Anda di halaman 1dari 26

Primary Survey

Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan


manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey
bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan
berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah
tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation,
dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam
keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu
terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk
perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh
pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui
pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009) :
a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau
dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi:
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
 Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi
dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking
chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.

d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan
dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson &
Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency


Care Council, 2012) :
Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency
Care Council, 2012) :

A. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali
(reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di
gawat darurat adalah :

Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway ,
maupun Endotracheal Tube (salah satu dari
peralatan airway) tetap efektif untuk
menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan
dengan manfaat yang optimal dengan risiko
yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan


pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga dada
dengan rontgen foto thoraks, untuk
meyakinkan ada tidaknya masalah
seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks
yang lain yang bisa mengakibatkan
oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan khususnya organ vital tetap
terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary


survey, perlu didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang
lain seperti reflex patologis, deficit
neurologi, pemeriksaan persepsi
sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI
Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan
 Rontgen foto pada daerah yang
mungkin dicurigai trauma atau fraktur
 USG abdomen atau pelvis

Secondary survey

Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan

secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan

setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-

tanda syok telah mulai membaik.

1. Anamnesis

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang

merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi

keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat

keluarga, sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus

diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan

cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga,

orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang

dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera

yang mungkin diderita. Beberapa contoh:


a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera

wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.

b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal

atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.

c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan

keluarga:

A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang

menjalani

pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau

penyalahgunaan obat

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang

pernah

diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi

berapa

jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam

komponen ini)

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang

menyebabkan adanya keluhan utama)


Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan

kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat

digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini :

 C. have you ever felt should Cut down your drinking?

 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?

 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?

 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your

nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)

Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah

konsumsi alkohol.

Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam

proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam

setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu” :1,2

 Hurt you physically?

 Insulted or talked down to you?

 Threathened you with physical harm?

 Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang

meliputi :

 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat

nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda

terbangun saat tidur?

 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,

tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan

pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.

 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri

terlokalisasi di satu titik atau bergerak?

 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak

ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat

 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa

lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah

pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan

nyeri sebelumnya atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan

tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi

oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.1

Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut2
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan
rectal. Untuk mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri pulmonal,
kateter urin, esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh
aktivitas, pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi perlu dievaluais
irama jantung, frekuensi, kualitas dan
kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari peningkatan
usah abernafas adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi interkostal, tidak
mampu mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor melalui
oksimetri nadi, dan hal ini penting bagi
pasien dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran, penyakit serius dan
tanda vital yang abnormal. Pengukurna
dapat dilakukan di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari gambaran
kontraktilitas jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan vaskuler
perifer. Tekanan sistolik menunjukkan
cardiac output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu dipompakan.
Tekanan diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui di UGD
karena berhubungan dengan keakuratan
dosis atau ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan, vasopressor, dan
medikasi lain yang tergantung dengan
berat badan.

2. Pemeriksaan fisik

a. Kulit kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang

datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari

bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh

kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur

dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala.3
b. Wajah

Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan

kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata,

karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata

selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.

1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil

apakah isokor atau anisokor serta bagaimana reflex

cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau

midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies

visus dan acies campus), apakah konjungtivanya

anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,

ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,

serta diplopia

2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,

penyumbatan

penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)

lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu

fraktur.

3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,

penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter

mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya

hemotimpanum

4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas

5) Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur

6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,

kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur,

warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang,

pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa

ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi

amati adanya tonsil meradang atau tidak

(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri

Pada skenario pasien mengalami luka di frontal dextra, depressed fracture,

racoon eyes, dan epistaksis. Dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan

GCS, didapatkan bahwa skor GCS pasien adalah 8 (cedera kepala berat).

Pada skenario diketahui bahwa kepala pasien membentur bingkai kaca depan,

selain bisa menyebabkan terjadinya fraktur cranium, hal tersebut juga bisa

menyebabkan terjadinya fraktur nasal yang berpengaruh terhadap pecahnya

plexus kiessel bach, sehingga terjadi epistaksis. Terjadinya fraktur cranium

menyebabkan terjadinya kebocoran LCS dan mempengaruhi os. Spenoid yang

menyebabkan ekimosis periorbital (racoon eyes).

c. Vertebra servikalis dan leher


Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau

krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia

(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau

tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya

nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan

pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi

servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah

kerusakan otak sekunder..

d. Toraks

Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang

untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,

ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,

kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot

pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah

terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,

(lombardo, 2005)

Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,

emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan

Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan

bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)

Penilaian Thoraks pada kasus:


Pada skenario diketahui bahwa hasil pemeriksaan thoraks yaitu gerakan

hemitoraks kanan tertinggal, JVP meningkat, trakea terdorong ke kiri,

hipersonor thoraks kanan, VBS kanan hilang, bunyi jantung murni reguler.

Pada pasien ini terjadi Tension Pneumotoraks Dextra.

Penanganannya adalah dengan needle thorakosentesis di ICS 2 berpotongan

dengan linea midclavicularis, lakukan pemasangan chest tube no 14 di ICS 5,

sambungkan dengan WSD.

e. Abdomen

Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya

pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra

dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala

defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan

dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan

internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,

denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi

bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).

Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,

hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau

uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat

dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG

(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus

gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang

operasi bila diperlukan

f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)

Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik

(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan

masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi

pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis .4

Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,

edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus

dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan

adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis,

utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita,

pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau

laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah

kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20

sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita

usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra

pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle

injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut

jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada

sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi,

dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit
atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,

Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.

g. Ektremitas

Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,

jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur

terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal

dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.

Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas

meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis

pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan . 9Inspeksi pula

adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus

diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada

jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan

hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.

Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.

Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn

ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-

tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya

kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia.

Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan

riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur

torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto
rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan

pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah

1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga

terjadi syok yang dpat berakibat fatal

2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam

keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah

kelainan ini dikenali.

3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah

penderita mulai sadar kembali10

Pada skenario, pasien mengalami fraktur terbuka femur dextra 1/3 tengah dan

terdapat displaced. Prinsip terapi fraktur adalah: rekognisi atau pengenalan,

reduksi (pemilihan keselarasan anatomi untuk tulang fraktur, reposisi),

imobilisasi dan rehabilitasi. Penatalaksaan fraktur terbuka adalah :

 Debridement

 Pemberian tetanus toksoid

 Pemeriksaan kultur jaringan

 Pemberian rawat luka dengan kompres terbuka

 Pemberian antibiotic

 Pemantauan gejala infeksi

 Menutup luka dengan memastikan tidak adanya infeksi

Imobilisasi pada ekstrimitas yang patah.

h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,

memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat

ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung.4 Periksa`adanya perdarahan, lecet,

luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula

pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.

i. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat

kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.

Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.

Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau

saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar

servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur

servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai

terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat

bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita

memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi

neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan

gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat

gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi

(ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau

fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf .5


Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,

parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia

( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula

adanya vertigo dan respon sensori.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus Tension Pneumothorax
yaitu (Menurut NANDA NIC-NOC 2016):
1. Ketidaefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflex spasme otot.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan faktor risiko tempat masuknya organisme
sekunder terhadap trauma.
Intervensi Keperawatan
Dx Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Ketidakefektifan pola NOC : NIC :
nafas berhubungan dengan Respiratory status: Ventilation Terapi Oksigen

ekspansi paru yang tidak Respiratory status: Airway patency 1. Pertahankan jalan nafas yang

maksimal karena Vital sign Status paten

akumulasi udara/cairan Setelah diberikan asuhan keperawatan 2. Monitor aliran oksigen


selama 1x3 jam diharapkan pola nafas 3. Pertahankan posisi pasien
pasien efektif dengan kriteria hasil: 4. Observasi adanya tanda tanda

- tidak ada sianosis dan dyspneu hipoventilasi

(mampu sputum, Vital sign Monitoring


mengeluarkan
mampu bernafas dengan mudah, 1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
tidak ada pursed lips) 2. Monitor kualitas dari nadi

- Menunjukkan jalan nafas yang paten 3. Monitor frekuensi dan irama

(klien tidak merasa tercekik, irama pernapasan

nafas, frekuensi pernafasan dalam 4. Monitor suara paru


rentang normal, tidak ada suara nafas 5. Monitor pola pernapasan

abnormal) abnormal

- Tanda tanda vital dalam rentang 6. Monitor suhu, warna, dan

normal (tekanan darah: Sistole kelembaban kulit

110/120, Diastole 70-80 mmHg; 7. Monitor sianosis perifer


Nadi 60-80x/menit, RR: 8. Monitor adanya cushing triad
16-20x/menit, Suhu: 36-37˚C) (tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)

Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :


dengan trauma jaringan Pain Level Analgesic Administration
dan reflex spasme otot. Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Cek riwayat alergi
selama 1x3 jam nyeri akut teratasi 2. Pilih analgesik yang diperlukan
dengan kriteria hasil : atau kombinasi dari analgesik
1. Melaporkan bahwa nyeri berkurang ketika pemberian lebih dari satu
dari skala 5 menjadi 3 (dari 0-10) 3. Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
4. Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
5. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
6. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
7. Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala (efek samping)

Kerusakan integritas kulit NOC: NIC:


berhubungan dengan Tissue integrity: skin and mucous Pressure ulcer prevention: Wound
trauma mekanik terpasang Wound healing: primary and secondary care
bullow drainage. intention 1. Jaga kulit agar tetap bersih dan
Setelah diberikan tindakan keperawatan kering
selama 1x3 jam diharapkan kerusakan 2. Monitor kulit akan adanya
pada integritas kulit pasien dapat kemerahan
membaik dengan kriteria hasil: 3. Monitor aktivitas dan mobilisasi
- Perfusi jaringan normal pasien
- Tidak ada tanda-tanda infeksi 4. Monitor status nutrisi pasien
- Ketebalan dan tekstur jaringan 5. Observasi luka: lokasi, dimensi,
normal kedalaman luka, jaringan
- Menunjukkan pemahaman dalam nekrotik, tanda-tanda infeksi
proses perbaikan kulit dan mencegah lokal, formasi traktus.
terjadinya cidera berulang 6. Lakukan teknik perawatan luka
- Menunjukkan terjadinta proses dengan prinsip steril
penyembuhan luka
Risiko infeksi NOC : NIC :
berhubungan dengan Risk Control Infection Protection (proteksi
faktor risiko tempat Setelah dilakukan asuhan selama terhadap infeksi)
masuknya organisme 1x3jam risiko infeksi dapat dicegah 1. Monitor tanda dan gejala
sekunder terhadap trauma dengan kriteria hasil: infeksi sistemik dan lokal
1. Klien bebas dari tanda dan gejala 2. Monitor WBC
infeksi 3. Inspeksi kulit dan membran
2. Mengidentifikasi faktor yang dapat mukosa terhadap kemerahan,
menimbulkan resiko panas, drainase
3. WBC dalam batas normal 4. Ispeksi kondisi luka
4. Mempertahankan interaksi sosial 5. Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
6. Dorong masukan cairan
7. Dorong istirahat
8. Beri pasien obat antibiotik

Daftar pustaka

1. American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors.
instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.

2. Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian
Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
3. Delp & manning. Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC. 2008
4. Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support
and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat
118.

5. Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita


Gawat darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

Anda mungkin juga menyukai