Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SINDROM NEFROTIK
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS MATA KULIAH
BLOK KEPERAWATAN ANAK II

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Keperawatan Reguler C
Muhamad Ikbal Nurul Awaliyah
Nina Nurjanah Risma Diana
Nisriina Huwaida Risna Gina Sonia
Nono Tarsono Riva Amanah Illahi
Nur Salim Rizki Fauzi Raka P
Nopi Mardiatul Fauziah Rosyidah Nur Alfiani
Nurleli Rusiyawati

Dosen Pengampu :
Ns. Nanang Saprudin, S.Kep, M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
(STIKKU)
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang.
Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Kuningan, Oktober 2018

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................
BAB I Pendahuluan...........................................................................................................................
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................................................
1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………………………………………………........
1.3.2 Tujuan Khusus.............................................................................................................
1.4 Metode Penulisan............................................................................................................................
1.5 Manfaat Penulisan..........................................................................................................................
BAB II Tinjauan Teoritis.....................................................................................................................
2.1 Definisi...........................................................................................
2.2 Insiden............................................................................................
2.3 Anatomi dan Fisiologi
2.4 Etiologi
2.5 Patofisiologi
2.6 Manifestasi Klinik
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.8 Penatalaksanaan
2.9 Komplikasi......................................................
BAB III Analisa Kasus.........................................................................................................................
BAB IV Penutup ................................................................................................................................
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................................
4.2 Saran...........................................................................................................................................
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif, hipoproteinemia, edema, dan
dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000
anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun,
dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM
Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di poliklinik khusus Nefrologi,
dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein (khususnya albumin) ke
dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3,
yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura
Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih
pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai
prognosis buruk.
Sindrom nefrotik (SN) pada anak yang didiagnosis secara histopatologik sebagai lesi minimal, sebagian besar
memberikan respons terhadap pengobatan steroid (sensitif steroid). Sedangkan SN lesi nonminimal sebagian
besar tidak memberikan respons terhadap pengobatan steroid (resisten steroid).1-4 International Study of
Kidney Disease in Children (ISKDC) membuat panduan gambaran klinis dan laboratorium untuk memperkirakan
jenis lesi pada anak yang menderita SN. Gambaran klinis dan laboratorium tersebut adalah usia saat serangan
pertama, jenis kelamin, hipertensi, hematuria, rerata kadar kreatinin, komplemen C3, dan kolesterol serum.
Seperti telah diketahui, bentuk histopatologik memberikan gambaran terhadap respons pengobatan steroid,
seperti jenis glomerulonefritis mesangial proliferatif (GNMP) sebesar 80-85% adalah resisten seroid. Sampai
saat ini, belum terdapat data gambaran histopatologik di Indonesia, sehingga pada sindrom nefrotik resisten
steroid (SNRS) dan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) akan memberikan gambaran klinis yang berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh ISKDC. Kadar protein nonalbumin diikutsertakan pula dalam penelitian ini
karena belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara berbagai
gambaran klinis dan laboratorium secara bersama-sama dengan respons terhadap pengobatan steroid (SNRS
dan SNSS). (Behrman, 2000)

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang di angkat pada makalah ini adalah

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum :
Mahasiswa keperawatan mampu memahami konsep dasar medis dan asuhan keperawatan pada klien dengan
penyakit sindroma nefrotik.
1.3.2 Tujuan Khusus :
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai penyakit sindroma nefrotik.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan ini menggunakan metode kepustakaan dan mengambil referensi dari internet
yang berbentuk pdf.

1.5 Manfaat Penulisan


Memberikan pengetahuan dan wawasan kepada mahasiswa, agar mahasiswa dapat mengetahui tentang
penyakit sindroma nefrotik.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Definisi
Nephrotic Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular yang
terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan
edema. (Suriadi, 2006)
Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
dan edema. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya faktor yang menyebabkan premeabilitas glomerulus.
(Hidayat, A.Aziz, 2006)
Sindroma Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, kadang-
kadang terdapat hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 2005)
Berdasarkan pengertian diatas maka, dapat diambil kesimpulan bahwa sindroma nefrotik adalah merupakan
suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.

2.2. Insiden
Menurut Cecily L Betz, 2002 :
1. Insidens lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.
2. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas
kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan
3. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun
4. Sindrom nefrotik perubahan minimal (SNPM) menacakup 60 – 90 % dari semua kasus sindrom nefrotik
pada anak
5. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan
pemberian steroid.
6. Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi bilateral dan transplantasi
ginjal.

2.3. Anatomi & Fisiologi


1. Anatomi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-
12 cm, disamping kiri kanan vertebra.

Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis
tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi
batas bawah vertebra lumbalis III.

Pada fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur, lobulasi makin kurang sehingga waktu dewasa
menghilang.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18
buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks,
sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi
kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di
pelvis renalis inilah keluar ureter.

Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari
tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle,
tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2
juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic
dengan plasma pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80 % filtrat telah di absorbsi meskipun
konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden
lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin
encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak sepanjang tubulus
distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotic dengan plasma darah pada ujung duktus
pengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada
akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin
atau kemih (Price,2001 : 785).

2. Fisiologi
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat
yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang
mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.
a. Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan
hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik.
Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal
dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas
permukaan tubuh anak.
b. Faal Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang
terbentuk di glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120 ml/menit/1,73 m2, sedangkan yang direabsorbsi
hanya 100 ml/menit, sehingga yang diekskresi hanya 1 ml/menit dalam bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml
(urin dewasa).
Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur :
 1-2 hari : 30-60 ml
 3-10 hari : 100-300 ml
 10 hari-2 bulan : 250-450 ml
 2 bulan-1 tahun : 400-500 ml
 1-3 tahun : 500-600 ml
 3-5 tahun : 600-700 ml
 5-8 tahun : 650-800 ml
 8-14 tahun : 800-1400 ml
c. Faal Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari
ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein, asam amino dan glukosa yang
direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat,
malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.
d. Faal Loop of Henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk
membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
e. Faal Tubulus Distalis dan Duktus Koligentes.
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan
ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen.

2.4. Etiologi

Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Menurut Ngastiyah (2005), umumnya etiologi dibagi menjadi :

1. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan.
Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

Gejala : Edema pada masa neonatus

2. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh :

a. Malaria kuartana (malaria kuartana yang disebabkan plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih
lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40
hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari) atau parasit lainnya.

b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

c. Glumerulonefritis akut atau kronik,

d. Trombosis vena renalis.


e. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.

f. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.


(Ngastiyah, 2005)

3. Sindrom nefrotik idiopatik

Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis yang tampak pada
biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :

a. Kelainan minimal

Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata
tidak terdapat imunoglublin G (IgG) pada dinding kapiler glomerulus.

b. Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang
baik.

c. Glomerulonefritis proliferatif

1. Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.

2. Dengan penebalan batang lobular.

Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.

3. Dengan bulan sabit ( crescent)

Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.

4. Glomerulonefritis membranoproliferatif

Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis di mesangium. Titer globulin
beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.

5. Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.

4. Glomerulosklerosis fokal segmental

Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk.

2.5. Patofisiologi
Penyakit nefrotik sindroma biasanya menyerang pada anak-anak pra sekolah. Hingga saat sebab pasti penyakit
tidak ditemukan, tetapi berdasarkan klinis dan onset gejala yang muncul dapat terbagi menjadi sindroma nefrotik
bawaan yang biasanya jarang terjadi; Bentuk idiopati yang tidak jelas penyebabnya maupun sekunder dari
penyakit lainnya yang dapat ditentukan faktor predisposisinya; seperti pada penyakit malaria kuartana, Lupus
Eritematous Diseminata, Purpura Anafilaktoid, Grumeluronefritis (akut/kronis) atau sebagai reaksi terhadap
hipersensitifitas (terhadap obat)

Nefrotik sindroma idiopatik yang sering juga disebut Minimal Change Nefrotic Syndrome (MCNS) merupakan
bentuk penyakit yang paling umum (90%).

Patogenesis penyakit ini tidak diketahui, tetapi adanya perubahan pada membran glumerolus menyebabkan
peningkatan permeabilitas, yang memungkinkan protein (terutama albumin) keluar melalui urine (albuminuria).
Perpindahan protein keluar sistem vaskular menyebabkan cairan plasma pindh ke ruang interstitisel, yang
menghasilkan oedema dan hipovolemia. Penurunan volume vaskuler menstimulasi sistem renin angiotensin,
yang memungkinkan sekresi aldosteron dan hormon antidiuretik (ADH). Aldosteron merangsang peninkatan
reabsorbsi tubulus distal terhadap Natrium dan Air, yang menyebabkan bertambahnya oedema. Hiperlipidemia
dapat terjadi karena lipoprotein memiliki molekul yang lebih berat dibandingkan albumin sehingga tidak akan
hilang dalam urine.

Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma potein, terutama albumin ke dalam urine. Meskipun hati
mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus mempertahankannya jika
albumin terus-menerus hilang melalui ginjal sehingga terjadi hipoalbuminemia.

Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari
sistem vaskular ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem
renin-angiotensin menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.

Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan terjadi
peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).

Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik yang mempengaruhi
glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga
terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebab sindrom nefrotik mencakup glomerulonefritis kronis,
dibetes mellitus disertai glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus
sistemik, dan trombosis vena renal.

Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan memberikan berbagai masalah
keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus progresif cepat. (Arif Muttaqin, 2011).

2.6. Manifestasi Klinik


1. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai
berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar
mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.

2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa

3. Pucat

4. Hematuri

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda
untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.

5. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.

6. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.

7. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 )

2.7. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Urin

Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria nefrotik akan terlihat
oleh 3 + atau 4 + pada dipstick bacaan, atau dengan pengujian semi kuantitatif oleh asam sulfosalicylic. Sebuah
3 + merupakan 300 mg / dL dari protein urin atau lebih, yaitu 3 g / L atau lebih dan dengan demikian dalam
kisaran nefrotik. Pemeriksaan dipsticks kimia albumin adalah protein utama yang diuji.

a. Protein urin > 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari

b. Urinalisa cast hialin dan granular, hematuria

c. Dipstick urin positif untuk protein dan darah

d. Berat jenis urin meningkat (normal : 285 mOsmol)

2. Darah

Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:

a. Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100 ml)

b. Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100 ml). Hal ini disebut sebagai hipoalbuminemia (nilai kadar albumin
dalam darah < 2,5 gram/100 ml). Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme protein
yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme in merupakan factor tambahan terjadinya hipoalbuminemia
selain dari proteinuria (albuminuria). Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus
sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema
anasarka terjadi bila kadar albumin darah < 2 gram/100 ml, dan syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar <
1 gram/100 ml. (Betz, 2002)

3. Pemeriksaan Diagnostik

a. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.

b. USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal.

c. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis kronis atau pembentukkan jaringan
parut yang tidak spesifik pada glomeruli. (Betz, 2002)

2.8. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau menghilangkan proteinuria
dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:

a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara
praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3
gram/kgBB/hari.

b. Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari, dengan garam minimal bila
edema masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam sedikit.

c. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik, biasanya furosemid 1
mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat
digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi,
alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.

d. Dengan antibiotik bila ada infeksi.

e. Diuretikum

f. Kortikosteroid

International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mengajukan cara pengobatan sebagai
berikut :

1) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas permukaan badan (lpb)
dengan maksimum 80 mg/hari.
2) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/lpb, setiap 3
hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka pengobatan ini
dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.

3) Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg sampai akhirnya
dihentikan.

g. Lain-lain

Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal jantung, diberikan digitalis.
(Behrman, 2000)

2. Penatalaksanaan Keperawatan

Pasien sindroma nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena memerlukan pengawasan dan pengobatan yang
khusus. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah edema yang berat (anasarka), diet, resiko komplikasi,
pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa aman dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan
orang tua mengenai penyakit pasien.

Pasien sindroma nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat tidur, karena dengan keadaan edema yang
berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Selama edema masih berat semua
keperluan harus ditolong di atas tempat tidur.

a. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan menyebabkan sesak
nafas.

b. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan memanjang, karena jika
bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).

c. Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk mencegah pembengkakan
skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian
pasien).

Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuannya, tetapi tetap
didampingi atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan pasien tidak boleh kelelahan. Untuk mengetahui
berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari, di ukur lingkar perut pasien. Selain itu perawatan
pasien dengan sindroma nefrotik, perlu dilakukan pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam.
Pada pasien dengan sindroma nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0 gram/kgBB/hari dan cukup
kalori yaitu 35 kal/kgBB/hari serta rendah garam (1 gram/hari). Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan
pasien, bisa makanan biasa atau lunak. (Ngastiyah, 2005)

Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh yang mengakibatkan mudah terkena
infeksi. Komplikasi pada kulit akibat infeksi streptococcus dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut,
kebersihan kulit perlu diperhatikan dan alat-alat tenun atau pakaian pasien harus bersih dan kering. Antibiotik
diberikan jika ada infeksi, dan diberikan pada waktu yang sama. Jika pasien diperbolehkan pulang, orang tua
pasien perlu diberikan penjelasan bagaimana merawat anak yang menderita penyakit sindroma nefrotik. Pasien
sendiri perlu juga diterangkan aktivitas apa yang perlu dilakukan dan kepatuhan tentang dietnya masih perlu
diteruskan sampai pada saatnya dokter mengizinkan bebas diet. Memberikan penjelasan pada keluarga bahwa
penyakit ini sering kambuh atau berubah menjadi lebih berat jika tidak terkontrol secara teratur, oleh karena itu
orang tua atau pasien dianjurkan kontrol sesuai waktu yang ditentukan (biasanya 1 bulan sekali). (Ngastiyah,
2005)

2.9. Komplikasi

1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.

2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia
berat sehingga menyebabkan shock.

3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen
plasma.

4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal. (Rauf, .2002)

BAB III

ANALISA KASUS
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Sindroma Nefrotic (SN) adalah gambaran klinis dengan ciri khusus proteinuri masif lebih dari 3,5 gram per 1,73
m2 luas permukaan tubuh per hari (dalam praktek, cukup > 3,0-3,5 gr per 24 jam) disertai hipoalbuminemi
kurang dari 3,0 gram per ml. Pada SN didapatkan pula lipiduria, kenaikan serum lipid lipoprotein, globulin,
kolesterol total dan trigliserida, serta adanya sembab sebagai akibat dari proteinuri masif dan hipoproteinemi.
Beberapa ahli penyakit ginjal menambahkan kriteria lain :

1. Lipiduria yang terlihat sebagai oval fat bodies atau maltase cross bodies.

2. Kenaikan serum lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total dan trigliserida

3. Sembab.

4.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih bahasa: Monica Ester.
Jakarta : EGC.

Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih bahasa: Monica Ester.
Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines for Planning and
Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta: EGC.

Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.

Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Price A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process (Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter Anugrah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai