Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Ekonomi Industri Film

OLEH:

KELOMPOK 9

IKHWAN ALI YUSUF 5010020069


NUR ASRI PUTRI 5010020070
MUHAMMAD RAYYAN NAJIYAH 50100120071
MUSDALIFAH 50100120077

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISL AM


F AKULTAS DAKWAH DAN KO M UNIK ASI
UIN ALAUDDIN M AKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah ini kami buat agar pembaca lebih paham tentang materi “(Ekonomi Industri

Film)”.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi

sumbangan pemikiran bagi pembaca khususnya para mahasiswa. Kami sadar makalah

ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen mata

kuliah, kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa

yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu

memberikan pengarahan kepada kami, dalam menyusun makalah ini.

Minggu, 05 Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
BAB I ............................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Tujuan....................................................................................................................... 3
BAB II .............................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 4
A. Sejarah Singkat Film ................................................................................................ 4
B. Biaya Produksi dan Penghasilan .............................................................................. 5
B. Pasar ......................................................................................................................... 7
C. Bioskop..................................................................................................................... 9
D. Kepemilikan ........................................................................................................... 10
E. Kompetisi ............................................................................................................... 11
F. Teknologi ................................................................................................................ 11
G. Regulasi .................................................................................................................. 13
H. Masa Depan............................................................................................................ 14
BAB III .......................................................................................................................... 17
PENUTUP................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 17
B. Saran ....................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Film sebagai media komunikasi massa hingga kini masih bertahan di tengah

perkembangan new mediayang kian marak dalam berbagai aspek. Film dipandang

dalam berbagai perspektif yang berbeda baik sebagai seni, media edukasi, dan industri

media massa.Dalam konteks industri media massa, film merupakan industri budaya

yang bergerak dalam logika bisnis yang tidak dapat dilepaskan dari ekonomi media.

Ekonomi media akan menggerakkan bisnis film dengan perhitungan profit yang sering

kali mengabaikan peran dan posisifilm dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pentingnya
film bagi perjalanan bangsa dituangkan dalam Undang-Undang Perfilman tahun 1992

yang kemudian diperbarui pada Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 yang

disesuaikan dengan perkembangan masa.

Dalam UU Perfilman tahun 2009, dinyatakan bahwa bahwa (1) film sebagai

karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa

dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan

karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman; (2) bahwa film sebagai
media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa,

pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan

masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan

perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi; (3) bahwa film dalam era

globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh

negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia; dan

(4) bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika

masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Berdasarkan keempat


pertimbangan tersebut, maka negara bertanggung jawab untuk memajukan perfilman

termasuk industri kreatif yang sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

1
teknologi. Namun, film dan perfilman tidak hanya dikembangkan tetapi juga dijaga dan
dilindungi dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati

diri bangsa.

Salah satu upaya pemerintah untuk memadukan kemajuan perfilman dan

melindungi pengaruh negatif yaitu dengan mengembangkan festival-festival film.

Dalam Laporan Dialog Perfilman Nasional yang disusun oleh Pusat Pengembangan

Film Nasional terekam berbagai permasalahan perfilman nasional. Laporan tersebut

menyebutkan bahwa beragam kegiatan festival perfilman diprakarsai oleh berbagai

kelompok masyarakat akar rumput, kerap dengan menggunakan dana swadaya yang
dimobilisasi sendiri. Berdasarkan data dari asosiasi festival film Indonesia, terdapat

sekitar 20 festival film yang aktif diselenggarakan.Laporan tersebut menyebutkan

bahwa pada satu sisi, festival film berfungsi menjadi ajang pemberian apresiasi terhadap

film-film atau para pekerja budaya yang dianggap memenuhi standar kualitas tertinggi

dan di sisi lainfestival film diselenggarakan sebagai sebuah moda budaya yang

menumbuhkan dan merawat budaya menonton di suatu daerah serta menjaring talenta

dan karya lokal, yang kerap terpinggirkan dari wajah sinema Indonesia.Terbukti bahwa

dari festival-festival ini, lahir sineas-sineas muda berpengaruh. Laporan yang disusun
berdasarkan Focus Group Discusssiontersebut dilakukan pada 22 Desember 2015 di

Jakarta yang menghadirkan sekitar 40 peserta yang mewakili beragam kepentingan:

produser film, sutradara, jaringan gedung bioskop, sineas, wartawan, pemerhati, stasiun

televisi, lembaga pengarsipan, animasi, pendidik, distributor, pengorganisir dan

pengembang festival, publisis, dan kalangan terkait lainnya, ini menyatakan bahwa

peran pemerintah dalam penyelenggaraan berbagai festival film seringkali hanya

bersifat minimal atau tidak ada sama sekali. Pemerintah lebih terlibat dalam festival

film yang berformat pemberian penghargaan di tingkat nasional, seperti Festival Film
Indonesia. Pemerintah belum banyak terlibat dalam Festival Film yang berformat

penayangan film-film berkualitas atau film-film alternatifdi tingkat regional dan lokal.

2
B. Tujuan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan pemahaman yang

komprehensif mengenai ekonomi industri film. Dalam makalah ini, akan dibahas

mengenai sejarah singkat film, biaya produksi dan penghasilan, pasar, kepemilikan,

bioskop,kompetisi, teknologi, regulasi, dan masa depan dari industri film.

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Film

Sejarah film di dunia dimulai pada akhir abad ke-19 ketika penemuan kamera
dan teknologi reproduksi gambar memungkinkan pembuatan film. Pada tahun 1895,

para penemu bersaudara asal Prancis, Auguste dan Louis Lumière, memperkenalkan

sinematografi, yaitu kamera yang dapat merekam dan memutar adegan yang direkam.

Mereka juga melakukan pemutaran film publik pertama di dunia. Pada awalnya, film-

film yang diproduksi merupakan film bisu, di mana cerita disampaikan melalui gerakan

dan ekspresi wajah para aktor. Namun, pada tahun 1927, film "The Jazz Singer"

memperkenalkan teknologi suara pada film, yang mengubah industri film secara drastis.

Selama tahun 1930-an hingga 1950-an, Hollywood menjadi pusat industri film
dunia dan menghasilkan banyak film yang terkenal seperti "Gone with the Wind" dan

"Casablanca". Pada periode ini, teknologi film terus berkembang, termasuk pengenalan
film berwarna dan penggunaan efek khusus. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, muncul

aliran baru dalam sinema seperti aliran French New Wave di Prancis dan gerakan

sinema independen di Amerika Serikat. Ini membuka jalan bagi eksperimen artistik dan

perubahan dalam narasi film.

Pada era modern, perkembangan teknologi digital dan internet telah mengubah

cara film diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Film-film Hollywood tetap

mendominasi panggung internasional, tetapi industri film di negara lain juga terus

berkembang, dengan India (Bollywood), Nigeria (Nollywood), dan Korea Selatan

(Hallyuwood) menjadi pusat industri film yang signifikan.

4
film di Indonesia dimulai pada tahun 1926 dengan dibuatnya film bisu pertama berjudul
"Loetoeng Kasaroeng" oleh Albert Balink. Pada periode awal, industri film Indonesia

dipengaruhi oleh film-film dari luar negeri, terutama Bollywood dan Hollywood.

Pada tahun 1950-an, sinema Indonesia mengalami masa keemasan dengan munculnya

film-film klasik seperti "Tiga Dara" dan "Darah dan Doa". Pada saat itu, film-film

Indonesia banyak mengangkat tema nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan. Namun,

pada tahun 1960-an, industri film Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk
masalah ekonomi dan politik. Selama era Orde Baru (1966-1998), pemerintah

mengendalikan industri film dengan keras dan menerapkan kebijakan yang membatasi
kreativitas dan kebebasan berekspresi dalam pembuatan film. Setelah jatuhnya rezim

Orde Baru, industri film Indonesia mengalami pemulihan dan revitalisasi. Sejak tahun

2000-an, terjadi peningkatan jumlah produksi film Indonesia dan kualitas produksi yang

lebih baik. Film-film Indonesia seperti "Laskar Pelangi" dan "Ada Apa dengan Cinta?"

mendapatkan kesuksesan.
B. Biaya Produksi dan Penghasilan

Biaya produksi film dapat bervariasi secara signifikan tergantung pada skala

produksi, genre, bintang film yang terlibat, dan negara tempat produksi dilakukan.
Beberapa elemen yang mempengaruhi biaya produksi film meliputi gaji aktor dan kru,

lokasi syuting, biaya produksi set dan kostum, efek khusus, penyewaan peralatan, biaya

pascaproduksi (termasuk penyuntingan dan pengeditan suara), pemasaran, dan distribusi.

Biaya produksi film di AS terus meningkat sejak decade lalu. Pada tahun 1983,

rata rata biaya produksi film sekitar 11,3 juta dolar AS, di tahun 1993, rata rata biaya

produksi film menjadi 44 juta dolar AS, dan pada 1994 melonjak menjadi 50,4 juta

dolar AS. Lembaga analisis keuangan Wedbush Morgan Securities melaporkan, sejak

tahun 2003, pendapatan film- film Hollywood terus meningkat. Di tahun 2006,
pendapatan Hollywood naik 5,5% atau setara 9,5 miliar dolar AS tahun 2007,

5
pendapatan Hollywood diperkirakan mencapai 10 miliar dolar AS atau hamper 100
triliun. Peningkatan pendapatan Hollywood meningkat antara lain akibat naiknya harga

tiket sebesar 50 % dibanding tahub sebelumnya. Industry film Hollywood antara lain

berasal dari film- film box office. Titanic menjadi salah satu film Hollywood dengan

penghasilan terbesar sepanjang masa.

Sedangkan biaya produksi film Indonesia berkisar antara Rp. 1, 5 miliar hingga

Rp. 2 miliar (tahun 1997). Film- film istimewa dibuat dengan biaya produksi Rp. 4-5
miliar. Biaya produksi film opera Jawa garapa Garin Nugroho mencapai 3,5 miliar.

Biaya film horror terbilang murah, bisa dibawah 1,5 miliar karena pemain utama tidak

harus bintang ternama, cukup pendatang baru dengan honor relative murah. Biaya
termahal yang pernah dikeluarkan dalam memproduksi film Indonesia sebesar Rp. 11

miliar, katena pengambilan gambar dilakukan diluar negeri. Film Merah Putih yang

dirilis untuk memperingati proklamasi 17 Agustus 2009, dengan melibatkan

professional Hollywood menelan biaya produksi 60 miliar rupiah.

Biaya produksi film Indonesia, selain dari saku produser, bisa berasal dari
sponsor atau sponsor Negara lain. Namun, film-film independen atau produksi yang
lebih kecil biasanya memiliki anggaran yang lebih rendah. Biaya produksi film

independen dapat berkisar antara beberapa ribu dolar hingga beberapa juta dolar,

tergantung pada skala dan ambisi proyek tersebut.

Adapun penghasilan film berasal dari berbagai sumber, termasuk penjualan tiket

bioskop, penjualan hak siar kepada saluran televisi dan platform streaming, penjualan
DVD dan Blu-ray, iklan, produk merchandise terkait, dan sponsor. Pendapatan juga

dapat diperoleh melalui penjualan hak distribusi di pasar internasional.

Pendapatan film biasanya diukur berdasarkan box office, yaitu total pendapatan
dari penjualan tiket bioskop. Beberapa film blockbuster Hollywood mampu

menghasilkan pendapatan box office yang luar biasa, mencapai miliaran dolar. Namun,

perlu

6
diperhatikan bahwa pendapatan box office tidak sepenuhnya menjadi keuntungan bersih,
karena sebagian pendapatan akan diberikan kepada pihak bioskop, distributor, dan

produsen.

Jika penonton 300.000 orang, dengan modal Rp. 2 miliar, keuntungan Rp. 250

juta. Asumsinya harga tiket rata- rata Rp 25.000 per lembar setelah dipotong pajak

untuk Negara dan dibagi du dengan pemilik bioskop dan distributor, maka pemilik film

atau produser menerima Rp. 7.500 per lembar tiket. Jika penonton 300.000 orang,

produser memperoleh 300 x Rp. 7.500 = Rp. 2.250.000.000. Jika biaya produksi 2

miliar, maka keuntungan Rp. 250.000.000.

B. Pasar

Struktur pasar industri Film di AS adalah oligopoli. Oligopoli adalah bentuk

struktur pasar di mana pasar film dikuasai oleh sejumlah kecil perusahaan besar. Dalam

industri film, beberapa studio besar Hollywood seringkali menjadi pemain dominan

yang menguasai mayoritas pasar. Mereka memiliki kekuatan pasar yang signifikan dan

sering berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar.

Hingga tahun 1994 terdapat setidaknya delapan pemain utama di dalamnya. Disney
dengan market share 18,6 %, Warner Brothers 15,9 %, Paramount 14,2 %, Universal
13,5 %, Fox 10,1 %, Tristar 5,2 %, Columbia 4,7 %, dan MGM 2,5 %

1) Khalayak

Khalayak atau penonton merupakan salah satu segmen penting dalam industri
film. Ini mencakup orang-orang yang menonton film baik di bioskop, televisi, atau

platform streaming. Pasar khalayak terdiri dari berbagai kelompok demografis seperti

usia, jenis kelamin, preferensi genre film, dan preferensi bahasa. Produser film berupaya
memahami pasar khalayak untuk menghasilkan film-film yang sesuai dengan minat dan

kebutuhan penonton, sehingga dapat meningkatkan penjualan tiket bioskop, penonton


televisi, atau penonton streaming. Berdasarkan riset nielsen, penggemar film rata-rata

7
mengonsumsi 10,5 judul film di layar bioskop. Sebanyak 46 % di antaranya adalah
pelanggan Netflix dan 68 % pemilik home theatre. Sebanyak 63 % penonton lebi suka

menonton film di bioskop ketimbang di rumah. Tahun 2007, penonton diperkirakan

tumbuh sebesar 6,4 %.

Di Amerika, penjualan tiket bioskop mencapai rekor pada 1946, yaitu sebanyak

lebih dari 4 miliar tiket. Dwasa ini 1,3 miliar tiket terjual setiap rahu di Amerika

Serikat. Di Indonesia dari tahun 1926- 2005, diproduksi 2.261 judul film (katalog Film

Indonesia 1926- 2005). Berdasarkan data Departemen Penerangan, 112 judul film

diproduksi pada 1990/1991, 41 di tahun 1991/1992, 28 di tahun 1992/1993. Pada


1997/1998, hanya tujuh film Indonesia yang diproduksi. Pada tahun 2006, jumlah film

Indonesia yang diproduksi mencapai 40 judul. Pada tahun 2007, beredar 53 judul film

lokal di bioskop-bioskop Indonesia. Film Indonesia umumnya mengandalkan penonton

sebagai pasar. Untuk meraih penonton, film Indonesia hanya memanfaatkan beberapa

teknologi, seperti penjualan tiket bioskop dan DVD/VCD.

2) Iklan: Product Placement dan Sponsor

Iklan dalam industri film mencakup pendapatan yang diperoleh melalui


penempatan iklan di film atau melalui kemitraan dan promosi yang melibatkan film. Ini

termasuk iklan produk atau merek yang muncul dalam film, iklan pra-film yang

ditayangkan di bioskop, dan kemitraan antara produsen film dengan merek atau produk

tertentu. Pendapatan dari pasar iklan dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi

produsen film dan dapat membantu dalam pembiayaan produksi film.

Dalam industri film Hollywood, mainan bermerek Transformer tampil dalam

film Transformer (2007): mobil Audi berulang kali muncul dalam film Transporter 2

(2005); Calvin Klein tampak dalam film The Island. Dalam film The African Queen,

bintang film Khatarine Hepburn membuang botol minuman bermerek Gordon ke sungai,

Spancer Tracy disemprot dengan Coca-Cola dalam film Father of the Bride (1950). Ini

8
sesungguhnya bukan fenomena baru dalam industri film. Product placement ikut
membantu membiayai (mensponsori) produksi sebuah film secara langsung ataupun

tidak langsung. Di Indonesia, banyak film yang disponsori oleh perusahaan atau

lembaga tertentu. Perusahaan yang acap mensponsori film Indonesia adalah perusahaan

telepon seluler atau perusahaan rokok. Opera Jawa, seperti telah disinggung sebelumnya,

biaya pembuatannya berasal dari sponsor, yaitu Austria, Belanda, dan Belgia.

C. Bioskop

Bioskop memiliki peran yang sangat penting dalam industri film di seluruh

dunia. Mereka adalah saluran distribusi utama bagi film-film yang diproduksi dan
merupakan tempat di mana penonton dapat menikmati film dengan pengalaman

menonton yang unik. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 36.485 layar bioskop. Lebih

dari 80% bioskop punya dua atau lebih layar dengan rata-rata 340 tempat duduk.

Pada tahun 1980-an, berdasarkan data Paramount Decision, bioskop dimiliki

oleh studio Somy/Loews Theaters, Sony-IMAX Theaters, Magic Johnson Theaters, dan

Loews-Star Theaters menguasai sekitar 3.000 layar biskop, serta Warner Brothers

International Theaters memiliki sekitar 1.000 layar bioskop di 12 negara bagian.

Pemerintahan Presiden Ronald Reagen telah membuat deregulasi kepemilikan


bioskop. Sejak tahun 1990-an, studio film tak memiliki layar bioskop lagi, bioskop

dimiliki oleh jaringan besar. Century Theaters memiliki 800 layar dan berencana

menambah 400 layar lagi di 11 negara bagian, Regal Entertainment Group (Regal

Cinemas, United Artist Theaters, Edwards Theaters) memiliki 6.061 layar di 26 negara

bagian. Tujuh jaringan biskop serta jaringan studio menguasai 80% penjualan tiket

bioskop di Amerika.

Di Indonesia, jumlah bioskop belum sebanding dengan jumlah penduduk.


Hingga Juni 2009, di Indonesia terdapat 554 layar bioskop untuk 220 juta penduduk.
Sebagai perbandingan, di Korea dengan jumlah penduduk jauh lebih sedikit dibanding

9
Indonesia, terdapat 360 layar bioskop. Dewasa ini, bioskop di Indonesia dikuasai oleh
jaringan bioskop 21 dan Blitz. Sejak tahun 1986 hingga 2008, sekitar 107 bioskop tutup

akibat tidak Kematian biskop dipercepat oleh maraknya peredaran VCD dan DVD bisa

mengikuti irama permainan dalam peredaran film di Indonesia. (Kompas, 23 Mei 2008).

Survei yang dilakukan oleh Roy Morgan (April 2006-Maret 2007) terhadap penduduk

di 20 kota utama di Indonesia menunjukkan lebih dari 2 juta orang mengunjungi

bioskop lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir, sekitar 1,7 juta orang mengunjungi

bioskop satu kali dalam tiga bulan terakhir, dan sekitar 500 ribu mengunjungi bioskop

antara 3 sampai 12 bulan terakhir.

Bioskop juga menjadi sarana beriklan. Bioskop berperan dalam mempromosikan

film-film baru kepada penonton. Di lobi dan area sekitar bioskop, poster dan baliho

film-film terbaru dipajang untuk menarik minat penontonDi tingkat global, iklan

bioskop meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Zenith Optimedia, seperti

dikutip Media Planning Guide Indonesia 2008, pada tahun 2006, iklan bioskop global

mencapai 1,9 miliar dolar AS Diperkirakan, iklan bioskop meningkat menjadi hampir 3
miliar dolar AS pada tahun 2010. Di Indonesia, pendapatan bioskop dari iklan juga

meningkat dari tahun ke tahun.

D. Kepemilikan

Di Amerika Serikat, hingga tahun 1994, terdapat setidaknya delapan pemain

utama di dalam industri filmnya, yaitu Disney dengan market share 18,6%, Warner

Brothers: 15,9%, Paramount: 14,2%, Universal: 13,5%, Fox: 10,1%, TriStar: 5,2%,
Columbia: 4,7%, dan MGM: 2,5% Konglomerasi dalam industri film dunia merupakan

kepemilikan internasional. Columbia Pictures dimiliki oleh Sony Corp., perusahaan

Jepang, sedangkan Fox dimiliki oleh perusahaan Australia.

Di Indonesia, beberapa perusaahan film juga merupakan perusahaan besar.

Produsen utama dalam industri film di Indonesia, antara lain Rexinema, Kharisma

Starvision, SinemArt Pictures, Maxima, dan Multivision Plus. Multivision Plus dimiliki

10
oleh "raja sinetron" Raam Punjabi. Dalam hal kepemilikan bioskop, jaringan bioskop 21
merupakan kepemilikan yang bersifat monopolistik pada awalnya, hingga kemudian

munculnya jaringan biskop Blitz. Jaringan bioskop 21 pernah dituding sebagai

penyebab tutupnya bioskop- bioskop non-21.

E. Kompetisi

Di Amerika Serikat, kompetisi terjadi di antara delapan pemain utama dalam

industri film di sana. Kompetisi ini melahirkan apa yang disebut blockbuster mentality-

pembuatan film lebih didasarkan pada upaya mencari keuntungan sebesar-besarnya. Di

Amerika, industri film berkompetisi dengan televisi berlangganan, terutama yang


memutar film, seperti Home Box Office (HBO). Di Indonesia, film bersaing dengan

sinetron di televisi. Film Indonesia juga berkompetisi dengan film Hollywood dan

sinetron di televisi atau film televisi. Pada tahun 1990-an, untuk mempertahankan

eksistensi film Indonesia dalam persaingan dengan film Hollywood, sineas Indonesia

membuat film-film bernuansa seks.

Di Indonesia, persaingan juga terjadi antarbioskop. Pada 1990-an, bioskop


jaringan 21 (twenty one) berkompetisi dengan bioskop non- 21. Untuk mempertahankan

kelangsungan hidup, bioskop-bioskop non-21 memutar film-film Indonesia bernuansa


seks. Namun, bioskop non-21 tak mampu bersaing dengan bioskop 21 sehingga banyak

yang bangkrut. Dewasa ini, kompetisi terjadi antara jaringan bioskop 21 dan jaringan

jaringan bioskop Blitz. Kompetisi terjadi dalam hal harga tiket, film-film yang diputar,

serta kenyamanan menonton.

F. Teknologi

Dalam aspek teknologi, terdapat dua jenis teknologi yang mem- logi produksi

film, seperti penggunaan kamera digital, special effects, pengaruhi industri film.

Pertama, penggunaan secara lebih luas tekno- komputer, dan lain-lain. Kedua, berkaitan
dengan teknologi konsumsi film, seperti video on demand, gambar digital, home video,

private theatre, internet, dan lain-lain.

11
Teknologi produksi film telah mengalami perkembangan pesat, memungkinkan
pembuat film untuk menciptakan karya yang lebih kreatif dan berkualitas tinggi. Salah

satu aspek utama teknologi produksi film adalah kamera dan peralatan fotografi. Selain

itu, teknologi efek visual dan grafika komputer (CGI) juga memainkan peran penting

dalam produksi film. Dengan menggunakan perangkat lunak khusus, pembuat film

dapat menciptakan efek visual yang kompleks dan realistis, seperti penciptaan makhluk

fantasi, simulasi bencana, atau adegan aksi yang spektakuler. Selain dalam proses

produksi, teknologi editing dan post-production juga memberikan kontribusi signifikan.

Perangkat lunak editing seperti Adobe Premiere Pro, Final Cut Pro, dan Avid Media
Composer memungkinkan penyuntingan video yang presisi dan pengolahan suara yang

canggih. Hingga penyimpanan dan transfer data juga memainkan peran penting dalam

produksi film. Penggunaan hard drive eksternal, server, dan cloud storage

memungkinkan penyimpanan yang aman dan efisien dari data film. Ini memudahkan

transfer data antara tim produksi, penyunting, dan pihak-pihak terkait dalam proses

produksi film. Dengan adanya teknologi penyimpanan yang baik, produsen film dapat

mengelola dan memproses data film dengan lebih efisien.

Dalam hal media distribusi film, dewasa ini mulai berlangsung konvergensi
teknologi. Film kini tidak hanya diproduksi untuk bioskop, tetapi juga DVD, televisi

jaringan, dan televisi kabel. Dalam industri film, teknologi distribusi juga mengalami
transformasi yang signifikan. Salah satu teknologi distribusi utama adalah Digital

Cinema Package (DCP). DCP adalah format file digital yang digunakan dalam distribusi

film ke bioskop. DCP menggantikan format fisik seperti rol film dan memungkinkan

transfer film secara digital dengan kualitas tinggi dan konsisten. Hal ini mempermudah

distribusi film ke berbagai bioskop di seluruh dunia.

Selain itu, kemajuan teknologi internet telah membawa perubahan revolusioner

dalam cara film diakses oleh penonton. Platform streaming seperti Netflix, Amazon
Prime Video, dan Disney+ memungkinkan penonton untuk menonton film secara

12
langsung melalui internet. Film-film dapat di-streaming ke berbagai perangkat seperti
komputer, smart TV, atau smartphone, memberikan fleksibilitas dan aksesibilitas yang

lebih besar bagi penonton. Layanan Video On Demand (VOD) juga menjadi populer, di

mana penonton dapat menyewa atau membeli film secara online dan menontonnya

sesuai keinginan. Meskipun biaya mendigitalisasi film terbilang mahal Untuk

mendigitalisasi satu film dibutuhkan biaya sekitar Rp 15 juta (tahun 2008).

G. Regulasi

Di Amerika, regulasi awalnya berhubungan dengan kompetisi belakangan

regulasi dalam industri film umumnya berkaitan dengan sensor. Selama lebih dari
setengah abad, banyak negara bagian dan kota memiliki lembaga sensor film, sensor

umumnya berkaitan dengan masalah politik dan moral. Namun, pada tahun 1950-an,

Mahkamah Agung melarang pemerintah negara bagian menyensor atau melarang

peredaran film-film tertentu. Hollywood kemudian melakukan sensor mandiri dengan

men ciptakan sistem rating. Rating berupa penggolongan film berdasarkan materi atau

isi film. Rating terdiri atas:

 G : General audiences
 PG : Parental Guiden, for mature audience
 PG – 13 : Parental Guiedence ( advised for childern under 13 years old)
 R: Restricted : no one under 17 years old admitted unless accompanied by an adult
 NC- 17 : No children under 17: replaces the old X rating

Regulasi lainnya di Amerika adalah copy right atau hak cipta.at dari si Penerapan

hak cipta di sana relatif baik sehingga industri terkait hak cipta, seperti film,

berkembang pesat Industri hak cipta di Amerikan di negar menurut laporan International

Intellectual Property Alliance (IIPA), menyumbang 1,38 triliun dolar atau 11,12% GDP

AS tahun 2005. Industri ini juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 113 juta
orang. Di Indonesia, regulasi perfilman yang berlaku di masa penjajahan adalah

Ordonansi Film No. 507, pemerintah orde lama memberlakukan UU No. 1 PNPS Tahun
1964, di masa orde baru berlaku UU Perfilman No. 8 Tahun 1992. Pada tahun 2009,

13
pemerintah memberlakukan UU Perfilman yang baru.

Di Indonesia, regulasi juga berupa sensor. Indonesia di masa orde baru memiliki

lembaga sensor bernama Badan Sensor Film (BSF), di masa reformasi ia berganti nama

menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). Antara tahun 1970 hingga 2005 setidaknya ada

40 judul film Indonesia yang terkena sensor. Pada tahun 2007, LSF menyensor 53 judul
film Indonesia dan 2007 judul film impor (Koran Tempo, 25 Mei 2008). Film- film

tersebut disensor kebanyakan karena menampilkan adegan seks, kekerasan, dan SARA.

Berdasarkan data LSF, sepanjang tahun 2007, adegan seks yang disensor sepanjang

2.383,5 meter (sekira 18 rol film), sadistis 539,3 meter (4 rol film), dan SARA atau

ketertiban umum 260,5 meter (2 rol film).

Regulasi lainnya adalah berkaitan dengan perlindungan film dari pembajakan


(UU Hak Cipta). Pelaku pembajakan umumnya membajak film-film Indonesia ke dalam

cakram VCD maupun DVD. Untuk mengurangi pembajakan, di masa awal distribusi,

film-film Indonesia hanya dibuat untuk bioskop. Setelah film tersebut tidak lagi diputar

di bioskop, baru dibuatkan cakram VCD atau DVD-nya. Sebagaimana di Amerika, LSF

juga menetapkan rating film. Rating film terdiri atas semua umur, 13 tahun ke atas, dan

17 tahun ke atas. Rating seperti ini penerapannya tidak begitu ketat, bioskop sering kali

meloloskan anak-anak menonton film 17 tahun ke atas.

H. Masa Depan

Masa depan industri film menjanjikan banyak perubahan dan tantangan yang

akan mempengaruhi cara film diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Berikut

adalah beberapa perkiraan dan tren yang dapat membentuk masa depan industri film:

1. Teknologi Digital yang Lebih Canggih: Kemajuan teknologi terus mendorong

inovasi dalam produksi film. Kamera dengan resolusi ultra-tinggi dan

kemampuan pengambilan gambar dalam kecepatan tinggi akan memberikan


pengalaman visual yang lebih mendalam. Teknologi CGI akan semakin realistis

dan memungkinkan pembuat film untuk menciptakan dunia yang lebih imersif.
Selain itu, perangkat lunak editing dan efek visual akan semakin canggih

14
memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menciptakan karya-karya yang
unik.

2. Perkembangan Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR): VR dan AR

akan mengubah cara kita mengalami film. Teknologi VR memungkinkan

penonton untuk masuk ke dalam dunia film dan menjadi bagian dari cerita

tersebut, sementara teknologi AR menggabungkan elemen virtual dengan dunia

nyata. Hal ini akan membuka pintu bagi pengalaman menonton yang lebih

interaktif dan imersif.

3. Penyiaran dan Streaming Digital yang Lebih Dominan: Penyiaran dan streaming
digital akan terus tumbuh sebagai metode utama distribusi film. Platform

streaming seperti Netflix, Amazon Prime Video, dan Disney+ akan terus
mendominasi pasar, sementara bioskop mungkin menghadapi tantangan untuk

menarik penonton dengan pengalaman yang lebih unik dan premium.

4. Konten Multiplatform dan Interaktif: Film tidak lagi terbatas pada layar bioskop.

Konten film akan hadir di berbagai platform seperti streaming, televisi, aplikasi

seluler, dan media sosial. Penggunaan teknologi interaktif juga akan meningkat,

memungkinkan penonton untuk terlibat lebih dalam dengan cerita dan karakter
dalam film.

5. Diversifikasi dan Representasi yang Lebih Inklusif: Masa depan industri film

akan lebih menekankan pada keberagaman dan representasi yang inklusif.

Penonton semakin mengharapkan cerita yang mencerminkan berbagai latar

belakang dan pengalaman hidup. Ini akan mendorong produsen film untuk

menciptakan konten yang lebih beragam dan memperluas representasi yang ada.

Dilihat dari kemampuannya beradaptasi dengan berbagai teknologi untuk meraih


penonton, masa depan industri film bisa dikatakan cerah, namun dilihat dari sisi cost
production yang cenderung makin mahal, selera penonton yang berubah-ubah,

pembajakan, serta munculnya industri film di negara lain, membuat masa depan industri

15
film masih merupakan tantangan. Di masa depan, industri film harus menyesu aikan diri
dengan perkembangan teknologi, baik teknologi produksi maupun teknologi konsumsi.

Konvergensi teknologi diperlukan untuk mempertahankan kelangsung hidup industri

film. Film Indonesia kini mulai bergerak ke era industri. Mulai banyak produser film

yang membuat film untuk tujuan komersil, menciptakan pasar, menggunakan tenaga

profesional dan metode profesional Penyediaan tenaga profesional harus didukung oleh

ketersediaan sekolah film. Untuk penduduk yang berjumlah 230 juta jiwa, Indonesia

hanya punya satu sekolah film, bandingkan dengan India yang punya 30 sekolah film,

Korea punya 7, Filipina ada 5, dan Iran punya 2.

Tantangan lain industri film di Indonesia adalah pembajakan. Pemerintah juga

harus menerapkan regulasi tentang hak cipta secara ketat untuk mengurangi pembajakan

demi kelangsungan industri film. Kampanye antipembajakan serta strategi distribusi-

misalnya dengan hanya membuat film untuk bioskop di masa awal distribusi-

merupakan langkah lain untuk mengurangi pembajakan.

16
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Industri film merupakan sektor yang penting dan kompleks yang melibatkan
produksi, distribusi, dan konsumsi film. Industri film memiliki peran yang signifikan

dalam ekonomi global dan budaya populer, serta memiliki dampak yang luas terhadap

masyarakat. Dalam perkembangannya, industri film telah mengalami transformasi yang

besar, terutama berkat kemajuan teknologi. Teknologi produksi film telah

memungkinkan pembuat film untuk menciptakan karya yang lebih kreatif dan

berkualitas tinggi dengan fitur-fitur seperti kamera digital, efek visual, dan perangkat
lunak editing yang canggih. Sementara itu, teknologi distribusi film telah mengubah

cara film diakses oleh penonton melalui platform streaming, layanan Video On Demand

(VOD), dan distribusi online.

Dalam era digital, industri film menghadapi tantangan dan peluang baru.

Perubahan dalam teknologi, kebiasaan konsumen, dan platform distribusi telah

mengubah lanskap industri film secara signifikan. Dalam menghadapi tantangan dan

perubahan ini, industri film perlu terus beradaptasi, berinovasi, dan mempertahankan
kualitas konten yang baik. Secara keseluruhan, industri film merupakan industri yang

menarik dan dinamis. Dengan terus mengikuti perkembangan teknologi,

mengidentifikasi tren pasar, dan menghargai kebutuhan penonton, industri film dapat

terus berkembang dan memberikan kontribusi yang berarti dalam budaya dan ekonomi

global.

B. Saran

Tentunya kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak

terdapatkesalahan dan masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami membutuhkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk perbikan makalah ni kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Biran, Misbach Yusa, Sejarah Film 1900-1950, Depok: Komunitas Bambu, 2009.

Komalawati, Euis. “Industri Film Indonesia”. Laporan Hasil Penelitia. Jakarta: STIAMI,
2017.
Kristanto, J.B. dan Rahman, Lisabona, Indonesia Film Catalogue 2008,
Jakarta: Nalar, 2008.
Kristanto, J.B., Katalog Film Indonesia 1926-2005, Jakarta: Nalar & Fakultas Film dan
Televisi, Kesenian Jakarta-Sinematek Indonesia, 2005.

18

Anda mungkin juga menyukai