Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa bagi manusia berarti terwujudnya keharmonisan fungsi
jiwa dan sanggup menghadapi problem, merasa bahagia dan mampu diri. Orang
yang sehat jiwa berarti mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan diri
sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan (Azizah, 2016).
Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku yang secara klinis
bermakna yang berkaitan langsung dengan distress (penderitaan) dan
menimbulkan hendaya (disabilitas) pada satu atau lebih fungsi kehidupan
manusia (Keliat, 2012).
Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena
depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta
terkena dimensia.
Menurut data Riskesdas (2018) dinyatakan bahwa prevalensi gangguan
jiwa berat di indonesia sebesar 7‰. Prevalensi tertinggi pada tahun 2018
terdapat di provinsi Bali sebesar 11‰ dan yang terendah di provinsi Kepulauan
Riau sebesar 3‰. Prevalensi orang gangguan jiwa berat meningkat dari 0,15%
menjadi 0,18% sementara prevalensi gangguan mental emosional pada
penduduk usia 15tahun keatas meningkat dari 6,1‰ pada tahun 2013 menjadi
9,8‰ pada tahun 2018.
Berdasarkan data Riskesdas (2018) dinyatakan bahwa prevalensi
gangguan jiwa berat di Jambi sebesar 6,6‰. Penduduk dengan umur ≥15 tahun
yang mengalami gangguan mental emosional sebesar 3,6% dan penduduk
dengan umur ≥15 tahun yang mengalami Depresi sebesar 1,8%.
Sutinah (2019) Menyatakan prevalensi psikosis tertinggi terdapat di
kabupaten Merangin 2,6%, kota sungai penuh 2,3%, kabupaten Tanjung Jabung
Barat 2,3%. Angka terendah gangguan jiwa berat terdapat di kabupaten
Sarolangun, Kerinci, Batanghari dan Tebo.

1
Menurut hasil penelitian Suryenti (2017) melaporkan bahwa 24 – 44%
Perilaku Kekerasan dilakukan oleh individu dengan Skizofrenia selama fase akut
dalam penyakitnya.
Intervensi yang dapat dilakukan pada pasien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan yaitu pertama dengan cara latihan fisik (Teknik Relaksasi Nafas
Dalam dan pukul bantal kasur), kedua dengan cara minum obat, ketiga dengan
cara verbal dan yang ke empat mengontrol marah dengan cara melakukan
kegiatan spiritual.
Teknik Relaksasi Nafas Dalam merupakan salah satu tindakan yang
dilakukan untuk mengontrol marah. Teknik Relaksasi Nafas Dalam dapat
dilakukan secara sederhana yang terdiri dari nafas abdomen dengan frekuensi
lambat dan berirama. Klien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan
perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan
menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inspirasi (hirup, dua, tiga) dan
ekspirasi (hembuskan, dua, tiga). Pada saat perawat mengajarkan teknik ini,
akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama klien pada
awalnya. Nafas yang lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik
distraksi.Teknik Relaksasi juga tindakan pereda nyeri non invasif lainnya,
mungkin memerlukan latihan sebelum terampil menggunakannya (Sutinah,
2019).
Penelitian terkait pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap
pasien dengan Risiko Perlaku Kekerasan salah satunya yaitu Hasil penelitian
Sutinah (2019) tentang Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap
mengontrol marah klien Skizofrenia dengan Risiko Perilaku Kekerasan di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi, menunjukkan ada perbedaan
mengontrol marah sebelum dan sesudah dilakukan Relaksasi Nafas Dalam
terhadap mengontrol marah pada pasien Skizofrenia dengan jumlah sampel
sebanyak 17 orang.
NANDA, 2016 menyatakan Risiko Perilaku Kekerasan merupakan
perilaku seseorang yang menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan diri
sendiri atau orang lain atau lingkungan baik secara fisik, emosional, seksual dan
verbal. Risiko Perilaku Kekerasan terhadap diri sendiri merupakan perilaku yang
rentan dimana seorang individu bisa menunjukkan atau mendemontrasikan
tindaka yang membahayakan dirinya sendiri, baik secara fisik, emosional,

2
maupun seksual. Hal yang sama juga berlaku untuk Risiko Perilaku Kekerasan
terhadap orang lain, hanya saja langsung ditujukan kepada orang lain .
Risiko Perilaku Kekerasan terbagi menjadi dua, yaitu Risiko Perilaku
Kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan Risiko
Perilaku Kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed violence)
(Sutejo, 2019).
Penulis mencoba untuk menerapkan latihan teknik relaksasi nafas dalam
pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan dan menemukan hasil bahwa
pasien menjadi lebih mudah dalam mengontrol marah dan menjadi lebih
kooperatif dengan diterapkannya latihan tersebut.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi pada pasien Risiko Perilaku
Kekerasan, maka dari itu penulis merasa tertarik untuk mengangkat
permasalahan ini dalam karya tulis ilmiah yang berjudul “Penerapan Teknik
Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan”
sehingga diharapkan klien dapat mengontrol emosi dengan menerapkan Teknik
Relaksasi Nafas Dalam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas penulis
merumuskan masalah dengan judul “Penerapan Teknik Relaksasi Nafas Dalam
pada Pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan”

C. Tujuan Studi Kasus


Untuk mendapatkan gambaran penerapan Teknik Relaksasi Nafas Dalam
pada Pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan.

D. Manfaat Studi Kasus


Studi kasus ini, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Bagi pasien
Menambah pengetahuan pasien tentang Penerapan Teknik Relaksasi Nafas
Dalam pada Pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan.

3
2. Bagi jurusan keperawatan poltekkes kemenkes jambi
Diharapkan dapat memperkaya literature ilmu keperawatan dan mampu
dijadikan referensi studi kasus selanjutnya tentang Penerapan Teknik
Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan.
3. Bagi penulis
Menambah wawasan dan pengetahuan dalam mengaplikasikan studi kasus
tentang Penerapan Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien dengan
Risiko Perilaku Kekerasan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Risiko Perilaku Kekerasan


1. Definisi
Risiko Perilaku Kekerasan merupakan perilaku seseorang yang
menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan
lingkungan (NANDA, 2016). Berbeda dengan Risiko Perilaku Kekerasan,
Perilaku Kekerasan memiliki definisi sendiri. Perilaku Kekerasan
didefinisikan sebagai suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang
yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Sutejo, 2019)
Perilaku Kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri
sendiri, maupun orang lain yang dirasakan sebagai ancaman (Ramdani,
2018).
2. Rentang respon Risiko Perilaku Kekerasan
Menurut Azizah (2016) Risiko Perilaku Kekerasan merupakan suatu
rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang dimanifestasikan dalam
bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan
proses peyampaian pesan dari individu. Rentang respon kemarahan individu
dimulai dari respon normal (asertif) sampai pada respon yang tidak normal
(maladaptif), seperti gambar berikut ini :

Rentang respon

Respons adaptif Respons maladaptif

Asertif frustasi pasif agresif amuk/PK

5
Keterangan :
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan
melarikan diri/respon melawan dan menentang sampai respon maladaptif
yaitu agresif-kekerasan.
a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan
orang lain dan memberikan orang lain ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan
tidak dapat menemukan altenatif.
c. Pasif : perilaku dimana seseorang tidak mampu mengungkapkan
perasaan sebagai suatu usaha mempertahankan haknya.
d. Agresif : memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati
orang lain dengan ancaman memberi kata-kata ancaman tanpa niat
melukai orang lain.
e. Amuk/PK : Perilaku Kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain
secara menakutkan, memberikan kata-kata ancaman melukai/merusak
secara serius. Klien tidak mampu mengendalikan diri atau hilang
kontrol.
Azizah (2016)

3. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2013), masalah Perilaku Kekerasan dapat disebabkan
oleh adanya Faktor Predisposisi (faktor yang melatarbelakangi
munculnya masalah dan faktor presipitasi /faktor yang memicu adanya
masalah).
1. Faktor Biologis
a) Faktor Neurologi
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti synap,
neurotransmitter, dendrite, axon terminalis mempunyai peran
memefasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan
yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif.

6
b) Faktor Genetik
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
potensi perilaku agresif.
c) Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak
(epinephrin, norepinephrin, dopamin, asetilkolin, dan
serotonin). Peningkatan hormon androgen dan norepinephrin
serotonin dan GABA pada cairan cerebrospinal vertebra
dapatmenjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
d) Teori Dorongan Naluri (Instinctual Drive Theory)
Teori ini menyatakan bahwa Perilaku Kekerasan disebabkan
oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2. Faktor Psikologis
a) Teori Psikonalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat
tumbuh kembang seseorang (life span history). Teori ini
menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia
0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan
pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung
mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa
sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaannya pada
lingkungannya.
b) Imitation, Modeling, and Information Processing Theory
Menurut teori ini Perilaku Kekerasan bisa berkembang dalam
lingkungan yang mentolerir kekerasan. Adanya contoh model
dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut.
c) Teori Belajar (Learning Theory)
Menurut teori ini Perilaku Kekerasan merupakan hasil belajar
dari individu terhadap lingkungan terdekanya. Ia mengamati
bagaimana respon ayah saat menerima kekecewaan dan
mengamati bagaimana respon ibu saat marah atau sebaliknya.
Ia juga belajar bahwa agresivitas lingkungan sekitar menjadi

7
peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya
eksis dan patut untuk diperhitungkan.
d) Teori Eksistensi (Eksistensi Theory)
Bertindak sesuai perilaku adalah kebutuhan dasar manusia
apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui
perilaku konstruksi maka individu akan memenuhi kebutuhan
melalui perilkau destruktif.
3. Faktor Sosial Kultural
a) Teori Lingkungan (Social Environment Theory)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas secara
diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti
terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
Perilaku Kekerasan diterima.
b) Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Perilaku Kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun
melalui proses sosisaliasi.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan Perilaku Kekerasan seringkali
berkaitan dengan :
1. Ekspresi diri, Ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.
2. Ekspresi diri tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan membiasakan diri berdialog untuk menyelesaikan
masalah.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat,
alkoholisme, dan tidak mampu mengntrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangann
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan keluarga.

8
Azizah (2016)
c) Faktor Risiko
NANDA (2016) menyatakan faktor-faktor resiko dari Risiko Perilaku
Kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan
Risiko Perilaku Kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed
violence).
1. Risiko Perilaku Kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-
directed violence).
a) Usia ≥ 45 tahun.
b) Usia 15-19 tahun.
c) Isyarat tingkah laku (menulis catatan cinta yang sedih,
menyatakan pesan beranda kemarahan kepada orang tua yang
telah menolak individu tersebut, dll).
d) Konflik mengenai orientasi seksual.
e) Konflik dalam hubungan interpersonal.
f) Pengangguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan).
g) Terlibat dalam tindakan seksual autoerotik.
h) Sumber daya personal yang tidak memadai.
i) Status perkawinan (sendiri, menjanda, bercerai).
j) Isu kesehatan mental (depresi, psikosis, gangguan kepribadian,
penyalahgunaan zat).
k) Pekerjaan (profesional, eksekutif, administrator atau pemilik
bisnis, dll).
l) Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu
yang bersifat kekerasan atau konfliktual).
m) Isu kesehatan fisik.
n) Gangguan psikologis.
o) Isolasi sosial.
p) Ide bunuh diri.
q) Rencana bunuh diri.
r) Riwayat upacara bunuh diri berulang.
s) Isyarat verbal (membicarakan kematian, menanyakan tentang
dosis mematikan suatu obat, dll).

9
2. Risiko Perilaku Kekerasan terhadap orang lain (risk for other
directed violence).
a) Akses atau ketersediaan senjata.
b) Alterasi (gangguan) fungsi kognitif.
c) Perilaku kejam terhadap binatang.
d) Riwayat kekerasan masa kecil, baik secara fisik, psikologis
maupun seksual.
e) Riwayat penyalahgunaan zat.
f) Riwayat dalam menyaksikan kekerasan dalam keluarga.
g) Implusif.
h) Pelanggaran atau kejahatan kendaraan bermotor (pelanggaran
lalu lintas, penggunaan kendaraan bermotor untuk
melampiaskan amarah).
i) Bahasa tubuh negatif (kekakuan, mengepalkan tinju/pukulan,
hiperaktivitas, dll).
j) Gangguan neurologis (trauma kepala, gangguan serangan,
kejang, dll).
k) Intoksikasi patologis.
l) Riwayat melakukan kekerasan tidak langsung (kencing
dilantai, menyobek objek di dinding,melempar barang,
memecahkan kaca, membanting pintu, dll).
m) Pola Perilaku Kekerasan terhadap orang lain (menendang,
memukul, menggigit, mencakar, upaya pemerkosaan,
memperkosa, pelecehan seksual, mengencingi orang, dll).
n) Pola ancaman kekerasan (ancaman secara verbal terhadap
objek atau orang lain , menyumpah serapah, gestur atau catatan
mengancam, ancman seksual, dll).
o) Pola Perilaku Kekerasan antisosial (mencuri, meminjam
dengan memaksa, penolakan terhadap medikasi, dll).
p) Komplikasi perinatal.
q) Komplikasi prenatal.
r) Menyalakan api.
s) Gangguan psikosis.
t) Perilaku bunuh diri.

10
d) Penilaian Terhadap Stressor
Penilaian Terhadap Stressor melibatkan makna dan pemahaman
dampak dari situasi stress bagi individu, Mencakup kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan respon sosial. Respon perilaku adalah hasil dari
respon emosional dan fisiologis, serta analisis kognitif seseorang
tentang situasi stress. Azizah (2016) menggambarkan 4 fase dari respon
perilaku individu untuk menghadapi stress yaitu :
1. Perilaku yang mengubah lingkungan stress atau memungkinkan
individu untuk menghadapi stress.
2. Perilaku yang memungkinkan individu untuk mengubah keadaan
eksternal.
3. Perilaku intrapsikis yang berfungsi untuk mempertahankan
rangsangan emosional yang tidak menyenangkan.
4. Perilaku intrapskis yang membantu untuk berdamai dengan
masalah dan gejala sisa dengan penyesuaian internal.

e) Sumber koping
Menurut stuart & laraia (2005) sumber koping dapat berupa aset
ekonomi, kemampuan dan keterampilan, teknik defensif, dukungan
sosial, dan motivasi. Hubungan antara individu, kelurga, kelompok dan
masyarakat sangat berperan penting pada saat ini. Sumber koping
lainnya termsuk kesehatan dan energi, dukungan spiritual, keyakinan
positif, keterampilan menyelesaikan masalah, sumber daya sosial,
material dan kesejahteraan fisik. Keyakinan spiritual dan melihat diri
positif dapat berfungsi sebagai dasar harapan dan dapat
mempertahankan usaha seseorang mengatasi hal yang paling buruk.
Keterampilan pemecahan masalah termasuk kemampuan untukmencari
informasi, mengidentifikasi masalah, keterampilan sosial, memfasilitasi
penyelesaian masalah yang melibatkan orang lain, meningkatkan
kemungkinan untuk mendapatkan kerjasama dan dukungan dari orang
lain.

11
f) Mekanisme koping
Mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi
diri menurut Azizah (2016) antara lain:
1) Sublimasi, yaitu menerima suatu sasaran pengganti yang mulia
artinya dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami
hambatan penyaluran secara normal.
2) Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya
atau keinginannya yang tidak baik.
3) Represi, yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau
membahayakan masuk ke alam sadar.
4) Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila di
ekspresikan dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan.
5) Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan pada obyek yang tidak begitu berbahaya.

4. Tanda dan gejala


Tanda dan gejala Perilaku Kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan
didukung dengan hasil observasi. (Sutejo, 2019)
a. Data subjektif
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata-kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/melukai
b. Data objektif
1) Wajah merah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7) Mondar mndir
8) Melempar atau memukul benda/orang lain

12
5. Patofisiologi
Stress, cemas, harga diri rendah dan bermasalah dapat menimbulkan
marah. Respon terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal
maupun internal. Secara eksternal ekspresi marah dapat berupa perilaku
konstruktif maupun destruktif. Mengekspresikan rasa marah dengan
perilaku konstruktif dengan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima
tanpa menyakiti hati orang lain. Selain akan menimbulkan rasa lega,
ketegangan pun akan menurun dan akhirnya perasaan marah dapat teratasi,
rasa marah diekspresikan secara desturktif, misalnya dengan perilaku
agresif, menantang biasanya cara tersebut justru menjadikan masalah
berkepanjangan dan dapat menimbulkan amuk yang ditujukan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan (yosep, 2011)
Perilaku submisif seperti menekan perasaan marah karena merasa tidak
kuat, individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa
marahnya, sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan
menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, pada suatu saat dapat
menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pasa suatusaat dapat
menimbulkan kemarahan yang destruktif yang dianjurkan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan (Dermawan & Rusdi, 2013).

6. Proses keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan


a. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri dari pengkumpulan data dan perumusan kebutuhan
atau masalah klien. Data yang dikumpulkan melalu data biologis,
psikologid, sosial, spiritual.
1) Identitas klien
Melakukan pengenalan BHSP dan kontrak dengan klien tentang :
nama mahasiswa, nama panggilan, lalu dilanjutkan dengan
melakukan pengkajian dengan nama klien, nama panggilan klien,
tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik yang akan dibicarakan.
Tanyakan dan catat usia dan no RM, tanggal pengkajian dan
sumber data yang didapat.

13
2) Alasan Masuk
Penyebab klien atau keluarga datang, apa yang menyebabkan klien
melakukan kekerasan, apa yang klien lakukan dirumah, apa yang
sudah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah.
3) Faktor Predisposisi
Menanyaka apakah keluarga mengalami gangguan jiwa, bagaimana
hasil pengobatan sebelumnya, apakah pernah melakukan atau
mengalami penganiayaan fisik, seksual, pengolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan tindakan kriminal.
Menanyakan kepada klien dan keluarga apakah ada yang
mengalami gangguan jiwa, menanyakan kepada klien tentang
pengalaman yang tidak menyenangkan. Pada klien dengan Risiko
Perilaku Kekerasan faktor predisposisi, faktor presipitasi klien dari
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, adanya riwayat
anggota keluarga yang gangguan jiwa dan adanya riwayat
penganiayaan.
4) Pemeriksaan Fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan
tanyakan apakah ada keluhan fisik yang dirasakan klien, pada klien
dengan Risiko Perilaku Kekerasan tekanan darah meningkat,
respirasi meningkat, nafas dangkal, muka memerah, tonus otot
meningkat, dan dilatasi pupil.
5) Psikososial
a) Genogram
Genogram menggambarkan klien dengan keluarga, dilihat dari
pola komunikasi, pengambilan keputusan, dan pola asuh. Pada
klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan perlu dikaji pola asuh
keluarga dalam menghadapi klien.
b) Konsep Diri
1. Gambaran diri
Status dan posisi klien sebelm klien dirawat, kepuasan klien
terhadap status posisinya, kepuasan klien sebagai laki-laki
atau perempuan, keunikan yang dimiliki sesuai dengan jenis
kelaminnyadan posisinya. Klien dengan Perilaku Kekerasan

14
biasanya identitas dirinya ialah moral yang kurang karena
menunjukkan sikap pendendam, pemarah dan bermusuhan.
2. Fungsi Peran
Tugas atau peran klien dalam keluarga, pekerjaan atau
kelompok masyarakat, kemampuan klien dalam
melaksanakan fungsi atau perannyabahan klien saat klien
sakit dan dirawat, bagaimana perasaan klien akibat
perubahan tersebut, fungsi peran pada klien dengan perilaku
kekerasan terganggu karena adanya perilaku yang
menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
3. Ideal Diri
Klien dengan perilaku kekerasan jika kenyataannya tidak
sesuai dengan kenyataan maka ia cenderung menunjukkan
amarahnya, serta untuk pengkajian klien perilaku kekerasan
ideal diri harus dilakukan pengkajian yang berhubungan
dengan harapan klien terhadap keadaan tubuh yang ideal,
posisi, tugas, peran dalam keluarga, perkerjaan atau
sekolah, harapan klien terhadap lingkungan, harapan klien
terhadap pernyakitnya, bagaimana jika kenyataannya tidak
sesuai dengan harapannya.
4. Harga Diri
Harga diri adalah penilaian tentang nielai personal yang
diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku
seseorang sesuai dengan ideal dirinya.
c) Hubungan Sosial
Hubungan sosial pada Perilaku Kekerasan terganggu karna
adanya risiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan serta memiliki amarah yang tidak dapat terkontrol,
selanjutnya dalam pengkajian dilakukan obervasi mengenai
adanya hubungan kelompok apa saja yang diikuti dalam
masyarakat, keterlibatan atau peran serta dalam
kelompok/masyarakat, hambatan dalam berhubungan dengan
orang lain, minat berinteraksi dengan orang lain.

15
d) Spiritual
Nilai dan Keyakinan, kegiatan ibadah/menjalankan keyakinan,
kepuasan dalam menjalankan keyakinan
6) Status Mental
a) Penampilan
Melihat penampilan klien dari ujungrambut sampai ujung kaki
tidak rapi, penggunaan pakaian tidak sesuai, cara berpakaian
tidak seperti biasanya, kemampuan klien dalam berpakaian
kurang, dampak ketidakmampuan berpenampilan
baik/berakaian terhadap status psikologis klien (defisit
perawatan diri). Pada klien Perilaku Kekerasan biasanya klien
tidak mampu merawat penampilannya, biasanya penampilan
tidak rapi, penggunaan pakaia tidak sesuai, cara berpakaian
tidak seperti biasanya, rambut kotor, rambut seperti tidak
pernah disisir, gigi kotor dan kuning, kuku panjang dan hitam.
b) Pembicaraan
Amati pembicaraan klien apakan cepat, keras, terburu-buru,
gagap sering terhenti/blocking, apatis, lambat, membisu,
menghindar, tidak mampu memulai pembicaraan. Pada klien
Perilaku Kekerasan cara bicara klien kasar, suara tinggi,
membentak, ketus, bicarra dengan kata-kata kotor.
c) Aktivitas Motorik
Agresif, menyerang diri sendiri, orang lain, maupun
menyerang objek yang ada disekitarnya. Klien Perilaku
Kekerasan terlihat tegang dan gelisah, muka merah, jalan
mondar-mandir.
d) Afek dan Emosi
Untuk klien Perilaku Kekerasan Afek dan Emosinya labil,
emosi klien cepat berubah-ubah cenderung mudah mengamuk,
membanting barang-barang/melukai diri sendiri, orang lain,
maupun objek sekitar dan berteriak-teriak.
e) Interaksi Selama Wawancara
Klien Perilaku Kekerasan selama interaksi wawancara
biasanya mudah marah, defensif bahwa pendapatnya paling

16
benar, curiga, sinis, dan menolak dengan kasar, bermusuhan
dengan kata-kata atau pandangan yang tidak bersahabat atau
tidak ramah. Curiga dengan menunjukkan sikap atau peran
tidak percaya kepada pewawancara dan orang lain.
f) Presepsi/Sensori
Pada klien Perilaku Kekerasan risiko untuk mengalami
Presepsi Sensori sebagai penyebabnya.
g) Proses Pikir
1. Proses Pikir (arus dan bentuk pikir).
Otistik (Autisme) adalah bentuk pemikiran yang berbentuk
fantasi atau lamunan untuk memuaskan keinginan yang
tidak dapat dicapainya.
2. Isi Pikir
Pada klien dengan Perilaku Kekerasan klien memiliki
pemikiran curiga, dan tidak percaya kepada orang lain dan
merasanya dirinya tidak aman.
h) Tingkat Kesadaran
Tidak sadar, bingung, dan apatis. Terjadi disorientasi orang,
tempat, dan waktu. Klien dengan Perilaku Kekerasan tingkat
kesadarannya bingung sendiri untuk menghadapi kenyataan
dan mengalami kegelisahan.
i) Memori
Klien dengan Perilaku Kekerasan masih dapat mengingat
kejadian jangka pendek maupu panjang.
j) Tingkat Konsentrasi
Tingkat Konsetrasi klien Perilaku Kekerasan mudah beralih
dari suatu objek lainnya. Klien selalu menatap penuh
kecemasan tegang dan kegelisahan.
k) Kemampuan Penilaian/Pengambil Keputusan
Klien Perilaku Kekerasan tidak mampu mengambil keputusan
yang konstruktif dan adaptif.
l) Daya Tilik
Klien mengingkari penyakit yang dideritanya, merasa tidak
perlu pertolongan atau klien menyangkal keadaan penyakitnya,

17
menyalahkan hal-hal diluar dirinya yang menyebabkan
timbulnya penyakit atau masalah sekarang.

7. Pohon masalah
Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Effect)

Risiko Perilaku Kekerasan (Core Problem)

Perilaku Kekerasan (Causa)

(Sutejo, 2019)

8. Diagnosis keperawatan
a. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
b. Risiko Perilaku Kekerasan
c. Perilaku Kekerasan

9. Nursing care plan (NCP)


Rencana keperawatan pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan menurut
Sutejo (2019) :
a. Diagnosa keperawatan : Risiko perilaku kekerasan
Tujuan Umum
klien dan keluarga mampu mengatasi atau mengendalikan Risiko
Perilaku Kekerasan.
Tujuan Khusus 1
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria Evaluasi :
Klien menunjukkan tanda-tanda percaya kepada perawat melalui :
1) Ekspresi wajah cerah, tersenyum
2) Mau berkenalan

18
3) Ada kontak mata
4) Bersedia menceritakan perasaannya
5) Bersedia mengungkapkan masalah
Intervensi :
Bina hubunga saling percaya dengan mengemukakan prinsip
komunikasi terapeutik :
1) Mengucpkan salam terapeutik. Sapa klien dengan ramah, baik
verbal ataupun non verbal.
2) Berjaat tangan dengan klien.
3) Perkenalkan diri dengan sopan.
4) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
klien.
5) Jelaskan tujuan pertemuan.
6) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
klien.
7) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
8) Beri perhatian kepada kliendan perhatian kebutuhan dasar klien.
Rasional :
Kepercayaan diri klien merupaka hal yang akan memudahkan perawat
dalam melakukan pendekatan keperawatan dan intervensi selanjutnya
terhadap klien.

Tujuan Khusus 2
Klien dapat mengidentifikasi penyebab Perilaku Kekerasan yang
dilakukannya.
Kriteria evaluasi :
Setelah 3x intervensi, klien dapat :
1) Menceritakan penyebab Perilaku Kekerasan yang dilakukannya
2) Menceritakan penyebab perasaan jengkel/kesal, baik dari diri
sendiri maupun lingkungannya.
Intervensi :
Bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya :
1) Diskusikan bersama klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal
atau rasa jengkelnya.

19
2) Dengarkan penjelasan klien tanpa menyela atau memberi penilaia
pada setiap ungkapan perasaan klien.
Rasioal :
Menentukan mekanisme koping yang dimiliki oleh klien dalam
menghadapi masalah. Selain itu, juga sebagai langkah awal dalam
menyusun strategi selanjutnya.

Tujuan Khusus 3
Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda Perilaku Kekerasan
Kriteria Evaluasi :
Setelah 3x intervensi klien dapat menceritakan tanda-tanda Perilaku
Kekerasan secara :
1) Fisik
Mata merah, tangan mengepal, ekspresi tegang dan lain-lain.
2) Emosional
Perasaan marah, jengkel, bicara kasar.
3) Sosial
Bermusuhan yang dialami saat terjadi Perilaku Kekerasan.
Intervensi :
Membantu klien mengungkapkan tanda-tanda Perilaku Kekerasan yang
dialaminya :
1) Diskusinkan dan motivasi klien untuk menceritakan kondisi fisik
saat terjadi Perilaku Kekerasan.
2) Diskusikan dan motivasi klien untuk menceritakan kondisi
emosinya saat terjadi Perilaku Kekerasan.
3) Diskusikan dan motivasi klien untuk menceritakan kondisi
psikologis saat terjadi Perilaku Kekerasan.
4) Diskusikan dan motivasi klien untuk menceritakan kondisi
hubungan dengan orang lain saat terjadi Perilaku Kekerasan.
Rasional :
Deteksi dini dapat mencegah tindakan yang bisa membahayakan klien
dan lingkungan sekitar.

20
Tujuan Khusus 4
Klien dapat mengidentifikasi jenis Perilaku Kekerasan yang pernah
dilakukannya.
Kriteria Evaluasi :
Setelah 3x intervensi, klien dapat menjelaskan :
1) Jenis-jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukannya
2) Perasaannya saat melakukan kekerasan
3) Efektivitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah.
Intervensi :
1) Diskusikan dengan klien seputar Perilaku Kekerasan yang
dilakukannya selama ini.
2) Motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindak kekerasan yang
selama ini pernah dilakukannya.
3) Motivasi klien menceritakan perasaan klien setelah tindak
kekerasan tersebut terjadi.
4) Diskusikan apakah dengan tindak kekerasan yang dilakukannya,
masalah yang dialami teratasi.
Rasional :
Melihat mekanisme koping klien dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi.

Tujuan Khusus 5
Klien dapat mengidentifikasi akibat dari Perilaku Kekerasan.
Kriteria Evaluasi :
Setelak 3x intervensi, klien dapat menjelaskan akibat yang timbul dari
tindak kekerasan yang dilakukannya :
1) Diri sendiri
Luka, dijauh teman, dll.
2) Orang lain/keluarga
Luka, tersinggung, ketakutan, dll.
3) Linkungan
Barang atau benda rusak, dll.

21
Intervensi :
Diskusikan dengan klien akibat negatif atau kerugian dari cara atau
tindakan kekerasan yang
dilakukan pada :
1) Diri sendiri
2) Orang lain/keluarga
3) Lingkungan
Rasional :
Membantu klien melihat dampak yang ditimbulkan akibat Perilaku
Kekerasan yang dilakukan klien.

Tujuan Khusus 6
Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif atau cara-cara sehat
dalam mengungkapkan kemarahan.
Kriteria Evaluasi :
Setelah 3x intervensi, klien dapat menjelaskan cara-cara sehat dalam
mengungkapkan marah.
Intervensi :
Diskusikan dengan klien seputar :
1) Apakah klien mau mempelajari cara baru mengungkapkan marah
yang sehat.
2) Jelaskan beberapa alternatif pilihan untuk mengungkapkan
kemarahan selain perilaku kekerasan yang diketahui klien.
3) Jelaskan cara-cara sehat untuk mengungkapkan kemarahan :
a) Cara fisik
Nafas dalam, pukul bantal atau kasur, olahraga.
b) Verbal
Mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal kepada orang
lain.
c) Sosial
Latihan Teknik Asertif dengan orang lain.
d) Spiritual
Sembahyang/sholat, doa, dzikir, meditasi, dsb sesuai dengan
keyakinan agamanya masing-masing.

22
Rasional :
Menurunkan perilaku yang destruktif yang berpotensi mencederai klien
dan lingkungan sekitar.

Tujuan khusus 7
Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol Risiko Perilaku
Pekerasan.
Kriteria Evaluasi :
Setelah 3x intervensi, klien dapat memperagakan cara mengontrol
Risiko Perilaku Kekerasan secara fisik, verbal, dan spiritual dengan
cara berikut:
1) Fisik (Teknik relaksasi)
Tarik nafas dalam, memukul bantal/kasur.
2) Teknik asertif/ Verbal
Mengungkapkan perasaan kesal/jengkel pada orang lain tanpa
menyakiti
3) Spiritual
Zikir/doa, meditasi sesuai agamanya.
Intervensi :
1) Diskusikan cara yang mungkin dipilih serta anjurkan klien memilih
cara yang mungkin diterapkan untuk mengungkapkan
kemarahannya.
2) Latih klien memperagakan cara yang dipilih dengan melaksanakan
cara yang dipilih.
3) Jelaskan manfaat cara tersebut.
4) Anjurkan klien menirukan peragaan yang sudah dilakukan.
5) Beri penguatan pada klien, perbaiki cara yang masih belum
sempurna.
6) Anjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatihsaat
marah/jengkel.
Rasional :

23
Keinginan untuk marah yang tidak bisa diprediksi waktunya serta siapa
yang akan memicunya meningkatkan kepercayaan diri klien serta
asertifitas (ketegasan) klien saat marah/jengkel.
Tujuan Khusus 8
Klien mendapat dukungan keluarga untuk mengontrol Risiko Perilaku
Kekerasan.
Kriteria Evaluasi :
Setelah 3x intervensi, keluarga mampu :
1) Menjelaskan cara merawat klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan.
2) Mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien dengan risiko
perilaku kekerasan.
Intervensi :
1) Diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung
klien dalam mengatasi Risiko Perilaku Kekerasan.
2) Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi
Risiko Perilaku Kekerasan.
3) Jelaskan pengertian, penyebab, akibat, dan cara merawat klien
risiko perilaku kekerasan yang dapat dilaksanakan oleh keluarga.
4) Peragakan cara merawat klien (menangani PK)
5) Beri kesempetan keluarga untuk memperagakan ulang cara
perawatan terhadap klien.
6) Beri pujian kepada keluarga setelah peragaan.
7) Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan.
Rasional :
Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi klien dan
merupakan bagian penting dari rehabilitasi klien.

Tujuan Khusus 9
Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan.
Kriteria Evaluasi :
Setelah 3x intervensi, klien bisa menjelaskan :
1) Manfaat minum obat
2) Kerugian tidak minum obat

24
3) Nama obat
4) Dosis yang diberikan kepadanya
5) Waktu pemakaian
6) Cara pemakaian
7) Efek yang dirasakan
8) Klien menggunakan obat sesuai program
Intervensi :
1) Jelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur dan kerugian
jika tidak menggunakan obat.
2) Jelaskan 6 benar kepada klien :
a) Jenis obat (nama, warna, dan bentuk obat).
b) Dosis yang tepat untuk klien.
c) Waktu pemakaian.
d) Cara pemakaian.
e) Efek yang akan dirasakan oleh klien.
f) Dokumentasi
3) Anjurkan klien untuk :
a) Minta dan menggunakan obat tepat waktu.
b) Lapor ke Perawat/Dokter jika mengalami efek yang tidak
biasa.
4) Beri pujian terhadap kedisiplinan klien menggunakan obat.
Rasional :
1) Menyukseskan program pengobatan klien.
2) Obat dapat mengontrol Risiko Perilaku Kekerasan klien dan dapat
membantu penyembuhan klien.
3) Mengontrol kegiatan klien minum obat dengan mencegah klien
putus obat.

10. Strategi Pelaksanaan (SP) Berdasarkan Pertemuan


Pertemuan 1
a. Identifikasi penyebab, tanda dan gejala, PK yang dilakukan, dan akibat
PK.
b. Jelaskan cara mengontrol PK : Fisik, Obat, Verbal, Spiritual

25
c. Latih cara mengontrol PK secara fisik : Tarik Nafas Dalam dan pukul
bantal kasur.
d. Masukkan pada jadwalkegiatan untuk latihan fisik.

Pertemuan 2
a. Evaluasi kegiatan latihan fisik, dan beri pujian.
b. Latih cara mengontrol PK dengan obat (jelaskan 6 benar : jenis, dosis,
frekuensi, cara dan kontinuitas minum obat).
c. Masukkan pada jadwal kegiatan unutk latihan fisik dan minum obat.

Pertemuan 3
a. Evaluasi kegiatan latihan fisik dan obat, beri pujian.
b. Latih cara mengontrol PK secara verbal : (mengungkapkan, meminta,
dan menolak dengan baik dan benar).
c. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum obat dan
verbal.

Pertemuan 4
a. Evaluasi kegiatan latihan fisik, obat dan verbal, beri pujian.
b. Latih cara mengontrol PK secara spiritual (2 kegiatan).
c. Masukkan pada jadwal untuk latihan fisik, minum obat, verbal dan
spiritual.

Pertemuan 5
a. Evaluasi kegiatan latihan fisik, minum obat, verbal dan spiritual, beri
pujian.
b. Nilai kemampuan yang telah mandiri.
c. Nilai apakah PK terkontrol.

11. Hasil Penelitian Terkait Teknik Relaksasi Nafas Dalam


1. Menurut hasil penelitian Sutinah, Rika Safitri, dan Nofrida Saswati pada
tahun 2019 dengan judul “Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Berpengaruh Terhadap Mengontrol Marah Klien Skizofrenia”
tujuan penelitian ini untuk mengetahui “Pengaruh Teknik Relaksasi

26
Nafas Dalam Terhadap Mengontrol Marah Klien Skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi”. Desain penelitian ini adalah pra
eksperimen dengan rancangan Pretest Postest One Group Design dalam
memperlihatkan nilai kemampuan mengontrol marah pada klien risiko
perilaku kekerasan sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam
dengan jumlah sampel sebanyak 17 orang, dapat ditarik kesimpulan
yang menunjukkan kemampuan responden mengontrol marah sebelum
dilakukan relaksasi nafas dalam di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Jambi didapatkan nilai mean 13,0588. Kemampuan responden
mengontrol marah sesudah dilakukan relaksasi nafas dalam di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi didapatkan nilai rata-rata
22,0588.Hasil uji pada kelompok pretest –posttest diketahui nilai rata-
rata (mean) adalah -9,00000 yang menunjukkan nilai sig. 0,000 dengan
derajat kemaknaan 0,05. Hasil sig. 0,000 < 0,05 yang artinya ada
perbedaan mengontrol marah sebelum dan sesudah dilakukan relaksasi
nafas dalam terhadap mengontrol marah pada klien skizofrenia.

2. Menurut penelitian I Nengah Sumirta, I Wayan Githa, dan Ni Nengah


Sariasih pada tahun 2013 dengan judul “Relaksasi Nafas Dalam
Terhadap Pengendalian Marah Klien dengan Perilaku Kekerasan”
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi
nafas dalam pengendalian marah klien dengan perilaku kekerasan, jenis
penelitian ini adalah pra experimental dengan rancangan penelitian One
Group Pre Test – Post Test Design, teknik sampling yang digunakan
adalah Total sampling sebanyal 34 responden. Dengan kriteria inklusi
pasien perilaku kekerasan, pasien yang mudah marah dan pasien yang
sudah kooperatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
mengendalikan marah pada pasien dengan perilaku kekerasan sebelum
dilakukan tindakan teknik relaksasi nafas dalam adalah pada tingkat
rendah yaitu sebanyak 29 responden atau 85% dan sesudah dilakukan
tindakan teknik relaksasi nafas dalam pada tingkat sedang yaitu 24
responden atau 71% yang berarti ada pengaruh yang signifikan terapi
relaksasi nafas dalam terhadap pengendalian marah klien dengan

27
perilaku kekerasan di ruang Bratasena RSJ Provinsi Bali pada Tahun
2013.

3. Menurut penelitian Ria Desinta pada tahun 2019 dengan judul “Upaya
Relaksasi Nafas Dalam untuk Mengontrol Marah pada Pasien
Risiko Perilaku Kekerasan” tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui efektifitas teknik relaksasi nafas dalam dapat mengatur
emosi dan menjaga keseimbangan emosi, sehingga marah tidak
berlebihan. Penelitian ini menggunakan design studi kasus dengan
jumlah subyek 3 pasien dengan risiko perilaku kekerasan, Metode
pengumpulan secara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Instrumen
menggunakan format asuhan keperawatan jiwa dan standar operasional
prosedur (SOP) teknik relaksasi nafas dalam. Hasil dari penelitian
dengan metode studi kasus dengan jumlah subyek sejumlah 3 responden
menunjukan sudah mampu melakukan latihan relaksasi nafas dalam
serta pasien terlihat tenang dan rileks yang berarti Teknik relaksasi nafas
dalam tersebut bermanfaat untuk mengontrol marah dan menciptakan
rasa nyaman.

28
BAB III

METODE PENULISAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitan kepustakaan (library research),
yaitu serangkaian penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan
data pustaka, atau penelitian yang obyek penelitiannya digali melalui
beragam informasi kepustakaan (buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran,
majalah, dan dokumen). Penelitian kepustakaan atau kajian literatur
(literature review, literature research) merupakan penelitian yang mengkaji
atau meninjau secara kritis pengetahuan, gagasan, atau temuan yang terdapat
di dalam tubuh literatur berorientasi akademik (academic-oriented literature).
Desain penelitian ini akan melakukan kajian literatur tentang Penerapan
Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan.

B. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh bukan dari pengamatan langsung.
Akan tetapi data tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti-peneliti terdahulu. Sumber data sekunder yang dimaksud berupa
buku dan laporan ilmiah primer atau asli yang terdapat di dalam artikel atau
jurnal (tercetak dan/atau non-cetak).

C. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode
pengumpulan data dengan mencari atau menggali data dari literatur yang
terkait dengan topik penelitian Penerapan Teknik Relaksasi Nafas Dalam
pada Pasien Dengan Risiko Perilaku Kekerasan. Sumber data kajian ini
berasal dari jurnal nasional dengan metode pencarian melalui google scholar
menggunakan kata kunci deep breathing relaxation, mengontrol marah dan
risiko perilaku kekerasan.

29
D. Prosedur Penelitian
prosedur penelitian pada penelitian literatur review adalah kompilasi
dari beberapa penelitian setelah itu menganalisis, menelaah dan
menyimpulkan sehingga mendapatkan kesimpulan mengenai studi literatur.
Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Organize : mengorganisasi literarur yang akan di review atau bagaimana
mengumpulkan jurnal sehingga mendapatkan jurnal yang sesuai seperti
mencari ide, gagasan, tujuan umum dan kesimpulan literatur dengan
membaca abstrak, paragraf, pendahuluan dan kesimpulannya.
2. Synthesize : Menyatukan hasil orgnisasi literatur menjadi satu ringkasan.
Menyatukan hasil tela’ah jurnal kedalam tabel deskriptif yang meliputi :
judul dan tahun, pengarang, tujuan, metode dan hasil penelitian.
Selanjutnya analisis secara mendalam hasil temuan artikel, dan apakah
artikel yang ditemukan menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian yang
telah ditetapkan.
3. Identify : Mengindentifikasi isi-isi kontroversi dalam literatur. Peneliti
membandingkan artikel temuan peneliti, artikel utama yang menjawab
pertanyaan peneliti, dengan artikel yang kontra (bila ditemukan).
4. Formulate : Merumuskan petanyaan yang membutuhkan penelitian lebih
lanjut.

5. Kriteria Artikel
Kriteria Inklusi
Tahun Terbit Tahun jurnal yang di gunakan pada tahun 2009-2019
Bahasa Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
Jenis Jurnal Original artikel penelitian yang dapat diakses full text
Keyword Tuborculosis, batuk efektif
Judul Jurnal Penerapan batuk efektif pada pasien tuberkulosis
dengan masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas

30
6. Etika Penelitian
1. Misconduct : seorang peneliti tidak boleh melakukan tindak penipuan
dalam menjalankan proses penelitian
2. Research fraud : memalsukan data terutama di dalam kuisioner
3. Plagiarism : memalsukan hasil penelitian, mengutip sumber tanpa
diberikan keterangan sumber.

31

Anda mungkin juga menyukai