Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS TIPE II DAN DIABETIC FOOT

ISMA AZIZAH

(PO.62.20.1.15.127)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA

PRGRAM STUI PRODI D-IV KEPERAWATAN

KELAS REGULER

2017
A. KONSEP DASAR DIABETES TIPE 2
1. Pengertian
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengalirkan atau
mengalihkan (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau
madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume
urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit
hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan
relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).
Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar
insulin tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa
glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang
dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme energi. (FKUI, 2011).
Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).
Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang
berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai bawah
(Decroli E, 2008). Tiga faktor penyebab utama masalah diabetic foot adalah
neuropati, buruknya sirkulasi dan menurunnya resistensi terhadap infeksi (Maryunani,
2013)
2. Patofisiologi
A. Patogenesis diabetes melitus Tipe II
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, gangguan hepatic glucose production (HGP), dan penurunan fungsi cell ,
yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel . Mula-mula timbul resistensi
insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk
mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama
kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga
kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah
diagnosis diabetes ditegakkan. Penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara
progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mensekresi insulin (FKUI,
2011).
Pada diabetes tipe2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan
reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukagon dalam darah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi
insulin yang merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe 2, namun masih terdapat
insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada
diabetes mellitus tipe II. Meskipun demikian, diabetes mellitus tipe 2 yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom
hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).
Pada keadaan tertentu glukosa dapat meningkat sampai dengan 1200 mg/dl hal
ini dapat menyebabkan dehidrasi pada sel yang disebabkan oleh ketidakmampuan
glukosa berdifusi melalui membran sel, hal ini akan merangsang osmotik reseptor
yang akan meningkatkan volume ekstrasel sehingga mengakibatkan peningkatan
osmolalitas sel yang akan merangsang hypothalamus untuk mengsekresi ADH dan
merangsang pusat haus di bagian lateral (Polidipsi). Penurunan volume cairan intrasel
merangsang volume reseptor di hypothalamus menekan sekresi ADH sehingga terjadi
diuresis osmosis yang akan mempercepat pengisian vesika urinaria dan akan
merangsang keinginan berkemih (Poliuria). Penurunan transport glukosa kedalam sel
menyebabkan sel kekurangan glukosa untuk proses metabolisme sehingga
mengakibatkan starvasi sel. Penurunan penggunaan dan aktivitas glukosa dalam sel
(glukosa sel) akan merangsang pusat makan di bagian lateral hypothalamus sehingga
timbul peningkatan rasa lapar (Polipagi).
Pada Diabetes Mellitus yang telah lama dan tidak terkontrol, bisa terjadi
atherosklerosis pada arteri yang besar, penebalan membran kapiler di seluruh tubuh,
dan degeneratif pada saraf perifer. Hal ini dapat mengarah pada komplikasi lain
seperti thrombosis koroner, stroke, gangren pada kaki, kebutaan, gagal ginjal dan
neuropati.
B. Proses terjadinya luka diabetes melitus

Luka diabetes melitus terjadi karena kurangnya kontrol diabetes melitus selama
bertahun-tahun yang sering memicu terjadinya kerusakan syaraf atau masalah
sirkulasi yang serius yang dapat menimbulkan efek pembentukan luka diabetes
melitus (Maryunani, 2013).
Ada 2 tipe penyebab ulkus kaki diabetes secara umum yaitu:
a. Neuropati
Neuropati diabetik merupakan kelainan urat syaraf akibat diabetes melitus
karena kadar gula dalam darah yang tinggi yang bisa merusak urat syaraf
penderita dan menyebabkan hilang atau menurunnya rasa nyeri pada kaki,
sehingga apabila penderita mengalami trauma kadang- kadang tidak terasa.
Gejala- gejala neuropati meliputi kesemutan, rasa panas, rasa tebal di telapak
kaki, kram, badan sakit semua terutama malam hari ( Maryunani,2013).
b. Angiopathy
Angiopathy diabetik adalah penyempitan pembuluh darah pada penderita
diabetes. Apabila sumbatan terjadi di pembuluh darah sedang/ besar pada
tungkai, maka tungkai akan mudah mengalami gangren diabetik, yaitu luka pada
kaki yang merah kehitaman atau berbau busuk. Angiopathy menyebabkan
asupan nutrisi, oksigen serta antibiotik terganggu sehingga menyebabkan kulit
sulit sembuh. (Maryunani, 2013).
Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan
osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik
biasanya monomikrobial sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene dan
osteomyelitis bersifat polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai pada infeksi
ringan adalah Staphylococcus Aereus dan streptococcal serta isolation of Methycillin-
resstant Staphyalococcus aereus (MRSA). Jika penderita sudah mendapat antibiotik
sebelumnya atau pada ulkus kronis, biasanya dijumpai juga bakteri batang gram
negatif (Enterobactericeae, enterococcus, dan pseudomonas aeruginosa).(50,47).
Mekanisme kejadian kaki diabetik tergambar pada gambar 2.14 dibawah ini
3. Tanda dan Gejala
A. Tanda dan gejala DM tipe II
a. Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain:
1) Penurunan penglihatan
2) Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa
dan keluar melalui urine.
3) Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus) akibat volume urineyang
sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel.
4) Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa
sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis
menyebabkan kelelahan
5) Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang
kronis, katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering
terjadi penurunan berat badan tanpa terapi
6) Konfusi atau derajat delirium
7) Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas
lambung)
8) Retinopati atau pembentukan katarak
9) Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan
sirkulasi perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau
luka yang tidak kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran
mukosa kering akibat dehidrasi
10) Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan
kemungkinan nyeri perifer atau kebas
11) Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,2007)
b. Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain:
1) Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa
diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
2) Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air
atau pada kasus yang berat terjadi kerusakan retina
3) Paretesia atau abnormalitas sensasi
4) Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa
disekret vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis
dapat menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
5) Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi tubuh
B. Tanda dan Gejala Kaki Diabetik
Tanda dan gejala kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan, nyeri pada kaki
saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan
denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin
dan kuku menebal serta kulit kering.
4. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau
plasma. Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat
langsung dan dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia.
Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan glukometer lebih baik
daripada kasat mata karena informasi yang diberikan lebih objektif kuantitatif.
(FKUI,2013)
b. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah
secara tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang
bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan
informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat
membedakan normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2011)
c. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi
glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin
memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami hiperglikemia
berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari
tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
1) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
2) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
3) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau
lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
d. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan
sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi
antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah
ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager L
dan Liz Schaeffer, 2007)
e. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3
minggu sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena
kurang menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil
sehingga jarang dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada
keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada
keadaan anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
f. Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin
menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin
dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton
dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI,2013)
g. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara
proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu
terakhir. Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl
selama 8-10 minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam
setahun. (FKUI, 2011)
h. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai
kendali glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan
penyesuaian diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani dan
aktivitas lain. PKGS memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap
kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)
i. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang
berhubungan dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk
mengetahui kendali glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem
mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan, konsentrasi glukosa kemudian
diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB
memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi.
(FKUI,2011)
B. Diagnosis Kaki Diabetik
Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti, diagnosis kaki diabetik
ditegakkan melalui riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa kaki diabetes melitus dapat
ditegakkan melalui beberapa tahap pemeriksaan sebagai berikut
a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga
1) Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi :
2) Lama diabetes
3) Managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
4) Olahraga dan obat-obatan
5) Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
6) Alergi
7) Pola hidup
8) Medikasi terakhir
9) Kebiasaan merokok
10) Minum alkohol
selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki, pernah
terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas, gejala neuropati dan
gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan ulkus
meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman, penampakan ulkus, temperatur
dan bau.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit,
pecahpecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya kalus atau
bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti
sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk claw
toe atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan
kekuatan kaki.
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilament ditambah
dengan tunning fork 128-Hz, pinprick sensation, reflek kaki untuk
mengukur getaran, tekanan dan sensasi.
3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada
arteri kaki, capillary refiling time, perubahan warna, atropi kulit dan kuku
dan pengukuran ankle brachial index.
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman,
tipe sepatu dan ukurannya.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis pasien,
yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau sewaktu,
glycohemoglobin (HbA1c), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, dan lain-
lain.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetik menjadi infeksi dan
menentukan kuman penyebabnya.
e. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi kaki diabetic
adalah dengan menilai Ankle Brachial Index (ABI) yaitu pemeriksaan sistolik
brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling tinggi
dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai
normalnya adalah O,9-1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien
penderita diabetes melitus memiliki penyakit kaki diabetic dengan melihat
gangguan aliran darah pada kaki. Alat pemeriksaan yang digunakan ultrasonic
doppler. Doppler dapat dikombinasikan dengan manset pneumatic standar
untuk mengukur tekanan darah ekstremitas bawah.
5. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
A. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan Diabetes Mellitus
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler
serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar
glukosa darah normal
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes (FKUI, 2011) :
a. Diet
b. Latihan
c. Pemantauan
d. Terapi (jika diperlukan)
e. Pendidikan
Dalam penatalaksanaan medis, sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat
berupa:
a. Obat Hipoglikemik Oral
1) Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu
memperbaiki sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata
obat ini tidak bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja
golongan obat ini antara lain:
a. Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin)
b. Menurunkan ambang sekresi insulin
c. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa
(FKUI, 2011)
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivate asam
benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. (FKUI, 2011)
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin
a) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin.
Etformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
insulin pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada
efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah
dan menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah
makan. (FKUI, 2011)
b) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek
farmakologis meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja
meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi
glukosa dihati.( FKUI, 2011)
3) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini
bekerja di lumen usus dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
4) Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap
sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat
diturunkan. (FKUI, 2011)
b. Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila
kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan
terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang
masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM
Tipe II tertentu akan butuh insulin bila:
1) Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar
glukosa darah
2) Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan,
infark miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin
menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan
mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi
pemasukan glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai sumber energi dan
membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati.(FKUI,2013).
Pada penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
a. Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang
ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun
keluarga pasien.
b. Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan
potensi atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang
sakit dan menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya
c. Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam pengobatan
dan pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
d. Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari
alkohol, penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan,
menghilangkan stress dalam rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan
yang baik
e. Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan
meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang
memiliki resiko
f. Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani
atau kebugaran yang sesuai.
Penatalaksanaan diet pada diabetes tipe II bertujuan untuk membantu orang dengan
diabetes memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control
metabolic yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
a. Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat
hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
b. Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
c. Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat
badan yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan
kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari
penyakit metabolic
d. Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
e. Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek,
komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati
autonomic dan penyakit jantung
f. Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
B. Manajemen Kaki Diabetik
Manajemen kaki diabetik dilakukan secara komprehensif melalui upaya;
mengatasi penyakit (commorbidity), menghilangkan/mengurangi tekanan beban
(offloading), menjaga luka agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi,
debridemen, revaskularisasi dan tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau
emergensi. Penyakit diabetes melitus melibatkan sistem multi organ yang akan
mempengaruhi penyembuhan luka. Hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia,
gangguan kardiovaskular (stroke, penyakit jantung koroner), gangguan fungsi
ginjal, dan lainnya harus dikendalikan.
1. Debridement
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada kasus kaki
diabetika. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan benda
asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih
didapatkan jaringan nekrotik, debris, kalus, fistula/rongga yang
memungkinkan kuman berkembang. Setelah dilakukan debridement luka
harus diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau pembersih lain dan
dilakukan dressing (kompres). Ada beberapa pilihan dalam tindakan
debridemen, yaitu debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik, dan
debridement bedah.(79,80) Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasi
luka cairan fisiolofis, ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam rangka untuk
membersihkan jaringan nekrotik. Debridemen secara enzimatik dilakukan
dengan pemberian enzim eksogen secara topikal pada permukaan lesi. Enzim
tersebut akan menghancurkan residu residu protein. Contohnya, kolagenasi
akan melisikan kolagen dan elastin. Beberapa jenis debridement yang sering
dipakai adalah papin, DNAse dan fibrinolisin. Debridemen autolitik terjadi
secara alami apabila seseorang terkena luka. Proses ini melibatkan makrofag
dan enzim proteolitik endogen yang secara alami akan melisiskan jaringan
nekrotik. Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan
kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai
agent yang melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses granulasi.
Belatung (Lucilla serricata) yang disterilkan sering digunakan untuk
debridemen biologi. Belatung menghasilkan enzim yang dapat
menghancurkan jaringan nekrotik. Debridemen bedah merupakan jenis
debridemen yang paling cepat dan efisien. Tujuan debridemen bedah adalah
untuk.
a. Mengevakuasi bakteri kontaminasi,
b. Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat
penyembuhan,
c. Menghilangkan jaringan kalus,
d. Mengurangi risiko infeksi local
2. Mengurangi Beban Tekanan (off loading)
Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban yang besar. Pada
penderita diabetes melitus yang mengalami neuropati permukaan plantar kaki
mudah mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh akibat tekanan beban
tubuh maupun iritasi kronis sepatu yang digunakan. Salah satu hal yang sangat
penting namun sampai kini tidak mendapatkan perhatian dalam perawatan
kaki diabetik adalah mengurangi atau menghilangkan beban pada kaki (off
loading). Upaya off loading berdasarkan penelitian terbukti dapat
mempercepat kesembuhan ulkus. Metode off loading yang sering digunakan
adalah: mengurangi kecepatan saat berjalan kaki, istirahat (bed rest), kursi
roda, alas kaki, removable cast walker, total contact cast, walker, sepatu boot
ambulatory. Total contact cast merupakan metode off loading yang paling
efektif dibandingkan metode yang lain. Berdasarkan penelitian bahwa dapat
mengurangi tekanan pada luka secara signifikan dan memberikian
kesembuhan antara 73%-100%. TCC dirancang mengikuti bentuk kaki dan
tungkai, dan dirancang agar tekanan plantar kaki terdistribusi secara merata.
Telapak kaki bagian tengah diganjal dengan karet sehingga memberikan
permukaan rata dengan telapak kaki sisi depan dan belakang (tumit).
3. Perawatan Luka kaki Diabetes
Perawatan luka moderen menekankan metode moist wound healing atau
menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Luka akan menjadi cepat sembuh
apabila eksudat dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan lembab,
luka tidak lengket dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel
terhadap gas. Tindakan dressing merupakan salah satu komponen penting
dalam mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip dressing adalah bagaimana
menciptakan suasana dalam keadaan lembab sehingga dapat meminimalisasi
trauma dan risiko operasi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan
dalam memilih dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau
tidaknya eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada
beberapa jenis dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti:
hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam, kompres anti mikroba, dan
sebagainya.
a. Kompres harus mampu memberikan lingkungan luka yang lembab
b. Gunakan penilaian klinis dalam memilih kompres untuk luka luka tertentu
yang akan diobati
c. Kompres yang digunakan mampu untuk menjaga tepi luka tetap kering
selama sambil tetap mempertahankan luka bersifat lembab
d. Kompres yang dipilih dapat mengendalikan eksudat dan tidak
menyebabkan maserasi pada luka
e. Kompres yang dipilih bersifat mudah digunakan dan yang bersifat tidak
sering diganti
f. Dalam menggunakan dressing, kompres dapat menjangkau rongga luka
sehingga dapat meminimalisasi invasi bakteri
g. Semua kompres yang digunakan harus dipantau secara tepat.
B. KONSEP KEPERAWATAN
A. KONSEP KEPERAWATAN DIABETES TIPE 2
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
Airway : kaji kepatenan jalan nafas pasien, ada tidaknya sputum atau benda
asing yang menghalangi jalan nafas
Breathing : kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, ada tidaknya penggunaan otot
bantu pernafasan
Circulation : kaji nadi (biasanya nadi menurun), tanda dan gejala shock
Disability : Pemeriksaan GCS,
Allert : sadar penuh, respon bagus
Voice Respon : kesadaran menurun, berespon thd suara
Pain Respons : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, berespon thd
rangsangan nyeri
Unresponsive : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, tdk bersespon thd
nyeri
b. Pengkajian Sekunder
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot
menurun, gangguan istrahat/tidur
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas,
letargi /disorientasi, koma
2) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi,, klaudikasi, kebas dan kesemutan
pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama, takikardia.
Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang
menurun/tidak ada, disritmia, krekels, distensi vena jugularis, kulit panas,
kering, dan kemerahan, bola mata cekung
3) Integritas/ Ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang
berhubungan dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang
4) Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri/terbakar,
kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru/berulang, nyeri tekan abdomen,
diare.
Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi
oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk
(infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun,
hiperaktif (diare)
5) Nutrisi/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet,
peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih
dari beberapa hari/minggu, haus, penggunaan diuretik (Thiazid)
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen,
muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan
peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton)
6) Neurosensori
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada
otot, parestesi, gangguan penglihatan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut),
gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental, refleks tendon dalam
menurun (koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA).
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati h.
8) Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen
(tergantung adanya infeksi/tidak)
Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi
pernapasan meningkat
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan
bernapas.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan
perifer)
c. Hipoglikemia
d. Hiperglikemi
e. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual
muntah
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan
bernapas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pola napas kembali teratur.
Kriteria Hasil :
1) Pola nafas pasien kembali teratur.
2) Respirasi rate pasien kembali normal.
3) Pasien mudah untuk bernafas.
Intervensi:
1) Kaji status pernafasan dengan mendeteksi pulmonal.
Rasional : Menentukan intervensi selanjutnya
2) Berikan fisioterapi dada termasuk drainase postural.
Rasional : Membantu pengeluaran sputum
3) Penghisapan untuk pembuangan lendir.
Rasional : Mengeluarkan sputum untuk membersihkan jalan napas
4) Identifikasi kemampuan dan berikan keyakinan dalam bernafas.
Rasional : Menentukan kemampuan klien dalam bernapas
5) Kolaborasi dalam pemberian terapi medis seperti suplai oksigen
Rasional : Memenuhi kecukupan oksigen yang dibutuhkan
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (penurunan perfusi
jaringan perifer)
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
nyeri klien dapat berkurang atau mereda.
Kriteria Hasil :
1) Skala nyeri berkurang
2) Klien merasa aman dan nyaman
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
1) Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan ontro presipitasi.
Rasional : Menentukan intervensi lebih lanjut
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
Rasional : Menentukan skala nyeri yang dirasakan pasien
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri klien sebelumnya.
Rasional : Mengetahui persepsi klien tentang nyeri
4) Kontrol ontro lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan.
Rasional : Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
5) Kurangi ontro presipitasi nyeri.
Rasional : Mengurangi perasaan nyeri yang semakin meningkat
6) Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri.
Rasional : Membantu mengurangi perasaan nyeri
7) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
Rasional : Obat analgetik membantuk menghambat pelepasan mediator
nyeri
8) Evaluasi tindakan pengurang nyeri/ontrol nyeri.
Rasioanal : Menentukan keberhasilan tindakan yang talah dilakukan
9) Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian
analgetik tidak berhasil.
Rasional : Menentukan intervensi pemberian obat lebih lanjut
10) Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
Rasional : Mengkaji persepsi klien tentang nyeri
c. Hipoglikemi/ Hiperglikemi
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan perawat
akan menangani dan meminimalkan episode hipoglikemua atau hiperglikemia.
Kriteria Hasil :
1) Glukosa darah dalam batas normal
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
Managemen Hipoglikemia:
1) Monitor tingkat gula darah sesuai indikasi
Rasional : Mencegah terjadinya hipoglikemi yang dapat menimbulkan
komplikasi
2) Monitor tanda dan gejala hipoglikemi ; kadar gula darah < 70 mg/dl,
kulit dingin, lembab pucat, tachikardi, peka rangsang, gelisah, tidak
sadar , bingung, ngantuk.
Rasional : Mengantisipasi terjadinya hipoglikemi
3) Jika klien dapat menelan berikan teh, jus jeruk, manisan setiap 15
menit sampai kadar gula darah > 69 mg/dl
Rasional : Meningkatkan kadar glukosa dalam darah
4) Berikan glukosa 50 % dalam IV sesuai protokol
Rasional : Meningkatkan kadar glukosa dalam darah
5) K/P kolaborasi dengan ahli gizi untuk dietnya.
Rasional : Menentukan diet yang tepat
Managemen Hiperglikemia
1) Monitor GDR sesuai indikasi
Rasional : Mengantisipasi terjadinya hiperglikemi
2) Monitor tanda dan gejala diabetik ketoasidosis ; gula darah > 300
mg/dl, pernafasan bau aseton, sakit kepala, pernafasan kusmaul,
anoreksia, mual dan muntah, tachikardi, TD rendah, polyuria,
polidypsia,poliphagia, keletihan, pandangan kabur atau kadar
Na,K,Po4 menurun.
Rasional : Mencegah terjadinya komplikasi lebih parah dari
hiperglikemi
3) Monitor v/s : TD dan nadi sesuai indikasi
Rasional : TTV abnormal dapat menjadi indikasi terjadinya
hiperglikemi
4) Berikan insulin sesuai order
Rasional : Membantu menurunkan kadar glukosa
5) Pertahankan akses IV
Rasional : Membantu meningkatkan suplai cairan
6) Berikan IV fluids sesuai kebutuhan
Rasional : Membantu meningkatkan suplai cairan
7) Konsultasi dengan dokter jika tanda dan gejala Hiperglikemia menetap
atau memburuk
Rasional : Membantu menetapkan intervensi yang tepat
8) Dampingi/ Bantu ambulasi jika terjadi hipotensi
Rasional : Mencegah timbulnya cedera
9) Batasi latihan ketika gula darah >250 mg/dl khususnya adanya keton
pada urine
Rasional : Mencegah terjadinya cedera
10) Pantau jantung dan sirkulasi ( frekuensi & irama, warna kulit, waktu
pengisian kapiler, nadi perifer dan kalium
Rasional : Memantau perkembangan jantung dan sirkulasi
11) Anjurkan banyak minum
Rasional : Meningkatkan kebutuhan cairan
12) Monitor status cairan I/O sesuai kebutuhan
Rasional : Menentukan status balance cairan yang masuk dalam tubuh
d. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual
muntah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil : Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat,
BB stabil, nilai lab normal
Intervensi :
1) Timbang berat badan tiap hari atau sesuai dengan indikasi
Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
2) Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan
makanan yang dapat dihabiskan pasien
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari
kebutuhan terapeutik
3) Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient) dan
elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya
melalui pemberian cairan melalui oral
Rasional : Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien
sadar dan fungsi gastroisntetinal baik
4) Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH,
dan HCO3
Rasional : Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian
cairan dan terapi insulin terkontrol.
5) Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional : Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian
diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
e. Defisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic dan poliuria
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh
tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler
baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas
normal.
Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD orotstatik
Rasional : Hipovelemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan
takikardia.
2) Ukur berat badan setiap hari
Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status cairan
yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan
pengganti.
3) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Rasional : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume
sirkulasi yang adekuat
4) Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin) dan
Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional :
Ht : Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat
homokonsentrasi yang terjadi setelah dieresis osmotic
BUN : Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel karena
dehidrasi atau tanda awitan kegagalan ginjal.
Osmolalitas darah : Meningkat sehubungan dengan adanya
hiperglikemia dan dehidrasi
5) Natrium : Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan
cairan dari intra sel (dieresis osmotik)
6) Kalium : Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons pada
asodisis
B. KONSEP KEPERAWATAN KAKI DIABETIK
1. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik
adalah sebagai berikut :
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya / menurunnya
aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
b. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada
ekstrimitas.
c. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
d. Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis ) berhubungan dengan
tingginya kadar gula darah.
e. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu
anggota tubuh.
2. Perencanaan
a. Diagnosa no. 1
Gangguan perfusi berhubungan dengan melemahnya/menurunnya aliran
darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
Tujuan : mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal.
Kriteria Hasil :
1. Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
2. Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis - Kulit sekitar luka teraba
hangat.
3. Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
4. Sensorik dan motorik membaik
Rencana tindakan :
1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi Rasional : dengan
mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.
2. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah:
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada
waktu istirahat ), hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat,
hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan sebagainya.
Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga
tidak terjadi oedema.
3. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa : Hindari diet
tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok,
dan penggunaan obat vasokontriksi. Rasional : kolestrol tinggi dapat
mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan
terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi
efek dari stres.
4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator,
pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).
Rasional : pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi
pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki,
sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui
perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki
oksigenasi daerah ulkus/gangren.
b. Diagnosa no. 2
Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada
ekstrimitas.
Tujuan : Tercapainya proses penyembuhan luka.
Kriteria hasil .
1. Berkurangnya oedema sekitar luka.
2. pus dan jaringan berkurang
3. Adanya jaringan granulasi.
4. Bau busuk luka berkurang.
Rencana tindakan :
1. Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan. Rasional :
Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan
membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya.
2. Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara
abseptik menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan
yang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati. Rasional
: merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka
dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul,
sisa balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi.
3. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur
pus pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik. Rasional : insulin
akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus untuk
mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan,
pemeriksaan kadar gula darahuntuk mengetahui perkembangan
penyakit.
c. Diagnosa no. 3
Ganguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
Tujuan : rasa nyeri hilang/berkurang
Kriteria hasil :
Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang/hilang .
Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk mengatasi atau
mengurangi nyeri .
Pergerakan penderita bertambah luas.
Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.( S : 36 37,5 0
C, N: 60 80 x /menit, T : 100 130 mmHg, RR : 18 20 x /menit ).
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang dialami pasien. Rasional :
untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
2. Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri. Rasional :
pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan
mengurangi ketegangan pasien dan memudahkan pasien untuk diajak
bekerjasama dalam melakukan tindakan.
3. Ciptakan lingkungan yang tenang. Rasional : Rangasanga yang
berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa nyeri.
4. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi. Rasional : Teknik distraksi dan
relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.
5. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien.
Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan
kesempatan pada otot untuk relaksasi seoptimal mungkin.
6. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka.
Rasional : massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran
pus sedangkan BWC sebagai desinfektan yang dapat memberikan rasa
nyaman.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik. Rasional : Obat
obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien.
d. Diagnosa no. 4
Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis) berhubungan dengan
tinggi kadar gula darah.
Tujuan : Tidak terjadi penyebaran infeksi (sepsis).
Kriteria Hasil :
1. Tanda-tanda infeksi tidak ada.
2. Tanda-tanda vital dalam batas normal (S : 36 37,50 C)
3. Keadaan luka baik dan kadar gula darah normal.
Rencana tindakan :
1. Kaji adanya tanda-tanda penyebaran infeksi pada luka. Rasional :
Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda penyebaran infeksi dapat
membantu menentukan tindakan selanjutnya.
2. Anjurkan kepada pasien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan
diri selama perawatan. Rasional : Kebersihan diri yang baik merupakan
salah satu cara untuk mencegah infeksi kuman.
3. Lakukan perawatan luka secara aseptik. Rasional : untuk mencegah
kontaminasi luka dan penyebaran infeksi.
4. Anjurkan pada pasien agar menaati diet, latihan fisik, pengobatan yang
ditetapkan. Rasional : Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat
meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan yang tepat, mempercepat
penyembuhan sehingga memperkecil kemungkinan terjadi penyebaran
infeksi.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotika dan insulin.
Rasional : Antibiotika dapat menbunuh kuman, pemberian insulin akan
menurunkan kadar gula dalam darah sehingga proses penyembuhan.
e. Diagnosa no. 5
Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu
anggota tubuh.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota
tubuhnya secara positif
Kriteria Hasil :
Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tanpa rasa
malu dan rendah diri.
Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki.
Rencana tindakan :
1. Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri
berhubungan dengan keadaan anggota tubuhnya yang kurang berfungsi
secara normal. Rasional : Mengetahui adanya rasa negatif pasien
terhadap dirinya.
2. Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Memudahkan dalm menggali permasalahan pasien.
3. Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien.
Rasional : Pasien akan merasa dirinya di hargai.
4. Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain. Rasional
: dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan hubungan
dengan orang lain dan menghilangkan perasaan terisolasi.
5. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan
kehilangan. Rasional : Untuk mendapatkan dukungan dalam proses
berkabung yang normal.
6. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan
hargai pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien. Rasional :
Untuk meningkatkan perilaku yang adiktif dari pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta.
Dewan Pegurus Pusat PPNI

E kaputra, E. (2013). Evolusi Manajemen Luka Menguak 5 Keajaiban Moist Dressing.


Jakarta: TIM.

Maryunani, Anik. (2013). Perawatan Luka (Modern Woundcare) Terlengkap dan


Terkini. Jakarta : In Med ia

Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC

Gibson, Jhon.2002. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat Edisi 2. Jakarta:EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta:

EGC.

Anda mungkin juga menyukai