Anda di halaman 1dari 10

Hewan- Hewan yang Dipergunakan

Sebagai Sarana Pelengkap Upakara di Bali

Nama Kelompok:
1. I Gede Yeyen Suharta

(1608531025)

2. Indah Tria Hoky

(1608531037)

3. Ni Luh Ariska Wulandari (1608531041)


4. Nyoman Mega Antari

(1608531044)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA
2016

Kajian Pustaka
1. Ayam

Cr: artikelcarupancasatabali.html
Taksonomi ayam
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Famili : Phasianidae
Genus : Gallus
Spesies : G. Gallus
Dalam masyarakat bali, ayam sudah tidak asing lagi digunakan dalam memenuhi
kebutuhan. Seperti sebagai bahan makanan, hewan peliharaan, dan dijadikan sebagai
sarana dalam melengkapi suatu upacara atau ritual. Masyarakat bali sangat melindungi
keberadaan ayam. Karena ayam di bali digunakan sebagai pelengkap upacara caru. Kata
caru dalam bahasa jawa kuno atau kawi berarti korban, dalam hal ini yang dijadikan
korban adalah binatang, sedangkan dalam bahasa sansekerta kata car artinya
keseimbangan atau keharmonisan. Jadi caru dapat diartikan korban(binatang)

yang

digunakan untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan , dan terwujudnya Tri Hita

Karana. Banten caru berfungsi sebagai penetral alam semesta atau bhuwana agung. Caru
bisa dikaitkan dengan proses pemplaspas dan pengenteg linggihan.
Dalam upacara caru ini, digunakan ayam betina sejumlah lima ekor dengan warna
yang berbeda,

atau sering disebut

dengan caru panca warna. Ayam ini

biasanya

digunakan untuk caru panca sata. Lima ekor ayam ini digunakan sebagai simbol lima
arah mata angin. Sehingga ada aturan untuk penempatan caru panca sata. Arah
timur(purwa) digunakan ayam berwarna putih sebagai lambang dewa Iswara dengan urip
5. Arah selatan(daksina) menggunakan ayam berwarna merah atau biing sebagai simbol
dewa Brahma dengan urip 9. Arah barat(pascima) menggunakan ayam berwarna kuning
atau putih suingan sebagai simbol dewa Mahadewa dengan urip 7. Arah utara(uttara)
menggunakan ayam berwarna hitam atau selem sebagai simbol dewa Wisnu dengan urip
4. Dan yang terakhir arah tengah (madya) menggunakan ayam berwarna brumbun
sebagai simbol dewa Siwa dengan urip 8. Caru ini biasanya dilakukan saat perombakan
suatu tempat atau saat upacara piodalan di pura.

Cr: artikelcarupancasatabali.html
Pendapat tentang dipakainya ayam sebagai sarana Upakara:
Menurut saya penggunaan ayam sebagai sarana upacara tidak menimbulkan kerugian.
Karena ayam harus ada dalam upacara tersebut dan digunakan sebagai simbol utama dalam
persembahan. Jika dalam upacara caru tersebut tidak dilengkapi dengan ayam, maka makna dari
upacara tersebut kurang. Selain itu penggunaan ayam juga tidak merugikan ekosistem dan tidak
mengganggu keseimbangan alam. Masih banyak populasi ayam yang diternakan oleh
masyarakat. Sehingga tidak akan kekurangan persediaan ayam.

2. Bebek
Taksonomi Bebek

Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Aves

Ordo

: Anseriformes

Family

: Anatidae

Genus

: Cairina

Species

: C. moschata ( itik liar )

Cr : upacartauragungkesange2012.html
Itik/bebek sangat berperan penting disetiap kegiatan keagamaan umat Hindu di Bali.
Dalam kitab Sarasamuscaya dinyatakan bahwa bebek/itik sebagai hewan yang bijaksana. Itik
bisa makan nasi campur lumpur, tetapi yang masuk ke perutnya hanya nasi saja. Penggunaan itik
dalam upacara agama Hindu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan wiweka jnyana atau
kemampuan untuk membedakan mana yang baik, mana yang buruk , mana yang pantas dan
mana yang tidak pantas. Itik sebagai simbol guna sattwam. Kegunaan bebek dalam upacara
agama Hindu di Bali sebagai berikut :
1. Upacara Caru Panca Sanak
Caru Panca Sanak adalah bagian dari Bhuta Yadnya yang berfungsi untuk
mengharmoniskan areal palemahan atau wilayah yaitu :
a. Mengharmoniskan Bhuta Kala yang dibawah kekuasaan Dewa Rudra.
b. Dipergunakan pada caru-caru penakluk merana yang diselenggarakan di
penangkalan desa pada sasih keenam.

Tetandingan nya menggunakan ayam dengan lima warna, dengan tambahannya seekor
meri/bebek dan seekor binatang berkaki empat.
2. Bebek bulu sikep untuk Bhuta Lambukan
3. Bebek belang kalung untuk Panca Mahabhuta.
Pendapat tentang dipakainya bebek sebagai sarana Upakara:
Menurut saya penggunaan bebek dalam upacara agama tidak berpengaruh dalam ekosistem
karena masih bisa berkembangbiak. Dan menurut saya kegiatan penggunaan bebek dalam
upacara membawa pengaruh positif bagi lingkungan hidup secara non ilmiah, meski tidak bisa
dibuktikan secara ilmiah. Namun betahun-tahun bebek telah dipakai salah satu sarana wajib
dalam caru panca kelud untuk menjaga kebersihan dan keseimbangan lingkungan secara niskala
(keagamaan).

3. Babi

Cr: www.nusabali.com
Ada beberapa mamalia yang umum kita jumpai saat ini. Salah satunya adalah babi. Babi
merupakan jenis hewan vertebrata yang memiliki karakteristik bermoncong panjang dan
berhidung lemper atau datar. Mamalia ini merupakan hewan yang aslinya diperkirakan berasal
dari Eurasia. Sebagai hewan omnivora, mereka mengonsumsi baik daging maupun tumbuhtumbuhan. Disamping itu, babi adalah salah satu mamalia yang paling cerdas, dan dilaporkan
kecerdasan babi melebihi kecerdasan yang dimiliki oleh anjing ataupun kucing. Oleh karena itu,
babi menjadi pilihan alternatif bagi penyayang binatang dalam memilih hewan peliharaan.
Selama ribuan tahun, babi telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh manusia. Babi
sendiri sebenarnya telah umum diternakan dan dikonsumsi oleh orang Eropa dan orang Asia.

Bahkan pada masa ini pun olahan dari daging babi cukup umum dijumpai di nusantara. Beberapa
suku bangsa di Indonesia yang masih menjalankan tradisi leluhur mereka masih mengonsumsi
babi sebagai makanan keseharian, ataupun digunakan sebagai sebuah persembahan dalam ritual
adat tertentu.
Taksonomi Babi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Mamalia

Ordo

: Artiodactyla

Famili

: Suidae

Genus

: Sus

Spesies

: Sus scrofa
Salah satu olahan babi yang terkenal di Nusantara, terutama di Bali adalah babi guling.

Babi guling atau yang biasa disebut be guling adalah sejenis makanan yang diolah dari bahan
dasar daging dari anak babi betina atau jantan. Perut babi tersebut dibedah kemudian diisikan
dengan bumbu dan sayuran seperti daun ketela pohon dan lalu dipanggang sambil diputar-putar
(diguling-gulingkan). Matangnya babi guling ditandai dengan perubahan warna kulit babi
menjadi kecokelatan dan bertekstur renyah. Pada mulanya babi guling hanya dimasak dan
digunakan untuk sajian pada upacara, baik upacara adat maupun upacara keagamaan. Meski
begitu, pada masa ini hidangan babi guling telah dijual atau dikomersialkan secara besar di
warung-warung, rumah makan, bahkan hotel berkelas sekalipun. Meski digemari oleh banyak
orang, olahan babi guling atau panggang jarang ditemukan secara umum karena Indonesia adalah
negara yang mayoritas penduduknya menganut Islam. Di Bali babi guling biasanya disajikan
dengan nasi lawar dan menjadi salah satu hidangan populer di restoran dan warung Bali.
Selain dikonsumsi sebagai bahan pangan, babi guling digunakan sebagai sebuah sarana
atau persembahan dalam upacara adat atau tradisi ritual di Bali. Salah satu contoh nyata
penggunaan babi guling dalam ritual dapat kita lihat di Karangasem. Di Desa Adat Bugbug,
Karangasem terdapat tradisi turun temurun yang tetap dilangsungkan hingga saat ini. Tradisi
tersebut menyatakan bahwa tiap kelahiran warga di desa tersebut harus diiringi dengan sebuah
persembahan atau sesajen berupa babi guling yang dihaturkan di Pura Gumang, Karangasem.

Persembahan babi guling ini tidak harus dilakukan saat sang anak baru lahir, tapi bisa juga
dipenuhi setelah sang anak dewasa.
Persembahan babi guling ini dipercaya mengandung makna sebagai sebuah persembahan
yang tulus dan ikhlas, yang dikenal sebagai yadnya dalam ajaran Agama Hindu dari warga
setempat kepada Ida Batara atau Tuhan Yang Maha Esa. Selain maturan atau persembahyangan
pada setiap kelahiran, Persembahan babi guling merupakan salah satu unsur wewalungan
(prani). Babi guling merupakan salah satu lambang kemakmuran semesta. Babi guling
dipersembahkan sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah yang dilimpahkan Sang Maha
Pemurah. Harapannya, di kemudian hari nanti Sang Maha Pencipta kembali menganugerahi
kesuburan untuk umatnya.
Sebelum dijadikan guling sebagai sarana ritual, babi disembelih terlebih dahulu melalui
prosesi ritual lukat dan suat, di mana hewan kurban atau babi dituek (ditusuk) dua kali dengan
alat dan diiringi dengan pengucapan mantra khusus. Setelah menjadi babi guling itulah,
kemudian dipersembahkan ke Pura Dalem dengan harapan agar roh babi meningkat statusnya
jika bereinkarnasi kelak.
Jumlah persembahan babi guling dalam satu kali upacara di Karangasem ini dapat
mencapai ribuan. Hal ini dapat terjadi karena persembahan babi guling yang dihaturkan tak
hanya dari warga Desa Adat Bugbug, tapi juga dari warga desa-desa lain di Bali. Demikian juga
krama perantauan asal Bugbug yang mayoritas tinggal di Buleleng. Warga Bugbug yang sudah
menikah ke luar desa juga sering ikut ngaturang atau mengurbankan guling. Karena, batin
mereka masih ingat dengan Ida Sesuhunan di tempat kelahirannya. Selain banyaknya karma atau
warga yang menghaturkannya, waktu pelaksanaan pengurbanan babi guling ini juga umumnya
dilakukan pada hari yang dipercaya baik, sehingga ritual adat pengurbanan babi ini berlangsung
serentak.
Tradisi ini berlangsung turun-temurun. Tiap kali pelaksanaan Usaba Gumang yang
ditandai dengan pengurbanan babi guling ini diyakini oleh semua krama Bugbug sebagai
kesempatan untuk memperoleh berkah keselamatan dan kerahayuan terhadap pratisentana.
Krama Bugbug yakin terhadap keselamatan anaknya yang sudah mapinton. Jika anak laki, maka
aturan gulingnya juga dari babi jantan. Sedangkan, jika anaknya

perempuan persembahan

gulingnya dari babi betina. Mapinton tidak hanya melibatkan krama di Desa Bugbug. Tapi,

diyakini krama Bugbug yang sudah kawin keluar, tidak berani tidak melakukan mapinton
terhadap semua anaknya yang ditaati hingga kini.
Dalam prosesi upacara Usaba Gumang, ribuan krama yang akan mapinton ke Pura
Gumang akan memenuhi jalanan menuju Pura di Puncak Bukit Gumang sambil membawa
guling, tumpeng dan banten lainnya. Usaba Gumang bagi warga Bugbug dan desa lainnya selalu
disambut antusias oleh warga di desa terpadat di Karangasem, dengan jumlah kepala keluarga
sekitar 3.000 kepala keluarga. Ini tidak terlepas dari kesadaran ngayah dan beryadnya dari
masyarakat setempat yang cukup tinggi, karena sudah ditanamkan sejak dini oleh para tetua
mereka.
Pendapat tentang dipakainya babi sebagai sarana Upakara:
Pendapat saya mengenai tradisi ini adalah, ini merupakan salah satu tradisi yang baik dan
perlu dilestarikan. Karena kebutuhan akan babi yang cukup tinggi di Bali, banyak masyarakat
pada era ini yang mulai menernakkan babi sendiri. Hal ini berakibat pada kelestarian babi hutan,
karena perburuan babi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tidak lagi diperlukan. Selain
kelestarian populasi babi hutan yang saat ini mulai langka, dengan adanya tradisi menghaturkan
babi guling ini masyarakat di Karangasem tetap dapat tetap melestarikan kebudayaan dan
kearifan lokal di Bali, disamping juga menjaga tali silaturahmi atau ikatan kekerabatan dalam
kehidupan bersosial.
Meski begitu, ada beberapa dampak negatif yang dapat dirasakan, seperti peningkatan
angka masyarakat yang menderita obesitas atau kegemukan. Selain kegemukan, banyak juga
masalah kesehatan yang dapat terjadi sebagai akibat dari lemak yang terkandung pada daging
babi. Hal ini terjadi karena saat ini hidangan babi dapat dengan mudah dijumpai, sehingga
konsumsi daging babi dipastikan meningkat.

Pendapat
(Secara Umum)
Pendapat yang dapat kami utarakan secara keseluruhan dari ketiga hewan yang dipakai
sarana pelengkap upakara di Bali adalah kami menilai kegiatan ritual atau upakara secara
keseluruhan adalah positif. Karena tradisi tersebut telah dilaksanakan bertahun-tahun dan turuntemurun sebagai salah satu tradisi untuk menjaga kebersihan, kesucian dan keseimbangan alam.
Sampai saat ini belum pernah dijumpai dampak negatif atau dampak buruk dari pelaksanaa caru
yang menggunakan ketiga hewan tersebut. Jika dilihat dari jumlah individu dari ayam, bebek dan

juga babi keberadaannya di alam masih sangat banyak dan merupakan spesies yang reproduktif
dari segi perkembangbiakan. Dan secara logika serta dari bidang ekonomis, dengan diketahuinya
bahwa ayam, bebek serta babi merupakan hewan-hewan yang sering dicari sebagai sarana
pelengkap caru dan juga mudah untuk dikembangbiakan. Maka akan ada banyak pihak atau
instansi yang mencoba mengembangbiakan ketiga hewan itu untuk memenuhi kebutuhan pasar
yang terus-menerus ada. Jadi sangat kecil kemungkinan untuk terjadi kepunahan kepada ketiga
spesies ini.

Daftar Pustaka
Campbell, N.A., J.B. Reece & L.G. Mitchell. 2004. Biologi. Terj. dari Biology,
oleh Manalu, W. Jilid III. Edisi V. Penerbit Erlangga, Jakarta: 242-243..
Hidayatillah, Martinova Fi. 2004. Studi Etnozoologi pada Masyarakat Bali Khususnya Desa
Pekraman Kelurahan Sarangan Wilayah Denpasar propinsi Bali. Skripsi tidak diterbitkan.
Malang: Prodi Pendidikan Biologi, FKIP UMM.

Hanifah A., 2010. Taksonomi Ayam. Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan UNS.
http://wayansdarme.blogspot.com,2013//Caru diakses pada tgl 11 Oktober 2016 pukul 15.35

Anda mungkin juga menyukai