Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN ISPA

OLEH :
NI MADE SEPTYARI
219012702

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi yang
menyerang saluran pernapasan baik itu saluran pernapasan atas ataupun
saluran pernapasan bawah. Saluran pernapasan atas dimulai dari bagian
lubang hidung, pita suara, laring, sinus parasanal, telinga tengah, dan
saluran pernapasan bawah terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus, dan
alveoli (Saputri, 2016).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang
melibatkan organ saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan
bagian bawah. Infeksi ini disebabkan oleh virus, jamur, dan bakteri.
ISPA akan menyerang host, apabila ketahanan tubuh (immunologi)
menurun. Penyakit ISPA ini paling banyak di temukan pada anak di
bawah lima tahun karena pada kelompok usia ini adalah kelompok yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai
penyakit (Karundeng Y.M, et al. 2016).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi
yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas, mulai
dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk
jaringan andeksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.
ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan yang berlangsung selama 14
hari. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang
banyak dijumpai pada balita dan anak-anak mulai dari ISPA ringan
sampai berat. ISPA yang berat jika masuk kedalam jaringan paru-paru
akan menyebabkan Pneumonia (Jalil, 2018).

2. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) dalam Siska (2017),
memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
dinegara berkembang dengan angka kematian balita diatas 40 per 1000
kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita.
Pada tahun 2010, jumlah kematian pada balita Indonesia sebanyak
151.000 kejadian, dimana 14% dari kejadian tersebut disebabkan oleh
pneumonia (Siska, 2017). Hasil survey yang dilakukan oleh WHO pada
tahun 2013, diperkirakan kasus ISPA pada anak dengan usia dibawah 5
tahun menunjukkan angka tertinggi pada wilayah Asia Tenggara
sebanyak 168.74 juta kasus, sedangkan diurutan kedua wilayah pasifik
barat dengan jumlah kasus baru 133.05 juta. Hal ini sangat
menghawatirkan mengingat bayi pada masa kini adalah sebagai penerus
bangsa, sebagai pemimpin, ilmuwan, cendekiawan dimasa yang akan
datang. Selain itu, Indonesia termasuk dalam 15 besar Negara dengan
estimasi tertinggi kasus ISPA.
Berdasarkan prevalensi ISPA tahun 2016 di Indonesia telah
mencapai 25% dengan rentang kejadian yaitu sekitar 17,5%- 41,4%
dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi diatas angka
nasional. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit
tebanyak dirumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit
ISPA tahun 2016 menempatkan ISPA/ ISPA sebagai penyebab kematian
bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 32,10% dari seluruh
kematian balita (Kemenkes RI, 2016).
Di Bali sendiri ISPA merupakan penyakit tersering dan menempati
posisi pertama sepuluh besar penyakit terbanyak yang tercatat di
puskesmas dengan total kasus sejumlah 370.504 kasus (Depkes RI, 2012)

3. Etiologi
Proses terjadinya ISPA diawali dengan masuknya beberapa bakteri
dari genus streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, hemofillus,
bordetella, dan korinebakterium dan virus dari golongan mikrovirus
(termasuk didalamnya virus para influenza dan virus campak),
adenoveirus, koronavirus, pikornavirus, herpesvirus ke dalam tubuh
manusia melalui partikel udara (droplet infection). Kuman ini akan
melekat pada sel epitel hidung dengan mengikuti proses pernapasan maka
kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan masuk ke saluran pernapasan
yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit kepala dan sebagainya.
(Marni,2014).
Terjadinya ISPA tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu
kondisi lingkungan (polutan udara seperti asap rokok dan asap bahan
bakar memasak, kepadatan anggoata keluarga, kondisi ventilasi rumah
kelembaban, kebersihan, musim, suhu), ketersediaan dan efektifitas
pelayanan kesehatan serta langkah-langkah pencegahan infeksi untuk
pencegahan penyebaran (vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan, kapasitas ruang isolasi), factor penjamu (usia, kebiasaan
merokok, kemampuan penjamu menularkan infeksi, status gizi, infeksi
sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh pathogen lain,
kondisi kesehatan umum) dan karakteristik pathogen (cara penularan,
daya tular, faktor virulensi misalnya gen, jumlah atau dosis mikroba).
Kondisi lingkungan yang berpotensi menjadi faktor risiko ISPA adalah
lingkungan yang banyak tercemar oleh asap kendaraan bermotor, bahan
bakar minyak, asap hasil pembakaran serta benda asing seperti mainan
plastik kecil (Rosana, 2016).

4. Pathofisiologi
ISPA merupakan penyakit yang dapat menyebar melalui udara (air
borne disease). ISPA dapat menular bila agen penyakit ISPA, seperti
virus, bakteri, jamur, serta polutan yang ada di udara masuk dan
mengendap di saluran pernapasan sehingga menyebabkan pembengkakan
mukosa dinding saluran pernapasan dan saluran pernapasan tersebut
menjadi sempit. Agen mengiritasi, merusak, menjadikan kaku atau
melambatkan gerak rambut getar (cilia) sehingga cilia tidak dapat
menyapu lender dan benda asing yang masuk di saluran pernapasan.
Pengendapan agen di mucociliary transport (saluran penghasil mukosa)
menimbulkan reaksi sekresi lendir yang berlebihan (hipersekresi). Bila
hal itu terjadi pada anak-anak, kelebihan produksi lendir tersebut akan
meleleh keluar hidung karena daya kerja mucociliary transport sudah
melampaui batas. Batuk dan lendir yang keluar dari hidung itu
menandakan bahwa seseorang telah terkena ISPA.
Seseorang yang terkena ISPA bisa menularkan agen penyebab
ISPA melalui transmisi kontak dan transmisi droplet. Transmisi kontak
melibatkan kontak langsung antar penderita dengan orang sehat, seperti
tangan yang terkontaminasi agen penyebab ISPA. Transmisi droplet
ditimbulkan dari percikan ludah penderita saat batuk dan bersin di depan
atau dekat dengan orang yang tidak menderita ISPA. Droplet tersebut
masuk melalui udara dan mengendap di mukosa mata, mulut, hidung, dan
tenggorokan orang yang tidak menderita ISPA. Agen yang mengendap
tersebut menjadikan orang tidak sakit ISPA menjadi sakit ISPA
(Noviantari, 2018).
PATHWAY :

Virus, bakteri, jamur & polutan

Terhirup melalui hidung

Mengendap pada saluran pernapasan

Peradangan pada saluran pernafasan (ISPA)

Terjadi proses inflamasi Kuman melepas endotoksin Perubahan status kesehatan

Merangsang pengeluaran zat Merangsang tubuh Kurang terpapar informasi


(mediator kimia, bradikinin, melepaskan zat pirogen Merangsang mekanisme
serotonin, histamin, prostaglandin) oleh leukosit pertahanan tubuh terhadap
Merasa khawatir
adanya mikroorganisme
akibat dari kondisi
Nosiseptor nyeri terangsang Hipotalamus kebagian yang dialami
Penumpukan sekresi
termoregulator
MK : Nyeri Akut mukus pada jalan napas
MK : Ansietas
Dispnea Suhu tubuh diatas nilai Suplai oksigen Obstruksi jalan napas
normal kejaringan menurun
Sistem imun menurun
MK : Pola Napas MK : Bersihan Jalan
Tidak Efektif MK : Hipertermia Mengeluh lelah Napas Tidak Efektif
MK : Risiko
Infeksi
MK : Intoleransi
Aktivitas
5. Klasifikasi
Menurut Halimah (2019) klasifikasi ISPA dapat dikelompokkan
berdasarkan golongannya dan golongan umur yaitu :
a. ISPA berdasarkan golongannya :
1) Pneumonia yaitu proses infeksi akut yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli).
2) Bukan pneumonia meliputi batuk pilek biasa (common cold),
radang tenggorokan (pharyngitis), tonsilitisi dan infeksi telinga
(otomatis media).
b. ISPA dikelompokkan berdasaran golongan umur yaitu :
1) Untuk anak usia 2-59 bulan :
a) Bukan pneumonia bila frekuensi pernapasan kurang dari 50
kali permenit untuk usia 2-11 bulan dan kurang dari 40 kali
permenit untuk usia 12-59 bulan, serta tidak ada tarikan
pada dinding dada.
b) Pneumonia yaitu ditandai dengan nafas cepat (frekuensi
pernafasan sama atau lebih dari 50 kali permenit untuk usia
2- 11 bulan dan frekuensi pernafasan sama atau lebih dari
40 kali permenit untuk usia 12-59 bulan), serta tidak ada
tarikan pada dinding dada.
c) Pneumonia berat yaitu adanya batuk dan nafas cepat (fast
breathing) dan tarikan dinding pada bagian bawah ke arah
dalam (servere chest indrawing).
2) Untuk anak usia kurang dari dua bulan :
a) Bukan pneumonia yaitu frekuensi pernafasan kurang dari 60
kali permenit dan tidak ada tarikan dinding dada.
b) Pneumonia berat yaitu frekuensi pernafasan sama atau lebih
dari 60 kali permenit (fast breathing) atau adanya tarikan
dinding dada tanpa nafas cepat.
6. Gejala Klinis
Gejala ISPA berdasarkan tingkat keparahan adalah sebagai berikut
(Rosana, 2016) :
a) Gejala dari ISPA ringan
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan
satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
1) Batuk
2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
(pada waktu berbicara atau menangis)
3) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.
b) Gejala dari ISPA sedang
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai
gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut :
1) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu :untuk
kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per
menit atau lebih untuk umur 2 -< 5 tahun
2) Suhu tubuh lebih dari 39°C
3) Tenggorokan berwarna merah
4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak
campak
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
6) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
c) Gejala dari ISPA berat
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai
gejala - gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih
gejala-gejala sebagai berikut :
1) Bibir atau kulit membiru
2) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
3) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
4) Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas
5) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
6) Tenggorokan berwarna merah

7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Wulandari.D & Purnamasari. L, 2015) Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan:
1) Pemeriksaan Darah Rutin
2) Analisa Gas darah (AGD)
3) Foto rontgen toraks
4) Kultur virus/biakan kuman (swab) dilakukan untuk menemukan
RSV, hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai jenis
kuman

8. Penanganan
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus
yang benar merupakan stategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan
program (turunnya kematian karena pneumonia dan turunnya
penggunaan antibiotic dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan
penyakit ISPA. Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan
petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak
mengurangi penggunaan antibiotic untuk kasus-kasus batuk pilek biasa,
serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat.
Adapun pengobatan yang dapat dilakukan kepada penderita ISPA
yaitu sebagai berikut :
a. Pneumonia berat
Dirawat dirumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen dan
sebagainya.
b. Pneumonia
Diberi obat antibiotic kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak
mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kontrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat
antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin, atau penisilin
prokain.
c. Bukan pneumonia
Tanpa pemberian obat antibiotik hanya diberikan perawatan dirumah,
untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk
lain yang tidak ada zat yang merugikan seperti Kodein,
Dekstrometorfan dan Antihistamin. Bila demam diberikan obat
penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek
bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah
(eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap
sebagai radang tenggorokan oleh kuman Streptococcus dan harus
diberi antibiotik (Penisilin) selama 10 hari.
Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus
diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya, petunjuk
dosis dapat dilihat pada lampiran (Kunoli, 2013).

9. Pencegahan
Menurut Hastuti, D (2013) pencegahan ISPA dapat dilakukan
dengan :
a. Menyediakan makanan bergizi sesuai preferensi anak dan
kemampuan untuk mengkonsumsi makanan untuk mendukung
kekebalan tubuh alami
b. Pemberian imunisasi lengkap kepada anak
c. Keadaan fisik rumah yang baik, seperti: ventilasi dirumah dan
kelembaban yang memenuhi syarat
d. Menjaga kebersihan rumah, tubuh, makanan, dan lingkungan agar
bebas kuman penyakit
e. Menghindari pajanan asap rokok, asap dapur
f. Mencegah kontak dengan penderita ISPA dan isolasi penderita ISPA
untuk mencegah penyebaran penyakit
10. Komplikasi
Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang
sembuh sendiri 5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lainnya.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba
eusthacii dan penyebaran infeksi (Windasari, 2018).
a. Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar karena pada bayi dan
anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih
besar, nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya
didaerah sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan foto rontgen dan transiluminasi pada anak besar. Proses
sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat lelah dan
sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai
sumbatan hidung, nyeri kepala hilang timbul, bersin yang terus
menerus disertai secret purulen dapat unilateral ataupun bilateral. Bila
didapatkan pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang
menetap tanpa sebab yang jelas perlu yang dipikirkan terjadinya
komplikasi sinusitis. Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan
memberikan antibiotik.
b. Penutupan tuba eusthachii
Tuba eusthachii yang buntu memberi gejala tuli dan infeksi dapat
menembus langsung kedaerah telinga tengah dan menyebabkan otitis
media akut (OMA). Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat
disertai suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) kadang menyebabkan
kejang demam. Anak sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala
digoyangkan atau memegang telinganya yang nyeri (pada bayi juga
dapat diketahui dengan menekan telinganya dan biasanya bayi akan
menangis keras). Kadang-kadang hanya ditemui gejala demam,
gelisah, juga disertai muntah atau diare. Karena bayi yang menderita
batuk pilek sering menderita infeksi pada telinga tengah sehingga
menyebabkan terjadinya OMA dan sering menyebabkan kejang
demam, maka bayi perlu dikonsul kebagian THT. Biasanya bayi
dilakukan parsentesis jika setelah 48-72 jam diberikan antibiotika
keadaan tidak membaik. Parasentesis (penusukan selaput telinga)
dimaksudkan mencegah membran timpani pecah sendiri dan terjadi
otitis media perforata (OMP). Faktor-faktor OMP yang sering
dijumpai pada bayi dan anak adalah :
- Tuba eustachii pendek, lebar dan lurus hingga merintangi
penyaluran sekret
- Posisi bayi anak yang selalu terlentang selalu memudahkan
perembesan infeksi juga merintangi penyaluran sekret
- Hipertrofi kelenjar limfoid nasofaring akibat infeksi telinga
tengah walau jarang dapat berlanjut menjadi mastoiditis atau ke
syaraf pusat (meningitis).
c. Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti
laryngitis, trakeitis, bronkitis dan bronkopneumonia. Selain itu dapat
pula terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian menurut Amalia Nurin, dkk, (2014)
1) Identitas Pasien
a. Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai
anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda
akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih
lanjut.
b. Jenis Kelamin
Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2
tahun, dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih
tinggi daripada laki-laki di negara Denmark.
c. Alamat
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota
keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk
ISPA. Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit
gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara
didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik
maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna
dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara
Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA anak.
2) Keluhan Utama
Adanya demam, kejang, sesak napas, batuk produktif, tidak mau
makan anak rewel dan gelisah, sakit kepala.
3) Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala,
badan lemah, nyeri otot dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,
pilek dan sakit tenggorokan.
b. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya klien sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit
ini
c. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit infeksi, TBC, Pneumonia, dan infeksi saluran
napas lainnya. Menurut anggota keluarga ada juga yang pernah
mengalami sakit seperti penyakit klien tersebut.
d. Riwayat sosial
Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang
berdebu dan padat penduduknya.
4) Kebutuhan Dasar
a. Makan dan minum
Penurunan intake, nutrisi dan cairan, diare, penurunan BB dan
muntah
b. Aktivitas dan istirahat : kelemahan, lesu, penurunan aktifitas,
banyak berbaring
c. BAK : tidak begitu sering
d. Kenyamanan : mialgia (nyeri otot), sakit kepala
e. Hygine : penampilan kusut, kurang tenaga
5) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Bagaimana keadaan klien, apakah letih, lemah atau sakit berat.
b. Tanda vital :
Bagaimana suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah klien. TD
menurun, nafas sesak, nadi lemah dan cepat, suhu meningkat,
sianosis
c. TB/BB
Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
d. Kuku
Bagaimana kondisi kuku, apakah sianosis atau tidak, apakah ada
kelainan.
e. Kepala
Bagaimana kebersihan kulit kepala, rambut serta bentuk kepala,
apakah ada kelainan atau lesi pada kepala
f. Wajah
Bagaimana bentuk wajah, kulit wajah pucat/tidak
g. Mata
Bagaimana bentuk mata, keadaan konjungtiva anemis/tidak,
scleraikterik/ tidak, keadaan pupil, palpebra dan apakah ada
gangguan dalam penglihatan
h. Hidung
Bentuk hidung, keadaan bersih/tidak, ada/tidak sekret pada
hidungserta cairan yang keluar, ada sinus/ tidak dan apakah ada
gangguan dalam penciuman
i. Mulut
Bentuk mulut, membran mukosa kering/ lembab, lidah
kotor/tidak, apakah ada kemerahan/tidak pada lidah, apakah ada
gangguan dalam menelan, apakah ada kesulitan dalam berbicara.
j. Leher
Apakah terjadi pembengkakan kelenjar tiroid, apakah ditemukan
distensi vena jugularis.
k. Telinga
Apakah ada kotoran atau cairan dalam telinga, bagaimanakah
bentuk tulang rawanya, apakah ada respon nyeri pada daun
telinga
l. Thoraks
Bagaimana bentuk dada, simetris/tidak, kaji pola pernafasan,
apakah ada wheezing, apakah ada gangguan dalam pernafasan.
Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Sistem
Pernafasan
a) Inspeksi
- Membran mukosa- faring tampak kemerahan
- Tonsil tampak kemerahan dan edema
- Tampak batuk tidak produktif
- Tidak ada jaringan parut dan leher
- Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan,
pernafasan cuping hidung
b) Palpasi
- Adanya demam
- Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah
leher/nyeri tekan pada nodus limfe servikalis
- Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
c) Perkusi
Suara paru normal (resonance)
d) Auskultasi
Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi
paru. Jika terdengar adanya stridor atau wheezing
menunjukkan tanda bahaya. (Suriani, 2018).
m. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen, turgor kulit kering/ tidak, apakah
terdapat nyeri tekan pada abdomen, apakah perut terasa
kembung, lakukan pemeriksaan bising usus, apakah terjadi
peningkatan bising usus/tidak.
n. Genitalia
Bagaimana bentuk alat kelamin, distribusi rambut kelamin,
warna rambut kelamin. Pada laki-laki lihat keadaan penis,
apakah ada kelainan/tidak. Pada wanita lihat keadaan labia
minora, biasanya labia minora tertutup oleh labia mayora.
o. Integumen
Kaji warna kulit, integritas kulit utuh/tidak, turgor kulit kering/
tidak, apakah ada nyeri tekan pada kulit, apakah kulit teraba
panas.
p. Ekstremitas
Inspeksi : adakah oedem, tanda sianosis, dan kesulitan bergerak
Palpasi : adanya nyeri tekan dan benjolan
Perkusi : periksa refek patelki dengan reflek hummar
Adakah terjadi tremor atau tidak, kelemahan fisik, nyeri otot
serta kelainan bentuk.
6) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan bagian dari pemeriksaan medis
yang dilakukan oleh dokter untuk mendiagnosis penyakit tertentu.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan setelah pemeriksaan fisik dan
penelusuran riwayat keluhan atau riwayat penyakit pada pasien.
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ISPA diantaranya ada :
Pemeriksaan laboratorium, Rontgen thorax, Pemeriksaan lain sesuai
dengan kondisi klien.
7) Analisa Data
Dari hasil pengkajian kemudian data terakhir dikelompokkan lalu
dianalisa data sehingga dapat ditarik kesimpulan masalah yang
timbul dan dapat dirumuskan diagnosa masalah.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif berhubungan dengan sekresi
yang tertahan
2. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan efek agen
farmakologis
3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (mis.
inflamasi, iskemia, neoplasma)
4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (mis. inflamasi,
kanker)
5. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
6. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
7. Risiko Infeksi dengan faktor risiko ketidakadekuatan pertahanan
tubuh sekunder
Sumber : SDKI, 2016

3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional

1 Bersihan jalan Setelah diberikan Manajemen Jalan Mengidentifikasi


napas tidak asuhan keperawatan Napas (SIKI, 2018) dan mengelola
efektif selama …x 24 jam Observasi : kepatenan jalan
diharapkan bersihan 1. Monitor pola napas
jalan napas pasien napas (frekuensi,
meningkat dengan kedalaman, usaha
kriteria hasil : (SLKI, napas)
2018) 2. Monitor bunyi
1. Pasien mampu napas tambahan
batuk efektif (mis. gurgling,
2. Tidak ada suara mengi, wheezing,
nafas tambahan ronkhi kering)
(mengi, wheezing, 3. Monitor sputum
dan/atau ronkhi (jumlah, warna,
3. Pola napas aroma)
normal/ tidak ada Terapeutik :
dispnea (22-34 4. Posisikan semi
x/menit) fowler atau fowler
5. Berikan minum
hangat
6. Lakukan
fisioterapi dada
7. Berikan oksigen,
jika perlu
Edukasi :
8. Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi :
9. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika
perlu
2 Pola Napas Setelah diberikan Manajemen Jalan Mengidentifikasi
Tidak Efektif asuhan keperawatan Napas (SIKI, 2018) dan mengelola
selama …x 24 jam Observasi : kepatenan jalan
diharapkan pola napas 1. Monitor pola napas
pasien meningkat, napas (frekuensi,
dengan kriteria hasil : kedalaman, usaha
1. Dispnea menurun napas)
2. Tidak ada 2. Monitor bunyi
penggunaan otot napas tambahan
bantu napas (mis. gurgling,
3. Frekuensi napas mengi, wheezing,
membaik (N : 80- ronkhi kering)
120 x/menit) 3. Monitor sputum
(jumlah, warna,
aroma)
Terapeutik :
4. Posisikan semi
fowler atau fowler
5. Berikan minum
hangat
6. Lakukan
fisioterapi dada
7. Berikan oksigen,
jika perlu
Edukasi :
8. Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi :
9. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika
perlu
3 Nyeri Akut Setelah diberikan Manajemen Nyeri Mengidentifikasi
asuhan keperawatan (SIKI, 2018) dan mengelola
selama …x 24 jam Observasi : pengalaman
diharapkan tingkat 1. Identifikasi skala sensorik atau
nyeri pasien berkurang nyeri emosional yang
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi respon berkaitan dengan
1. Keluhan nyeri nyeri nonverbal kerusakan jaringan
menurun (skala 0- Terapeutik : atau fungsional
2) 3. Berikan teknik dengan onset
2. Meringis nonfarmakologi mendadak atau
berkurang untuk mengurangi lambat dan
3. Gelisah berkurang rasa nyeri (mis, berintensitas ringan
4. TTV dalam batas akupresur, terapi hingga berat dan
normal pijat, kompres kosntan
TD : 90/50-110/70 hangat atau dingin,
mmHg terapi bermain).
N : 80-120 x/menit 4. Kontrol lingkungan
S : 36,50C – yang memperberat
37,50C rasa nyeri (mis.
RR : 22-34 suhu ruangan,
x/menit pencahayaan dan
kebisingan)
Edukasi :
5. Anjarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi :
6. Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika perlu
4 Hipertermia Setelah diberikan Manajemen Mengidentifikasi
asuhan keperawatan Hipertermia dan mengelola
selama …x 24 jam Observasi : peningkatan suhu
diharapkan 1. Identifikasi tubuh akibat
termoregulasi penyebab disfungsi
membaik dengan hipertermia (mis. termoregulasi
kriteria hasil : dehidrasi,
1. Suhu tubuh dalam terpapar
rentang normal lingkungan panas,
(36,50C – 37,50C) penggunaan
2. Menggigil inkubator)
berkurang 2. Monitor suhu
3. Suhu kulit tubuh
membaik (akral Terapiutik :
hangat) 3. Sediakan
lingkungan yang
dingin
4. Longgarkan atau
lepaskan pakaian
Edukasi :
5. Anjurkan tirah
baring
Kolaborasi :
6. Kolaborasi
pemberian cairan
dan elektrolit
intravena, jika
perlu
5 Intoleransi Setelah diberikan Manajemen Energi Mengidentifikasi
Aktivitas asuhan keperawatan Observasi : dan mengelola
selama …x 24 jam 1. Monitor kelelahan penggunaan energi
diharapkan pasien fisik dan emosional untuk mengatasi
dapat melakukan 2. Monitor pola dan atau mencegah
aktivitas, dengan jam tidur kelelahan dan
kriteria hasil : Terapeutik : mengoptimalkan
1. Frekuensi nadi 3. Lakukan latihan proses pemulihan
2. Keluhan lelah rentang gerak pasif
berkurang atau aktif
3. Tidak mengalami 4. Fasilitasi duduk di
dispnea saat sisi tempat tidur,
beraktifitas jika tidaka dapat
4. Tidak mengalami berpindah atau
dispnea setelah berjalan
beraktifitas Edukasi :
5. Anjurkan untuk
melakukan aktivitas
secara bertahap
6. Arjurkan tirah
baring
Kolaborasi :
7. Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
cara meningkatkan
asupan makanan
6 Ansietas Setelah diberikan Reduksi Ansietas Meminimalkan
asuhan keperawatan Observasi : kondisi individu
selama …x 24 jam 1. Monitor tanda- dan pengalaman
diharapkan ansietas tanda ansietas subjektif terhadap
pasien dapat teratasi, (verbal dan objek yang tidak
dengan kriteria hasil : nonverbal) jelas dan spesifik
1. Verbalisasi Terapeutik : akibat antisipasi
kebingungan 2. Ciptakan suasana bahaya yang
pasien berkurang terapeutik untuk memungkinkan
2. Verbalisasi menumbuhkan individu melakukan
kekhawatiran kepercayaan tindakan untuk
akibat kondisi yang Edukasi : menghadapi
dihadapi berkurang 3. Jelaskan prosedur, ancaman
3. Pasien tidak termasuk sensasi
gelisah yang mungkin
4. Pasien tidak tegang dialami
5. Pola tidur membaik 4. Latih teknik
(10-13 jam/hari) relaksasi
Kolaborasi :
5. Kolaborasi
pemberian obat
antiansietas, jika
perlu
7 Risiko Infeksi Setelah diberikan Pencegahan Infeksi Mengidentifikasi
asuhan keperawatan Observasi : dan menurunkan
selama …x 24 jam 1. Monitor tanda dan risiko terserang
diharapkan pasien gejala infeksi lokal organisme
tidak mengalami dan sistemik patogenik
infeksi, dengan kriteria Terapeutik :
hasil : 2. Cuci tangan
1. Demam menurun sebelum dan
(suhu tubuh sesudah kontak
normal 36,50C – dengan pasien dan
37,50C) lingkungan pasien
2. Tidak ada 3. Pertahankan teknik
kemerahan pada aseptik pada pasien
daerah luka/infeksi berisiko tinggi
3. Nyeri berkurang Edukasi :
(skala 0-2) 4. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
5. Ajarkan memeriksa
kondisi luka
operasi
Kolaborasi :
6. Kolaborasi
pemberian
imunisasi, jika
perlu

4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana untuk mencapai
tujuan yang spesifik yang ditujukan untuk membantu klien dalam hal
mencegah penyakit, peningkatkan derajat kesehatan dan pemulihan
kesehatan.

5. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari
proses keperawatan yang dilakukan dengan Format SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Bali. Denpasar: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Jalil, R. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Pada


Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabangka Kecamatan Kabangka
Kabupaten Muna. Tersedia dalam http://ojs.uho.ac.id. Diakses tanggal 12
Januari 2022.

Kunoli, J.F. (2013). Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular untuk Mahasiswa


Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Trans Info Media.

Marni. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Gangguan Pernafasan.


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Noviantari Dwi. (2018). Gambaran Karakteristik Balita dan Kondisi Lingkungan


Dalam Ruangan Terhadap Keluhan Gejala ISPA di Taman Penitipan
Anak. Tersedia dalam http://repository.uinjkt.ac.id. Diakses tanggal 12
Januari 2022.

Rosana, E.N. (2016). Faktor Resiko Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau dari
Lingkungan dalam Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Bladol. Skripsi.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Riska , C. S., Ismanto, A. Y., & Karundeng, Y. M. (2016). Hubungan Peran


Orang Tua Dalam Pencegahn ISPA Pada Balita di Puskesmas Bilalang
Kota Kotamabogu. e-Jurnal Keperawatan (e-Kp) Volume 4 nomor
1.Saputri, I.W. (2016). Analisis Spasial Faktor Lingkungan Penyakit
ISPA Pneumonia Pada Balita di Provinsi Banten Tahun 2011-2015.
Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Indikator Diagnostik). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai