“SYOK HIPOVOLEMIK”
OLEH:
KELOMPOK 2
1
HALAMAN PERSETUJUAN
Hari :
Tanggal :
Dosen Tutor
i
DAFTAR ISI
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1..............................................................1
HALAMAN PERSETUJUAN...............................................................................i
BAB 1......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1 Skenario....................................................................................................4
1.2 Pemeriksaan fisik..........................................................................................4
1.3 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................4
1.2 Tujuan Pembelajaran...................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................7
BAB 4....................................................................................................................34
PEMBAHASAN...................................................................................................34
BAB 5....................................................................................................................36
PENUTUP.............................................................................................................36
5.1 Kesimpulan..................................................................................................36
5.2 Saran............................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................37
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Seorang wanita, berusia 40 tahun, tiba di IGD RSUD Dr. Soegiri Lamongan
pukul 10.30 diantar ambulans setelah mengalami kecelakaan lalu lintas pukul
10.00. Menurut kesaksian orang-orang sekitar, pasien mengendarai sepeda motor
dengan kecepatan sedang lalu ditabrak dari bellang oleh truk yang menyalip.
Pasien menggunakan helm, namun sudah dilepas pihak berwajib selama
perjalanan menuju IGD. Pada saat sampai di IGD dilakukan pemeriksaan dengan
hasil:
1.2 Pemeriksaan fisik
Primary survey:
Kondisi umum : tampak lemah, pucat
Airway : Clear, C spine stabil.
Breathing : RR 36 x/menit, ves +/+, ronchi -/-, whz -/-, sonor/sonor, ekskhoriasi
thorax D et parasternal S 1/3 bawah.
Circulation : TD 60/40 mmHg, nadi 150 x/menit, akral dingin kering pucat, CRT
= 2 detik, ekskhoriasi abdomen D et S 1/3 atas, Kateter urin (-), produksi urin (-),
pelvis stabil.
Disability : Somnolen, GCS 2-3-4, pupil bulat isokor 3mm/3mm, RC +/+
Exposure : Ekskhoriasi thorax D et parasternal S 1/3 bawah, ekskhoriasi abdomen
D et S 1/3 atas, pelvis stabil.
1.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium : Hb 8,3; Leukosit 5.000; Platelet 395.000; BUN 11;
SK 0,8; SGOT 56; SGPT 24; Albumin 3,4
Rontgen Thorax : Hematothorax (+) Dekstra, Pneumothorax (-), Fraktur costae (-)
4
Gambar 1.1 Rontgen Thorax
USG FAST : (+) morison pouch & paravesica.
Tiga puluh menit pasca menerima pasien, Anda mengkonsultasikan pasien kepada
dokter spesialis Bedah. Setelah berkonsultasi dengan spesialis Bedah, Anda
diminta mengkonsultasikan pasien ke spesialis Anastesi untuk dipersiapkan CITO
Operasi dan melakukan penilaian ulang kondisi pasien.
5
Exposure : Ekskhoriasi thorax D et parasternal S 1/3 bawah, ekskhoriasi
abdomen D et S 1/3 atas, pelvis stabil, lingkar abdomen bertambah 5 cm.
Pasca menerima panggilan code blue, spesialis Anastesi melakukan intubasi di
IGD dan mempersiapkan pasien untuk CITO operasi. Anda diminta melakukan
monitoring ulang pasien dan mengkonsultasikan kondisi pasien ke spesialis
Bedah.
6
9. Mahasiswa mampu mengetahui aspek etikomedikolegal untuk pasien dengan
rencana tindakan infasif.
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
a. Anamnesis
8
Didapatkan adanya trauma. Trauma langsung atau tidak langsung akibat
kecelakaan atau jatuh dari ketinggian. Trauma tersebut dapat meinmbulkan jejas pada
dinding perut. Pada rupture lien, terdapat jejas pada perut bagian kiri atas (contre
coupe). (Sander, 2018).
b. Pemeriksaan fisik
Terdapat darah bebas dalam rongga perut dan pada rupture lien didapatkan massa
pada kiri atas abdomen. Darah bebas pada ronnga perut secara klinis dapat diketahui
dengan cara :
1. Tensi yang menurun, nadi yang meningkat, dengan ada atau tidaknya tanda-tanda
syok dan anemia akibat adanya perdarahan yang hebat.
2. Pekak sisi dengan shifting dullness pada rongga perut akibat adanya hematom
subcapsular
3. Darah bebas yang memberi rangsangan pada peritoneum sehingga gejalanya
tegang otot perut dan nyeri yang mencolok. Pada ruptur yang lambat, biasanya
penderita datang dengan keadaan syok, dan tanda perdarahan intraabdomen.
(Sander, 2018).
Pada pemeriksaaan local didapatkan nyeri tekan lepas pada abdomen. Bila darah
mengumpul pada perut kirri atas pada daerah lien akan memberikan rasa nyeri pada
bahu kiri. (kehr’s sign). Pengumpulan darah pada rongga peritoneum dapat diketahui
dengan menggunakan pita ukur untuk mengukur lingkar perut yang bertambah setiap
jamnya. (Sander, 2018)
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin
Pada perdarahan intraabdomen dapat terjadi penurunan hemoglobin, hematocrit,
disertai dengan peningkatan leukosit. Hemoglobin diperiksa berulang kali secara
serial untuk mengetahui penurunan yang bertahap. (Sander, 2018)
2. Untuk mengetahui adanya darah bebas dalam rongga peritoneum dapat
dilakukan:
9
a. Peritoneum lavage merupakan tindakan melakukan bilasan rongga perut
dengan memasukkan kurang lebih satu liter NaCl 0.9 % yang dimasukkan ke
rongga peritoneum, setelah 10-15 menit cairan dikeluarkan kembali, bila cairan
berwarna merah maka kesimpulannya terdapat darah di rongga perut. (Sander,
2018)
b. Pemeriksaan CT-Scan untuk mengetahui berat ringannya kerusakan.
Focused Assesment Sonography for Trauma (FAST) merupakan suatu
pemeriksaan yang mendeteksi ada atau tidaknya cairan intaperitoneal.
Pemeriksaan inidifokuskan pada 6 area yaitu pericardium, hepatorenal,
2.3.2 Hematothorax
1. Definisi Hematothoraks
Hematotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura. Sumber perdarahan
dapat berasal dari dinding dada, parenkim paru-paru, jantung atau pembuluh
darah besar. Jumlah perdarahan pada hematotoraks dapat mencapai 1500 ml,
apabila jumlah perdarahan lebih dari 1500 ml disebut hematotoraks masif
(Mayasari, dkk, 2017).
2. Etiologi Hematothoraks
Sejauh ini penyebab paling umum dari hematotoraks adalah trauma, baik
trauma yang tidak disengaja, disengaja, atau iatrogenik. Terjadinya hematotoraks
biasanya merupakan konsekuensi dari trauma tumpul, tajam dan kemungkinan
komplikasi dari beberapa penyakit. Trauma dada tumpul dapat mengakibatkan
hematotoraks oleh karena terjadinya laserasi pembuluh darah internal.
Hematotoraks juga dapat terjadi, ketika adanya trauma pada dinding dada yang
awalnya berakibat terjadinya hematom pada dinding dada kemudian terjadi ruptur
masuk kedalam cavitas pleura, atau ketika terjadinya laserasi pembuluh darah
akibat fraktur costae, yang diakibatkan karena adanya pergerakan atau pada saat
pasien batuk (Mayasari, dkk, 2017).
3. Patofisiologi Hematothoraks
10
Trauma toraks atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar
masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil
pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan
hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia
(kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan.
Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines
yang dapat memacu terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS) dan sepsis (Mayasari, dkk,
2017).
Pada trauma thoraks perlu dipikirkan juga syok berasal dari trauma di organ
intrathorakal. Pemasangan intubasi diperlukan untuk mengontrol airway. Dilihat
juga peningkatan JVP guna membedakan dengan tension pneumothoraks dan
tamponade jantung. Lihat retraksi interkostal dan supraklavikular dapat
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. Evaluasi banyak dan persebaran luka
11
(abrasi, emfisema subkutis, krepitasi, dan adanya fraktur costae). Jangan lupa juga
penilaian terhadap daerah thoraks posterior (Mayasari, dkk, 2017).
4. Klasifikasi Hematothoraks
a. Hematotoraks kecil: yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada
foto rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai 300
ml(Mayasari, dkk, 2017).
b. Hematotoraks sedang: 15–35 % tertutup bayangan pada foto rontgen, perkusi
pekak sampai iga VI. jumlah darah sampai 800 ml (Mayasari, dkk, 2017).
c. Hematotoraks besar: lebih 35 % pada foto rontgen, perkusi pekak sampai
cranial, iga IV. Jumlah darah sampai lebih dari 800 – 1500 ml (Mayasari,
dkk, 2017).
5. Penegakan Diagnosis
12
hypoxemia, anxiety (gelisah), cyanosis, anemia, deviasi trakea ke sisi yang tidak
terkena, gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical),
penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena, dullness pada
perkusi, adanya krepitasi saat palpasi (Mayasari, dkk, 2017).
6. Tatalaksana Hematothoraks
13
1. Hematothoraks, efusi pleura
2. Pneumothoraks (>25%)
3. Profilaksis pada pasien trauma yang akan dirujuk
4. Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator (Rumandani, dkk,
2017)
Adapun beberapa hal berikut menjadi kontraindikasi pemasangan chest tube dan
WSD:
Komplikasi yang memungkinkan muncul pada pemasangan chest tube WSD ini
dapat berupa (Rumandani, dkk, 2017):
1. Tube malposition akibat peletakan selang yang tidak sesuai dengan tempat
seharusnya
2. Blocked drain akibat adanya blockade dari selang yang mengakibatkan
aliran drainase menjadi tidak lancer
3. Chest drain dislodgement, yaitu terlepasanya selang dari cavum pleura
pasien
4. Udema pulmonum reekspansi, yaitu edema pulmo setelah paru yang
tadinya kolaps menjadi mengembang
5. Emfisema subkutis, akumulasi udara pada ruang subkutan pada dinding
dada
6. Cedera saraf pada sekitar lokasi pemasangan
7. Cedera kardiovaskuler berupa perdarahan dan memicu komplikasi kea rah
cedera jantung
8. Post extubation pneumothoraks, pneumothoraks akibat tidak
terdrainasenya udara secara optimal atau prosedur pelepasan wsd yang
kurang baik
14
9. Fistula, yakni terbentuknya fistula yang menghubungkan pleura dengan
subkutis atau bahkan bronkus beserta percabangannya dengan cavum
pleura dan dengan subkutis
10. Infeksi local pada area pemasangan. (Rumandani, dkk, 2017)
15
16
Gambar 2.2 Patofisiologi Syok Hipovolemik
(Wijaya, 2014 dan Worthley, 2000)
17
Sindrom klinis yang terjadi akibat berkurang/hilangnya volume intravaskular
secara signifikan Syok hipovolemik terjadi akibat penurunan volume sel darah merah
dan/plasma darah. Kondisi tersebut dapat berupa perdarahan, sekuestrasi cairan
ekstravaskular, kehilangan cairan dari gastrointestinal, urin, maupun insensible water
loss. Volume darah yang berkurang (penurunan preload) akan menurunkan volume
akhir diastolik ventrikel sehingga isi sekuncup (stroke volume) juga menurun (Tanto,
Christ, dkk., 2014).
A. Kardiovaskular
B. Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak
terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan
pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras
angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan
garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen
meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan
aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin
(Wijaya, 2014;Worthley, 2000).
C. Neuroendokrin
18
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain (Wijaya, 2014;Worthley, 2000).
D. Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung
dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan
otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan
energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi
tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi
kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean
arterial pressure/MAP) jatuh hingga 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun
drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu (Wijaya, 2014;Worthley, 2000).
19
2.5 Penegakan Diagnosa Syok Hipovolemik
2.5.1 Penegakan Diagnosis Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh
volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat
(Dewi, et al, 2010). Diagnosis dapat dibuat berdasarkan:
A. Anamnesis
B. Pemeriksaan fisik
Kulit pucat, dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan
pengisian kapiler lambat, pernafasan cepat dan dangkal, urin output kurang dari
25ml/jam, clammy skin (kulit lembab), MAP (Mean Arterial Pressure) dibawah
60 mm Hg dan nadi melemah, penurunan CVP (Central Venous Pressure),
penurunan PAWP (Pulmonary artery wedge pressure), dan penurunan cardiac
output (Dewi, et al, 2010).
C. Pemeriksaan penunjang
20
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya
tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari
kondisi pasien itu sendiri (Dewi, et al, 2010).
21
Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang diperoleh dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan
penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak napas. Juga bisa didapatkan
keterangan bahwa penderita sebelumnya mengalami kecelakaan pada dada. Pada
pemeriksaan tanda vital didapatkan adanya hipotensi dan nadi cepat. Pemeriksaan
fisik inspeksi biasanya didapatkan anxietas (gelisah), cyanosis, gerakan napas
tertinggal atau adanya pucat karena perdarahan. Pada palpasi didapatkan adanya
krepitasi. Pada perkusi didapatkan pekak dengan batas tidak jelas, sedangkan pada
auskultasi didapatkan bunyi napas menurun atau bahkan menghilang (Mayasari,
2017).
3. USG : USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk pasien
yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
22
Diagnosa trauma tumpul hepar didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
A. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan
juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka,
benda asing yang tertancap serta status hamil. Penderita dapat diposisikan dengan
hati–hati untuk mempermudah pemeriksaan lengkap.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah
intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat
menyebabkan ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur
berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus
meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi usus
bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.
3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan
adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi
timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada
hemoperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding)
dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary
guarding) adalah tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah
mendapatkan adanya dan menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan
dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut
dilepaskan tiba–tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya
darah atau isi usus.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos Abdomen
23
Pada penderita dengan hemodinamik normal maka pemeriksaan foto polos
abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang punggung)
mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau
udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera
retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena nyeri atau patah tulang
punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk
mengetahui udara bebas intraperitoneal (Rose, 2004).
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) merupakan pencitraan pilihan, utamanya untuk
mendeteksi cedera pada organ dan cairan bebas di rongga abdomen (Kozar, 2009).
Cairan pada abdomen tampak sebagai sinyal anechoic.
24
Gambar 2.5 Penampakan ruang hepatorenal (Morison Pouch) (Rose, 2004)
Indikasi dan peranan FAST pada trauma tumpul abdomen adalah pasien stabil
dengan kecurigaan klinis tinggi terhadap cedera torakoabdominal
Jika FAST positif seringkali pemeriksaan lain tidak diperlukan dan intervensi
segera dapat dikerjakan.
USG memiliki sensitifitas dan spesifitas lebih rendah untuk mendeteksi cedera
parenkim dibandingkan untuk mendeteksi carian bebas. Cedera organ solid
tanpa hemoperitoneum lebih sukar untuk dideteksi (Rose, 2004).
25
Gambar 2.6 Alur kerja USG fast (Rose, 2004).
3. CT SCAN abdomen
CT scan memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk mendeteksi
cedera hepar. Penampakan pada CT terhadap trauma tumpul hepar antara lain
laserasi, hematoma subkapsular dan intraparenkim, perdarahan aktif dan cedera
vaskuler. Hematoma intraparenkim dapat dengan mudah dibedakan pada CT Scan
dengan kontras. Cairan intraperitoneal bebas umum ditemukan pada CT Scan pasien
26
dengan trauma tumpul abdomen. Sejumlah kecil hemoperitoneum awalnya
berkumpul pada kompartemen dekat dengan lokasi perdarahan dan semakin besar
mengalir ke kantong Morison hingga cavum Douglas. Deteksi perdarahan aktif pada
CT lebih penting sebagai prediktor kuat kegagalan terapi non operatif (Wong, 2005).
4. Pemeriksaan Laboratorium
Peran pemeriksaan darah laboratorium memiliki peran yang kecil dalam
penegakan diagnosis trauma hepar. Namun perannya penting dalam pengawasan
khususnya untuk manajemen non operatif. Pemeriksaan darah lengkap meliputi
hemoglobin dan hematokrit memiliki nilai dalam tatalaksana trauma hepar.
Kehilangan darah ekstensif pada trauma hepar tampak pada kadar hemoglobin pasien.
Ini memerlukan penanganan segera meliputi damage control dan resusitasi dengan
transfusi. Pada kasus trauma hepar mayor, kadar trombosit juga dapat menurun tajam,
membuat ahli bedah harus lebih awas terhadap bahaya koagulopati dan tantangan
dalam melakukan resusitasi bedah. Beberapa penelitian menunjukkan peran
pemeriksaan kimia darah utamanya kadar enzim hati sebagai gambaran kerusakan
hati akut akibat trauma. Namun kadar yang ditunjukkan seringkali tidak selaras
dengan kerusakan yang terjadi dan dipengaruhi oleh komorbiditas yang mungkin
telah dimiliki pasien sebelum trauma terjadi. Selain itu yang perlu diperiksa pada
kondisi trauma adalah faal hemostasis pasien yang menunjukkan koagulopati yang
mungkin telah terjadi (Tan, 2009).
27
penatalaksanaan sebelum dan di tempat pelayanan kesehatan atau rumah
sakit.Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus memperhatikan
prinsipprinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi jantung, jalan nafas dan
respirasi dapat dipertahankan, tindakan selanjutnya adalah adalah menghentikan
trauma penyebab perdarahan yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut
(Hardisman, 2013).
Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau
ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada
anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan
bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat
perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian
cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu
satu jam, karena istribusi cairan koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke
ruang intersisial. Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah
dengan pemberian koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera . Transfusi darah
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan yang masih berlangsung dan
jadar hemoglobin <8 mg/dL (Hardisman, 2013).
28
Pasien datang dengan perdarahan
Hemodinamik = buruk
RL/NaCl 0,9 %
20-40 cc/kg.BB
Cepat 10-20 menit (Dewasa) atau 30-60
menit (anak/orangtua) Terus cairan 2-4 x EBL
A
Menilai kembali dan monitoring
pasien
29
Keterangan:
1. Prinsip Monitoring
a. Makrosirkulasi
Adalah nilai yang menunjukkan tekanan darah pada vena cava dekat atrium
kanan jantung. CVP merefleksikan jumlah darah yang kembali ke jantung dan
kemampuan jantung memompa darah. CVP dapat digunakan untuk memperkirakan
tekanan pada atrium kanan, yang mana secara tidak langsung menggambarkan beban
awal (preload) jantung kanan dan tekanan ventrikel kanan pada akhir diastole.
Pengukuran tekanan vena sentral memberikan informasi penting mengenai keadaan
fungsi sistem kardiovaskular pasien, kecukupan volume vaskuler, dan juga
keberhasilan terapi yang diberikan.
Metode invasife : Dengan memasukkan kateter kedalam vena subklavia atau vena
jugularis internal dan kemudian di monitor dengan menggunakan manometer atau
transduser.
-Afterload
MAP (Mean Arterial Pressure) = 2x diastole x systole dibagi 3, Untuk otak MAP
cardiac-TIK
30
SVR = Systemic Vascular Resistance
-Kontraktilitas
Stroke Volume
Yaitu volume satu kali pompa yang merupakan volume akhir diastole dikurangi
volume akhir systole.
-Nadi
-CPP (Coronary Perfussion Pressure) dianalogkan dengan hasil EKG, apabila masih
ada ST elevasi maka end point tidak tercapai
Cardiac Output adalah banyak darah yang dipompa selama satu menit . CO = HR X
Stroke Volume
b. Mikrosirkulasi
Parameter :
- SVO2
- Laktat
- PCO2
- Base Deficit (BE)
- pH
- Mediator Inflamasi
2. Terapi Rumatan
31
2. Estimasi 40ml/kg/hari
2.7 Komplikasi
1. Kegagalan multiorgan akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) akibat hipoksia dan kematian
jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan proses koagulasi.
3. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada dewasa akibat destruksi
pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia.
2.8 Prognosis
Pada umumnya, Hypovolemic shock dapat menyebabkan kematian meskipun
sudah diberikan penanganan medis. Faktor usia juga merupakan faktor yang
mempengaruhi Hypovolemic shock, biasanya orang-orang yang sudah lanjut usia jika
mengalami Hypovolemic shock akan sulit ditangani dan disembuhkan. Hypovolumic
shock dapat disembuhkan jika segera diberikan penanganan atau tindakan meskipun
tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan kematian terhadap orang tersebut.
Hypovolemi shock biasanya tergantung dari hal-hal berikut (Wang, Teresa Liang, et all,
2013):
32
hanya berupa tidak hanya berupa musibah atau bencana allah saja, tetapi dapat berupa
jabatan, amanat, dan tanggung jawab merupakan suatu cobaa. Dalam islam sendiri
banyak ayat al-quran dan hadist mengenai sabar, seperti ayat dan hadist dibawah ini :
َصابِ ِرين
َّ ش ِر ال ِ س َوالثَّ َم َرا
ِّ َت َوب ِ ُص ِمنَ األ ْم َوا ِل َواأل ْنف ِ ف َوا ْل ُج
ٍ وع َونَ ْق ِ َولَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم ِبش َْي ٍء ِمنَ ا ْل َخ ْو
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah informasi
bangga kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Gambaran mengenai sabar seperti dalam hadist dan ayat diatas, yang
menyatakan bahwa pun yang ditimpa kesusahan maka ia bersabar merupakan
kebaikan bagi dirinya. Sakit dan musibah tentu bisa menjadi sarana untuk peluruhan
dosa. Sabar tak hanya dilakukan ketika kita diuji dengan sakit, tetapi juga ketika kita
diuji dalam kondisi sehat. Ketika sedang diuji sakit, kesabaran seseorang akan tampak
dari akhlak dalam menyikapinya. Sikap yang paling tepat untuk menghadapi rasa
sakit ini adalah dengan bersabar dan bersyukur. Semua kejadian yang ada sudah
dituliskan dan menjadi ketentuan milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. kamu harus
percaya dan selalu berprasangka baik atas segala rasa sakit diterima.
33
34
BAB 3
35
IKD Definisi Faktor Resiko :
- Patofisiologi Sindrom yang terjadi akibat gangguan hemodinamik - Trauma
- Trauma thorax dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem - Infeksi
- Trauma Abdominal sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat - Dehidrasi
- Syok Hipovolemik ke organ-organ vital tubuh akibat perdarahan massif - Peny. Ginjal
- Peny. metabolik
36
Klasifikasi
1. Perdarahan Kelas I :
- Kehilangan volume darah 15%
2. Perdarahan Kelas II :
- Kehilangan volume darah 15% - 30%
3. Perdarahan Kelas III :
- Kehilangan voluma darah 30%-40%
4. Perdarahan Kelas IV :
- Kehilangan volume darah >40%
37
Tatalaksana Komplikasi :
Terapi awal syok dan syok hipovolemik
1. Posisi Tubuh yang benar - Kegagalan multiorgan
Baringkan dan longgarkan pakaian yang ketat. - DIC (Disseminated
2. Pertahankan Respirasi Intravascular Coagulation)
- Bebaskan jalan nafas
- Tengadah kepala-topang dagu atau pasang alat bantu jalan nafas - AARDS (Acute
- Beri oksigen 6liter/menit Respiratory Distress
- Bila pernafasan / ventilasi tidak adekuat berikan oksigen ambu bag atau Syndrome)
ETT.
3. Pertahankan Sirkulasi
4. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi
kontra, hentikan jika ada mual dan muntah Pemeriksaan Penunjang :
5. Pemberian cairan kritaloid isontonik Dosis awal adalah 1-2 liter pada dewasa - Darah Lengkap
dan 20 ml/kg pada anak, diberikan dalam 30-60 menit pertama - BGA
6. Perhitungan kasar untuk jumlah total volulme kristaloid yang secara akut
diperlukan adalah mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan 3 ml
- Foto X-ray
cairan kristaloid - EKG
Prognosis :
Dubia et malam
Monitoring
1. Menentukan jenis syok
2. Pemilihan terapi
3. Evaluasi respon terapi pasien terhadap syok
- Syok hipovolemik
1. Mempertahankan suhu tubuh
2. Pemberian cairan intravena (kristaloid)
3. Jumlah cairan diberikan seimbang dengan cairan yang hilang
4. Cairan hangat diberikan tetesan cepat bolus. Dosis 1-2 liter dewasa dalam
30-60 menit pertama
5. Evaluasi respon pemberian cairan awal
6. Transfusi darah ( perdarahan akut Hb <8gr/dL)
38
BAB 4
PEMBAHASAN
Seorang wanita, berusia 40 tahun, tiba di IGD RSUD Dr. Soegiri Lamongan
pukul 10.30 diantar ambulans setelah mengalami kecelakaan lalu lintas pukul 10.00.
Menurut kesaksian orang-orang sekitar, pasien mengendarai sepeda motor dengan
kecepatan sedang lalu ditabrak dari bellang oleh truk yang menyalip. Pasien
menggunakan helm, namun sudah dilepas pihak berwajib selama perjalanan menuju
IGD.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan fisik umum pasien tampak lemah,
pucat, Saat pasien daatang didapatkan nadi meningkat, respirasi meningkat, tekanan
darah menurun. 15 menit kemudian, pasien tampak gelisah, kesadaran menutun dan
ekstremitas dingin serta terdapat hematoma di kuadran kiri atas perut. Pemeriksaan
USG FAST didapatkan morison pouch (+) dan paravesica. Pemeriksaan rontgen
thorax didapatkan hematothorax (+). Pada pemeriksaan lab hematologi HB menurun,
SGOT meningkat. 30 menit kemudian di dapatkan hasil penilaian ulang didapatkan
pernafasan gasping, ekshoriasi thorax D et S 1/3 bawah dan ekshoriasi abdomen D et
S 1/3 atas, pasien unresponsive dengan GCS 111. 15 menit kemudian dilakukan
monitoring ulang pasien didapatkan TD tidak teratur, nadi karotis tidak teraba, akral
dingin pucat, CRT >2 detik, monitoring EKG asistol. Pemeriksaan BGA didapatkan
asidosis metabolic kompensasi penuh dengan respiratorik. Lingkar abdomen pada
pasien bertambah 5 cm.
Dari data didapatkan kami menyimpulkan diagnosis dari kasus ini adalah syok
hipovolemik grade 3-4 et causa hematothorax dan rupture hepar . Syok hipovolemik
merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat berkurang/ hilangnya volume
intravaskular secara signifikan. Syok hipovolemik bisa terjadi akibat trauma.
39
Pada pasien terdapat riwayat multitrauma yaitu trauma thorax dan trauma
abdomen. Trauma thorax menyebabkan arteri intercostalis pecah, cavitas pleura bocor
akibat hentakan dari costae, maka terjadi perdarahan di cavitas pleura, akumulasi
darah dicavitas pleura dan terjadi hematothorax. Trauma abdomen yang dapat
menyebabkan kerusakan organ berongga sehingga terjadi ruptur hepar dan internal
bleeding. Jika terjadi hematothorax dan internal bleeding maka akan terjadi blood
loss. Ketika pasien dalam kondisi syock tubuh banyak kehilangan volume darah dan
beberapa organ di tubyh akan berusaha mengompensasi agar tubuh tetap optimal.
40
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangan referensi yang detail,
seperti pemeriksaan golden standard dalam menjelaskan kasus yang dianalisis. Selain
itu, dalam proses pengeditan laporan ini juga masih belum sempurna. Harapannya
untuk laporan selanjutnya akan lebih baik lagi.
41
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Dewi, E., Sri, Wahyuni., 2010. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Berita Ilmu
Keperawatan, 2(2), 93-96.
Jun Wang, Teresa Liang, Luck Louis, Savvas Nicolaou, Patrick D. Mc Laughlin.
Hypovolemic Shock Complex in the Trauma Setting: A Pictorial Review.
Canadian Association of Radiologists. 2013;64:156-163. Tersedia pada
[http://sciencedirect.com].
Sander Mochamad Aleq. 2018. Ruptur Lien Akibat Trauma Abdomen: Pendekatan
Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Fakultas kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang.
Sari Desak Putu Tri Artha. 2018. Syok Hipovolemik ec Trauma Tumpul Abdomen.
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen krida Wacana
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.
42
Tanto, Chris, dkk., 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi iv. Jakarta; Media
aesculapius
Wijaya, IP. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed VI. Interna
Publishing. Jakarta
Worthley. IG, Shock: A Review of phatophysiology and management. Department of
critical care medicine. Flinders medical centre. Adelaide 2000;2:55-56
Rumandani, dkk, 2017. Penggunaan Water Seal Drainage (WSD). Jakarta: Akademi
Perawatan Pelni Jakarta
43