Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Hematotoraks merupakan salah satu akibat dari trauma thorax yang paling sering
terjadi. Deteksi dan penatalaksanaan dini pada hematotoraks sangat penting terhadap
prognosis pasien. Beberapa peneliti menduga bahwa hematokrit diatas 50% pada pasien
dapat membedakan hematothorax dengan efusi pleura, namun masih kontroversial.
Hematotoraks yaitu keadaan apabila terdapat penumpukan darah dalam rongga toraks
karena robeknya pembuluh darah dalam cavum thoracis. Hematotoraks diklasifikasikan
berdasarkan jumlah darah didalam kavum toraks. Hematotoraks minimal apabila darah
berada pada kavum toraks sekitar 300ml atau kurang, hematotoraks medium apabila
darah 300 sampai 1000ml pada kavum toraks dan hematotoraks masif apabila darah
1000ml dalam kavum toraks. Umumnya hematotoraks dapat terjadi akibat trauma
tumpul atau trauma penetrasi diikuti dengan cedera organ dimana angka kematia
semakin meningkat secara signifikan.1,2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Paru-paru merupakan organ respirasi yang berada pada mediastinum yang
dikelilingi oleh rongga pleura kanan dan kiri. Udara masuk dan keluar paru melewati
bronkus utama yang merupakan percabangan dari trakea. Arteri pulmonalis
mengantarkan darah yang belum teroksigenasi keparu-paru dari ventrikel kanan ke
paru-paru.4
Paru-paru kanan normalnya lebih lebar dan lebih pendek dari paru kiri karena
mempunyai 3 lobus. Lobus ini dibatasi oleh dua fisura. Fisura oblikua memisahkan
lobus superior dan lobus inferior. Lobus superior paru dibagi lagi oleh fisura
horizontalis. Setiap paru berbentuk kerucut dengan bagian basal, apeks, dua
permukaan yaitu permukaan costal dan mediastinal serta tiga batas yaitu inferior
yaitu yang membatasi bagian basal dan permukaan costal. Batas anterior dan
posterior memisahkan permukaan costal dan mediastinal. Tidak seperti batas anterior
dan inferior yang mempunyai tepi yang tajam. Batas posterior lebih halus dan bulat.4
Bagian paru-paru yang tidak dilapisi pleura adalah hillum dimana terdapat
struktur keluar dan masuk. Struktur yang melalui hillum adalah arteri pulmonalis,
dua vena pulmonalis, brokus utama, pembuluh darah bronkial, saraf dan limfe.4
Kavum pleura dilapisi oleh selapis sel, mesotelium dan jaringan konektive
lainnya yang membentuk pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu pleura parietal yang
berhubungan dengan kavum pleura dan pleura visceral yang berhubungan dengan
permukaan paru yang merupakan pembungkus paru-paru.4
3
Gambar 2.1 Anatomi Paru kanan dan kiri4

3.1 Definisi
Hematotoraks yaitu keadaan apabila terdapat penumpukan darah dalam rongga
toraks karena robeknya pembuluh darah dalam cavum thoracis (mulai dari arteria
intercostalis sampai pada aorta), maka darah akan mengambil tempat diparu. Paru
akan terdesak dan ekspansinya terhambat (Hematotoraks). Hal ini akan bertambah
bila terdapat pula pneumotoraks (hematopneumotoraks), dan jumlah darah dalam
satu hemitoraks dapat mencapai 2-3 liter pada dewasa.2

3.2 Etiologi dan Klasifikasi


Etiologi dari hematotoraks dibagi menjadi penyebab traumatik dan nontraumatik.
Penyebab traumatik hematotorak adalah trauma tumpul atau trauma penetrasi.
Penyebab nontrauma hematotoraks berasal dari berbagai penyakit seperti neoplasia,
pada pneumotoraks, tuberkulosis dan lain-lain. Hematotoraks juga dapat terjadi pada
pasien dengan gangguan pembekuan darah, iatrogenik seperti pada pemasakangan
kateter vena sentral, torakosentesis dan biopsi pleura.1,5

Klasifikasi Derajat Hematotoraks:6


 Hematotoraks Kecil: yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15% pada foto
rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai 300 ml.
 Hematotoraks Sedang: 15-35% tertutup bayangan pada foto rontgen, perkusi
pekak sampai iga VI. Jumlah darah sampai 800 ml.
 Hematotoraks Besar: lebih 35% pada foto rontgen, pekak sampai kranial, iga IV.
Jumlah darah sampai lebih dari 800 ml.
3.3 Epidemiologi
Sekitar 150.000 kematian terjadi dari trauma setiap tahun. Cedera dada terjadi
sekitar 60% kasus multipel trauma. Oleh karena itu perkiraan terjadinya
hematotoraks terkait dengan trauma di Amerika Serikat mendekati 300.000 kasus
per tahun. Sekitar 2.086 anak-anak muda di Amerika Serikat, berumur 15 tahun
dirawat dengan trauma tumpul atau penetrasi, 104 (4,4%) memiliki trauma toraks.
Dari pasien dengan trauma toraks, 15 memiliki hematopneumotoraks (26,7%
kematian, dan 14 memiliki hematotoraks (57,1% kematian).7

3.4 Patofisiologi
Hemototoraks adalah adamya darah yang masuk kearea pleura. Biasanya
diakibatkan oleh trauma tumpul atau tajam pada dada yang mengakibatkan robeknya
membran serosa dinding dada bagian dalamm. Robekan ini mengakibatkan darah
mengalir kedalam rongga pleura, yang menyebabkan penekanan paru. Perdarahan
pada rongga pleura dapat terjadi hampir pada semua gangguan pada jaringan dinding
dada dan pleura atau struktur intratoracic. Darah yang masuk ke kavum pleura
terkena gerakan diafragma, paru-paru dan struktur intratoracic lainnya. Hal ini
menyebabkan terjadinya defibrinasi darah sehingga terjadi pembekuan yang tidak
lengkap. Dalam beberapa jam perdarahan berhenti, dan terjadi lisis bekuan darah
oleh enzim pleura yang menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi protein
cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotik rongga pleura. Tekanan osmotik
intrapleura yang tinggi menyebabkan transudasi cairan kedalam rongga pleura dan
terjadi peningkatan akumulasi cairan pleura. Darah yang terakumulasi lama
kelamaan akan menekan paru dan mengganggu proses ventilasi dan oksigenasi
sehingga timbullah sesak. Apabila lisis tidak sempurna atau perdarahan relatif
banyak maka akan terjadi pembentukan clot.8

3.5 Manifestasi Klinis


Pasien biasanya mengeluhkan nyeri dada dan sesak napas. Gejala dan temuan
fisik yang terkait dengan hematotoraks pada kasus trauma sangat bervariasi,
tergantung pada jumlah dan kecepatan perdarahan, etiologi yang mendasari, dan
mekanisme cedera. Pada beberapa kasus, hematotoraks tidak menimbulkan gejala
apapun. Kadang, gejala dan tanda anemia atau syok hipovolemik menjadi keluhan
dan gejala yang pertama muncul.6,9
3.6 Diagnosis
Diagnosis hematotoraks ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.10

3.6.1 Anamnesis
 Pada kasus trauma perlu ditanyakan jenis trauma, mekanisme jejas, waktu
terjadinya, dsb
 Pertanyaan seputar etiologi non-trauma seperti keganasan, infeksi, penggunaan
obat-obatan antikoagulan, dsb
 Keluhan nyeri dada dan sesak napas, serta waktu muncul dan progresivitas gejala

3.6.2 Pemeriksaan Fisik


Takipnea disertai napas yang dangkal sering terjadi; Jika terjadi kehilangan darah
sistemik yang cukup banyak, hipotensi dan takikardia sering dapat ditemukan.4
Pasien juga dapat tampak pucat akibat perdarahan. Kesadaran dapat bervariasi
tergantung beratnya derajat hematotoraks.
Pada pemeriksaan fisik paru dapat ditemukan hasil sebagai berikut:10,11
 Inspeksi: gerakan napas tertinggal
 Palpasi: fremitus pada sisi yang terkena terasa lebih lemah
 Perkusi: redup
 Auskultasi: suara napas menurun atau menghilang

3.6.3 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Laboratorium

Pada kasus hematotoraks perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk


mengetahui adanya penurunan kadar hemoglobin dan peningkatan hematokrit
yang menunjukan adanya kehilangan darah. Pemeriksaan analisa gas darah
mungkin diperlukan pada beberapa kasus untuk mengetahui keadaan oksigenasi
jaringan, ventilasi dan keseimbangan asam basa, saturasi O2 dan pH darah. Pada
pemeriksaan AGD pada gagal nafas akan ditemukan adanya hipoksemia,
hiperkapnia dan asidosis (respiratorik atau metabolik).11
 Foto rongten thoraks

Foto rontgen toraks dengan posisi berdiri merupakan pemeriksaan yang paling
ideal dan sensitif untuk mendeteksi adanya hematotoraks, hal ini ditandai dengan
adanya sudut costophrenicus yang tumpul atau adanya gambaran air-fluid level
bila terjadi hemopneumothoraks. Apabila pasien tidak dapat diposisikan berdiri
atau tegak lurus maka rontgen toraks dengan posisi supine dapat menunjukkan
apical capping dengan cairan melingkupi bagian superior paru-paru. Adanya
gambaran opak pada bagian lateral ekstrapulmoner dapat menunjukkan adanya
cairan pada ruang pleura.12,13

Gambar 3. Gambaran rongten hematotoraks massif 12

Pada rongten toraks posisi tegak, gambaran sudut costophrenicus yang


menghilang menunjukan bahwa perdarahan yang terjadi kurang lebih 300 ml dan
sebanyak >1000 ml apabila terlihat gambaran kesuraman difus disertai efek
penekanan yang menggeser struktur rongga dada (trakea, jantung, mediastinum)
ke arah kontralateral.14
 Computed Tomography (CT) Scan

CT scan toraks memiliki peranan yang penting dalam proses evaluasi


hematotoraks, CT scan adalah pemeriksaan diagnostik yang sangat akurat untuk
mengetahui adanya cairan atau darah pada pleura dan sangat membantu dalam
menentukan lokasi bekuan darah. Dalam kasus trauma, CT tidak memainkan
peran utama dalam diagnosis hemototoraks namun saling melengkapi dengan
rongten toraks. Karena pada kasus trauma tumpul yang dilakukan evaluasi
dengan CT dada, CT abdomen, atau keduanya, hematotoraks sering tidak terlihat
namun pada rongten toraks dapat diidentifikasi dan ditatalaksana.11,15

Gambar 4. Gambaran CT-scan hemapneumotoraks 15

3.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan hematotoraks adalah stabilisasi hemodinamik,
menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga
pleura. Langkah pertama stabilisasi hemodinamik adalah dengan melakukan resusitasi
yaitu dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi cairan, serta dapat dilanjutkan dengan
pemberian analgesik serta antibiotik. Setelah hemodinamik pasien stabil dapat
direncanakan untuk melakukan tindakan pengeluaran cairan (darah) dari rongga pleura
dengan pemasangan chest tube yang disambungkan dengan water shield drainage
(WSD).1
Penatalaksanaan hematotoraks terdiri dari fase awal mis. syok hemoragik, gagal
nafas atau bekuan darah dan fase lanjut mis. fibrotoraks dan empiema. Akumulasi darah
minimal jika volume <300 ml pada rongga pleura tidak memerlukan perawatan; Darah
biasanya diserap sendiri dalam beberapa minggu. Jika pasien stabil dan hanya memiliki
gejala gangguan nafas yang minimal, intervensi operasi tidak diperlukan. Kelompok
pasien tersebut dapat diobati dengan analgesia sesuai kebutuhan dan diobservasi dengan
foto rongten thorax pada 4-6 jam setelah onset dan 24 jam.1

 Torakostomi

Pada kebanyakan kasus, drainase menggunakan chest tube berukuran besar (28
French) adalah tatalaksana awal yang dapat diandalkan kecuali terdapat kecurigaan
diseksi atau ruptur aorta. Setelah torokostomi dilakukan, pemeriksaan rongten toraks
harus selalu diulang untuk mengidentifikasi posisi WSD, dan untuk mengkonfirmasi
apakah masih terdapat akumulasi darah dalam rongga pleura. Pemasangan chest tube
biasa dilakukan pada ICS V atau ICS VI linea mid aksilaris posterior ipsilateral karena
lokasi ini aman karena berada diatas diafragma dan pada area ini dinding dada memiliki
lapisan otot paling tipis, sehingga pemasangan chest tube dapat dilakukan lebih tepat
dan tidak sakit.8

 Torakotomi

Apabila keluarnya darah dari rongga pleura sebanyak 1500 ml atau 200 ml/jam selama
2-4 jam atau 3-5 cc/kgbb/jam selama 3 jam berturut-turut harus dilakukan torakotomi
cito untuk menghentikan perdarahan karena dapat terjadi syok dan diperlukan transfusi
darah berulang untuk mempertahankan kondisi hemodinamik. Pasien dengan kehilangan
darah aktif namun dengan hemodinamik stabil dapat ditatalaksana dengan Video-
Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS), tidak hanya untuk menghentikan perdarahan
tetapi juga untuk mengevakuasi bekuan darah dan gangguan. adhesi. Torakotomi adalah
prosedur pilihan bagi pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik karena pendarahan
aktif. Eksplorasi bedah memungkinkan pengontrolan sumber pendarahan dan evakuasi
darah dalam rongga toraks.1,8

 Antibiotik profilaksis

Pengobatan antibiotika pada kasus hematotoraks mengurangi risiko komplikasi infeksi.


Panduan merekomendasikan penggunaan sefalosporin generasi pertama selama 24 jam
pertama pada pasien yang dilakukan pemasangan WSD. Ketika empiema terjadi selama
pemasangan WSD, pengobatan antibiotik harus diarahkan pada spesies Staphylococcus
aureus dan Streptococcus.8
Durasi pengobatan dengan antibiotik masih menjadi perdebatan dan rekomendasi
bervariasi mulai dari 24 jam sampai saat pelepasan WSD dilakukan. Secara umum,
pengobatan antibiotik selama 24 jam disarankan pada hematotoraks
traumatik.Penggunaan profilaksis antibiotik pada haemotoraks spontan belum diteliti
lebih lanjut.15

 Terapi fibrinolitik intrapleural

Terapi fibrinolitik intrapleural (IPFT) dapat diberikan pada usaha evakuasi bekuan darah
sisa dan melepaskan perlekatan ketika drainase menggunakan WSD tidak berjalan
dengan adekuat. Retensi bekuan darah di rongga pleura dapat menyebabakan trapped
lungs, fibrotoraks kronis, gangguan fungsi paru-paru dan infeksi. Beberapa laporan
penelitian tentang IPFT menggunakan streptokinase (250.000 IU), urokinase (100.000
IU atau 250.000 IU) atau aktivator plasminogen jaringan (TPA) sebagai terapi
fibrinolitik intrapleural. Selang waktu antara onset hematotoraks dan dimulainya
pengobatan bervariasi mulai dari hari ke-4 sampai hari ke-165. Umumnya tindakan
untuk mengevakuasi bekuan darah dilakukan dalam 7-10 hari setelah onset.9

Gambar 5. Algoritma tatalaksana hematotoraks spontan dan traumatik8


 Intubasi

Intubasi dalam situasi mendesak harus segera dilakukan untuk mencegah aspirasi.

3.8 Prognosis
Secara umum prognosis hematotoraks traumatic adalah baik. Kematian biasanya
disebabkan oleh empyema (pada 5% pasien) atau fibrotoraks (pada 1% pasien). Pada
kasus non-trauma prognosis tergantung dari etiologi yang mendasari.
BAB III
KESIMPULAN

Hematotoraks yaitu keadaan apabila terdapat penumpukan darah dalam rongga


toraks karena robeknya pembuluh darah dalam cavum thoracis (mulai dari arteria
intercostalis sampai pada aorta), maka darah akan mengambil tempat diparu.
Penyebab traumatik hematotorak adalah trauma tumpul atau trauma penetrasi.
Penyebab nontrauma hematotoraks berasal dari berbagai penyakit seperti neoplasia,
pada pneumotoraks, tuberkulosis dan lain-lain.
Biasanya diakibatkan oleh trauma tumpul atau tajam pada dada yang
mengakibatkan robeknya membran serosa dinding dada bagian dalamm. Robekan ini
mengakibatkan darah mengalir kedalam rongga pleura, yang menyebabkan
penekanan paru. Perdarahan pada rongga pleura dapat terjadi hampir pada semua
gangguan pada jaringan dinding dada dan pleura atau struktur intratoracic. Darah
yang terakumulasi lama kelamaan akan menekan paru dan mengganggu proses
ventilasi dan oksigenasi sehingga timbullah sesak.
Prinsip penatalaksanaan hematotoraks adalah stabilisasi hemodinamik,
menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga
pleura. Langkah pertama stabilisasi hemodinamik adalah dengan melakukan
resusitasi yaitu dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi cairan, serta dapat dilanjutkan
dengan pemberian analgesik serta antibiotik. Setelah hemodinamik pasien stabil
dapat direncanakan untuk melakukan tindakan pengeluaran cairan (darah) dari rongga
pleura dengan pemasangan chest tube yang disambungkan dengan water shield
drainage (WSD).
Secara umum prognosis hematotoraks traumatic adalah baik. Kematian biasanya
disebabkan oleh empyema (pada 5% pasien) atau fibrotoraks (pada 1% pasien).
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahoozi HR. Volmerig J, Hecker E. Modern Management of Traumatic


Hemothorax. J Trauma Treat. 2016; 5(3):1-5.
2. Puruhito
3. Aberal MA, Koksal E, Civan M, Tulluce K, Karadag H, Koksal ZS. Traumatic
hemothorax: Analysis of 108 cases. J Exp. Clin. Med. 2013; 30: 31-33.
4. Drake LR, Vogl W, Mitchell AW. Gray’s Anatomy for Students. 3rd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2015: 163-71.
5. Patrini D, Panagiotopoulus N, Pararaajasingham J, Gvinianidze L, Iqbal Y,
Lawrence DR, Etiology and management of spontaneous haemothorax. J Thorac
Dis. 2015; 7(3): 520-526.
6. Sjamsuhidajat R. de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3 rd edition. Jakarta: EGC.
2010. p.505-6
7. Mayasari D, Pratiwi AI. Penatalaksanaan Hematotoraks sedang et causa trauma
tumpul. J AgromedUnila. 2017; 4(1): 37-42.
8. Boersma WG. Stigt JA. Smit HJ. Treatment of haemothorax. Respir Med. 2010
Nov;104(11):1583-7.
9. Henry MM. Thompson JN. Clinical Surgery. 3rd edition. Philadelphia: Elsevier.
2012. p. 365-77
10. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. 3rd edition. Jakarta: EGC. 2009. p. 372-3
11. Mancini MC. Hemothorax [internet]. 2017 [cited 2018 Feb 18]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/2047916-clinical
12. Broderick SR. Hemothorax: Etiology, diagnosis, and management. Thorac Surg
Clin. 2013 Feb. 23(1):89-96
13. Amir Lagstein. Pulmonary Apical Cap—What’s Old Is New Again. Arch Pathol
Lab Med. 2015;139:1258–1262
14. Karkhanis VS. Joshi JM. Pleural effusion: diagnosis, treatment, and management.
Emerg Med. 2012:4 31–52
15. Oikonomou A. Prassopoulos P. CT imaging of blunt chest trauma. Insights
Imaging. 2011 Jun; 2(3): 281–295.

Anda mungkin juga menyukai