TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi Asma
Faktor risiko asma terdiri atas faktor penjamu (genetik, obesitas, dan jenis
kelamin), serta faktor lingkungan. Selain itu terdapat faktor yang mempengaruhi
timbulnya asma yang dikenal dengan faktor pencetus. Berupa alergen (debu, bulu
binatang, kecoa, jamur, serbuk sari, dan sebagainya), infeksi virus pernafasan,
polutan, dan obat-obatan. Serangan asma terjadi terutama bila ada faktor pencetus.
Faktor pencetus serangan asma dari luar dapat berupa berupa perubahan cuaca
(dingin, hujan, gerah), debu, polusi udara, zat-zat kimia dari obat anti nyamuk,
sampai wangi-wangian atau berbagai jenis makanan. Dari dalam tubuh dapat
berupa infeksi virus, sinusitis, atau stres (banyak pikiran, emosi, dan lainnya).
Semua faktor pencetus tersebut bersifat individual dimana faktor pencetus satu
orang berbeda dengan faktor pencetus orang lain.
Etiologi asma mungkin merupakan reaksi alergi yang sering terjadi pada
pasien dengan umur kurang dari 30 tahun. Namun, munculnya asma pada pasien
dengan menyebabkan asma antara lain yaitu beberapa bahan iritan seperti debu-
debu yang beterbangan, asap, produk pembersih atau bau, serbuk sari, dan bulu
kucing. Pemicu tambahan lainnya adalah udara dingin, infeksi saluran pernafasan
atas atau bawah dan stres.
Asma juga dapat diturunkan dari keluarga dan berhubungan dengan atopi.
Penelitian genetik menunjukan adanya hubungan reseptor IgE afinitas tinggi dan
gen Sitoli T-helper (Th2).
2.3.Epidemiologi Asma
Sampai saat ini, penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi.
Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan
jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain itu setiap 250 orang, ada satu orang
meninggal karena asma setiap tahunnya.
Prevalensi asma antar negara sulit dibandingkan karena belum ada kuesioner
baku yang digunakan secara internasional sampai akhirnya Steering Comitte of
International Study Asthma Ana Allergies in Childhood (ISSAC) menyusun
kuesioner untuk penelitian prevalensi asma yang dapat digunakan di seluruh dunia
baik dengan bahasa maupun kondisi geografis yang berbeda. Penelitian prevalensi
asma menggunakan kuesioner ISSAC pada tahap awal sudah dilakukan pada 155
pusat asma di 56 negara termasuk Indonesia. Angka prevalensi asma yang
didapatkan bervariasi antara 2,1-32,2% (Rosmarlina, 2010)/
Asma akibat alergi bergantung kepada respond IgE yang dikendalikan oleh
limfosit T dan B. Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul
IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagai besar alergen yang menimbulkan
asma bersifat airbone. Alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak
dalam periode waktu tertentu agar mampu menimbulkan gejala asma. Namun
dilain kasus terdapat pasien yang sangat responsif, sehingga sejumlah kecil
alergen masuk kedalam tubuh sudah dapat mengakibatkan eksaserbasi penyakit
yang jelas.
Pencetus serangan
(alergen, emosi/stress, obat-obatan, dan infeksi)
Produksi mucus
Bronchospasme
bertambah
Kontraksi otot polos
Edema mukosa
hipersekresi
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Obstruksi saluran napas
(risiko/aktual)
Bersihan jalan napas
tidak efektif
Hipoventilasi
Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru-paru
Gangguan difusi gas dialveoli
Hipoksemia
Hiperkapnia
2.8.Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi
paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi
paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut
ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi
klinis serta pemeriksaan penunjang.
2.9.Pemeriksaan Laboratorium
1. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia,
hiperkapnea, dan asidosis respiratorik.
2. Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat,
karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari
edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari
perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri,
caraa tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap
antibiotik.
3. Sel eosinofit
Sel eosinofit pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-
1500/mm3 baik asma intrinsik ataupun ekstrinsik, sedangkan hitungan sel
eosinophil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai
penurunan hitung jenis sel eosinophil menunjukkan pengobatan telah
tepat.
4. Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yang lebih dari 15.000/mm3 terjadi karena adanya
infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat
hipoksia atau hiperkapnea.
2.10. Pencegahan Asma
a. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi
(terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal)
atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain
menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir,
tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma.
Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1,
respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan
hipotesis.
b. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti
alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan
jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan
obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti
menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja,
makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki
kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi
terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen
sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah
polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan
berbagai faktor lainnya.
https://books.google.co.id/books?id=MVw2VCMXrEgC&pg=PA571&dq=pe
nyakit+asma&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiyrLO-6-
zJAhUB3KYKHcyKC8IQ6AEIMDAG#v=onepage&q=penyakit%20asma&f
=false
https://books.google.co.id/books?id=wzIGJflmD4gC&pg=PA178&dq=defini
si+penyakit+asma&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjw4NDH7ezJAhWHMKY
KHRMhB7UQ6AEIJTAD#v=onepage&q=definisi%20penyakit%20asma&f
=false
https://books.google.co.id/books?id=C41PKn0SQMwC&pg=PA43&dq=defi
nisi+penyakit+asma&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjw4NDH7ezJAhWHMK
YKHRMhB7UQ6AEIHTAB#v=onepage&q=definisi%20penyakit%20asma
&f=false
https://books.google.co.id/books?id=-
latCAAAQBAJ&pg=PA63&dq=faktor+resiko+penyakit+asma&hl=id&sa=X
&ved=0ahUKEwjj86yC7uzJAhUGrKYKHS-
rAWQQ6AEIHTAB#v=onepage&q=faktor%20resiko%20penyakit%20asma
&f=false
Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan . Jakarta . Salemba medika.
https://books.google.co.id/books?id=C41PKn0SQMwC&pg=PA45&dq=pato
fisiologi+asma&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=patofisiologi%20
asma&f=true
Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt
Indon. 58, 444-451.