Dosen Pengampu:
Dr. Emilia Bassar
Kelas : Q2
Kelompok : 8
Disusun oleh :
DAFTAR ISI...................................................................................................2
ISI.....................................................................................................................3
A. Definisi Konsep/Pengertian Profesi dalam Etika Perfilman.................3
1. Effendi (1986).................................................................................3
2. Himawan Pratista (2008)................................................................3
3. Michael Rabiger (2009)..................................................................3
4. Palapah dan Syamsudin (1986)......................................................3
B. ejarah (secara umum) dan Perkembangan Profesi dalam Etika
Perfilman di Dunia secara Umum dan di Indonesia secara Khusus.....4
a) Perkembangan Etika Perfilman di Dunia.......................................4
b) Perkembangan Etika Perfilman di Indonesia..................................5
C. Prinsip Dasar, Fungsi dan Tugas Profesi dalam Etika Perfilman.........9
D. Kualifikasi dan/atau Kompetensi Profesi dalam Etika Perfilman........9
E. Kode Etik dan/atau Peraturan Profesi dalam Etika Perfilman..............11
a) Undang-Undang Perfilman.............................................................11
b) Latar Belakang Peraturan...............................................................12
c) Dasar Hukum..................................................................................13
F. Contoh berita/artikel tentang Pelanggaran kode etik/etika profesi.......13
G. Pendapat Mahasiswa.............................................................................16
KESIMPULAN...............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18
2
ISI
3
B. Sejarah (secara umum) dan Perkembangan Profesi dalam Etika
Perfilman di Dunia secara Umum dan di Indonesia secara Khusus
a) Perkembangan Etika Perfilman di Dunia
Film yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga hari
ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi. Perkembangan
penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph Nicephore
Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat gambar
pada sebuah lempengan timah yang tebal. Thomas Alva Edison (1847-1931)
seorang ilmuwan Amerika Serikat penemu lampu listrik dan fonograf (piringan
hitam), pada tahun 1887 terinspirasi untuk membuat alat untuk merekam dan
membuat (memproduksi) gambar. Edison tidak sendirian. Ia dibantu oleh George
Eastman, yang kemudian pada tahun 1884 menemukan pita film (seluloid) yang
terbuat dari plastik tembus pandang. Tahun 1891 Eastman dibantu Hannibal
Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dapat dimasukkan ke dalam kamera
pada siang hari. Alat yang dirancang dan dibuat oleh Thomas Alva Edison itu
disebut kinetoskop (kinetoscope) yang berbentuk kotak berlubang untuk
menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan. Lumiere Bersaudara kemudian
merancang peralatan baru yang mengkombinasikan kamera, alat memproses film
dan proyektor menjadi satu. Lumiere Bersaudara menyebut peralatan baru untuk
kinetoskop itu dengan “sinematograf” (cinematographe). Peralatan sinematograf
ini kemudian dipatenkan pada tahun 1895. Pada peralatan sinematograf ini
terdapat mekanisme gerakan yang tersendat (intermittent movement) yang
menyebabkan setiap frame dari film diputar akan berhenti sesaat, dan kemudian
disinari lampu proyektor.
Di masa awal penemuannya, peralatan sinematograf tersebut telah digunakan
untuk merekam adegan-adegan yang singkat. Misalnya, adegan kereta api yang
masuk ke stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.
Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar
berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28
Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di
4
dunia. Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah
dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia
internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai
lahirnya film pertama di dunia.Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami
perkembangan besar bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan
teknologi pendukungnya. Pada awalnya hanya dikenal film hitam putih dan tanpa
suara atau dikenal dengan sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun
1920-an, setelah ditemukannya film bersuara. Film bersuara pertama diproduksi
tahun 1927 dengan judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum
pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul
ditemukannya film berwarna di tahun 1930-an. Perubahan dalam industri
perfilman jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya film
berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga
sesuai dengan sistem penglihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam
efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.
Pada perkembangan selanjutnya, film tidak hanya dapat dinikmati di bioskop
dan berikutnya di televisi, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD (Blue-
Ray), film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata
suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan
perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat jaringan superhighway.
Film kemudian dipandang sebagai komoditas industri oleh Hollywood,
Bollywood dan Hongkong. Di sisi dunia yang lain, film dipakai sebagai media
penyampai dan produk kebudayaan. Hal ini bisa dilihat di negara Prancis
(sebelum 1995), Belanda, Jerman, dan Inggris. Dampak nya adalah film akan
dilihat sebagai artefak budaya yang harus dikembangkan, kajian film membesar,
eksperimen-eksperimen pun didukung oleh negara. Kelompok terakhir ini
menempatkan film sebagai aset politik guna media propaganda negara. Oleh
karena itu di Indonesia Film berada di bawah pengawasan departemen penerangan
dengan konsep lembaga sensor film. Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang
diproduksi berlatar belakang budaya sana, namun film-film tersebut merupakan
ladang ekspor yang memberikan keuntungan cukup besar.
5
b) Perkembangan Etika Perfilman di Indonesia
1900 – 1920-an: Film Masuk ke Indonesia
Sebenarnya tidak ada literatur yang menunjukkan kapan pastinya pertama kali
film masuk ke Indonesia dan ada beberapa sumber yang menyatakan waktu yang
berbeda-beda. Ada sumber yang mengatakan bahwa harian Bintang Betawi pada
Desember 1900 menaruh iklan bioskop di halamannya, yang mana ini dianggap
menunjukkan bahwa saat itu sudah ada film masuk di Indonesia.
Film pada masa itu ditayangkan di bioskop yang terbagi menjadi tiga
golongan kelas, yaitu bioskop khusus untuk orang Eropa, bioskop untuk orang
berstatus menengah ke atas, dan bioskop untuk orang-orang berstatus bawah. Film
dikenal dengan nama Gambar Hidoep di masa penjajahan Belanda, juga
diperkirakan dibawa masuk oleh para pedagang China. Ada beberapa sumber
yang menyatakan bahwa pada tahun 1924, masyarakat Indonesia disuguhkan film
China untuk yang pertama kalinya. Sumber lain juga menyebutkan bahwa adanya
pernyataan dari tokoh Belanda, De Locomotif, yang memberikan usulan untuk
membuat film sendiri pada sebuah surat kabar di tahun 1925 .
6
1955 : Pembentukan FFI
Produksi film di Indonesia terus mengalami perkembangan pesat dari masa ke
masa, ditandai dengan banyaknya jumlah film yang diproduksi dan juga jumlah
bioskop yang didirikan. Pada tahun 1926 hingga 1931 saja, tercatat ada 21 judul
film yang diproduksi dan munculnya total 227 bioskop di seluruh Indonesia.
Karena perkembangan inilah, para tokoh di bidang perfilman yang dipelopori oleh
Djamaludin Malik menggagas untuk membentuk Festifal Film Indonesia atau FFI.
FFI dibuat dengan tujuan lebih mempopulerkan film Indonesia dan memberikan
penghargaan pada insan kreatif yang berkecimpung di dunia sinematografi. FFI
pertama kali diadakan pada tanggal 30 Maret sampai 5 April 1955 sebagai hasil
dari pembentukan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) pada 30 Agustus
1954. Film yang mendapatkan penghargaan terbaik di FFI pertama itu adalah film
karya Usmar Ismail yang berjudul Jam Malam, dimana film ini berisi kritik sosial
tentang mantan pejuang pasca kemerdekaan Indonesia.
1960 – 1970-an : Kelesuan dan Kebangkitan Kembali Perfilman Indonesia
Dunia perfilman Indonesia mulai mengalami kelesuan dan kemunduran di era
1960-an, dimana kondisi politik saat itu sangat memanas dan membuat
terbatasnya ruang gerak seniman film. Pada saat itu bukan saja dunia perfilman
yang mengalami kelesuan, namun hampir semua bidang seni dan budaya
mengalami hambatan untuk menunjukkan kreativitas mereka. Kondisi politik dan
ekonomi yang cukup menekan dan menahan para seniman untuk mengekspresikan
seni pada masa itu, dimana salah-salah mereka malah dituduh membelot
pemerintah.
Keadaan yang suram di era 1960-an mendorong protes dari berbagai tokoh
seni & budaya pada pemerintah dan membuat dikeluarkannya peraturan dari
Menteri Penerangan pada masa itu, Budiharjo, mengenai kebebasan berekspresi
dalam seni. Setelah dikeluarkannya kebijakan tersebut, produksi film di Indonesia
kembali mengalami perkembangan, bahkan meningkat pesat dengan adanya
dukungan modal yang didapat dari sumber film asing. Pada masa itu, film asing
7
yang ingin tayang di Indonesia harus menyerahkan dana sebagai bentuk
kewajiban dalam mendukung perkembangan film lokal
Perkembangan dan peningkatan dalam dunia perfilman nasional ini tentunya
tak lepas dari peranan para tokoh dan sutradar ternama yang berperan penting,
seperti Asrul Sani, C. Noer, Wahyu Sihombing Arifin, dan lain sebagainya.
Kebijakan baru dari menteri penerangan kala itu memang memberikan angin
segar bagi dunia perfilman Indonesia, meski tentunya ada sisi negatif yang harus
diterima. Misalnya saja karena meningkatnya produksi film secara kuantitas,
kualitas film jadi agak berkurang karena kekurangan kru yang menyebabkan
terjadinya overlapping dalam pengerjaan tugas.
8
penghargaan hingga ke kancah internasional dan membuat nama Indonesia
bersinar di dunia perfilman global. Bahkan kini sudah diproduksi beberapa film
animasi yang berkualitas, yang mana tentunya akan menambah keragaman dunia
perfilman Indonesia.
9
seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan kata Indonesia mempunyai arti
nama untuk negara kesatuan Republik Indonesia sebagai pemilik standar tersebut.
Oleh karena itu maka Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang
selanjutnya disebut SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan dan atau keahlian serta sikap kerja minimal yang
harus dimiliki seseorang untuk melakukan tugas/pekerjaan tertentu yang berlaku
secara nasional. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia ini disusun
berdasarkan acuan pola RMCS (Regional Model Competency Standard)
sebagaimana yang telah disepakati oleh negara dikawasan Asia Pasifik .
Nomor urut unit kompetensi Untuk nomor urut unit kompetensi (4), diisi
dengan nomor urut unit kompetensi dengan menggunakan 3 digit angka, mulai
dari angka 001, 002, 003 dan seterusnya pada masing-masing kelompok unit
kompetensi. Nomor urut unit kompetensi ini disusun dari angka yang paling
rendah ke angka yang lebih tinggi. Hal tersebut untuk menggambarkan bahwa
tingkat kesulitan jenis pekerjaan pada unit kompetensi yang paling sederhana
tanggung jawabnya ke jenis pekerjaan yang lebih besar tanggung jawabnya, atau
dari jenis pekerjaan yang paling mudah ke jenis pekerjaan yang lebih komplek.
1. Unit Kompetensi Umum Pada kelompok unit kompetensi umum terdiri 4
(empat) unit kompetensi meliputi : No Kodifikasi Judul Unit Kompetensi 1)
TIK.JK01.003.01 Melaksanakan Pekerjaan Secara Tim 2) TIK.JK01.008.01
Membuat Laporan Tertulis. 3) TIK.JK01.004.01 Melaksanakan dan menjaga
etika profesi. 4) PAR.UJ01.003.01 Mengikuti prosedur kesehatan,
keselamatan dan keamanan di tempat kerja.
2. Kodifikasi Kelompok Unit Kompetensi Inti Pada kelompok unit kompetensi
inti terdiri 3 (tiga) unit kompetensi yang menyangkut operasional Tenaga
Sensor Film, kelompok unit kompetensi ini meliputi: No Kodifikasi Judul
Unit Kompetensi.
1) BUD.TS02.001.01 Meneliti Film Untuk Disensor
2) BUD.TS02.002.01 Menilai Film Untuk Lulus sensor
3) BUD.TS02.003.01 Membuat Laporan Rekomendasi Mengenai Kelayakan
Film Kepada Lembaga Sensor Film 18 3.
Kodifikasi Kelompok Unit Kompetensi Khusus Pada kelompok unit
10
kompetensi inti terdiri 3 (tiga) unit kompetensi yang menyangkut unit penunjang
Tenaga Sensor Film, kelompok unit kompetensi ini meliputi: No Kodifikasi Judul
Unit Kompetensi 1 TIK.JK01.001.01 Melakukan Komunikasi Di Tempat Kerja 2
TIK.OP02.001.01 Mengoperasikan Komputer (Personal Computer – PC) Yang
Berdiri Sendiri (Stand Alone) 3 TIK.MM01.003.01 Memeriksa, Merawat, dan
Memperbaiki Peralatan Melaksanakan Dan Menjaga Etika Profesi DESKRIPSI
UNIT : Unit ini menentukan kompetensi yang diperlukan untuk menjaga
profesionalisme dan etika ketika berhubungan dengan kolega, pelanggan, dan
atasan.
11
professional dan pengetahuan ditingkatkan secara terus menerus.
12
akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi
Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia
perlu dikembangkan dan dilindungi;
iii. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi
kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai
dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;
iv. bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan
dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
v. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman tidak
sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya
sehingga perlu dicabut;
vi. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Perfilman;
c) Dasar Hukum
Dasar hukum UU 33 tahun 2009 tentang Perfilman adalah Pasal 20, Pasal
21, Pasal 28, Pasal 28F, Pasal 28J, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
serta Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
13
Produksi film di Indonesia sejak 1981 telah melakukan peraturan tentang
pembuatan film. Tujuan kode etik ini adalah untuk meminimalisir sensor yang
dilakukan oleh Badan Sensor Film, agar insan produsen film bisa menyaring
sendiri adegan - adegan yang tidak sesuai dengan budaya di Indonesia. UU No 8
tahun 1992 tentang Perfilman menjadi dasar hukum peraturan pembuatan film di
Indonesia. UU ini juga merupakan payung hukum bagi Lembaga Sensor Film atau
LSF.
Dalam Pasal 33 UU Perfilman secara tegas disebut setiap film dan reklame
film yang akan diedarkan, di ekspor, dipertunjukkan, dan ditayangkan wajib
disensor.
Yang dimaksud sensor film menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994
tentang LSF adalah penelitian dan penilaian terhadap film untuk menentukan
dapat atau tidaknya sebuah film atau reklame film dipertunjukkan atau
ditayangkan kepada umum baik secara utuh maupun setelah peniadaan gambar
atau suara tertentu. LSF melakukan penyensoran terhadap semua film, baik film
bioskop maupun tayangan televisi.
Film Headshot adalah film terkenal yang berasal dari Indonesia. Film
headshot bukan hanya terkenal di Indonesia bahkan sampai kelas internasional.
Film ini merupakan film laga atau action yang banyak menampilkan kekerasan
fisik, hingga ada adegan berdarahnya. Pihak Lembaga Sensor Film atau LSF telah
melakukan penyensoran sebanyak tiga kali.
Dalam pasal 6 UU 33/2009, pada umumnya film yang menjadi unsur pokok
kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi antara lain yang
mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Lebih lanjut, menurut pasal 29 ayat (2) dan pasal 30 PP 18/2014, dijelaskan
bahwa penyensoran meliputi isi film dan iklan film dari segi, antara lain
kekerasan, perjudian, dan narkotika. Lalu bagaimana dengan penonton yang
menyukai film laga? Dan merasa terganggu jika banyak adegan yang disensor
sehingga menyebabkan cerita dari film itu tidak nyambung?
Menurut UU Perfilman pasal 57 ayat 2 UU No 33 tahun 2009, surat tanda
lulus sensor diterbitkan setelah dilakukannya penyensoran meliputi : Pertama,
14
penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu
film yang akan diedarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak umum. Kedua,
penentuan kelayakan film dan iklan untuk diedarkan atau dipertunjukkan kepada
khalayak umum. Ketiga, penentuan golongan usia penonton film.
Film Headshot merupakan film action, drama, thriller Indonesia yang
disutradai oleh Mo Brothers (Timo Tjahjanto & Kimo Stamboel). Film headshot
digarap oleh rumah produksi infinite frameworks studios dan diproduseri oleh
Sukhdev Singh bersama Wicky V. Olindo.
Sebenarnya sewaktu kecil Ishmael merupakan anak biasa, tetapi ia diculik
oleh Lee sang gembong penjahat dan membuat Ishmael menjadi orang yang
berbahaya, ia diajar bertarung dan membunuh menggunakan senjata api, senjata
tajam, senjata tumpul, dan senjata apapun yang dapat digunakan untuk bertarung.
Ishmael yang dulunya hanya anak kecil, setelah diculik oleh Lee sekarang
menjadi seorang yang ditakuti oleh banyak orang.
Headshot merupakan film laga, maka sepanjang pemutaran 117 menit,
terdapat berbagai adegan yang terbilang ekstrim bahkan vulgar untuk dilihat.
Seperti Ketika sang pameran utama (Iko Uwais) berkelahi dengan musuhnya
menggunakan tangan kosong, banyak darah yang berserakan.
Ada pula Ketika mereka sedang berkelahi menggunakan senjata tajam,
terlihat senjata tajam tersebut menusuk tubuh para pemain yang sedang berkelahi.
Kemudian ada adegan mereka menggunakan senjata api, ketika saling tembak -
menembak, dari lawan yang terkena tembakan, ada darah yang keluar dari tubuh
korban.
Selain itu, ada pula adegan ketika para penjahat membunuh banyak orang
dengan senjata api hingga darah berserakan dan keluar dari mulut para korbannya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari informan Rommy dan informan Erik yang
mengatakan bahwa adegan - adegan dalam film headshot ini memiliki unsur
kekerasan.
Pengertian kekerasan sendiri merupakan penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan, atau
sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan memar, trauma,
kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan hak.
15
Sutradara Timo Tjahjanto ternyata mengerjakan film action headshot dengan
cukup cepat. Dalam proses pra - produksinya, Timo bahkan hanya butuh waktu
dua minggu untuk menyelesaikan skriptnya dan tiga minggu untuk persiapan
proses syutingnya. Meski demikian, Timo merasa hasilnya cukup memuaskan.
Headshot bisa dibilang menjadi filmnya yang memuaskan setelah lima tahun
absen membuat film feature. Apalagi, kata Timo ia membuat film ini dihadapi
dengan berbagai rintangan yang harus ia lewati selama prosesnya. Tantangan ini
pula yang membuat Timo menjadi begitu tempramen selama syuting.
Timo beralasan, banyak perbedaan yang menjadi tantangan tersendiri yng
harus ia selesaikan agar film headshot juga selesai dengan baik. Namun, Timo
bersyukur di tengah tekanan tersebut, ada sosok sutradara lainnya, yakni Kimo
Stamboel yang menjadi partner dan selalu menenangkannya. Headshot juga hadir
dengan reputasi baik setelah berkelana dalam berbagai festival bergengsi
mancanegara. Salah satunya di Toronto Internasional Film Festival (Kanada).
Film headshot yang sudah benar - benar diakui sebagai film global dan ketika
semua orang teritori wilayah peredaran film diseluruh dunia telah membeli hak
edar film ini merupakan cita - cita sineas Timo Tjahjanto.
16
setelah hasil penyensoran telah muncul, ditentukan klasifikasi usia penontonnya
serta revisi apa saja yang harus ditinjau ulang.
17
KESIMPULAN
Film memiliki definisi sebagai karya seni budaya yang merupakan pranata
sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi
dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.
Film yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga
hari ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi.
Perkembangan penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph
Nicephore Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat
gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal. Pada perkembangan
selanjutnya, film tidak hanya dapat dinikmati di bioskop dan berikutnya di
televisi, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD (Blue-Ray), film dapat
dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata
rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Ada sumber yang mengatakan bahwa
harian Bintang Betawi pada Desember 1900 menaruh iklan bioskop di
halamannya, yang mana ini dianggap menunjukkan bahwa saat itu sudah ada film
masuk di Indonesia.
Kode etik adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh
masyarakat perfilman secara tertulis sebagai landasan dan ukuran tingkah laku
yang harus dipatuhi oleh insan perfilman dalam menjalankan profesinya masing-
masing.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2011. Jdih.kemnaker.go.id:
https://jdih.kemnaker.go.id/asset/data_puu/SKKNI%202011-273.pdf
Anonymous. 2019. UU 33 Tahun 2019 Tentang Perfilman. Jogloabang.com.
[Diakses pada 10 Februari 2022, pukul 19.32]. URL:
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-33-2009-perfilman.
Nahdya, Andi Ridza. 2021. Kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/andi52180/60d1ea20bb448623fd1c5172/pel
anggaran-uu-perfilman-pada-film-headshot?page=all#section2
Sekolah Film.com. URL: http://sekolahfilm.com/SOS%20SKKNI/SOS
%201%20Standar%20dan%2 0Etika%20Profesional%20201406.pdf
Students Indonesia. 2022. Indonesiastudents.com:
https://www.indonesiastudents.com/pengertian-film-menurut-para- ahli-
jenis-dan-manfaatnya/
19