Anda di halaman 1dari 56

Mata Ajar : Keperawatan Kegawatdaruratan

Pembimbing :

LAPORAN PENDAHULUAN
INITIAL ASSESMENT

Disusun Oleh:
SITTI NUR ANISAH A. LAIDE
14220170003

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
INITIAL ASSESMENT
A. Definisi
Assesment awal sangat penting untuk mengidentifikasi kebutuhan
pasien dan untuk memulai proses pelayanan. Initial assessment adalah
proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan yang tepat
guna untuk menghindari kematian (Mariani P. Moni, 2015).
B. Persiapan
Persiapan dilakukan di dua tempat: di lapangan (pra rumah sakit atau
pre hospital) dan di rumah sakit. Pada fase pra rumah sakit dilakukan
kordinasi dengan klinis yang akan menerima pasien di rumah sakit sehingga
jika pasien tiba di Unit Gawat Darurat (UGD) semua personel dan sumber
daya telah siap. Pada fase ini ditekankan pada agar jalan napas bebas,
kontrol perdarahan eksternal dan syok, imobilisasi pasien dan transportasi
ke fasilitas terdekat (Rehatta, dkk., 2019).
Pada fase rumah sakit, dilakukan persiapan untuk memfasilitasi
resusitasi cepat pasien trauma.Perencanaan awal saat pasien dating
sangatlah penting.Pada fase ini rposes serah terima harus berjalan lancer dan
semua informasi penting didapatkan. Aspek penting dari fase rumah sakit
meliputi: (1) area resusitasi; (2) peralatan jalan napas yang berfungsi baik
dan mudah diakses; (3) cairan infus kristaloid hangat yang segera tersedia;
(4) alat pemantauan (monitor); (5) protokol utnuk memanggil bantuan medis
tambahan termasuk petugas laboratorium; (6) perjanjian transfer ke pusat
trauma yang terverifikasi(Rehatta, dkk., 2019).
C. Triase
Triase meliputi pemilahan pasien berdasarkan sumber daya yang
dimiliki dan tersedia. Urutan penatalaksanaan didasarkan pada prioritas
ABC (airway atau jalan napasdengan perlindungan tulang servikal,
breathing atau pernapasan, circulation atau sirkulasi dengan kontrol
penrdarahan). Faktor yang menentukan kualitas triase meliputi keparahan
trauma, kemampuan pasien untuk bertahan dan sumber daya yang tersedia.
Situasi triase dikategorikan menjadi multiple casualties (banyak korban) dan
mass casualties (korban massal) (Rehatta, dkk., 2019).
Multiple casualties adalah jika jumlah peserta dan tingkat keparahan
dan cedera tidak melebihi kemampuan untuk memberikan perawatan. Pada
kasus ini pasien dengan masalah yang mengancam jiwa dan mengalami
cedera sistem multiple dirawatterlebih dahulu. Mass casualties adalah jika
melebihi kasus ini, pasien memiliki peluang untuk hidup yang paling besar
dan membutuhkan waktu peralatan, persediaan dan personel paling sedikit
dirawat terlebih dahulu (Rehatta, dkk., 2019).
D. Primary Survey
Primary Survey (Penilaian Awal) merupakan usaha yang dilakukan
untuk mempertahankan kehidupan padasaat pasien atau korban mengalami
keadaan yang mengancam jiwa, Primary Survey (penilaian awal) adalah
mengaturpendekatan ke klien sehingga klien segera dapatdiidentifikasi dan
tertanggulangi dengan efektif.Pemeriksaan primary survey (penilaian awal)
berdasarkanstandar A-B-C dan D-E, dengan airway (A: jalan
napas),breathing (B: pernapasan), circulation (C: sirkulasi),disability (D:
ketidak mampuan), dan exposure (E:penerapan). Keperawatan gawat darurat
merupakanpelayanan keperawatan yang komperhensif diberikan padapasien
dengan injuri akut atau sakit yang mengancamkehidupan.Sebagai seorang
spesialis perawat gawatdarurat harus menghubungkan pengetahuan
danketerampilan untuk menangani respon pasien padaresusitasi, syok,
trauma, dan kegawatan yang mengancamjiwa lainnya, dan salah satu tempat
pasien gawat daruratadalah di Instalasi Gawat Darurat (IGD)(Marlisa,
2018).
1. Airway (jalan napas)
Penilaian cepat tanda-tanda obstruksi jalan napas meliputi
inspeksi benda asing; identifikasi raktur tulang wajah, mandibular
dan/atau trakea dan laring serta cedera lain yang menyebabkan
obstruksi jalan napas; dan suction untuk membersihkan darah atau
secret yang terakumulasi dan menyebabkan obstruksi jalan napas
(Rehatta, dkk., 2019). Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian
airway pada pasien antara lain:
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat
berbicara atau bernafas dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien
antara lain:
1) Adanya snoring atau gurgling
2) Stridor atau suara napas tidak normal
3) Agitasi (hipoksia)
4) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical
chest movements
5) Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas
bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
1) Muntahan
2) Perdarahan
3) Gigi lepas atau hilang
4) Gigi palsu
5) Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan
nafas pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu
pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera
tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan
nafas pasien sesuai indikasi :
1) Chin lift/jaw thrust
2) Lakukan suction (jika tersedia)
3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,
Laryngeal Mask Airway
4) Lakukan intubasi((Mariani P. Moni, 2015).
2. Breathing (pernapasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai
kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien.
Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah
yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury
dan ventilasi buatan .Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian
breathing pada pasien antara lain:
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi
dan oksigenasi pasien.
1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting.
Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut :cyanosis,
penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds,
dan penggunaan otot bantu pernafasan.
2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur
ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna
untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada
pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji
lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan
pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat
dan / atau oksigenasi:
1) Pemberian terapi oksigen
2) Bag-Valve Masker
3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk
advanced airway procedures
g. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa
lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan((Mariani P.
Moni, 2015).
3. Circulation (sirkulasi)
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ
dan oksigenasi jaringan.Hipovolemia adalah penyebab syok paling
umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan
klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat,
ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk
mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian
segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac,
spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang
nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik Langkah-langkah dalam
pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1) Menentukan ada atau tidaknya
2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi
atau hipoksia (capillary refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi(Mariani P. Moni,
2018).
4. Disability (ketidakmampuan)
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan
skala AVPU :
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yangdiberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan
suara yang tidak bisadimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat
tungkai jika ekstremitasawal yang digunakan untuk
mengkaji gagal untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyerimaupun stimulus verbal ((Mariani P. Moni,
2015).
5. Exposure
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada
pasien.Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang
belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan
log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada
pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan
eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan,
tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang. Dalam situasi yang
diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
a. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada
pasien
b. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam
nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada
pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis ((Mariani P.
Moni, 2015).
E. Secondary Survey
Survey sekunder meliputi evaluasi head-to-toe berupa riwayat dan
pemeriksaan fisik menyeluruh, termasuk penilaian kembali TTV. Tujuan
survey sekunder adalah untuk memperoleh semua riwayat penyakit terkai
pasien dan cedera yang dialaminya dan memberikan tatalksanan yang
sesuai (Rehatta, dkk., 2019).
1. Riwayat (AMPLE)
Pada anamnesis mendapatkan riwayat trauma dengan
lengkap dan cepat dapat menggunakan akronim AMPLE
(Allergies, Medicaions, Psst medical history, Last meal,
Environments dan events) (Rehatta, dkk., 2019).
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-
obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum
seperti sedang menjalani pengobatan hipertensi,
kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien
seperti penyakit yang pernah diderita, obatnya apa,
berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja
dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum
kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab
cedera (kejadian yang menyebabkan adanya keluhan
utama)
2. Pemeriksaan Head-to-Toe
Penilaian/pemerik Diagnosis Diagnosisi
Region/Sistem
saan Kritis Emergensi
Umum Kesadaran GCS ≤ 8
Glasglow Coma Deficit motoric
Scale (GCS) fokal

Keluhan spesifik
Kepala Pupil (ukuran, Sindrom Ruptur bola
bentuk, respon, herniasi mata
lapang pandang)
Kontusio
Laserasi Fraktur
Bukti adanya terbuka tulang
fraktur tulang kepala
kepala Kebocoran
(hematotimpani, cairan
battle’s sign, serebrospinal
reccon eyes,
deformitas yang
dapat dipalpasi)
Wajah Kontusio
Laserasi
Instabilitas wajah Obstruksi jalan Fraktur tulang
tengah napas karena wajah
Maloklusi perdarahan Fraktur
mandibula
Leher Cedera tembus,
(pertahankan laserasi Cedera karotis
imbolisasi Deviasi trakea Temponade
servikal Distensi vena perikardium
jungular Fraktur trakea
atau laring
Emfisema subkutan Cedera vaskular
Fraktur atau
Hematom dislokasi
Nyeri tekan servikal
servikal pada garis
tengah
Dada Usaha napas, Ancaman gagal
kelengkungan napas
diagfragma
Kontusio Cedera jantung
paru
Laserasi Cedera
intratrokal
Nyeri tekan, Fraktur iga
krepitasi Flail chest Pneumothorak
Emfisema subkutis Tension s
Bunyi napas pneumothoraks Pneumothorak
(simetris) Tamponade s, hemathoraks
jantung
Bunyi jantung

Abdomen, Kontusio Perdarahan Cedera organ


pinggang Cedera tembur, intraabdomen internal
laserasi Perdarahan Cedera organ
Nyeri tekan intraabdomen internal
Kegawatan Cedera organ
Tanda peritoneum abdomen internal
Pelvis, sistem Kontusio Perdarahan Cedere
berkemih Laserasi pelvis urogenital
Stabilitas, nyeri Fraktur pelvis Cedera uretra
tekan simfisis tidak stabil,
perdarahan
pelvis
Darah (bukan Fraktur pelvis Cedera uretra
uretra, penrdarahan tidak stabil (prostat letak
vagina, hematuria) tinggi)
Pemeriksaan Cedera
rektum kolorektal
(perdarahan)
Neurologis, Nyeri tekan tulang Fraktur tulang
medula belakang pada garis belakang,
spinalis tengah dislokasi,
Status mental Hematom Kontusio
epidural, serebral, shear
subdural injury
Kesemutan Cedera medula
spinalis,
cedera akar
Fungsi sensorik Fraktur tulang saraf
belakang,
dislokasi
Fungsi motorik, Fraktur tulang
termasuk tonus belakang,
sfingter dislokasi
Ekstermitas Kontusio Compartment Rabdomiolisis
syndrome
Laserasi Cedera vaskular Fraktur
Deformitas Cedera Fraktur
neurovaskular
Nyeri tekan fokal
Nadi Cedera arteri,
Capillary refill Syok
hemoragik,
Evaluasi adanya cedera arteri
komparlemen Compartment
syndrome

3. Tambahan Survey Sekunder


a. Pemeriksaan Laboratorium
b. Pemeriksaan radiologi (CT Scan, MRI (Magnetic Resonance Imaging))
c. Endoskopi
d. Bronkoskopi
e. Ultrasonografi (USG)

DAFTAR PUSTAKA

Rehatta, N. Margaritha, Elizeus Hanindito, Aida R. Tantri, Ike S. Redjeki, R. F.


Soenarto. D. Yulianyi Bisr, A. M. Takdir Musda, Mayang I. Lestari. 2019.
Anestesiologi dan Terapi Intensif: Buku teks KATI-PEERDATIN Edisi Pertama.
Jakarta: PT Gramedia Utama.
Moni, Mariani P. 2015. Gambaran Pelaksanaan Pendokumentasian Pengkajian
Keperawatan Pada Instalasi Gawat Darurat Rsud Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang(Studi Dokumentasi). [Karya Tulis Ilmiah]. Kupang (ID): Politeknik
Kesehatan Kupang Jurusan Keperawatan.
Marlisa. 2018. Pengetahuan Perawat Tentang Primary Survey(Penilaian Awal)
Pada Pasien Gawat DaruratDi Instalasi Gawat Darurat (IGD). Jurnal Ilmiah
Pannmed 12(3):238-239. Medan (ID): Politeknik Kesehatan Medan Jurusan
Keperawatan.

Mata Ajar : Keperawatan Kegawatdaruratan


Pembimbing :

LAPORAN PENDAHULUAN
RESUSITASI JANTUNG PARU DAN AED

Disusun Oleh:
SITTI NUR ANISAH A. LAIDE
14220170003

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020

A. Definisi
Resusitasi merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi sistem
pernapasan, peredaran darah dan saraf yang terganggu ke fungsi yang
optimal sehingga muncul istilah resusitasi jantung paru (RJP). Resusitasi
jantung paru dibagi dalam 3 tahap, yaitu (1) bantuan hidup dasar (BHD); (2)
bantuan hidup lanjut; (3) bantuan hidup jangka panjang.3 Bantuan hidup
dasar adalah usaha untuk memperbaiki dan / atau memelihara jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi serta kondisi darurat yang terkait. Bantuan hidup
dasar terdiri dari penilaian awal, penguasaan jalan napas, ventilasi
pernapasan dan kompresi dada (Putri dan Sidemen, 2017).
Automated external defibrillator (AED) aman dan efektif bila
digunakan oleh orang awam dengan pelatihan minimal atau tidak terlatih.
Disarankan bahwa program AED untuk korban dengan OHCA diterapkan di
lokasi umum tempat adanya kemungkinan korban serangan jantung terlihat
relatif tinggi (misalnya, bandara dan fasilitas olahraga) (Putri dan Sidemen,
2017).
B. Tujuan
Tujuan RJP
1. Mengembalikan fungsi jantung
2. Mengembalikan fungsi paru-paru
3. Mempertahankan fungsi sirkulasi
C. Indikasi
1. Henti Jantung
Pengenalan terhadap henti jantung bergantung pada ditemukannya
tanda-tanda tidak adanya sirkulasi seperti henti jantung paru (HJP)
ditandai dengan dispnea, kulit pucat abu-abu, pupil lebar dan tidak
relaktif pulsasi arteri karotis tidak teraba, adalah gejala-gejala utama
kegagalan kardiosirkular akut. Bila henti sirkulasi mendadak terjadi,
gejala-gejala muncul dalam waktu singkat adalah sebagai berikut

a. Tidak terabanya nadi segera


b. Ketidaksadaran 10-20 detik
c. Dispnea, henti napas 15-30 detik
d. Dilatasi pupil dan tidak reaktif 60-90 detik
e. Keadaan penurunan mental dalam
Penanganan yang paling diperlukanadalah kompresi dada (CPR)
yang dikombinasikan dengan AED.
1. Henti Nafas
Evaluasi jalan napas korban. Ingat, jika korban waspada dan berbicara,
berarti jalan napas terbuka. Begitu korban tidak responsif, cari bantuan dan
menilai jalan napas korban. Hal ini memerlukan posisi telentang pada
permukaan datar dan keras dengan lengan di sepanjang sisi tubuh, diikuti
dengan membuka saluran napas korban tersebut. Penyebab umum
penyumbatan jalan nafas pada korban yang tidak sadar adalah oklusi
orofaring oleh lidah dan kelemahan epiglotis. Dengan hilangnya tonus otot,
lidah atau epiglotis dapat dipaksakan kembali ke orofaring pada inspirasi. Hal
ini dapat menciptakan efek katup satu arah di pintu masuk trakea, yang
menyebabkan tersumbatnya obstruksi jalan napas sebagai stridor. Setelah
memposisikan korban, mulut dan orofaring harus diperiksa untuk sekresi atau
benda asing (Putridan Sidemen, 2017).

D. Persiapan
a. Alat
1) Alat pelindung diri (masker, handscoon)
2) Troli emergenci yang berisi:
Paramete Alat dan Obat Jumlah Penempatan
r
Monitor dan defibrillator 1 Paling atas
APD (handscoon) 4 set Paling atas
Gunting 1 Paling atas
Oropharyngeal airway No 0, 1,
@1 Laci pertama
2, 3, 4
Nasopharyngeal airway No 6, 7,
@1 Laci pertama
Airway 8, 9
Lharingeak mask airway No 1-5 @1 Laci pertama
Spuit 20 cc 1 Laci pertama
Selang suction 2 Laci pertama
Instilla Gel 2 Laci pertama
Bag-vabe mask utk dewasa,
@1 Laci kedua
anak, bayi
Face mask ukuran 1, 2, 3, 4, 5 @1 Laci kedua
Non-rebreathing mask utk
@2 Laci kedua
dewasa dan anak
Set intubasi:
Handlelaringoskop yang terisi
baterai
Breathing
2 baterai cadangan
1 blade lengkung
1 Laci kedua
ETT tanpa cuff No. 2-6 @1 buah
2 gel pelumas (instilla gel)
1 stylet
1 spuit 20cc
Plaster untuk fiksasi ETT
Circulation Box obat emergency berisi obat- 1 Laci ketiga
obatn:
15 ampul Adrenalin 1 mg
(1:1000)
2 ampul Amiodarone 300 mg
4 tablet aspirin
4 ampul Atropine Sulphate
2 vial Bicarbonat 25 mEq
4 tablet Cbpidogrel
4 vial Dextrose 40%
4 ampul furosemide
10 tablet ISDN
2 vial KCI 25 mEq
4 ampul midazlam
10 tablet paracetamol 500 mg
5 salbutamol nebule
5 vial WFI
Spuit 1 cc, 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 @5
cc @5
Needle No. 19, 21, 23, 25 2
Tourniquet @5
Abbocath No. 14, 16, 18, 20, 22, 10
24 2
Swab alcohol 2
Verband 5 cmm dan 7,5 cm 6
Micropore 6
Cairan NaCl 0,9% 500 cc
Cairan NaCl 0,9% 100 cc
Peralatan Pen light 1
Clipboard dan pulpen untuk
pendukung 1
domentasi
NGT No. 16, 18 @1 Paling bawah
Catether No. 18 1
Urine bag 1
Stetoskop 1

b. Pasien
1) Jelaskan tujuan prosedur tindakan pada keluarga pasien dan minta
persetujuan tindakan secara cepat (sesuaikan dengan kondisi)
2) Posisi pasien diatur terlentang di tempat datar dan alas keras
E. Prosedur Tindakan
Seperti semua aspek kegawat daruratan medis, penting untuk
mempelajaricdasar RJP secara sistematis.Setelah ditemukannya korban yang
kolaps, tindakan medis pertama harusdilakukan adalah menilai korban dan
menentukan apakah korban tersebutsebenarnya responsif atau tidak. Bila
seseorang ditemukan tidak responsif, hal berikutharus dilakukan dengan cepat
dan berurutan(Putridan Sidemen, 2017).:
1. Pakai alat pelindung diri (masker, handscon/sarung tangan,
celemek,dan lain-lain)
2. Pastikan bahwa semua aman untuk memberikan pertolongan (aman
penolong, korban dan lingkungan)
3. Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong
harus melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran
korban/pasien, dapat dengan cara menyentuh atau menggoyangkan
bahu korban/pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah
pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak !!! / 
Bu!!! / Mas!!! /Mbak !!!.
4. Meminta pertolongan.
5. Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap
panggilan, segera minta bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!”
atau segera menghubungi pelayanan medis yang lebih lanjut.
6. Memperbaiki posisi korban/pasien.
7. Untuk melakukan tindakan RJP yang efektif, korban/pasien harus
dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan
keras. jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap,
ubahlah posisi korban ke posisi terlentang. Ingat! penolong harus
membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan
bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang,
korban harus dipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur
yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.
8. Mengatur posisi penolong.
9. Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan
bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau
menggerakkan lutut (Putri dan Sedimen, 2017).

Circulation
1. Periksa nadi pasien dengan cara mempalpasi arteri karotis pasien dan
bersamaan cek nafas pasien: Arteri dapat ditemukan dengan
menempatkandua jari pada trakea dan kemudian menggesernya ke alur antara
trakea dan ototsternokleidomastoid.
2. Jika tidak ada denyut nadisetelah 5 sampai 10 detik, kompresi dada harus
dimulai.
3. Penolong tidak terlatihharus memberikan RJP hanya kompresi (Hands-Only)
dengan atau tanpa panduanoperator untuk korban serangan jantung dewasa.
4. Penolong harus melanjutkan RJPhanya kompresi hingga AED atau penolong
dengan pelatihan tambahan tiba.Selain itu, jika penolong terlatih mampu
melakukan napas buatan, ia harusmenambahkan napas buatan dalam rasio 30
kompresi berbanding 2 napas buatan.
5. Penolong harus melanjutkan RJP hingga AED tiba dan siap digunakan,
penyedia
6. EMS mengambil alih perawatan korban, atau korban mulai bergerak.
(Putridan Sidemen, 2017).
Teknik Kompresi
1. Setelah konfirmasi bahwa seseorang tanpa denyut nadi, kompresi ritmikdada
tertutup harus dilakukan.
2. Korban ditempatkan telentang di permukaanyang keras dengan penolong di
sampingnya.
3. Penolong menempatkan tumitpada satu garis tengah, tangan di bagian bawah
sternum, kira-kira 2 jari diatasprosesus xiphoid.
4. Tumit tangan harus sejajar dengan tubuh korban. Tangankedua kemudian
diletakkan di atas tangan pertama sehingga kedua tangansejajar satu sama
lain. Jari-jari kedua tangan saling terjalin. Lengan harus lurusdan siku
terkunci.
(Putridan Sidemen, 2017).
5. Kecepatan kompresi 100-120/min
6. Kedalaman kompresi dada adalah minimun 2 inci (5cm) untuk dewasa rata-
rata, dan dengan tetap menghindari kompresi dada yang berlebihan lebih dari
2,4 inci (6 cm)
7. Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada diantara kompresi
untuk mendukung rekoil penuh dinding dada pada pasien dewasa saat
mengalami serangan jantung
Airway
Anda harus membuka jalan nafas dengan manuver tengadah kepala topang
dagu(headtilt-chin lift maneuver) untuk korban cedera dan tidak cedera. Jaw
Thrust tidakdirekomendasikan untuk penolong awam. Anda menggunakan
headtilt-chin lift maneuveruntuk membuka jalan nafaspada korban yang tidak
mengalami cedera kepala dan, dengan cara ekstensikan kepala dengan membuka
rahang bawahdan menahan dahi. Apabila Anda menemukan korban yang
mengalami cedera kepala danleher menggunakan teknik JawThrust tanpa ekstensi
kepaladengan cara posisiAnda berada di atas korban/pasien kemudian gunakan
kedua ibu jari utk membuka rahangbawah dan jari-jari tangan yang lain menarik
tulang mandibular (Mariah Diah Ciptaining Tyas, 2016).
Breathing
1. BantuanNafas dariMulut Ke MulutPada saat Anda memberikan bantuan nafas
dari mulut ke mulut, buka jalan nafaskorban, tutup kuping hidung korban dan
mulut penolong menutup seluruh mulut korban.Berikan 1 kali pernafasan
dalam waktu 1 detik dan berikan bantuan pernafasankedua dalam waktu 1
detik.
2. Bantuan Nafas dari Mulut ke Alat Pelindung PernafasanWalaupun aman,
beberapa petugas kesehatan dan penolong awam ragu-ragu untukmelakukan
bantuan pernafasan dari mulut ke mulut dan lebih suka menggunakan
alatpelindung. Alat pelindung ada dua tipe, yaitu alat pelindung wajah dan
sungkup wajah.Pelindung wajah berbentuk selembar plastik bening atau
lembaran silikon yang dapatmengurangi sentuhan antara korban dan penolong
tetapi tidak dapat mencegah terjadinyakontaminasi bagi penolong. Sungkup
wajah ada yang telah dilengkapi denganlubang untuk memasukkan oksigen.
3. Bantuan Nafas dari Mulut ke HidungBantuan nafas dari mulut ke hidung
direkomendasikan jika pemberian nafas melaluimulut korban tidak dapat
dilakukan (misalnya luka yang sangat berat pada mulut, muluttidak dapat
dibuka, atau menutup mulut korban tidak dapat dilakukan).
4. Ventilasi Bagging-SungkupVentilasi bagging-sungkup memerlukan
ketrampilan untuk dapat melakukannya.Apabila Anda seorang diri
menggunakan alat bagging-sungkup harus dapatmempertahankan terbukanya
jalan nafas dengan mengangkat rahang bawah, tekansungkup ke muka korban
dengan kuat dan memompa udara dengan memeras bagging.Anda harus dapat
melihat dengan jelas pergerakan dada korban pada setiap pernafasan.Bagging
sungkup sangat efektif bila dilakukan oleh dua penolong dan berpengalaman.
Salahsatu penolong membuka jalan nafas dan menempelkan sungkup ke
wajah korban sambilpenolong lain memeras bagging. Keduanya harus
memperhatikan pengembangan dadakorban. Petugas kesehatan dapat
mempergunakan tambahan oksigen (10-12 liter/menit)jika tersedia (Mariah
Diah Ciptaining Tyas, 2016).
F. AED
Pelatih AED memiliki fitur umum bagian luar yang sama dengan
AED penyelamatan.Catatan:Pelatih AED menggunakan bantalan pelatihan
khusus yang hanya digunakan untuk memperagakan penempatan bantalan
yang benar. Bantalan pelatihan tidak dapat melakukan kejut atau memberikan
umpan-balik(Cardiac Science, 2013).
Tombol Remote Pelatih AED
Penggunaan
Tombol
1. Kejut DibatalkanSkenario Tekan sewaktu mengisi untuk
1Konfirmasi Bahasa menampilkan prompt, “Rhythm
changed [Ritme berubah]. Shock
cancelled [Kejut dibatalkan].”
Tekan selama prompt Place Pads
[Letakkan Bantalan] ditampilkan
untuk beralih ke prompt Analysis
[Analisis]. Urutan berikutnya (Shock
[Kejut] atau CPR) ditentukan oleh
skenario yang dipilih.
Tekan selama urutan CPR untuk
melanjutkan ke prompt Analysis
[Analisis], diikuti oleh urutan CPR
yang lain.
Tekan # kemudian 1 untuk memulai
Skenario 1.
Tekan untuk mengonfirmasi pilihan
bahasa (lihat Pengaturan Bahasa di
halaman 7).
2. Kejut DisarankanSkenario 2 Tekan selama prompt Place Pads
[Letakkan Bantalan] ditampilkan
untuk beralih ke prompt Analysis
[Analisis]. Urutan berikutnya (Shock
[Kejut] atau CPR) ditentukan oleh
skenario yang dipilih.
Tekan selama urutan CPR untuk
melanjutkan ke prompt Analysis
[Analisis] diikuti oleh urutan Shock
[Kejut] yang lain.Tekan # kemudian
2 untuk memulai skenario 2.
Tekan selama analisis untuk
3. Periksa BantalanSkenario 3 menampilkan prompt, “Check Pads
[Periksa Bantalan].” Tekan lagi
untuk melanjutkan skenario.Tekan #
kemudian 3 untuk memulai Scenario
3 [Skenario 3].
4. Letakkan BantalanSkenario 4 Setelah prompt, “Tear open package
and remove pads [Buka kemasan lalu
keluarkan bantalan],” tekan untuk
menampilkan prompt:
•“Peel one pad from plastic liner
[Lepaskan satu bantalan dari kantung
plastik]”
•“Place one pad on bare upper chest
[Letakkan satu bantalan di dada atas
yang telanjang]”
•“Peel second pad and place on bare
lower chest as shown [Lepaskan
bantalan kedua dan letakkan di dada
bawah yang telanjang seperti
ditunjukkan]”
Catatan: Gunakan bila perlu untuk
beralih dengan cepat di antara
prompt.
Tekan lagi untuk menunjukkan
penempatan bantalan.
Tekan # kemudian 4 untuk memulai
Scenario 4 [Skenario 4].
Tekan sewaktu prompt Analysis
5. Analisis TerputusScenario 5 [Analisis] untuk menampilkan
prompt, “Analysis interrupted
[Analisis terputus]. Stop patient
motion [Hentikan gerakan pasien].”
Tekan lagi untuk melanjutkan.
Tekan # lalu 5 untuk memulai
Scenario 5 [Skenario 5]
Tekan selama skenario penyelamatan
6. Baterai Lemah untuk menampilkan prompt,
“Battery Low [Baterai lemah]” (LED
baterai juga akan menunjukkan
baterai lemah).
Tekan lagi untuk mematikan LED
baterai lemah dan menyalakan dua
LED baterai hijau (level baterai
50%).
7. Perlu DiservisMengecilkanVolume Tekan untuk menampilkan prompt,
“Service Required [Perlu Diservis].”
Tekan lagi untuk melanjutkan.
Tekan # kemudian 7 untuk
mengecilkan volume speaker.
8. JedaMengeraskan Volume Tekan kapan saja untuk Pause [Jeda]
(Pelatih AED berbunyi bip sewaktu
dihentikan sementara). Tekan lagi
untuk melanjutkan.
Tekan # kemudian 8 untuk
menambah volume speaker.
9. Ubah SkenarioMengubah Volume Tekan # lalu 1, 2, 3, 4, atau 5 untuk
mengubah skenario kejut.
Tekan # kemudian 7 atau 8 untuk
mengurangi atau mengeraskan
volume speaker.
(Cardiac Science, 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Cristi Lontoh, 2013, Pengaruh Pelatihan Teori Bantuan Hidup Dasar Terhadap
Pengetahuan Resusitasi Jantung Paruh Siswa – Siswi SMA
Negeri 1 Toili, e-jurnal keperawatan, Vol 1 No 1
Mata Ajar : Keperawatan Kegawatdaruratan
Pembimbing :

LAPORAN PENDAHULUAN
PENANGANAN PASIEN TERSEDAK

Disusun Oleh:
SITTI NUR ANISAH A. LAIDE
14220170003

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
A. Pengertian
Tersedak (choking) merupakan suatu keadaan masuknya benda asing
(makanan, mainan, dll) ke dalam jalan napas atas  sehingga menimbulkan
gawat napas. Jika hal ini tidak ditangani segera maka korban akan
meninggal. Pada dasarnya kita mengenal 2 jenis tersedak. Tersedak
sebagian (partial/mild) artinya benda asing yang masuk hanya menyumbat
sebagian dari jalan napas, masih ada sedikit celah untuk masuknya udara.
Yang paling berat adalah Tersedak Total (total blockage/severe) dimana
benda asing yang masuk sudah menutup semua bagian jalan napas korban,
sehingga korban menjadi jatuh tidak sadarkan diri. Pada sesi kita akan
membahas penanganan tersedak pada korban yang masih sadar dan tidak
sadar.
Pengenalan dini akan tanda-tanda tersedak merupakan langkah awal
untuk suksesnya penanganan tersedak. Adalah penting untuk membedakan
kondisi ini dari sakit-sakit yang lain seperti asma, serangan jantung, stroke
atau kondisi sakit lain yang menyebabkan gangguan pernapasan.
Berikut cara membedakan antara tersedak yang “mild” (ringan/ sebagian)
dan “severe” (berat/ total):
1. Tersedak yang ringan:
a. Masih ada pertukaran udara
b. Korban masih sadar dan dapat batuk sekeras-kerasnya
2. Tersedak yang berat:
a. Buruknya pertukaran udara terhadap si korban
b. Masih bisa batuk, tapi lemah atau tidak dapat batuk sama sekali
c. Napas bertambah cepat
d. Tidak dapat berbicara
e. Memegang leher (tanda universal dari tersedak)
f. Tidak dapat memasukkan udara/ menarik napas dengan baik

B. Penanganan Tersedak Untuk Anak Usia >1 Tahun – Dewasa Yang


Masih Sadar
1. Untuk Tersedak Ringan:
Jika korban masih bisa batuk. anjurkan korban untuk batuk terus
menerus sekeras-kerasnya
Yang tidak boleh Anda lakukan:
a. Memberi minum pada korban (jalan napas hanya boleh dilalui oleh
udara)
b. Memasukkan jari ke dalam mulut sebagai usaha untuk
mengeluarkan benda asing
2. Untuk Tersedak Berat:
a. Tanyakan kepada korban “Apakah Anda tersedak?”, sekilas
langkah ini terlihat agak rancu dan tidak mungkin dilakukan. Tetapi
hal ini dilakukan untuk membedakan antara tersedak dan penyakit
lain yang menyebabkan gawat napas.
b. Lakukan abdominal thrust (Heimlich manuever) selama beberapa
kali sampai benda asing keluar atau sampai korban menjadi tidak
sadar. Untuk pengananan korban tersedak yang tidak sadar
membutuhkan teknik yang berbeda. Akan dibahas di halaman
selanjutnya.
Berikut ini merupakan langkah-langkah melakukan Heimlich
manuever:
1. Berdiri atau berlutut di belakang korban (posisikan tubuh Anda sesuai
dengan tinggi tubuh korban, pada pasien anak kemungkinan Anda harus
berlutut)
2. Kepalkan salah satu telapak tangan Anda
3. Letakkan kepalan tangan Anda dengan arah ibu jari menempel ke
dinding perut korban, posisikan kepalan tangan Anda 2 jari di atas pusat
(pusat selalu sejajar dengan tulang pinggul atas), Anda tidak 
memposisikan kepalan tangan Anda di ulu hati.
4. Kencangkan kepalan tangan Anda dengan tangan satunya sehingga
kedua lengan Anda melingkar di perut korban.
5. Lakukan penekanan ke arah belakang dan atas sampai benda asing
keluar atau sampai korban menjadi jatuh tidak sadar.

Abdominal thrust atau heimlich manuever


6. Jika korban tersedak adalah wanita hamil atau orang dewasa yang
terlalu gemuk (obesitas) kita bisa melakukan pilihan lain dengan
melakukan “chest thrust” yaitu dengan meletakkan kepalan tangan
Anda di tengah-tengah tulang dada

Pengganti heimlich manuever pada korban wanita hamil


C. Penanganan Tersedak Untuk Anak Usia >1Tahun – Dewasa Yang
Tidak Sadar Jika korban menjadi jatuh tidak sadar lakukan langkah-
langkah berikut:
1. Panggil bantuan medis segera
2. Buka jalan napas korban (AIRWAY), jika Anda dapat melihat benda
asing lakukan finger swab  atau sapuan jari untuk mengeluarkan benda
asing
3. Segera lakukan CPR/ RJP. Perbedaannya dengan CPR biasa adalah
setelah melakukan 30 kali kompresi dada, periksalah mulut korban
terlebih dahulu sebelum memberikan 2 kali napas bantuan.
Anda  telah sukses menangani korban tersedak yang tidak sadar jika
Anda sudah melihat tanda-tanda berikut:
1. Anda melihat dada nya naik ketika memberikan bantuan napas
2. Melihat benda asing keluar dari mulut korban.
Lakukan langkah-langkah berikut ini jika Anda sudah berhasil
menangani korban tersedak. Karena ada beberapa kemungkinan yang
akan terjadi setelah benda asing keluar dari mulut korban:
1. Berikan 2 kali napas
2. Lihat respons korban (batuk, muntah, pergerakan) jika Anda terlatih
untuk memeriksa nadi, maka periklsah nadi di leher korban selama 10
detik saja.
3. Jika nadi tidak teraba dan korban juga tidak bernapas, lanjutkan CPR
dan pasang AED segera (jika tersedia). Jika nadi ada tetapi napas tidak
ada maka berikanlah bantuan napas saja selama 2 menit, dalam 1 menit
Anda harus memberikan 10 kali napas (jadi jeda antara napas adalah 6
detik). Setelah 2 menit periksalah apakah napasnya sudah ada atau
belum, jika korban sudah bernapas normal posisikan korban miring
(posisi pemulihan) sambil menunggu bantuan datang.
D. Penanganan Tersedak Untuk Bayi (<1 Thn)

Penanganan tersedak untuk bayi tentunya berbeda dengan anak yang


berusia lebih dari 1 tahun. Kita tidak bisa melakukan penekanan perut
(Heimlich manuever) pada bayi karena akan mencederai organ dalam yaitu
hati. Penanganan tersedak untuk bayi terdiri atas kombinasi penekanan dada
(chest thrust) dan tepukan punggung (back slaps).
Berikut ini merupakan langkah-langkah pertolongan tersedak
terhadap bayi yang masih sadar:
1. Gendonglah bayi dengan posisi Anda duduk atau berlutut.
2. Buka pakaian bayi.
3. Gendong bayi dengan posisi wajah ke bawah telungkup di atas
pangkuan tangan Anda. Buat kepala bayi lebih rendah dari kakinya.
Sangga kepala dan rahang bawah bayi menggunakan tangan Anda (hati-
hati untuk tidak menekan leher bayi, karena ini akan menyebabkan
tersumbatnya saluran napas.
4. Berikan 5 kali tepukan di punggung (tepuklah dipunggung, antara 2
tulang belikat bayi, JANGAN menepuk di tengkuk!). Gunakan pangkal
telapak tangan Anda ketika memberikan tepukan.
5. Setelah memberikan 5 kali tepukan punggung, sanggalah leher
belakang bayi Anda dengan tangan dan balikkan tubuh bayi sehingga
dalam posisi terlentang. Buat posisi kepala bayi lebih rendah dari
kakinya.
6. Lakukan 5 kali penekanan dada (lokasi penekanan sama dengan posisi
penekanan dada pada proses CPR yaitu di tengan-tengan tulang dada/ di
bawah garis imajiner antara 2 puting susu bayi). Hanya gunakan2 jari
saja (jari telunjuk dan jari tengah untuk melakukan chest thrust.
7. Ulangi langkah No. 4,5,6 di atas sampai benda asing keluar dari mulut
bayi atau bayi menjadi tidak sadar.

Technic Back Slaps atau tepuk punggung

Technic Chest Thrust atau Tekan Dada


Jika benda asing belum bisa keluar dan bayi Anda menjadi tidak sadar
(bayi terkulai lemas, tidak ada pergerakan, bibir membiru, tidak dapat menangis
atau mengeluarkan suara) penanganan nya adalah sebagai berikut:
A. Baringkan bayi di atas permukaan yang rata dan keras.
B. Buka jalan napas bayi (mulut bayi) dan lihat apakah benda asing terlihat
atau tidak. Jika terlihat ambil dengan menggunakan sapuan jari Anda. Jika
Anda tidak melihatnya JANGAN lakukan “blind finger swab” / mengkorek-
korek mulut bayi dengan tujuan untuk mencari benda asing tersebut.
C. Jika benda asing tidak terlihat lakukan langkah selanjutnya yaitu lakukanlah
CPR yang terdiri dari 30 kali penekanan dada diikuti 2 kali
napas. Tetapi, perbedaan CPR korban tersedak dengan korban biasa adalah
setiap Anda selesai melakukan 30 kali penekanan dada periksalah dahulu
mulut bayi sebelum memberikan 2 kali bantuan napas.
D. Jika setelah 5 kali siklus CPR, benda asing masih belum dapat keluar dan
bayi masih belum sadar. Panggil bantuan medis segera, kemudian lanjutkan
CPR Anda sampai bantuan medis datang atau benda asing nya keluar.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu Pafita sari Palimbung, 2017, Hubungan Posisi Menyusu Dengan Kejadian
Tersedak Pada Bayi Di Puskesmas Bahu Kota Manado, e-jurnal Keperawatan, vol
5 no 1
Mata Ajar : Keperawatan Kegawatdaruratan
Pembimbing :

LAPORAN PENDAHULUAN
BIDAI DAN BALUT

Disusun Oleh:
SITTI NUR ANISAH A. LAIDE
14220170003

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020

BIDAI DAN BALUT


A. Definisi
Pemasang bidai adalah memasang alat untuk imobilisasi
(mempertahankan kedudukan tulang yang patah).
B. Tujuan pemasangan bidai
a. Mencegah pergerakan tulang yang patah
b. Mencegah bertambahnya perlukaan pada patah tulang
c. Mengurangi rasa sakit/nyeri
d. Mengistirahatkan daerah patah tulang
C. Persyaratan bidai yang baik
1. Terbuat dari bahan yang kaku (papan,triplek,dll)
2. Cukup panjang untuk imobilisasi persendian diatas dan dibawah fraktur
3. Cukup luas untuk kesesuaian anggota tubuh secara nyaman
4. Bagian yang menempel tubuh dilapisi dengan kapas dan dibalut dengan
perban.
D. Macam-macam bidai
1. Bidai rigid: bidai jenis ini dapat terbuat dan kartun, plastic yang
keras,logam atau kayu. Harus diberi padding yang cukup dan dipasang
melewati 2 sendi.
2. Bidai lembut lunak: termasuk didalamnya bidai udara,bantal,kain,bidai
udara baik untuk fraktur lengan bawah dan tungkai bawah. Celana anti
syok (PASG atau MAST) adalah bidai udara yang sangat baik. Bidai
udara ini memiliki keutungan karena efek kompresinya sehingga
perdarahan dapat dikatrangi, tapi kerugiannya tekanan ini dapat
meningkat bila temperatur naik atau ditempat ketinggian, jangan dipakai
pada fraktur yang mengalami angulasi karena bidai ini akan
mengakibatkan tekanan yang akan meluruskan fraktur secara otomatis.
Kerugian lain dan bidai udara adalah bahwa denyut nadi pada ektremitas
tidak dapat dimonitor bila bidai terpasang, juga sering kali bidai melekat
pada kulit dan nyeri bila dilepas. Bantal merupakan bidai yang baik
untuk cedera pada pergelangan kaki, juga dapat digunakan dengan kain
pada dislokasi bahu. Bidai dan kain (misal: mitella) sangat baik untuk
cedera pada klavikula, bahu, lengan atas) dan siku. Ia menggunakan
dinding dada sebagai peyangga yang kuat dan membidal lengan pada
dinding dada.
3. Bidai traksi: dibuat untuk fraktur ekstremitas inferior. Alat ini
mengimobilisasi fraktur dengan cara menarik ekstremitas pasien secara
terus menerus. Tarikan yang terus menerus ini juga menjaga agar otot
paha yang kuat tidak mengalami spasme-Traksi mencegah gerakan dari
ujung tulang yang dapat merusak struktur neurovascular.
Penatalaksanaa cedera spesifik
Tulang belakang
Pelvis: cedera pelvis seringkali terjadi bersama dengan cedera ekstremitas. Cedera
pada pelvis biasanya diakibatkan oleh kecelakaan sepeda motor atau trauma yang
berat seperti jatuh dari ketinggian. Diagnosis cedera pelvis dapat dibuat melalui
pemeriksaan klinis dengan menekan Krista iliaka, panggul dan pubis.
Femur: patah biasanya terjadi pada daerah shaft, walaupun dapat juga terjadi
fraktur daerah panggul. Fraktur dapat terbuka atau tertutup. Terdapat banyak otot
disekitar femur dan dapat terjadi perdarahan yang cukup banyak didaerah paha.
Fraktur femur bilateral dapat mengakibatkan kehilangan setengah dan volume
darah yang beredar bidai udara seperti PASG bermanfaat dalam mengurangi
perdarahan pada fraktur femur.
Panggul: fraktur pada daerah panggul umumnya terjadi pada leher (collum)
femur dimana terdapat ligamen-ligamen yang kuat yang adakalanya berat badan.
Ligamen ini sangat kuat dan hanya ada sedikit gerakan ujung-ujung tulang pada
sebagian besar path tulang didaerah ini. Ada harus memikirkan kemungkinan
terjadinya fraktur panggul pada pasien tua yang jatuh dan mengeluh nyeri pada
daerah lutut, panggul atau pelvis.

Daftar Pustaka
Nuralim. (2010). Buku Pandunan Basic Trauma Cardiac Life Support. Surabaya:
In Media.
Paula. (2017). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta Timur: Cv. Trans
Info Media.
Ruly. (2016). Asuhan Keperwatan Kegawatdaruratan. Jakarta: IN MEDIA.

Mata Ajar : Keperawatan Kegawatdaruratan


Pembimbing :

LAPORAN PENDAHULUAN
PENGELOLAAN JALAN NAPAS DENGAN ALAT (TRAKEATOMI &
KRIKOTIROIDOTOMI)

Disusun Oleh:
SITTI NUR ANISAH A. LAIDE
14220170003

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
Pengelolan jalan napas dengan alat (trakeatomi & krikotiroidotomi)
Surgical airway techniques
Krikotirotomi
Krikotirotomi merupakan pilihan utama untuk penanganan jalan napas
pada trauma maksilofasial, perdarahan saluran napas atas, atau obstruksi jalan
napas. Krikotirotomi perkutaneus dilakukan dalam posisi sniffing agar membrane
krikotiroid dapat diidentifikasi dengan mudah. Jarum diarahkan ke membran
krikotiroid dengan sudut 90 derajat sampai masuk ke dalam trakea, ditandai
dengan hilangnya resistensi dan munculnya gelembung udara pada saat aspirasi.
Guide wire diarahkan kedalam trakea melewati jarum setelah jarum diarahkan ke
kaudal dengan sudut 30-45 derajat. Kanul dengan diameter minimal 4mm
dimasukkan kedalam trakea dengan bantuan guide wire dan insisi kecil disekitar
wire dan dilator.
Krikotirotomi dengan pendekatan pembedahan dapat dilakukan jika
krikotirotomi perkutaneus tidak dapat dilakukan. Hal ini dilakukan dengan insisi
kulit vertical atau horizontal hingga membrane krikotiroid dan pipa endotrakeal
atau kanul trakeostomi dimasukkan langsung melewati membrane krikotiroid.
Tracheal hook,dilator, bougie dapat digunakan untuk membantu pemasangan alat
jalan napas.
Transtracheal Jet Ventilation (TTJV)
Ventilasi jet transtrakeal dengan pendekatan perkutaneus merupakan
metode invasif untuk melakukan ventilasi dan oksigenasi jika intubasi tidak dapat
dilakukan. TTJV bersifat sementara dengan komplikasi minimal waktu hingga
tata laksana jalan napas definitive dpat dilakukan.
Ventilasi dengan TTJV dilakukan dengan insuflasi tekanan oksigen
melalui kanul transtrakea, dan ekspirasi menggunakan recoil paru dan dinding
dada. Inspirasi membutuhkan tekanan oksigen sebesar 15 psi.
Teknik pemasangan TTJV dilakukan dengan cara memasukkan kateter
ukuran 12 hingga 16 G menembus membrane krikotiroid dan arahkan ke arah
kaudal. Aspirasi udara pada saat pemasangan kateter memastikan bahwa kateter
sudah berada intrakeal. Pasase udara melewati glottis dapat memfasilitasi intubasi.
TTJV tidak dapat dilakukan pada pasien dengan kerusakan kartilago
krikoid, kerusakan struktur laring, atau obstruksi total jalan napas. Kontraindikasi
TTJV lainnya meliputi koagulopati, penyakit obstruksi paru ataupun kelainan
anatomis. Komplikasi yang sering terjadi pada saat TTJV adalah barotrauma
seperti pneumotoraks atau emfisema mediastinum, perdarahan, aspirasi dan
perforasi dinding posterior trakea atau esophagus.

Percutaneus Dilatational Tracheostomy (PDT)


Trakeostomi dilatasi perkutaneus dilakukan dengan cara memasang
kanul trakeostomi kedalam trakea dengan bantuan dilatasi tumpul menggunakan
teknik seldinger. Indikasi trakeostomi meliputi penyapihan ventilator yang sulit,
fasilitasi clearance trakeobronkial, proteksi jalan napas tehadap aspirasi, antipasi
penggunaan ventilator dalam jangka waktu lama dan minimalisasi kebutuhan
sedasi di ICU. Penggunaan kanul trakeostomi menurunkan komplikasi
laringotrakeal dibandingkan dengan pipa endotrakeal dalam kasus yang
membutuhkan ventilasi mekanik lama. Trakeostomi dilatasi perkutaneus dapat
dilakukan bedside dengan kebutuhan alat yang lebih sedikit, biaya yang lebih
sedikit, luka dan inflamasi yang lebih kecil dibandingkan dengan pendekatan
pembedahan.
Stoma trakeostomi harus dijaga tetap bersih dan kering. Tekanan cuff
dipertahankan dalam rentang 20-25mmHg untuk mencegah iskemi mukosa dan
kebocoran yang menyebabkan mikroaspirasi. Penggunan filter dapat membantu
mempertahankan suhu dan kelembapan. Trakea sebaiknya dibersihkan
menggunakan suction secara perlahan dan rutin.

Mata Ajar : Keperawatan Kegawatdaruratan


Pembimbing :
LAPORAN PENDAHULUAN
PENGELOLAAN JALAN NAPAS NON ALAT

Disusun Oleh:
SITTI NUR ANISAH A. LAIDE
14220170003

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020

Pengelolaan jalan napas dewasa (non alat)

Penilaian jalan napas


Pengelolaan jalan napas untuk dimulai dengan penilaian terhadap jalan
napas untuk mengidentifikasi adanya gangguan ataupun potensi masalah dalam
pengelolaan jalan napas. Penilaian ini dapat dilakukan melalui anamnesis maupun
pemeriksaan fisik.
ANAMNESIS
Penilaian jalan napas melalui anamnesis meliputi riwayat dan keluhan
pasien yang berkaitan dengan gangguan pada jalan napas serta riwayat pembiusan
sebelumnya, riwayat penyakit atau kondisi bawaan lahir juga perlu diketahui
karena beberapa kelainan congenital dihubungkan dengan gangguan jalan napas.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk menilai jalan napas tersebut meliputi penilaian
daerah orofaring, submandibula, kemampuan pergerakan vertebra servikal, dan
habitus pasien secara umum. Penilaian tersebut berupa:
 Penilaian kemampuan membuka mulut, jarak antar gigi seri atas dan bawah
sebesar 3cm atau lebih dianggap akan memudahkan pengelolaan jalan
napas.
 Penilaian mallampati yaitu penilaian ukuran lidah relatif terhdap rongga
mulut. Semakin tinggi derajat mallampati, semakin besar kemungkinan
kesulitan intubasi terjadi. Pemeriksaan mallampati dilakukan dengan mata
pemeriksa dan pasien berada pada posisi netral dan diminta untuk membuka
mulut selebar mungkin dengan menjulurkan lidah tanpa bersuara.
 Jarak tiromental merupakan jarak antara dagu dan bagian superior dan
tiroid. Jarak tiga jari atau lebih dapat menandakan kemungkinan
pengelolaan jalan napas dapat dilakukan dengan mudah.
 Penilaian daerah submandibula dilakukan dengan menilai kemampuan
pergerakan mandibula ke anterior. Salah satu maneuver yang dapat
diperiksa adalah kemampuan gigi seri sebagian bawah pasien untuk
mengigit bibir bagian atas.
 Kemampuan pergerakan ekstensi leher ditentukan oleh sendi atlanto-
oksipital. Hal ini dinilai berdasarkan besar sudut yang dapat dicapai dengan
ekstensi kepala maksimal dari posisi netral leher.
 Penilaian habitus tubuh terutama pada pasien obesitas dinilai berdasarkan
perhitungan indeks masa tubuh dengan IMT di atas 30kg/m dihubungkan
dengan kesulitan pengelolaan jalan napas.

Klasifikasi
Istilah jalan napas sulit didefinisikan oleh American society of
Anesthesiologists (ASA) sebagai keadaan klinis dimana seorang dokter spesialis
anestesiologi yang berpengalaman dan terlatih mengalami kesulitan ventilasi jalan
napas atas dengan menggunakan sungkup wajah, kesulitan dalam intubasi trakea,
atau keduanya. Berdasarkan penilaian jalan napas yang telah dilakukan, kesulitan
pengelolaan jalan napas pada pasien dapat diklasifikasi menjadi:
 Sulit ventilasi dengan sungkup wajah
 Sulit pemasangan alat ekstraglotik
 Sulit laringoskopi dan intubasi
 Sulit kritiroidotomi

1. sulit ventilasi dengan sungkup wajah


ASA mendefinisikan sulit ventilasi sungkup sebagai ketidakmampuan
dokter spesialis anestesiologi tanpa bantuan asisten untuk menjaga saturasi
(SpO2) >90% dengan menggunakan FiO2 100% dan ventilasi tekanan
positif, sedangkan saturasi pasien dalam kondisi >90% sebelumnya.
Ventilasi sungkup wajah yang tidak adekuat disebabkan oleh dua
penyebab utama. Pertama, ketidakmampuan untuk membuat segel yang
memadai antara wajah dan sungkup yang akhirnya menyebabkan kebocoran
pada ventilasi tekanan positif yang diberikan. Kedua, adalah tidak
adekuatnya potensi jalan napas pada tingkat nasofaring, orofaring,
hipofaring, laring, atau trakea.

Pengelolaan jalan napas


Pengelolaan jalan napas diawali dengan membuka atau membebaskan
jalan napas atas dari sumbatan. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan
maneuver jaln napas seperti head till-chin lift, jaw trust atau dapat pula dicapai
dengan bantuan peralatan seperti oropharyngeal airway (OPA) atau
nasopharyngeal airway (NPA).
Setelah jalan napas terbuka, maka pasien dapat diventilasi secara optimal
dengan bantuan sungkup wajah. Penggunaan sungkup wajah dapat
memfasilitasikan pengaliran oksigen kepada pasien untuk mencapai kemampuan
penghantaran gas yang optimal. Oleh karena itu, dibutuhkan pemasangan sungkup
wajah yang bersegel sehingga tidak terjadi kebocoran. Ukuran dn bentuk sungkup
wajah disesuaikan dengan kontur wajah pasien. Namun sungkup wajah umumnya
berwarna transparan sehingga uap gas ekspirasi, cairan, atau muntahan dapat
dengan mudah dipantau. Sungkup wajah biasanya terbuat dari bahan plastic atau
karet yang cukup lunak dan lentur untuk menyesuaikan dengan wajah pasien yang
bervariasi.

Daftar Pustaka

Margarita. (2019). Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.
Mata Ajar : Keperawatan Kegawatdaruratan
Pembimbing :

LAPORAN PENDAHULUAN
SYOK ANAFILATIK
Disusun Oleh:
SITTI NUR ANISAH A. LAIDE
14220170003

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
1. DEFINISI
Syok (renjatan) dapat diartikan sebagai keadaan terdapatnya
pengurangan yang sangat besar dan tersebar luas pada kemampuan
pengangkutan oksigen serta unsur unsur gizi lainya secara efektif ke
berbagai jaringan sehingga timbul cedera seluler yang mula mula reversible
dan kemudian apabila syok berlangsung lama menjadi irreversible. Selain
itu syok merupakan suatu kelainan progresif yang menyebabkan
kematian bila masalah-masalh yang mendasarinya tidak dikoreksi. Yang
menjadi masalah yang mendasari bias seperti kehilangan banyak
darah/exsanguinations, trauma atau luka bakar yang luas, infark miokard,
emboli paru, dan sepsis. Tanpa memandang sebabnya, syok ditandai oleh
hipoperfusi sistemik jaringan; yang bisa disebabkan oleh curah jantung
yang berkurang atau oleh berkurangnya volume darah efektif yang
beredar. Akibatnya adalah menjadi gangguan perfusi jaringan dan hipoksia.
2. KLASIFIKASI SYOK
Bentuk bentuk syok yang paling sering dijumpai dapat
dikelompokkan menjadi tiga golongan kelainan, berikut :
Syok kardiogenik, disebabkan oleh curah jantung yang rendah akibat
kegagalan pompa jantung. Penyebabnya bisa berupa karena :
1. Kerusakan otot jantung (infark), akibat dari depresi berat kinerja
jantung sistolik. Tekanan arteri sistolik <80 mmHg, indeks jantung
2
berkurang dibawah 1,8L/menit/m .
2. Aritmia ventrikel, dimana tekanan pengisian ventrikel kiri
meningkat umumnya diatas 18mmHg.
3. Tekanan dari luar (tamponade jantung).
4. Aliran darah yang tersumbat (misalnya, emboli paru). Dapat terlihat
jelas atau tidak. Gejala yang tampak pasien sering terlihat tak berdaya ,
pengeluaran urin berkurang dari 20mL/jam, ekstremitas dingin dan
sianotik.

Syok hipovolemik, disebabkan oleh curah jantung yang rendah akibat


hilangnya volume darah atau plasma (misalnya, akibat perdarahan atau
kehilangan cairan pada luka bakar luas.
Syok septik, termasuk dalam syok distributif disebabkan oleh vasodilatasi
arteri dan pengumpulan darah pada vena yang berpangkal dari respon imun
sistemik terhadap infeksi mikroba. Selain itu kadang kadang syok bias
disebabkan oleh hilangnya tonus pembulu darah yang berkaitan dengan
anestesi atau trauma medulla spinalisa (syok neurogenik). Syok anafilaktik
disebabkan oleh vasodilatasi sistemik dan meningkatnya permeabilitas pembulu
darah yang dipicu oleh reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh suatu
immunoglobulin-E. Syok neurogenik dan syok anafilaktik termasuk dalam
golongan syok distributive bersama dengan syok septic.
3. PATOGENESIS
Beberapa karakteristik pathogenesis syok sama tanpa memperhatikan
penyebab yang mendasari. Jalur akhir dari syok adalah kematian sel. Begitu
sejumlah besar sel dari organ vital telah mencapai stadium ini, syok
menjadi irreversible, dan kematian terjadi meskipun telah dilakukan
koreksi terhadap penyebab/masalah yang mendasarinya. Mekanisme
pathogenesis yang menyebabkan kematian sel tidak sepenuhnya dipahami.
Syok umumnya cenderung berkembang melalui tiga tahap umum,
kecuali bila kelainan yang ada sangat massif dan mematikan dengan
cepat (misalnya, hilangnya darah/exsanguinations dari suatu aneurisme
aorta yang ruptur). Tahap tahap ini telah diketahi dengan lebih jelas
pada syok hipovolemik namun juga dapat dipakai secara umum pada
syok bentuk lain :
1. Tahap awal non-progresif, yaitu saat mekanisme kompensasi reflex
diaktifkan dan perfusi organ organ vital dipertahankan. Pada tahap ini
berbagai mekanisme neurohumoral bekerja membantu
mempertahankan curah jantung dan tekanan darah. Mekanisme ini
meliputi reflex baroreseptor , pelepasan katekolamin dan hormone
antidiuretik, pengaktifan jalur rennin-angiostensin-aldosteron, dan
rangsangan simpatis umum.
2. Tahap progresif, ditandai oleh hipoperfusi jaringan dan mulainya
sirkulasi yang memberuk dan gangguan metabolism, termasuk asidosis.
Tahap ini terjadi karna penyebab yang mendasari timbulnya syok tidak
dikoreksi. Sejalan dengan hipoksia jaringan yang meluas, organ
organ vital terpengaruh dan mulai mengalami kegagalan organ.
3. Tahap irreversible, yaitu saat jejas sel dan jaringan sangat berat
sehingga walaupun defek hemodinamik diperbaiki , tidak
memungkinkan pasien selamat. Jejas sel yang meluas tergambarkan
dari kebocoran enzim lisosomal, yang memperburuk keadaan
syok. Fungsi kontraktil otot jantung memburuk , antara lain oleh karena
meningkatnya pembentukan nitrat oksida. Pada tahap ini dimana
kegagalan organ yang terjadi walaupun diberikan pengobatan
yang terbaik, biasanya proses akan terus berlanjut hingga berakhir pada
kematian.
4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang timbul dibagi menjadi 2 yakni secara umum
yang sama terjadi pada semua syok dan secara khusus yang spesifik terhadap
tipe syok.
1. Secara umum, Syok selalu ditandai oleh hipotensi yang pada orang
dewasa pada umumnya merujuk pada tekanan arteri rata-rata kurang dari
60 mmHg. Manifestasi umum yang lain berupa takikardi, oligouria,
sensorium berkabut dan dingin, ekstremitas berburik menunjukan
aliran darah ke kulit berkurang. Asidosis metabolic, sering
disebabkan karena kadar adam laktat darah meningkat,
menunjukan aliran darah kebanyak jaringan yang tidak adekuat
berkepanjangan.
2. Secara khusus, pada pasien syok kardiogenik mempunyai gejala
dan tanda penyakit jantung, termasuk peningkatan tekanan pengisian
katup , irama gallops, dan tanda gagal jantung yang akut lainnya.
Pada pasie syok hipovolemik sering mempunyai riwayat pendarahan
saluran makanan atau perdarahan dari tempat lain atau tanda
kehilangan volume besar jelas melalui diare dan/atau muntah. Pada
pasien syok septic keadaan tidak ada neutropenia berat, bias terdapat
tanda infeksi local (pneumonitis, pielonefritis atau abses abdomen) serta
demam dan menggigil.
5. DIAGNOSIS
Syok membakat (Impending shock)
a. Penurunan atau perubahan kesadaran
b. Hipotensi, pada orang dewasa tekanan darah sistolik di bawah 90
mmHg. Bila terdapat keraguan (pasien hipertensi), amati tanda vital
ortostatik.
c. Tanda vital ortostatik (terutama pada syok hipovolemik), yaitu
perbedaan tekanan darah dan atau frekuensi nadi pada posisi telentang
dengan posisi duduk atau berdiri sebesar 10 mmHg dan atau di atas
15 kali/menit. Fenomena ini merupakan indikasi kuat kekurangan
volume cairan intra vaskular ringan sampai sedang.
d. Hipotensi perifer. Kulit teraba dingin, lembab, dan isi nadi lemah.

Tingkat syok
1. Syok ringan; kehilangan volume darah dibawah 20% dari volume
total. Hipoperfusi hanya terjadi pada organ non vital seperti kulit,
jaringan lemak, otot rangka, dan tulang. Gambaran klinik
perasaan dingin, hipotensi postural, takikardi, pucat, kulit
lembab, kolaps vena-vena leher, dan urin yang pekat.
Kesadaran masih normal, diuresis mungkin berkurang sedikit dan
belum terjadi asidosis metabolik.
2. Syok sedang; kehilangan 20% sampai 40% dari volume darah
total. Hipoperfusi merambat ke organ non vital seperti hati, usus
dan ginjal, kecuali jantung dan otak. Gambaran klinik haus,
hipotensi telentang, takikardi, liguria atau anuria, dan asidosis
metabolik. Kesadaran relatif normal.
3. Syok berat; kehilangan lebih dari 40% dari volem darah
total. Hipoperfusi terjadi juga pada janberattung atau otak.
Gambaran klinik; penurunan kesadaran (agitasi atau delirium),
hipotensi, takikardia, nafas cepat dan dalam, oliguria, asidosis
metabolik.
6. PENATALAKSANAAN
Secara umum , tujuan penanganan syok adalah :
1. Mempertahankan tekanan arterial rerata (mean) diatas 60 mmHg
(pada orang dewasa normal) untuk menjamin perfusi yang memadai
pada organ-organ vital.
2. Mempertahankan aliran darah pada organ organ yang paling sering
mengalami kerusakan syok, misalnya ginjal, hepar, SSP dan paru paru.
3. Mempertahank kadar laktat darah arterial dibawah 22
mmol/L. (karena pengukuran kadar laktat bisasanya tidak tersedia
secara “on line”, tujuan ini harus sering dinilai secara retrospektif.

Daftar Pustaka

Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-prose penyaki jlid
1, ed 4.1995. Jakarta: EGC.
Indonesia, P. T. (2016). Kurikulum Pendidikan Dan Pelatihan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai