Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
kasih karunia-Nya makalah yang berjudul “ Gagal ginjal akut Kroniks dan dialysis ”
dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat nilai tugas
kelompok, Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Tidak lepas dari berbagai
kendala yang dihadapi,pembuatan makalah ini tidak lain berkat dorongan, dan
bimbingan semua pihak. Untuk itu diucapkan terima kasih kepada :
1. Fitriani, S.Kep., Ns., M.Kep selaku fasilitator mata kuliah, yang
mengawasi selama presentasi hingga askep dalam tugas pembuatan makalah ini
sehingga menambah wawasan, sesuai dengan program studi yang ditempuh.
2. Seluruh staf kampus yang selalu siap memfasilitasi perkuliahan.
3. Orang tua dan sahabat yang selalu mendukung dari awal pembuatan
makalah hingga akhir.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, tak ada hasil tanpa usaha. Untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan guna perbaikan
penyusunan makalah selanjutnya.
Penyusun
Kelompok 5
Daftar isi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau
melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya di eliminasi di urin menumpuk dalam
cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa (Suharyanto & Madjid, 2009) Gagal ginjal terjadi
ketika ginjal tidak mampu mengeluarkan sisa metabolisme serta tidak mampu menjalankan fungsi
regulasinya. Gagal ginjal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu gagal ginjal akut dan gagal
ginjal kronik. Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi dengan cepat akibat
kerusakan ginjal (biasanya terjadi dalam beberapa hari atau beberapa minggu),sedangkan gagal
ginjal kronik (PGK) merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya
berlangsung beberapa tahun) (Wilson, 2015). Gagal ginjal adalah suatu kondisi dimana ginjal
tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal (Soematri, 2012).Secara global lebih dari 500
juta orang mengalami PGK, sekitar 1 juta orang harus mengalami hidu bergantung cuci darah
(hemodialisa). Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal cukup tinggi. Amerika Serikat
terdapat 26 juta orang dewasa tahun 2010 memiliki PGK dan jutaan lainnya berada pada
peningkatan resiko (WHO, 2010). Di Indonesia tahun 2013 berdasarkan Pusat Data &
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien PGK diperkirakan 50 orang per satu
juta penduduk, dimana 60% nya adalah usia dewasa dan usia lanjut (Agustina & Dewi, 2013).
Prevalensi PGK di dunia terutama di Amerika menurut United States Renal Data System
(USRDS) pada tahun 2013 yaitu sekitar 650.000 kasus, dan pada tahun 2014 sekitar 651.000
kasus. Menurut Indonesian Renal Registry (IRR) prevalensi gagal ginjal di Indonesia pada tahun
2010
sebanyak 14.833 orang, pada tahun 2011 sebanyak 22.304 orang, dan meningkat pada tahun 2012
sebanyak 28.782 orang. Sedangkan menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Penefri) di Jawa
Tengah pada tahun 2012 sebanyak 2.146 orang, pada tahun 2013 sebanyak 2.260 orang, dan
meningkat pada tahun 2014 sebanyak 3.080 orang. Jadi kesimpulannya prevalensi gagal ginjal
kronik tiap tahunnya meningkat baik di Dunia, di Indonesia, maupun di Jawa Tengah. Hal ini
menjadi beban bagi keluarga dan pemerintah karena sebagian besar penderita PGK yang
menjalani hemodialisa adalah usia produktif dan berperan sebagai pencari nafkah keluarga.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi gagal ginjal kronik seperti mengatur pola makan
(diet), dialisis dan transplantasi ginjal. Dialisis dibagi menjadi dua yaitu peritoneal dialisis dan
hemodialisis. Penatalaksanaan yang sering dilakukan untuk penyakit gagal ginjal kronik adalah
hemodialisis (Tokala, Kandow & Dundu, 2015) Hemodialisa merupakan suatu proses yang
digunakan pada pasien dalam keadaan sakit kronik dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beber apa minggu) atau pasien dengan penyakit gagal ginjal stadium
terminal (End Stage Renal Disease / ESRD) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi
permanen (Smletzer & Bare, 2013). Hemodialisa merupakan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit stadium akhir yang
membutuhkan terapi jangka panjang (Brunner & Suddart, 2002). Sedangkan di Indonesia sendiri
termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari
Persatuan Nefrologi Indonesia (Perneftri 2004), diperkirakan ada 70.000 penderita gagal ginjal
kronik di Indonesia dan yang terdeteksi sedang menjalani hemodialisa berjumlah 4.000-5.000
penderita (Sari & dkk, 2011). PGK yang menjalani hemodialisa mengalami berbagai masalah
yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal. Keadaan tersebut muncul setiap waktu hingga akhir
kehidupan. Hal ini menjadi stressor fisik yang berpengaruh pada berbagai dimensi kehidupan
pasien yang meliputi bio, psiko, sosio, spiritual. Kelemahan fisik yang dirasakan seperti mual,
muntah, nyeri, lemah otot, oedema adalah sebagian dari manifestasi klinik dari pasien yang
menjalani perawatan hemodialisa (Ratnawati, 2011). Efek samping Hemodialisa dapat
memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, namun tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan
alami penyakit ginjal yang mendasari, juga tidak akan memperbaiki seluruh
fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi (Smeltzer &
Bare, 2001) PGK yang menjalani hemodialisa dan caregiver yang merawat harus berhadapan
dengan perubahan sebagai akibat dari sakit dan terapi yang dijalaninya. Pasien dan caregiver
sering mengalami perubahan tingkah laku, emosional, perubahan dalam peran, citra diri, konsep
diri, dan dinamika keluarga. Caregiver yang merawat mempunyai peran yang sangat besar dalam
memberikan bantuan pada PGK yang mengalami banyak perubahan secara fisik, psikis, sosial
dan spiritual (Friedman, 1998). Caregiver harus melaksanakan tugas kesehatan keluarga yaitu
memberikan bantuan perawatan bagi anggota keluarga yang sakit (Nugraha, 2011). Selain
menimbulkan stres bagi pasien, hemodialisa memberi tekanan maupun stres pada keluarga karena
mengambil cuti dari pekerjaan untuk mengatur perjalanan (mengantar) serta mendampingi pasien
saat hemodialisa dan kehilangan waktu bekerja (Kumar, dkk.
2003). Caregiver yang merawat anggota keluarga yang menderita GGK yang menjalani
hemodialisa juga terkena dampak yang menyulitkan. Menurut penelitian Beandland, dkk, (2005)
dalam Nugraha, (2011) dampak pada caregiver dalam merawat pasien PGK yang menjalani
hemodialisa adalah emosional, sosial, fisik dan keuangan. Secara emosional (psikologis) biasanya
respon yang muncul adalah kecemasan, ketakutan, depresi dan kesal/kecewa. Secara sosial adalah
terbatasnya pergaulan dengan lingkungan sekitar, hilangnya privacy, terbatasnya
kegiatan dengan anggota keluarga lain dan gangguan pola tidur. Dampak pada fisik akibat
lamanya memberikan bantuan adalah arthritis, hipertensi, penyakit jantung, insomnia, sakit otot
dan kelelahan. Dampak pada ekonomi adalah karena hemodialisa tejadinya ketidakstabilan
keuangan (Beandlands, dkk, 2005 dalam Nugraha, 2011).
Dalam teori stres keluarga dijelaskan mengenai sebuah krisis timbul karena sumber-sumber dan
strategi adaptif tidak secara efektif
mengatasi ancaman-ancaman stressor, sehingga keluarga tidak terampil dalam memecahkan
masalah dan keluarga menjadi kurang bermanfaat (Wardahningsi dkk, 2010).Oleh karena itu
keluarga harus mempunyai upaya positif agar dapat beradaptasi dalam memecahkan masalah
yang berhubungan langsung dengan setiap individu keluarga dengan menggunakan mekanisme
koping keluarga. Sehingga keluarga akan berhasil dalam menghadapi tuntutan-tuntutan
perubahan yang datang baik dari internal keluarga maupun eksternal. Menurut penelitian Farhan,
dkk 2014, hampir seluruh keluarga (95%) mengalami tingkat stres yang sangat berat pada saat
anggota keluarga di rawat. Banyaknya keluarga yang mengalami stres yang sangat berat
disebabkan oleh tidak adekuatnya informasi yang didapatkan oleh keluarga, tanggungan biaya
perawatan, lamanya hari perawatan pasien, dan tugas sehari-hari keluarga terganggu selama
pasien dirawat.
B. Rumusan Masalah
Memahami masalah asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal akut, kronis dan
dialysis
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik PGK yang menjalani Hemodialisa
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu keperawatan keluarga, dengan mengetahui
kondisi psikologis keluarga early diagnosed dalam merawat pasien gagal ginjal kronik di
lingkungan keluarga, memberikan sumbangsih keilmuan bagi Ilmu Keperawatan,
Penelitian ini diharapkan dapat membantu keluarga dalam memahami peran dan fungsi keluarga
terhadap masalah kesehatan keluarga terutama anggota keluarga yang sakit.
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai kondisi psikologis keluarga early
diagnosed dalam merawat pasien gagal ginjal kronik
4. Bagi Peneliti
Faktor prerenal merupakan faktor yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal sebelum organ ginjal.
Salah satu penyebab prerenal paling umum adalah syok hipovolemik, yakni kondisi kekurangan
cairan yang menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang, misalnya akibat perdarahan atau diare
hebat. Contoh penyebab lainnya adalah akibat penyakit jantung, luka bakar, reaksi alergi hebat, dll.
2. Faktor Renal
Faktor renal berarti gagal ginjal terjadi akibat kerusakan yang terjadi pada ginjal. Beberapa gangguan
yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung adalah toksin, metanol dan infeksi.
Kondisi infeksi berat (sepsis), scleroderma, keganasan myeloma multiple, serta berbagai penyakit
ginjal juga masuk dalam faktor renal.
3. Faktor Faktor Post-renal
Faktor post renal adalah suatu keadaan di mana ginjal dapat membentuk urine dengan cukup baik,
tapi alirannya dalam saluran kemih terhambat.
Hal ini dapat dijumpai pada tumor daerah perut bawah (misalnya prostat, serviks, atau kandung
kemih) yang menyebabkan urine terbendung dan menyebabkan kerusakan ginjal.
Batu ginjal juga dapat menyebabkan sumbatan aliran urine.
Faktor Risiko
Mengingat banyaknya kemungkinan penyebab gagal ginjal akut, beragam pula faktor risiko yang
berpotensi menimbulkan kondisi ini. Beberapa di antaranya adalah:
3. Patofisiologi
Terdapat beberapa gejala gagal ginjal akut yang biasanya dirasakan penderita, yaitu:
Penderitanya mengeluh mual, dan muntah
Pembengkakan kaki atau pembengkakan yang menyeluruh
Penderita menunjukkan adanya nyeri pada bagian perut
Pada gangguan ginjal akibat dehidrasi penderita dapat menunjukkan tanda-tanda diare atau
perdarahan aktif.
Diagnosis
Penentuan diagnosis gagal ginjal akut dilakukan melalui wawancara medis dan pemeriksaan fisik.
Wawancara medis dapat menunjukkan adanya riwayat kehilangan cairan dalam bentuk diare atau
perdarahan yang hebat.
Pasien juga dapat mengeluhkan penurunan jumlah urine. Selain itu, pada pemeriksaan fisik dapat
dijumpai adanya tanda dehidrasi.
Sementara itu, pada gangguan ginjal yang berat dapat dijumpai penurunan kesadaran. Pemeriksaan
laboratorium juga menunjukkan adanya peningkatan ureum dan kreatinin.
Pemeriksaan fungsi ginjal tersebut merupakan salah satu cara utama mendiagnosis gagal ginjal akut.
Pemeriksaan urine juga diperlukan untuk menentukan penyebab gangguan ginjal. Pada pemeriksaan
USG ginjal dapat dijumpai berbagai hal, misalkan adanya batu ginjal atau pembengkakan ginjal
(hidronefrosis).
4. Komplikasi
Penyakit ini menyebabkan ginjal tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang sisa metabolisme
tubuh. Hal tersebut bisa menimbulkan komplikasi gagal ginjal akut, seperti:
• Menumpuknya kalium dalam darah, yang dapat menyebabkan kelemahan otot, kelumpuhan,
dan kelainan irama jantung
• Menumpuknya cairan pada tungkai dan paru-paru (menyebabkan sesak napas)
• Metabolik asidosis (kondisi darah terlalu asam), yang dapat menyebabkan mual, muntah,
penyakit ginjal kronis
• Kematian
5. Manifestasi klinis
Manifestasi penyakit yang mendasarinya misalnya; Gagal jantung, Sepsis, Vaskulitis
sistemik,Mikroangiopati trombotik.
• Output urin berkurang di 70 %
• Uremia menggambarkan toksisitas tersebut dan dikaitkan dengan gejala beragam dan
heterogen termasuk pruritus.
• Manifestasi neurologis
• Mual dan muntah
• Diare
• Kehilangan nafsu makan dengan anoreksia
• Aritmia jantung & Isomnia
B. Gagal ginjal kronik
1. Pengertian
Gagal ginjal kronik atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan ireversibel dimana tubuh mengalami kegagalan untuk mempertahankan metabolisme,
keseimbangan cairandan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2008)Menurut proses terjadinya penyakit, gagal ginjal dibagi mnejadi 2
yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis. Dikatakan akut apabila penyakit berkembang sangat cepat,
terjadi dalam beberapa jam atau dalam beberapa hari Sedangkan kronis, terjadi dan berkembang secara
perlahan, sampai beberapa tahun (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2009),
2. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya gagal ginjal kronik adalah diabetes dan tekanan darah tinggiyaitu sekitar
dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015)Keadaan lain yang dapat menyebabkan
kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit peradangan seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal
polikistik, malformasi saat perkembangan janin dalam rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu ginjaltumor
atau pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang berulang (Wilson2005) Gagal ginjal
kronis disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah gangguan klirens ginjalpenurunan laju filtrasi
glomelurus, retensi cairan dan natriumasidosis, anemia ketidak seimbangan kalsium dan fosfat dan
penyakit tulang uremik: (Smeltzer & Bare2005)
3.Patofisiologi
Menurunnya fungsi renal, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya di sekresikan melalui urin)
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dalam darah. Uremia mempengaruhi semua bagian tubuhSemakin
banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat (Smeltzer & Bare, 2008).
a Gangguan klirens renal Banyak masalah yang muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan
jumlah glomelurus yang berfungsi, penurunan laju filtrasi glomelurus/Glomerular Filtration Rate (GFR)
dapat didekteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan kreatininPenurunan GFR
mengakibatkan klirens kreatinin akan menurun dan kadar nitrogen urea/ Blood Urea Nitrogen (BUN)
akan meningkat. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh gangguan renal tetapi dapat juga dipengaruhi oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid (Smeltzer & Bare2008). b. Retensi
cairan dan natrium.
Kerusakan ginjal menyebabkan ginjal tidak mampu mengonsentrasikan atau mengencerkan urin. Pada
gangguan ginjal tahap akhir respon ginjal terhadap masukan cairan dan elektrolit tidak terjadi. Pasien
sering menahan natrium dan cairan sehingga menimbulkan risiko edema, gagal jantung kongesif dan
hipertensi. Hipertensi juga terjadi karena aktivitas aksi rennin angiotensin kerjasama antara hormone
rennin dan angiotensin meningkatkan aldosteron. Pasien mempunyai kecenderungan untuk kehilangan
garam. Episode mual dan diare menyebabkan pempisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik (Smeltzer & Bare, 2008)
c. Asidosis
Ketidak mamapuan ginjal dalam melakukan fungsinya dalam mengeksresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan membuat asidosis metabolik. Penurunan asam akibat ketidak mampuan tubulus ginjal untuk
menyekresikan ammonia (NH3-) dan mengabsorsi natrium bikarbonat (HCO3-)penurunan ekaresi fosfat
dan asam organik lain juga terjadiGejala anoreksia, mual dan lelah yang sering ditemukan pada pasien
uremia, sebagian disebabkan oleh asidosisGejala yang sudah jelas akibat asidosis adalah pernafasan
kusmaul yaitu pernafasan yang berat dan dalam yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan
ekskresi karbondioksida, sehingga mengurangi keparahan asidosis (Smeltzer & Bare, 2008, Price &
Wilson2005)
d. Anemia
Anemia terjadi akibat dari produksi eritroprotein yang tidak adekuatmemendeknya usia sel darah merah,
devisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami pendarahan akibat status uremikterutama dari
saluran gastrointestinalPada pasien gagal ginjalproduksi eritroprotein menurun karena adanya
peningkatan hormon paratiroid vang merangsang jaringan fibrosa dan anemia menjadi beratdisertai
keletihanangina dan napas sesak (Smeltzer & Bare 2008; Muttaqi & Sari 2011)
e Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balikjika salah satu meningkat, maka
yang lain menurun dan demikian sebaliknya Filtrasi glomelurus yang menurun sampai sekitar 25% dari
normal, maka terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar kalsium serumPenurunan
kadar kalsium serum menyebabkan sekres: hormon paratiroid dan kelenjar paratiroid dan alabatnya
kalsium di tulang menurun dan menyebabkan penyakit dan perubahan pada
tulangSelain itu metabolit aktif vitamin D (1,25-dihidrokolekalsiferol) yang dibuat di ginjal menurun
seiring dengan berkembangnya gagal ginjalProduki kompleks kalsium meningkat sehingga terbentuk
endapan garam kalsium fosfat dalam jaringan tubuh. Tempat lazim perkembangan kalsium adalah di
dalam dan di sekitar sendi mengakibatkan artritis, dalam ginjal menyebabkan obstruksi, pada jantung
menyebabkan distritmia, kardiomiopati dan fibrosis paru. Endapan kalsium pada mata dan menyebabkan
band keratopati (Price & Wilson, 2005)
f. Penyakit tulang uremik Penyakit tulang uremik sering disebuat osteodistrofi rénal yang terjadi dari
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormon paratiroidOsteodistrofi renal merupakan
komplikasi penyakit gagal ginjal kronis yang sering terjadi (Isroin2013). 4Stadium gagal ginjal
Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan kemampuan ginjal dalam
menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk memfasilitasi penerapan pedoman praktik
klinispengukuran kinerja klinis dan peningkatan kualitas pada evaluasidan juga manajemen gagal ginjal
kronik (National Kidney Foundation2002). Berikut adalah klasifikasi stadium gagal ginjal kronis :
72 x kreatininureum
4. Manifestasi klinis
Black (2014), Menjelaskan bahwa manifestasi klinis CKD Sangat bervariasi. Banyak orang dengan: CKD
hanya memiliki sedikit keluhan
1) Pada stadium 1, klien biasanya memiliki tekanan darah normal tidak ada kelainan dalam tes
laboratorium dan tidak ada manifestasi klinis
2) Klien pada stadium 2 umumnya asimtomatik tetapi mungkin mengalami hipertensi dan ada
kelainan pada tes laboratorium
3) Pada stadium 3, klien biasanya masih asimtomatik tetapi nilai tes laboratorium menunjukkan
kelainan dibeberapa organ dan hipertensi sering ada
4) Pada stadium 4, klien mulai mengalami manifestasi klinis terkait dengan CKD seperti kelelahan
dan nafsu makan yang buruk
5) Pada stadium 5 sesak nafas berat menjadi manifestasi klinis penyakit ginjal stadium akhir
merupakan buktinya.
5. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien gagal ginjal kronik meliputi gambaran yang sesuai dengan penyakit yang
mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasiPada stadium diniterjadi kehilangan daya cadang ginjal
dimana GFR masih normal atau justru meningkatKemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%, barulah terasa keluhan seperti
nokturia, badan lemah, mualnafsu makan kurangdan penurunan berat badan. Sampai pada GFR di bawah
30%, pasien menunjukkan gejala uremia yang nyata seperti anemiapeningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritusmual, muntah dan lain sebagainyaPasien juga mudah terserang
infeksi, terjadi gangguan keseimbangan elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka timbul gejala
dan komplikasi serius dan pasien membutuhkan RRT (Suwitra 2009).
6. Komplikasi
Penyakit ginjal kronis dapat mempengaruhi hampir setiap bagian tubuh. Komplikasi yang bisa saja
terjadi, meliputi:
Retensi cairan, yang dapat menyebabkan pembengkakan di lengan dan kaki, tekanan darah tinggi, atau
cairan di paru-paru (edema paru).
Peningkatan mendadak kadar kalium dalam darah (hiperkalemia), yang dapat mengganggu fungsi jantung
dan dapat mengancam jiwa.
• Anemia.
• Penyakit jantung.
• Kelemahan tulang, yang meningkatan risiko patah tulang.
• Penurunan gairah seks, disfungsi ereksi, atau penurunan kesuburan
• Kerusakan pada sistem saraf pusat, yang dapat menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, perubahan
kepribadian, atau kejang.
• Penurunan respon imun, yang membuat pengidap lebih rentan terhadap infeksi.
• Perikarditis, yaitu peradangan pada selaput mirip kantung yang menyelubungi jantung
(perikardium).
• Komplikasi kehamilan yang berisiko membahayakan ibu dan janin dalam kandungan.
• Kerusakan permanen pada ginjal pada pengidap penyakit ginjal stadium akhir, yang
membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal untuk bertahan hidup.
6. Penatalaksanaan
Pengobatan dapat dibagi 2 golongan a Pengobatan konservatif Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan, bila klirens kreatinin lebih dari 5 ml menit tetapi bila
sudah turun sampai kurang dari 5 ml menit harus ditetapkan apakah pendenta tersebut mungkin diberi
pengobatan pengganti Tujuan pengobatan konservatif adalah memanfaatkan faal ginjal yang masih bisa,
mencegah faktor-faktor pemberat dan di mana mungkin mencoba memperlambat progresi gagal ginjal.
1) Pengobatan penyakit dasar Pengobatan terhadap penyakit dasar yang masih dapat dikoreksi mutlak
harus dilakukanTermasuk pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah pada pasien diabetes militus,
koreksi jika ada obstruksi saluran kencing serta pengobatan infeksi saluran kemih (ISK).
2) Pengendalian keseimbangan air dan garam
Garam bersifat menahan air. Jika mengurangi asupan garam, cairan dalam tubuh juga tidak terlalu banyak
menumpuk, pembengkakan tangan dan kaki yang sering terjadi manakala cairan tubuh berlebihan juga
akan berkurang, dan kerja jantung serta paru-paru juga menjadi lebih ringan sehingga mengurangi
keluhan sesak dan sulit bernapas. S…
Tabel 2.2 Stadium gagal ginjal kronis.
25-60 0.6 0.8 g/kg BB/hr, termasuk > 0.35 g/kg BB/hr protein dengan nilai
biologis tinggi.
5-25 0.6-0.8 g/kg BB/hr, termasuk > 0.35 g/kg BB/hari protein dengan nilai
biologis tinggi atau tambahan 0.3 g asam amino esensial atau asam keton.
60 (Sindrom Nefrotik) 0.8 g/kg BB/hr (ditambah dengan 1g protein/g proteinuria atau 0.3 g/kg
BB tambahan asam amino esensial atau asam keton)
Komplikasi Hemodialisa
Komplikasi hemodialisa dibedakan menjadi 2, yaitu akut dan kronis.
Komplikasi Interim (Akut)
Komplikasi interim (akut) hemodialisa di antaranya yaitu:
▪ Hipotensi: Hipotensi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi selama hemodialisa
Adapun faktor risiko terjadinya hipotensi selama hemodialisa seperti ultrafiltrasi dalam jumlah
besar, mekanisme kompensasi pengisian vaskular yang tidak adekuat, gangguan respon vasoaktif
atau otonom, dan menurunnya kemampuan pompa jantung. Pencegahan hipotensi saat
hemodialisa seperti dengan melakukan evaluasi berat badan kering dan modifikasi dari
ultrafiltrasi. Cara lain dengan ultrafiltrasi bertahap dilanjutkan dengan dialisis, mendinginkan
dialisat selama dialisis berlangsung, dan menghindari makan berat selama dialisis
▪ Kram otot: Kram otot juga sering terjadi selama dialisis dan mekanismenya belum jelas. Adanya
gangguan perfusi otot karena pengambilan cairan yang agresif dan pemakaian dialisat rendah
sodium menjadi faktor pencetus kram otot selama dialisis
▪ Reaksi anafilaktoid: Reaksi anafilaktoid terhadap dialiser sering dilaporkan terjadi pada membran
biokompatibel yang mengandung selulosa
Reaksi terhadap dialiser dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A merupakan
reaksi intermediate yang diperantarai IgE terhadap etilen oksida yang dipakai untuk sterilisasi dialiser
yang baru. Reaksi tipe A biasanya muncul segera setelah terapi dimulai.
Reaksi tipe B terdiri dari kumpulan gejala dari nyeri dada dan punggung yang tidak spesifik dan mungkin
disebabkan oleh aktivasi komplemen dan pelepasan sitokin.[4,8,11,16]
Komplikasi jangka panjang hemodialisa terutama dikaitkan dengan penyakit kardiovaskular. Penyebab
dasar penyakit kardiovaskular bersifat multivariabel seperti diabetes mellitus, inflamasi kronis, perubahan
besar pada volume ekstraseluler, hipertensi yang tidak terkontrol, dislipidemia, anemia. Selain itu, adanya
kalsifikasi vaskuler yang luas, peningkatan fibrosis miokardial, dan hiperplasia intima juga merupakan
patologi yang menyebabkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.[4,8,11,16]
b. Hiperkalemia
c. Asidosis
d. Kegagalan terapi konservatif
e. Kadar ureum lebih dari 200 mg/dL dan kreatinin lebih dari 6 mEq/L
f. Kelebihan cairan
g. Anuria berkepanjangan lebih dari 5 hari.
4. Efek samping hemodialisis
Menurut smelzer dan Bare (2001d: 1401) dan Nephrologi Channel, (2001) dalam Harmoko, (2011) efek
samping yang dirasakan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis antara lain:
a. Fisik
1) Nyeri dada
Nyeri dada dapat terjadi akibat hematokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan.
Perubahan volume menyebabkan berkurangnya oksigen miokard karena pCO, menurun bersama dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh (Smeltzer dan Bare, 2002; Kallenbac, 2005 & Farida, 2010).
2) Mual dan muntah Mual dan muntah saat hemodialisis kemungkinan dipengaruhi oleh lamanya waktu
hemodialisis, perubahan homeostatis selama hemodialisis, banyaknya ureum yang di keluarkan dan
besarnya ultrafiltrasi (Holly et al 2007). Mual dan muntah dapat mengganggu aktivitas pasien,
menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan (Armiyanti, 2009: 28). Nelektrolit dan kelelahan,
meningkatkan rasa tidak nyaman.
3) Kram otot
Intradialytik muscle cramping, biasanya terjadi pada ekstermitas bawah Beberapa factor resiko terjadinya
kram diantaranya perubahan osmolaritas, ultrafiltrasi yang terlalu tinggi dan ketidakseimbangan kalium
dan kalsium intra atau ekstra sel (Kallenbac et al, 2005 dalam Farida, 2010).
4) Pusing Penyebab sakit kepala saat hemodialisis belum diketahui. Kecepatan UFR yang tinggi,
penarikan cairan dan elektrolit yang besar, lamanya dialisis, dan tingginya iltrafiltrasi juga dapat
menyebabkan terjadinya headache intrasdialysis (Incekara et al, 2008 & Farida 2010).
5) Hipotensi
Hipotensi sering terjadi pada pasien yang sering menjalani hemodialisis dengan isidensi sekitar 20-25%
dari semua sesi hemodialisis. Intradialytic hypotension (IDH) merupakan penurunan tekanan darah
sisitolik ≥20 mmHg atau penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan
munculnya gejala-gejala sepertiperasan tidak nyaman pada perut (abdominal discofort); menguap, mual,
gelisah, muntah, pusing dan kecemasanPasien yang sering mengalami IDH antara lain pasien diabetes,
gagal ginjal kronis, penyakit kardiovaskuler, setatus nutrisi yang jelek dan hipoalbuminemia, uremic
neuropathy atau disfungsi automic, anemia berat, tekanan darah sistolik presialisis <100 mmHgIntervensi
untuk mencegah terjadinya IDH antara lain: penggunaan temperature dingin, pengaturan profil
natriumpeningkat kadar kalsium dialisat, dan beberapa penggunaan proseor angents. (Gintingtanpa tahun)
6) Anemia Anemia adalah kondisi klinis yang dihasilkan akibat insufisiensi suplai sel darah merah yang
sehat, volume sel darah merah, dan atau jumlah hemoglobin (Hb) dengan hasil pemeriksaan laboratorium
kadar Hb <11 gridl (Nurchayati2011)Menurut Penefri (2011) pasien gagal ginjal kronis dikatakan anemia
jika Hb 10 gr/dlMenurunya kadar hemoglobin dikarenakan kehilangan darah akibat defisiensi sintesis
pembentukan hormone eritropoietin dan terjadi pemendekan masa hidup eritrosit akibat terjadinya
peningkatan hemolisis eritrositFaktor etiologi yang banyak terjadi pada pasien hemodialisis seperti
seringnya pengambilan sampel darah, berkurangnya darah karena proses hemodialis ataupun tingkat
kerusakan ginjal yang lebih parah (Yendriwati, 2002 dalam Anggraeni et al, 2012).
7) Emboli
Emboli udara adalah suatu masalah keamanan pasien yang paling serius pada unit hemodialisis. Emboli
udara terjadi ketika udara atau sejumlah busa (microbubble) memasuki system peredaran darah
pasienUdara dapat memasuki sirkulasi pasien melalui selang darah yang rusak kesalahan penyambungan
selang darah, adanya lubang pada container cairan intravena, kantung darah dan perubahan letak jarum
arteri (Kallenbach, et al, 2005 dalam Armiyanti, 2009)Gejala yang berhubungan dengan terjadinya emboli
udara adalah adanya sesak nafas,nafas pendek, dan kemungkinan adanya nyeri dada (Daugirdas, et al,
2007 dalam Farida, 2010).
b. Psikologi Respon psikologis pada pasien gagal ginjal kronik dapat bervariasi dan sering berhubungan
dengan kerugian, baik aktual maupun potensialdan telah disamakan dengan proses kesedihan. Depresi
merupakan respon psikologis yang paling umum dan telah dilaporkan berhubungan dengan kualitas hidup
yang rendah yang berhubungan dengan kesehatan. Kemarahan dan penolakan yang sering dilakukan oleh
pasien untuk melindungi diri dan emosi tak terkendaliini dapat memiliki efek negatif yang dapat
menyebabkan penurunan kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan dan mengurangi komunikasi
yang efektif antara pasien dan tim kesehatan menurut Tallis (2005).
Penderita gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan dalam hal spiritualPasien lebih mendekatkan
diri kepada Tuhan dibandingkan sebelum terkena gagal ginjal dan melakukan hemodialisisMendekatkan.
diri kepada Tuhan dilakukan dengan menjalankan aturan agama dan tidak berbuat hal yang dilarang
agama. Lebih memikirkan kehidupan untuk bekal diakherat. Kualitas hidup secara spiritual dirasakan
lebih meningkat dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan berbuat baik (Farida 2010).
Inti dari spiritual adalah kualitas dari suatu proses menjadi lebih religius, berusaha mendapatkan inspirasi,
penghormatan, perasaan kagum, memberi makna dan tujuan yang dilakukan oleh individu yang percaya
dan tidak percaya kepada Tuhan. Lebih memikirkan kehidupan untuk bekal diakherat. Selain dampak
spiritual, penderita akan merasa mudah putus asa, malu, merasa bersalah, hal ini dapat menyebabkan
depresiRasa kehilangan pekerjaan, peran dalam keluarga dan kehilangan teman, serta tingkat pendidikan
yang rendah merupakan resiko utama terjadinya depresiDepresi merupakan hal yang berpengaruh
terhadap kualitas hidup pasien. Adaptasi psikologi yang dilakukan adalah menjadi lebih sabar, menerima
keadaan dan ikhlas (Farida 2010)
d. Status pernikahan
Moons, Marquet, Budst, dan De Gees (2004) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara
individu yang tidak menikah, individu bercerai ataupun janda, dan individu yang menikah atau kohabitasi.
Penelitian empiris di Amerika secara umum menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki
kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda/duda
akibat pasangan meninggal. Hal ini didukung oleh penelitian kualitas hidup dengan menggunakan
kuesioner SF-36 terhadap 145 laki-laki dan wanita, dilaporkan bahwa laki-laki dan perempuan yang
sudah menikah memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan yang
belum menikah atau yang sudah bercerai. Kualitas hidup yang baik pada laki-laki dan wanita yang sudah
menikah karena adanya dukungan sosial dari pasangannya (Quan, Rong, Chan, Rong & Xiu, 2009).
Pekerjaan
e. MoonsMarquet, Budst, dan De Gees (2004) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup
antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar, penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja
(atau sedang mencari pekerjaan), dan penduduk yang tidak mampu bekerja (atau memiliki disabiliti
tertentu)WahlAstridRusteun & Hanested (2004) menemukan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan
kualitas hidup baik pada pria maupun wanita. Lama menderita hemodialisis
f. Menurut WHO (2010) Kesehatan merupakan sebuah kondisi yang setabil atau normal dalam system
koordinasi jiwa dan raga manusia maupun mahluk hidup yang lain. Kesetabilan pada koordinasi organ-
organ pada tubuh manusia atau mahluk hidup lainya dapat berpengaruh pada kesehatan jasmaninya.
Sementara itu kesehatan rohani merupakan kesehatan jiwa pada manusia atau mahluk hidup lainnya yang
memiliki akal dan pikiranagar dapat mengkoordinasikan hati dan pikiran guna memperoleh rasa nyaman.
Saat ini hipertensi perlu diperhatiakan dalam kesehatan masyarakatkarena lama menderita hemodialisis
dapat menyebabkan komplikasi yang lebih berat apabila tidak segera ditanganig. Keteraturan berobat
Penyakit hipertensi sering disebut sebagai the silent disease atau pembunuh diam-diamkarena pada
umumnya penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan
darahnya. Kepatuhan menjalani pengobatan sangat diperlukan untuk mengetahui tekanan darah serta
mencegah terjadinya komplikasi.
Keteraturan berobat dikatakan teratur apabila dilakukan berturut-turut dalam beberapa bulan terahir dan
tidak teratur apabila tidak dilakukan berturut-turut dalam beberapa bulan terahir (Annisa, 2013)
4.Domain kualitas hidup
Ada 6 domain yang diukur pada kualitas hidup menurut WHO (2004)Domain penilaian kualitas hidup
adalah
Tabel 2.3 domain kualitas hidup
1. Kesehatan fisik : Energi dan kelelahan Nyeri dan ketidaknyamanan Tidur dan istirahat
2. psikologis: Gambaran diri (body image) dan penampilan Perasaan negative, perasaan posistif
konsep diri, berpikir , belajar, ingatkan dan konsentrasi.
3. Tingkat ketergantungan: pergerakan aktivitas sehari-hari ketergantungan terhadap substansi dan obat
bantuan medis kemampuan bekerja.
5. Lingkungan: sumber financisl, kebebasan, keselamatan dan keamanan perawatan kesehatan dan social
kemudahan akses dan kualitas lingkuan kesehatan kesempatan untuk mendapatkan informasi dan
keterampilan partisipasi dalam dan kesempatan rekreasi dan waktu luang lingkungan fisik ( polusi, bising,
lalu lintas, dan cuaca).Transportasi.
6. spiritual agama dan keyakinan personal: spriritual agama dan keyakinan personal
WHO (2004)
5. Pengukuran kualitas hidup
Pengukuran kualitas hidup yang terstandarisasi menggunakan indicator yang mungkin tidak relevan
terhadap individu yang di ukur kualitas hidupnyaSelain itu, pengukuran kualitas hidup dengan indicator
yang terstandarisasi mengansumsikan bahwa tiap aspek yang diukur adalah sama pentingnya bagi semua
responden sehingga pengukuran mengabaikan adanya variasi kepentingan aspek bagi tiap individu,
menurut Moons et al. (2004 dalam Nofitri (2009)
Menurut Guyatt dan Jeescake (1952) & Silitonga (2007), secara garis besar pengukuran kualitas hidup
dapat dibagi menjadi 2 macam instrument, yaitu instrument umum (generic scale) dan instrument khusus
(specific scale)Instrument umum ialah instrument yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup secara
umum pada penderita dengan penyakit kronisInstrumm ini di gunakan untuk menilai secara umum
mengenai kemampuan fungsional, ketidakmampuan dan kekuatiran yang timbul akibat penyakit yang
diderita.
Salah satu contoh instrument umum adalah the Sieness Impact Profile (SIP)the Medical Outcome Study
(MOS) 36-item short-from Health Survey (SF-36)Instrument khusus adalah instrument yang dipakai
untuk mengukur sesuatu yang khusus dari penyakit, populasi tertentu (misalnya pada orang tua) fungsi
yang khusus (misalnya fungsi emosional), contohnya ialah "The Washington Psycosocial Seizure
Inventory" (WPSI)"The Liverpool Group""The Epilepsy Surgery Inventory" (ESI-55) menurut Guyatt
dan Jeescake (1952) & Silitonga (2007)
The MOS (SF-36) merupakan salah satu contoh instrumen pengukuran kualitas hidup secara luas untuk
berbagai macam penyakit yang berisikan 36 pertanyaanInstrument KDQOL-SF digunakan unruk
mengukur kualitas hidup pasien penyakit gagal ginjal dengan penelitian secara keseluruhan baik fisik dan
mental (Hays,1992).
D. Kerangka Teori
Faktor yang mempengaruhi
1.Gangguan klirens renal
2.Retensi cairan dan natrium
3.Asidosis
4. Anemia
5. Ketidak seimbangan kalsium dan fosfat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aromaterapi secara inhalasi mampu mengurangi tingkat kelelahan
(fatigue) pada pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa dibandingkan dengan tindakan
nonfarmakologi lainnya.
Pengobatan komplementer dan alternatif (CAM) salah satunya adalah Aromaterapi. Aromaterapi adalah
terapi yang menggunakan minyak essensial yang dinilai mampu mengurangu bahkan mengatasi ganguan
psikologis dan gangguan rasa nyaman seperti kelelehan dalam penggunanan aromaterapi dapat diberikan
melalui beberapa cara, diantaranya berendam, pijat, kompres dan dihirup atau inhalasi. Dari keempat cara
tersebut penggunaan aromaterapi yang paling mudah dan efisen adalah dengan aromaterapi inhalasi
(Setiawan, Riiki, 2018).
Aromaterapi adalah intervensi keperawatan non-invasif untuk mengurangi fatigue atau kelelahan pada
pasien yang menjalani hemodialisis. Dasar aromaterapi adalah minyak, yang merupakan zat aktif secara
kimia dengan sejarah panjang penggunaan tradisional yang aman dan evidence base yang berkembang
untuk mendukung penggunaan aromaterapi dalam perawatan. Aromaterapi didasarkan pada teori bahwa
inhalasi atau penyerapan minyak esensial memicu perubahan dalam system limbic, bagian dari otak
Pada penelitian pertama yang dilakukan oleh Bicer et al (2017) Penelitian ini dilakukan pada 50 pasien
yang sesuai dengan kriteria inklusi dan berusia 30-59 tahun yang sedang menjalani hemodialisa 3 kali
seminggu selama 3-5. Ditemukan bahwa 60% peserta adalah laki-laki dan 36% dari individu dalam
kelompok intervensi memiliki gagal ginjal kronis akibat glomerulonefritis dan 40% menjalani
hemodialisis selama 24-35 bulan. 52% dari individu dalam kelompok plasebo mengalami gagal ginjal
kronis akibat hipertensi arteriosklerosis dan 48% menjalani hemodialisis selama 12-23 bulan individu
yang menjalani terapi hemodialisis. Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan. Sejumlah penelitian telah
mengungkapkan bahwa aromaterapi yang dilakukan oleh perawat pada pasien yang menjalani
hemodialisis penting untuk manajemen kelelahan dan penurunan gejala. Dari hasil penelitian tersebut
skor rata-rata BFI (brief fatigue inventory) adalah 42.92±13.23 menjadi19.52±6.7 (kelompok intervensi)
dan skor rata-rata VAS (Visual Analog Score) adalah 7.16±1.34 menjadi 3.04±1.39 (kelompok
intervensi). Penelitian ini menjelaskan bahwa aromaterapi secara inhalasi signifikan menurunkan
keparahan fatigue pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa dan aromaterapi mudah dan ekonomis
untuk mendapatkannya serta tanpa efek samping bagi fisik.
Pada penelitian kedua yang dilakukan oleh Hassanzadeh (2018), Penelitian ini dilakukan pada 105 pasien
yang sesuai dengan kriteria inklusi dan berusia 20 – 60 tahun yang menjalani terapi hemodialisa 3 kali
dalam seminggu dengan durasi 3-5 jam. Kemudian dari 105 pasien dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu
kelompok relaksasi 35 pasien, kelompok aromaterapi 35 pasien dan kelompok kontrol 35 pasien.
Pada penelitian ini melakukan 2 tindakan CAM yaitu relaksasi benso dan aromatherapi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk membandingkan keefektifan dari kedua tindakan tersebut. Subyek dalam
penelitian ini 56% adalah laki-laki. Hasil yang didapatkan adalah sebelum dilakukan relaksasi 6.8 ± 1.45
menjadi 5.12 ± 1.05. Sebelum diberikan aromaterapi 6.49 ± 1.11 menjadi 3.64 ± 0.79 dengan
menggunakan skala Brief Fatigue Inventory. Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa inhalasi
lavender minyak esensial untuk mengurangi tingkat kelelahan pada pasien yang menjalani hemodialisis
lebih efektif dari pada metode relaksasi Benson. Perspektif ini mendukung gagasan untuk menggunakan
pengobatan komplementer dan alternatif, khususnya aromaterapi oleh lavender minyak esensial, untuk
mengurangi tingkat kelelahan. Bagheri et al (2016) juga mengevaluasi efek dari aromaterapi pada kualitas
tidur, kepuasan tidur dan kelelahan pada pasien yang menjalani hemodialisa.Pada penelitian ketiga oleh
Sharare Ahmady et al (2019), penelitian ini memiliki persamaan yaitu, media dan cara yang digunakan
adalah aromaterapi secara inhalasi. Subyek pada penelitian ini 90 pasien yang dibagi menjadi 3 kelompok
(kelompok minyak orange sebanyak 30 pasien, kelompok minyak lavender sebanyak 30 pasien, dan
kelompok kontrol sebanyak 30 pasien) yang berusia 20 tahun hingga 60 tahun, pasien menjalani terapi
hemodialisa 3 kali dalam seminggu. Responden laki-laki (58,9%) lebih banyak dibandingkan perempuan.
Selain gagal ginjal para responden memiliki penyakit penyerta seperti diabetes mellitus. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa aromaterpi menggunakan esensial lavender dan jeruk dapat mengurangi
kelelahan pada pasien hemodialisis. Sebelum intervensi dengan esensial lavender 47.83 ± 14.81 setelah
intervensi menjadi 30.27 ± 13.88. Penelitian ini dilakukan selama 2 minggu sebelum intervensi
aromaterapi dengan esensial jeruk 48,8 ± 12,8 setelah intervensi menjadi 33,06 ± 14,55 dengan
menggunakan skala FSS (Fatigue Severity Scale). Dalam kasus ini mekanisme minyak atsiri lavender,
bukti menunjukkan bahwa minyak atsiri lavender dapat mengurangi kelelahan pada pasien hemodialisis
karena sifat relaksan dan obat penenangnya, Perlu diingat bahwa meskipun aromaterapi adalah intervensi
yang aman kemungkinan gangguannya terhadap obat yang diminum oleh pasien harus diperhitungkan dan
dengan demikian tidak boleh digunakan tanpa berkonsultasi dengan apoteker (Tayebi et al., 2016).
Penelitian oleh Muz et al (2017), sebagian besar partisipan adalah laki-laki (54,3%). Penelitian ini
meneliti tentang efek dari aromaterapi terhadap kualitas tidur dan tingkat kelelahan pada pasien
hemodialisa. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa fatigue antara kelompok kontrol dan kelompok
intervensi setelah intervensi inhalasi aromaterapi terdapat perbedaan. Heba (2019) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa kelelahan pasien menurun secara signifikan dari sebelum dilakukan inhalasi
aromaterapi (49,63 menjadi 26,13 dengan skala Visual Analog Scale). Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa menghirup minyak esensial lavender dapat meningkatkan kualitas tidur
menghasilkan efek sedatif dan menghambat pelepasan asetilkolin (Ayik & Ozden, 2018). Akhirnya,
setelah minyak lavender terhirup dapat menghasilkan relaksasi yang dapat mengurangi tingkat kelelahan
dan kecemasan, sehingga meningkatkan kualitas tidur pasien menjalani hemodialisis. Baglama &
Karadag (2019) telah menemukan bahwa skor rata-rata skala keparahan kelelahan menurun secara
signifikan dalam post-test setelah menghirup minyak lavender pasien dari kelompok studi mereka yang
sedang menjalani hemodialisis.
Terapi hemodialisa merupakan suatu terapi yang dijalani oleh pasien gagal ginjal kronik. Terapi
hemodialisa harus dijalani seumur hidup pasien dengan frekuensi dan durasi tergantung dari seberapa
parahnya kerusakan pada ginjal. Selain memberikan manfaat, terapi hemodialisa juga menimbulkan efek
samping baik secara fisik maupun psikis pasien. Secara psikis efek yang ditimbulkan diantaranya
kecemasan, stress, depresi dan kelelahan (fatigue). Untuk menangani fatigue yang terjadi pada pasien
hemodialisa mengggunakan terapi farmakologi dan non-farmakologi. Secara non-farmakologi
menggunakan aromaterapi yang dilakukan secara inhalasi.
Hasil penelitian dari review lima jurnal membuktikan bahwa efek aromaterapi secara inhalasi mampu
mengurangi tingkat kelelahan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan
fungsi regulernya. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengeluarkan sisa metabolisme
serta tidak mampu menjalankan fungsi regulasinya. Gagal ginjal dapat dibagi menjadi dua kategori
yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal yang
terjadi dengan cepat akibat kerusakan ginjal (biasanya terjadi dalam beberapa hari atau beberapa
minggu),sedangkan gagal ginjal kronik (PGK) merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif
dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun) (Wilson, 2015).
Saran
Kami berharap makalah pada pasien dengan gagal ginjal akut, kronis dan dialysis ini dapat
bermanfaat dan dapat membangun konsep berfikir mahasiswa keperawatan tentang asuhan yang dapat
diberikan dan bagaimana penanganan pada pasien tersebut, smoga bermanfaat. (⊃。•́‿•̀。)⊃