Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ternak Babi

Babi adalah salah satu dari sekian banyak jenis ternak yang di kembang biakkan di

dunia. Babi yang dipelihara saat ini nenek moyangnya berasal dari dua jenis babi liar yaitu Sus

vitatus dan Sus sropa. Jenis Sus vitatus ini berrasal dari Benua Asia yang meliputi India Timur,

Asia Tenggara, dan China. Sedangakan Sus scropa berasal dari Benua Eropa. Domestikasi babi

liar Sus vitatus di China di mulai sekitar tahun 4910 sebelum masehi, sedangkan domestikasi

babi liar Sus scropa di Benua Eropa dilaksanakan pada tahun 800 tahun sebelum masehi (Hafez

and Dyer 1969). Babi adalah ternak monogastric dan bersifat prolific (banyak anak tiap

kelahiran), pertumbuhannya cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Selain

itu ternak babi efisien dalam mengkonversi berbagai sisa pertanian dan restoran menjadi daging

(Ensminger, 1991).

Ternak babi merupakan penghasil sumber daging dan untuk pemenuhan gizi yang

sangat efisien di antara ternak-ternak yang lain karena babi memiliki konversi terhadap pakan

yang cukup tinggi, semua bahan pakan bisa diubah menjadi daging dan lemak dengan sangat

efisien (Sudana, 1997). Ternak babi bersifat peridi (prolific), satu kali beranak bisa 6-12 ekor

dan setiap beranak 2 kali di dalam satu tahun. Persentase karkas babi cukup tinggi, bisa

mencapai 65-80%, sedangkan persentase karkas kambing dan domba 45-55%, kerbau 38%,

sapi 50-60%. Dan ternak babi juga sangat efisien dalam mengubah sisa-sisa makanan serta

hasil ikutan pertanian maupun pabrik (Lubis ,1963).

Babi menurut AKK (1883) di bagi menjadi 3 tipe yaitu babi tipe daging (meat type)

seperti Hampsire, Poland Chine, Spotted Polland Chine, Berkshire, Chester White, dan Duroc.

Babi tipe lemak (lard type) seperti babi yang umum di pelihara di Indonesia yang kandungan

lemak tubuhnya cukup tinggi seperti babi Bali. Babi tipe sedang (bacon type) seperti Yorkshire,
Landrace, dan Tamworth. Karena pengaruh domestikasi, babi yang biasanya liar dan di

pelihara tanpa kandang berubah menjadi hewan yang lebih jinak.

2.2 Babi Bali

Babi bali ada dua jenis, yaitu yang terdapat di Bali bagian timur, yang diduga nenek

moyangnya berasal dari china (Sus vitatus). Ciri-cirinya : warna bulunya hitam agak kasar,

punggungnya melengkung tetapi perutnya tidak sampai menyentuh tanah dan cungurnya agak

panjang. Jenis yang hidup di Bali bagian utara, barat tengah dan selatan mempunyai cirri-ciri :

penggungnya melengkung ke bawah, perutnya besar, ada belang putih di bagian perut dan

keempat kakinya, moncong pendek, telinga tegak, tinggi badan babi dewasa sekitar 54 cm,

panjang badan sekitar 90 cm dan panjang ekor antara 20-25 cm. Babi induk (bangkung)

perutnya sangat turun ke bawah, bahkan bisa menyentuh tanah bila berdiri. Putting susunya

antara 12-14, bisa melahirkan mencapai 12 ekor sekali beranak. Babi inilah yang lebih dikenel

sebagai babi bali (Budaarsa, 2012).

Usaha peternakan babi di Bali sebagian besar merupakan peternakan tradisional yang

memelihara babi dua atau tiga ekor di masing-masing rumah tangga. Peternakan babi

khususnya babi bali cenderung masih dilakukan secara tradisional (eksensif). Sistem

pemeliharaan ternak babi yang dilakukan masih sangat sederhana, dengan cara mengikat

dengan tali, kemudian diikatkan pada patok. Sama sekali tidak ada tempat khusus untuk

berteduh, tanpa atap penaung panas dan hujan. Jika musim hujan, maka babi berendam dalam

lumpur. Peternakan babi tradisional di Bali masih menghandalkan limbah pertanian lokal dan

hijauan yang ada di sekitar mereka sebagai pakan utama. Hijauan yang diberikan jenisnya

sangat beragam, tergantung lokasi daerah dan musim saat itu. Di daerah dataran rendah, yang

umumnya merupakan daerah persawahan, peternak lebih banyak memberikan kangkung

sebagai hijauan pakan. Sedangkan di daerah dataran tinggi atau pegunungan lebih banyak
pohon ketela rambat yang diberikan. Pemberian hijauan ada yang diberikan dalam bentuk

segar, ada juga diberikan dengan merebus terlebih dulu.

Babi bali secara genetik pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan babi ras impor,

tetapi kelebihan babi bali adalah babi yang tahan menderita, lebih hemat terhadap air, masih

mampu bertahan hidup walaupun diberi makan seadanya, sehingga masih banyak orang

memelihara babi bali di beberapa desa di Bali. Disamping babi guling untuk sesaji, di beberapa

daerah tertentu ada yang masih fanatik menggunakan babi bali untuk dikonsumsi. Babi guling

dijadikan sesaji untuk melengkapi banten dalam upacara keagamaan masyarakat Bali yang

beragama Hindu, mulai dari banten tawur, caru hingga otonan (Budaarsa, 2012).

2.3 Babi Landrace

Babi Landrace merupakan babi yang berasal dari Denmark, termasuk babi bacon type

yang berkualitas tingi. Babi Landrace sangat populer sehingga dikembangkan juga di Amerika

Serikat, Australia, dan Indonesia, yakni American Landrace dan Australian Landarce. Babi ini

berwarna putih, terkenal karena babi ini bertubuh panjang seperti busur, besar, lebar, bulu

halus, dan juga kakinya panjang. Babi ini terkenal sangat profilik hingga kini babi ini juga yang

terbukti paling banyak per kelahiran, serta presentase dagingnya tinggi. Tulang rusuknya 16-

17 pasang dan sampai kini puting susu babi inilah yang terbanyak diantara bangsa babi unggul.

Babi jantan dewasa bobot badannya dapat mencapai sekitar 320-410 kg dan bobot badan induk

dapat mencapai 250-340 kg. Kelemahan babi ini adalah kaki belakang yang lemah terutama

saat induk bunting, dan hasil daging yang pucat (Sihombing, 2006). Peternakan babi Landrace

sudah di pelihara secara intensif, terkurung dalam kandang dengan penanganan menggunakan

teknologi maju dan pertimbangan ekonomi agar memberikan produksi yang lebih baik (Agri,

2011).

Budaarsa (2012) melaporkan bahwa babi Landrace menjadi pilihan pertama para

peternak karena pertumbuhannya cepat, konversi makanan sangat bagus dan temperamennya
jinak. Lebih lanjut dilaporkan bahwa babi Landrace yang diberi pakan komersial (ransum yang

seimbang), maka pertambahan berat badannya bisa mencapai 1 kg per hari dengan berat sapih

pada umur 35 hari bisa mencapai 15 kg.

2.4 Pemeliharaan Babi Bali Asli

Manajemen pemeliharaan babi bali yang di lakukan masyarakat di Bali adalah sistem

pemeliharaan tradisional dan semi intensif. Sistem pemeliharaan tradisional adalah sistem

pemeliharaan yang dilakukan secara sederhana. Pemberian pakan babi pada sistem

pemeliharaan tradisional ini pada umumnya berasal dari limbah pertanian dan industri turunan

dari pertaian itu sendiri dan serta limbah rumah tangga. Babi yang di pelihara secara tradisional

biasanya di ikat di areal belakang perkarangan rumah. Pemberian pakan biasanya tidak teratur

dan di tempatkan pada palung atau tempat pakan yang mudah di dipindah- pindahkan serta

kurang terjaga kebersihannya (Budaarsa, 2012).

Dalam pemeliharaan sistem semi intensif ternak di kandangkan pada kandang

permanen dengan lantai dan dinding kandang yg terbuat dari semen dan atapnya dari seng atau

asbes. Cara pemeliharaan tradisional ransum pakan yang di berikan belum tersusun dengan

baik dalam pemenuhan gizi serta tidak adanya pemberian obat cacing dan vaksin. Sedangkan

pada peternakan dengan sistem semi intensif dilakukan dengan lebih baik.

2.5 Pemeliharaan Babi Landrace

Manajemen pemeliharaan babi Landrace pada umumnya dilakukan masyarakat adalah

sistem pemeliharaan intensif. Sistem pemeliharaan intensif adalah sistem pemeliharaan yang

dilakukan secara modern, sistem intensif mengatur segala asfek yang berkaitan dengan ternak

sehingga ternak merasa nyaman dan menghasilkan produk secara maksimal sesuai dengan

harapan para peternak. Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam menjalankan usaha ternak

babi terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu ketersediaan bibit yang memadai baik
dari segi kualitas maupun kuantitas dan tatalaksana pemeliharaan yang meliputi perkandangan,

kebersihan kandang, pemeliharaan induk, anak babi, ternak babi jantan dan babi usia tumbuh

serta penanganan hasil produksi. Hal lain yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan

dalam suatu usaha peternakan babi adalah tenaga yang terampil dalam mengelola usaha

tersebut (Murtidjo, 1990).

Ternak babi Landrace yang telah dipelihara secara intensif diberikan pakan berupa

pakan komersil (ransum yang seimbang) dengan teratur sesuai dengan kebutuhan ternak,

sehingga babi akan mempunyai penampilan yang baik apabila manajemen pemeliharaan yang

digunakan juga baik. Ransum yang diberikan juga disesuaikan dengan pase ternak tersebut,

diantaranya ransum starter, grower, ransum induk menyusui, dan fattening.

Manajemen pemeliharaan babi secara intensif juga disesuaikan dengan periode masa

pertumbuhan babi, dari manajemen pemilihan bibit, pemberian pakan, perkawinan, kesehatan,

pengolahan limbah dan lain-lain. Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam menjalankan

usaha ternak babi secara intensif terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu

ketersediaan bibit yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas dan tatalaksana

pemeliharaan yang meliputi perkandangan, kebersihan kandang, pemeliharaan induk, anak

babi, ternak babi jantan dan babi usia tumbuh serta penanganan hasil produksi. Manajamen

pemeliharaan sangat menentukan kuantitas maupun kualitas babi yang dihasilkan (Siagian,

1999).

2.6 Profil Mikroba Daging

Sumber pangan baik yang berasal dari sumber nabati maupun hewani perlu penanganan

khusus, terutama pangan hewani segar seperti daging sapi, babi, ayam, ikan dan lainnya

(Soeparno, 1994). Produk pangan asal ternak berisiko tinggi terhadap cemaran mikroba yang

berbahaya bagi kesehatan manusia. Setelah ternak di potong, mikroba yang terdapat pada

hewan mulai merusak jaringan sehingga bahan pangan hewani cepat mengalami kerusakan bila
tidak mendapat penangan yang baik (Rahayu, 2006). Fardiaz (1992) menambahkan, daging

mudah rusak dan merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya

kandungan air dan zat gizi seperti protein. Hal ini sesuai dengan pendapat Hedrick (1994),

bahwa daging dan olahannya dapat dengan mudah menjadi rusak atau busuk, oleh karena itu

penanganan yang baik harus dilakukan selama proses produksi berlangsung.

Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging adalah E.Coli, Salmonella,

dan Staphylococcus sp. Kontaminasi mikroba pada daging dapat berasal dari peternakan dan

rumah potong hewan yang tidak higienis (Mukartini et al., 1995), begitu juga sumber air dan

lingkungan tempat diolahnya daging tersebut sebelum sampai kepada konsumen.

Kelompok mikroba pembusuk akan mengubah makanan segar menjadi busuk bahkan

dapat menghasilkan toksin (racun), oleh sebab itu sebelum manusia mengkonsumsi bahan

pangan, perlu dilakukan pengawasan melalui pengujian Laboratorium untuk memastikan

bahwa bahan pangan asal ternak tersebut bebas dari mikroorganisme yang berbahaya

(Setiowati et al., 2009).

Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Badan Standardisasi Nasional (BSN)

persyaratan mikrobiologis dalam daging yang beredar di Indonesia adalah Total Plate Count

(TPC) 106 CFU/g, bakteri Coliform 102 CFU/g, bakteri S. Aureus 102 CFU/g, bakteri

Salmonella sp negatif per 25 g, dan bakteri E.coli 101 CFU/g (SNI 3932, 2008).

2.7 Tingkat Cemaran Mikroba (TPC, Coliform dan E.coli) pada Daging

2.7.1 Total Plate Count (TPC)

Pertumbuhan mikroorganisme yang membentuk suatu koloni dapat dianggap bahwa

setiap koloni yang tumbuh berasal dari satu sel, maka dengan menghitung jumlah koloni dapat

diketahui penyebaran bakteri yang ada pada bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya.

Jumlah mirkoorganisme pada suatu bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya dapat

dihitung dengan berbagai macam cara, tergantung pada bahan pangan dan jenis
mikroorganismenya. Jumlah mikroorganisme dihitung secara keseluruhan baik yang mati atau

yang hidup atau hanya untuk menentukan jumlah mikroorganisme yang hidup saja, hal ini

tergantung pada metode yang digunakan. Jumlah mikroorganisme yang hidup ditentukan

setelah larutan bahan atau biakan mikroorganisme diencerkan dengan faktor pengenceran

tertentu dan ditumbuhkan dalam media dengan cara tertentu tergantung dari macam dan sifat-

sifat mirkroorganisme (Gobel, 2008).

Total plate count (TPC) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menguji

mikroorganisme dalam suatu bahan pangan ataupun obat-obatan. Metode TPC adalah metode

yang berfungsi untuk menghitung jumlah mikroba dalam bahan pangan maupun obat-obatan.

Metode TPC paling banyak digunakan dalam analisa karena koloni dapat dilihat secara

langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Alat yang digunakan dalam metode

TPC adalah Coloning Counter (Fardiaz, 1989).

2.7.1 Coliform
Coliform merupakan bakteri yang memiki habitat normal di usus manusia dan juga

hewan. Bakteri Coliform adalah bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik lain. Lebih

tepatnya, bakteri Coliform adalah bakteri indikator adanya pencemaran bakteri patogen.

Penentuan Coliform menjadi indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya pasti

berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen. Selain itu, mendeteksi Coliform jauh

lebih murah, cepat, dan sederhana daripada mendeteksi bakteri patogenik lain. Bakteri yang

termasuk kelompok bakteri Coliform antara lain, Escherichia coli dan Enterobacter aerogenes

(Jay, 1992).

Daging merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri Coliform. Jenis

Enterobacter dengan Eschericia dan Klebsiella disebut kelompok bakteri Coliform yang

merupakan indikator dalam sanitasi. Bakteri Coliform dalam jumlah tertentu dapat menjadi

indikator suatu kondisi yang bahaya dan adanya kontaminasi bakteri patogen (Balia et al.,
2011). Infeksi Coliform pada manusia seringkali disebabkan oleh konsumsi makanan produk

hewan yang tercemar, misalnya daging dan susu (Balia et al., 2011).

Arnia dan Efrida (2013) menyatakan bahwa kontaminasi bakteri Coliform dapat melalui

tangan penjual, pemotongan yang tidak higienis sehingga bakteri dari alat pemotong dapat

berpindah ke daging, dari kemasan yang kurang steril, dari air yang digunakan untuk

membersihkan daging atau alat pemotong yang kemungkinan sudah tercemar dan dari daging

itu sendiri karena habitat dari bakteri Coliform ini adalah di usus hewan, serta banyak penyebab

lainnya.

2.7.3 Escherichia coli


Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor Escherich pada tahun

1885 yang diisolasi dari feses bayi. Escherichia coli termasuk ke dalam filum Proterobacteria,

kelas Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales, famili Enterobacteriaceae, genus

Escherichia. Bakteri Escherichia coli berbentuk batang pendek, Gram negatif, tidak berspora,

motil dengan flagella peritrichous, berukuran 0,4 –0,7 µm x 1,4 µm, beberapa strain

mempunyai kapsul, bersifat fakultative anaerob, memfermentasi laktosa, dan tumbuh optimum

pada suhu 37°C (Merck, 1992). Escherichia coli adalah kuman oportunis yang banyak

ditemukan di dalam usus besar manusia maupun hewan sebagai flora normal. Menurut Entang

(2003), bakteri Escherichia coli dapat tumbuh pada suhu 100C sampai 400C dan dapat mati

pada pemanasan di atas suhu 400C selama 60 menit.

Penghitungan jumlah bakteri Escherichia coli pada daging sangat penting karena

keberadaan mikroorganisme ini dapat dijadikan sebagai penilaian terhadap kualitas sanitasi

daging dan air (Suwansonthicai dan Rengpipat, 2003), serta menunjukkan bahwa bahan pangan

tersebut pernah tercemar oleh kotoran manusia ataupun hewan, sehingga dalam mikrobiologi

pangan Escherichia coli disebut sebagai indikator sanitasi (Supardi dan Sukamto, 1999).

Anda mungkin juga menyukai