Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang
lain. (Keliat, Ana Budi. Dkk, 2009). Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala
yang sering terjadi pada pasien gangguan jiwa (Skizofrenia). Pada perilaku kekerasan
ditandai dengan melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, seperti
mencederai diri sendiri orang lain, dan lingkungan. Selain itu dalam psikologis,
seseorang yang mengalami gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan dapat diketahui
dengan emosi yang tinggi, marah dan mudah tersinggung pada orang lain. Pada spiritual
dirinya
merasa sangat berkuasa dan tidak mempunyai moral (Keliat,2012).

Menurut World Health Organitation (WHO) tahun 2013 ada sekitar 450
juta orang di dunia mengalami gangguan jiwa. Prevalensi klien perilaku kekerasan
diseluruh dunia diderita kira-kira 24 juta orang. Lebih dari 50 % klien perilaku
kekerasan tidak mendapatkan penanganan. Dan menurut data Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2010, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai
2,5 juta yang terdiri dari pasien perilaku kekerasan. Diperkirakan sekitar 60% pasien
dengan gangguan jiwa menderita perilaku kekerasan di Indonesia (Wirnata, 2012).

Menurut Izzah (2018), angka kejadian pasien gangguan jiwa di Jawa Timur
yang tertinggi yaitu gaduh gelisah. Dalam 5 tahun terakhir terdapat 771 orang laki-laki
dan 348 perempuan. Dari survey pendahuluan yang dilakukan oleh Izzah (2018), pada
bulan September 2018 di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya
didapatkan jumlah pasien dalam tiga bulan terakhir, yaitu : bulan Juli 2018 berjumlah
184 pasien, bulan Agustus 2018 berjumlah 200 pasien, bulan September berjumlah 205
pasien. Dengan total keseluruhan 3 bulan terakhir berjumlah 589 pasien gangguan jiwa.
Pada periode bulan Desember 2018-Februari 2019 IGD Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya menerima kunjungan 419 pasien jiwa, 283 pasien diantaranya dengan riwayat
perilaku kekerasan, baik karena membahayakan diri sendiri maupun membahayakan
lingkungan, 111 pasien dengan halusinasi, 10 pasien dengan riwayat percobaan bunuh
diri, 10 pasien dengan isos. Pasien yang berkunjung ke IGD Rumah Sakit Jiwa Menur
tersebut terdiri dari pasien baru maupun pasien lama yang pernah berobat sebelumnya.

Penatalaksanaan pada pasien perilaku kekerasan di Instalasi Gawat Darurat


Rumah Sakit Jiwa Menur yaitu perawat melakukan evaluasi keadaan pasien, tenangkan
pasien dengan sikap manusiawi namun tetap waspada dengan mengajak bicara tentang
perasaan, harapan dan keinginannya. Hargai hak-hak yang positif dari diri pasien dan
upayakan agar pasien tidak merasa terancam. Bila pendekatan diatas tidak berhasil
lakukan tindakan fiksasi fisik, setelah itu observasi pemeriksaan fisik dengan
melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Perubahan-perubahan yang terjadi, dapat
menentukan skala prioritas penanganan berdasarkan skoring yang digunakan yaitu
RUFA (Respon Umum Fungsi Adaptasi). RUFA / GAFR merupakan modifikasi dari
skor GAF, dimana keperawatan dalam memberikan intervensi kepada pasien berfokus
pada respons dan ada tiga kategori intensif dari RUFA perilaku kekerasan yaitu intensif
I, II, dan III.

Pelaksanaan RUFA di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Menur


Surabaya sebenarnya sudah terlaksana namun belum optimal dalam pendokumentasian
di lembar catatan perkembangan pasien terintegrasi, karena belum nampak
penggolongan intensif berdasarkan skoring RUFA. Hal ini disebabkan tidak adanya
SOP keperawatan tentang tindakan pada pasien perilaku kekerasan pada fase akut.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka peneliti akan melakukan pengkajian
tentang gambaran tindakan perawat dalam menangani pasien perilaku kekerasan di IGD
RS Jiwa Menur Surabaya.

1.2 Pertanyaan Penelitian


Bagaimanakah tindakan yang dilakukan perawat dalam menangani pasien perilaku
kekerasan di Ruang IGD RS Jiwa Menur?

1.3 Objektif

1.3.1 Mengidentifikasi pasien Perilaku Kekerasan di Ruang IGD RS Jiwa Menur.


1.3.2 Mengidentifikasi tindakan perawat dalam menangani pasien Perilaku Kekerasan
di IGD RS Jiwa Menur.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Aplikatif


a. Menambah wawasan dan pengetahuan perawat khususnya perawat spesialis jiwa
dalam menerapkan tindakan yang sesuai dengan Standar operasional penanganan
b. Meningkatkan kemampuan klien terhadap respon perilaku kekerasan dan
kemampuan keluarga dalam merawat.
c. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa kepada klien dengan perilaku
kekerasan.

1.4.2 Manfaat Keilmuan


a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu kompetensi
perawat spesialis jiwa dalam melakukan asuhan keperawatan
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence based untuk mengembangkan teori
tentang penanganan pasien perilaku kekerasan.

1.4.3 Manfaat Metodologi


a. Secara metodologi penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk mengaplikasikan
teori dan terapi yang terbaik dalam meningkatkan kesehatan jiwa khususnya pada klien
dan keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan dengan perilaku kekerasan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya
untuk kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa
lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah yang diekspresikan dengan
melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan atau sering
disebut juga gaduh gelisah atau amuk merupakan respon kemarahan yang paling
maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah, bermusuhan dan merupakan bentuk
perilaku destruktif yang tidak dapat di kontrol. (Yosep, 2009 dalam Sutejo, 2017).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi oleh
seseorang, respon ini dapat menimbulkan kerugian pada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan. Seseorang yang mengalami perilaku kekerasan sering
menunjukkan perubahan pada perilaku seperti mengancam, gaduh, tidak bisa diam,
mondar-mandir, cemas, intonasi suara keras, ekspresi tegang, bicara dengan semangat,
agresif, nada suara meninggi dan bergembira secara berlebihan. Pada seseorang yang
mengalami risiko perilaku kekerasan mengalami perubahan adanya penurunan
kemampuan dalam hal memecahkan masalah, orientasi waktu, tempat dan orang serta
gelisah (Pardede, Siregar & Halawa, 2020). Perilaku kekerasan merupakan bentuk
kekerasan dan pemaksaan secara fisik maupun verbal ditunjukkan kepada diri sendiri
maupun orang lain. Perilaku kekerasan adalah salah satu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Kandar & Iswanti.
2019).

2. Fisiologi Neurologi Pada Respon Perilaku


Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi dalam timbulnya perilaku
bermusuhan dan respon agresif. Pengaturan pada ‘sirkuit sistem limbik’ yang menjadi
pusat emosi di otak manusia juga pada dasarnya berkontribusi dalam memicu terjadinya
perilaku kekerasan, yang meliputi thalamus hypothalamus amygdala hypocampus
(Smith, Smith and Misquitta, 2016). Amigdala adalah organ pusat penyimpanan
memori emosional. Rangsangan pada amygdala mencetuskan perilaku agresi
sedangkan organ hypothalamusberperan dalam pengendali berita agresi. Setiap
rangsangan dari luar yang diterima melalui reseptor panca indera manusia akan diolah
lalu dikirim dalam bentuk pesan ke thalamus lalu ke hypothalamus, selanjutnya ke
amigdala yang kemudian menghasilkan respon tindakan. Dalam keadaan darurat
misalnya marah, pesan stimulus yang datang di thalamus terjadi hubungan pendek
sehingga langsung ke amigdala tanpa pengolahan rasional di hypothalamus. Jika
amigdala biasa merekam tindak kekerasan maka akan menciptakan reaksi ini pada saat
terjadi sirkuit pendek yakni berperilaku kekerasan. Sebaliknya jika amigdala biasa
menyimpan memori emosional dalam suasana asertif seperti keterbukaan,
kebersamaan, dialog, sikap empati, maka akan terbentuk pola refleks yang asertif bukan
pola agresif. Kondisi asertif ini akan mengurangi terbentuknya sirkuit pendek agresi
dan dapat menumbuh kembangkan kecerdasan rasional, kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual (Keliat, 2002 dalam Muhith, 2015).
3. Etiologi
➢ Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologis
Faktor biologis meliputi adanya faktor herediter yaitu adanya anggota
keluarga yang sering memperlihatkan atau melakukan perilaku kekerasan,
adanya anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa, adanya riwayat
penyakit trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA ( narkoti,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya).
b. Faktor Psikologis
Hasil akumulasi dari frustasi yang dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang (life span history), ketidakpuasan fase oral (0-2 tahun)
dan pemenuhan kebutuhan air susu yang tidak cukup atau pola asuh yang
tidak mendukung. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terlambat. Salah satu kebutuhan
manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat di
penuhi melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan muncul adalah
individu tersebut berperilaku destruktif.
c. Faktor Sosiokultural
Teori lingkuangan sosial (sosial environment theory) menyatakan bahwa
Lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu untuk
berespon asertif atau agresif.
➢ Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi untuk berperilaku kekerasan pada setiap orang berbeda,
dimana stressor dipengaruhi dari dalam maupun dari luar, seperti proses
kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan bagian
anggota tubuh, adanya penyakit yang berkepanjangan (fase exhaustion),
terjadinya bullying. individu bersifat unik, berbeda satu orang dengan yang lain.
Stresor tersebut dapat merupakan penyebab yang brasal dari dari dalam maupun
luar individu. Stressor dari lingkungan meliputi trauma fisik (penganiayaan,
pemeroksaan, bullying), akibat media social pada game, serangan haters,
informasi media yang salah), lingkungan alam: terjadinya bencana.

4. Tanda Dan Gejala


Tanda gejala yang ada adalah ada ide melukai, merencanakan tindakan kekerasan,
mengancam, penyalahgunaan obat, depresi berat, marah, sikap bermusuhan/panik,
bicara ketus, mengucapkan kata-kata kotor, serta adanya riwayat perilaku kekerasan
(Keliat, 2010).
Tanda dan Gejala perilaku kekerasan yaitu:
1) Fisik Mata melotot / pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengantup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2) Verbal Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus.
3) Perilaku Menyerang orang lain, melukai diri sendiri / orang lain, lingkungan,
amuk/agresif. 4) Emosi Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
5) Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6) Spiritual Merasa dirinya berkuasa, merasa dirinya benar, keragua-raguan, tidak
bermoral dan kreativitas terhambat.
7) Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran
8) Perhatian Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.

5. Tahapan Perilaku Kekerasan


Tingkat perilaku kekerasan menurut (Jeffrey dkk, 2006) yaitu:
a) Ringan
merupakan perilaku kekerasan yang diperlihatkan pasien dengan gangguan jiwa
hanya sebatas intimidasi terhadap orang-orang disekitarnya. Pasien belum
melakukan kekerasan verbal tetapi sudah menunjukkan kekerasan emosional.
Bentuknya merupakan emosional verbal seperti mata melotot, melihat dengan
tajam atau mengepalkan tangan.
b) Sedang
merupakan perilaku kekerasan yang sudah dilakukan pasien tetapi tidak
mengakibatkan cedera yang berarti. Pasien dengan gangguan jiwa sudah
menyerang dengan intensitas yang rendah, misalnya memukul tapi dengan jenis
pukulan yang tidak terlalu keras.
c) Berat
merupakan perilaku kekerasan yang benar-benar dilakukan pasien dengan
gangguan jiwa dalam intesitas yang berat. Biasanya akan mengakibatkan cedera
serius pada orang yang diserang.

6. Dampak Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan pada lingkungan pada diri sendiri dalam bentuk penelantaran diri.
Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai
atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku
merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan. Klien
dengan perilaku kekerasan akan memberikan dampak bagi dirinya sendiri maupun
orang lain. Dampak perilaku kekerasan yang dilakukan klien terhadap dirinya sendiri
adalah dapat mencederai dirinya sendiri atau merusak lingkungannya, bahkan dampak
yang lebih ekstrim yang ditimbulkan adalah kematian bagi klien sendiri (Kusumawati
dan Hartono, 2010).

7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahananyang
digunakan untuk melindungi diri (Stuart & Sundeen, 1998 dalam Muhith, 2015).
Beberapa mekanisme koping yang umum dipakai untuk melindungi diri antara lain
Sublimasi, Proyeksi, represi, reaksi formasi & displacement{Prastiya& Arum, 2017).
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
• Sublimasi
yaitu menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengami suatu dorongan,
penyalurannya ke arah lain. Misalnya seorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti meremas-remas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi
ketegangan akibat rasa marah.
• Proyeksi
yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginan yang
tidak baik. Misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh
bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
• Represi
mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kealam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak di
sukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang di terimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh
tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
• Reaksi Formasi
yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekpresikan dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan menggunakannya sebagai
rintangan.
• Displacement yaitu melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada
obyek yang tidak begitu berbahaya yang membangkitkan emosi itu.

8. Rentang Respon Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai bagian dari rentang respon marah yang paling
maladaptif, yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap ansietas (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman
(Sutejo 2017). Amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stresor dengan
gerakan motorik yang tidak terkontrol (desktruktif) (Yosep 2009).
Marah yang dialami setiap individu memiliki rentang dimulai dari respon adaptif
sampai maladaptif. Berikut adalah rentang gambar respon perilaku kekerasan:

Respon adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk


Keterangan:
• Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
• Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realistis/ terhambat
• Pasif : Respon lanjutan dimana pasien tidak mampu mengungkapkan
perasaannya
• Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
• Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol.

Setelah didapatkan respon perilaku pasien, selanjutnya perlu melihat hierarki


perilaku kekerasan untuk mengetahui rendah dan tingginya risiko perilaku kekerasan
pasien melalui tingkah laku pasien.

Rendah
No Hierarki Perilaku Kekerasan
1 Memperlihatkan permusuhan rendah
2 Keras menuntut
3 Mendekati orang lain dengan ancaman
4 Memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai
5 Menyentuh orang dengan cara yang menakutkan
6 Memberi kata-kata ancaman dengan rencana
melukai
7 Melukai dalam tingkat ringan tanpa
membutuhkan perawatan medis
8 Melukai dalam tingkat serius dan memerlukan
perawatan medis

Tinggi

9. Penatalaksanaan Perilaku Kekerasan


1) Penatalaksanaan Medik
a. Farmakoterapi
salah satu farmakoterapi yang digunakan pada klien dengan perilaku
kekerasan biasanya diberikan antipsikotik. Antipsikotik terbagi atas dua
yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal dengan perbedaan pada
efek sampingnya. Antipsikotik tipikal terdiri dari (butirofenon,
Haloperidol/haldol, Fenotiazine, Chlorpromazine, perphenazine (Trilafon),
trifluoperazin (stelazine), sedangkan untuk antipsikotik atipikal terdiri dari
(clozapine (clozaril), risperidone (Risperidal). Efek samping yang
ditimbulkan berupa rigiditas otot kaku, lidah kaku atau tebal disertai
kesulitan menelan. Biasanya sering digunakan klien untuk mengatasi gejala-
gejala psikotik (Perilaku kekersan, Halusinasi, Waham), Skizofrenia,
psikosis organik, psikotik akut dan memblokade dopamine pada
pascasinaptik neuron di otak (Katona, dkk, 2012).
b. Terapi Somatis
Terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan
melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien. Walaupun yang
diberi perlakuan adalah fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien.
Jenis terapi somatis adalah meliputi pengikatan, ECT, isolasi dan fototerapi
(Kusumawati & Yudi, 2010).
c. Pengikatan
Merupakan terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk membatasi
mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik pada
klien sendiri dan orang lain.
d. Terapi Kejang Listrik
Terapi kejang listrik atau Electro Convulsif Therapi (ECT) adalah bentuk
terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan dipelipis
pasien. Terapi ini ada awalnya untuk menangani skizofrenia membutuhkan
20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2
kali) dengan kekuatan arus listrik (2-3 joule).
e. Isolasi
Merupakan bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri diruang
tersendiri untuk mengendalikan perilakunya dan melindungi klien, orang
lain dan lingkungan. Akan tetapi tidak dianjurkan pada klien dengan risiko
bunuh diri.
2) Penatalaksanaan Keperawatan
a. Strategi Pelaksanaan
pasien perilaku kekerasan strategi pelaksanaan dapat dilakukan berupa
komunikasi terapeutik pada pasien ataupun keluarga. Tindakan keperawatan
dapat dilakukan minimal empat kali pertemuan dan dilanjutkan sampai
pasien dan keluarga dapat mengontrol dan mengendalikan perilaku
kekerasan. Pada setiap pertemuan dilakukan tindakan keperawatan
berdasarkan strategi pelaksanaan sebagai berikut (Pusdiklatnakes, 2012):
(1) Latihan strategi pelaksanaan 1 untuk pasien: latihan nafas dalam dan
memukul kasur atau bantal.
(2) Latihan strategi pelaksanaan 2 untuk pasien: latihan minum obat
(3) Latihan strategi pelaksanaam 3 untuk pasien: Latihan cara sosial atau
verbal (4) Latihan strategi pelaksanaan 4 untuk pasien: Latihan cara spiritual
3) Terapi Modalitas
Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan
mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan
lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan
tetap berhubungan dengan keluarga, teman, dan sistem pendukung yang ada
ketika menjalani terapi (Direja, 2011). Jenis-jenis terapi modalitas adalah:
a. Psikoterapi
Merupakan suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional terhadap
pasien yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dan sukarela. Psikoterapi
dilakukan agar klien dapatmengganti tingkah laku yang lebih konstruktif
melalui pemahaman- pemahaman yang selama ini kurang baik dan
cenderung merugikan baik diri sendiri, orang lain maupun lingkungan
sekitar.
b. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terapi Aktivitas Kelompok sering digunakan dalam praktik kesehatan jiwa,
bahkan merupakan hal yang terpenting dari keterampilan terapeutik dalam
ilmu keperawatan. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok yang digunakan pada
klien dengan perilaku kekerasan adalah Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi atau Kognitif. Terapi ini bertujuan untuk membantu klien
yang mengalami kemunduran orientasi, menstimuli persepsi dalam upaya
memotivasi proses berfikir dan afektif serta mengurangi perilaku
maladaptif.

10. Asuhan Keperawatan Pada Perilaku Kekerasan

1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Berbicara kasar, adanya ancaman, ingin mencederai dan melukai diri sendiri
atau orang lain.
b. Data Objektif
Wajah memerah dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan
kuat mengepalkan tangan, bicara kasar dan suara tinggi, perilakunya mondar
mandir, melempar atau memukul benda ke orang lain.

2. ???

Anda mungkin juga menyukai