OLEH :
NI MADE SEPTYARI
219012702
2. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) dalam Siska (2017),
memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
dinegara berkembang dengan angka kematian balita diatas 40 per 1000
kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita.
Pada tahun 2010, jumlah kematian pada balita Indonesia sebanyak
151.000 kejadian, dimana 14% dari kejadian tersebut disebabkan oleh
pneumonia (Siska, 2017). Hasil survey yang dilakukan oleh WHO pada
tahun 2013, diperkirakan kasus ISPA pada anak dengan usia dibawah 5
tahun menunjukkan angka tertinggi pada wilayah Asia Tenggara
sebanyak 168.74 juta kasus, sedangkan diurutan kedua wilayah pasifik
barat dengan jumlah kasus baru 133.05 juta. Hal ini sangat
menghawatirkan mengingat bayi pada masa kini adalah sebagai penerus
bangsa, sebagai pemimpin, ilmuwan, cendekiawan dimasa yang akan
datang. Selain itu, Indonesia termasuk dalam 15 besar Negara dengan
estimasi tertinggi kasus ISPA.
Berdasarkan prevalensi ISPA tahun 2016 di Indonesia telah
mencapai 25% dengan rentang kejadian yaitu sekitar 17,5%- 41,4%
dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi diatas angka
nasional. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit
tebanyak dirumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit
ISPA tahun 2016 menempatkan ISPA/ ISPA sebagai penyebab kematian
bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 32,10% dari seluruh
kematian balita (Kemenkes RI, 2016).
Di Bali sendiri ISPA merupakan penyakit tersering dan menempati
posisi pertama sepuluh besar penyakit terbanyak yang tercatat di
puskesmas dengan total kasus sejumlah 370.504 kasus (Depkes RI, 2012)
3. Etiologi
Proses terjadinya ISPA diawali dengan masuknya beberapa bakteri
dari genus streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, hemofillus,
bordetella, dan korinebakterium dan virus dari golongan mikrovirus
(termasuk didalamnya virus para influenza dan virus campak),
adenoveirus, koronavirus, pikornavirus, herpesvirus ke dalam tubuh
manusia melalui partikel udara (droplet infection). Kuman ini akan
melekat pada sel epitel hidung dengan mengikuti proses pernapasan maka
kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan masuk ke saluran pernapasan
yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit kepala dan sebagainya.
(Marni,2014).
Terjadinya ISPA tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu
kondisi lingkungan (polutan udara seperti asap rokok dan asap bahan
bakar memasak, kepadatan anggoata keluarga, kondisi ventilasi rumah
kelembaban, kebersihan, musim, suhu), ketersediaan dan efektifitas
pelayanan kesehatan serta langkah-langkah pencegahan infeksi untuk
pencegahan penyebaran (vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan, kapasitas ruang isolasi), factor penjamu (usia, kebiasaan
merokok, kemampuan penjamu menularkan infeksi, status gizi, infeksi
sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh pathogen lain,
kondisi kesehatan umum) dan karakteristik pathogen (cara penularan,
daya tular, faktor virulensi misalnya gen, jumlah atau dosis mikroba).
Kondisi lingkungan yang berpotensi menjadi faktor risiko ISPA adalah
lingkungan yang banyak tercemar oleh asap kendaraan bermotor, bahan
bakar minyak, asap hasil pembakaran serta benda asing seperti mainan
plastik kecil (Rosana, 2016).
4. Pathofisiologi
ISPA merupakan penyakit yang dapat menyebar melalui udara (air
borne disease). ISPA dapat menular bila agen penyakit ISPA, seperti
virus, bakteri, jamur, serta polutan yang ada di udara masuk dan
mengendap di saluran pernapasan sehingga menyebabkan pembengkakan
mukosa dinding saluran pernapasan dan saluran pernapasan tersebut
menjadi sempit. Agen mengiritasi, merusak, menjadikan kaku atau
melambatkan gerak rambut getar (cilia) sehingga cilia tidak dapat
menyapu lender dan benda asing yang masuk di saluran pernapasan.
Pengendapan agen di mucociliary transport (saluran penghasil mukosa)
menimbulkan reaksi sekresi lendir yang berlebihan (hipersekresi). Bila
hal itu terjadi pada anak-anak, kelebihan produksi lendir tersebut akan
meleleh keluar hidung karena daya kerja mucociliary transport sudah
melampaui batas. Batuk dan lendir yang keluar dari hidung itu
menandakan bahwa seseorang telah terkena ISPA.
Seseorang yang terkena ISPA bisa menularkan agen penyebab
ISPA melalui transmisi kontak dan transmisi droplet. Transmisi kontak
melibatkan kontak langsung antar penderita dengan orang sehat, seperti
tangan yang terkontaminasi agen penyebab ISPA. Transmisi droplet
ditimbulkan dari percikan ludah penderita saat batuk dan bersin di depan
atau dekat dengan orang yang tidak menderita ISPA. Droplet tersebut
masuk melalui udara dan mengendap di mukosa mata, mulut, hidung, dan
tenggorokan orang yang tidak menderita ISPA. Agen yang mengendap
tersebut menjadikan orang tidak sakit ISPA menjadi sakit ISPA
(Noviantari, 2018).
PATHWAY :
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Wulandari.D & Purnamasari. L, 2015) Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan:
1) Pemeriksaan Darah Rutin
2) Analisa Gas darah (AGD)
3) Foto rontgen toraks
4) Kultur virus/biakan kuman (swab) dilakukan untuk menemukan
RSV, hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai jenis
kuman
8. Penanganan
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus
yang benar merupakan stategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan
program (turunnya kematian karena pneumonia dan turunnya
penggunaan antibiotic dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan
penyakit ISPA. Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan
petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak
mengurangi penggunaan antibiotic untuk kasus-kasus batuk pilek biasa,
serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat.
Adapun pengobatan yang dapat dilakukan kepada penderita ISPA
yaitu sebagai berikut :
a. Pneumonia berat
Dirawat dirumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen dan
sebagainya.
b. Pneumonia
Diberi obat antibiotic kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak
mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kontrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat
antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin, atau penisilin
prokain.
c. Bukan pneumonia
Tanpa pemberian obat antibiotik hanya diberikan perawatan dirumah,
untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk
lain yang tidak ada zat yang merugikan seperti Kodein,
Dekstrometorfan dan Antihistamin. Bila demam diberikan obat
penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek
bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah
(eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap
sebagai radang tenggorokan oleh kuman Streptococcus dan harus
diberi antibiotik (Penisilin) selama 10 hari.
Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus
diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya, petunjuk
dosis dapat dilihat pada lampiran (Kunoli, 2013).
9. Pencegahan
Menurut Hastuti, D (2013) pencegahan ISPA dapat dilakukan
dengan :
a. Menyediakan makanan bergizi sesuai preferensi anak dan
kemampuan untuk mengkonsumsi makanan untuk mendukung
kekebalan tubuh alami
b. Pemberian imunisasi lengkap kepada anak
c. Keadaan fisik rumah yang baik, seperti: ventilasi dirumah dan
kelembaban yang memenuhi syarat
d. Menjaga kebersihan rumah, tubuh, makanan, dan lingkungan agar
bebas kuman penyakit
e. Menghindari pajanan asap rokok, asap dapur
f. Mencegah kontak dengan penderita ISPA dan isolasi penderita ISPA
untuk mencegah penyebaran penyakit
10. Komplikasi
Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang
sembuh sendiri 5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lainnya.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba
eusthacii dan penyebaran infeksi (Windasari, 2018).
a. Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar karena pada bayi dan
anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih
besar, nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya
didaerah sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan foto rontgen dan transiluminasi pada anak besar. Proses
sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat lelah dan
sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai
sumbatan hidung, nyeri kepala hilang timbul, bersin yang terus
menerus disertai secret purulen dapat unilateral ataupun bilateral. Bila
didapatkan pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang
menetap tanpa sebab yang jelas perlu yang dipikirkan terjadinya
komplikasi sinusitis. Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan
memberikan antibiotik.
b. Penutupan tuba eusthachii
Tuba eusthachii yang buntu memberi gejala tuli dan infeksi dapat
menembus langsung kedaerah telinga tengah dan menyebabkan otitis
media akut (OMA). Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat
disertai suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) kadang menyebabkan
kejang demam. Anak sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala
digoyangkan atau memegang telinganya yang nyeri (pada bayi juga
dapat diketahui dengan menekan telinganya dan biasanya bayi akan
menangis keras). Kadang-kadang hanya ditemui gejala demam,
gelisah, juga disertai muntah atau diare. Karena bayi yang menderita
batuk pilek sering menderita infeksi pada telinga tengah sehingga
menyebabkan terjadinya OMA dan sering menyebabkan kejang
demam, maka bayi perlu dikonsul kebagian THT. Biasanya bayi
dilakukan parsentesis jika setelah 48-72 jam diberikan antibiotika
keadaan tidak membaik. Parasentesis (penusukan selaput telinga)
dimaksudkan mencegah membran timpani pecah sendiri dan terjadi
otitis media perforata (OMP). Faktor-faktor OMP yang sering
dijumpai pada bayi dan anak adalah :
- Tuba eustachii pendek, lebar dan lurus hingga merintangi
penyaluran sekret
- Posisi bayi anak yang selalu terlentang selalu memudahkan
perembesan infeksi juga merintangi penyaluran sekret
- Hipertrofi kelenjar limfoid nasofaring akibat infeksi telinga
tengah walau jarang dapat berlanjut menjadi mastoiditis atau ke
syaraf pusat (meningitis).
c. Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti
laryngitis, trakeitis, bronkitis dan bronkopneumonia. Selain itu dapat
pula terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta.
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana untuk mencapai
tujuan yang spesifik yang ditujukan untuk membantu klien dalam hal
mencegah penyakit, peningkatkan derajat kesehatan dan pemulihan
kesehatan.
5. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari
proses keperawatan yang dilakukan dengan Format SOAP.
DAFTAR PUSTAKA
Rosana, E.N. (2016). Faktor Resiko Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau dari
Lingkungan dalam Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Bladol. Skripsi.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Indikator Diagnostik). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia