Anda di halaman 1dari 8

BABI DALAM BUDAYA PAPUA

(Pig in The Papua Culture)


Hari Suroto
Balai Arkeologi Jayapura
hariprimitiveart@gmail.com

ABSTRACT
The pig is an integral part of the culture in the highlands of Papua. Nevertheless,
to this day still happening cross of opinion among experts about when the first swine
entered in Papua. This paper will discuss the beginning of pigs in Papua and Papuan
cultural values associated with the presence of a pig. Data was collected with a
literature study, in this paper used descriptive qualitative method. Beginning of the
presence of swine in Papua brought by Austronesian speakers. Pig bones found in
cave sites north coast of Papua. The presence of pigs in Papua are very influential
in Papuan culture.

Keywords: Pig, Papua, Culture value

ABSTRAK
Babi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya di daerah dataran
tinggi Papua. Meskipun demikian, sampai hari ini masih saja terjadi persilangan
pendapat antar para ahli mengenai kapan pertama kali babi masuk di Papua.
Tulisan ini akan membahas awal mula babi di Papua dan nilai-nilai budaya Papua
yang terkait dengan keberadaan babi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
studi kepustakaan, dalam tulisan ini digunakan metode deskriptif kualitatif. Awal
mula keberadaan babi di Papua dibawa oleh penutur Austronesia. Tulang-tulang
babi ditemukan di situs-situs gua pesisir utara Papua. Keberadaan babi di Papua
sangat berpengaruh pada budaya Papua.

Kata kunci: babi, Papua, nilai budaya

Tanggal masuk : 17 April 2014


Tanggal diterima : 2 Juni 2014

Jurnal Arkeologi Papua | Vol. 6 Edisi No. 1 Juni – 2014 37


PENDAHULUAN babi dan penyebarannya secara
besar-besaran sebagai hewan hasil
Kehadiran manusia pertama domestikasi (hewan yang sudah
kali di Papua sekitar 50000 tahun dijinakkan).
yang lalu, tetapi hewan mamalia yang Kemungkinan besar hal ini terjadi
diintroduksi baru tiba belakangan. ketika ada babi-babi liar yang berhasil
Kontroversi masih tetap ada perihal melintasi lautan dan sampai di Papua.
waktu kedatangan babi pertama, suatu Atau, mungkin saja babi-babi ini dibawa
unsur integral dalam banyak budaya oleh imigran tak dikenal yang tiba di
lokal. Babi yang ada di Papua saat Pulau Papua sesudah kedatangan
ini dikenal sebagai jenis Sus Scrofa orang Papua namun sebelum
Papuensis. Babi merupakan bagian kedatangan orang Austronesia. Atau
yang tak terpisahkan dari budaya di ada kemungkinan juga bahwa babi-
daerah dataran tinggi Papua. Meskipun babi itu dibawa masuk oleh orang
demikian, sampai hari ini masih saja Papua sendiri dalam kurun waktu yang
terjadi persilangan pendapat antar relatif belum terlalu lama. Dikemukakan
para ahli mengenai kapan pertama kali bahwa barangkali ada orang Papua
babi masuk di Papua. yang mengadakan migrasi kembali ke
Waktu yang diajukan sebagai tiga wilayah di Indonesia: Halmahera,
saat pertama kali masuknya babi ke Alor dan Timor dan saat kembali ke
Papua adalah sekitar 10000 tahun yang Papua, mereka membawa babi-babi
lalu, tetapi bukti lain mengajukan 6000 dari ketiga tempat ini bersama mereka.
tahun yang lalu, namun belum dapat Dengan berbagai kemungkinan
dipastikan secara definitif. Dengan jawaban seperti dipaparkan di atas,
demikian jenis babi yang kini sudah tetap saja belum ada satu jawaban
indigenous atau asli kemungkinan pun yang benar-benar diterima dan
adalah persilangan antara babi dianggap sebagai jawaban yang
hutan biasa, Sus scrofa dan yang ‘memuaskan’ terhadap pertanyaan
kemudian datang atau diintroduksi dari ‘kapan babi pertama kali masuk di
Sulawesi yakni babi hutan Sulawesi, Papua’. Terlepas dari semua itu,
Sus celebensis, yang dahulunya semua data penelitian ilmiah tentang
merupakan jenis endemik Sulawesi. ‘masuknya babi di Papua’ selalu
Babi-babi ini dipelihara dan hingga kini mengindikasikan waktu di atas 4000
masih merupakan simbol status dan tahun yang lalu. Dengan kata lain, tak
sumber kemewahan atau kekayaan ada data ilmiah tentang keberadaan
untuk semua daerah di pedalaman babi di Papua sebelum 4000 tahun
pada dataran tinggi (Muller, 2005:170). yang lalu (Muller, 2008:56). Walaupun
Meski telah ditemukan tulang belum ada waktu pasti tentang kapan
babi dari zaman pra-Austronesia di pertama kali babi masuk ke dataran
beberapa situs arkeologi di Papua New tinggi Papua, tetap bisa dipastikan
Guinea, penemuan tersebut belum bahwa babi (bersama-sama dengan
mendapat pengakuan internasional anjing dan ayam) dibawa masuk
tentang keabsahannya. Walau hasil ke Papua oleh kelompok migran
temuan itu belum sepenuhnya diakui, Austronesia (Muller, 2008:25) pada
namun berbagai pihak setidaknya 1500 hingga 1000 SM (Suroto, 2010: 55).
sepakat bahwa apabila memang telah Babi di berbagai tempat di
ada babi di Papua diperkirakan terbagi Papua tidak hanya sekedar sebagai
atas dua fase. Fase pertama terjadi sumber pendapatan belaka. Babi juga
sekitar 6000 tahun yang lalu-yang menjadi “simbol” status kekayaan.
berarti, sebelum orang Austronesia. Babi dipergunakan dalam acara ‘tukar
Fase kedua adalah masa masuknya

38 Jurnal Arkeologi Papua | Vol. 6 Edisi No. 1 Juni – 2014


daging babi’ dan dagingnya selalu awal mula babi di Papua dan nilai-
menjadi menu utama dalam setiap nilai budaya Papua yang terkait
acara pesta jamuan yang mereka dengan keberadaan babi. Teknik
adakan. pengumpulan data dilakukan dengan
Babi adalah sumber protein studi kepustakaan, dalam tulisan ini
hewani dan bagian dari ritual. Babi digunakan metode deskriptif kualitatif.
peliharaan telah dan tetap menjadi
simbol prinsip nyata akan kemakmuran Nilai Sakral Babi
material di wilayah pegunungan
Papua. Pembantaian sejumlah besar Orang Dani mengadakan pesta
babi masih merupakan bagian penting jamuan besar-besaran, banyak babi
dalam ritual setempat, sebagai tolak yang disembelih, untuk menghormati
ukur kemakmuran sosial dan ekonomi. tamunya. Pada pesta jamuan itu, para
Tradisi menyantap babi telah menjadi tetua adat dan tamu bersama-sama
ikatan sosial dan religi bagi penduduk memakan hati babi sebagai bagian
Papua secara luas. Pembagian daging dari ritual perlambang adanya ikatan
babi yang sudah dimasak menentukan persaudaraan. Pada akhirnya, para
besarnya nilai pentingnya tradisi tetua adat Dani memercikkan darah
mereka dalam melaksanakan ikatan babi.
antara klan. Sepanjang perayaan Bagi orang Yali, babi memiliki
masyarakat Papua di dataran tinggi nilai yang lebih tinggi daripada ubi
akan mengkonsumsi daging dalam jalar. Babi mempunyai arti dan nilai
jumlah besar, namun tidak demikian secara mitologis dan digunakan untuk
halnya di waktu-waktu lainnya. upacara-upacara adat, sebagai alat
Di dataran tinggi, mengebiri pembayaran dan merupakan satu-
babi jantan dengan pisau bambu satunya sumber daging yang tetap.
saat baru berusia beberapa minggu Babi adalah satu-satunya binatang
adalah hal umum. Babi jantan yang piaraan rumah yang dikenal orang Yali,
dikebiri biasanya mudah diatur, selain beberapa ekor anjing. Semakin
jauh lebih mudah bagi wanita untuk banyak babi yang dimiliki seorang
mengurusnya. Hanya sejumlah kecil pria, semakin besar kekayaannya
babi jantan yang tidak dikebiri demi dan semakin tinggi statusnya. Istri
kepentingan pembiakan. Babi hutan dibeli dengan babi, persahabatan dan
liar jarang ditemukan dekat kawasan hubungan dagang dipererat dengan
pemukiman untuk dijadikan pejantan pemberian babi dan kesalahan
bagi ternak betina. diselesaikan dengan pembayaran babi
Dalam tradisi masyarakat pula. Hal menjaga dan memelihara babi
pegunungan Papua, babi menjadi adalah urusan wanita. Babi sedemikian
simbol kekayaan, bahkan lambang penting artinya bagi orang Yali,
kekuasaan. Babi merupakan prasyarat sehingga pada situasi-situasi tertentu
utama dalam setiap pesta kawin untuk mempertahankan hidup seekor
maupun pesta jamuan. Untuk pesta anak babi juga disusui oleh seorang
kawin, babi termasuk mas kawin yang wanita sebagaimana anak kecil. Babi
sangat penting nilainya. Dalam jamuan, juga tidur di bagian belakang pondok
daging babi dibagi-bagikan sebagai kaum wanita.
simbol persaudaraan dan persekutuan. Perang suku yang kerap
Memasak babi serta memerciki para terjadi di Timika didamaikan dengan
tamu dengan darah babi sebagai tanda mengorbankan beberapa ekor babi
persahabatan. perdamaian. Sedangkan di masyarakat
Tulisan ini akan membahas Suku Arfak babi perdamaian banyak
digunakan dalam menyelesaikan

Jurnal Arkeologi Papua | Vol. 6 Edisi No. 1 Juni – 2014 39


sengketa perzinahan (Mulyadi, 2012: upacara ritual. Pesta babi sangatlah
93). Untuk mengatasi permusuhan penting bagi Suku Marind, digambarkan
atau konflik di atas adalah dengan dalam upacara inisiasi anak laki-laki
cara menggunakan babi perdamaian. dan kaum wanita memiliki pesta babi
Laki-laki yang melakukan kesalahan mereka sendiri. Selama pertukaran
atau perzinahan menyiapkan babi di makanan diantara sekeluarga dan
halaman rumahnya. Pada waktu suami klan, babi-babi merupakan aset
dan istri korban datang menyerang utama tetapi tidak harus ada. Babi
langsung membunuh babi dengan juga terkait erat dengan ilmu sihir,
panah dan parang sampai mati, tubuh termasuk peperangan. Babi peliharaan
babi dipotong sampai hancur. Setelah diberi nama-nama berdasarkan
itu kepala suku turun tangan untuk nama tempat-tempat yang dikunjungi
mendamaikan kedua belah pihak yang ketika pergi mengayau. Suku Marind
bersengketa dan dijamin tidak terjadi juga menghubungkan babi dengan
lagi perselisihan, Ini artinya, emosi pemujaan arwah leluhur mereka. Babi-
kemarahan kepada pelaku dialihkan babi dipotong di atas kuburan dengan
kepada ternak babi sehingga tidak darah menetes di atas mayat. Pesta
terjadi korban manusia. babi merupakan penghargaan terakhir
Bagi Suku Kamoro, perburuan bagi yang meninggal, kemudian
babi masih merupakan bagian dari kuburan tersebut menjadi sesuatu
ritual inisiasi. Selama tahun awal dari yang terlupakan. Di Pulau Kimaam,
periode ritual ini (setiap empat sampai babi dibunuh untuk upacara ritual
enam tahun), sekelompok lelaki anak-anak, dimana anak lelaki duduk
Kamoro pergi keluar kampung untuk di atas babi, saat hewan itu disembelih
berburu babi liar di lokasi-lokasi tempat dengan satu kali ayunan kapak (Muller,
dimana mereka telah menebang 2011:20).
pohon-pohon sagu. Saat mereka Kepercayaan suku Eipomek
berburu, ukiran kayu berbentuk babi menyebutkan bahwa babi adalah salah
kecil diberi ‘makan’ sagu sebagai alat satu leluhur. Sebagai bentuk pertalian
magis agar menarik perhatian babi- antara klan tersebut dengan leluhur ini,
babi liar. Dengan kegembiraan yang sekitar sepertiga dari suku Eipomek
luar biasa, wanita-wanita di kampung dilarang mengkonsumsi babi. Legenda
akan menyambut para lelaki yang masyarakat pegunungan yang lain
berhasil membawa pulang potongan- mengisahkan bahwa babi-babi
potongan besar daging babi yang bersama dengan manusia keluar dari
mereka bunuh (Muller, 2011:19). gua leluhur di Lembah Baliem. Diyakini
Hewan babi bertalian dengan bahwa babi dapat digunakan sebagai
mitos suku Marind-anim dan merupakan korban persembahan bagi arwah,
suatu lambang bagi beberapa marga menggantikan manusia. Apabila kaum
mereka. Salah satu makhluk gaib wanita atau anak-anak Suku Yali tidak
khusus, yakni Nazr, menjadi pelindung sengaja mendengar kata-kata sakral
sekaligus pembunuh babi-babi. Pelangi yang terlarang, maka telinga mereka
terjadi dari darah seekor babi besar harus dibersihkan dengan lemak babi.
yang memercik ke langit. Suku Marind Dalam kehidupan sehari-hari
memelihara lebih banyak babi sebagai Suku Yali tidaklah memakan babi.
makanan dalam upacara-upacara Babi adalah sesuatu yang jarang
dibandingkan dengan penduduk Papua dan berharga di daerah Yalimo yang
pesisir selatan lainnya: salah satu agak tandus (Reuter, 2010:152). Babi
sumber menjelaskan bahwa 30 hingga hanyalah dimakan pada acara-acara
50 ekor babi dibunuh dalam satu hari khusus seperti kemenangan perang,

40 Jurnal Arkeologi Papua | Vol. 6 Edisi No. 1 Juni – 2014


upacara adat dan perkawinan. Untuk yang lebih berharga di dataran tinggi.
itu banyak orang yang datang dan Di banyak daerah, mereka dibunuh
makanan dimasak dalam sebuah dengan sebuah busur dan anak panah.
lobang di tanah dengan bakar batu. Ada kalanya hewan ini dibunuh dengan
cara dipukul hingga mati.
Nilai Ekonomi Hylkema (1974) menyatakan
tentang peranan babi dalam
Pentingnya nilai sosial dan masyarakat Ngalum meskipun, dalam
ekonomi hewan babi bagi penduduk kaitan dengan babi, bukan merupakan
Papua di dataran tinggi, baik di masa hal biasa untuk berbicara tentang
lalu maupun sekarang sangatlah kedudukan sosial, namun dalam kaitan
jelas. Untuk memperlihatkan betapa tersebut tempat yang diberikan orang
pentingnya, babi-babi kerap diberi kepada babi dalam masyarakat justru
nama. Hewan ini juga diklasifikasikan demikian maksudnya. Babi memang
berdasarkan ukuran besar dengan bermanfaat untuk orang, tetapi di
patokan harga tetap dalam perhitungan samping itu orang bersedia membuat
mata uang lama dari kulit kerang dirinya berjasa terhadap babi: babi
cowrie. dihormati.
Peters (1965) menyatakan Babi bagi Suku Ngalum
bahwa orang Dani tidak makan merupakan binatang penting dalam
daging babi secara reguler. Orang berbagai upacara, dan merupakan
Dani jarang memotong babi hanya lambang kedudukan sosial dan
dengan tujuan hanya ingin makan ekonomi. Babi diperdagangkan
dagingnya. Memotong dan memakan dan berfungsi sebagai mas kawin
babi selalu terikat pada peristiwa (Roembiak, 1994:320). Pemimpin adat
sosial yang penting, seperti upacara Suku Mek disebut tonowi, kedudukan
pembakaran mayat, perkawinan, dan sebagai tonowi diperoleh atas upaya
upacara inisiasi. Kecuali kalau babinya sendiri, salah satunya adalah memiliki
mengidap penyakit atau merupakan banyak babi (Yam dan Howay,
hasil curian; dalam hal tersebut 1994:249).
dagingnya harus dikonsumsi secepat Pertukaran babi bagi suku
mungkin. Kesempatan memakan babi Yali akan menjadi suatu upacara
yang paling sering berulang adalah persahabatan. Membagikan potongan
pada upacara pembakaran mayat. daging babi dalam beragam perayaan
Kesempatan unik lain dimana setiap dapat mempererat ikatan antar individu
orang baik laki maupun perempuan atau kelompok. Pemberian daging
ataupun anak memakan babi selama babi akan mendapatkan balasan yang
beberapa minggu berturut-turut adalah sama atau lebih baik dari penerima di
pada pesta babi besar yang diadakan kemudian hari. Selain menciptakan
secara berkala. hubungan sosial, babi juga dapat
Masyarakat Papua di dataran menimbulkan pertikaian.
tinggi memelihara babi-babi yang Babi diberi makan ubi jalar,
akan dibunuh sewaktu festival atau sehingga bagi masyarakat pig centered
kesempatan penting lainnya. Ternak tentu saja ubi jalar merupakan
babi sangat penting bagi aspek ritual tanaman yang sangat berharga
dan kehidupan sosial masyarakat (Golson dan Gardner, 1990: 408). Ubi
dataran tinggi sementara orang-orang jalar yang dijadikan sebagai pakan
Papua di pesisir selatan hanya berburu babi berkarakteristik umbi besar, kulit
babi liar dan kadangkala memelihara pecah-pecah, berserat, rasa tawar,
anak babi ketika induknya terbunuh. bertekstur keras atau lembek sekali
Babi-babi menjadi sumber protein

Jurnal Arkeologi Papua | Vol. 6 Edisi No. 1 Juni – 2014 41


(Suroto, 2013:90). Babi dibiarkan tidur sekitar 10 cm dengan sebuah anak
di sekitar tempat tinggal pemiliknya, panah yang diarahkan tepat pada
siang hari babi-babi itu dibiarkan jantungnya. Setelah itu babi dipotong-
berkeliaran mencari makan sendiri. potong dagingnya sesuai dengan
Tempat terbaik untuk mencari cara yang telah ditentukan adat, lalu
makan adalah kebun-kebun ubi dimasak dengan cara menimbunnya
jalar. Meski kebun itu dipagari, babi dengan batu panas. Guna keperluan
adalah hewan besar yang cukup itu mereka membuat sebuah lubang
pandai. Mereka bisa merobohkan dan dalam tanah berdiameter sampai satu
menerobos masuk melalui bagian meter. Dasar lubang dilapisi dengan
pagar yang rapuh. Bila tertangkap rumput dan daun ubi, dan kemudian
pemilik kebun, babi itu bisa dibunuh. dilapisi dengan batu-batu yang
Sehingga kerap menjadi potensi konflik membara hingga tampak putih.
antara peternak babi dan pemilik lahan Satu keluarga Suku Arfak
ubi jalar. Karena semua keluarga biasa memelihara babi, dua hingga
memelihara babi dan menggarap empat ekor. Babi diperoleh dengan
kebun ubi jalar, potensi konflik pun kian membeli calon induk, pembayaran
besar. Peperangan bisa terjadi karena mas kawin, pembayaran denda adat,
adanya babi-babi yang menerobos dan hadiah. Masing-masing babi diberi
kebun-kebun ubi jalar. nama oleh pemiliknya sesuai dengan
Diperlukan waktu sekitar dua latar belakang peristiwa ternak babi
hingga tiga tahun bagi ternak babi tersebut diperoleh atau sesuai dengan
untuk mencapai maksimal, siap untuk warna kulit, besar, dan nama anggota
disembelih. Jika selain mencari makan keluarga atau nama lingkungan
sendiri babi juga diberi makan secara alam yang ada di sekitar pemukiman
normal maka pertambahan berat badan setempat. Pemberian nama pada babi
mencapai 50 gram per hari. Namun akan mengakrabkan hubungan pemilik
bila diberi makan yang mengandung dengan babi. Babi yang sedang berada
protein, pertambahan berat badannya jauh dari pemiliknya, bila dipanggil
bisa mencapai setengah kilogam per namanya maka akan segera babi-
hari untuk semua ternak babi dengan babi tersebut berdatangan mendekati
mengabaikan berat badan ataupun orang memanggil namanya (Mulyadi,
usia. Kondisi ini berlaku pada semua 2012:94).
jenis babi kecuali yang sedang Di wilayah dataran tinggi, jumlah
menyusui bisa bertambah berat babi yang dibunuh secara langsung
mencapai satu kilogram setiap hari. menjadi tolok ukur tentang seberapa
Wanita Marind dan Kimaam penting orang yang meninggal.
memelihara semua jenis babi. Babi Semakin banyak babi yang dipelihara,
jantan dikebiri agar menjadi penurut. semakin tinggi pula gengsi serta nilai
Babi-babi diperhatikan dan dimanja, kekayaan pemiliknya. Sebagian dari
bertolak belakang dengan perhatian kekayaan ini biasanya digunakan
kepada anjing-anjing pemburu yang untuk memperbanyak jumlah istri yang
handal. Lain halnya dengan kehidupan menandakan meningkatnya poligami
sosial dan dan aktivitas ritual yang termasuk peningkatan status dan
penting bagi suku Me berpusat pada pengaruh politik.
pertukaran harta perolehan seperti babi Dalam upacara adat suku
dan benda berharga lannya dengan Dani, seperti perkawinan, kematian,
kulit kerang-kerangan. pelantikan kepala suku, penyambutan
Suku Dani membunuh babi tamu, pesta panen, dan festival
dengan cara menembaknya dari jarak budaya, babi (wam) dan ubi jalar

42 Jurnal Arkeologi Papua | Vol. 6 Edisi No. 1 Juni – 2014


dimasak dengan cara ”bakar batu” tajamannya.
(wam ebe ekho) (Peter, 2001:4). Buah merah dipotong menjadi
Persiapan bakar batu itu diawali dua menggunakan pisau tulang babi,
dengan pemanasan batu-batu dalam kemudian daging buahnya dibersihkan
perapian dan pemotongan babi-babi hingga tersisa kulit luar. Daging buah
dalam bagian-bagian kecil. Batu- berwarna putih kekuningan dan tidak
batu yang sudah sungguh panas itu bisa dimakan. Daging buah merah
kemudian diambil dengan sebuah ‘tang ini dikeruk menggunakan pisau
alami” (berupa dua potong kayu) dan tulang babi. Setelah itu, buah merah
diletakkan ke dalam lobang di tanah dibersihkan langsung dibakar bersama
sebagai lapisan pertama. Di atasnya ubi-ubian dalam acara bakar batu
kemudian diletakkan daun-daun pisang dan diletakkan di bagian paling atas.
dan kemudian diatasnya lagi lapisan Setelah matang, buah merah belum
pertama dengan ubi jalar. Sayuran bisa dimakan, namun masih harus
dan bagian-bagian daging babi yang diolah lagi untuk dijadikan kuah sayur.
kemudian ditutupi kembali dengan Setelah buah merah dirasa cukup
dedaunan. Kemudian ditaruh lapisan matang, barulah buah merah diperas
kedua batu-batu panas, kemudian dan air perasannya direbus untuk
dedaunan, lapisan kedua bahan dijadikan kuah sayur.
makanan kemudian ditutupi kembali
dengan batu-batu panas. Demikianlah
seterusnya dan di bagian paling atas PENUTUP
batu-batu panas kembali. Bukit batu Awal mula keberadaan babi di
panas ini kemudian dibiarkan memasak Papua dibawa oleh penutur Austronesia
selama dua jam dan kemudian dibuka. yang bermigrasi ke wilayah ini. Tulang-
tulang babi ditemukan di situs-situs gua
Peralatan Hidup pesisir utara Papua. Pada mulanya
Tulang babi dimanfaatkan oleh babi dipelihara di wilayah pesisir,
orang Papua sebagai bahan peralatan dalam perkembangan selanjutnya babi
hidup. Suku Kombai di Boven Digoel berkembang biak dan menyebar ke
memanfaatkan gigi, taring seri babi seluruh daratan Papua. Keberadaan
sebagai perhiasan tubuh. Cara babi di Papua sangat berpengaruh
pembuatannya yaitu pangkal gigi pada budaya Papua. Nilai-nilai budaya
seri dilubangi untuk dijadikan kalung, yang terkait dengan keberadaan
sedangkan taring babi digunakan babi yaitu “simbol” status kekayaan,
untuk hiasan hidung. ekonomi, sosial, ritual.
Alat tulang babi digunakan
sebagai pisau oleh suku Lani di
Mamberamo Tengah untuk memotong
dan membelah buah merah. Teknik
pembuatannya yaitu pemecahan tulang
menggunakan alat tumpul. Kemudian
dilanjutkan dengan pengerjaan lebih
lanjut yaitu teknik pangkas yaitu dengan
cara memangkas bagian ujung untuk
kemudian dilakukan peruncingan pada
distal. Untuk membentuk artefak sesuai
dengan yang diinginkan, diperlukan
penghalusan melalui penggosokan
pada bagian yang digunakan sebagai

Jurnal Arkeologi Papua | Vol. 6 Edisi No. 1 Juni – 2014 43


DAFTAR PUSTAKA

Brongersma, L.D. 1956. Dieren Van Nieuw-Guinea. Groningen: J. B. Wolters.

Golson, J. dan D. S. Gardner. 1990. Agriculture and Sociopolitical Organization in


New Guinea Highlands Prehistory. Annual Review of Anthropology. Vol. 19.
Hlm. 395-417.
Hylkema, S. 1974. Laki dalam Tas Jala – Orang – dan Gambaran tentang Dunia dari
Orang Ngalum (Pegunungan Bintang). s’ Gravenhage.
Lekitoo, Hanro Yonathan. 2012. Potret Manusia Pohon. Jakarta: Balai Pustaka.
Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books.
Muller, Kal. 2005. Keragaman Hayati Tanah Papua. Manokwari: Universitas Negeri
Manokwari.
Muller, Kal. 2011. Pesisir Selatan. Daisy World Books.
Mulyadi. 2012. Budaya Pertanian Papua Perubahan Sosial dan Strategi
Pemberdayaan Masyarakat Arfak. Yogyakarta: Karta Media.
Peters, H. L. 1965. Beberapa Bab dalam Kehidupan Sosial-religius Suatu Kelompok
Dani. Venlo.
Peter, J. 2001. Local Human-Sweet Potato-Pig Systems Characterization and
Research in Irian Jaya, Indonesia. A Secondary Literatur Review. International
Potato Center (CIP) Support from ACIAR. Hlm. 1-77.
Reuter, Susanne. 2010. Ketika Injil Bersinar di Yalimo. Wahine Germany.
Roembiak, M. D. E. 1994. Masyarakat Ngalum di Daerah Pegunungan Bintang
dalam Koentjaraningrat (ed) Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk.
Jakarta: Djambatan. Hlm. 313-333.
Suroto, Hari. 2010. Prasejarah Papua. Denpasar: Udayana University Press.
Suroto, Hari. 2013. Revolusi Ubi Jalar di Lembah Baliem dalam Simon Abdi K. Frank
dan Bau Mene (ed.), Kebudayaan Papua: Tradisi, Sistem Pengetahuan,
dan Pembangunan Jati Diri. Balai Arkeologi Jayapura.
Yaam, P. dan O. Howay. 1994. Masyarakat Mek di Sekitar Danau Paniai dalam
Koentjaraningrat (ed) Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta:
Djambatan. Hlm. 245-257.

44 Jurnal Arkeologi Papua | Vol. 6 Edisi No. 1 Juni – 2014

Anda mungkin juga menyukai