Anda di halaman 1dari 42

STUDI KASUS KGDK 2

Disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 2
Dosen Pembimbing : Suhartini, S.Kp., MNs, PhD

Disusun oleh :
Kelompok 2

Amirah Nurfitri Syurinda (22020121140248)


Avivah Nur Aini (22020121140256)
Lingga Ade Marda N (22020121140161)
Salma Amanda Nabila (22020121140254)

KELAS AJ.21

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2023
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
GAMBARAN KASUS ............................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………... ................ 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 2
2.1 Istilah-Istilah dalam Kasus ................................................................................................. 3
2.2 Data Pengkajian ................................................................................................................. 19
2.3 Kemungkinan Kasus yang Terjadi pada Pasien ................................................................... 23
2.4 Pathway ............................................................................................................................. 25
2.5 Analisa Data dan Diagnosis Keperawatan ........................................................................... 27
2.6 Rencana Intervensi Keperawatan dan Rasionalisasi ............................................................ 30
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 33
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................ 33
3.2 Saran .................................................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 34

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas Studi Kasus
Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 2 sampai selesai tepat pada waktunya.

Tugas ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pengerjaan Studi Kasus ini. Kami mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Suhartini, S.Kp., MNs, PhD selaku dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan
Gawat Darurat dan Kritis 2. Tidak lupa juga terima kasih untuk segenap anggota kelompok yang
telah berkontribusi dalam pembuatan Studi Kasus ini, dengan kerja sama dan kegigihan sehingga
tugas ini akhirnya bisa selesai dengan baik. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan tugas ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki untuk kedepannya.
Akhir kata kami berharap semoga Studi Kasus ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Semarang, 13 November 2023

Kelompok 2

ii
GAMBARAN KASUS
Tuan Hadi, usia 77 tahun dirawat di unit perawatan intensif (ICU) pasca menjalani operasi
laparatomi. Sebelumnya pada hari yang sama, pasien datang ke unit gawat darurat dengan
keluhan sakit perut. Pasien memiliki riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, pecandu alkohol,
dan gangguan kognitif ringan. Di unit gawat darurat, pasien terlihat mengantuk dan bingung
ketika dibangunkan, akral teraba dingin dan sianosis, TD 75/50 mm Hg, frekuensi nadi
125x/mnt, abdomen terasa tegang dan buncit. Hasil CT Scan abdomen menunjukkan adanya gas
ekstraluminal dan dugaan feses ekstraluminal yang konsisten dengan perforasi kolon sigmoid.
Pasien mendapatkan antibiotik intravena dan dibawa ke ruang operasi untuk menjalani
laparotomi. Ketika pasien berada di ruang operasi, pasien menerima total 4 liter kristaloid.
Setibanya di ICU, pasien masih tersedasi, ter intubasi, dan terpasang ventilator dengan fraksi
oksigen inspirasi 40%; dan mendapatkan terapi norepinefrin melalui syringe pump. Hasil
pemeriksaan: TD 88/52 mm Hg, frekuensi nadi 120 x/mnt dengan irama sinus, CVP 6 mmHg,
dan suhu 35,6 °C. Analisis darah arteri menunjukkan pH 7,32, PCO2 28 mm Hg, PO2 85 mm
Hg, HCO3 33 dan laktat 3,0 mmol/l.

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laparotomi merupakan penyayatan operasi melalui dinding abdominal midline atau flank
untuk melakukan visualisasi organ di dalam abdominal. Laparotomi dilakukan di situs lineas
alba (medianus), paramedianus dan flank. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan,
dilakukan tindakan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Pada
pembedahan laparotomi membutuhkan insisi pada dinding abdominal yang cukup lebar sehingga
beresiko untuk terjadinya infeksi, terutama infeksi luka operasi paska pembedahan.

Infeksi Luka Operasi (ILO) merupakan infeksi yang terjadi ketika mikroorganisme dari
kulit, bagian tubuh lain atau lingkungan masuk kedalam insisi yang terjadi dalam waktu 30 hari
dan jika ada implant terjadi 1 (satu) tahun paska operasi yang ditandai dengan adanya pus,
inflamasi, bengkak, nyeri dan rasa panas. Usia dapat menentukan terjadinya infeksi luka
seseorang. Pada usia dewasa awal sistem imun telah memberikan pertahanan pada bakteri yang
menginvasi. Pada usia pertengahan menjelang tua imunitas meningkat dan pada keadaan tertentu
mulai menurun. Sedangkan pada usia lanjut, karena fungsi dan organ tubuh mengalami
penurunan, sistem imun juga mengalami perubahan. Peningkatan infeksi juga sesuai dengan
umur dimana pada usia di atas 55 tahun kejadian infeksi tiga kali lebih sering daripada usia
muda. Semakin tinggi usia seseorang maka potensi untuk terjadinya infeksi luka operasi semakin
tinggi.

1.2 Tujuan

1. Mengatahui istilah-istilah penting yang berhubungan dengan kasus


2. Mengetahui pengkajian yang perlu dilakukan untuk memperoleh data
3. Mengetahui kemungkinan masalah yang terjadi pada pasien
4. Mengetahui patofisiologi dari masalah yang dialami pasien
5. Mengetahui masalah keperawatan yang terjadi pada pasien
6. Mengatahui intervensi dan rasionalisasi yang tepat sesuai kasus

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Istilah-Istilah dalam Kasus


1. Operasi Laparatomi
Laparotomi adalah suatu metode pembedahan mayor, dengan melakukan sayatan
selaput perut dengan masalah di bagian abdomen (perdarahan, perforasi, kanker, dan
obstruksi). Jika terjadi kesalahan, operasi laparatomi akan mengalami masalah kesehatan
yang berat pada abdomen, misalnya trauma abdomen. Pasien biasanya akan mengalami
nyeri setelah dilakukannya pembedahan laparatomi. Laparatomi merupakan pembedahan
insisi menuju rongga abdomen dimana operasi yang dapat dilakukan dengan prosedur
laparotomi pada bagian digestive antara lain herniotomi, gasterktomi,
kolesisduodenostomi hepatektomi, splenoktomi, appendiktomi, kolostomi, selain itu pada
bagian obstetri dan ginekologi tindakan laparotomi sering kali juga dilakukan pada
histerektomi dansplingo-ooferektomi (Dorland, 2010 dalam Yosra dan Meti, 2021).

2. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah di atas normal. Seseorang dinyatakan menderita hipertensi bila tekanan
darahnya tinggi atau melampaui nilai tekanan darah yang normal, yaitu di atas 120/80
mmHg. Hipertensi au tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.
Faktor risiko utama dari bertambahnya penyakit jantung dan berbagai penyakit vaskuler
pada usia lanjut adalah hipertensi, dikarenakan tingginya tegangan dalam arteri dan
banyak ditemukan kekakuan pada arteri yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
darah pada usia lanjut (Afriani, et. al, 2023).

3. Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia adalah suatu kondisi dimana meningkatnya konsentrasi
kolesterol dalam darah yang melebihi nilai normal. Dikatakan hiperkolesterolemia

3
apabila jumlah kolesterol total dalam tubuh >200 mg/dl (Guyton dan Hall, 2014 dalam
Widiyono, 2021). Kejadian hiperkolesterolemia pada kelompok lansia selain
berhubungan dengan faktor usia, juga karena jenis kelamin, adanya riwayat kolesterol
sebelumnya, asupan makanan berlemak dan berkolesterol tinggi (pola makan), aktivitas
fisik, tingkat pendidikan, pekerjaan, Indeks Massa Tubuh (IMT), dan juga status
merokok. Pada dasarnya laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi akan terjadinya
hiperkolesterolemia dibandingkan dengan perempuan Hal ini karena adanya hormon
estrogen yang berfungsi melindungi dari plak pembuluh darah. Jumlah hormon estrogen
laki-laki lebih sedikit dibanding perempuan. Akan tetapi keduanya memiliki resiko yang
sama di rentang usia diatas 60 tahun (Widiyono, 2021).

Klasifikasi Hiperkolesterolemia menurut NCEP ATP III

Klasifikasi Kolesterol Total

Normal <200 mg/dL

Batas Tinggi 200-239 mg/dL

Tinggi ⥸240 mg/dL

Hiperkolesterolemia merupakan meningkatnya kadar kolesterol dalam darah. Keadaan ini


diketahui akan mengakibatkan terjadinya penyakit jantung koroner dan aterosklerosis pada
pembuluh darah. Dengan adanya aterosklerosis ini, dia akan menyebabkan terganggunya
sirkulasi darah ke otak dimana akan berakibat terjadinya emboli, hipoperfusi serebral dan
peningkatan neurodegnerasi melalui pembentukan beta amyloid yang bila terbentuk plak yang
berlebihan akan memicu terjadinya alzheimer. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan
fungsi kognitif.

4
4. Pecandu Alkohol
Hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktor risiko
terjadinya hipertensi adalah mengkonsumsi minuman alkohol. Senyawa etanol dalam
alkohol secara fisiologi nya dapat meningkatkan kadar kortisol apabila dikonsumsi,
sehingga meningkatkan tekanan darah dalam arteri akibatnya jantung lebih kuat
memompa darah untuk dialirkan keseluruh tubuh, kemudian pembuluh darah menjadi
kaku dan menyempit sehingga tidak bisa mengembang atau terjadi istilah vasokonstriksi
yaitu kondisi arteri menjadi mengkerut karena adanya rangsangan saraf. Peraturan
Presiden No. 74 Tahun 2013 menyebutkan bahwa minuman beralkohol adalah minuman
yang berasal dari bahan pertanian berkarbohidrat yang diolah dengan cara fermentasi dan
menghasilkan etanol (C2H2OH). Kandungan etanol dalam minuman dapat
mengakibatkan turunnya kesadaran konsumennya (Imran Sukiman, Syarifuddin and
Ilham Willem, 2019). Faktor rasa ingin tahu pada alkohol, pengaruh dari lingkungan dan
juga keinginan untuk terlihat lebih keren di lingkungan pertemanan merupakan beberapa
faktor yang mendasari konsumsi alkohol (Lito (2021).
Apabila alkohol dikonsumsi 2-3 gelas ukuran standar setiap hari akan
memberikan dampak buruk terhadap tekanan darah (Memah, 2019). Mengingat tingginya
prevalensi konsumsi alkohol yang mengkonsumsi alkohol >6 gelas per minggu, perlu
dilakukan edukasi pada masyarakat untuk mengurangi frekuensi konsumsi alkohol,
sebagai bentuk pencegahan sekunder berupa deteksi dini penderita hipertensi. Alkohol
akan berpengaruh pada peningkatan tekanan darah apabila dikonsumsi dalam jangka
waktu yang lama dikarenakan aktivitas angiotensin dan aldosteron meningkat. Kualitas
tidur yang buruk dapat disebabkan oleh seseorang mengkonsumsi minuman alkohol
dengan jumlah yang berlebihan sehingga mengganggu waktu tidur REM. Individu yang
mengkonsumsi alkohol dengan berlebihan dapat membuat disorientasi, kehilangan
kesadaran, bahkan dapat berakibat pada kematian apabila kadar alkohol dalam darah
tinggi sedangkan resiko kesehatan yang diterima dapat berupa kecelakaan, kerusakan
otak, memiliki penyakit jantung, hati dll (Ilham, 2020).

5
5. Gangguan Kognitif Ringan
Gangguan kognitif adalah penurunan fungsi otak sehingga kegiatan yang
berhubungan dengan kemampuan atensi, konsentrasi, kalkulasi, dalam mengambil
keputusan, reasoning, dan cara berpikir abstrak. Usia dapat berpengaruh terhadap
gangguan kognitif, usia lansia menyebabkan kelemahan pada otak dan penurunan
kognitif. Kelemahan merupakan sindrom klinis kompleks yang ditandai dengan adanya
penurunan cadangan fisiologis dan peningkatan kerentanan terhadap stress. Kelemahan
otak juga berhubungan dengan gangguan kognitif, kelemahan merupakan faktor risiko
potensial yang menyebabkan adanya penurunan kognitif dan prevalensi mudah pikun
(demensia). Pola penurunan kognitif yang muncul menunjukkan adanya fungsi eksekutif
dan erat kaitannya dengan sindrom kelemahan. Sebagian disebabkan oleh faktor
kardiovaskuler, karena kelemahan dan gangguan fungsi eksekutif telah dikaitkan dengan
adanya penyakit kardiovaskular. Athilingam dkk. Demensia merupakan kemunduran
pada sistem kognitif atau intelektual dengan kejadian pada populasi umum berusia 60
tahun ke atas sekitar antara 5-8% (WHO, 2020). Eko dan Gloria (2020), menyatakan
prevalensi gangguan fungsi kognitif pada lansia adalah 17-34%. penurunan fungsi
kognitif ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti penyakit depresi, neurologi, diabetes
melitus. beberapa peneliti sebelumnya penurunan fungsi kognitif akan mengganggu
kualitas hidup penderita. dari penelitian (Deu, 2020).

6. Mengantuk dan Bingung


Banyak hal yang bisa menyebabkan mengantuk seperti aktivitas fisik, penggunaan
obat, asupan gizi, riwayat penyakit, kurang tidur, dan durasi tidur. Mengantuk juga bisa
disebabkan kurangnya olahraga, kondisi prediabetes, psikologis, gaya hidup, dan anemia.
Pada kondisi tidak terkontrol seperti mengalami hipertensi dapat mengalami gejala
gangguan tidur, perubahan pola tidur yang memicu peningkatan tekanan darah dan
mengarah pada perubahan kualitas tidur yang menyebabkan suplai oksigen berkurang dan
seseorang menjadi mengantuk. Lansia memiliki kesulitan ringan dalam memulai tidur.
Sedangkan, panjang latensi tidur normalnya berada pada rentang 10-30 menit, dan
dianggap memiliki kesulitan berat dalam memulai tidur apabila mengalami latensi tidur

6
lebih dari 30 menit dimana kesulitan tidur dapat menyebabkan seseorang menjadi
bingung dan mengantuk (Nanfang,2020).

7. Akral Dingin dan Sianosis


Ekstremitas dingin merupakan gejala adanya perfusi tidak efektif yang
menyebabkan SpO2 tidak terdeteksi. Seseorang yang mengalami perfusi jaringan perifer
tidak efektif ditandai dengan ekstremitas mengalami akral dingin, dalam hal ini ada
perbedaan suhu perifer dan core temperatur kurang lebih 30°C. Perfusi perifer tidak
efektif merupakan adanya penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat
mengganggu metabolisme tubuh (PPNI 2017). Kondisi Hipoperfusi tidak hanya
berhubungan dengan makrosirkulasi tetapi juga berkaitan dengan mikrosirkulasi.
Mikrosirkulasi berbicara mengenai transport oksigen, air, nutrisi, dan ekskreta sel ke
jaringan sel melalui pembuluh darah . Saat terjadi gangguan fungsi akan menyebabkan
terjadinya densitas vaskular heterogen disertai dengan kantung-kantung area hipoksia.
Cara tubuh untuk memenuhi kecukupan oksigen dan nutrisi pada organ vital dengan
vasokontriksi pembuluh darah perifer. Adanya penurunan suplai darah ke perifer
mengakibatkan penurunan suhu perifer (akral menjadi dingin). Kondisi seperti ini
berpengaruh pada proses pemantauan hemodinamik khususnya saturasi oksigen perifer
(SpO2). Gangguan sirkulasi atau perfusi jaringan yang buruk akan mengurangi
aliran darah dan absorpsi cahaya seperti pada pasien - pasien sakit kritis dengan
curah jantung rendah, hipotermia, dan resistensi vaskuler sistemik tinggi (Sirait,
2020). Suhu yang hangat akan menuju area tubuh, perpindahan kalor ini akan
menimbulkan respon berupa vasodilatasi pembuluh darah (Nurani, 2022)
.
8. Tekanan Darah 75/50
Hipotensi dianggap sebagai tanda akhir penyakit yang diawali dengan
peningkatan denyut jantung, untuk menjaga curah jantung dengan melakukan kompensasi
dengan meningkatnya denyut jantung dan resistensi pembuluh darah sistemik. Ketika
mekanisme kompensasi tidak memadai tekanan darah bisa turun yang bisa mengindikasi
syok.

7
Hipotensi intradialisis sering diartikan sebagai penurunan tekanan darah dengan
disertai munculnya gejala spesifik mulai dari asimptomatik sampai dengan syok.
Keadaan pasien yang mencetus penurunan tekanan darah selama hemodialisis, yaitu:
umur, jenis kelamin, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, penambahan
berat badan dan penggunaan obat-obat antihipertensi. Kejadian hipotensi intradialisis
dapat menyebabkan penghentian dialisis lebih awal dan mempengaruhi pembuangan
cairan menjadi tidak adekuat sehingga pasien akan mengalami kelebihan cairan (volume
overload) sehingga proses dialisis tidak adekuat. Hipotensi intradialisis terjadi karena
berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif selama sesi hemodialisis. Ketika
terjadi penurunan volume plasma dalam dialisis tekanan darah akan dipertahankan
dengan meningkatkan isi ulang plasma, resistensi pembuluh darah dan curah jantung.
Hipotensi intradialisis terjadi ketika mekanisme korektif tidak diaktifkan relatif
terhadap laju ultrafiltrasi (UFR). Isi ulang plasma atau kapasitas vena sebagian besar
dikendalikan oleh penurunan pengisian regional dan vasokontriksi yang dimediasi secara
aktif dan reflektif. Hipotensi Intradialisis disebabkan karena banyak faktor yang
mempengaruhi keberadaan IDH tergantung pada pasien saat menggunakan obat
antihipertensi, keberadaan penyakit kardiovaskular, kenaikan berat badan, serta pada cara
aplikasi HD (konsentrasi natrium, kalsium, osmolaritas dari dialyzed, suhu cairan dialisis
dan jenis buffer yang digunakan dalam dianalisis), dan pada faktor-faktor tambahan
seperti anemia, hipoksia atau infeksi yang terjadi bersamaan. Penelitian Septimar &
Nurmalahayati (2019) faktor yang dapat mempengaruhi hipotensi intradialisis adalah
usia, tekanan darah, obat anti hipertensi, anemia, dan yang tidak mempengaruhi adalah
jenis kelamin.
Hipotensi Intradialisis (IDH) terjadi karena multifaktorial baik faktor non teknis
maupun faktor teknis hemodialisa. Faktor non teknis terdiri dari jenis kelamin, usia,
riwayat penyakit DM, hipertensi, jantung, anemia, dan lama hemodialisa pasien. Banyak
jumlah laki-laki disebabkan aktivitas fisik yang tinggi, konsumsi suplemen, alkohol, dan
rokok yang menyebabkan hipertensi dan diabetes melitus. Penyebab lain dikarenakan
anatomis saluran kemih laki-laki lebih panjang menyebabkan endapan zat terkandung
dalam urin yang menyebabkan obstruksi dan infeksi saluran kemih yang pada akhirnya
mengakibatkan kerusakan kandung kemih, ureter, dan ginjal (Sahran,2020).

8
9. Frekuensi Nadi 125x/menit
Perubahan denyut jantung yang digambarkan sebagai frekuensi denyut nadi
merupakan indikasi penting di dalam bidang kesehatan yang berguna sebagai bahan
evaluasi efektif dan cepat serta berfungsi sebagai alat untuk mengetahui kesehatan pada
tubuh seseorang. Frekuensi nadi pada pasien perempuan yang mengalami gangguan
kardiovaskuler akan lebih beresiko. Kemampuan sel untuk dirangsang menjadi
meningkat, seseorang cenderung lebih mudah mengalami kecemasan yang berakibat pada
peningkatan frekuensi nadi. Nilai frekuensi nadi menunjukkan denyut jantung dan
sebaliknya (sistol dan diastole). Lebih dari normal atau kurang dari normal menunjukkan
adanya ketidakadekuatan volume darah yang ada di jantung untuk mencukupi kebutuhan
sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal. Angka normal untuk dewasa 70-80x/menit
(Chouet al, 2020)

10. CT Scan Abdomen


CT Scan (Computed Tomography Scan) adalah salah satu alat penunjang
diagnostik dengan menggunakan teknik tomografi dan komputerisasi modern yang
menggunakan radiasi pengion berupa sinar-x untuk memindai organ tubuh manusia.
Pemeriksaan yang menggunakan CT Scan memiliki tujuan untuk mengetahui
apakah terdapat kelainan atau tidak pada organ tubuh manusia tanpa harus
melakukan operasi bedah (Ayu et al. 2021, dalam Yuliani et al. 2023).
CT Scan abdomen merupakan suatu pemeriksaan untuk melihat anatomi dan
patologi abdomen, hasil dari scanning berupa gambaran penampang cross sectional. CT
Scan abdomen digunakan untuk mendeteksi adnya tumor, perdarahan, ataupun benda
asing di dalam perut, serta melihat ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening,
divertikulitis, dan radang usus. Pada CT scan abdomen dapat melihat keadaan organ-
organ perut seperti hepar, limpa, pankreas, ginjal, kelenjar getah bening, vaskular,
lambung, duodenum, usus kecil, usus besar, dan rektum, kandung kemih.
Berdasarkan kasus, berhubungan dengan adanya data keluhan sakit perut dan dari
hasil pemeriksaan fisik didapatkan abdomen tegang dan buncit maka perlu dilakukan CT
Scan abdomen, untuk mengetahui gas ekstraluminal dan feses ekstraluminal lebih lanjut.

9
CT Scan abdomen juga berfungsi untuk melihat sejauh mana kerusakan yang terjadi pada
organ perut, terutama pada kolon sigmoid sesuai dengan kasus diatas. Gas dan feses
ekstraluminal pada organ perut, mengindikasikan adanya gangguan pada organ
pencernaan tersebut. Gas ekstraluminal dapat terjadi karena adanya perforasi usus,
sehingga gas di usus menjadi keluar, dan menyebabkan kerusakan melebar di area organ
pencernaan. Tanda langsung pada computed tomograph yang tidak tergantung
lokasi perforasi adalah gas ekstraluminal dan kontras oral
ekstraluminal, serta diskontinuitas dinding usus, dimana tempatnya dapat menyebar
kontras dan udara dapat keluar (Widayana, 2022).

11. Gas ekstraluminal dan Feses ekstraluminal dengan Perforasi Kolon Sigmoid
Perforasi kolon merupakan komplikasi tertinggi pada gastrointestinal
dibandingkan dengan perforasi lainnya. Kandungan bakteri yang tinggi di usus besar
memicu terjadinya peritonitis bakteri. Sebagian pasien mengalami gejala seperti adanya
abses yang menyerupai massa perut, dan atau disertai dengan sepsis. Tomografi
komputer multi detektor merupakan modalitas pilihan untuk evaluasi pasien dengan
suspek perforasi. Tomografi komputer multi detektor memiliki sensitivitas yang tinggi
dalam mendeteksi gas ekstraluminal dan kemampuannya dalam melokalisasi lokasi dari
perforasi, dengan akurasi mulai 82 hingga 90% (Pouli et al., 2020, dalam Zuhan, et al,
2023).
Gas ekstraluminal pada abdomen merupakan gas yang berada di luar lumen
saluran cerna. Temuan gas ekstraluminal memiliki situasi klinis mulai dari tanpa gejala
hingga kondisi mengancam jiwa. Kondisi yang menyebabkan adanya gas ekstraluminal
pada rongga abdomen, yaitu perforasi abdomen, abses (subphrenic dan lainnya),
kolangitis, pneumatosis coli, dan portal pyaemia. Pada kasus dijelaskan jika pasien
mengalami perforasi kolon sehingga menyebabkan gas ekstraluminal.

12. Antibiotik intravena


Antibiotik merupakan golongan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit
infeksi akibat bakteri. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat akan berdampak besar
terhadap terjadinya resistansi. Mekanisme resistansi antibiotik adalah terhambatnya

10
kemampuan antibiotik untuk mencapai tempat kerjanya atau menembus membran luar.
Munculnya resistansi pada satu atau beberapa jenis antibiotik tertentu akan berpengaruh
terhadap pola pengobatan, antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi
bakteri, dan dianjurkan untuk diberikan pada tindakan dengan infeksi risiko yang tinggi
seperti pada infeksi bersih-terkontaminasi dan terkontaminasi (Ganiswara., 2012, dalam
Rachmawati et al, 2020).

13. Cairan Kristaloid


Tindakan resusitasi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan
penanganan pasien kritis. Jenis cairan yang digunakan dalam resusitasi cairan yaitu
kristaloid dan koloid yang memiliki fungsi berbeda terutama pada kelebihan dan
kekurangan. Cairan kristaloid merupakan cairan yang terdiri atas elekrolit yang
mempunyai sifat mudah, melewati membran endotel pembuluh darah. Pergerakan
cairan kristaloid akan diikuti oleh air, sehingga akan muncul keseimbangan antara
ruang intravaskuler dan ekstraselular. Cairan kristaloid berisi berbagai macam
kation inorgank seperti K+ (Kalium), Ca++ (Kalsium), dan Mg++ (Magnesium) serta
anion organic seperti laktat, asetat, glukonat atau bikarbonat. Cairan kristaloid baik
digunakan pada pemberian pertama resusitasi karena memberikan ekspansi volume
intravaskular segera melalui pengiriman volume kecil cairan,
meningkatkan fungsi jantung dan juga tidak mengandung onkotik yang tidak
terbatas dalam ruang intravascular (Kurniawan Taufik Kadafi, 2017, dalam Junaidi
2023).

14. Sedasi
Berdasarkan American Society of Anesthesiologists, didefinisikan bahwa
sedasi dan analgesia terdiri dari rangkaian keadaan mulai dari sedasiringan (anxiolysis)
hingga anestesi umum. Sedasi ringan (ansiolosis) sebagai tingkat kesadaran yang sedikit
menurun, pasien dapat mempertahankan kemampuan untuk secara mandiri dan
mempertahankan jalan napas dan dapat merespons secara normal rangsangan taktil dan
perintah verbal. Sedasi sedang (sedasi sadar) adalah depresi kesadaran yang
diinduksi obat di mana pasien dengan sengaja merespons perintah verbal atau

11
stimulasi taktil ringan, dengan jalan napas paten dan ventilasi spontan. Sedasi total
atau analgesia dalam adalah kondisi penurunan kesadaran yang diinduksi obat dimana
pasien tidak dapat dengan mudah dibangunkan, tetapi merespons dengan
sengaja setelah rangsangan berulang atau dengan rangsangan nyeri. Pasien
mungkin memerlukan bantuan dalam mempertahankan jalan napas dan fungsi
kardiovaskular (Prabowo, et al, 2022).
Pengelolaan analgesia serta sedasi di unit perawatan intensif memerlukan evaluasi
dan juga parameter pemantau untuk mendeteksi dan mengukur derajat rasa sakit, agitasi,
dan sedasi. Pengukuran skala tersebut memberikan gambaran dari rasa sakit, agitasi, dan
sedasi yang berubah terus-menerus pada pasien kritis (Pranata, 2021).

15. Intubasi
Intubasi adalah prosedur medis darurat yang bertujuan memberikan bantuan
pernapasan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas, tidak sadarkan diri, atau
koma. Intubasi merupakan sebuah tindakan memasukkan endotracheal tube ke jalan
napas pasien untuk menjamin pemberian gas anestesi agar bisa dilakukan operasi (Ikatan
Penata Anestesi Indonesia, 2018 dalam Norlailiyah, 2023). Prosedur ini dilakukan
dengan tujuan untuk membantu pernapasan seseorang yang mengalami kondisi medis
tertentu. Prosedur ini dilakukan agar pasien tetap bisa bernapas ketika menjalani operasi,
mendapatkan bius atau anestesi, mencegah terjadinya aspirasi, syok sepsis, dan pasien
yang mengalami kondisi berat serta menyebabkan pasien kesulitan bernapas.
Berdasarkan kasus, pasien tersebut ketika di unit gawat darurat mengalami
penurunan kesadaran yang ditandai dengan mengantuk dan bingung ketika dibangunkan,
artinya tingkat kesadaran pada pasien ketika di UGD adalah somnolen. Pada pasien-
pasien dengan penurunan kesadaran somnolen terdapat kemungkinan bahwa pasien
mengalami penurunan tonus otot, termasuk otot lidah sehingga terjadi lidah jatuh
kebelakang dan menyebabkan obstruksi pernapasan. Sehingga, untuk menjaga kepatenan
jalan napas pada pasien adalah dengan melakukan intubasi agar pasien tidak mengalami
kesulitan bernapas

12
16. Ventilator
Ventilator merupakan mesin yang digunakan untuk membantu pernapasan pasien.
Ventilator bertujuan agar pasien mendapat asupan oksigen yang cukup. Ventilator
Mekanik (VM) alat yang sering digunakan di ruang Perawatan Intensif (Esquinas,
2014 dalam Fathoni 2023). Saat intubasi dilakukan pada pasien, mikroorganisme
patogen yang ada dalam rongga mulut (jika intubasi melalui mulut), atau rongga hidung
(jika intubasi melalui hidung), kuman tersebut akan masuk saluran napas bagian bawah.
Terpasangnya saluran pipa artificial juga merupakan media untuk keluar masuknya
mikroorganis me dari sumber lain, ini juga akan meningkatkan stimulasi sekresi mucus
dan hambat fungsi saluran napas atas seperti fungsi menghangatkan, fungsi melembabkan
dan filtrasi dan juga suara akan hilang. Dampak yang terjadi dari pemasangan Ventilator
Mekanik (VM) begitu komplek, salah satunya adalah menolong pasien agar jalan
napasnya tetap bersih, agar proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida tetap lancar,
diindikasikan pada pasien dengan ventilasi spontan yang tidak adekuat untuk menjaga
kehidupannya, dan mendukung oksigenasi melalui pemberian oksigen melalui alat
(Purnawan, 2020).
Pada kasus pasien tercatat mengalami penurunan kesadaran sehingga pasien
hanya berada di atas tempat tidur dengan posisi terlentang dan juga berdasarkan hasil
pemeriksaan analisis darah didapatkan PaCO2 menurun sehingga memungkinkan
terjadinya gangguan ventilasi-perfusi karena darah mengalir ke bagian paru yang
ventilasinya buruk atau rendah.

17. Fraksi Oksigen


Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) adalah persentase oksigen yang
dihantarkan dengan rentang antara 21%-100% yang berfungsi untuk mengoptimalkan
pertukaran gas pada pasien. Oksigen memiliki peran penting dalam kelangsungan hidup
manusia, dan oksigen ada di udara luar dengan konsentrasi 21% dan masuk ke tubuh
melalui sistem respirasi. Terkadang 21% dari oksigen tidak cukup untuk
mempertahankan keadekuatan saturasi oksigen di dalam tubuh. Dalam situasi ini,
tambahan oksigen dapat diberikan melalui berbagai alat untuk memberikan bantuan

13
oksigen seperti nasal kanula, simple mask, rebreathing mask, serta non-rebreathing
mask, hingga ventilasi mekanik (Anderson, 2023).
Terapi oksigen juga digunakan untuk mencegah dan memperbaiki hipoksia
jaringan, mempertahankan oksigenasi jaringan supaya tetap adekuat melalui peningkatan
pemasukan oksigen dari sistem pernafasan, menambah kapasitas oksigen ke sistem
sirkulasi, serta meningkatkan pelepasan atau ekstrasi oksigen ke jaringan. Terapi
oksigen dapat diberikan sesuai dengan konsentrasi oksigen yang ada, rendah (di bawah
35%), sedang (35 sampai dengan 60%) atau tinggi (di atas 60%) (Maya, 2017 dalam
Anderson, 2023). Berdasarkan kasus maka pasien mendapatkan terapi oksigen dengan
ventilator sejumlah 40%, maka konsentrasi oksigen yang diberikan pada pasien yaitu
tergolong sedang.

18. Terapi Norepinefrin melalui Syringe Pump


Terapi norepinefrin adalah vasopressor lini pertama yang dapat diberikan untuk
meningkatkan tekanan darah dan resistensi perifer pada pasien kritis (Panggabean, 2019).
Norepinefrin diberikan untuk mencapai target MAP (Mean Arterial Pressure). Dimana
MAP merupakan penentu utama terjadinya tekanan pengisian sistemik yang dapat
mengakibatkan aliran darah balik vena dan CO2. Sehingga MAP dapat menghasilkan
terjadinya peningkatan aliran darah jaringan dan berperan dalam mempertahankan perfusi
jaringan (Levy, M., 2021) Terapi norepinefrin diberikan kepada pasien yang mengalami
hipotensi selama atau setelah resusitasi untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg dalam
satu jam pertama (Messina et al, 2021). Pemberian vasopressor berupa terapi norepinefrin
sangat penting sebagai penanganan awal pada pasien yang mengalami syok sehingga
dapat menurunkan angka kematian (Messina et al, 2021). Pada kasus, dijelaskan bahwa
Tn. Hadi mengalami hipotensi atau tekanan darah rendah, yaitu 75/50 mmHg. Oleh
karena itu diberikan terapi norepinefrin melalui syringe pump untuk meningkatkan
tekanan darah pasien.

19. Hasil pemeriksaan: TD 88/52


Tekanan darah adalah tekanan dari aliran darah dalam pembuluh nadi (arteri)
(Khanna, et al., 2023). dalam pengukuran tekanan darah, dikenal istilah sistolik dan

14
diastolik. Tekanan darah sistolik adalah tekanan yang diciptakan oleh jantung saat
memompa darah ke seluruh tubuh, sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan saat
jantung memompa darah dari tubuh kembali ke jantung. Berdasarkan kategori tekanan
darah oleh American Heart Association, hipertensi tahap ditetapkan bila tekanan darah
sistolik 130-139 mmHg dan tekanan darah diastolik 80-89 mmHg. Tekanan darah
optimal usia dewasa adalah sistolik.
Tekanan darah merupakan faktor yang sangat penting pada sistem sirkulasi. Tidak
semua tekanan darah berada dalam batas normal sehingga menyebabkan munculnya
gangguan pada tekanan darah yakni dikenal dengan hipertensi atau tekanan darah tinggi
dan hipotensi atau tekanan darah rendah. Berdasarkan kasus, tekanan darah Tn. Hadi
sebelum dilakukan operasi laparatomi yaitu 75/50 mmHg. Sedangkan, setelah operasi,
tekanan darah Tn. Hadi yaitu 88/52 mmHg. Dari kedua data tersebut Tn. Hadi mengalami
hipotensi atau tekanan darah rendah yang kurang dari nilai normal.
Salah satu penyakit yang menyebabkan hipotensi yaitu sepsis. Sepsis Sepsis
adalah respons sistemis terhadap infeksi di dalam tubuh yang dapat berkembang menjadi
sepsis berat dan syok septik. Syok septik di definisikan sebagai kondisi sepsis dengan
keadaan hipotensi refrakter (tekanan darah sistolik 40 mmHg dari ambang dasar tekanan
darah sistolik yang tidak responsif setelah diberikan cairan kristaloid sebesar 20 sampai
40 ml/kg. (Wicaksono, et al., 2022). Pada kasus dijelaskan bahwa Tn. Hadi menerima 4
liter kristaloid saat di ruang operasi sebagai resusitasi cairan pada kondisi sepsis.

20. Frekuensi Nadi 120x/mnt dengan Irama Sinus


Frekuensi nadi atau denyut nadi adalah denyut yang teraba pada dinding
pembuluh darah arteri yang berdasarkan systol dan dyastole dari jantung. Detak jantung
atau denyut jantung merupakan debaran jantung per menit yang teraba pada arteri karena
adanya aliran darah yang melalui jantung. Denyut ini mudah diraba di suatu tempat
dimana ada arteri melintas. Pengukuran denyut nadi sangatlah penting, denyut nadi
normal adalah 60-100 kali per menit. Perubahan denyut jantung yang tidak normal sering
dialami oleh penderita penyakit jantung yang mana variabel ketidaknormalannya terjadi
saat bradikardi (denyut jantung kurang dari 60 kali per menit) dan takikardi (denyut
jantung lebih dari 100 kali per menit)

15
Irama sinus merupakan irama yang normal dari jantung dan nodus SA sebagai
pacemaker. Sinus takikardia ialah irama sinus dengan frekuensi jantung pada orang
dewasa lebih dari 100 kali/menit, pada anak-anak lebih dari 120 kali/menit dan pada bayi
lebih dari 150 kali/menit. Sinus bradikardia ialah irama sinus dengan frekuensi jantung
kurang dari 60 kali/menit. Sinus takikardi adalah manifestasi dari suatu kelainan, salah
satunya adalah sepsis. Gejala yang dapat ditimbulkan dari sepsis yaitu respon inflamasi
sistemik seperti demam, takikardi, takipnea, leukositosis, kemudian berkembang menjadi
hipotensi (Ayu et al., 2020). Berdasarkan kasus, frekuensi nadi Tn. Hadi pada saat post
operasi yaitu 120x/menit. Maka, dapat disimpulkan bahwa frekuensi nadi Tn. Hadi
termasuk kategori irama sinus takikardia.

21. CVP 6mmHg


Kateter vena sentral (central venous catheter/CVC) adalah sebuah alat yang
dimasukkan ke dalam pembuluh darah besar dan dapat digunakan dalam pemberian obat
obatan, cairan dan nutrisi parenteral yang tidak dapat diberikan secara aman melalui jalur
perifer serta sebagai cara untuk pemantauan hemodinamik. CVC (Central Venous
Chateter) salah satu metode insersi kateter pada pembuluh darah besar yang berguna
untuk akses resusitasi dan maintenance cairan pada pasien diruangan intensif (Patel et al.,
2019) CVP dapat diukur menggunakan transducer (mmHg) atau Manometer (cmH2O).
Menurut Kelli, nilai normal CVP adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sedangkan,
menurut Izakovic, nilai normal CVP adalah 5-10 cmH2O. Nilai CVP yang meningkat
menunjukkan tanda kelebihan cairan dan nilai CVP yang menurun menunjukkan tanda
kekurangan cairan. Indikasi pemasangan kateter vena sentral (central venous catheter;
CVC) antara lain untuk pemantauan status hemodinamik pasien, kateterisasi arteri
pulmonar, pemasangan transvenous pacemaker darurat, hemodialisis, hipovolemik berat
karena akses perifer sulit dipasang, total parenteral nutrition, dan pemberian obat-obat
yang bersifat iritatif apabila diberikan melalui jalur perifer. Pada kasus dijelaskan bahwa
nilai CVP Tn. Hadi berada pada rentang nilai normal yaitu 6 mmHg dan menandakan
status cairan yang baik.

16
22. Suhu 35,6°C
Suhu tubuh adalah pengukuran keseimbangan antara panas yang dihasilkan oleh
tubuh dan panas yang hilang dari tubh. Suhu tubuh mencerminkan keseimbangan antara
produksi dan pengeluaran panas dari tubuh yang diukur dalam unit panas yang disebut
derajat. Suhu tubuh yang normal (dalam keadaan sehat) berkisar 36-37°C. Setelah
dilakukan tindakan operasi dan akibat adanya sayatan yang terbuka maka pasien
mempunyai resiko hipotermi. Setiap pasien yang menjalani operasi berada dalam risiko
mengalami kejadian hipotermi. Hipotermi post operasi merupakan keadaan suhu tubuh
dibawah temperatur normal. Menurut National Institute for Health and Care Excellence
(NICE), hipotermia perioperatif merupakan suatu kondisi suhu inti tubuh lebih rendah
dari 36°C. Hipotermia perioperatif terjadi sebagai respon terhadap tindakan anestesi
yang mengganggu mekanisme pengaturan panas oleh sistem termoregulatori (Pratiwi, et
al., 2021).
Pasien yang menjalani pembedahan abdomen merupakan salah satu populasi yang
berisiko besar mengalami hipotermia perioperatif. Pembedahan abdomen merupakan
salah satu dari pembedahan mayor, yang membutuhkan pemberian anastesi umum
maupun kombinasi anastesi umum dan epidural, memerlukan durasi operasi lebih lama
dibandingkan dengan operasi minor, dan juga adanya paparan yang besar dari rongga
tubuh yang terbuka selama operasi. Pada kasus, dijelaskan bahwa suhu tubuh Tn. Hadi
yaitu pasca operasi laparatomi yaitu 35,6°C, sehingga dapat diartikan bahwa Tn. Hadi
mengalami hipotermia.

23. Analisa Gas Darah


a. pH 7,32
Derajat keasaman (pH) darah manusia normalnya berkisar antara 7.35
hingga 7.45. Derajat keasaman (pH) darah ini harus dijaga agar proses
metabolisme dan fungsi organ dapat berjalan dengan baik. pH darah di bawah
7.35 disebut dengan asidosis, sedangkan pH darah di atas 7,45 disebut alkalosis.
Ketidakseimbangan pH dapat membuat fungsi kerja organ dalam tubuh
terganggu. Dalam tingkat yang fatal, dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus,

17
didapatkan bahwa nilai pH darah Tn. Hadi yaitu 7,32 yang artinya Tn. Hadi
mengalami kondisi asidosis.
b. PCO2 28 mmHg
Tekanan parsial karbondioksida PCO2 adalah adalah ukuran tekanan
karbon dioksida terlarut dalam darah. Hal ini menentukan seberapa baik karbon
dioksida dapat mengalir keluar dari tubuhdarah merupakan komponen
respiratorik. Kadar normal pCO2 adalah 35 – 45 mmHg. Asidosis respiratorik
terjadi bila kadar pCO2 > 45 mmHg dan alkalosis respiratorik akan terjadi bila
kadar pCO2 < 35 mmHg. Pada kasus, didapatkan bahwa nilai PCO2 Tn. Hadi
yaitu 28 mmHg yang artinya Tn. Hadi mengalami kondisi alkalosis respiratorik.

c. PO2 85mmHg

PO2 atau tekanan parsial oksigen adalah ukuran tekanan oksigen terlarut
dalam darah. Nilai ini menentukan seberapa baik oksigen bisa mengalir dari paru-
paru ke dalam darah. Kadar yang rendah menggambarkan hipoksemia sehingga
pasien tidak bernafas dengan adekuat. pO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan
perlunya pemberian oksigen tambahan. Kadar normal pO2 adalah 80-100 mmHg.
Pada kasus, PO2 pada Tn. Hadi adalah 85 mmmHg, dimana masih tergolong
dalam rentang normal.

d. HCO3- (Bikarbonat)

Kadar HCO3- merupakan indikator untuk gangguan karena proses


metabolik. HCO3 dapat membantu mencegah pH darah menjadi terlalu asam atau
terlalu basa. Kadar normal HCO3- adalah 22 – 28 mmol/l. Pada asidosis
metabolik akan terjadi penurunan kadar HCO3-. Sedangkan, pada alkalosis
metabolik akan terjadi kenaikan kadar HCO3-. Pada kasus, didapatkan bahwa
nilai HCO3- Tn. Hadi yaitu 33 yang artinya Tn. Hadi mengalami kondisi alkalosis
metabolik. (Castro, dkk., 2022)

Berdasarkan kasus di atas, analisis darah arteri pada Tn. Hadi


menunjukkan pH 7,32, PCO2 28 mmHg dan HCO3 33 mmol/l. Jadi, dapat

18
dikatakan hasil dari interpretasi hasil gas darah arteri Tn. P yakni Asidosis
Metabolik.

24. Laktat 3,0 mmol/l

Asam laktat adalah biomolekul tiga karbon dengan gugus karboksil dan gugus
hidroksil. Asam laktat merupakan asam yang cukup kuat. Asam laktat adalah produk
akhir dari proses glikolisis anaerob yang dihasilkan oleh sel darah merah dan sel otot
yang aktif. Dalam keadaan istirahat, asam laktat dihasilkan oleh sel darah merah, sel
darah putih, otak, sel otot, sel hepar, mukosa usus, dan kulit. Asam laktat yang terbentuk
dari glikolisis anaerobik akan menurunkan pH sehingga suasana otot berubah menjadi
asam. Keadaan ini dapat meningkatkan keasaman darah apabila berlangsung lama.
Perubahan pH dalam otot yang menjadi asam ini akan menghambat kerja enzim- enzim
glikolisis sehingga akan mengganggu reaksi kimia yang berlangsung di dalam sel. Hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya energi yang dihasilkan sehingga kontraksi otot
semakin lemah dan pada akhirnya otot akan mengalami kelelahan. Kelelahan timbul
karena penumpukan asam laktat dalam jaringan. Hal ini disebabkan oleh kemampuan
tubuh menetralisir tumpukan asam laktat tersebut tidak sebanding dengan kecepatan asam
laktat yang terbentuk akibat beratnya aktivitas yang dilakukan.

Kadar normal asam laktat dalam darah manusia berkisar antara 0,5 hingga
1mmol/l, peningkatan kadar di atas kisaran fisiologis normal disebut hiperlaktatemia, dan
dapat dipicu oleh beberapa proses patologis. Rendahnya kadar asam laktat disebut
sebagai hipolaktatemia. Namun, hipolaktatemia merupakan fenomena yang cukup langka
dibandingkan dengan indikasi keadaan patologis melalui hiperlaktatemia yang
merupakan temuan relevan dalam bidang klinis. Asidosis laktat terjadi ketika konsentrasi
asam laktat melebihi 4mmol/l dalam plasma, dan pH darah bisa turun di bawah 7,35
dalam situasi ini. Hiperlaktatemia dalam bentuk ringan atau asidosis laktat dapat muncul
karena beberapa penyebab seperti sepsis, syok hemoragik, serangan jantung, trauma,
keracunan, iskemia, luka bakar, ketoasidosis diabetikum, beberapa jenis kanker, dan
aktivitas otot yang intens. Dalam kasus yang terjadi pada pasien Tn.Hadi, pasien
kemungkinan terindikasi mengalami hiperlaktatemia karena nilai laktatnya yaitu 3

19
mmol/L. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya hiperlaktatemia antara
lain syok sepsis (Pohanka, 2020).

2.3 Data Pengkajian


A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tuan Hadi
Usia : 77 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Perlu dikaji lebih lanjut
Suku : Perlu dikaji lebih lanjut
Alamat : Perlu dikaji lebih lanjut
Pekerjaan : Perlu dikaji lebih lanjut

B. PENGKAJIAN PRIMER
1. Airway
Perlu dikaji lebih kanjut
2. Breathing
Perlu dikaji lebih lanjut
3. Circulation
Tekanan darah pasien pada saat di UGD 75/50 mm Hg, frekuensi nadi
125x/menit, dengan akral teraba dingin dan sianosis.
4. Disability
Pasien setibanya di UGD terlihat mengantuk dan bingung ketika dibangunkan.
5. Exposure
Perlu dikaji lebih lanjut.

C. PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Keluhan Utama
Pasien merasakan sakit perut.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang

20
Pasien dirawat di ICU pasca menjalani operasi laparatomi pasien masih tersedasi,
ter intubasi, dan terpasang ventilator dengan fraksi oksigen inspirasi 40% dan
mendapatkan terapi norepinefrin melalui syringe pump.
3. Riwayat Kesehatan Lalu
Pasien memiliki riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, pecandu alkohol, dan
gangguan kognitif ringan.
4. Riwayat Keluarga
Berdasarkan kasus riwayat keluarga tidak terdata, sehingga perlu dikaji lebih
lanjut lagi mengenai penyakit keluarga.
5. Pengkajian SAMPLE
a. Sign and Symptom
Pasien datang ke unit gawat darurat dengan keluhan sakit perut, pasien
terlihat mengantuk dan bingung ketika dibangunkan, akral teraba dingin
dan sianosis, TD 75/50 mm Hg, frekuensi nadi 125x/mnt, abdomen terasa
tegang dan buncit.
b. Allergies
Perlu dikaji lebih lanjut.
c. Medication
Perlu dikaji lebih lanjut.
d. Past Illness
Riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, pecandu alkohol, dan gangguan
kognitif ringan.
e. Event Leading
Hasil CT Scan abdomen menunjukkan adanya gas ekstraluminal dan
dugaan feses ekstraluminal yang konsisten dengan perforasi kolon
sigmoid.

D. PENGKAJIAN FISIK
a. Kesadaran
- Kesadaran klien Apatis (E4M5V4)
a. Antropometri

21
- Perlu dikaji
b. TTV
Tekanan darah : TD 75/50 mm Hg
Frekuensi Nadi : 125x/mnt
Frekuensi Nafas :-
Suhu :-
c. Keluhan Fisik :
Klien mengatakan mengalami keluhan sakit perut.
d. Riwayat makan/minum :
Klien mengatakan sebagai pecandu alkohol.
e. Riwayat penyakit fisik :
Klien mengatakan mempunyai riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, dan
gangguan kognitif ringan.
(HEAD TO TOE)
a. Kepala
- Kulit kepala : Data tidak terkaji
- Mata : Normal
- Telinga : Normal
- Hidung : Data tidak terkaji
- Mulut dan gigi : Data tidak terkaji
- Wajah : Data tidak terkaji
- Leher : Data tidak terkaji
b. Dada/ thoraks
- Paru-paru : Data tidak terkaji
- Inspeksi : Data tidak terkaji
- Palpasi : Data tidak terkaji
- Perkusi : Data tidak terkaji
- Auskultasi : Data tidak terkaji

c. Abdomen

22
- Inspeksi : Abdomen terasa tegang dan buncit. Hasil CT Scan abdomen
menunjukkan adanya gas ekstraluminal dan dugaan feses ekstraluminal yang konsisten
dengan perforasi kolon sigmoid.
- Palpasi : Data tidak terkaji
- Perkusi : Data tidak terkaji
- Auskultasi : Data tidak terkaji

d. Pelvis
- Inspeksi : Data tidak terkaji
- Palpasi : Data tidak terkaji
- Perineum dan rektum : Adanya gas ekstraluminal dan dugaan feses ekstraluminal yang
konsisten dengan perforasi kolon sigmoid.
- Genitalia : Data tidak terkaji
- Ekstremitas : Data tidak terkaji
- Status sirkulasi : pH 7,32, PCO2 28 mm Hg, PO2 85 mm Hg, HCO3 33 dan laktat
3,0 mmol/l.
- Fungsi sensorik : Data tidak terkaji
- Fungsi motorik : Data tidak terkaji

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Analisis Gas Arteri

Pemeriksaan Hasil Satuan

pH 7,32

pCO2 28 mmHg

pO2 85 mmHg

HCO3 33 mmHg

Laktat 3,0 mmol/L

23
2.4 Kemungkinan Kasus yang Terjadi pada Pasien
1. Syok Sepsis
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi
respons tubuh terhadap infeksi. Syok sepsis adalah bagian dari sepsis dimana
terjadi abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler yang dapat meningkatkan
mortalitas. Syok sepsis dapat diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis dengan
hipotensi menetap yang membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan. Mean
Atrerial Pressure <65 mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL).
Hipotensi berkepanjangan dapat menyebabkan syok ireversibel dan meningkatkan
mortalitas. Oleh karena itu, upaya resusitasi awal, termasuk pemberian cairan yang
adekuat serta penggunaan vasopressor lebih dini pada kasus hipotensi yang
mengancam jiwa diharapkan dapat meningkatkan angka keberhasilan. Kondisi
syok sepsis yang dialami pasien kemungkinan dapat disebabkan oleh kondisi
FN (Fasiitis nekrotikans) atau efek samping pembedahan (Hartanto, 2020).

2. ARDS (Sindrom Gangguan Pernapasan Akut), dikarenakan terdapat indikasi dari


penggunaan ventilator ( terapi oksigen ), AGD
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan edema pulmoner non
kardiogenik yang disebabkan beberapa faktor risiko dan merupakan suatu kasus
kegawatdaruratan (Masikome, et al, 2021). ARDS ditandai dengan edema paru non
kardiogenik, inflamasi pada paru, hipoksemia, dan penurunan komplians paru.1-3 ARDS
adalah kelainan yang progresif secara cepat dan awalnya bermanifestasi klinis sebagai
sesak napas (dyspnea dan tachypneu) yang kemudian dengan cepat berubah menjadi
gagal napas ((Bakhtiar et al, 2021). Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah
suatu komplikasi yang berat pada sepsis. Sepsis dan ARDS memiliki mekanisme dasar
yang serupa, ditandai oleh inflamasi dan disfungsi endotel. Selain itu, sepsis merupakan
penyebab terbanyak terjadinya ARDS, dan pasien dengan ARDS yang disebabkan oleh
sepsis memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan ARDS
yang disebabkan oleh faktor risiko lain.

24
Derajat hipoksemia untuk membuat diagnosis ARDS ditentukan dengan rasio tekanan
parsial oksigen pada darah arteri (PaO2) dengan fraksi oksigen pada udara inspirasi
(FiO2). Nilai PaO2 didapat dari hasil pemeriksaan analisis gas darah dengan
memperhatikan berapa liter oksigen yang diberikan saat pengambilan spesimen darah.
Fraksi oksigen didapat dengan memperhatikan jumlah oksigen yang diberikan.

3. Risiko Infeksi
Tempat perforasi kolon yang paling sering terjadi adalah kolon sigmoid. Etiologi
yang dapat menyebabkan terjadinya perforasi yaitu adanya peradangan lokal dan
penetrasi yang akhirnya masuk ke dalam kolon dan akibat trauma mekanis dari prosedur
tindakan pembedahan (Lu et al., 2022 dalam Suryatini et al., 2023). Diagnosis dan
etiologi perforasi ditegakkan dengan CT abdomen (Hafner et al., 2022). Tindakan operasi
laparatomi atau eksplorasi laparoskopi merupakan salah satu tatalaksana dari perforasi
kolon jika terjadi peritonitis atau sepsis (Suryatini, et al., 2023). Pada kasus, dijelaskan
bahwa Tn. Hadi menjalani operasi laparatomi karena adanya perforasi kolon sigmoid
yang ditunjukkan dari hasil CT Scan. Selama proses pembedahan baik sebelum maupun
sesudah tindakan, mikroba dalam bentuk bakteri, jamur maupun virus dapat masuk
kedalam tubuh. Mikroba yang masuk kedalam tubuh dapat menyebabkan infeksi.
Menurut, 70% pasien yang menjalanin pembedahan akan mengalami infeksi.

25
2.5 Pathway

Pecandu Alkohol

Terganggunya Gangguan pada Luka pada


beberapa bagian
organ hati mukosa usus
otak

Menurunnya Trigliserida Operasi Perforasi


fungsi otak Laparotomi kolon signoid

Kadar
Anestesi Luka insisi
Dx: Nyeri
Gangguan kolesterol jahat umum Lubang
Akut
fungsi kognitif meningkat Efek sedasi Gangguan kolon
(LDL) Integritas Kulit Feses dan gas
Mengantuk dan Lemak masuk ekstraluminal di
Distress
bingung ke peredaran rongga perut
pernapasan Dx: Risiko
darah
Infeksi
HIPERKOLESTEROLEMIA Infeksi bakteri
Jalan napas tidak
gram positif dan
paten gram negatif
Plak pada
dinding arteri
Pasien
Antibiotik mengalami Disfungsi organ
Aterosklerosis infeksi
Intravena
Sepsis
pembuluh darah Dx: Risiko Syok
tersumbat MAP>64mmHg, laktat>2mmol
MAP pasien pre operasi 58,3 mmHg,
Post operasi 64 mmHg, laktat 3mmol
Oksigen ke Dinding
perifer tidak pembuluh
normal darah
Menginfeksi Hipoperfusi
menyempit
jaringan Syok Sepsis
jaringan
Akral teraba HIPERTENSI pernapasan
dingin dan Aliran kapiler
sianosis Peningkatan system buruk, obstruksi Hipoksia jaringan
Dampak: kapiler
komplemen
1. Detak jantung tidak teratur
2. Serangan jantung
Dx: Gangguan
Sel kekurangan
3. Nyeri dada
PMNs makrofag, Perfusi Perifer O2
platelet meningkat Tidak Efektif

Metabolisme
Pengiriman O2 anaerob
ARDS dan pembuangan
CO2 terganggu

Aktivitas suflaktan
Produksi asam
menurun laktat meningkat
Peningkatan kadar
karbonat (HCO3)
dalam darah Serum laktat
pasien 3 mmol/L

25
Permeabilitas Stabilitas alveolar pH= 7,32
kapiler menurn menurun PCO2 = 28 mmHg
PaO2 = 85 mmHg
HCO3 = 33 mmHg
Laktat = 3,0 mmol/L
Arelektasis
Cairan bocor FiO2 = 40%
ke paru-paru
Ketidakseimbangan
perfusi-ventilasi
Pasien Asidosis
terintubasi dan Metabolik
terpasang Hipoksemia
ventilator
Dx: Gangguan Pertukaran
Gas

26
2.6 Analisa Data

NO Analisa Data Etiologi/Faktor Masalah Keperawatan


Risiko
1 DS: Infeksi gastrointestinal Risiko Disfungsi Motilitas
Pasien mengatakan Gastrointestinal (D.0033)
mengeluh sakit perut.

DO:

Hasil CT Scan abdomen


menunjukkan :

Adanya gas ekstraluminal


dan dugaan feses
ekstraluminal yang
konsisten dengan perforasi
kolon sigmoid.

2 DS: Penurunan aliran arteri Perfusi Perifer Tidak Efektif


dan / atau vena (D.0015)
DO:

- Pasien mengalami
hipotensi dengan
TD 75/50
- Memiliki riwayat
hipertensi,
hiperkolesterolemi,
pecandu alkohol

27
- Hasil analisis darah
arteri: Asidosis
Metabolik

3. DS : Kekurangan volume Risiko Syok


DO : cairan (D.0039)
- Pasien mengalami
hipotensi dengan
TD 75/50.
- Pasien
mendapatkan
antibiotik intravena
- Pasien
mendapatkan 4 liter
kristaloid
4. DS : - Tindakan invasif Risiko Infeksi (D.0142)
DO :
Pasien dibawa ke ruang
operasi untuk menjalani
laparotomi

5. DS:- Agenpencedera Nyeri Akut (D.0077)


DO: Fisiologis
- Keluhan sakit perut
- Abdomen terasa
tegang dan buncit

28
6. DS: Ketidakseimbangan Gangguan Pertukaran Gas
ventilasi-perfusi (D.0003)
-

DO:
- PCO2 menurun
(pada pasien
28mmHg)
- pH arteri menurun
(pada pasien 7,32)
- Takikardia
- Kesadaran menurun
(pasien tersedasi)
- Pasien terpasang
ventilator FiO2 40%

Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Risiko Disfungsi Motilitas Gastrointestinal b.d Infeksi gastrointestinal
2. Risiko Perfusi Perifer Tidak Efektif b.d Penurunan Aliran Arteri dan /atau Vena
3. Risiko Syok b.d Kekurangan Volume Cairan
4. Risiko Infeksi b.d Tindakan invasif
5. Nyeri akut b.d Agen pencedera Fisiologis
6. Gangguan Pertukaran Gas b.d Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

29
2.7 Rencana intervensi keperawatan dan rasionalisasi

No Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi

1. Risiko Disfungsi Motilitas Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi (i.14539) Pencegahan Infeksi
Gastrointestinal (D.0033) keperawatan selama 2x24 jam, Observasi Observasi
diharapkan Motilitas - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal - Mencegah terjadinya infeksi
Gastrointestinal membaik (L03023) dan sistemik Terapeutik
dengan kriteria hasil: Terapeutik - Mengurangi risiko kontaminasi
- Keluhan nyeri menurun - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak mikroorganisme
- Flatus menurun dengan pasien dan lingkungan pasien - Menghindari transmisi patogen berbahaya
- Pertahankan teknik aseptik pada pada Edukasi
pasien yang berisiko tinggi - Pasien dan keluarga mampu mengenal dan
Edukasi memahami tanda dan gejala infeksi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi sehingga dapat melakukan deteksi dini
adanya infeksi

2. Perfusi Perifer Tidak Setelah dilakukan tindakan Perawatan Sirkulasi (I.02079) Perawatan Sirkulasi
Efektif (D.0015) keperawatan selama 2x24 jam, Observasi Observasi
diharapkan Perfusi Perifer - Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadi - Mengetahui kemungkinan adanya
meningkat (L.02011) dengan kriteria perifer, suhu) gangguan pada perfusi perfier
hasil: - 2 - Beberapa penyakit seperti hipertensi dan
- Tekanan darah sistolik Terapeutik hiperkolesterol dapat menyebabkan
membaik - Lakukan hidrasi gangguan sirkulasi perifer
- Tekanan darah diastolik Terapeutik
membaik Manajemen Asam-Basa: Asidosis Metabolik Memastikan pasien mendapat cukup cairan
(I.03096)
Observasi Manajemen Asam-Basa: Asidosis Metabolik
- Identifikasi penyebab terjadinya asidosis Observasi
metabolik - Mengetahui penyebab terjadinya asidosis
- Monitor dampak sirkulasi pernapasan metabolik
(mis. hipotensi) - Mencegah terjadinya dampak buruk dari
- Monitor hasil analisia gas darah sirkulasi pernapasan
Terapeutik Terapeutik
- Pertahankan hidrasi sesuai dengan Memastikan pasien mendapat cukup cairan
kebutuhan Edukasi
Edukasi Pasien dan keluarga dapat menhgetahui mekanisme
- Jelaskan penyebab dan mekanisme terjadinya sidosis metabolik
terjadinya asidosis metabolik

3. Risiko Syok Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Syok (I.02068) Pencegahan Syok
keperawatan selama 2x24 jam, Observasi Observasi
diharapkan Tingkat Syok menurun - Monitor status kardiopulmonal - Mengetahui frekuensi nadi dan nilai
(03032) dengan kriteria hasil: (frekuensi nadi, TD) tekanan darah yang tidak normal
- Tingkat kesadaran meningkat - Monitor status cairan (turgor kulit, CRT) - Mengetahui gangguan kelebihan atau
- Akral dingin menurun - Monitor tingkat kesadaran dan respon kekurangan cairan pada pasien
- Tekanan darah sistolik pupil - Mengetahui respon pasien terhadap
membaik Terapeutik lingkungan di sekitarnya
- Tekanan darah diastolik Pasang jalur IV, jika perlu
membaik Edukasi Terapeutik
- Frekuensi nadi membaik - Jelaskan penyebab/faktor risiko syok Meningkatkan volume cairan pada pasien yang
- Jelaskan tanda dan gejala awal syok tidak memungkinkan untuk dilakukan pemberian
- Anjurkan memperbanyak asupan cairan obat melalui oral

30
oral
Kolaborasi Edukasi
Kolaborasi pemberian IV, jika perlu - Pasien dan keluarga memahami
penyebab/faktor risiko syok
Pemantauan Cairan (I.03121) - Mendapatkan pertolongan segera
Observasi - Mencegah kekurangan volume cairan
- Monitor intake dan output cairan
- Identifikasi tanda-tanda hipovolemia Kolaborasi
(mis. Frekuensi nadi meningkat, tekanan Meningkatkan volume cairan pada pasien
darah menurun)
- Identifikasi faktor risiko Pemantauan Cairan
ketidakseimbangan cairan (mis. prosedur Observasi
pembedahan mayor) - Mengetahui keseimbangan cairan pada
pasien
- Mengatahui tanda-tanda hipovolemia
- Mengatahui faktor risiko
ketidakseimbangan cairan pada pasien

4. Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi (I.14539) Pencegahan Infeksi
keperawatan selama 2x24 jam, Observasi Observasi
diharapkan Tingkat Infeksi menurun - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal Memantau gejala infeksi yang terjadi akibat gas
(L.14137), dengan kriteria hasil : dan sistematik ekstraluminal pasien
1. Kultur area luka menurun Terapeutik Terapeutik
- Pertahankan teknik aseptik pada pasien - Mempertahankan kebersihan serta
beresiko tinggi perawataan pada pasien risiko infeksi untuk
Edukasi mencegah peningkatan tingkatan infeksi
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka Edukasi
dan luka operasi - Mengajarkan pasien untuk memeriksa
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi kondisi luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan - Meningkatkan asupan nutrisi
- Meningkatkan asupan cairan

5. Nyeri Akut (D.0077) Setelah dilakukan tindakan selama Manajemen nyeri (1.08238) Observasi
3x24 jam diharapkan tingkat nyeri Observasi a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
menurun dengan kriteria hasil - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri Rasional :
sebagai berikut : frekuensi, kualitas, intensitas nyeri mengetahui lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
- Keluhan nyeri menurun - Identifikasi skala nyeri kualitas dan intensitas nyeri dari pasien
- Meringis menurun - Identifikasi respon nyeri non verbal b) Identifikasi skala nyeri Rasional : mengetahui
- Sikap protektif menurun - Identifikasi faktor yang memperberat dan tingkat nyeri yang dirasakan pasien
- Gelisah menurun memperingan nyeri Terapeutik c) Identifikasi factor yang memperberat dan
- Frekuensi nadi normal - Berikan teknik non farmakologis untuk memperingan nyeri Rasional : mengetahaui hal-hal
mengurangi nyeri (mis. TENS, hypnosis, yang dapat memperberat ataupun memperingan
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi nyeri yang dirasakan pasien
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, d) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
kompres hangat/dingin, terapi bermain Rasional : mengetahui seberapa besar rasa nyeri
mempengarui kualitas hidup pasien
Edukasi Terapeutik
-Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk
-Jelaskan strategi meredakan nyeri mengurangi rasa nyeri (mis. Terapi pijat, kompres
- Ajarkan teknik non farmakologis untuk hangat/dingin, hypnosis, relaksasi napas dalam)
mengurangi nyeri Rasional : mengurangi tingkat nyeri pasien/

31
mengalihkan pasien dari rasa nyerinya
Kolaborasi b) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
- Kolaborasi dalam pemberian analgetik jika nyeri
perlu Rasional : mengurangi resiko factor yang dapat
memperberat nyeri/menimbulkan nyeri

c) Fasilitasi isterahat dan tidur Rasional :


mengalihkan dan memenuhi kebutuhan istrahat
pasien
Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
Rasional : memberikan informasi terkait nyeri
yang dirasakan pasien
b) Jelaskan strategi mengatasi nyeri Rasional :
membantu pasien mengatasi saat rasa nyeri muncul
c) Anjurkan untuk memonitor nyeri secara mandiri
Rasional : pasien dapat mengetahui sendiri
karakteristik, penyebab, lokasi saat nyeri muncul
d) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Rasional : memudahkan pasien untuk mengotrol
nyeri dengan cara sederhana

Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Rasional : mengurangi/ menghilangkan rasa nyeri
yang dirasakan pasien

6. Gangguan Pertukaran Gas Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi (I.01014) Pemantauan Respirasi
(D.0003) keperawatan selama 2x24 jam, Observasi Observasi
diharapkan Pertukaran Gas - Monitor pola napas - Mengetahui frekuensi, kedalaman, irama
meningkat (L.01003) dengan kriteria - Monitor nilai AGD pernafasan
hasil: Terapeutik - Mengetahui adanya perubahan nilai AGD
- Tingkat kesadaran meningkat - Atur interval pemantauan respirasi pada pasien
- PCO2 membaik sesuai kondisi pasien
- Takikardia membaik - Dokumentasikan hasil pemeriksaan Terapeutik
- pH arteri membaik Edukasi Memantau respirasi pasien secara berkala sesuai
- Sianosis membaik Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan kondisi pasien
- Pola napas membaik Mengetahui riwayat pemeriksaan repirasi pada
pasien

Edukasi
Pasien dan keluarga memahami tujuan dan
prosedur pemantauan yang akan dilakukan oleh
perawat

32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan’
Berdasarkan kasus dari pasien diatas yang memiliki keluhan utama sakit perut,
serta memiliki riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, pecandu alkohol, dan juga
gangguan kognitif ringan, dari beberapa riwayat tersebut dapat menyebabkan komplikasi
gejala seperti keluhan sakit perut pada pasien, sehingga memerlukan pemeriksaan CT
Scan dan hasil CT Scan abdomen menunjukkan adanya gas ekstraluminal dan dugaan
feses ekstraluminal yang terjadi akibat adanya perforasi di area kolon dan menyebabkan
adanya robekan atau luka di kolon, dan gas tersebut keluar dari saluran cerna, diakibatkan
dari situasi yang dialami pasien, pasien harus dijalankan operasi laparatomi untuk
memulihkan keadaannya.
Pasien setelah menjalankan operasi dilakukan perawatan di ruang ICU, hal ini
bertujuan untuk dilakukan pemantauan ketat terhadap cairan, serta pasokan oksigen yang
diterima oleh pasien. Perawatan yang diberikan pada pasien ketika di ICU meliputi
pemasangan ventilator dengan fraksi oksigen inspirasi 40%, terapi norepinefrin melalui
syringe pump, serta dilakukan analisis darah arteri. Secara keseluruhan tindakan yang
diberikan kepada pasien adalah untuk mencegah pasien mengalami kondisi yang lebih
serius dan lebih memperparah kondisi pasien, selain itu beberapa tindakan diberikan
untuk mengatasi risiko yang dapat terjadi pada pasien.

3.2 Saran
Perawatan pada seseorang yang memiliki riwayat penyakit yang kompleks, dapat memicu
terjadinya penurunan fungsi dalam tubuh, sehingga diperlukan perawatan pada kondisi
pasien, menjelang usia lanjut. Pemberian tindakan oleh keperawatan juga diperlukan
untuk menilai ketepatan dalam pemulihan pasien.

33
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, B., Camelia, R., & Astriana, W. (2023). Analisis Kejadian Hipertensi pada Lansia.
Jurnal Gawat Darurat, 5(1), 1-8.

Agustiawan. (2019). Peran Perawat terhadap Kualitas Perawatan Central Venus Chateter (CVC)
di Ruangan Intensive Care Unit. Jurnal Peningkatan Kesehatan, 8(1), 1–9.

Akbar, R. R., Dian Ayu Hamama Pitra, Mutiara Anissa, Yuri Haiga, & Rahma Triyana. (2020).
Deteksi Dini Gangguan Kognitif Dan Depresi Pada Lansia. Dinamisia : Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(4), 673-678. doi:10.31849/dinamisia.v4i4.4051

Anderson, E., & Hender, E. P. (2023). Penerapan Terapi Oksigen pada Tingkat Kesadaran
Pasien di Ruang Gawat Darurat. Klabat Journal of Nursing, 5(2), 72-77.

Ayu, D., Triana, A., & Widodo, A. (2020). Management Penanganan Kasus Sepsis : a Literature
Review. Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
(SEMNASKEP), 2020.

Castro D, Patil SM, Keenaghan M. Gas Darah Arteri. [Diperbarui 2022 12 September]. National
Library of Medicine. Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536919/

Dayoko, A. M., Sriyono, & Wahyuni, E. D. (2023). Meningkatkan Suhu Ekstremitas Untuk
Menjaga Kontunuitas Pemantauan SpO2. Jurnal
Keperawatan,15(4).https://journal2.stikeskendal.ac.id/index.php/keperawatan/article/vie
w/1354/890

Dayoko, A. M., Sriyono, & Wahyuni, E. D. (2023). Meningkatkan Suhu Ekstremitas Untuk
menjaga Kontinuitas Pemantauan SpO2. Jurnal Keperawatan, 15(4). Retrieved from
https://doi.org/10.32583/keperawatan.v15i4.1354

Fathoni, A. ., Cembun, Dramawan, A. ., Rusmini, & Emilyani, D. (2022). Penghisapan Sekresi


Endotrakheal Pada Pasien Dengan Ventilator Mekanik (VM) . Indonesian Health Issue,
2(2), 63–72. https://doi.org/10.47134/inhis.v2i2.40

34
Hafner, J., Tuma, F., Hoilat, G. J., & Marar, O. (2022). Intestinal Perforation. StatPearls
Publishing. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30855779/

Hagedoorn, N. N., Zachariasse, J. M., & A Moll, H. (2020). Association between hypotension
and serious illness in the emergency department: An observational study.BMJ, 105, 545–
551. doi:10.1136/archdischild-2018-316231

Hartanto, B. & Zulfariansyah, A. (2020).Tata laksana Sepsis Bundle pada Pasien Syok Sepsis
dengan Perforasi Gaster. Anesthesia & Critical Care, 38(1), 78-85.

Junaidi, A. H., Astuti L , E. D. ., Ekowatiningsih , D. ., K, B. ., & Mustafa, M. . (2023). Studi


Literatur Tindakan Resusitasi Cairan Pada Pasien Perdarahan Dengan Syok Hipovolemik.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 17(4), 136-145.
https://doi.org/10.35892/jikd.v17i4.1206

Khanna, A. K., Kinoshita, T., Natarajan, A., Schwager, E., Linn, D. D., Dong, J., Ghosh, E.,
Vicario, F., & Maheshwari, K. (2023). Association of systolic, diastolic, mean, and pulse
pressure with morbidity and mortality in septic ICU patients: a nationwide observational
study. Annals of Intensive Care, 13(1). https://doi.org/10.1186/s13613-023-01101-4

Lainsamputty, F., & Gerungan, N. (2022). Korelasi Gaya Hidup Dan Stres Pada Penderita
Hiperkolesterolemia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 138-146.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.719

Levy, M. (2021). Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of


Sepsis and Septic Shock 2021. Critical Care Medicine Journal, 49(11), 1063–1143.
https://doi.org/10.3760/cma.j.cn121430-20211009-01442

Lu, S., Yao, X., Shi, J., Huang, J., Zhuang, S., Ma, J., Liu, Y., Zhang, W., Yu, L., Zhu, P., Zhu,
Q., Shi, R., Zheng, H., Shao, D., Pan, Y., Bao, S., Qin, L., Huang, L., Liu, W., & Huang,
J. (2022). Is It a “Colon Perforation”? A Case Report and Review of the Literature.
Frontiers in Medicine, 9, 1–5. https://doi.org/10.3389/fmed.2022.817029

35
Masikome, J. N., Laihad, M. L., & Lalenoh, D. C. (2021). Tatalaksana Acute Respiratory
Distress Syndrome Pada Pasien Dewasa Dengan Steroid. Jurnal Biomedik: JBM, 13(1),
118-124.

Messina, A., Milani, A., Morenghi, E., Costantini, E., Brusa, S., Negri, K., Alberio, D., Leoncini,
O., Paiardi, S., Voza, A., & Cecconi, M. (2021). Norepinephrine infusion in the
emergency department in septic shock patients: A retrospective 2-years safety report and
outcome analysis. International Journal of Environmental Research and Public Health,
18(2), 1–9. https://doi.org/10.3390/ijerph18020824

Norlailiyah, Wahyunadi, N. M. D., & Sagitarini, P. N. (2023). Hubungan Egri Score dengan
Keberhasilan Intubasi pada Pasien General Anesthesia di RSUD Kabupaten Klungkung.
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada, 14(1), 43-50.

Nugraha, D. A. (2023). orgEfek Hypno-Pressure Terhadap Penurunan Frekuensi Denyut Nadi


pada Pasien dengan Gangguan Kardiovaskular. Healthy Indonesian Journal, 2(1), 36-43.
Retrieved from https://jurnal.samodrailmu.org/index.php/jurinse/article/view/123/76

Panggabean, M. S. (2019). Tinjauan atas Norepinephrine – First Line Vasopressor for Septic
Shock. CDK-280, 46(11), 708–711.

Patel, A. R., Patel, A. R., Singh, S., Singh, S., & Khawaja, I. (2019). Central Line Catheters and
Associated Complications: A Review. Cureus, 11(5). https://doi.org/10.7759/cureus.4717

Pohanka, M. (2020). D-lactic acid as a metabolite: toxicology, diagnosis, and detection. BioMed
Research International, 2020.

Prabowo, A., Yudono, D. T., & Maryoto, M. (2022). Gambaran Pemberian Terapi Propofol pada
Pasien General Anestesi di RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara. Seminar Nasional
Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1), 235-240.
https://doi.org/https://doi.org/10.35960/snppkm.v2i1.1065

Pranata Wiguna, I. D. G. (2021). Hubungan Pengukuran Richmond Agitation Sedation Scale


(RASS) dengan Keberhasilan Weaning Ventilator di Ruang Intensif UPTD. RSUD Bali

36
Mandara Provinsi Bali. Journal Center of Research Publication in Midwifery and
Nursing, 5(1), 36-45. https://doi.org/10.36474/caring.v5i1.181

Pratiwi, N. K. D. T., Raya, N. A. J., & Puspita, L. M. (2021). Manajemen Hipotermia Dalam
Keperawatan Perioperatif Pada Pasien Yang Menjalani Pembedahan Abdomen: a
Literature Review. Coping: Community of Publishing in Nursing, 9(5), 497.
https://doi.org/10.24843/coping.2021.v09.i05.p02

Purnawan, I., Sutrisna, E., & Hidayat, A. I. (2020). Gambaran Respon Pasien ICU Terhadap
Pemasangan Ventilator Mekanik di ICU RSUD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Journal of Bionursing, 2(2), 120-125. https://doi.org/10.20884/1.bion.2020.2.2.42

Rachmawati, S., Fazeri, R. L., & Norcahyanti, I. (2020). Journal of Pharmaceutical Science and
Clinical Research, 01, 12-21

Sihotang, M., & Elon, Y. (2020). Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Tekanan Darah Pada Orang
Dewasa. Chmk Nursing Scientific Journal, 4(April), 199–204.

Suryantini, N. K. M., Putri, L. L., Lestary, A. R., Rahma, E. N., Syahla, T., & Zuhan, A. (2023).
Perforasi Kolon pada Kanker Kolon. Lombok Medical Journal, 2(1), 14–19.
https://doi.org/10.29303/lmj.v2i1.1577

Wicaksono, A., Adisasmita, A., & Harijanto, E. (2022). Frekuensi dan Mortalitas Pasien Sepsis
dan Syok Septik di ICU Rumah Sakit Swasta Tipe B, di Tangerang Selatan Frequency of
Shock Septic and Mortality Rates among Sepsis Patients in ICU of a Type B Private
Hospital in South Tangerang District. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 6(1),
27–36.

Widayana, K. A. (2022). Pemeriksaan Radiologi dan Imaging untuk Perforasi Hollow Organ
Abdomen. Cermin Dunia Kedokteran, 49(1), 50–56.

Widiyono, W., Aryani, A., & Herawati, V. D. (2021). Kondisi Lanjut Usia yang Mengalami
Hiperkolesterolemia di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Lanjut Usia Desa Betengsari,
Kartasura: Pilot Study. Jurnal Perawat Indonesia,, 5(1), 527-536.

37
Yosra Sigit, P., & Meti, A. (2021). Pengaruh mobilisasi dini terhadap peristaltik usus pada pasien
post op laparatomi. Journal of Nursing Invention, 2(1), 66-71.

Yuliani, W., Jeniyanthi, N. P. R., & Arywidiastuti, C. I. (2023). Perbedaan Informasi Citra
Anatomi pada Kasus Mioma Uteri dengan Variasi Window WIDTH400 HU, 500 HU,
600 HU dan 700 HU di RS. Ibnu Sina “YW-UMI”. Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 1(10),
1104-1112.

Zuhan, A. dkk. (2023). Perforasi Kolon pada Kanker Kolon. Lombok Medical Journal 2(1), 14-
19.

38

Anda mungkin juga menyukai