Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1

BLOK 27 TRAUMA DAN KEGAWATDARURATAN

“SYOK HIPOVOLEMIK”

OLEH:

KELOMPOK 2

SAFIRA NUR RAMDHANI (20161880003)

ANDRE BAGASKARA (20161880004)

PUTRI NAULA ABBAS (20161880011)

ZIDA SHOFY HUSNAYAIN (20161880016)

ANANDA FRIFYANT M.I (20161880019)

DELFIA SAVITRI (20161880028)

ANGGA DIMAS MAHENDRA (20161880037)

HASSITA NADIA SILKVIANA (20161880038)


AYUNI NUR RACHMAH (20161880040)

ARSIYOGA BIMO FADHYKI (20161880050)

PROGRAM STUDI S-1 KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2020

1
HALAMAN PERSETUJUAN

Laporan tutorial ini telah disetujui pada,

Hari :

Tanggal :

Dosen Tutor

Dr. M. Reza Utama., MHPE

i
DAFTAR ISI
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1..............................................................1

HALAMAN PERSETUJUAN...............................................................................i

BAB 1......................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................4

1.1 Skenario....................................................................................................4
1.2 Pemeriksaan fisik..........................................................................................4
1.3 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................4
1.2 Tujuan Pembelajaran...................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................7

2.1 Definisi Syok Hipovolemik.......................................................................7


2.2 Etiologi Syok Hipovolemik.......................................................................7
2.3.2 Hematothorax.......................................................................................9
2.3 Patofisiologi Syok Hipovolemik dan Efek ke Organ............................14
2.4 Klasifikasi Syok Hipovolemik................................................................17
2.5 Penegakan Diagnosa Syok Hipovolemik...............................................18
2.6 Tatalaksana Syok Hipovolemik.............................................................24
2.7 Komplikasi..............................................................................................28
2.8 Prognosis.................................................................................................29
2.9 Kedokteran Islam........................................................................................29
BAB 3....................................................................................................................31

FINAL CONCEPCT MAP..................................................................................31

BAB 4....................................................................................................................34

PEMBAHASAN...................................................................................................34

BAB 5....................................................................................................................36

PENUTUP.............................................................................................................36

5.1 Kesimpulan..................................................................................................36
5.2 Saran............................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................37

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Rontgen Thoraks…………………………………………………….5

Gambar 2.1 Klasifikasi Hematothoraks……..…………………………….…….11

Gambar 2.2 Patofisiologi Syok Hipovolemik………………..………………….15

Gambar 2.3 Klasifikasi Syok hemoragik………………………….……………17

Gambar 2.4 Penampakan normal ruang hepatorenal…………………….……...21

Gambar 2.5 Penampakan ruang hepatorenal…………………………….………


22

Gambar 2.6 Alur Kerja USG FAST …………….


………………………………………………………….23

Gambar 2.7 Tatalaksana syok hipovolemik…………………………………….26

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Skenario
Seorang wanita, berusia 40 tahun, tiba di IGD RSUD Dr. Soegiri Lamongan
pukul 10.30 diantar ambulans setelah mengalami kecelakaan lalu lintas pukul
10.00. Menurut kesaksian orang-orang sekitar, pasien mengendarai sepeda motor
dengan kecepatan sedang lalu ditabrak dari bellang oleh truk yang menyalip.
Pasien menggunakan helm, namun sudah dilepas pihak berwajib selama
perjalanan menuju IGD. Pada saat sampai di IGD dilakukan pemeriksaan dengan
hasil:
1.2 Pemeriksaan fisik

Primary survey:
Kondisi umum : tampak lemah, pucat
Airway : Clear, C spine stabil.
Breathing : RR 36 x/menit, ves +/+, ronchi -/-, whz -/-, sonor/sonor, ekskhoriasi
thorax D et parasternal S 1/3 bawah.
Circulation : TD 60/40 mmHg, nadi 150 x/menit, akral dingin kering pucat, CRT
= 2 detik, ekskhoriasi abdomen D et S 1/3 atas, Kateter urin (-), produksi urin (-),
pelvis stabil.
Disability : Somnolen, GCS 2-3-4, pupil bulat isokor 3mm/3mm, RC +/+
Exposure : Ekskhoriasi thorax D et parasternal S 1/3 bawah, ekskhoriasi abdomen
D et S 1/3 atas, pelvis stabil.
1.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium : Hb 8,3; Leukosit 5.000; Platelet 395.000; BUN 11;
SK 0,8; SGOT 56; SGPT 24; Albumin 3,4
Rontgen Thorax : Hematothorax (+) Dekstra, Pneumothorax (-), Fraktur costae (-)

4
Gambar 1.1 Rontgen Thorax
USG FAST : (+) morison pouch & paravesica.
Tiga puluh menit pasca menerima pasien, Anda mengkonsultasikan pasien kepada
dokter spesialis Bedah. Setelah berkonsultasi dengan spesialis Bedah, Anda
diminta mengkonsultasikan pasien ke spesialis Anastesi untuk dipersiapkan CITO
Operasi dan melakukan penilaian ulang kondisi pasien.

Hasil penilaian ulang pasien sebagai berikut :


Airway : Clear, C spine stabil.
Breathing : Gasping, RR 5-6 x/menit, ves +/+, ronchi -/-, whz -/-, redup/sonor,
ekskhoriasi thorax D et parasternal S 1/3 bawah.
Circulation : TD tidak terukur, nadi karotis tidak teraba, akral dingin kering
pucat, CRT > 2 detik, Monitor EKG Asistol, ekskhoriasi abdomen D et S 1/3 atas,
Kateter urin (+), produksi urin (-), pelvis stabil.
Disability : Unresponsive, GCS 1-1-1

5
Exposure : Ekskhoriasi thorax D et parasternal S 1/3 bawah, ekskhoriasi
abdomen D et S 1/3 atas, pelvis stabil, lingkar abdomen bertambah 5 cm.
Pasca menerima panggilan code blue, spesialis Anastesi melakukan intubasi di
IGD dan mempersiapkan pasien untuk CITO operasi. Anda diminta melakukan
monitoring ulang pasien dan mengkonsultasikan kondisi pasien ke spesialis
Bedah.

Hasil penilaian ulang sebagai berikut:


Airway : Clear, C spine stabil.
Breathing : Terkontrol, RR 20 x/menit, ves +/+, ronchi -/-, whz -/-, redup/sonor,
ekskhoriasi thorax D et parasternal S 1/3 bawah.
Circulation : TD 87/40 mmHg, nadi 103 x/menit, akral dingin kering pucat, CRT
> 2 detik, ekskhoriasi abdomen D et S 1/3 atas, Kateter urin (+), produksi urin
(-) , pelvis stabil.
Disability : Unresponsive, GCS 1-x-1
Exposure : Ekskhoriasi thorax D et parasternal S 1/3 bawah, ekskhoriasi
abdomen D et S 1/3 atas, pelvis stabil.
Pemeriksaan BGA: Ph 7,36; pCO2 29; pO2 437; HCO3 16,4; BE -10

1.2 Tujuan Pembelajaran


1. Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi syok.
2. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi syok hipovolemik.
3. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi disfungsi organ akibat syok.
4. Mahasiswa mampu mengetahui terapi syok hipovolemik.
5. Mahasiswa mampu mengetahui target terapi farmakologi fluid challenge dan
resusitasi cairan.
6. Mahasiswa mampu mengetahui terapi prosedural bedah pada kasus.
7. Mahasiswa mampu mengetahui prinsip transportasi dan stabilisasi pasca syok.
8. Mahasiswa mampu mengetahui aspek monitoring dan terapi rumatan definitif.

6
9. Mahasiswa mampu mengetahui aspek etikomedikolegal untuk pasien dengan
rencana tindakan infasif.

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Syok Hipovolemik


Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh yang biasanya
terjadi akibat perdarahan yang massif.(George Y, 2009)
2.2 Etiologi Syok Hipovolemik
Penyebab umum terjadinya syok hipovolemik adalah adanya perdarahan hebat
(hemorargik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang
tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan
diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paling sering ditemukan disebabkan
oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemorargik
(Putra I,2016).

2.3.1 Perdarahan Intraabdominal

Perdarahan intraabdominal dapat disebabkan oleh trauma tumpul abdomen.


Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada abdomen tanpa penetrasi
ke organ peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi,
atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau
organ di bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan
cedera pada organ berongga berupa perforasi dan perdarahan pada organ padat.
Untuk menentukan diagnosis trauma tumpul abdomen maka diperlukan anamnesis
adanya riwayat trauma, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. (Sari, 2018).

a. Anamnesis

8
Didapatkan adanya trauma. Trauma langsung atau tidak langsung akibat
kecelakaan atau jatuh dari ketinggian. Trauma tersebut dapat meinmbulkan jejas pada
dinding perut. Pada rupture lien, terdapat jejas pada perut bagian kiri atas (contre
coupe). (Sander, 2018).
b. Pemeriksaan fisik
Terdapat darah bebas dalam rongga perut dan pada rupture lien didapatkan massa
pada kiri atas abdomen. Darah bebas pada ronnga perut secara klinis dapat diketahui
dengan cara :
1. Tensi yang menurun, nadi yang meningkat, dengan ada atau tidaknya tanda-tanda
syok dan anemia akibat adanya perdarahan yang hebat.
2. Pekak sisi dengan shifting dullness pada rongga perut akibat adanya hematom
subcapsular
3. Darah bebas yang memberi rangsangan pada peritoneum sehingga gejalanya
tegang otot perut dan nyeri yang mencolok. Pada ruptur yang lambat, biasanya
penderita datang dengan keadaan syok, dan tanda perdarahan intraabdomen.
(Sander, 2018).
Pada pemeriksaaan local didapatkan nyeri tekan lepas pada abdomen. Bila darah
mengumpul pada perut kirri atas pada daerah lien akan memberikan rasa nyeri pada
bahu kiri. (kehr’s sign). Pengumpulan darah pada rongga peritoneum dapat diketahui
dengan menggunakan pita ukur untuk mengukur lingkar perut yang bertambah setiap
jamnya. (Sander, 2018)

c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin
Pada perdarahan intraabdomen dapat terjadi penurunan hemoglobin, hematocrit,
disertai dengan peningkatan leukosit. Hemoglobin diperiksa berulang kali secara
serial untuk mengetahui penurunan yang bertahap. (Sander, 2018)
2. Untuk mengetahui adanya darah bebas dalam rongga peritoneum dapat
dilakukan:

9
a. Peritoneum lavage merupakan tindakan melakukan bilasan rongga perut
dengan memasukkan kurang lebih satu liter NaCl 0.9 % yang dimasukkan ke
rongga peritoneum, setelah 10-15 menit cairan dikeluarkan kembali, bila cairan
berwarna merah maka kesimpulannya terdapat darah di rongga perut. (Sander,
2018)
b. Pemeriksaan CT-Scan untuk mengetahui berat ringannya kerusakan.
Focused Assesment Sonography for Trauma (FAST) merupakan suatu
pemeriksaan yang mendeteksi ada atau tidaknya cairan intaperitoneal.
Pemeriksaan inidifokuskan pada 6 area yaitu pericardium, hepatorenal,
2.3.2 Hematothorax
1. Definisi Hematothoraks
Hematotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura. Sumber perdarahan
dapat berasal dari dinding dada, parenkim paru-paru, jantung atau pembuluh
darah besar. Jumlah perdarahan pada hematotoraks dapat mencapai 1500 ml,
apabila jumlah perdarahan lebih dari 1500 ml disebut hematotoraks masif
(Mayasari, dkk, 2017).

2. Etiologi Hematothoraks
Sejauh ini penyebab paling umum dari hematotoraks adalah trauma, baik
trauma yang tidak disengaja, disengaja, atau iatrogenik. Terjadinya hematotoraks
biasanya merupakan konsekuensi dari trauma tumpul, tajam dan kemungkinan
komplikasi dari beberapa penyakit. Trauma dada tumpul dapat mengakibatkan
hematotoraks oleh karena terjadinya laserasi pembuluh darah internal.
Hematotoraks juga dapat terjadi, ketika adanya trauma pada dinding dada yang
awalnya berakibat terjadinya hematom pada dinding dada kemudian terjadi ruptur
masuk kedalam cavitas pleura, atau ketika terjadinya laserasi pembuluh darah
akibat fraktur costae, yang diakibatkan karena adanya pergerakan atau pada saat
pasien batuk (Mayasari, dkk, 2017).

3. Patofisiologi Hematothoraks

10
Trauma toraks atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar
masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil
pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan
hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia
(kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan.
Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines
yang dapat memacu terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS) dan sepsis (Mayasari, dkk,
2017).

Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma toraks.


Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan
oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary
ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan
perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh tension pneumothoraks,
pneumothoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat
kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).
Apabila penanganan pada kasus hematotoraks tidak dilakukan segera maka
kondisi pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi darah di
rongga thoraks yang menyebabkan paru-paru kolaps dan mendorong mediastinum
serta trakea ke sisi yang sehat, sehingga terjadi gagal napas dan meninggal,
fibrosis atau skar pada membrane pleura, Ateletaksis, Shok, Pneumothoraks,
Pneumonia, Septisemia (Mayasari, dkk, 2017).

Pada trauma thoraks perlu dipikirkan juga syok berasal dari trauma di organ
intrathorakal. Pemasangan intubasi diperlukan untuk mengontrol airway. Dilihat
juga peningkatan JVP guna membedakan dengan tension pneumothoraks dan
tamponade jantung. Lihat retraksi interkostal dan supraklavikular dapat
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. Evaluasi banyak dan persebaran luka

11
(abrasi, emfisema subkutis, krepitasi, dan adanya fraktur costae). Jangan lupa juga
penilaian terhadap daerah thoraks posterior (Mayasari, dkk, 2017).

4. Klasifikasi Hematothoraks
a. Hematotoraks kecil: yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada
foto rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai 300
ml(Mayasari, dkk, 2017).
b. Hematotoraks sedang: 15–35 % tertutup bayangan pada foto rontgen, perkusi
pekak sampai iga VI. jumlah darah sampai 800 ml (Mayasari, dkk, 2017).
c. Hematotoraks besar: lebih 35 % pada foto rontgen, perkusi pekak sampai
cranial, iga IV. Jumlah darah sampai lebih dari 800 – 1500 ml (Mayasari,
dkk, 2017).

Gambar 2.1 Klasifikasi Hematothoraks (Mayasari, dkk, 2017)

5. Penegakan Diagnosis

Penegakkan diagnosis hematotoraks berdasarkan pada data yang diperoleh


dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai dengan
kriteria yang terdapat pada Management of Haemothorax. Adapun tanda dan
gejala adanya hematotoraks dapat bersifat simptomatik namun dapat juga
asimptomatik. Asimptomatik didapatkan pada pasien dengan hematotoraks yang
sangat minimal sedangkan kebanyakan pasien akan menunjukan simptom,
diantaranya: Nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada, tanda-tanda
shok seperti hipotensi, dan nadi cepat, pucat, akral dingin, tachycardia, dyspnea,

12
hypoxemia, anxiety (gelisah), cyanosis, anemia, deviasi trakea ke sisi yang tidak
terkena, gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical),
penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena, dullness pada
perkusi, adanya krepitasi saat palpasi (Mayasari, dkk, 2017).

Gambaran foto rontgen thoraks AP posisi supine pada pasien didapatkan


gambaran opak pada sisi paru kiri dan sudut costophrenicus yang tumpul. Apabila
pasien tidak dapat diposisikan berdiri atau tegak lurus maka rontgen thoraks
dengan posisi supine dapat menunjukkan apical capping dengan cairan
melingkupi bagian superior paru-paru. Adanya gambaran opak pada bagian lateral
ekstrapulmoner dapat menunjukkan adanya cairan pada ruang pleura. Foto
rontgen thoraks dengan posisi berdiri merupakan pemeriksaan yang paling ideal
untuk mendeteksi adanya hematotoraks, hal ini ditandai dengan adanya sudut
costophrenicus yang tumpul atau adanya tampakan air-fluid bila terjadi
hemopneumothoraks. Chest x-ray sebagai penegak diagnostik yang paling utama
dan lebih sensitif dibandingkan lainnya(Mayasari, dkk, 2017).

6. Tatalaksana Hematothoraks

Prinsip penatalaksanaan hematotoraks adalah stabilisasi hemodinamik pasien,


menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari
rongga pleura. Langkah pertama stabilisasi hemodinamik adalah dengan
melakukan resusitasi yaitu dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi cairan, serta
dapat dilanjutkan dengan pemberian analgesik serta antibiotik. Setelah
hemodinamik pasien stabil dapat direncanakan untuk pengeluaran cairan (darah)
dari rongga pleura dengan pemasangan chest tube yang disambungkan dengan
water shield drainage dan didapatkan cairan (darah) (Mayasari, dkk, 2017).
Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan paru ke ukuran
normal. Adapun indikasi pemasangan chest tube dan WSD adalah:

13
1. Hematothoraks, efusi pleura
2. Pneumothoraks (>25%)
3. Profilaksis pada pasien trauma yang akan dirujuk
4. Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator (Rumandani, dkk,
2017)

Adapun beberapa hal berikut menjadi kontraindikasi pemasangan chest tube dan
WSD:

1. Infeksi pada tempat pemasangan


2. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol (Rumandani, dkk,
2017)

Komplikasi yang memungkinkan muncul pada pemasangan chest tube WSD ini
dapat berupa (Rumandani, dkk, 2017):

1. Tube malposition akibat peletakan selang yang tidak sesuai dengan tempat
seharusnya
2. Blocked drain akibat adanya blockade dari selang yang mengakibatkan
aliran drainase menjadi tidak lancer
3. Chest drain dislodgement, yaitu terlepasanya selang dari cavum pleura
pasien
4. Udema pulmonum reekspansi, yaitu edema pulmo setelah paru yang
tadinya kolaps menjadi mengembang
5. Emfisema subkutis, akumulasi udara pada ruang subkutan pada dinding
dada
6. Cedera saraf pada sekitar lokasi pemasangan
7. Cedera kardiovaskuler berupa perdarahan dan memicu komplikasi kea rah
cedera jantung
8. Post extubation pneumothoraks, pneumothoraks akibat tidak
terdrainasenya udara secara optimal atau prosedur pelepasan wsd yang
kurang baik

14
9. Fistula, yakni terbentuknya fistula yang menghubungkan pleura dengan
subkutis atau bahkan bronkus beserta percabangannya dengan cavum
pleura dan dengan subkutis
10. Infeksi local pada area pemasangan. (Rumandani, dkk, 2017)

2.3 Patofisiologi Syok Hipovolemik dan Efek ke Organ

15
16
Gambar 2.2 Patofisiologi Syok Hipovolemik
(Wijaya, 2014 dan Worthley, 2000)

17
Sindrom klinis yang terjadi akibat berkurang/hilangnya volume intravaskular
secara signifikan Syok hipovolemik terjadi akibat penurunan volume sel darah merah
dan/plasma darah. Kondisi tersebut dapat berupa perdarahan, sekuestrasi cairan
ekstravaskular, kehilangan cairan dari gastrointestinal, urin, maupun insensible water
loss. Volume darah yang berkurang (penurunan preload) akan menurunkan volume
akhir diastolik ventrikel sehingga isi sekuncup (stroke volume) juga menurun (Tanto,
Christ, dkk., 2014).

A. Kardiovaskular

Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)


ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali
volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu
peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung (Wijaya,
2014;Worthley, 2000).

B. Ginjal

Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak
terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan
pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras
angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan
garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen
meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan
aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin
(Wijaya, 2014;Worthley, 2000).

C. Neuroendokrin

18
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain (Wijaya, 2014;Worthley, 2000).

D. Mikrosirkulasi

Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung
dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan
otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan
energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi
tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi
kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean
arterial pressure/MAP) jatuh hingga 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun
drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu (Wijaya, 2014;Worthley, 2000).

2.4 Klasifikasi Syok Hipovolemik

Gambar 2.3 Klasifikasi stadium syok hemoragik (George Y, 2009)

19
2.5 Penegakan Diagnosa Syok Hipovolemik
2.5.1 Penegakan Diagnosis Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh
volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat
(Dewi, et al, 2010). Diagnosis dapat dibuat berdasarkan:

A. Anamnesis

Riwayat pasien meliputi kondisi-kondisi yang menyebabkan penurunan volume


darah, seperti gastrointestinal hemoragi, trauma, diare berat dan muntah (Dewi,
et al, 2010).

B. Pemeriksaan fisik

Kulit pucat, dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan
pengisian kapiler lambat, pernafasan cepat dan dangkal, urin output kurang dari
25ml/jam, clammy skin (kulit lembab), MAP (Mean Arterial Pressure) dibawah
60 mm Hg dan nadi melemah, penurunan CVP (Central Venous Pressure),
penurunan PAWP (Pulmonary artery wedge pressure), dan penurunan cardiac
output (Dewi, et al, 2010).

C. Pemeriksaan penunjang

20
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya
tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari
kondisi pasien itu sendiri (Dewi, et al, 2010).

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain:

1. Analisis Complete Blood Count (CBC) : Terjadi penurunan hemoglobin,


hematokrit, platelet, dan penurunan RBC.

2. Blood Urea Nitrogen (BUN), jika meningkat menandakan adanya disfungsi


ginjal

3. Kadar elektrolit dalam serum menunjukkan abnormalitas.

4. Pulse oximetry, menunjukkan penurunan saturasi oksigen.

5. GDA, untuk mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.

6. Tes koagulasi, menunjukkan pemanjangan PT dan APTT (Dewi, et al,


2010).

Untuk pemeriksaan penunjang lain, dapat dilakukan pemeriksaan berikut antara


lain :

1. Ultrasonografi, jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.

2. Endoskopi, jika dicuriga adanya perdarahan gastrointestinal.

3. Pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) jika


dicurigai terjadi cedera abdomen.

4. Pemeriksaan radiologi, jika dicuriga terjadi fraktur (Dewi, et al, 2010).

2.5.2 Penegakan Diagnosis Hematothorax

21
Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang diperoleh dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan
penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak napas. Juga bisa didapatkan
keterangan bahwa penderita sebelumnya mengalami kecelakaan pada dada. Pada
pemeriksaan tanda vital didapatkan adanya hipotensi dan nadi cepat. Pemeriksaan
fisik inspeksi biasanya didapatkan anxietas (gelisah), cyanosis, gerakan napas
tertinggal atau adanya pucat karena perdarahan. Pada palpasi didapatkan adanya
krepitasi. Pada perkusi didapatkan pekak dengan batas tidak jelas, sedangkan pada
auskultasi didapatkan bunyi napas menurun atau bahkan menghilang (Mayasari,
2017).

Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik, diantaranya:

1. Chest x-ray : adanya gambaran hipodense (menunjukkan akumulasi cairan) pada


rongga pleura di sisi yang terkena dan adanya mediastinum shift (menunjukkan
penyimpangan struktur mediastinal (jantung). Chest x-ray sebagi penegak
diagnostik yang paling utama dan lebih sensitif dibandingkan lainnya.

2. CT Scan : diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks minimal, untuk


evaluasi lokasi clotting (bekuan darah) dan untuk menentukan kuantitas atau
jumlah bekuan darah di rongga pleura.

3. USG : USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk pasien
yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.

4. Cek darah lengkap : menurunnya Hb dan hematokrit menunjukan jumlah darah


yang hilang pada hemothoraks.

5. Torakosintesis : Menunjukkan darah/cairan serosanguinosa (hemothoraks)


(Mayasari, 2017).
2.5.3 Diagnosis Trauma Tumpul Hepar

22
Diagnosa trauma tumpul hepar didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
A. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan
juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka,
benda asing yang tertancap serta status hamil. Penderita dapat diposisikan dengan
hati–hati untuk mempermudah pemeriksaan lengkap.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah
intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat
menyebabkan ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur
berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus
meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi usus
bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.
3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan
adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi
timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada
hemoperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding)
dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary
guarding) adalah tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah
mendapatkan adanya dan menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan
dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut
dilepaskan tiba–tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya
darah atau isi usus.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos Abdomen

23
Pada penderita dengan hemodinamik normal maka pemeriksaan foto polos
abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang punggung)
mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau
udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera
retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena nyeri atau patah tulang
punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk
mengetahui udara bebas intraperitoneal (Rose, 2004).
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) merupakan pencitraan pilihan, utamanya untuk
mendeteksi cedera pada organ dan cairan bebas di rongga abdomen (Kozar, 2009).
Cairan pada abdomen tampak sebagai sinyal anechoic.

Gambar 2.4 Penampakan normal ruang hepatorenal (Rose, 2004)

24
Gambar 2.5 Penampakan ruang hepatorenal (Morison Pouch) (Rose, 2004)

Indikasi dan peranan FAST pada trauma tumpul abdomen adalah pasien stabil
dengan kecurigaan klinis tinggi terhadap cedera torakoabdominal

 Mekanisme cedera yang signifikan, nyeri abdomen, jejas pada abdomen,


hematuria makroskopis, hipotensi transien yang tidak dapat dijelaskan,
temuan klinis yang rancu akibat intoksikasi atau cedera lain

 Jika FAST positif seringkali pemeriksaan lain tidak diperlukan dan intervensi
segera dapat dikerjakan.

 USG memiliki sensitifitas dan spesifitas lebih rendah untuk mendeteksi cedera
parenkim dibandingkan untuk mendeteksi carian bebas. Cedera organ solid
tanpa hemoperitoneum lebih sukar untuk dideteksi (Rose, 2004).

25
Gambar 2.6 Alur kerja USG fast (Rose, 2004).

3. CT SCAN abdomen
CT scan memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk mendeteksi
cedera hepar. Penampakan pada CT terhadap trauma tumpul hepar antara lain
laserasi, hematoma subkapsular dan intraparenkim, perdarahan aktif dan cedera
vaskuler. Hematoma intraparenkim dapat dengan mudah dibedakan pada CT Scan
dengan kontras. Cairan intraperitoneal bebas umum ditemukan pada CT Scan pasien

26
dengan trauma tumpul abdomen. Sejumlah kecil hemoperitoneum awalnya
berkumpul pada kompartemen dekat dengan lokasi perdarahan dan semakin besar
mengalir ke kantong Morison hingga cavum Douglas. Deteksi perdarahan aktif pada
CT lebih penting sebagai prediktor kuat kegagalan terapi non operatif (Wong, 2005).

4. Pemeriksaan Laboratorium
Peran pemeriksaan darah laboratorium memiliki peran yang kecil dalam
penegakan diagnosis trauma hepar. Namun perannya penting dalam pengawasan
khususnya untuk manajemen non operatif. Pemeriksaan darah lengkap meliputi
hemoglobin dan hematokrit memiliki nilai dalam tatalaksana trauma hepar.
Kehilangan darah ekstensif pada trauma hepar tampak pada kadar hemoglobin pasien.
Ini memerlukan penanganan segera meliputi damage control dan resusitasi dengan
transfusi. Pada kasus trauma hepar mayor, kadar trombosit juga dapat menurun tajam,
membuat ahli bedah harus lebih awas terhadap bahaya koagulopati dan tantangan
dalam melakukan resusitasi bedah. Beberapa penelitian menunjukkan peran
pemeriksaan kimia darah utamanya kadar enzim hati sebagai gambaran kerusakan
hati akut akibat trauma. Namun kadar yang ditunjukkan seringkali tidak selaras
dengan kerusakan yang terjadi dan dipengaruhi oleh komorbiditas yang mungkin
telah dimiliki pasien sebelum trauma terjadi. Selain itu yang perlu diperiksa pada
kondisi trauma adalah faal hemostasis pasien yang menunjukkan koagulopati yang
mungkin telah terjadi (Tan, 2009).

2.6 Tatalaksana Syok Hipovolemik

Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda vital


dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi tersebut
dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok
hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau
darah yang hilang. Jika ditemukan oleh petugas dokter atau petugas medis, maka
penatalaksanaan syok harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi

27
penatalaksanaan sebelum dan di tempat pelayanan kesehatan atau rumah
sakit.Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus memperhatikan
prinsipprinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi jantung, jalan nafas dan
respirasi dapat dipertahankan, tindakan selanjutnya adalah adalah menghentikan
trauma penyebab perdarahan yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut
(Hardisman, 2013).

Menghentikan perdarahan sumber perdarahan dan jika memungkinkan


melakukan resusitasi cairan secepat mungkin. Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan
kesehatan, dan yang perlu diperhatikan juga adalah teknik mobilisai dan pemantauan
selama perjalanan. Perlu juga diperhatikan posisi pasien yang dapat membantu
mencegah kondisi syok menjadi lebih buruk, misalnya posisi pasien trauma agar tidak
memperberat trauma dan perdarahan yang terjadi, pada wanita hamil dimiringkan kea
rah kiri agar kehamilannya tidak menekan vena cava inferior yang dapat
memperburuh fungsi sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi tredelenberg tidak
dianjurkan lagi karena justru dapat memperburuk fungsi ventilasi paru.Pada pusat
layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya harus dilakukan pemasangan infus
intravena (Hardisman, 2013).

Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau
ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada
anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan
bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat
perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian
cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu
satu jam, karena istribusi cairan koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke
ruang intersisial. Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah
dengan pemberian koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera . Transfusi darah
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan yang masih berlangsung dan
jadar hemoglobin <8 mg/dL (Hardisman, 2013).

28
Pasien datang dengan perdarahan

Periksa fisik, TD, N, Produksi urin


Airway, breathing, circulation, disability, (EBL)
exposure: control.
langkah-langkah penganan :
Baringkan dan longgarkan pakaian yang
ketat.
Topang dan tinggikan kaki stinggi
mungkin
Tangani semua penyebab syok, seperti
perdarahan
Selimuti agar tidak kedinginan dan
mempertahankan panas tubuh
Jangan ijinkan minum, makan atau
berjalan.
Immobilisasi vertebra servikalis.

Pasang infus double IV line 500cc,


ambil sampel darah

Hemodinamik = buruk
RL/NaCl 0,9 %
20-40 cc/kg.BB
Cepat 10-20 menit (Dewasa) atau 30-60
menit (anak/orangtua) Terus cairan 2-4 x EBL

Hemodinamik baik (TD>100, N Hemodinamik Hemodinamik


<100, HKM, Urin > ½ ml/kg/jam) baik buruk
C

Maintenance: estimasi perhari 4-2- Surgical


1 untuk setiap 10 kg atau 40 Resusitasi
B
ml/kg/hr

A
Menilai kembali dan monitoring
pasien

Gambar 2.7 Tatalaksana syok hipovolemik

29
Keterangan:

Kasus A: Transfusi tidak perlu

Kasus B: Hb <8 gr% (Hct <25%), maka lakukan transfusi

Kasus C: Transfusi segera

1. Prinsip Monitoring
a. Makrosirkulasi

-Preload (Menilai CVP)

Adalah nilai yang menunjukkan tekanan darah pada vena cava dekat atrium
kanan jantung. CVP merefleksikan jumlah darah yang kembali ke jantung dan
kemampuan jantung memompa darah. CVP dapat digunakan untuk memperkirakan
tekanan pada atrium kanan, yang mana secara tidak langsung menggambarkan beban
awal (preload) jantung kanan dan tekanan ventrikel kanan pada akhir diastole.
Pengukuran tekanan vena sentral memberikan informasi penting mengenai keadaan
fungsi sistem kardiovaskular pasien, kecukupan volume vaskuler, dan juga
keberhasilan terapi yang diberikan.

Metode CVP terdiri dari metode noninvasive dan invasive

Metode non invasife : Dengan pengukuran JVP (normalnya <8cm)

Metode invasife : Dengan memasukkan kateter kedalam vena subklavia atau vena
jugularis internal dan kemudian di monitor dengan menggunakan manometer atau
transduser.

-Afterload

 MAP (Mean Arterial Pressure) = 2x diastole x systole dibagi 3, Untuk otak MAP
cardiac-TIK

30
 SVR = Systemic Vascular Resistance

-Kontraktilitas

 Stroke Volume

Yaitu volume satu kali pompa yang merupakan volume akhir diastole dikurangi
volume akhir systole.

-Nadi

-Urin : normalnya >30ml/jam

-CPP (Coronary Perfussion Pressure) dianalogkan dengan hasil EKG, apabila masih
ada ST elevasi maka end point tidak tercapai

-Parameter O2 : PaO2, Hb, CO.

Cardiac Output adalah banyak darah yang dipompa selama satu menit . CO = HR X
Stroke Volume

b. Mikrosirkulasi
Parameter :
- SVO2
- Laktat
- PCO2
- Base Deficit (BE)
- pH
- Mediator Inflamasi
2. Terapi Rumatan

Pemberian Rumatan menggunakan konsep :

1. Estimasi kebutuhan 4-2-1 untuk tiap 10kg BB atau

31
2. Estimasi 40ml/kg/hari

2.7 Komplikasi
1. Kegagalan multiorgan akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) akibat hipoksia dan kematian
jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan proses koagulasi.
3. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada dewasa akibat destruksi
pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia.

2.8 Prognosis
Pada umumnya, Hypovolemic shock dapat menyebabkan kematian meskipun
sudah diberikan penanganan medis. Faktor usia juga merupakan faktor yang
mempengaruhi Hypovolemic shock, biasanya orang-orang yang sudah lanjut usia jika
mengalami Hypovolemic shock akan sulit ditangani dan disembuhkan. Hypovolumic
shock dapat disembuhkan jika segera diberikan penanganan atau tindakan meskipun
tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan kematian terhadap orang tersebut.
Hypovolemi shock biasanya tergantung dari hal-hal berikut (Wang, Teresa Liang, et all,
2013):

1. Banyaknya darah yang hilang


2. Kecepatan penggantian cairan tubuh
3. Kondisi kesehatannya
4. Penyakit atau luka yang menyebabkan perdarahan.

Prognosis pada skenario dubia et malam karena banyaknya perdarahan sehingga


mengakibatkan pasien mengalami syok hipovolemik grade 3-4.

2.9 Kedokteran Islam


Sabar merupakan salah satu pondasi budi pekerti dalam ajaran kita yang lurus.
Bahkan sifat ini termasuk salah satu induk dari ahlak yang mulia. Dalam menghadapi
suatu cobaan maka manusia diharuskan mempunyai sifat sabar. Cobaan Allah tidak

32
hanya berupa tidak hanya berupa musibah atau bencana allah saja, tetapi dapat berupa
jabatan, amanat, dan tanggung jawab merupakan suatu cobaa. Dalam islam sendiri
banyak ayat al-quran dan hadist mengenai sabar, seperti ayat dan hadist dibawah ini :

َ َ‫صابَ ْتهُ َسرَّا ُء َش َك َر فَ َكانَ َخ ْيرًا لَهُ َوإِ ْن أ‬


ُ‫صابَ ْته‬ َ َ‫ْس َذاكَ ألَ َح ٍد ِإالَّ لِ ْل ُم ْؤ ِم ِن إِ ْن أ‬
َ ‫ع ََجبًا ألَ ْم ِر ْال ُم ْؤ ِم ِن ِإ َّن أَ ْم َرهُ ُكلَّهُ خَ ْي ٌر َولَي‬
ُ‫صبَ َر فَ َكانَ َخ ْيرًا لَه‬
َ ‫ضرَّا ُء‬
َ

“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik.


Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan,
maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia
bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

َ‫صابِ ِرين‬
َّ ‫ش ِر ال‬ ِ ‫س َوالثَّ َم َرا‬
ِّ َ‫ت َوب‬ ِ ُ‫ص ِمنَ األ ْم َوا ِل َواأل ْنف‬ ِ ‫ف َوا ْل ُج‬
ٍ ‫وع َونَ ْق‬ ِ ‫َولَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم ِبش َْي ٍء ِمنَ ا ْل َخ ْو‬

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah informasi
bangga kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Gambaran mengenai sabar seperti dalam hadist dan ayat diatas, yang
menyatakan bahwa pun yang ditimpa kesusahan maka ia bersabar merupakan
kebaikan bagi dirinya. Sakit dan musibah tentu bisa menjadi sarana untuk peluruhan
dosa. Sabar tak hanya dilakukan ketika kita diuji dengan sakit, tetapi juga ketika kita
diuji dalam kondisi sehat. Ketika sedang diuji sakit, kesabaran seseorang akan tampak
dari akhlak dalam menyikapinya. Sikap yang paling tepat untuk menghadapi rasa
sakit ini adalah dengan bersabar dan bersyukur. Semua kejadian yang ada sudah
dituliskan dan menjadi ketentuan milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. kamu harus
percaya dan selalu berprasangka baik atas segala rasa sakit diterima.

33
34
BAB 3

FINAL CONCEPCT MAP

35
IKD Definisi Faktor Resiko :
- Patofisiologi Sindrom yang terjadi akibat gangguan hemodinamik - Trauma
- Trauma thorax dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem - Infeksi
- Trauma Abdominal sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat - Dehidrasi
- Syok Hipovolemik ke organ-organ vital tubuh akibat perdarahan massif - Peny. Ginjal
- Peny. metabolik

36
Klasifikasi
1. Perdarahan Kelas I :
- Kehilangan volume darah 15%
2. Perdarahan Kelas II :
- Kehilangan volume darah 15% - 30%
3. Perdarahan Kelas III :
- Kehilangan voluma darah 30%-40%
4. Perdarahan Kelas IV :
- Kehilangan volume darah >40%

37
Tatalaksana Komplikasi :
Terapi awal syok dan syok hipovolemik
1. Posisi Tubuh yang benar - Kegagalan multiorgan
Baringkan dan longgarkan pakaian yang ketat. - DIC (Disseminated
2. Pertahankan Respirasi Intravascular Coagulation)
- Bebaskan jalan nafas
- Tengadah kepala-topang dagu atau pasang alat bantu jalan nafas - AARDS (Acute
- Beri oksigen 6liter/menit Respiratory Distress
- Bila pernafasan / ventilasi tidak adekuat berikan oksigen ambu bag atau Syndrome)
ETT.
3. Pertahankan Sirkulasi
4. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi
kontra, hentikan jika ada mual dan muntah Pemeriksaan Penunjang :
5. Pemberian cairan kritaloid isontonik Dosis awal adalah 1-2 liter pada dewasa - Darah Lengkap
dan 20 ml/kg pada anak, diberikan dalam 30-60 menit pertama - BGA
6. Perhitungan kasar untuk jumlah total volulme kristaloid yang secara akut
diperlukan adalah mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan 3 ml
- Foto X-ray
cairan kristaloid - EKG

Prognosis :
Dubia et malam
Monitoring
1. Menentukan jenis syok
2. Pemilihan terapi
3. Evaluasi respon terapi pasien terhadap syok
- Syok hipovolemik
1. Mempertahankan suhu tubuh
2. Pemberian cairan intravena (kristaloid)
3. Jumlah cairan diberikan seimbang dengan cairan yang hilang
4. Cairan hangat diberikan tetesan cepat bolus. Dosis 1-2 liter dewasa dalam
30-60 menit pertama
5. Evaluasi respon pemberian cairan awal
6. Transfusi darah ( perdarahan akut Hb <8gr/dL)

38
BAB 4

PEMBAHASAN

Seorang wanita, berusia 40 tahun, tiba di IGD RSUD Dr. Soegiri Lamongan
pukul 10.30 diantar ambulans setelah mengalami kecelakaan lalu lintas pukul 10.00.
Menurut kesaksian orang-orang sekitar, pasien mengendarai sepeda motor dengan
kecepatan sedang lalu ditabrak dari bellang oleh truk yang menyalip. Pasien
menggunakan helm, namun sudah dilepas pihak berwajib selama perjalanan menuju
IGD.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan fisik umum pasien tampak lemah,
pucat, Saat pasien daatang didapatkan nadi meningkat, respirasi meningkat, tekanan
darah menurun. 15 menit kemudian, pasien tampak gelisah, kesadaran menutun dan
ekstremitas dingin serta terdapat hematoma di kuadran kiri atas perut. Pemeriksaan
USG FAST didapatkan morison pouch (+) dan paravesica. Pemeriksaan rontgen
thorax didapatkan hematothorax (+). Pada pemeriksaan lab hematologi HB menurun,
SGOT meningkat. 30 menit kemudian di dapatkan hasil penilaian ulang didapatkan
pernafasan gasping, ekshoriasi thorax D et S 1/3 bawah dan ekshoriasi abdomen D et
S 1/3 atas, pasien unresponsive dengan GCS 111. 15 menit kemudian dilakukan
monitoring ulang pasien didapatkan TD tidak teratur, nadi karotis tidak teraba, akral
dingin pucat, CRT >2 detik, monitoring EKG asistol. Pemeriksaan BGA didapatkan
asidosis metabolic kompensasi penuh dengan respiratorik. Lingkar abdomen pada
pasien bertambah 5 cm.

Dari data didapatkan kami menyimpulkan diagnosis dari kasus ini adalah syok
hipovolemik grade 3-4 et causa hematothorax dan rupture hepar . Syok hipovolemik
merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat berkurang/ hilangnya volume
intravaskular secara signifikan. Syok hipovolemik bisa terjadi akibat trauma.

39
Pada pasien terdapat riwayat multitrauma yaitu trauma thorax dan trauma
abdomen. Trauma thorax menyebabkan arteri intercostalis pecah, cavitas pleura bocor
akibat hentakan dari costae, maka terjadi perdarahan di cavitas pleura, akumulasi
darah dicavitas pleura dan terjadi hematothorax. Trauma abdomen yang dapat
menyebabkan kerusakan organ berongga sehingga terjadi ruptur hepar dan internal
bleeding. Jika terjadi hematothorax dan internal bleeding maka akan terjadi blood
loss. Ketika pasien dalam kondisi syock tubuh banyak kehilangan volume darah dan
beberapa organ di tubyh akan berusaha mengompensasi agar tubuh tetap optimal.

Prinsip dari penatalaksaan syok hipovolemik adalah memulihkan volume


intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak mengarah pada perfusi
jaringan yang tidak adekuat, meredistribusi volume cairan, dan memperbaiki
penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin. Penatalaksanaan syok
hipovolemik meliputi mengembalikan tanda- tanda vital dan hemodinamik pada
kondisi dalam batas normal. Yang paling utama dalam tatalaksana syok hipovolemik
adalah terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang.
Tatalaksana yang tepat pada kasus adalah terapi cairan kristaloid dan transfusi darah.
Karena pasien pada kasus sudah masuk kelas III berdasarkan derajat hipovolemi
EBL.

40
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang saat pasien


datang, dengan hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien terlihat tampak lemah,
pucat, terdapat ekskhoriasi thorax D et parasternal S 1/3 bawah, ekskhoriasi abdomen
D et S 1/3 atas dan hasil pemeriksaan radiologi (rontgen thoraks) terdapat
hematothoraks (+), dan USG FAST (+) morison pouch & paravesica, kami
menyimpulkan diagnosis awal pasien adalah syok hipovolemik grade 3 et causa
hematothorax dan rupture hepar. Setelah 15 menit pasien datang, didapatkan hasil
pemeriksaan TD tidak terkontrol, sehingga diagnosis pasien adalah syok hipovolemik
grade 4 et causa hematothorax dan rupture hepar. Setelah 15 menit dari pemeriksaan
terakhir TD pasien sudah dapat diukur dengan hasil penilaian yaitu 87/40, kami
menyimpulkan diagnosis pasien adalah syok hipovolemik grade 3 et causa
hematothorax dan rupture hepar. Tatalaksana yang tepat pada kasus adalah terapi
cairan kristaloid dan transfusi darah.

5.2 Saran

Dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangan referensi yang detail,
seperti pemeriksaan golden standard dalam menjelaskan kasus yang dianalisis. Selain
itu, dalam proses pengeditan laporan ini juga masih belum sempurna. Harapannya
untuk laporan selanjutnya akan lebih baik lagi.

41
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Barakati, Septian.2011.Penanganan Syok Hipovolemik.Tim Bantuan Medis FK


UNEJ

Dewi, E., Sri, Wahyuni., 2010. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Berita Ilmu
Keperawatan, 2(2), 93-96.

Jun Wang, Teresa Liang, Luck Louis, Savvas Nicolaou, Patrick D. Mc Laughlin.
Hypovolemic Shock Complex in the Trauma Setting: A Pictorial Review.
Canadian Association of Radiologists. 2013;64:156-163. Tersedia pada
[http://sciencedirect.com].

Mayasari, D., Anisa, I. P., 2017. Pentalaksanaan Hematothorax Sedang Et Causa


Trauma Tumpul. J Agromed Unila, 1(4), 37-42.

Putra Heryana, Kadek Agus.2017.Terapi cairan pada pasien syok.FK UNUD

Putra I Ketut Bawantika. 2016. Hypovolemic Shock. Faculty of Medicine Udayana


University

Sander Mochamad Aleq. 2018. Ruptur Lien Akibat Trauma Abdomen: Pendekatan
Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Fakultas kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang.

Sari Desak Putu Tri Artha. 2018. Syok Hipovolemik ec Trauma Tumpul Abdomen.
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen krida Wacana

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.

42
Tanto, Chris, dkk., 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi iv. Jakarta; Media
aesculapius
Wijaya, IP. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed VI. Interna
Publishing. Jakarta
Worthley. IG, Shock: A Review of phatophysiology and management. Department of
critical care medicine. Flinders medical centre. Adelaide 2000;2:55-56

George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: Definisi, Klasifikasi dan


Patofisiologi. In: Harijanto E, editor. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan
Perioperatif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan
Reanimasi Indonesia; 2009. p. 16-36.

Mayasari, dkk, 2017. Penatalaksanaan Hematothoraks Sedang Et Causa Trauma


Tumpul. Lampung: Agromed Unila

Rumandani, dkk, 2017. Penggunaan Water Seal Drainage (WSD). Jakarta: Akademi
Perawatan Pelni Jakarta

43

Anda mungkin juga menyukai