Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perspektif dapat diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap sesuatu.

Jadi perspekif merupakan penilaian seseorang mengenai suatu fenomena yang

terjadi. Perspektif keperawatan dibagi menjadi 6 yaitu keperawatan anak, jiwa,

keperawatan maternitas, keperawatan komunitas, keperawatan medikal bedah

keperawatan gerontik, disetiap bagian memiliki pengertian. Perawatan paliatif

adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien

(dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang

mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderita dari rasa sakit melalui

identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta

masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual (World Health

Organization (WHO), 2016).

Sebagaimana perawatan paliatif, Pasien akan mendapatkan pelayanan

perawatan paliatif di rumah sendiri atau di rumah perawatan maupun di fasilitas

kesehatan lainnya seperti rumah sakit. Di Amerika Serikat beberapa rumah sakit

telah melakukan kerjasama dan kesepahaman terhadap kolaborasi pasien rumah

sakit yang membutuhkan pelayanan hospis disaat kondisi pasien membutuhkan

penanganan intervensi secara agresif, atau di saat pasien dinyatakan dalan

kondisi sekarat, atau ketika keluarga ingin beristirahat sejenak dari rutinitas

mengurus anggota keluarganya.

1
Pelayanan perawatan paliatif memerlukan keterampilan dalam mengelola

komplikasi penyakit dan pengobatan, mengelola rasa sakit dan gejala lain,

memberikan perawatan psikososial bagi pasien dan keluarga, dan merawat saat

sekarat dan berduka. Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit

yang sulit atau sudah tidak dapat disembuhkan, perawatan paliatif ini bersifat

meningkatkan kualitas hidup (WHO,2016). Perawatan paliatif meliputi

manajemen nyeri dan gejala; dukungan psikososial, emosional, dukungan

spiritual; dan kondisi hidup nyaman dengan perawatan yang tepat, baik dirumah,

rumah sakit atau tempat lain sesuai pilihan pasien. Perawatan paliatif dilakukan

sejak awal perjalanan penyakit, bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan

pendekatan tim multidisiplin untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarga

mereka.

Kebutuhan pasien paliatif tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala

fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologi, sosial dan

spiritual yang dilakukandengan pendekatan yang dikenal sebagai perawatan

paliatif. Kebutuhan spiritual tidak hanya dapat diberikan oleh perawat, melainkan

dapat juga diberikan oleh kelompok agama ataupun keluarga, keluarga memiliki

peran yang cukup strategis dalam memenuhi kebutuhan spiritual, karena keluarga

memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan

sehari-hari. Dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang

meliputi sikap, tindakan dan penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga

anggota keluarga yang sakit merasa ada yang memperhatikan dukungan ini

2
merupakan sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang

sakit.

B. Tujuan

1. Tujuan khusus

Untuk mengetahui gambaran umum perspektif keperawatan dan

konsep keperawatan paliatif.

2. Tujuan umum

a. Untuk memahami pengertian perspektif keperawatan

b. Untuk memahami tujuan keperawatan

c. Untuk memahami konsep keperawatan paliatif

d. Untuk memahami falsafah keperawatan paliatif

e. Untuk memahami perkembangan keperawatan paliatif pada masalalu

f. Untuk memahami masa sekarang dan yang akan datang

g. Untuk memahami perawatan paliatif dalam konteks global

h. Untuk memahami perawatan paliatif dalam konteks di indonesia.

i. Untuk memahami kualitas hidup

j. Untuk memahami kompetensi perawat yang bekerja diarea keperawatan

paliatif.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perspektif Keperawatan

Perspektif dapat diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap sesuatu.

Jadi perspekif merupakan penilaian seseorang mengenai suatu fenomena yang

terjadi. 

Keperawatan adalah: upaya pemberian pelayanan/asuhan yang bersifat

humanistic dan professional, holistic berdasarkan ilmu dan kiat, standart

pelayanan dengan berpegang teguh kepada kode etik yang melandasi perawat

professional secara mandiri atau melalui upaya kolaborasi.

B. Tujuan Keperawatan

1. Memberi bantuan kepada klien (seperti memberikan informasi dan

pencapaian haknya sebagai klien)

2. Memenuhi dasar kebutuhan klien (makanan, minuman dan obat-obatan)

3. Memberi kesempatan kepada perawat untuk mengembangkan ilmunya

(walaupun sudah jadi perawat tetap menggali ilmu pengetahuan agar tidak

ketinggalan zaman)

4. Memelihara hubungan kerja antar parawat (keperawatan membantu perawat

untuk hidup seperti keluarga, tanpa adanya iri diantara perawat, perawat

4
dengan perawat bisa saja saling bertukar pikiran dan saling memberi

masukan sehingga terciptalah keperawatan yang seperti diharapkan).

Perspektif keperawatan dibagi menjadi 6 yaitu keperawatan anak, jiwa,

keperawatan maternitas, keperawatan komunitas, keperawatan medikal bedah

keperawatan gerontik.

1. Perspektif Keperawatan Anak

a. Pengertian Keperawatan Anak

Perspektif keperawatan anak merupakan landasan berfikir bagi

seorang perawat anak dalam melaksanakan pelayanan keperawatan

terhadap klien anak maupun keluarganya. Isi bahasan keperawatan anak

mencakup keperawatan anak dan peran anak, falsafah keperawatan dan

peran perawat anak.

b. Prinsip/Cara Keperawatan Anak

1) Cegah atau turunkan dampak perpisahan antara orang tua dan dengan

menggunakan pendekatan family centred

2) Tingkatkan kemampuan orangtua dalam mengontrol perwatan

anaknya, pendidikan kesehatan merupakan strategi yang tepat untuk

menyiapkan orangtua sehingga terlihat aktif dalam perawatnya anak

3) Cegah cedera baik fisik maupun psikologis, rasa nyeri akibat

tindakan perlukan (misalnya suntikan) tidak akan bisa dihilangkan,

5
tetapi tidak dapat dkurangi dengan menggunakan teknik distraksi dan

relaksasi

4) Modifikasi lingkungan fisik rumah sakit, dengan mendesainnya

seperti di rumah, yaitu penataan dan dekorasi

c. Peran perawat

Beberapa peran penting seorang perawat anak yaitu sebagai pembela

(advokasi), pendidik, konselor, kordinator, pembuat keputusan etik,

perencanaan kesehatan,Pembina hubungan terapeutik, evaluator dan

peneliti

2. Perspektif Keperawatan Maternitas

a. Pengertian Keperawatan Maternitas

Keperawatan maternitas merupakan persiapan persalinan serta

kualitas pelayanan kesehatan yang dilakukan dan difokuskan kepada

kebutuhan bio-fisik dan psikososial dari klien, keluarga, dan bayi baru

lahir. (May & mahlmeister, 1990)

Keperawatan maternitas merupakan sub system dari pelayanan

kesehatan dimana perawat berkolaborasi dengan keluarga dan lainnya

untuk membantu beradaptasi pada masa prenatal, intranatal, postnatal,

dan masa interpartal. (Auvenshine & Enriquez, 1990)

Keperawatan maternitas merupakan pelayanan yang sangat luas,

dimulai dari konsepsi sampai dengan enam minggu setelah melahirkan.

6
(Shane,et.al., 1990)

Keperawatan maternitas merupakan pelayanan professional

berkualitas yang difokuskan pada kebutuhan adaptasi fisik dan

psikososial ibu selama proses konsepsi\kehamilan, melahirkan, nifas,

keluarga, dan bayi baru lahir dengan menekankan pada pendekatan

keluarga sebagai sentra pelayanan (Reed, 1997)

b. Peran Perawat

Peran perawat dalam keperawatan maternitas menurut Reed 1997,

yaitu sebagai pelaksana, pendidik, konselor, rol model bagi para ibu, rol

model bagi teman sejawa, rumusan masalah dan ahli keperawatan.

c. Tujuan

Tujuan keperawatan maternitas adalah

1) Membantu wanita usia subur dan keluarga dalam masalah produksi

kehamilan.

2) Membantu PUS untuk memahami kehamilan persalinan dan nifas

adalah normal.

3) Memberi dukungan agar ibu memandang kehamilan persalinan dan

nifas pengalaman positif dan menyenangkan.

4) Perspektif Keperawatan Jiwa

3. Perspektif Keperawatan Jiwa

7
a. Pengertian Keperawatan Jiwa

Keperawatan adalah ilmu dan kiat yang merupakan perpaduan dan

integrase dari area teori-teori yang berbeda; ilmu-ilmu sosial, seperti

psikologi dan sosiologi, ilmi-ilmu dasar seperti anatomi,fisiologi,

mikrobiologi, dan biokimia serta ilmu media tentang diagnose dan

pengobatan terhadap penyakit

b. Perspektif Kesehatan Jiwa

Sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh, berkembang,

memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memliki persepsi

sesuai kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi dengan likungan

(yodang,2018)

c. Fisik ,intlektual, emosional secara optimal dari seorang dan perkembangan

ini berjalan selaras dengan orang lain (UU kesehatan jiwa No, 3 Tahun

1996)

d. Kriteria Sehat Jiwa Menurut Yahoda

1) Sikap positif terhadap diri sendiri

2) Tumpah kembang api dan aktualisasi diri

3) Integrasi

4) Otonomi

5) Persefsi realitas

6) Environmental mastery

8
e. Rentang Sehat Jiwa

1) Sikap positif terhadap diri sendiri

2) Rentang dimulai dari sehat optimal mati

3) Ada tahap-tahap

4) Adanya variasi tiap individu

5) Menggambarkan kemampuan adaptasi

6) Berfungsi secara efektif sehat

4. Perspektif Keperawatan Komunitas

a. Pengertian Keperawatan Komunitas

Menurut Anderson & farlane (2007), menjelaskan bahwa perawat

komunitas idealnya sebagai seorang advokat individu dan kesehatan

keluarga serta terampil dalam membangun hubungan saling percaya,

perawatan memiliki pemahaman yang baik tentang kebutuhan dan

pelayanan lokal. Karena pengalaman sebagai advokat kesehatan individu

dan keluarga, perawat, dalam suatu model advokasi komunitas, dapat

menerjemahkan pengetahuan khusus mereka tentang pelayanan keluarga

dalam konteks yang lebih besar dari kemitraan komunitas.

Paradigma keperawatan komunitas terdiri dari:

1) Manusia sebagai klien berarti sekumpulan individu atau klien yang

memiliki nilai, keyakinan, minat, dan interaksi satu sama lainnya untuk

mencapai tujuan.

9
2) Kesehatan adalah suatu kondisi terbebasnya dari gangguan pemenuhan

kebutuhan dasar klien atau komunitas. Sehat merupakan keseimbangan

yang dinamis sebagai dampak dari keberhasilan mengatasi stressor.

3) Lingkungan Semua factor internal dan eksternal atau pengaruh

disekitar klien yang bersifat biologis, psikologis, social, kultural, dan

spiritual.

4) Keperawatan Intervensi bertujuan untuk menekankan stressor atau

meningkat kemampuan klien melalui upaya pencegahan primer,

sekunder dan tertier.

5. Perspektif Keperawatan Medikal Bedah

Keperawatan medikal bedah membahas tentang masalah kesehatan yang

lazim terjadi pada usia dewasa baik yang bersifat akut maupun kronik dengan

atau tanpa tindakan operatif yang meliputi gangguan fungsi tubuh pada

system kardiovaskular, pengindraan (mata, THT), pencernaan dan urologi

oleh karena berbagai penyebab patologis seperti infeksi atau peradangan,

kongenital, neoplasma trauma, dan degeneratif.

6. Perspektif Keperawatan Gerontik

Adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian

integral dari pelayanan kesehatan secara umum dengan menggunakan ilmu

dan seni untuk memberikan kesejahteraan manusia dalam proses penuaan dan

lanjut usia baik bio, psiko, social, kultural, dan spiritual secara komprehensif.

10
Menurut Nugroho (2000) lansia dapat dikelompokkan dalam beberapa

tipe yang tergantung kepada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, mental,

social dan ekonominya. Dalam pembagian ini dibedakan menjadi empat tipe :

a. Tipe optimis, santai dan riang

b. Tipe militant dan serius

c. Tipe marah-perustasi

d. Tipe putus asa, benci pada diri sendiri dan ingin mati saja

C. Pengertian Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif merupakan perawatan total yang dilakukan secara

aktif terutama pada pasien yang menderita penyakit yang membatasi hidup,

dan keluarga pasien, yang dilakukan oleh tim secara interdisiplin, dimana

penyakit pasien tersebut sudah tidak dapat lagi berespon terhadap pengobatan

atau pasien yang mendapatkan intervensi untuk memperpanjang masa hidup.

(Yodang, 2018).

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga

dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan

penderita dari rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna,

dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial

atau spiritual (World Health Organization (WHO), 2016).

Istilah perawatan hospis sering digunakan sebagai sinonim untuk

11
perawatan paliatif. Namun, di beberapa Negara perawatan hospis merujuk

pada perawatan paliatif berbasis komuniti. secara pilosofi perawatan paliatif

dan perawatan hospis memiliki makna yang sama. Akan tetapi, “semua

perawatan hospis adalah perawatan paliaitf, namun tidak semua perawatan

paliatif adalah perawatan hospis.” perawatan paliaitf di sediakan untuk semua

pasien yang menderita penyakit kronis dengan kondisi penyakit yang

membatasi masa hidup atau mengancam jiwa maupun kondisi pasien yang

mendapatkan intervensi untuk memperpanjang masa hidup. Sedangkan

perawatan hospis di peruntukkan kepada pasien dengan kondisi masa harapan

hidup yang di perkirakan kurang dari enam bulan. (Rochmawati, 2016)

Sebagaimana perawatan paliatif, perawatan hospis di fasilitiasi oleh

tenaga professional yang bekerja secara tim yang di kenal dengan istilah tim

interprofesional atau tim interdisiplin. Pasien akan mendapatkan pelayanan

perawatan paliatif di rumah sendiri atau di rumah perawatan maupun di

fasilitas kesehatan lainnya seperti rumah sakit. Di Amerika Serikat beberapa

rumah sakit telah melakukan kerjasama dan kesepahaman terhadap kolaborasi

pasien rumah sakit yang membutuhkan pelayanan hospis disaat kondisi pasien

membutuhkan penanganan intervensi secara agresif, atau di saat pasien

dinyatakan dalan kondisi sekarat, atau ketika keluarga ingin beristirahat

sejenak dari rutinitas mengurus anggota keluarganya.

Selain itu, supportive care juga sering di gunakan sebagai kata

alternative untuk menggantikan kata perawatan paliatif. Istilah tersebut awal

12
digunakan untuk menjelaskan kondisi penanganan pasien dengan efek

samping yang berat akibat proses terapi, terutama proses terapi penyakit

kanker. Dimana efek samping yang dapat ditimbulkan akibat proses terapi

penyakit kanker tersebut dapat berupa anemia, trombositopenia, dan

neutropenic septicaemia. Namun saat ini, istilah supportive care digunakan

lebih luas lagi, termasuk untuk rehabilitasi dan dukungan psikososial. Jadi

supportive care memiliki makna yang serupa dengan perawatan paliatif dalam

arti yang lebih luas dan umum(Yodang, 2018).

D. Falsafah perawatan paliatif

Paliatif berasal dari bahasa latin yaitu “Palium”, yang berarti

menyelimuti atau menyingkapi dengan kain atau selimuti untuk memberikan

kehangatan atau perasaan nyaman. berangkat dari makna kata tersebut

sehingga perawatan paliatif di dimaknai sebagai pelayanan yang memberikan

perasaan nyaman terhadap keluhan yang di rasakan oleh pasien. Sehingga

tujuan utama dari pelayanan perawatan paliatif adalah memberikan perasaan

nyaman pada pasien dan keluarga. Namun, pelayanan perawatan paliatif tidak

hanya mengatasi masalah fisik pasien akan tetapi juga mencakup masalah dari

aspek psikologis, social dan spiritual. Kesemua aspek tersebut saling

berintegrasi sehingga dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu,

tenaga professional kesehatan, para pembuat kebijakan dan masyarakat luas,

memahami perawatan paliatif sama dengan perawatan di akhir kehidupan

13
(end-of-life care).

perawatan paliatif merupakan pelayanan yang mencakup;

1. pelayanan berfokus pada kebutuhan pasien bukan pelayanan berfokus

pada penyakit.

2. menerima kematian namun juga tetap berupaya untuk

meningkatkan kualitas hidup.

3. pelayanan yang membangun kerjasama antara pasien dan petugas

kesehatan serta keluarga pasien.

4. berfokus pada proses penyembuhan bukan pada pengobatan.

Sehingga perawatan paliatif bukan untuk mempercepat proses

kematian namun bukan pula untuk menunda kematian, karena kematian

merupakan proses alamiah mahluk hidup. Sehingga dalam perawatan paliatif,

kematian akan berlangsung secara alamiah pada pasien.

penyembuhan merupakan suatu hubungan antara diri sendiri, orang

lain, lingkungan dan Tuhan. Sehingga seseorang tidak akan dapat

meninggaldengan di obati, namun seseorang dapat meninggal dengan kondisi

di sembuhkan. Jadi meninggal dengan kesembuhan dapat dimaknai suatu

kematian dimana seseorang mampu mengatakan atau menyatakan, berupa;

1. I love you

2. Forgive me

3. Thank you

4. Good-bye

14
berdasarkan hal tersebut diatas sehingga perawatan paliatif kadang

dikatakan sebagai “pelayanan yang miskin tehnologi namun kaya akan

sentuhan”. Tujuan utama perawatan paliatif adalah untuk mencapai kualitas

hidup sebaik mungkin pada pasien dan keluarganya (World Health

Organization (WHO) 2016).

E. Perkembangan perawatan paliatif Masa lalu

Gerakan hospis berkembang secara massif sekitar tahun 1960an,

dimana era pelayanan hospis modern dimulai. Seseorang yang menggagas

gerakan perubahan tersebut adalah Dame Cicely Saunders (yang selanjutnya

lebih dikenal dengan sebutan Dame). Dame mengkreasikan sebuah konsep

tentang caring, terutama untuk pasien yang dengan stadium akhir dan

menjelang ajal/kematian. Konsep tersebut merupakan sebuah cara pandangan

atau perspektif untuk melihat sebuah fenomena secara holistic, termasuk

pasien. Sehingga pasien tidak hanya di lihat sebagai individu yang memiliki

masalah fisik saja, tetapi melihat pasien sebagai mahluk yang kompleks.

Dame menyakini bahwa gejala fisik yang di alami oleh pasien juga dapat

mempengaruhi psikologis, emotional, social dan spiritual pasien, maupun

sebaliknya.

sejak awal di saat Dame menggagas dan mendirikan rumah hospis,

Dame telah mengintegrasikan pendidikan dan penelitian dalam pelayanan di

rumah hospis. Rumah hospis pertama yang di dirikan oleh Dame yaitu rumah

15
hospis yang terletak di kota London pada tahun 1967. Seiring dengan

perkembangan gerakan rumah hospis, pelayanan perawatan paliatif mulai

menekankan pada aspek “Care” bukan pada aspek “Cure’” atau pengobatan.

Sehingga pada saat itu prioritas intervensi yang dilakukan adalah bagaimana

pasien dapat mengontrol keluhannya, seperti nyeri. pada tahun 1982, dokter

spesialis paliatif mulai diperkenalkan secara formal. pada saat itu dokter

paliatif tidak hanya memberikan pelayanan pada pasien yang membutuhkan

perawatan paliatif, namun juga penelitian mengenai praktis klinis pada pasien

yang mendapatkan perawatan paliatif, dan melakukan pengajaran ataupun

pendidikan berkelanjutan dalam perspektif multidisiplin. Sekalipun konsep

hospis modern dan ‘perawatan paliatif’ merupakan hal yang baru, namun

pelayanan yang diberikan di perawatan paliatif mampu memberikan

perubahan yang sangat signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup pasien,

mempersiapkan pasien meninggal dengan damai dan bermartabat, dan

memberikan dukungan pada anggota keluarga setelah pasien meninggal.

Sejak awal pergerakan hospis modern dimana pada saat itu layanan

yang diberikan hanya berfokus pada pasien penderita kanker. namun beberapa

praktisi lalu mengembangkan layanan pada pasien dengan penyakit tahap

lanjut seperti gagal jantung kongestif, penyakit paru obstruksi menahun,

stroke, motor neuron disease, gagal ginjal kronis dan lain sebagainya.

Di awal abad 20, kebanyakan pasien meninggal di rumah setelah

mendapat perawatan dari pihak keluarga. namun kondisi tersebut berubah

16
seiring dengan perkembangan dunia kedokteran dan kesehatan, dan penerapan

beberapa metode baru dalam pengobatan yang mengharus proses perawatan di

rumah pasien harus berpindah ke rumah sakit. Dampak dari hal tersebut,

angka kematian pasien yang meninggal di rumah menurun drastic. Akan

tetapi, kebanyakan pasien kanker akan menghabiskan sisa hidupnya lebih

banyak di rumah. hal ini berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa sekitar 90% pasien kanker mendapatkan perawatan di rumah dari pihak

keluarganya.

F. Perkembangan Perawatan Paliatif Masa sekarang dan yang akan datang

Telah terjadi perubahan yang dinamis dalam penyediaan perawatan

paliatif terutama di Negara Inggris. Dimana depertemen kesehatan

memperkenalkan program dan panduan baru yang di kenal dengan sebutan

“End of Life Care Strategy” dan “the Gold Standards Framework”. Program

dan panduan tersebut menitik beratkan akan pentingnya menggunakan

standard pelayanan di saat memberikan pelayanan perawatan paliatif pada

pasien dan keluarganya terutama di saat kondisi pasien menjelang

ajal/kematian. lebih lanjut, pasien diberi otonomi untuk memilih tempat

selama menjalani proses perawatan, seperti rumah sendiri, rumah sakit, rumah

perawatan, atau rumah hospis. Sebagai petugas perawatan paliatif,

memaksimal sisa waktu atau umur pasien selama masa perawatan merupakan

hal yang penting. untuk memaksimalkan hal tersebut, kordinasi dengan

17
anggota tim, dan memberikan pelayanan yang berkualitas menjadi hal yang

sangat dibutuhkan. (Rochmawati, 2016)

saat ini telah banyak panduan atau guideline diterbitkan oleh lembaga

bereputasi yang memberikan penjelasan bagaimana memberikan pelayanan

perawatan paliatif yang berkualitas baik secara umum maupun untuk

kelompok pasien dengan penyakit tertentu seperti panduan perawatan paliatif

untuk pasien kanker paru. Di panduan tersebut, dijelaskan secara detail

mengenai peran masing-masing anggota tim interprofesional, komunikasi

secara efektif pada pasien, keluarga dan sesama anggota tim.

Secara global, WHO (2014) melaporkan bahwa pendidikan dan

pengetahuan para petugas kesehatan masih sangat minim mengenai perawatan

pasien di area paliatif. WHO memperkirakan sekitar 19 juta orang di dunia

saat ini membutuhkan pelayanan perawatan paliatif, dimana 69% dari mereka

adalah pasien usia lanjut yaitu usia diatas 65 tahun. Sehingga hal ini menjadi

tantangan para petugas kesehatan terutama tenaga professional yang bekerja

di area paliatif untuk dapat memahami dengan baik cara memberikan

pelayanan yang berkualitas pada kelompok lanjut usia tersebut dengan

mengacu pada pilosofi dan standart pelayanan perawatan paliatif.

G. Perawatan paliatif dalam konteks global

Secara global pergerakan dan pengembangan perawatan paliatif di

mulai di Inggris dan Irlandia yang pada saat itu lebih dikenal dengan istilah

18
hospis. Lalu disusul oleh beberapa Negara eropa, Amerika utara, dan

Australia. Kanada merupakan Negara yang pertama mengimplementasikan

perawatan paliatif di rumah sakit yaitu di the Royal Victoria Hospital,

Montreal pada tahun 1976. Setahun kemudian perawatan paliatif juga di buka

di salah satu rumah sakit di Inggris, the St Thomas Hospital London. Hingga

saat ini belum semua Negara menyediakan pelayanan perawatan paliatif, hal

ini terjadi dengan berbagai macam kendala. Sehingga pada tahun 2011

pemetaan Negara berdasarkan tingkat ketersediaan pelayanan dan fasilitas

perawatan paliatif di perbaharui. dari mapping tersebut di ketahui Negara

dengan fasilitas dan penyediaan layanan yang telah terintegrasi dengan

seluruh system kesehatan, layanan dan fasilitas yang masih terbatas, dan

Negara yang fasilitas dan pelayanannya belum tersedia. Namun beberapa

Negara dengan kategori Negara berkembang telah berhasil

mengimplemtasikan pelayanan perawatan paliatif yang terintegrasi dengan

system pelayanan kesehatan seperti Uganda dan India. kedua Negara tersebut

berhasil mengembangkan pelayanan perawatan paliatif komuniti dengan

melibatkan masyarakat sebagai relawan paliatif.

Konsep hospis diperkenalkan di Asia oleh para perawat katolik dengan

membuka klinik di kota Seoul, Korea Selatan pada awal 1965. pada tahun

1996 di perkirakan sekitar 90 % sekolah keperawatan telah mengajarkan

perawatan paliatif, hingga 2003 sebuah program inisiasi model pelayanan

perawatan paliatif di lakukan dan sekaligus menjadi dasr kebijakan nasional.

19
Namun dalam konteks regional Asia, Jepang merupakan Negara yang telah

menyediakan dan mengintegrasikan pelayanan perawatan paliatif secara

nasional. berdasarkan laporan akhir tahun 2013, jumlah perawatan paliatif di

rumah sakit sekitar 250 unit, 409 klinik paliatif rawat jalan, dan jumlah tim

paliatif rumah sakit sebanyak 541. Namun bila membandingkanjumlah tempat

tidur perawatan paliatif dengan populasi per satu juta penduduk, Hong Kong

merupakan Negara yang menyediakan fasilitas pelayanan perawatan paliatif

terbanyak di banding Negara lainnya di regional Asia, yaitu 59 tempat tidur/ 1

juta penduduk.

H. Perawatan paliatif dalam konteks Indonesia

Sejak 2007 pemerintah Indonesia, melalui kementerian kesehatan telah

menerbit aturan berupa kebijakan perawatan paliatif (Keputusan MENKES

No.812/Menkes/SK/VII/2007). dimana dasar yang menjadi acuan di

terbitkannya peraturan tersebut yaitu;

a. kasus penyakit yang belum dapat disembuhkan semakin

jumlahnya baik pada pasien dewasa maupun anak

b. untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien dengan

penyakit yang belum dapat disembuhkan selain dengan perawatan

kuratif dan rehabilitative juga diperlukan perawatan paliatif bagi

pasien dengan stadium terminal.

pada peraturan tersebut, menjelaskan bahwa kondisi pelayanan

20
kesehatan yang belum mampu memberikan pelayanan yang dapat menyentuh

dan memenuhi kebutuhan pasien dengan penyakit stadium terminal yang sulit

di sembuhkan. pada stadium tersebut prioritas layanan tidak hanya berfokus

pada penyembuhan, akan tetapi juga berfokus pada upaya peningkatan

kualitas hidup yang terbaik pada pasien dan keluarganya. pasien dengan

penyakit kronis pada stadium lanjut maupun terminal dapat mengakses

layanan kesehatan seperti rumah sakit baik umum maupun swasta, puskesmas,

rumah perawatan, dan rumah hospis. Saat peraturan ini di terbitkan ada 5

rumah sakit yang menjadi pusat layanan perawatan paliatif, dimana rumah

sakit tersebut berlokasi di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan

Makassar. Akan tetapi, sekalipun perawatan paliatif telah di perkenalkan dan

di terapkan di beberapa rumah sakit yang tersebut diatas, pelayanan perawatan

paliatif belum menunjukkan signifikansi. Hal ini mungkin di akibatkan oleh

minimnya pendidikan dan pelatihan tentang perawatan paliatif untuk tenaga

kesehatan, dan juga jumlah tenaga kesehatan yang belajar secara formal

mengenai perawatan paliatif juga masih sangat sedikit. Karena saat ini,

pendidikan untuk level pascasarjana di bidang perawatan paliatif hanya

tersedia di universitas di Negara maju seperti Australia, Amerika serika,

Inggris.( Payne, S., & Lynch, T. (2015)).

Sejarah perkembangan perawatan paliatif di Indonesia bermula saat

sekelompok dokter di Rumah sakit Dr Sutomo, Surabaya, membentuk

kelompok perawatan paliatif dan pengontrolan nyeri kanker pada tahun 1990

21
yang selanjutnya kelompok tersebut menjadi “Tim perawatan paliatif’

pertama di Indonesia. Saat ini kelompok tersebut dikenal dengan nama “Pusat

pengembangan paliatif dan bebas nyeri”,

Pada bulan Februari 1992, secara resmi pelayanan perawatan paliatif

di mulai di Rumah sakit Dr Sutomo, Surabaya. Pelayanan tersebut didukung

11 orang dokter dan seorang apoteker yang telah menempuh pendidikan

perawatan paliatif untuk level PostGraduate Diploma melalui pendidikan

jarak jauh dari salah satu universitas yang berada di Negara bagian Australia

barat, kota Perth. Atas kepemimpinan Dr. R. Soenarjadi Tedjawinata yang

kemudian dikenal sebagai Bapak Paliatif Indonesia menginisiasi sebuah

kegiatan seminar nasional dan workshop yang bertema “manajemen nyeri

kanker”. Tujuan dari kegiatan tersebut untuk memperkenalkan pelayanan

perawatan paliatif kepada peserta seminar dan workshop. kegiatan tersebut

dilakukan pada bulan Oktober 1992 yang pada saat di itu dihadiri oleh sekitar

14 perwakilan rumah sakit pendidikan di Indoensia.

Pada tahun 2006, sebuah organisasi nirlaba membentuk “Rumah

Rachel” yang menyediakan layanan perawatan paliatif khusus untuk anak

yang menderita kanker dan HIV/AIDS. Rumah Rachel merupakan fasilitas

perawatan paliatif yang pertama di Indonesia yang fokus pada anak-anak

berlokasi di Jakarta. Pada tahun 2007, atas bimbingan dan arahan tim paliatif

RS Dr Sutomo, pelayanan paliatif di tingkat puskesmas di buka, yaitu

Puskesmas Balongsari Surabaya. setahun kemudian pihak puskesmas

22
mengadakan pelatihan perawatan paliatif untuk relawan dengan mendapatkan

dukungan dari pemerintah kota Surabaya.

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, minat para tenaga kesehatan di

bidang perawatan paliatif semakin meningkat, dimana secara rutin seminar

maupun workshop yang bertema perawatan paliatif di selenggarakan secara

rutin seperti di Yogyakarta, Bandung dan di beberapa kota lainnya. Pada

tahun 2013 Kementerian Kesehatan melalui Direktorat jenderal pengendalian

penyakit dan penyehatan lingkungan mengeluarkan panduan teknis pelayanan

paliatif kanker. hal ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah semakin serius

untuk memberikan pelayanan perawatan paliaatif bagi masyarakat Indonesia

terkhusus yang menderita kanker.

I. Kualitas hidup

kualitas hidup merupakan konsep utama sekaligus tujuan dalam proses

perawatan paliatif dan juga di pelayanan kesehatan lainnya. Ide tentang

kualitas hidup bukan hal yang baru, karena di masa Yunani kuno system

pelayanan kesehatan telah menetapkan salah satu tujuan dalam pelayanan

adalah untuk meningktkan kualitas hidup pasien. Kualitas hidup memiliki

makna yang sangat luas hal ini berdasarkan perspektif seseorang dalam

menilainya. sehingga kualitas hidup dapat di nilai dari konteks social,

psikologis, maupun kedokteran. (Kaasa, S., & Loge, J. H. (2015).

Secara umum kualitas hidup merupakan kepuasaan hidup seseorang

23
mengenai hidupnya yang bersifat subyektif, dan kepuasan tersebut di

pengaruh oleh seluruh aspek dari individu yang mencakup aspek fisik,

psikologis, social dan spiritual. Menurut Kepmenkes RI No.812 tahun 2007

menjelaskan bahwa kualitas hidup merupakan keadaan pasien yang

dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya dan system nilai

yang di anutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya. Dalam teori

Gap, Calman mengemukakan bahwa kualitas hidup merupakan hubungan

yang berlawanan dari perbedaan antara harapan seseorang dengan persepsi

pada situasi saat itu. Sehingga semakin kecil gap atau celah maka semakin

baik kualiats hidup seseorang. Berikut Ilustrasi teori Gap di kutip dari Kaasa

& Loge (2015).

Ilustrasi di atas menggambarkan perubahan kualitas hidup dari T0 ke

T1 dapat disebabkan oleh haranpan, pengalaman, atau kedua secara

bersamaan. Contoh kasus A dan B diatas menunjukkan kualitas hidup kedua

pasien tersebut pada T0 berada pada level yang hamper sama, akan tetapi

terjadi perubahan kondisi penyakit dari masing-masing pasien yang boleh jadi

mereka memiliki stadium dan komplesitas penyakit yang berbeda sehingga

24
pada pemeriksaan di T1 menunjukkan kualitas hidup yang berbeda.

Ada beberapa dimensi dari kualitas hidup yang di kemukanan oleh

Clinch, Dudgeon & Schipper (1998) yaitu gejala fisik, kemampuan

fungsional, kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi social, kepuasan terhadap

pengobatan, orientasi masa depan, kehidupan seksual, dan fungsi dalam

bekerja. Pada tahun 1948, Karnofsky mengemukakan dimensi kualitas hidup

dalam perawatan paliatif yaitu; perubahan atau peningkat secara subjektif,

perubahan atau peningkatan secara obyektif, status performance. Status

performance pasien dapat di ukur dengan menggunakan the Karnofsky

Performance Status Scale. Hasil pengukuran tersebut dapat dijadikan sebagai

dasar untuk prognosis masa bertahan hidup pasien, terutama pada pasien

kanker dengan metastasis. Namun, nilai kualitas hidup yang di ukur dengan

menggunakan berbagai macam alat ukur (kuesioner, atau lembar observasi)

cenderung memiliki kekurangan atau kelemahan, karena alat ukur tersebut

hanya menilai aspek-aspek tertentu saja yang di tetapkan sehingga hasil akhir

dari pengukuran tersebut tidak menggambarkan kepuasaan subjektif pasien

secara menyeluruh. Beberapa panduan yang sering di gunakan untuk menilai

kualitas hidup pasien, secara umum di kelompok menjadi Kualitas hidup

secara umum atau kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan,

kualitas hidup yang fokus pada penyakit tertentu, atau kualitas hidup yang

pada domain. Karena makna kualitas hidup dapat berbeda pada setiap orang,

Maka kualitas hidup hanya dapat di definisikan atau di maknai hanya oleh

25
pasien berdasarkan pengalaman hidupnya. Sehingga seorang perawat harus

dapat memahami factor-faktor yang berkontribus terhadap kualitas hidup, baik

positif maupun negative.

J. Kompetensi perawat yang bekerja di area perawatan paliatif

Begitu banyak definisi untuk menjelaskan makna kata tentang

“Kompetensi.” Namun untuk di area perawatan paliatif definisi

kompetensi di adopsi dari Royal College of Nursing (RCN) tahun

2002. Dimana kompetensi di definisikan sebagai; “keterampilan,

pengetahuan, pengalaman, kualitas dan karakteristik, serta perilaku

yang menjadi syarat pada seseorang untuk melakukan kerja atau

tugasnya secara efektif.” Berikut ini, akan di jelaskan beberapa

komptensi perawat yang bekerja di area paliatif yang didesain oleh

Becker, 2000.

1. Keterampilan komunikasi

keterampilan berkomunikasi merupakan hal yang terpenting dalam

pelayanan perawatan paliatif. Perawat mengembangkan kemampuan

berkomunikasinya untuk dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik

dengan pasien dan keluarga. Sehingga perawat dapat memberikan informasi

yang penting dengan cara yang lebih baik saat pasien membutuhkannya, atau

menjadi pendengar yang baik saat pasien mengungkap keluhannya tanpa

26
memberikan penilaian atau stigma yang bersifat individual. Komunikasi

menjadi keterampilan yang sangat dasar pada perawat paliatif, dimana dengan

keterampilan tersebut perawat akan mampu menggali lebih dalam mengenai

perasaan pasien, keluhan pasien tentang apa yang dirasakannya. Selain itu

dengan keterampilan berkomunikasi tersebut maka perawat dapat

mengidentifikasi untuk memenuhi kebutuhan pasien, kapan saja, atau bahkan

di saat pasien mengajukan pertanyaan yang rumit seperti tentang kehidupan

dan kematian. Kemampuan berkomunikasi juga akan membantu membangun

kepercayaan diri perawat, tahu kapan mengatakan tidak terhadap pasien, dan

dengan komunikasi yang disertai dengan sentuhan, maka hal tersebut dapat

menjadi terapi bagi pasien.

2. Keterampilan psikososial

untuk dapat bekerja sama dengan keluarga pasien dan mengantisipasi

kebutuhannya selama proses perawatan pasien, maka pelibatan keluarga

dalam setiap kegiatan akan dapat membantu dan mendukung keluarga untuk

mandiri. Elemen psikososial merupakan bagian dari proses perawatan yang

biasanya di delegasikan ke pekerja social medic. karena pekerja social medic

memiliki wawasan dan akses yang lebih luas ke berbagai macam organisasi

atau instansi yang dapat diajak bekerja sama untuk memberikan dukungan

kepada pasien. karena mengingat peran perawat dalam tim paliatif begitu

banyak sehingga tidak memungkin untuk melakukannya. Akan tetapi bila,

dalam tim interprofesional tidak ada tenaga pekerja social medic, maka

27
perawatlah yang akan melakukannya. Membangun rasa percaya dan percaya

diri selama berinteraksi dengan pasien dan dengan menggunakan diri sendiri

sebagai bentuk terapeutikmelalui proses komunikasi terapeutik maka hal

tersebut merupakan inti dari pendekatan psikososial dalam perawatan paliatif.

3. Keterampilan bekerja tim

Bekerja bersama dalam tim sebagai bagian dari tim interprofesional

merupakan hal yang sangat vital untuk dapat melakukan praktik atau

intervensi yang baik terhadap pasien. Mengingat layanan perawatan paliatif

saat ini tidak hanya tersedia di fasilitas rumah sakit, namun juga tersedia di

rumah hospis, rumah perawatan maupun di rumah pasien. Seiring dengan

meningkat peran perawata di area paliatif sehingga keterampilan untuk dapat

bekerja dalam tim menjadi suatu keharusan dan keniscayaan.

4. Keterampilan dalam perawatan fisik

Untuk area ini, perawat di tuntut memiliki pengetahuan dan

keterampilan yang baik untuk dapat melakukan asuhan keperawatan secara

langsung pasien dalam kondisi apapun dan kapanpun, sehingga perawat dapat

bertindak dan mengambil keputusan yang tepat sesuai kondisi pasien.

Pengkajian nyeri secara akurat dan holistic dengan menggunakan berbagai

macam bentuk metode menjadi hal yang dasar. Pemilihan metode yang tepat

untuk mengkaji pasien seperti nyeri, menjadi hal yang penting, mengingat

28
kondisi pasien yang kadang berubah dan tidak memungkin merespon

beberapa pertanyaan yang di ajukan. Sehingga keterampilan observasi dan

kemampuan intuisi perawat yang dapat digunakan untuk mengenali tanda atau

gejala yang mana boleh jadi pasien tidak dapat atau mampu untuk

melaporkannya. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki perawat

maka perawat dapat memberikan masukan kepada anggota tim untuk tidak

lebih fokus pada pemberian obat-obatan berdasarkan perkembangan kondisi

pasien.

5. Keterampilan intrapersonal

Salah satu area yang menjadi komponen kunci untuk dapat bekerja

dengan baik dan sukses dalam area perawatan paliatif adalah keterampila

intrapersonal. karena kematangan secara pribadi dan professional akan dapat

membantu perawat dalam mengatasi masalah yang terkait dengan isu

intrapersonal yang bersifat intrinsic terutama saat melayani atau melakukan

asuhan keperawatan pasien yang menjelang ajal dan keluarganya. perawat

harus dapat mengenali dan memahami reaksi dan perasaan pasien yang

merupakan konsekuensi alamiah dari bekerja dengan pasien sekarat atau

keluarga yang mengalami kedukaan, sehingga perawat mampu menentukan

sikap dan menyesuaikan diri dengan kondisi atau situasi yang sarat dengan

emosi dan perasaan sensitive. Jika dibandingkan dengan keterampilan

kompetensi lainnya, maka keterampilan intrapersonal merupakan hal yang

sangat menantang. Dan hal ini juga memiliki andil yang besar untuk

29
membantu membangun keribadian yang lebih baik. Akan tetapi, kondisi

tersebut juga mambawa perawat dalam posisi dilematis, karena terkadang

perawat terlalu terbawa emosi dengan perasaan yang di alami pasien.

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perawatan paliatif adalah pelayanan kepada pasien yang tingkat

kesembuhannya sangat rendah dan sudah tidak lagi bereaksi terhadap

pengobatan kuratif atau tidak dapat disembuhkan secara medis (stadium

akhir). Tujuan perawatan paliatif adalah untuk meningkatkan kualitas hidup

pasien dalam menghadapi setiap penyakit yang diderita dan mempersiapkan

diri menghadapi kematian dengan tenang tanpa merasa tertekan atas penyakit

yang diderita, baik secara fisik (nyeri, mula, mual) maupun psikis yang

berbasis spiritual.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan kepada pembaca dan penulis mengenai

makalah ini adalah:

1. Diharapkan penulis dapat mengembangkan dan melanjutkan penulisan

makalah mengenai perspektif keperawatan dan konsep keperawatan

paliatif.

2. Diharapkan pembaca dapat memahami penjelasan mengenai perspektif

keperawatan dan konsep keperawatan paliatif.

3. Diharapkan hasil penulisan makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan

bacaan dan ilmu pengetahuan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Breaden, K. (2011). Teaching palliative care across cultures: The singapore

experience. Indian Journal of Palliative Care, 17(4), 23.

Clinch, J. J., Dudgeon, D., & Schipper, H. (1998). Quality of life assessment

in palliative care. In D. Doyle, G.W.C. Hanks, & N. MacDonald (Eds.),

Oxford textbook of palliative medicine (2nd ed). New York: Oxford

University Press.

Effendy, C. (2015). The quality of palliative care for patients with cancer in

Indonesia. PhD Thesis, Radboud Universiteit Nijmegen, the Netherland.

Guido, G. W. (2010). Nursing care at the end of life. Pearson. New Jearsey.

USA

Kaasa, S., & Loge, J. H. (2015). Quality of life in palliative care: principles

and practice. In Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S., Portenoy, R. K., &

Currow, D. C. (Eds.). (2015). Oxford textbook of palliative medicine 5th

edition. Oxford University Press, USA

Kemenkes RI. (2013). Pedoman teknis pelayanan paliatif kanker.

Diakses pada tanggal 23 Agustus 2016. http://bit.ly/2c4YwnM

Kemenkes RI. (2007). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

812/MENKES/SK/VII/2007 tentang Kebijakan perawatan paliatif. di

akses pada tanggal 23 Agustus 2016. http://bit.ly/2blgRsJ

Lickiss, J. N. (1993). Indonesia: Status of cancer pain and palliative care.

32
Journal of Pain and Symptom Management, 8(6), 423-424.

Payne, S., & Lynch, T. (2015). International progress in creating palliative

medicine as a specialized discipline and the development of palliative

care. In Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S., Portenoy, R. K., & Currow,

D.C. (Eds.). (2015). Oxford textbook of palliative medicine 5 th

edition.Oxford University Press, USA.

Rajagopal, M. R., & George, R. (2015). Providing palliative care in

economically disadvantaged countries. In Cherny, N., Fallon, M.,

Kaasa, S., Portenoy, R. K., & Currow, D. C. (Eds.). (2015). Oxford

textbook of palliative medicine 5th edition. Oxford University Press,

USA.

Rochmawati, E., Wiechula, R., & Cameron, K. (2016). Current status of

palliative care services in Indonesia: a literature review. International

Nursing Review.

Rumah Rachel. Tentang Rumah Rachel. diakses pada tanggal 17 september

2020. http://rachel-house.org/about-us/who-we-are/

Soebadi, R. D., & Tejawinata, S. (1996). Indonesia: status of cancer pain and

palliative care. Journal of Pain and Symptom Management, 12(2), 112-

115.

Twycross, R. G. (2003). Introducing palliative care, fourth edition. Radcliffe

Publishing.

Yodang, (2018). Buku ajar keperawatan paliatif berdasarkan AIPNI.

33
2015.Jakarta: Trans Media Info

Wright, M., Hamzah, E., Phungrassami, T., & Bausa-Claudio, A. (2010).

Hospice and palliative care in southeast Asia: a review of developments

and challenges in Malaysia, Thailand and the Philippines. Oxford

University Press.

34

Anda mungkin juga menyukai