Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan

sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan,perilaku

dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional

(Wulandari, 2014).
Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena

adanya kekacauan pikiran,persepsi dan tingkah laku dimana individu tidak

mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan

lingkungan. Pengertian seseorang tentang penyakit gangguan jiwa berasal

dari apa yang diyakini sebagai faktor penyebab yang berhubungan dengan

biopsikososial. Menurut WHO (2006) menunjukan bahwa beban yang

ditimbulkan gangguan jiwa sangat besar,dimana terjadi global burden of

disease akibat masalah kesehatan jiwa mencapai (8,1%). Angka ini lebih

tinggi dari TBC (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%) dan malaria

(2,6%) (Nyumirah, 2013).


Menurut WHO (2009) prevalensi masalah kesehatan. Jiwa mencapai

13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang

menjadi 25% di tahun 2030, gangguan jiwa juga berhubungan dengan

bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap tahunnya

akibat gangguan jiwa. Gangguan jiwa ditemukan di semua negara,terjadi

1
pada semua tahap kehidupan, termasuk orang dewasa dan cenderung terjadi

peningkatan gangguan jiwa (Nyumirah, 2013).


Beban penyakit atau burden of disease penyakit jiwa di Indonesia

masih cukup besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,

menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang

ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6%

untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan,

prevalensi gangguan jiwa berat,seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000

penduduk atau sekitar 400.000 orang. Berdasarkan jumlah tersebut, ternyata

14,3% di antaranya atau sekira 57.000 orang pernah atau sedang dipasung.

Angka pemasungan di pedesaan adalah sebesar 18,2%. Angka ini lebih

tinggi jika dibandingkan dengan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7%.

Berdasarkan data diatas dapat dihitung 6% untuk jumlah penduduk yang

mengalami gangguan mental emosional di Kalimantan Timur sekitar

196.550,64 penduduk, sedangkan 14,3% jumlah penduduk yang atau sedang

dipasung sekitar 28.106,74 penduduk.


Berdasarkan data pasien yang diperoleh dari Rekam Medik Rumah

Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda pada tahun 2015

yang diambil bulan Januari sampai bulan Desember bahwa terdapat pasien

yang dirawat di ruang rawat inap sebanyak 10.711 orang dengan variasi

kasus berupa halusinasi sebanyak 4580 orang (42, 76%), perilaku kekerasan

sebanyak 2.320 orang (21, 72%), isolasi sosial sebanyak 643 orang (13, 31

%), harga diri rendah sebanyak 756 orang (7, 06%), defisit perawatan diri

2
sebanyak 1221 orang (11, 40%), waham sebanyak 1114 orang (10, 4%), dan

resiko bunuh diri sebanyak 77 orang (0, 72%).


Meskipun penderita gangguan jiwa belum bisa disembuhkan 100%

tetapi para penderita gangguan jiwa memiliki hak untuk sembuh dan

diperlakukan secara manusiawi. UU RI No. 18 tentang kesehatan jiwa

Tahun 2014 Bab I Pasal 3 telah dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa

bertujuan menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik,

menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat,bebas dari ketakutan,tekanan dan

gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa (Kemenkes, 2014).


Pada dasarnya gangguan jiwa dibagi menjadi 2 yaitu: Gangguan jiwa

berat/psikosa dan gangguan jiwa ringan/neurosa. Gangguan jiwa berat

ditandai dengan 2 gejala utama yaitu kurangnya pemahaman diri (insight)

dan ketidakmampuan menilai realitas (Reality Testing Ability/ RTA) (Mohr,

2006). Videbeck (2008) menyatakan bahwa psikotik adalah suatu gangguan

jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality). Kelainan seperti

ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran,

kemauan, motorik dan lainnya, sedemikian berat sehingga perilaku

penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan (Wanti, 2016).


Gangguan jiwa tidak hanya dianggap sebagai gangguan yang

menyebabkan kematian secara langsung, namun juga menimbulkan ketidak

mampuan individu untuk berperilaku tidak produktif. Salah satu bentuk

masalah gangguan mental emosional yang di alami sebagian besar pasien

adalah perilaku kekerasan. Pasien dapat melakukan perilaku kekerasan

kepada orang lain, lingkungan maupun terhadap dirinya sendiri (Waskitho,

2015).

3
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah yang

diekspresikan dengan melakukan ancaman, menciderai orang lain dan atau

merusak lingkungan. Respon tersebut muncul akibat adanya stresor. Respon

ini dapat menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain maupun

lingkungan. Perilaku kekerasan tidak hanya bertujuan untuk melukai secara

fisik, tapi perilaku kekerasan juga dapat menyakiti secara psikologis. Jadi

perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal diarahkan pada diri

sendiri, orang lain dan lingkungan.Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam

dua bentuk yaitu sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat

perilaku kekerasan (Kelliat, 2011).


Pencegahan perilaku kekerasan dapat dilakukan dengan cara

melakukan teknik relaksasi merupakan tindakan keperawatan yang di

lakukan untuk mencegah perilaku kekerasan,pencegahan perilaku kekerasan

dengan tindakan relaksasi mencakup teknik relaksasi nafas dalam. Relaksasi

adalah sebuah keadaan dimana seseorang terbebas dari tekanan dan

kecemasan atau kembalinya keseimbangan (equilibrium) setelah terjadinya

gangguan. Tujuan dari teknik relaksasi adalah mencapai keadaan relaksasi

menyeluruh,mencakup keadaan relaksasi secara fisiologis, secara kognitif

dan secara behavioral. Secara fisiologis keadaan relaksasi ditandai dengan

penurunan kadar epinefrin dan non epinefrin dalam darah, penurunan

frekuensi denyut jantung (sampai mencapai 24 kali per menit), penurunan

tekanan darah, penurunan frekuensi nafas (sampai 4-6 kali permenit),

penurunan ketegangan otot, metabolisme menurun, vasodilatasi dan

4
peningkatan tempratur pada extremitas (Chandra Kristianto Patasik, Jon

Tangka, 2013).
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin membuktikan Gambaran

Penerapan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Untuk Mengontrol Perilaku

Kekerasan Di Ruang Belibis RSJD Atma Husada Mahakam

samarinda.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, penulis

merumuskan masalah sebagai berikut:


Bagaimana Gambaran penerapan teknik relaksasi nafas dalam untuk

mengontrol perilaku kekerasan di Ruang Belibis Rumah Sakit Jiwa Daerah

Atma Husada Mahakam Samarinda.

1.3 Tujuan

Tujuan studi kasus adalah mengetahui Gambaran penerapan teknik

relaksasi nafas dalam untuk mengontrol perilaku kekerasan di Ruang Belibis

Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menurunkan perilaku

kekerasan melalui teknik relaksasi nafas dalam.

1.4.2 Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan


Dapat menambah keluasan ilmu dan teknologi penerapan dibidang

keperawatan dalam menurunkan perilaku kekerasan melalui teknik

relaksasi nafas dalam.

1.4.3 Bagi Penulis

5
Dapat memperoleh pengalaman dalam melakukan implementasi

prosedur teknik relaksasi nafas dalam pada asuhan keperawatan pada

pasien perilaku kekerasan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Kekerasan


2.1.1 Pengertian Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang

bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis

bisa di lakukan secara verbal, di arahkan pada diri sendiri, orang

lain dan lingkungan (Amatiria, 2012). Perilaku kekerasan

merupakan suatu keadaan di mana seseorang melakukan tindakan

yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

orang lain maupun lingkungan (Elshy Pangden Rabba, Dahrianis,

2014).

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan seseorang

melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik

6
terhadap diri sendiri,orang lain dan lingkungan yang timbul

sebagai respon kecemasan dan ancaman (Hadiyanto, 2016).


Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang

ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang

tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Perilaku

kekerasan dapat dimanifestasikan secara fisik (menciderai diri

sendiri, peningkatan mobilitas tubuh). Psikologis (emosional,

marah, mudah tersinggung, dan menentang), spiritual (merasa

dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral).Perilaku kekerasan

merupakan suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut

yang tidak lebih dari satu persen (Simatupang, 2010).

2.1.2 Kronologi Terjadinya Kekerasan


Emosi: Kecenderungan untuk memiliki perasaan yang

khas bila berhadapan dengan objek tertentu dalam lingkungan

(William James). Suatu keadaan yang bergejolak pada diri

individu yang berfungsi sebagai penyesuaian dari dalam (inner

adjustment) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan

dan keselamatan.
Tingkah laku emosional, terdiri atas hal hal berikut (Tutu

April Ariani, 2012) :


a. Marah : orang bergerak menentang sumber frustrasi.
b. Takut : orang bergerak meninggalkan sumber frustrasi
c. Cinta : orang bergerak menuju sumber kesenangan.
d. Depresi : orang menghentikan respon-respon terbukanya
dan mengalihkan emosi kedalam dirinya sendiri.

7
2.1.3 Rentang Respon Marah

Respon adaptif Respons maladaptif

I----------------I----------------I----------------I-----------------I

Asertif frustrasi pasif agresif kekerasan

Gambar 2.1

Rentang Respons Kemarahan (Yosep, 2007)

a. Perilaku asertif yaitu mengungkapkan rasa marah atau tidak

setuju tanpa menyalahkan atau meyakiti orang lain, hal ini dapat

menimbulkan kelegaan pada individu


b. Frustrasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai

tujuan karena yang tidak realistis atau hambatan dalam proses

pencapaian tujuan.
c. Pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk

mengungkapkan perasaan marah yang sekarang dialami,

dilakukan dengan tujuan menghindari suatu tuntunan nyata.


d. Agresif merupakan hasil dari kemarahan yang sangat tinggi atau

ketakutan / panik. Agresif memperlihatkan permusuhan, keras

dan mengamuk, mendekati orang lain dengan ancaman,

memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya klien

dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang lain.


e. Kekerasan sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk.

Perilaku kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara

menakutkan, memberi kata-kata ancaman, melukai pada tingkat

8
ringan sampa pada yang paling berat. Klien tidak mampu

mengendalikan diri.

2.1.4 Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan

Tanda dan gejala marah, suka marah, pandangan tajam, otot

tegang, nada suara tinggi berdebat, selalu memaksakan kehendak

dan memukul bila tidak sengaja ditandai dengan:

a. Fisik Mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal, rahang

mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.


b. Verbal mengancam, mengumpat dengan kata kata kotor,

berbicara dengan nada keras, kasar, dan ketus.


c. Prilaku menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang

lain, merusak lingkungan, amuk atau agresif.


d. Emosi tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa tergangu,

dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin

berkelahi, menyalahkan dan menuntut.


e. Intelektual mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan

dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.


f. Spiritual merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu raguan,

tidak bermoral dan kreativitas terhambat.


g. Sosial: Menarik Diri, pengasingan, penolakan, kekerasan,

ejekan, dan sindiran.


h. Perhatian: Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan

seksual.

2.1.5 Penyebab Perilaku Kekerasan


2.1.5.1 Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya

perilaku kekerasan menurut teori biologik, teori psikologis,

9
dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend

(1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:


1. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang

berpengaruh terhadap perilaku:


a) Neurobiologik
Ada 3 area otak yang berpengaruh terhadap

proses impuls agresif,sistem limbik, lobus frontal,

dan hypotalamus. Neurotransmitter juga

mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau

menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik

merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan

memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini

maka akan meningkatkan atau menurunkan

potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan

pada lobus frontal maka indifidu tidak mampu

membuat keputusan. Kerusakan pada penilaian,

perilaku tidak sesuai dan agresif, beragam

komponen dari sistem neurobiologis mempunyai

implikasi memfasilitasi dan menghambat implus

agresif. Sistem limbik terlambat dalam

menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak

atas secara konstan berinteraksi dengan pusat

agresif.
b) Biokimia

10
Berbagai neurotransmitter (epinephrine,

norepinephrine, dopamin, asetilkolin dan serotonin),

sangat berperan dalam memfasilitasi atau

menghambat implus agresif. Teori ini sangat

konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan

oleh selye dalam teorinya tentang respon terhadap

stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan

langsung antara perilaku agresif dengan genetik

karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor

predisposisi perilaku agresif dan tindakan,

kekerasan, tumor otak, khususnya yang menyerang

sistem limbik, dan lobus temporal, trauma otak yang

menimbulkan perubahan serebral, dan penyakit

seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus

temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku

agresif dan tindak kekerasan

2. Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya

kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa

aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya

ego dan membuat konsep diri rendah, agresif, dan

11
tindak kekerasan membuat kekuatan dan prestise

yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan

arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan

perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara

terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan

rendahnya harga diri.


b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari

contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka

sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena

dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh

atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian

yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang

orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.

Namun dengan perkembangan yang dialaminya,

mereka mulai meniru perilaku guru, teman, dan

orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih

anak-anak atau mempunyai orang tua yang

mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik

akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah

dewasa.
c) Teori sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh

faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku

agresif. Ada beberapa kelompok sosial yang secara

12
umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara

untuk menyelesaikan masalah. Masyarakat juga

berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila

individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan

mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif

penduduk yang ramai atau padat dan lingkungan

yang ribut dapat beresiko untuk perilaku kekerasan.

Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan

kekerasan dalam hidup individu.

2.1.5.2 Faktor Presipitasi

Faktor faktor yang dapat mencetuskan perilaku

kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2008):

a. Ekspresi diri, ingin menunjukan eksitensi diri atau

symbol solidaritas seperti dalam sebuah konser,

penonton sepak bola, gang sekolah, perkelahian masal

dan sebagainya.
b. Ekpresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan

kondisi sosial ekonomi.


c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam

keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk

memecahkan masalah cenderung melakukan

kekerasan dalam menyelesaikan konflik.


d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya

dan ketidak mampuan dirinya sebagai seorang yang

dewasa.

13
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi

penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak

mampu mengontrol emosinya pada saat manghadapi

rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting,

kehilangan pekerjaan, perubahan tahap.

2.1.6 Tingkat Perilaku Kekerasan


Tingkat perilaku kekerasam menurut Jeffrey dkk (2006) :

a. Ringan : Merupakan perilaku kekerasan yang diperlihatkan

pasien dengan gangguan jiwa hanya sebatas intimidasi terhadap

orang-orang disekitarnya. Pasien belum melakukan kekerasan

verbal tetapi sudah menunjukan kekerasan emosional.

Bentuknya merupakan emosional verbal seperti melotot, melihat

dengan tajam atau mengepalkan tangan.

b. Sedang : Merupakan perilaku kekerasan yang sudah dilakukan

pasien tetapi tidak mengakibatkan cedera yang berarti. Pasien

dengan gangguan jiwa sudah menyerang dengan intensitas

rendah, misalnya memukul tapi dengan jenis pukulan yang tidak

terlalu keras.

c. Berat : merupakan perilaku kekerasan yang benar- benar

dilakukan pasien dengan gangguan jiwa dalam intensitas yang

berat. Biasanya akan mengakibatkan cedera serius pada orang

yang diserang.

14
2.2 Teknik Relaksasi Nafas dalam

2.2.1 Pengertian relaksasi nafas dalam

Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan

mental dan fisik dari ketegangan dan stres, sehingga dapat

meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Berbagai metode relaksasi

digunakan untuk menurunkan kecemasan dan ketegangan otot

sehingga didapatkan penurunan ketegangan otot.


Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk

asuhan, yang dalam hal ini tenaga kesehatan mengajarkan kepada

klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat

(menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana

menghembuskan nafas secara perlahan, selain dapat menurunkan

intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat

meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah

(Novita, 2013)

2.2.2 Tujuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Tujuan dari teknik relaksasi adalah mencapai keadaan

relaksasi menyeluruh, mencakup keadaan relaksasi secara fisiologis,

secara kognitif dan secara behavioral. Secara fisiologis keadaan

relaksasi di tandai dengan penurunan kadar epinefrin dan non

epinefrin dalam darah,penurunan frekuensi denyut jantung (sampai

mencapai 24 kali per menit), penurunan tekanan darah,penurunan

15
frekuensi nafas (sampai 4-6 kali permenit), penurunan ketegangan

otot, metabolisme menurun, vasodilatasi dan peningkatan tempratur

pada extremitas (Chandra Kristianto Patasik, Jon Tangka, 2013).

2.2.3 Manfaat Relaksasi Nafas Dalam

Teknik relaksasi nafas dalam dapat memberikan berbagai

manfaat. Menurut potter & parry (2006) menjelaskan efek relaksasi

nafas dalam antara lain terjadinya penurunan nadi, penrunan

ketegangan otot, penurunan kecepatan metabolisme, peningkatan

kesadaran global, perasaan damai dan sejahtera dan periode

kewaspadaan yang santai.

Keuntungan teknik relaksasi nafas dalam antara lain dapat

di lakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja, caranya sangat

mudah dan dapat dilakukan setiap saat, kapan saja dan dimana

saja,caranya sangat mudah dan dapat dilakukan secara mandiri oleh

pasien tanpa menggunakan suatu media serta merileksasikan otot-

otot yang tegang.Sedangkan kerugian teknik relaksasi nafas dalam

tidak dapat di lakukan bagi pasien yang menderita penyakit jantung

dan pernafasan (Smaltzer & Bare, 2002).

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan

16
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stresor

yang dihadapi oleh seseorang. Respon ini dapat menimbulkan kerugian baik

pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Melihat dampak dari

kerugian yang ditimbulkan, pengangan pasien perilaku kekerasan perlu

dilakukan secara cepat dan tepat oleh tenaga yang profesional. (Akemat,

2009)

2.3.1 Pengkajian

Menurut Keliat (2010), data yang perlu dikaji pada pasien

dengan perilaku kekerasan yaitu pada data subyektifklien

mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, mengatakan

dendam dan jengkel. Klien juga menyalahkan dan menuntut.pada

data obyektif klien menunjukkan tanda-tanda mata melotot dan

pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah

memerah dan tegang, postur tubuh kaku dan suara keras. (Handayani

et al., 2017).

2.3.2 Pengumpulan Data


Tujuan dari pengumpulan data adalah menilai status

kesehatan dan kemungkinan adanya masalah keperawatan yang

memerlukan intervensi dari perawat. Data yang dikumpulkan bisa

berupa data objektif yaitu data yang dapat secara nyata melalui

observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat. Sedangkan data

subjektif yaitu data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan

17
keluarganya. Data ini didapat melalui wawancara perawat kepada

klien dan keluarganya.


a. Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,

pekerjaan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajiannya nomor

rekam medik, diagnosa medis dan identitas penanggung jawab.


b. Keluhan utama dan alasan masuk, tanyakan pada klien atau

keluarga apa yang menyebabkan klien datang ke rumah sakit saat

ini serta bagaimana hasil dari tindakan orang tersebut.


c. Faktor predisposisi, menanyakan kepada klien atau keluarganya :
Apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa atau

tidak.
Apakah ya, bagaimana hasil pengobatan sebelumnya.
Klien pernah melakukan, mengalami atau menyaksikan

penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,

kekerasan dalam keluarga, dan tindakan kriminal


Apakah anggota keluarga ada yang mengalami

gangguan jiwa.
Pengalaman klien yang tidak menyenangkan (kegagalan

yang terulang lagi, penolakan orang tua,, harapan orang

tua yang tidak realistis) atau faktor lain, misalnya

kurang mempunyai tanggung jawab.


d. Aspek fisik atau biologis, observasi tanda-tanda vital (tekanan

darah, nadi, suhu, pernafasan), ukur tinggi badan dan berat badan

klien.
e. Psikososial, membuat genogram minimal tiga generasi yang dpat

menggambarkan hubungan klien dengan keluarga. Masalah yang

terkait dengan komunikasi pengambilan keputusan dan pola asuh.


f. Status mental meliputi pebicaraan, penampilan , aktivitas

motorik, alam perasaan, afek, interaksi selama wawancara,

18
persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, emosi, tingkat

konsentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian dan daya tilik

diri.
g. Kebutuhan persiapan pulang, kemampuan klien dalam makan,

BAB/BAK, mandi, berpakaian, istirahat, tidur, penggunaan obat,

pemeliharaan kesehatan, aktivitas didalm rumah dan diluar

rumah.
h. Mekanisme koping, didapat melalui wawancara pada klien atau

keluarga baik adakpif maupun maladaptif.


i. Masalah psikososial dan lingkungan, didapat dari klien atau

keluarga bagaimana tentang keadaan lingkungan klien, maslah

pendidikan dan masalah pekerjaan.


j. Pengetahuan, apakah klien mengetahui tentang kesehatan jiwa.
k. Aspek medik, obat-obatan klien saat ini baik obat fisik,

psikofarmako dan terapi lain.

2.3.3 Masalah Keperawatan

Perawat dapat menyimpulkan kebutuhan atau masalah klien

dari kelompok data yang dikumpulkan, kemungkinan kesimpulan

adalah sebagai berikut ( keliat, 2006 : 2012 )

a. Isolasi sosial : menarik diri.


b. Gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran.
c. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri.
d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
e. Ketidakefektifan pentalaksanaan program terapeutik.
f. Defisit perawatan diri.
g. Ketidakefektifan koping keluarga.
h. Gangguan pemeliharaan kesehatan.

2.3.4 Diagnosa Keperawatan

19
Diagnosis keperawatan diterapkan sesuai dengan data yang

didapat. Diagnosis keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan

dirumuskan jika pasien saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan,

tetapi pernah melakukan perilaku kekerasan dan belum mempunyai

kemampuan mencegah atau mengendalikan perilaku kekerasan

tersebut (Akemat, 2009).

Data-data yang mendukung analisa data menurut (Keliat,

2010) :
a. Data subjektif : klien mengatakan jengkel dengan orang

lain, mengupkankan rasa permusuhan yang mengancam,

klien meras tidak nyaman, klien merasa tidak berdaya, ingin

berkelahi, dendam.
b. Data objektif : tangan dikepal, tubuh kaku, ketegangan

otot seperti rahang terkatup, nada suara tinggi, waspada,

pandangan tajam, reflek cepat, aktivitas motor meningkat,

mondar-mandir, merusak secara langsung benda-benda yang

berada dalam lingkungan, menolak, muka merah, nafas

pendek.

2.3.5 Tindakan Keperawatan

Setelah menegakkan diagnosis keperawatan, perawat

melakukan beberapa tindakan keperawatan, baik pada pasien

maupun keluarga.

Tabel 2.1
Format pengkajian pada pasien resiko perilaku kekerasan.

20
Berikan tanda () pada kolom yang sesuai dengan data pasien

No. Pelaku / Usia Korban / Usia Saksi / Usia

1. Aniaya Fisik { } { } { } { } { } { }

2. Aniaya Seksual { } { } { } { } { } { }

3. Penolakan { } { } { } { } { } { }

Kekerasan
4. { } { } { } { } { } { }
dalam keluarga

Tindakan
5. { } { } { } { } { } { }
kriminal
Aktivitas
6.
motorik

Lesu Tegang Gelisah Agitasi


{ } { } { } { }

Tik Grimasen Tremor Kompulsif


{ } { } { } { }

7. Interaksi selama wawancara

Bermusuhan Kontak mata kurang


{ } { }

Tidak kooperatif Defensif


{ } { }

Mudah tersinggung Curiga

{ } { }

2.3.6 Rencana Keperawatan


Menurut Keliat (2010), Rencana Keperawatan pada diagnosa

pasien dengan resiko perilaku kekerasan seperti pada tabel dibawah

ini.
Tabel 2.2
Rencana Asuhan Keperawatan Perilaku kekerasan

21
No. DX Perencanaan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
1 2 3 4 5
1. Perilaku Pasien mampu Setelah pertemuan pasien SP1
3) Mengidentifikasi Identifikasi
mampu :
kekerasan penyebab dan tanda Menyebutkan penyebab tanda dan
perilaku kekerasan penyebab, tanda, gejala serta akibat
4) Menyebutkan jenis
gejala dan akibat perilaku kekerasan
perilaku kekerasan Latih secara fisik 1 :
perilaku
yang pernah tarik nafas dalam
kekerasan
dilakukan Masukkan dalam
Memperagakan
5) Menyebutkan cara jadwal harian
cara fisik 1 untuk
mengontrol perilaku pasien
mengontrol
kekerasan
6) Mengontrol perilaku perilaku

kekerasan secara : kekerasan

fisik, sosial / verbal,


spiritual, terapi
psikofarmaka

Setelah pertemuan pasien SP2


Evaluasi SP1
mampu :
Latih cara fisik 2 :
Menyebutkan
pukul kasur / bantal
kegiatan yang
Masukkan dalam
sudah dilakukan
Memperagakan jadwal harian
pasien
cara fisik untuk
megontrol
perilaku
kekerasan

No. DX Perencanaan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
1 2 3 4 5
Setelah pertemuan pasien SP3
Evaluasi SP1 dan
mampu :
Menyebutkan SP2
Latih secara sosial /
kegiatan yang sudah
verbal
dilakukan Menolak dengan
Memperagakan
baik
seara fisik untuk Memeinta dengan
mengontrol perilaku bik
kekerasan Mengungkapkan
dengan baik
Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
Setelah pertemuan pasien SP4
Evaluasi SP 1, 2
mampu:
Menyebutkan dan 3
Latih secara
kegiatan yang sudah

22
dilakukan spiritual berdoa
Memperagakan Masukkan dalam
secara spiritual jadwal kegia pasien
Setelah pertemuan pasien SP5
Evaluasi SP 1, 2, 3
mampu :
Menyebutkan dan 4
Latih patuh obat
kegiatan yang sudah
Minum obat secara
dilakukan
teratur dengan
Memperagakan cara
prinsip 5B
patuh minum obat
Susun jadwal
minum obat dengan
teratur
Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien

No. DX Perencanaan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
1 2 3 4 5
Keluarga mampu : Setelah pertmuan keluarga SP1
Identifikasi masalah
merawat pasien di rumah mampu :
Menjelaskan yang dirasakan
penyebab, tanda / keluarga dalam
gejala, akibat serta merawat pasien
Jelaskan tentang
mampu
RPK dari penyebab,
memperagakan cara
akibat dan cara
merawat
merawat
Latih 2 cara
merawat
RTL keluarga /
jadwal untuk
merawat pasien
Setelah pertemuan keluarga SP2
Evaluasi SP1
mampu :
Latih (simulasi) 2
Menyebtkan
cara lain untuk
kegiatan yang sudah
merawat pasien
dilakukan dan
Latih langsung ke
mampu merawat
pasien
serta dapat membuat RTL keluarga /
RTL jadwal keluarga
untuk merawat
pasien
Setelah pertemuan keluarga SP3
Evaluasi SP 1 dan 2
mampu :
Latih langsung ke
Menyebtkan
pasien
kegiatan yang sudah

23
dilakukan dan RTL keluarga /
mampu merawat jadwal keluarga
serta dapat membuat untuk merawat
RTL pasien
Setelah pertemuan keluarga SP 4
Evaluasi SP 1, 2,
mampu :
Melaksanakan dan 3
Latih langsung ke
follow up dan rujuk
pasien
serta mampu
RTL keluarga :
mnyebutkan
follow up dan
kegiatan yang sudah
rujukan
dilakukan
2.3.7 Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan langkah ketiga dalam tahap proses

keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan

(tindakan keperawatan) yang telah di rencanakan (Hidayat , 2008).

Tindakan keperawatan pada klien dengan prilaku kekerasan

secara umum adalah sebagai berikut :

SP1 : membantu pasien mengontrol emosi, menjelaskan

cara-cara mengontrol emosi, dengan cara menarik

napas perlahan-lahan.

SP2 : melatih pasien mengontrol emosi dengan cara

kedua, dengan cara memukul benda lunak atau

bantal.

SP3 : latih secara sosial / verbal dengan cara menolak

dengan baik, meminta dengan baik dan

mengungkapkan dengan baik.

SP4 : latih secara spiritual, seperti sholat dan berdoa.

2.3.8 Evaluasi

24
Evaluasi merupakan proses berkelanjutan untuk menilai

efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus

menerus pada respons klien terhadap tindakan keperawatan yang

telah dilaksanakan. Evaluasi proses atau pormatif dilakukan setiap

selesai melakukan tindakan.Evaluasi dapat dilakukan dengan

menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya. (Keliat, 2011).


S : Respon subjektif klien terhadap intervensi keperawtan yang telah

dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

di laksanakan.
A : Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpukan

pakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data

yang kontradikdif dengan masalah yang ada.


P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasar hasil analisa pada respon

klien.

2.4 Kerangka Teori


Kerangka teori penelitian adalah hubungan antara teori-teori yang

ingin diamati atau di ukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan

(Notoadmojo, 2007).

Perilaku Kekerasan :
Kerangka teori dari penelitian ini digambarkan melalui bagan
1. Pengertian
sebagai
2. berikut:
Kronologi
Terjadinya
3. Rentang Respon
Marah
4. Tanda dan Gejala
5. Penyebab
25
Teknik Relaksasi Nafas Dalam :
1. Pengertian
2. Tujuan
3. Manfaat

Gambar 2.2

Kerangka Teori Studi kasus

2.5 Kerangka Konsep

Pasien Gangguan Jiwa :


Perilaku Kekerasan

Teknik Relaksasi Nafas


Dalam

Menurunkan Perilaku Tidak Menurunkan


Gambar 2.3
Kekerasan Kerangka Konsep StudiPerilaku
Kasus Kekerasan

26
BAB III

METODE STUDI KASUS

3.1 Jenis Studi Kasus


Jenis studi kasus yang di gunakan deskriptif yaitu penelitian yang

menghasilkan data deskriptif, yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif juga

merupakan suatu pendekatan induktif untuk penyusunan pengetahuan

yang menggunakan riset dan menekankan subjektifitas serta arti

pengalaman bagi individu.


Metode studi kasus ini di pilih penulis untuk mengetahui gambaran

penerapan teknik relaksasi nafas dalam terhadap perilaku kekerasan.

3.2 Subjek Studi Kasus


Subjek studi kasus dalam penelitian ini adalah dua orang pasien

perilaku kekerasan Di Ruang Belibis Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma

Husada Mahakam Samarinda.


Adapun kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut:
3.2.1 Kriteria Inklusi :
3.2.1.1 Responden pasien perilaku kekerasan
3.2.1.2 Responden dapat berkomunikasi dengan baik.

27
3.2.1.3 Responden di Ruang Belibis RSJD Atma Husada Mahakam

Samarinda.
3.2.1.4 Bersedia menjadi responden.
3.2.2 Kriteria Eksklusi :
3.2.2.1 Responden yang mengundurkan diri pada saat penelitian

berlangsung.
3.2.2.2 Responden selain yang mengalami gaduh gelisah.

3.3 Fokus Studi Kasus


Fokus studi dalam penelitian ini adalah menurunkan perilaku

kekerasan pada pasien dengan perilaku kekerasan setelah dilakukan

intervensi teknik relaksasi nafas dalam

3.4 Definisi Operasional


Tabel 3.1
Definisi Operasional

Variable Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
Perilaku Perilaku Lembar 1.Ringan Numerik
kekerasan
Kekerasan Observasi (Fisik)
adalah suatu
2. Sedang
perilaku
kekerasan (Verbal)
yang
3. Berat
dilakukan
( Sikap dan
terhadap

28
dirinya Perilaku )
sendiri, orang
lain, dan
lingkungan.
Meliputi
indikator
penilaian
perilaku
kekerasan
pada
lampiran 4
lembar
observasi.

3.5 Metode Pengumpulan Data


Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam studi

kasus ini adalah sebagai berikut :


3.5.1 Penulis meminta izin penelitian studi kasus kepada pihak RSJD

Atma Husada Mahakam Samarinda


3.5.2 Proses pengambilan subjek sesuai dengan kriteria inklusi studi kasus

di Ruang Belibis RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda.


3.5.3 Penulis memberikan informasi singkat tentang tujuan dan manfaat

studi kasus kepada responden serta keikutsertaan dalam penelitian

studi kasus. Bagi responden yang setuju untuk berpartisipasi dalam

studi kasus ini akan diberikan lembar persetujuan (Informed

Consent) untuk ditandatangani.


3.5.4 Melakukan wawancara untuk mengumpulkan informasi dari sumber

data ini diperlukan teknik wawancara, yang dalam penelitian

deskriptif khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut

29
wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara akan

dihentikan ketika semua jawaban dari partisipan jenuh. Selama

penelitian penulis melakukan wawancara kepada pasien perilaku

kekerasan dan perawat yang memberikan teknik relaksasi nafas

dalam.
3.5.5 Melakukan intervensi dengan melakukan teknik relaksasi nafas

dalam terhadap pasien dengan perilaku kekerasan.


3.5.6 Melakukan evaluasi tentang perilaku kekerasan setelah di lakukan

teknik relaksasi nafas dalam.


3.5.7 Dilanjutkan pengkajian atau penilaian perilaku kekerasan di hari

kedua setelah di berikan teknik relaksasi nafas dalam sampai hari

ketiga atau sampai hari keenam.


3.5.8 Melakukan pengolahan data.
3.5.9 Menyajikan hasil pengolahan data atau hasil studi kasus dalam

bentuk narasi dan tabel.

3.6 Lokasi dan Waktu Studi Kasus


3.6.1 Lokasi Studi Kasus
Studi kasus ini akan dilakukan diRuang Belibis Rumah Sakit

Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.


3.6.2 Waktu Studi Kasus
Studi kasus akan dilakukan pada bulan Juni 2017

3.7 Instrumen Studi Kasus

Perilaku Kekerasan dapat di ukur Pengukuran perilaku kekerasan

dapat di ukur dengan Overt Aggression Scale. Dalam OAS ini, Perilaku

kekerasan dibagi menjadi 4 yaitu:

1. Agresi Verbal
2. Agresi fisik terhadap benda
3. Agresi fisik terhadap diri sendiri
4. Agresi fisik terhadap orang lain.

30
Pada studi kasus ini penulis menggunakan lembar observasi tentang

penilaian perilaku kekerasan, menggunakan 16 item respons pasien

perilaku kekerasan apakah teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan

perilaku kekerasan.

3.8 Analisis Data dan Penyajian Data


3.8.1 Analisa Data
Pengolahan data menggunakan analisis deskriftif. adalah

digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan

data yang terkumpul untuk membuat satu kesimpulan

(Notoatmodjo, 2010) pengolahan data ini dilakukan untuk

mengetahui gambaran perilaku kekerasan setelah dilakukan

intervensi keperawatan teknik relaksasi nafas dalam.


Adapun cara penilaian adalah sebagai berikut :
- Mean standar

defisiensi jika

terdistribusi

merata
- Median

standar

defisiensi jika

tidak

terdistribusi

merata

3.8.2 Penyajian Data

31
Dalam studi kasusini data disajikan dalam bentuk narasi

dan tabel, serta di deskriftifkan secara sistematis.

3.9 Etika Studi Kasus


Setelah mendapat ijin dari Pimpinan Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma

Husada Mahakam Samarinda, penulis memulai pengumpulan data dengan

memberikan penjelasan kepada responden penelitian tentang tujuan dan

prosedur penelitian.

3.9.1 Self Determination


Penulis memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan,

dan manfaat penelitian kepada responden.

3.9.2 Lembar Persetujuan Penelitian (Informed Consent)


Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara

penulis dengan responden penelitian dengan memberikan lembar

persetujuan. Lembar persetujuan diberikan sebelum penelitian

dilakukan dengan memberikanlembar persetujuan untuk menjadi

responden. Jika Subjek bersedia, maka responden harus

menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia,

maka peneliti harus menghormati hak responden.

3.9.3 Kerahasiaan (Confidentiality)


Peneliti akan menyimpan data tentang responden di tempat

tertentu dan bahwa semua bentuk data tersebut hanya akan di

gunakan untuk kepentingan penelitian.


3.9.4 Nonmal eficience
Peneliti menjamin bahwa pada studi kasus ini tidak akan

merugikan responden.

3.9.5 Justice

32
Dalam studi penelitian ini, peneliti akan berusaha bersikap

adil dan tidak akan memihak pada pihak tertentu. Dan keputusan

yang diambil tidak akan memberikan kerugian pada pihak yang

terlibat dalam penelitian ini.

3.9.6 Kemanfaatan (Beneficence)


Peneliti harus mengetahui manfaat dan resiko yang muncul

dari penelitian yang dilakukan. Penelitian dapat dilakukan apabila

manfaat lebih besar dari dampak negatif yang ditimbulkan. Peneliti

melaksanakan penelitian sesuai prosedur yang dianjurkan agar tidak

membahayakan responden dan guna mendapatkan manfaat

semaksimal mungkin

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil penelitian beserta pembahasannya yang

meliputi penjabaran data umum dan data khusus serta analisis mengenai

perubahan perilaku kekerasan setelah di berikan tindakan teknik relaksasi nafas

dalam pada pasien perilaku kekerasan di Ruang Belibis RSJD Atma Husada

Mahakam Samarinda.

4.1. Hasil Penelitian


4.1.1 Gambaran Lokasi

33
Penelitian ini dilakukan di RSJD Atma Husada Mahakam yang

terletak di Jalan Kakap No. 23, Samarinda, Kalimantan Timur. RSJD Atma

Husada Mahakam atau dahulu dikenal dengan nama Rumah Sakit Jiwa

Pusat (RSJP) ini didirikn pada tahun 1933. Fasilitas yang tersedia di RSJD

Atma Husada Mahakam ini antara lain Instalasi Gawat Darurat, Instalasi

rawat jalan, rawat inap, Unit rehabilitasi, Laboratorium, Farmasi,

Pelayanan pemeriksaan penunjang psikiatri, Instalasi pemulihan

ketergantungan NAPZA dan Layanan Keswamas. Kapasitas RSJD Atma

Husada Mahakam ini meliputi kurang lebih 285 tempat tidur. Untuk rawat

inap terdapat beberapa ruangan yang dibagi menjadi beberapa unit

diantaranya Kelas I Pria dan Wanita, Kelas II Pria dan Wanita, Bangsal

kelas III Pria dan Wanita, PICU, Ruang Intermediate dan Ruang Perawatan

Psikogeriatri.
Dalam studi kasus ini menggunakan Ruang Belibis yaitu ruang kelas III

perawatan bagi laki-laki.


Adapun batas-batas Ruang Belibis yaitu sebagai berikut, sebelah

utara terdapat pagar pembatas RSJD Atma Husada Mahakam, sebelah

selatan terdapat Ruang Punai, sebelah barat terdapat pagar pembatas RSJD

Atma Husada Mahakam dan sebelah timur terdapat Ruang laundry.


Jumlah pasien yang ada di Ruang Belibis 78 orang pasien, untuk

kasus Defisit Perawatan Diri sebanyak 6.4 %, kasus Halusinasi sebanyak

41.0 %, kasus Harga Diri Rendah sebanyak 11.5 %, kasus Isolasi Sosial

sebanyak 6.4 %, kasus Risiko Perilaku Kekerasan sebanyak 34.6 %, kasus

Risiko Bunuh Diri sebanyak 0.0 % dan kasus Waham sebanyak 0.0 %.

Bangunan Ruang Belibis terdiri dari 2 ruang tenang, 1 ruang TAK, 1 ruang

34
makan, 2 ruang intermediate, 2 kamar isolasi, 2 ruang observasi, 1 ruang

kepala ruangan, 1 ruang perawat, 1 ruang untuk mahasiswa, 1 meja

perawat dengan 4 kursi, kursi panjang untuk tamu dan pasien dan halaman

di depan Ruang Belibis.

4.1.2 Gambaran Subyek Studi Kasus


Dalam studi kasus ini dipilih 2 orang sebagai subyek studi kasus

yaitu subyek I dan subyek II. Kedua subyek sudah sesuai dengan kriteria

yang di tetapkan.

Subyek I
Subyek I berusia 21 tahun, beragama islam, pendidikan terakhir

SMA. Subyek I masuk ruang perawatan pada tanggal 06 April 2017,

diantar keluarga dengan alasan masuk rumah sakit pasien marah marah,

gelisah, tidak mau minum obat 1 bulan. Susah tidur kadang tertawa

sendiri, keluyuran, bingung, bicara tidak nyambung.kegiatan subyek saat

ini berjalan mondar mandir di kamar, melamun.


Subyek II
Subyek II berusia 30 tahun beragama kristen, pendidikan terakhir

subyek sekolah dasar, subyek masuk rumah sakit pada tanggal 11 april

2017 dengan alasan marah-marah, bicara sendiri, mendengar bisikan,

membawa senjata tajam dan subyek putus obat 5 bulan. Kegiatan

subyek saat ini hanya duduk dan melamun.

4.1.3 Pemaparan Fokus Studi


4.1.3.1 Hasil Pengkajian Awal Perilaku Kekerasan pasien
Berdasarkan tahapan proses keperawatan, maka langkah pertama

yang harus dilakukan pada subyek perilaku kekerasan adalah pengkajian.

35
Dalam studi kasus ini pengkajian awal yang dilakukan berfokus pada

tingkat perilaku kekerasan pasien.


Berdasarkan hasil studi, dapat diketahui bahwa saat pengkajian

awal terhadap tanda perilaku kekerasan subyek dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 data awal sebelum di berikan tindakan pada subyek I dan II.

No Penilaian Perilaku Evaluasi Sebelum Tindakan

Kekerasan Subyek I Subyek II

1. Fisik 40 % 40 %

2. Verbal 57 % 57 %

3. Perilaku 0% 0%

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa evaluasi sebelum diberikan

tindakan keperawatan teknik relaksasi nafas dalam keseluruhan perilaku

kekerasan pada subyek I penilaian perilaku kekerasan fisik yaitu 40 %,

perilaku kekerasan verbal 57 %, dan perilaku 0 %. Dan perilaku kekerasan

pada subyek II sebelum diberikan tindakan keperawatan teknik relaksasi

nafas dalam yaitu penilaian perilaku kekerasan fisik 40 %, verbal 57%,

dan perilaku 0 %.

Setelah melakukan pengkajian (observasi) awal terkait dengan

tingkat perilaku kekerasan pasien, dilakukan intervensi keperawatan

dengan menggunakan teknik relaksasi nafas dalam. Teknik relaksasi nafas

dalam dilakukan untuk merileksasikan otot-otot yang tegang. perasaan

damai dan sejahtera dan periode kewaspadaan yang santai. Sehingga dapat

36
memperbaiki dan mengontrol emosi pasien dan tingkat perilaku kekerasan

pasien. Kegiatan ini dilakukan selama 6 hari 5 menit dan di evaluasi

setelah pemberian teknik relaksasi nafas dalam.

4.1.3.2 Hasil Evaluasi TPK Pada Subyek I Dan II Selama 6 Hari


Tabel 4.2 Evaluasi Subyek I dan II

Penilaian Evaluasi pre-post hari 1 s/d hari ke 6 Subyek I dan 2

No Perilaku Rata- Rata Rata- Rata


Pre Subyek
Pre Subyek 1
Kekerasan Subyek 1 2 Subyek 2

1. Fisik 40% 27,5% 40% 25%

2. Verbal 57% 25,7% 57% 18,67%

3. Perilaku 0% 0% 0% 0%

37
Grafik 4.1 Evaluasi Subyek I dan Subyek II

4.2 Pembahasan
Dari hasil penelitian sebelum dan sesudah pemberian teknik relaksasi

nafas dalam terhadap perubahan perilaku kekerasan pada pasien perilaku

kekerasan diperoleh hasil adanya perubahan tingkat perilaku kekerasan

sesudah diberikan terapi teknik relaksasi nafas dalam pada subyek I dan II.
Pada subyek I pasien dengan penilaian perilaku kekerasan sebelum

pemberian tindakan keperawatan teknik relaksasi nafas dalam yaitu fisik 40

%, verbal 57 %, dan perilaku 0 %. Dan sesudah diberikan tindakan

keperawatan teknik relaksasi nafas dalam dan dilakukan evaluasi mengalami

perubahan dengan nilai rata-rata perilaku kekerasan fisik 27,5 %, perilaku

kekerasan verbal 25,7 %, dan perilaku 0 %.


Pada subyek II dengan penilaian perilaku kekerasan sebelum

pemberian tindakan keperawatan teknik relaksasi nafas dalam yaitu perilaku

kekerasan secara fisik 40 %, verbal 57 %, dan perilaku 0 %. Dan setelah

diberikan tindakan keperawatan teknik relaksasi nafas dalam dan dilakukan

evaluasi selama 6 hari dengan nilai rata-rata penilaian perilaku kekerasan

fisik 25 %, verbal 18,67 % dan perilaku 0 % . Hal ini terjadi karena kedua

pasien merupakan pasien ulangan dan sebelumnya sudah terpapar dengan

tindakan keperawatan teknik relaksasi nafas dalam dan juga sudah pernah

mendapatkan terapi obat sebelumnya yang diberikan oleh Rumah Sakit.

Perubahan yang terjadi pada subyek II dikarenakan Usia pasien lebih tua

dibandingkan dengan subyek I seperti yang telah diketahui bahwa dengan

38
semakin bertambahnya usia tingkat emosi juga semakin menurun dan lebih

dapat dikontrol ( kematangan emosional ). Meskipun demikian perubahan

juga terjadi pada subyek II dikarenakan motivasi dan keinginan pasien untuk

pulang kerumah dan berkumpul dengan keluarga.

Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh (Kustanti dan

Widodo, 2008) juga menunjukkan bahwa ada pengaruh teknik relaksasi yang

berhubungan dengan pasien perilaku kekerasan, salah satunya adalah

ketrampilan relaksasi nafas dalam. Dari hasil penelitian didapatkan adanya

pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap tingkat emosi klien perilaku

kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Amino Gondohutomo Semarang.

Teori Relaksasi napas dalam dapat meningkatkan ventilasi alveoli,

memelihara mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional. Relaksasi

napas dalam dipercaya dapat menurunkan ketegangan dan memberikan

ketenangan. Relaksasi napas dalam merangsang tubuh untuk melepaskan

opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin. Dilepaskannya hormon

endorphin dapat memperkuat daya tahan tubuh, menjaga sel otak tetap muda,

melawan penuaan, menurunkan agresifitas dalam hubungan antar manusia,

meningkatkan semangat, daya tahan, dan kreativitas (Smeltzer & Bare, 2002)

Hal ini sejalan dengan teori yang dinyatakan oleh (Widyastuti, 2004)

teknik relaksasi tidak saja menyebabkan efek yang menenangkan fisik tetapi

juga menenangkan pikiran. Oleh karena itu beberapa teknik relaksasi seperti

nafas dalam dapat membantu mengatasi stress. Nafas dalam sangat

membantu untuk meningkatkan kemampuan berkonsentrasi, kemampuan

39
mengontrol diri, menurunkan emosi dan depresi (Handoyo, 2005,). Pasien

dapat menggunakan teknik relaksasi nafas dalam memfokuskan pada

informasi atau stimulus sensori di lingkungan sampai perasaan emosi dapat

berkurang (Videbeck, 2008).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat perilaku

kekerasan pasien terjadi perubahan sebelum dan sesudah tindakan

keperawatan teknik relaksasi nafas dalam aspek yang dinilai meliputi

penilaian perilaku kekerasan fisik, verbal dan perilaku. Subyek I sebelum

diberikan tindakan keperawatan perilaku kekerasan secara fisik 40 %, verbal

57 %, dan perilaku 0 %. Dan sesudah tindakan penilaian rata-rata perilaku

kekerasan secara fisik 27, 5%, verbal 25,73 %, dan perilaku 0 %. Dan pada

subyek II penilaian sebelum tindakan yaitu perilaku kekerasan fisik 40 %,

verbal 28,33 %, dan perilaku 0 %. Kemudian sesudah diberikan tindakan

keperawatan terjadi perubahan dengan nilai rata-rata perilaku kekerasan

secara fisik 25 %, verbal 18,67 % dan perilaku 0 %.


Meskipun demikian penulis menyarankan agar disusun Standar

Operasional Prosedur ( SOP ) pemberian teknik relaksasi nafas dalam

diruangan untuk memfasilitasi perawat dalam melakukan tindakan

keperawatan teknik relaksasi nafas dalam dan agar pasien selalu mengingat

dan diingatkan agar apabila perasaan gaduh gelisah dan emosi pasien

meningkat pasien menggunakan teknik yang telah diajarkan. Bagi

pengembangan dan penelitian selanjutnya yaitu penelitian ini dapat

digunakan sebagai dasar pengembangan model-model terapi lainnya

40
khususnya dalam menangani pasien perilaku kekerasan dalam asuhan

keperawatan.
Dalam studi kasus ini penulis menemui hambatan sehingga menjadi

keterbatasan dalam penyusunan studi kasus ini. Hambatan dan keterbatasan

penulis yaitu penulis tidak dapat melakukan observasi setiap saat, karena

waktu dinas yang telah ditetapkan oleh kepala ruangan dimana penulis

melakukan studi kasus ini. Serta keterbatasan fasilitas ruangan sehingga

kenyamanan pasien saat pemberian terapi nafas dalam kurang efektif. Dan

belum ada instrumen baku yag mengarah terhadap penilaian tingkat perilaku

kekerasan pada pasien perilaku kekerasan.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan fokus studi dan pembahasan tentang tingkat

perilaku kekerasan subyek I dan II pada pasien perilaku kekerasan setelah

dilakukan intervensi keperawatan dapat disimpulkan bahwa : dari

indikator penilaian perilaku kekerasan pada pasien perilaku kekerasan

diketahui bahwa ada perubahan perilaku kekerasan. Sebelum dilakukan

intervensi keperawatan dengan terapi teknik relaksasi nafas dalam tingkat

perilaku kekerasan pada subyek I dan II berada pada perilaku kekerasan

sedang, dan setelah diberikan tindakan keperawatan teknik relakasasi

nafas dalam dan dievaluasi selama 6 hari berturut-turut tingkat perilaku

41
kekerasan pada subyek I dan II turun mejadi tingkat perilaku kekerasan

ringan.

5.2 Saran

Berdasarkan analisa dan kesimpulan studi kasus ini, maka dalam

sub bab ini penulis akan menyampaikan beberapa saran diantaranya :

5.2.1 Bagi Perawat dan Rumah Sakit


Dapat memberikan sarana untuk dilakukan terapi teknik relaksasi

nafas dalam sehingga efektifitas terapi nafas dalam dapat berjalan dan

dilakukan secara optimal. Dan perlu adanya pengawasan secara konsisten

dalam pemberian terapi nafas dalam sehingga pemberian terapi nafas

dalam dapat dilakukan secara optimal.

5.2.2 Bagi Pengembangan dan Penelitian Selanjutnya


Hasil studi kasus ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan

model-model terapi lainnya khususnya dalam menangani pasien perilaku

kekerasan dalam asuhan keperawatan.

42
DAFTAR PUSTAKA

Amatiria, I. M. & G. (2012). Pengaruh Terapi Token Ekonomi Pada Kemampuan


Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Pasien Gangguan Jiwa Di RS. Jiwa
Provinsi Lampung.

Ariani, A. T. (2012). Sistem Neurobehaviour. Jakarta. Salemba Medika.

Ari Kunto ( 2005 ). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta. Sanjung Seto

Chandra Kristianto Patasik, Jon Tangka, J. R. (2013). Efektifitas Teknik


Relaksasi Nafas Dalam Dan Guided Imagery Terhadap Penurunan Nyeri
Pada Pasien Post Operasi sectio Caesarea Irna D Blursup RSUP
Prof.Dr.R.D.Kandou Manado, 1.

Dahlan, Sopiyudin. M. (2010). Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel.


Jakarta. Salemba Medika.

Elshy Pangden Rabba, Dahrianis, S. P. R. (2014). Hubungan Antara Pasien


Halusinasi Pendengaran Terhadap Resiko Prilaku Kekerasan Di Ruan
Kenari RS.Khusus Daerah Provinsi Sul-Sel, 4, 470475.

Jeffrey, dkk (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga

43
Hadiyanto, H. (2016). Hubungan Antara Terapi Modalitas Dengan Tanda Dan
Gejala Prilaku Kekerasan Pada Pasien SkizofreniaDi Ruang Rawat Inap
RSJ. Prof. dr. Soerojo Magelang.

Handoyo, Aris. (2005). Panduan Praktis Aplikasi Olah Nafas 2. Jakarta: Elex
Media Komputindo.

Keliat, A. B. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta. EGC

Kemenkes, L. (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun


2013.

Kemenkes, L (2014). Undang-Undang No 18 Tentang Kesehatan JIwa.Tahun


2014

Kustanti & Widodo. (2008). Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Perubahan


Status Mental Klien Skizofrenia di RSJD Amino Gondohutomo

Novita, R. (2013). Efektifitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam Untuk Mengurangi


Dismenore Di Smk Nusa Penida Medan Provinsi Sumatera Utara Tahun
2013.

Nyumirah, S. (2013). Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif,


Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ
Dr Amino Gondohutomo Semarang, 121128.

Potter, PA & Parry, AG (2005), Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,


Proses, Praktik,Edisi 4, EGC, Jakarta.

Simatupang, M. (2010). Hubungan Pengetahuan Keluarga Tentang Perilaku


Kekerasan Dengan Kesiapan Keluarga Dalam Merawat Pasien Di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan .

Smaltzer, S. C. & Barre, B, G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Bruner & Suddart, Edisi 2, Vol 3, EGC, Jakarta.

44
Videbeck, L. Sheila. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Waskitho, A. P. (2015). Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien


Prilaku Kekerasan Di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti
Boyolali.

Widyastuti, Palupi. (2004). Manajement Stres. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M., Ahern R. Nancy.(2009). Buku Saku Diagnosa


Keperawatan Edisi 9. EGC, Jakarta
Wulandari, I. (2014). Pemberian Terapi Psikoreligius (Shalat) Terhadap
Frekuensi Halusinasi Pendengaran Pada Asuhan Keperawatan Jiwa Sdr.I
Dengan Skizofrenia Paranoid Di Ruang Arjuna Surakarta.

Yelsi Wanti, E. W. D. N. F. (2016). Gambaran Strategi Koping Keluarga Dalam


Merawat Anggota Keluarga yang Menderita Gangguan Jiwa Berat.

Yosep, Iyus. (2008). Keperawatan Jiwa. Bandung Edisi Revisi. PT.Refika


Aditama.

45

Anda mungkin juga menyukai