untuk membilas isi lambung dari dalam esofagus.
preparat antasid untuk menetralkan isi lambung yang asam dan mengurangi iritasi.
preparat antagonis histamin-2 untuk menghambat sekresi asam lambung.
preparat inhibitor pompa proton untuk mengurangi asiditas lambung.
preparat kolinergik untuk meningkatkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah
penghentian kebiasaan merokok untuk memperbaiki tekanan stingter esofagus bagian
bawah (nikotin me- nurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah)
pembedahan bila penyebab penyakit refluks gastroesofagus berupa hernia hiatus atau jika
pasien memiliki gejala yang membandel.
6. Hepatitis NonVirus
Hepatitis nonvirus merupakan keadaan inflamasi pada hati yang biasanya terjadi akibat
pajanan zat kimia atau obat tertentu. Sebagian besar pasien akan sembuh dari keadaan sakit
ini meskipun sebagian kecil dapat mengalami hepatitis fulminan atau sirosis hepatis.
Etiologi
Penyebab hepatitis nonvirus meliputi:
pola hidup
kelainan genetik
zat kimia yang hepatotoksik
obat yang hepatotoksik.
Patofisiologi
Berbagai hepatotoksin seperti karbon tetraklorida, asetaminofen, trikloroetilen,
cendawan beracun, dan vinil klorida dapat menyebabkan hepatitis. Sesudah terpajan preparat
di atas, akan terjadi nekrosis seluler hepatik, pembentukan parut, hiperplasia sel kupffer, dan
infiltrasi fagosit mononuklear dengan berbagai intensitas pada jaringan hati. Alkohol,
keadaan anoksia, dan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya akan memperberat efek
beberapa jenis hepatotoksin tersebut.
Hepatitis yang diinduksi oleh obat (idiosikratik) dapat muncul sebagai reaksi
hipersensitivitas yang unik pada setiap pasien, keadaan ini berbeda dari hepatitis toksik yang
bisa menular ke semua pasien yang terkena tanpa perbedaan. Di antaranya sejumlah
penyebab hepatitis idiosinkratik ini terdapat masin, halotan, obat-obat golongan sulfonamid,
isoniazid, asetaminofen, metildopa, dan fenotiazin (hepatitis yang ditimbulkan oleh
kolestasis). Gejala disfungsi hepatik dapat timbul setiap saat selama atau sesudah pasien
terpajan obat-obat ini, tetapi manifestasi klinisnya biasanya baru terjadi dua hingga lima
minggu sesudah terapi.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejalanya meliputi:
anoreksia, mual, dan muntah akibat efek sistemik inflaması hati
ikterus akibat penurunan metabolisme bilirubin yang menimbulkan hiperbilirubinemia
urine yang berwarna gelap akibat kenaikan kadar urobilinogen
hepatomegali akibat inflamasi
kemungkinan terdapatnya nyeri abdomen akibat inflamasi hati
feses yang berwarna dempul dan gejala ini terjadi sekunder karena sekresi getah empedu
ke dalam traktus GI akibat nekrosis hati
pruritus yang terjadi sekunder karena ikterus dan hiperbilirubinemia
Penatalaksanaan
Penanganannya meliputi:
lavase, obat pencahar, atau hiperventilasi menurut jalur pajanan untuk menghilangkan
agens penyebab
asetilsistein sebagai antidotum untuk keracunan asetaminofen
kortikosteroid untuk meredakan keluhan dan gejala hepatitis nonvirus yang diinduksi
oleh pemakaian obat.
7. Hepatitis Virus
Hepatitis virus merupakan infeksi hati yang sering terjadi dan mengakibatkan destruksi,
nekrosis, serta autolisis sel hati. Pada kebanyakan pasien, sel-sel hati akhirnya meng- adakan
regenerasi dengan sedikit kerusakan yang tersisa atau tanpa kerusakan sama sekali. Namun,
usia lanjut dan gangguan serius yang ada di balik infeksi ini akan mem- perbesar
kemungkinan komplikasi. Hepatitis virus memiliki prognosis yang buruk jika terjadi edema
dan ensefalopati hepatik.
Tipe A (hepatitis infeksiosa atau hepatitis dengan masa inkubasi singkat) paling sering
ditemukan di antara para homoseksual pria dan penderita infeksi HIV (human
immunodeficiency virus). Umumnya hepatitis A menyebar melalui jalur fekal-oral dengan
mengon- sumsi makanan yang terkontaminasi feses penderita hepatitis A tersebut.
Tipe B (hepatitis serum atau hepatitis dengan masa inkubasi yang panjang) juga paling
sering ditemukan di antara orang-orang dengan hasil tes HIV yang positif. Skrining rutin
darah donor untuk mendeteksi antigen permukaan hepatitis B telah menurunkan insidensi
kasus pascatransfusi. Akan tetapi, penularan melalui jarum suntik yang dipakai bersama oleh
para pecandu obat bius tetap menjadi persoalan utama.
Tipe C ditemukan pada sekitar 20% dari semua kasus hepatitis virus dan pada sebagian
besar kasus pasca- transfusi.
Tipe D (hepatitis delta) menyebabkan sekitar 50% dari semua kasus hepatitis fulminan
yang memiliki angka mortalitas tinggi. Hepatitis fulminan yang terjadi pada 1% pasien
hepatitis virus menyebabkan gagal hati ireversibel yang disertai ensefalopati. Hepatitis fulmi-
nan akan berlanjut ke dalam keadaan koma dan umum- nya menimbulkan kematian dalam
tempo dua minggu. Di Amerika Serikat, hepatitis tipe D hanya terjadi pada orang-orang yang
sering terpajan darah serta produk darah, seperti para penyuntik obat bius IV dan pasien-
pasien hemofilia. Hepatitis D ini hanya ditemukan pada pasien hepatitis B dalam episode
yang akut atau kronis dan memerlukan keberadaan antigen permukaan hepatitis B. Untuk
mengadakan replikasi, virus tipe D bergantung pada virus tipe B yang memiliki bungkus
ganda. (Karena alasan inilah, infeksi tipe D tidak kin lebih lama daripada infeksi tipe B.)
Tipe E (yang dahulunya dikelompokkan ke dalam tipe D dan E dengan nama hepatitis
non-A, non-B) terutama terjadi pada pasien-pasien yang baru datang dari daerah endemik
(seperti India, Afrika, Asia, atau Amerika Tengah). Infeksi ini lebih sering ditemukan di
antara para dewasa muda dan lebih berat pada ibu hamil (Lihat Hepatitis virus dari A hingga
E.)
Tipe yang lain terus teridentifikasi seiring peningkatan populasi pasien dan semakin
canggihnya teknik peme- riksaan laboratorium.
Penyebab
Kelima bentuk utama hepatitis virus terjadi karena infeksi oleh virus penyebab: A, B,
C, D, atau E.
Patofisiologi
Kerusakan hati yang terjadi biasanya serupa pada semua tipe hepatitis virus. Cedera dan
nekrosis sel hati ditemukan dengan berbagai derajat. Ketika memasuki tubuh, virus hepatitis
menyebabkan cedera dan kematian hepatosit yang bisa dengan cara membunuh langsung sel
hati atau dengan cara mengaktifkan reaksi imun serta inflamasi. Reaksi imun dan inflamasi
ini selanjutnya akan mencederai atau menghancurkan hepatosit dengan menimbulkan lisis
pada sel-sel yang terinfeksi atau yang berada di sekitarnya. Kemudian, serangan antibodi
langsung pada antigen virus menyebabkan destruksi lebih lanjut sel-sel hati yang terinfeksi.
Edema dan pembengkakan interstisium menimbulkan kolaps kapiler serta penurunan aliran
darah, hipoksia jaringan, dan pembentukan parut, serta fibrosis.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala hepatitis virus mencerminkan stadium penyakit tersebut.
Stadium pemulihan. Keluhan dan gejala yang dialami pasien mereda dan selera
makannya kembali pulih.
Penatalaksanaan
Penanganan dapat meliputi:
istirahat untuk mengurangi kebutuhan energi
menghindari konsumsi alkohol atau obat lain untuk mencegah kerusakan hati lebih lanjut
terapi diet berupa makanan tinggi kalori tetapi dalam porsi kecil untuk mengatasi
anoreksia
nutrisi parenteral jika pasien tidak bisa makan karena vomitus yang persisten
vaksinasi terhadap hepatitis A dan B untuk memberikan kekebalan terhadap virus ini
sebelum terjadi penularan.
Etiologi
Penyebab penyakit Hirschsprung meliputi:
defek kongenital yang bersifat familial.
kelainan saraf pada bagian usus besar sehingga menyebabkan bayi sulit atau bahkan tidak
dapat BAB secara normal
Penatalaksanaan
Penanganan dapat meliputi:
pembedahan korektif untuk menarik segmen usus nor- mal yang memiliki ganglion sampai
anus (biasanya tindakan ini dilakukan setelah bayi menginjak usia sedikitnya 10 bulan)
lavase kolon, yang dilakukan setiap hari untuk mengo- songkan usus bayi sampai ketika
pembedahan hendak dilakukan
kolostomi atau ileostomi temporer untuk mengurangi kompresi kolon pada kasus penyakit
Hirschsprung dengan obstruksi total usus.
2. Gagal Hati
Gagal hati dapat merupakan hasil akhir semua penyakit hati. Hati melaksanakan lebih
dari 100 macam fungsi yang terpisah dalam tubuh. Ketika hati mengalami kegagalan, akan
timbul suatu sindrom yang kompleks dan melibatkan gangguan pada organ serta fungsi
tubuh. (Lihat Fungsi hati.) Ensefalopati hepatik dan sindrom hepatorenal merupakan dua
keadaan yang terjadi pada gagal hati. Satu- satunya cara untuk menyembuhkan gagal hati
adalah trans- plantasi hati.
Etiologi
Penyebab gagal hati meliputi:
hepatitis virus
hepatitis nonvirus
sirosis hepatis
kanker hati
Patofisiologi
Manifestasi gagal hati meliputi ensefalopati hepatik dan sindrom hepatorenal.
Ensefalopati hepatik, yaitu serangkaian kelainan pada sistem saraf pusat, terjadi ketika hati
tidak lagi mampu melaksanakan detoksifikasi darah. Disfungsi hati dan pembuluh darah
kolateral yang memintaskan darah di sekitar hati ke sirkulasi sistemik memungkinkan zat-zat
beracun yang terserap dari traktus GI mengalir dengan bebas ke dalam otak. Amonia yang
merupakan produk sampingan metabolisme protein adalah salah satu toksin penting yang
menyebabkan ensefalopati hepatik. Hati yang normal akan mengubah amonia menjadi ureum
yang kemudian diekskresikan keluar oleh ginjal. Kalau hati mengalami kegagalan dan tidak
lagi mampu mengubah amonia menjadi ureum, maka kadar amonia dalam darah akan
meninggi dan amonia dibawa darah ke dalam otak. Asam lemak rantai pendek, serotonin,
triptofan dan zat-zat pseudoneurotransmiter dapat turut menumpuk di dalam darah dan ikut
menimbulkan ensefalopati hepatik.
Sindrom hepatorenal merupakan gagal ginjal yang terjadi bersama penyakit hati; ginjal
tampak normal tetapi secara mendadak berhenti bekerja. Keadaan ini menye- babkan
peningkatan volume darah, penumpukan ion-ion hidrogen, dan gangguan elektrolit. Sindrom
hepatorenal paling sering ditemukan pada pasien sirosis alkoholik atau hepatitis fulminan.
Penyebabnya adalah penumpukan sub- stansi vasoaktif yang menyebabkan konstriksi arteriol
renal secara tidak tepat sehingga terjadi penurunan filtrasi glomerular dan oliguria.
Vasokonstriksi tersebut dapat pula merupakan respons kompensasi terhadap hipertensi porta
dan penumpukan darah dalam sirkulasi splenikus.
3. Pankreatitis
Pankreatitis, yang merupakan inflamasi pankreas, terjadi dalam bentuk akut serta kronis
dan dapat disebabkan oleh edema, nekrosis, atau perdarahan Pada laki-laki, pan- kreatitis
sering menyertai alkoholisme, trauma, atau ulkus peptikum. pada wanita, penyakit ini bisa
menyertai pe nyakit saluran empedu. Pankreatitis yang menyertai penya- kit saluran empedu
memiliki prognosis yang baik, tetapi pankreatitis yang menyertai alkoholisme mempunyai
prog nosis yang buruk. Angka mortalitasnya bisa mencapai 60% kalau pankreatitis tersebut
disebabkan oleh nekrosis dan perdarahan.
Etiologi
Penyebab pankreatitis meliputi:
penyakit saluran empedu
alkoholisme
struktur organ yang abnorma
gangguan metabolik atau endokrin, seperti kadar kolesterol yang tinggi atau kelenjar tiroid
yang aktif berlebihan
kista atau tumor pankreas
ulkus peptikum yang mengadakan penetrasi
trauma tumpul atau trauma akibat pembedahan
obat-obatan, seperti glukokortikoid, sulfonamid, thia- zida, kontrasepsi oral, dan obat-obat
golongan NSAID (antiinflamasi nonsteroid)
gagal ginjal atau transplantasi ginjal
pemeriksaan endoskopik saluran empedu dan pankreas.
Patofisiologi
Pankreatitis akut terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk edematosa (interstisial) dan
nekrotik (hemoragik). Pankreatitis edematosa menyebabkan penumpukan cairan dan
pembengkakan. Pankreatitis nekrotik atau hemoragik mengakibatkan kematian sel dan
kerusakan jaringan. Inflamasi yang terjadi pada kedua tipe pankreatitis tersebut disebabkan
oleh aktivasi enzim yang prematur dan menyebabkan kerusakan jaringan pankreas. Enzim
pankreas mengalir balik dan tumpah ke dalam jaringan pankreas sehingga terjadi autodigesti
pankreas.
Pada keadaan normal, kelenjar asinus pankreas menyekresi enzim dalam bentuk
tidak aktif. Ada dua teori yang menjelaskan mengapa enzim-enzim pankreas tersebut
mengalami aktivasi secara prematur.
Salah satu pandangan menyatakan bahwa zat toksik seperti alkohol telah mengubah
cara pankreas menyekresi enzim-enzimnya. Kemungkinan alkohol meningkatkan se- kresi
pankreas, mengubah metabolisme sel-sel asinus, dan mendorong terjadi obstruksi saluran
pankreas sehingga protein dalam sekret pankreas mengalami pengendapan.
Téori lain mengatakan bahwa aliran balik isi duodenum yang mengandung enzim-
enzim aktif masuk ke dalam saluran pankreas dengan mengaktifkan enzim-enzim lain dan
menimbulkan siklus kerusakan pankreas yang lebih parah.
Penatalaksanaan
Penanganan pankreatitis dapat meliputi:
infus cairan, protein, dan elektrolit untuk mengatasi syok
penggantian volume cairan untuk membantu mengo- reksi asidosis metabolik
transfusi darah untuk mengganti kehilangan darah akibat perdarahan
memuasakan pasien (tidak memberi makanan serta cairan) untuk mengistirahatkan
pankreas dan mengu- rangi sekresi enzim-enzim pankreas
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Jennifer, K. (2003). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Pearsce, Evelyn C. (2011). Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Pack, E Philip, Ph. 2001. Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Pakar Karya