1. Anamnesis
Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi atau rasa
berat di dada. Tetapi, kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja
yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu melakukan kegiatan
jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya
seperti rinitis alergi, atau dermatitis atopik dapat membantu diagnosis asma.
Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul
sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu.
Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan. Dengan
mengetahui faktor pencetusnya kemudian dapat menghindarinya, maka
diharapkan gejala asma dapat dicegah (Setiati et.al., 2014).
Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu pada asma seranan
dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya asma tanpa diobati ada yang hilang
sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat selain tidak
etis, juga dapat membayakan nyawa pasien. Gejala asma juga sangat bervariasi
dari satu individu ke individu lain, dan bahkan bervariasi pada individu sendiri
misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding siang hari (Setiati
et.al., 2014).
2. Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada,
pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam
praktik jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering
pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis (Setiati et.al., 2014).
3. Pemeriksaan Penunjang
Spirometri
Pemeriksaan Sputum
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan
hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dan bronkitis kronik.
Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan
cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma (Setiati
et.al., 2014).
Uji Kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang
positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya
(Setiati et.al., 2014).
X-Ray Dada
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal
sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya
hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik
(Setiati et.al., 2014).
1. Setiati, S., Idrus A., Aru WS., Marcellus SK., Bambang S., Ari FS. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi VI. Jakarta; Interna Publishing.
2014
2. GINA (Global Initiative for Asthma). Global Strategy for Asthma
Management and Prevention (2020 Update). 2020. (Diakses melalui
www.ginasthma.org pada 26 Oktober 2020)