OLEH:
KELOMPOK 9
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini kami buat agar pembaca lebih paham tentang materi “(Ekonomi Industri
Film)”.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran bagi pembaca khususnya para mahasiswa. Kami sadar makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen mata
kuliah, kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa
yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Film sebagai media komunikasi massa hingga kini masih bertahan di tengah
perkembangan new mediayang kian marak dalam berbagai aspek. Film dipandang
dalam berbagai perspektif yang berbeda baik sebagai seni, media edukasi, dan industri
media massa.Dalam konteks industri media massa, film merupakan industri budaya
yang bergerak dalam logika bisnis yang tidak dapat dilepaskan dari ekonomi media.
Ekonomi media akan menggerakkan bisnis film dengan perhitungan profit yang sering
kali mengabaikan peran dan posisifilm dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pentingnya
film bagi perjalanan bangsa dituangkan dalam Undang-Undang Perfilman tahun 1992
Dalam UU Perfilman tahun 2009, dinyatakan bahwa bahwa (1) film sebagai
karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa
dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan
karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman; (2) bahwa film sebagai
media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa,
masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan
perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi; (3) bahwa film dalam era
globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh
negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia; dan
(4) bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika
termasuk industri kreatif yang sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
1
teknologi. Namun, film dan perfilman tidak hanya dikembangkan tetapi juga dijaga dan
dilindungi dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati
diri bangsa.
Dalam Laporan Dialog Perfilman Nasional yang disusun oleh Pusat Pengembangan
kelompok masyarakat akar rumput, kerap dengan menggunakan dana swadaya yang
dimobilisasi sendiri. Berdasarkan data dari asosiasi festival film Indonesia, terdapat
bahwa pada satu sisi, festival film berfungsi menjadi ajang pemberian apresiasi terhadap
film-film atau para pekerja budaya yang dianggap memenuhi standar kualitas tertinggi
dan di sisi lainfestival film diselenggarakan sebagai sebuah moda budaya yang
menumbuhkan dan merawat budaya menonton di suatu daerah serta menjaring talenta
dan karya lokal, yang kerap terpinggirkan dari wajah sinema Indonesia.Terbukti bahwa
dari festival-festival ini, lahir sineas-sineas muda berpengaruh. Laporan yang disusun
berdasarkan Focus Group Discusssiontersebut dilakukan pada 22 Desember 2015 di
produser film, sutradara, jaringan gedung bioskop, sineas, wartawan, pemerhati, stasiun
pengembang festival, publisis, dan kalangan terkait lainnya, ini menyatakan bahwa
bersifat minimal atau tidak ada sama sekali. Pemerintah lebih terlibat dalam festival
film yang berformat pemberian penghargaan di tingkat nasional, seperti Festival Film
Indonesia. Pemerintah belum banyak terlibat dalam Festival Film yang berformat
penayangan film-film berkualitas atau film-film alternatifdi tingkat regional dan lokal.
2
B. Tujuan
komprehensif mengenai ekonomi industri film. Dalam makalah ini, akan dibahas
mengenai sejarah singkat film, biaya produksi dan penghasilan, pasar, kepemilikan,
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Film
Sejarah film di dunia dimulai pada akhir abad ke-19 ketika penemuan kamera
dan teknologi reproduksi gambar memungkinkan pembuatan film. Pada tahun 1895,
para penemu bersaudara asal Prancis, Auguste dan Louis Lumière, memperkenalkan
sinematografi, yaitu kamera yang dapat merekam dan memutar adegan yang direkam.
Mereka juga melakukan pemutaran film publik pertama di dunia. Pada awalnya, film-
film yang diproduksi merupakan film bisu, di mana cerita disampaikan melalui gerakan
dan ekspresi wajah para aktor. Namun, pada tahun 1927, film "The Jazz Singer"
memperkenalkan teknologi suara pada film, yang mengubah industri film secara drastis.
Selama tahun 1930-an hingga 1950-an, Hollywood menjadi pusat industri film
dunia dan menghasilkan banyak film yang terkenal seperti "Gone with the Wind" dan
"Casablanca". Pada periode ini, teknologi film terus berkembang, termasuk pengenalan
film berwarna dan penggunaan efek khusus. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, muncul
aliran baru dalam sinema seperti aliran French New Wave di Prancis dan gerakan
sinema independen di Amerika Serikat. Ini membuka jalan bagi eksperimen artistik dan
Pada era modern, perkembangan teknologi digital dan internet telah mengubah
mendominasi panggung internasional, tetapi industri film di negara lain juga terus
4
film di Indonesia dimulai pada tahun 1926 dengan dibuatnya film bisu pertama berjudul
"Loetoeng Kasaroeng" oleh Albert Balink. Pada periode awal, industri film Indonesia
dipengaruhi oleh film-film dari luar negeri, terutama Bollywood dan Hollywood.
Pada tahun 1950-an, sinema Indonesia mengalami masa keemasan dengan munculnya
film-film klasik seperti "Tiga Dara" dan "Darah dan Doa". Pada saat itu, film-film
pada tahun 1960-an, industri film Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk
masalah ekonomi dan politik. Selama era Orde Baru (1966-1998), pemerintah
mengendalikan industri film dengan keras dan menerapkan kebijakan yang membatasi
kreativitas dan kebebasan berekspresi dalam pembuatan film. Setelah jatuhnya rezim
Orde Baru, industri film Indonesia mengalami pemulihan dan revitalisasi. Sejak tahun
2000-an, terjadi peningkatan jumlah produksi film Indonesia dan kualitas produksi yang
lebih baik. Film-film Indonesia seperti "Laskar Pelangi" dan "Ada Apa dengan Cinta?"
mendapatkan kesuksesan.
B. Biaya Produksi dan Penghasilan
Biaya produksi film dapat bervariasi secara signifikan tergantung pada skala
produksi, genre, bintang film yang terlibat, dan negara tempat produksi dilakukan.
Beberapa elemen yang mempengaruhi biaya produksi film meliputi gaji aktor dan kru,
lokasi syuting, biaya produksi set dan kostum, efek khusus, penyewaan peralatan, biaya
Biaya produksi film di AS terus meningkat sejak decade lalu. Pada tahun 1983,
rata rata biaya produksi film sekitar 11,3 juta dolar AS, di tahun 1993, rata rata biaya
produksi film menjadi 44 juta dolar AS, dan pada 1994 melonjak menjadi 50,4 juta
dolar AS. Lembaga analisis keuangan Wedbush Morgan Securities melaporkan, sejak
tahun 2003, pendapatan film- film Hollywood terus meningkat. Di tahun 2006,
pendapatan Hollywood naik 5,5% atau setara 9,5 miliar dolar AS tahun 2007,
5
pendapatan Hollywood diperkirakan mencapai 10 miliar dolar AS atau hamper 100
triliun. Peningkatan pendapatan Hollywood meningkat antara lain akibat naiknya harga
tiket sebesar 50 % dibanding tahub sebelumnya. Industry film Hollywood antara lain
berasal dari film- film box office. Titanic menjadi salah satu film Hollywood dengan
Sedangkan biaya produksi film Indonesia berkisar antara Rp. 1, 5 miliar hingga
Rp. 2 miliar (tahun 1997). Film- film istimewa dibuat dengan biaya produksi Rp. 4-5
miliar. Biaya produksi film opera Jawa garapa Garin Nugroho mencapai 3,5 miliar.
Biaya film horror terbilang murah, bisa dibawah 1,5 miliar karena pemain utama tidak
harus bintang ternama, cukup pendatang baru dengan honor relative murah. Biaya
termahal yang pernah dikeluarkan dalam memproduksi film Indonesia sebesar Rp. 11
miliar, katena pengambilan gambar dilakukan diluar negeri. Film Merah Putih yang
Biaya produksi film Indonesia, selain dari saku produser, bisa berasal dari
sponsor atau sponsor Negara lain. Namun, film-film independen atau produksi yang
lebih kecil biasanya memiliki anggaran yang lebih rendah. Biaya produksi film
independen dapat berkisar antara beberapa ribu dolar hingga beberapa juta dolar,
Adapun penghasilan film berasal dari berbagai sumber, termasuk penjualan tiket
bioskop, penjualan hak siar kepada saluran televisi dan platform streaming, penjualan
DVD dan Blu-ray, iklan, produk merchandise terkait, dan sponsor. Pendapatan juga
Pendapatan film biasanya diukur berdasarkan box office, yaitu total pendapatan
dari penjualan tiket bioskop. Beberapa film blockbuster Hollywood mampu
menghasilkan pendapatan box office yang luar biasa, mencapai miliaran dolar. Namun,
perlu
6
diperhatikan bahwa pendapatan box office tidak sepenuhnya menjadi keuntungan bersih,
karena sebagian pendapatan akan diberikan kepada pihak bioskop, distributor, dan
produsen.
Jika penonton 300.000 orang, dengan modal Rp. 2 miliar, keuntungan Rp. 250
juta. Asumsinya harga tiket rata- rata Rp 25.000 per lembar setelah dipotong pajak
untuk Negara dan dibagi du dengan pemilik bioskop dan distributor, maka pemilik film
atau produser menerima Rp. 7.500 per lembar tiket. Jika penonton 300.000 orang,
produser memperoleh 300 x Rp. 7.500 = Rp. 2.250.000.000. Jika biaya produksi 2
B. Pasar
struktur pasar di mana pasar film dikuasai oleh sejumlah kecil perusahaan besar. Dalam
industri film, beberapa studio besar Hollywood seringkali menjadi pemain dominan
yang menguasai mayoritas pasar. Mereka memiliki kekuatan pasar yang signifikan dan
sering berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar.
Hingga tahun 1994 terdapat setidaknya delapan pemain utama di dalamnya. Disney
dengan market share 18,6 %, Warner Brothers 15,9 %, Paramount 14,2 %, Universal
13,5 %, Fox 10,1 %, Tristar 5,2 %, Columbia 4,7 %, dan MGM 2,5 %
1) Khalayak
Khalayak atau penonton merupakan salah satu segmen penting dalam industri
film. Ini mencakup orang-orang yang menonton film baik di bioskop, televisi, atau
platform streaming. Pasar khalayak terdiri dari berbagai kelompok demografis seperti
usia, jenis kelamin, preferensi genre film, dan preferensi bahasa. Produser film berupaya
memahami pasar khalayak untuk menghasilkan film-film yang sesuai dengan minat dan
7
mengonsumsi 10,5 judul film di layar bioskop. Sebanyak 46 % di antaranya adalah
pelanggan Netflix dan 68 % pemilik home theatre. Sebanyak 63 % penonton lebi suka
Di Amerika, penjualan tiket bioskop mencapai rekor pada 1946, yaitu sebanyak
lebih dari 4 miliar tiket. Dwasa ini 1,3 miliar tiket terjual setiap rahu di Amerika
Serikat. Di Indonesia dari tahun 1926- 2005, diproduksi 2.261 judul film (katalog Film
Indonesia 1926- 2005). Berdasarkan data Departemen Penerangan, 112 judul film
Indonesia yang diproduksi mencapai 40 judul. Pada tahun 2007, beredar 53 judul film
sebagai pasar. Untuk meraih penonton, film Indonesia hanya memanfaatkan beberapa
termasuk iklan produk atau merek yang muncul dalam film, iklan pra-film yang
ditayangkan di bioskop, dan kemitraan antara produsen film dengan merek atau produk
tertentu. Pendapatan dari pasar iklan dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi
film Transformer (2007): mobil Audi berulang kali muncul dalam film Transporter 2
(2005); Calvin Klein tampak dalam film The Island. Dalam film The African Queen,
bintang film Khatarine Hepburn membuang botol minuman bermerek Gordon ke sungai,
Spancer Tracy disemprot dengan Coca-Cola dalam film Father of the Bride (1950). Ini
8
sesungguhnya bukan fenomena baru dalam industri film. Product placement ikut
membantu membiayai (mensponsori) produksi sebuah film secara langsung ataupun
tidak langsung. Di Indonesia, banyak film yang disponsori oleh perusahaan atau
lembaga tertentu. Perusahaan yang acap mensponsori film Indonesia adalah perusahaan
telepon seluler atau perusahaan rokok. Opera Jawa, seperti telah disinggung sebelumnya,
biaya pembuatannya berasal dari sponsor, yaitu Austria, Belanda, dan Belgia.
C. Bioskop
Bioskop memiliki peran yang sangat penting dalam industri film di seluruh
dunia. Mereka adalah saluran distribusi utama bagi film-film yang diproduksi dan
merupakan tempat di mana penonton dapat menikmati film dengan pengalaman
menonton yang unik. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 36.485 layar bioskop. Lebih
dari 80% bioskop punya dua atau lebih layar dengan rata-rata 340 tempat duduk.
oleh studio Somy/Loews Theaters, Sony-IMAX Theaters, Magic Johnson Theaters, dan
Loews-Star Theaters menguasai sekitar 3.000 layar biskop, serta Warner Brothers
dimiliki oleh jaringan besar. Century Theaters memiliki 800 layar dan berencana
menambah 400 layar lagi di 11 negara bagian, Regal Entertainment Group (Regal
Cinemas, United Artist Theaters, Edwards Theaters) memiliki 6.061 layar di 26 negara
bagian. Tujuh jaringan biskop serta jaringan studio menguasai 80% penjualan tiket
bioskop di Amerika.
9
Indonesia, terdapat 360 layar bioskop. Dewasa ini, bioskop di Indonesia dikuasai oleh
jaringan bioskop 21 dan Blitz. Sejak tahun 1986 hingga 2008, sekitar 107 bioskop tutup
akibat tidak Kematian biskop dipercepat oleh maraknya peredaran VCD dan DVD bisa
mengikuti irama permainan dalam peredaran film di Indonesia. (Kompas, 23 Mei 2008).
Survei yang dilakukan oleh Roy Morgan (April 2006-Maret 2007) terhadap penduduk
bioskop lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir, sekitar 1,7 juta orang mengunjungi
bioskop satu kali dalam tiga bulan terakhir, dan sekitar 500 ribu mengunjungi bioskop
film-film baru kepada penonton. Di lobi dan area sekitar bioskop, poster dan baliho
film-film terbaru dipajang untuk menarik minat penontonDi tingkat global, iklan
bioskop meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Zenith Optimedia, seperti
dikutip Media Planning Guide Indonesia 2008, pada tahun 2006, iklan bioskop global
mencapai 1,9 miliar dolar AS Diperkirakan, iklan bioskop meningkat menjadi hampir 3
miliar dolar AS pada tahun 2010. Di Indonesia, pendapatan bioskop dari iklan juga
D. Kepemilikan
utama di dalam industri filmnya, yaitu Disney dengan market share 18,6%, Warner
Brothers: 15,9%, Paramount: 14,2%, Universal: 13,5%, Fox: 10,1%, TriStar: 5,2%,
Columbia: 4,7%, dan MGM: 2,5% Konglomerasi dalam industri film dunia merupakan
Produsen utama dalam industri film di Indonesia, antara lain Rexinema, Kharisma
Starvision, SinemArt Pictures, Maxima, dan Multivision Plus. Multivision Plus dimiliki
10
oleh "raja sinetron" Raam Punjabi. Dalam hal kepemilikan bioskop, jaringan bioskop 21
merupakan kepemilikan yang bersifat monopolistik pada awalnya, hingga kemudian
E. Kompetisi
industri film di sana. Kompetisi ini melahirkan apa yang disebut blockbuster mentality-
sinetron di televisi. Film Indonesia juga berkompetisi dengan film Hollywood dan
sinetron di televisi atau film televisi. Pada tahun 1990-an, untuk mempertahankan
eksistensi film Indonesia dalam persaingan dengan film Hollywood, sineas Indonesia
yang bangkrut. Dewasa ini, kompetisi terjadi antara jaringan bioskop 21 dan jaringan
jaringan bioskop Blitz. Kompetisi terjadi dalam hal harga tiket, film-film yang diputar,
F. Teknologi
Dalam aspek teknologi, terdapat dua jenis teknologi yang mem- logi produksi
film, seperti penggunaan kamera digital, special effects, pengaruhi industri film.
Pertama, penggunaan secara lebih luas tekno- komputer, dan lain-lain. Kedua, berkaitan
dengan teknologi konsumsi film, seperti video on demand, gambar digital, home video,
11
Teknologi produksi film telah mengalami perkembangan pesat, memungkinkan
pembuat film untuk menciptakan karya yang lebih kreatif dan berkualitas tinggi. Salah
satu aspek utama teknologi produksi film adalah kamera dan peralatan fotografi. Selain
itu, teknologi efek visual dan grafika komputer (CGI) juga memainkan peran penting
dalam produksi film. Dengan menggunakan perangkat lunak khusus, pembuat film
dapat menciptakan efek visual yang kompleks dan realistis, seperti penciptaan makhluk
fantasi, simulasi bencana, atau adegan aksi yang spektakuler. Selain dalam proses
Perangkat lunak editing seperti Adobe Premiere Pro, Final Cut Pro, dan Avid Media
Composer memungkinkan penyuntingan video yang presisi dan pengolahan suara yang
canggih. Hingga penyimpanan dan transfer data juga memainkan peran penting dalam
produksi film. Penggunaan hard drive eksternal, server, dan cloud storage
memungkinkan penyimpanan yang aman dan efisien dari data film. Ini memudahkan
transfer data antara tim produksi, penyunting, dan pihak-pihak terkait dalam proses
produksi film. Dengan adanya teknologi penyimpanan yang baik, produsen film dapat
Dalam hal media distribusi film, dewasa ini mulai berlangsung konvergensi
teknologi. Film kini tidak hanya diproduksi untuk bioskop, tetapi juga DVD, televisi
jaringan, dan televisi kabel. Dalam industri film, teknologi distribusi juga mengalami
transformasi yang signifikan. Salah satu teknologi distribusi utama adalah Digital
Cinema Package (DCP). DCP adalah format file digital yang digunakan dalam distribusi
film ke bioskop. DCP menggantikan format fisik seperti rol film dan memungkinkan
transfer film secara digital dengan kualitas tinggi dan konsisten. Hal ini mempermudah
dalam cara film diakses oleh penonton. Platform streaming seperti Netflix, Amazon
Prime Video, dan Disney+ memungkinkan penonton untuk menonton film secara
12
langsung melalui internet. Film-film dapat di-streaming ke berbagai perangkat seperti
komputer, smart TV, atau smartphone, memberikan fleksibilitas dan aksesibilitas yang
lebih besar bagi penonton. Layanan Video On Demand (VOD) juga menjadi populer, di
mana penonton dapat menyewa atau membeli film secara online dan menontonnya
G. Regulasi
regulasi dalam industri film umumnya berkaitan dengan sensor. Selama lebih dari
setengah abad, banyak negara bagian dan kota memiliki lembaga sensor film, sensor
umumnya berkaitan dengan masalah politik dan moral. Namun, pada tahun 1950-an,
men ciptakan sistem rating. Rating berupa penggolongan film berdasarkan materi atau
G : General audiences
PG : Parental Guiden, for mature audience
PG – 13 : Parental Guiedence ( advised for childern under 13 years old)
R: Restricted : no one under 17 years old admitted unless accompanied by an adult
NC- 17 : No children under 17: replaces the old X rating
Regulasi lainnya di Amerika adalah copy right atau hak cipta.at dari si Penerapan
hak cipta di sana relatif baik sehingga industri terkait hak cipta, seperti film,
berkembang pesat Industri hak cipta di Amerikan di negar menurut laporan International
Intellectual Property Alliance (IIPA), menyumbang 1,38 triliun dolar atau 11,12% GDP
AS tahun 2005. Industri ini juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 113 juta
orang. Di Indonesia, regulasi perfilman yang berlaku di masa penjajahan adalah
Ordonansi Film No. 507, pemerintah orde lama memberlakukan UU No. 1 PNPS Tahun
1964, di masa orde baru berlaku UU Perfilman No. 8 Tahun 1992. Pada tahun 2009,
13
pemerintah memberlakukan UU Perfilman yang baru.
Di Indonesia, regulasi juga berupa sensor. Indonesia di masa orde baru memiliki
lembaga sensor bernama Badan Sensor Film (BSF), di masa reformasi ia berganti nama
menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). Antara tahun 1970 hingga 2005 setidaknya ada
40 judul film Indonesia yang terkena sensor. Pada tahun 2007, LSF menyensor 53 judul
film Indonesia dan 2007 judul film impor (Koran Tempo, 25 Mei 2008). Film- film
tersebut disensor kebanyakan karena menampilkan adegan seks, kekerasan, dan SARA.
Berdasarkan data LSF, sepanjang tahun 2007, adegan seks yang disensor sepanjang
2.383,5 meter (sekira 18 rol film), sadistis 539,3 meter (4 rol film), dan SARA atau
cakram VCD maupun DVD. Untuk mengurangi pembajakan, di masa awal distribusi,
film-film Indonesia hanya dibuat untuk bioskop. Setelah film tersebut tidak lagi diputar
di bioskop, baru dibuatkan cakram VCD atau DVD-nya. Sebagaimana di Amerika, LSF
juga menetapkan rating film. Rating film terdiri atas semua umur, 13 tahun ke atas, dan
17 tahun ke atas. Rating seperti ini penerapannya tidak begitu ketat, bioskop sering kali
H. Masa Depan
Masa depan industri film menjanjikan banyak perubahan dan tantangan yang
adalah beberapa perkiraan dan tren yang dapat membentuk masa depan industri film:
dan memungkinkan pembuat film untuk menciptakan dunia yang lebih imersif.
Selain itu, perangkat lunak editing dan efek visual akan semakin canggih
14
memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menciptakan karya-karya yang
unik.
penonton untuk masuk ke dalam dunia film dan menjadi bagian dari cerita
nyata. Hal ini akan membuka pintu bagi pengalaman menonton yang lebih
3. Penyiaran dan Streaming Digital yang Lebih Dominan: Penyiaran dan streaming
digital akan terus tumbuh sebagai metode utama distribusi film. Platform
streaming seperti Netflix, Amazon Prime Video, dan Disney+ akan terus
mendominasi pasar, sementara bioskop mungkin menghadapi tantangan untuk
4. Konten Multiplatform dan Interaktif: Film tidak lagi terbatas pada layar bioskop.
Konten film akan hadir di berbagai platform seperti streaming, televisi, aplikasi
seluler, dan media sosial. Penggunaan teknologi interaktif juga akan meningkat,
memungkinkan penonton untuk terlibat lebih dalam dengan cerita dan karakter
dalam film.
5. Diversifikasi dan Representasi yang Lebih Inklusif: Masa depan industri film
belakang dan pengalaman hidup. Ini akan mendorong produsen film untuk
menciptakan konten yang lebih beragam dan memperluas representasi yang ada.
pembajakan, serta munculnya industri film di negara lain, membuat masa depan industri
15
film masih merupakan tantangan. Di masa depan, industri film harus menyesu aikan diri
dengan perkembangan teknologi, baik teknologi produksi maupun teknologi konsumsi.
film. Film Indonesia kini mulai bergerak ke era industri. Mulai banyak produser film
yang membuat film untuk tujuan komersil, menciptakan pasar, menggunakan tenaga
profesional dan metode profesional Penyediaan tenaga profesional harus didukung oleh
ketersediaan sekolah film. Untuk penduduk yang berjumlah 230 juta jiwa, Indonesia
hanya punya satu sekolah film, bandingkan dengan India yang punya 30 sekolah film,
harus menerapkan regulasi tentang hak cipta secara ketat untuk mengurangi pembajakan
misalnya dengan hanya membuat film untuk bioskop di masa awal distribusi-
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Industri film merupakan sektor yang penting dan kompleks yang melibatkan
produksi, distribusi, dan konsumsi film. Industri film memiliki peran yang signifikan
dalam ekonomi global dan budaya populer, serta memiliki dampak yang luas terhadap
memungkinkan pembuat film untuk menciptakan karya yang lebih kreatif dan
berkualitas tinggi dengan fitur-fitur seperti kamera digital, efek visual, dan perangkat
lunak editing yang canggih. Sementara itu, teknologi distribusi film telah mengubah
cara film diakses oleh penonton melalui platform streaming, layanan Video On Demand
Dalam era digital, industri film menghadapi tantangan dan peluang baru.
mengubah lanskap industri film secara signifikan. Dalam menghadapi tantangan dan
perubahan ini, industri film perlu terus beradaptasi, berinovasi, dan mempertahankan
kualitas konten yang baik. Secara keseluruhan, industri film merupakan industri yang
mengidentifikasi tren pasar, dan menghargai kebutuhan penonton, industri film dapat
terus berkembang dan memberikan kontribusi yang berarti dalam budaya dan ekonomi
global.
B. Saran
Tentunya kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
terdapatkesalahan dan masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami membutuhkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk perbikan makalah ni kedepannya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Biran, Misbach Yusa, Sejarah Film 1900-1950, Depok: Komunitas Bambu, 2009.
Komalawati, Euis. “Industri Film Indonesia”. Laporan Hasil Penelitia. Jakarta: STIAMI,
2017.
Kristanto, J.B. dan Rahman, Lisabona, Indonesia Film Catalogue 2008,
Jakarta: Nalar, 2008.
Kristanto, J.B., Katalog Film Indonesia 1926-2005, Jakarta: Nalar & Fakultas Film dan
Televisi, Kesenian Jakarta-Sinematek Indonesia, 2005.
18