Anda di halaman 1dari 7

Penegakan Diagnosis

Oleh : Ananda Frifiyant Moch. Ilham (20204881005)

1. Anamnesis

Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi atau rasa
berat di dada. Tetapi, kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja
yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu melakukan kegiatan
jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya
seperti rinitis alergi, atau dermatitis atopik dapat membantu diagnosis asma.
Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul
sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu.
Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan. Dengan
mengetahui faktor pencetusnya kemudian dapat menghindarinya, maka
diharapkan gejala asma dapat dicegah (Setiati et.al., 2014).

Faktor-faktor pencetus asma yaitu :

 Infeksi virus saluran napas : Influenza


 Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah atau bulu binatang
 Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi
 Kegiatan jasmani : lari
 Ekspresi emosional takut, marah, frustasi
 Obat-obatan aspirin, Beta-Blocker, NSAID
 Lingkungan kerja : uap zat kimia
 Polusi udara : asap rokok
 Pengawet makanan : sulfit
 Lain-lain, misalnya haid, kehamilan dan sinusitis

Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu pada asma seranan
dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya asma tanpa diobati ada yang hilang
sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat selain tidak
etis, juga dapat membayakan nyawa pasien. Gejala asma juga sangat bervariasi
dari satu individu ke individu lain, dan bahkan bervariasi pada individu sendiri
misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding siang hari (Setiati
et.al., 2014).

2. Pemeriksaan Fisik

Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada,
pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam
praktik jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering
pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis (Setiati et.al., 2014).

3. Pemeriksaan Penunjang
 Spirometri

Cara yang paling cepat dan sederhana untuk mengakkan diagnosis


asma adalah melihat respons pengobatan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1
sebanyak ≥12% atau (≥ 200mL) menunjukkan diagnosis asma. Tetapi
respons yang kurang dari 12% atau 200mL, tidak berarti bukan asma. Hal-
hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati
normal. Demikian pula respons terhadap bronkodilator tidak dijumpai
pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh karena itu obat tunggal
bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan. Untuk
melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di atas mungkin diperlukan
kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan
kortikosteroid untuk jangka waktu pengobatan 2-3 minggu. Reversibilitas
dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan
spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-beda misalnya beberapa
hari atau beberapa bulan kemudian (Setiati et.al., 2014).

Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis,


juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
Kegunaan spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada
penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Banyak
pasien asma tanpa menunjukkan keluhan, tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan adanya obstruksi. Hal ini mengakibatkan
pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila berlangsung lama
atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif kronik
(Setiati et.al., 2014).

 Uji Provokasi Bronkus

Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya


hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa
cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan
histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam
hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEP1 sebesar
20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani,
dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga
mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna
bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit
10%. Akan halnya uji provokasi dengan alergen, hanya dilakukan pada
pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji (Setiati et.al., 2014).

 Pemeriksaan Sputum

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil


sangat dominan pada bronkhitis kronik. Selain untuk melihat adanya
eosinofil, kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann; pemeriksaan
ini juga penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigatus
(Setiati et.al., 2014).

 Pemeriksaan Eosinofil Total

Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan
hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dan bronkitis kronik.
Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan
cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma (Setiati
et.al., 2014).
 Uji Kulit

Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang
positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya
(Setiati et.al., 2014).

 Pemeriksaan Kadar IgE Total dan IgE Spesifik Dalam Sputum

Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.


Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak
dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya (Setiati et.al., 2014).

 X-Ray Dada

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi


saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru
atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis dan lain-lain (Setiati et.al., 2014).

 Analisis Gas Darah

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal
sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya
hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik
(Setiati et.al., 2014).

4. Kriteria Diagnosis Asma

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Asma (GINA, 2020).


Fitur Diagnostik Kriteria Diagnostik
Riwayat gejala pernapasan
Gejala khasnya adalah mengi, sesak  penderita asma umumnya
napas, dada sesak, batuk: memiliki lebih dari satu gejala di
atas,
 gejala muncul secara bervariasi
dari waktu ke waktu dan
intensitasnya bervariasi,
 gejala sering muncul atau
memburuk pada malam hari atau
saat berjalan,
 gejala sering dipicu oleh
olahraga, tertawa, alergen atau
udara dingin,
 gejala sering muncul bersama
atau memburuk dengan infeksi
virus
Terkonfirmasi adanya limitasi udara ekspirasi (EFL)
Mendokumentasikan variabilitas Semakin besar variasi, atau semakin
berlebihan pada fungsi paru-paru (satu sering variasi berlebih terlihat,
atau lebih dari tes di bawah)* semakin yakin dalam diagnosis.
Dan pembatasan aliran udara ekspirasi FEV1 rendah, FEV1/FVC (dewasa
yang didokumentasikan* >70-80%, anak-anak >90%)
*uji reversibilitas bronkodilator - Dewasa : peningkatan FEV1 >12%
positif (lebih mungkin menjadi dan >200 mL dari awal, 10-15 menit
positif jika obat bronkodilator setelah 200-400 mcg salbutamol atau
tidak diberikan sebelum tes: yang setara (kemungkinan diagnosis
SABA ≥ 4 jam, LABA ≥ 15 lebih besar jika peningkatan >15%
jam) dan >400 mL).
- Anak-anak : prediksi kenaikan
FEV1> 12%
*variabilitas - Dewasa : rata-rata variabilitas APE
harian >10%
- Anak-anak : rata-rata variabilitas
APE harian >13%
*uji provokasi bronkus Penurunan FEV1 dari baseline ≥20%
dengan dosis standar metakolin atau
histamin, atau ≥15% dengan
hiperventilasi standar, saline
hipertonik atau mannitol challenge
*peningkatan signifikan pada Dewasa: peningkatan FEV1> 12%
fungsi paru-paru setelah 4 dan> 200mL dari baseline setelah 4
minggu pengobatan anti- minggu pengobatan, di luar infeksi
inflamasi saluran pernapasan

*exercise test positif - Dewasa : penurunan FEV1> 10%


dan> 200mL dari baseline
- Anak-anak : perkiraan penurunan
FEV1> 12%, atau PEF> 15%
Daftar Pustaka

1. Setiati, S., Idrus A., Aru WS., Marcellus SK., Bambang S., Ari FS. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi VI. Jakarta; Interna Publishing.
2014
2. GINA (Global Initiative for Asthma). Global Strategy for Asthma
Management and Prevention (2020 Update). 2020. (Diakses melalui
www.ginasthma.org pada 26 Oktober 2020)

Anda mungkin juga menyukai