Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MAKALAH PEMICU 1

INDUSTRI OLEOKIMIA
MIKROALGA SEBAGAI FEEDSTOCK INDUSTRI
OLEOKIMIA (BIODIESEL)

UNIVERSITAS INDONESIA

Kelompok Pelumas

Ahmad Syauqi 1906432723


Eufrat Eradi 1906322650
Lia Kusuma Dewi 1906432856
Siska Pebriani 1906322833

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK KIMIA


DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kuasa-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Laporan ini dibuat atas
dasar pemicu ketiga dari mata kuliah Industri Oleokimia. Penulis juga berterima kasih
kepada seluruh pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
penyelesaian laporan ilmiah ini, yaitu:
1. Dosen mata kuliah Industri Oleokimia, Dr. Dianursanti, S.T, M.T dan Dr.Tania Surya
Utami, S.T, M.T yang telah membimbing penulis selama proses penulisan makalah
ini.
2. Seluruh rekan mata kuliah Industri Oleokimia, seluruh angkatan, serta segala pihak
yang telah membantu penulis.
Penulis menyadari kekurangan yang terdapat dalam makalah ilmiah ini. Untuk itu,
penulis meminta maaf atas semua kesalahan yang terjadi pada laporan ini. Penulis juga
mengharapkan saran, kritik, dan umpan balik dari para pembaca untuk tulisan ini. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak dan berharap
semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Depok, Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................................v
BAB 1 ................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Pembahasan ................................................................................................... 1
1.3 Struktur Topik Bahasan ............................................................................................. 2
BAB 2 ................................................................................................................................3
2.1 Potensi Pemanfaatan Mikroalga ................................................................................ 3
2.1.1 Produk Turunan Mikroalga ......................................................................................4
2.1.2 Potensi Mikroalga sebagai Bahan Baku Biodiesel ..................................................5
2.2 Jenis Mikroalga ......................................................................................................... 6
2.2.1 Jenis Mikroalga untuk Kultivasi dalam Waste Water ..............................................9
2.2.2 Pemilihan Strain Mikroalga ...................................................................................10
2.3 Kultivasi Mikroalga ................................................................................................. 12
2.3.1 Produktivitas Produksi Lipid, Karbohidrat, dan Protein pada Mikroalga ..............15
2.3.2 Ketahanan Mikroalga dalam Waste Water ............................................................17
2.3.3 Perbandingan Kultivasi Mikroalga dalam Waste Water dan Fresh / Sea Water....19
2.4 Harvesting dan Ekstraksi ......................................................................................... 20
2.4.1 Teknologi Harvesting Mikroalga ...........................................................................20
2.4.2 Teknologi Ekstraksi Mikroalga ..............................................................................22
2.5 Biorefinery Mikroalga ............................................................................................. 24
2.6 Keekonomian Mikroalga ......................................................................................... 27
BAB 3 ..............................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................30

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur Umum Mikroalga………………………………………………....3


Gambar 2.2. Produk Turunan Microalgae………………………………………………..4
Gambar 2.3. Pathway Produksi Produk Turunan Microalgae .......................................... 5
Gambar 2.4. Kandungan Minyak Pada Beberapa Spesies Mikroalga…………………...12
Gambar 2.5. Kurva Fase Pertumbuhan Mikroalga……………………………………...13
Gambar 2.6. Kultivasi Mikroalga Pada Kultur Sistem Terbuka/Raceway……………..14
Gambar 2.7. Kultivasi Mikroalga Pada Kultur Fotobioreaktor Tubular……………….14
Gambar 2.8. Produk Makromolekul Dari Kultivasi Mikroalga………………………...15
Gambar 2.9. Diagram Alir Yang Menunjukkan Bagaimana Sumber Limbah Cair Dapat
Digunakan Untuk Produksi Bioenergi Berkelanjutan Berbasis Mikroalga…………….19
Gambar 2.10. Perbandingan Rata-Rata Pertumbuhan Mikroalga Pada Freshwater Dan
Wastewater……………………………………………………………………………..20
Gambar 2.11. Reaksi Sederhana Pembentukan Biodiesel……………………………....25
Gambar 2.12. Skema Konversi Minyak Mikroalga ……………………………………26
Gambar 2.13. Berbagai Kegunaan Alga Dalam Konsep Biorefinery…………………..27

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1. Alga Versus Plant ........................................................................................... 6


Tabel 2. 2. Komponen Trigliserida CPO ........................................................................ 11
Tabel 2. 3. Perbandingan Rata-Rata Komposisi Makromolekul Beberapa Organisme . 16
Tabel 2. 4. Pengaruh Perbedaan Taksonomi Terhadap Makromolekul Yang Diproduksi
........................................................................................................................................ 16
Tabel 2. 5. Keuntungan Dan Kekurangan Penggunaan Waste Water Dibandingkan
Sumber Organik Karbon Lainnya .................................................................................. 18
Tabel 2. 6. Perbandingan Kelebihan Dan Kekurangan Masing-Masing Metode Harvesting
........................................................................................................................................ 21
Tabel 2. 7. Efisiensi Tiap-Tiap Metode .......................................................................... 21
Tabel 2. 8. Tabulasi Keekonomian Produk Alga Dan Cost Breakdown Fungsi Dari
Metode Kultivasi Dan Kapasitas .................................................................................... 28
Tabel 2. 9. Rincian Biaya Pembuatan Pabrik Biodiesel dari Microalgae....................... 28

v
1 BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat di berbagai belahan dunia,
membawa konsekuensi kebutuhan energi yang tinggi. Apabila pemerintah di seluruh
dunia tetap menerapkan kebijakan energi seperti sekarang ini, diperkirakan pada tahun
2030 kebutuhan energi dunia akan meningkat 60% dari saat ini (Patil et al, 2008). Saat
ini, mayoritas pemenuhan kebutuhan energi dunia masih mengandalkan bahan bakar fosil
yang tidak terbarukan. Padahal, seperti diketahui, cadangan bahan bakar ini semakin
menipis. Selain itu, bahan bakar ini melepaskan sejumlah emisi seperti karbon dioksida
(CO2), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen oksida (NO2) yang berkontribusi dalam
meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca.
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 2/3 wilayahnya adalah lautan dengan
garis pantai terpanjang di dunia, 80.791,42 km (www.energi.lipi.go.id). Indonesia kaya
akan sumber daya hayati perairan yang melimpah baik dari jenis maupun jumlah, salah
satunya adalah algae.
Mikroalga mempunyai beragam kebermanfaat, dimana salah satunya yaitu sebagai
bahan baku biodiesel. Pencarian green energi generasi ketiga (3 rd) yang sesuai dengan
alam tropis Indonesia melahirkan gagasan bio-minyak dari berbagai sumber tidak
bersaing dengan pangan seperti algae.
Dari berbagai potensi dan kelebihan yang dimiliki algae dibandingkan dengan
biomass lainnya menjadikan mikroalge menjadi salah satu feedstock yang menjanjikan
untuk dikembangkan. Namun, saat ini perkembangan teknologi alga menjadi biofuel /
biodiesel masih belum feasible untuk diimplementasikan sehingga diperlukan kajian dan
telaah secara mendalam untuk kedepannya dapat dikembangkan menjadi bahan baku
alternatif pembuatan biodiesel.

1.2 Tujuan Pembahasan


Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari potensi dan manfaat mikroalga sebagai bahan baku alternative untuk
biodiesel,
2. Mempelajari karakteristik / jenis mikroalga untuk proses produksi biodiesel,

1
2

3. Mempelajari teknik kultivasi, harvesting, dan ektraksi mikroalga dan hal


mempengaruhi terhadap pertumbuhannya,
4. Mempelajari potensi scale – up dan implementasi mikroalga dan integrasinya
untuk proses bio-refinery
5. Keekonomian mikroalga sebagai bahan baku biodiesel

1.3 Struktur Topik Bahasan


Penulisan makalah ini terdiri atas tiga bagian, yaitu:
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Pembahasan
1.3 Struktur Topik Bahasan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Potensi Pemanfaatan Mikroalga
2.1.1 Produk Turunan Mikroalga
2.1.2 Potensi Mikroalga sebagai Bahan Baku Biodiesel
2.2 Jenis Mikroalga
2.2.1 Jenis Mikroalga untuk Kultivasi dalam Waste Water
2.2.2 Pemilihan Strain Mikroalga
2.3 Kultivasi Mikroalga
2.3.1 Produktivitas Produksi Lipid, Karbohidrat, dan Protein pada Mikroalga
2.3.2 Ketahanan Mikroalga dalam Waster Water
2.3.3 Perbandingan Kultivasi Mikroalga dalam Waste Water dan Fresh / Sea
Water
2.4 Harvesting dan Ekstraksi
2.4.1 Teknologi Harvesting Mikroalga
2.4.2 Teknologi Ekstraksi Mikroalga
2.5 Biorefinery Mikroalga
2.6 Keekonomian Mikroalga

BAB 3. KESIMPULAN
3

2 BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Potensi Pemanfaatan Mikroalga


Mikroalga pada umumnya merupakan tumbuhan renik berukuran mikroskopik
(diameter antara 3-30 µm) yang termasuk dalam kelas alga dan hidup sebagai koloni
maupun sel tunggal di seluruh perairan tawar maupun laut. Morfologi mikroalga
berbentuk uniseluler atau multiseluler tetapi belum ada pembagian fungsi organ yang
jelas pada sel-sel komponennya. Hal itulah yang membedakan mikroalga dari tumbuhan
tingkat tinggi.
Mikroalga hidup di berbagai habitat perairan dan dapat ditemukan mulai di bagian
sedimen sampai area intertidal. Mikroalga umumnya bersel satu atau berbentuk benang
dan selama hidupnya merupakan plankton. Gunawan (2011) dalam Widyastuti (2014)
menjelaskan bahwa mikroalga juga merupakan kelompok fitoplankton atau plankton
jenis nabati. Oleh karenanya, mikroalga lazim disebut sebagai fitoplankton. Fitoplankton
memiliki zat hijau daun (klorofil) yang berperan dalam menghasilkan bahan organik dan
oksiden dalam air. Sebagai dasar mata rantai pada siklus makanan di laut, fitoplankton
menjadi makanan alami bagi zooplankton baik yang masih kecil maupun yang dewasa.
Selain itu, fitoplankton juga menjadi nutrisi bagi larva ikan dan vertebrata, mikroba dan
organisme yang lebih besar seperti udang, kepiting, kerang, ikan dan burung (Anonim,
2008 dalam Widyastuti, 2014).

Gambar 2. 1. Struktur Umum Mikroalga


(Sumber: Catur Rini dan Ayu Chandra, 2010)
4

2.1.1 Produk Turunan Mikroalga


Microalgae terdiri dari lipid, karbohidrat, dan protein, ketiga komponen tersebut
merupakan komponen-komponen yang sangat penting dan mempunyai banyak kegunaan
sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.2 Produk Turunan Microalgae. Pada Gambar 2.2
Produk Turunan Microalgae terlihat bahwa ada 4 kategori utama produk turunan dari
microalgae yaitu omega-3 yang dapat menjadi nutrisi bagi manusia maupun hewan
ternak, minyak yang dapat menjadi bahan kosmetik, minyak alga yang dapat menjadi
bahan bakar nabati, dan residual yang dapat menjadi pakan hewan ternak.

Gambar 2.2. Produk Turunan Microalgae


(Sumber: http://www.algencal.it/microalgae/?lang=en)

Dalam penggunaannya dibutuhkan berbagai proses untuk mengkonversi


microalgae menjadi beragam produk, Pada Gambar Gambar 2.3. Pathway Produksi
Produk Turunan Microalgae ditampilkan pathway konversi microalgae menjadi beragam
produk. Minyak alga melalui trans-esterifikasi dapat digunakan sebagai bahan bakar
nabati, sedangkan melalu proses pada industri oleokimia didapatkan bahan kimia
terbarukan atau produk bernilai tambah tinggi. Protein alga dapat dimanfaatkan langsung
sebagai makanan. Sedangkan karbohidrat alga dapat dimanfaatkan sebagai biogas melalui
proses digesti anaerob atau menjadi bahan bakar melalui fermentasi jalur lignoselulosa,
5

atau langsung menjadi makanan ternak. Tidak hanya itu mineral dari alga juga dapat
dimanfaatkan untuk kultivasi alga atau menjadi produk bernilai tambah tinggi. Sedangkan
biomas algae (algae mass) dapat dijadikan bahan baku untuk biogas : methane; Synthesis
Gas; Liquid Fuels (via gas) : Jetfuel, diesel; Alkohol : etanol,metanol; Food; Fertilizer.

Gambar 1.3. Pathway Produksi Produk Turunan Microalgae


(Sumber: Chew Et Al., 2017)

2.1.2 Potensi Mikroalga sebagai Bahan Baku Biodiesel


Pencarian green energy generasi ketiga yang sesuai dengan alam tropis Indonesia
melahirkan gagasan bio-minyak dari berbagai sumber tidak bersaing dengan tanaman
pangan seperti tanaman nyamplung, rerumputan, halofita dan alga. Alga merupakan
tanaman tingkat rendah perairan yang mampu berfotosintesa dan menghasilkan zat-zat
yang dapat dikonversi menjadi bioenergi etanol, methan dan minyak dari komponen
karbohidrat, protein dan lipid yang ditimbun dalam sel biomassanya. Minyak dari
mikroalga diduga secara ekonomi lebih ramah lingkungan karena sifatnya yang
terbarukan. Seperti halnya tanaman, proses fotosintesa mikroalga menggunakan sinar
matahari dan donor elektron air untuk mensintesa sumber karbon. Disinyalir mikroalga
melakukannya dengan lebih efisien dibandingkan dengan tanaman lain. Produktivitas
minyak dari beberapa mikroalga sangat banyak melampaui produksi minyak dari
tanaman. Beberapa jenis mikroalga yang diduga sebagai depositor hidrokarbon, seperti
6

Botryococcus sp., Chlorella sp., Dunaliella sp., Nannochloropsis sp. dan berbagai jenis
diatomae (Sazdanoff, 2003 dan Chisty, 2007). Komponen minyak alga mengandung
beragam jenis hidrokarbon rantai panjang. Pernet et al. (2003) menyatakan bahwa variasi
pada komponen asam-asam lemak pada mikroalga bersifat spesifik spesies dan variasi
asam-asam lemak tersebut dipengaruhi oleh proses kultur atau produksi alganya.
Prediksi Schultz (2006) akan dihasilkan minyak alga sebesar 7660 liter untuk setiap
hektarnya. Angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan minyak nabati yang
dihasilkan dari tumbuhan-tumbuhan dengan luas lahan yang sama.hal ini terlihat pada
Tabel 2.1. Alga Versus Plant.

Tabel 2. 1. Alga Versus Plant

(Sumber: Sazdanov, 2006)

2.2 Jenis Mikroalga


Mikroalga diklasifikasikan menjadi beberapa divisi sebagai berikut.
a. Cyanobacteria atau Alga Biru Hijau
Cyanobacteria atau Alga Biru Hijau aalah kelompok alga yang paling primitif dan
memiliki sifat-sifat bakterial dan alga. Kelompok ini adalah organisme prokariotik
tidak memiliki struktur-struktur sel, contohnya nukleus dan chloroplast. Hanya
memiliki chlorophila, namun memiliki variasi phycobilin seperti carotenoid.
Pigmen-pigmen ini beragam variasi sehingga warnanya bias bermacam-macam.
Contohnya Spirulina, Oscillatoria, Anabaena.
7

b. Alga Hijau (Chlorophyta)


Alga hijau adalah kelompok alga yang paling maju dan memiliki banyak sifat-sifat
tanaman tingkat tinggi. Merupakan organisme prokaryotik dan memiliki struktur-
struktur sel khusus, memiliki kloroplas, DNA–nya berada dalam sebuah nukleus, dan
beberapa jenisnya memiliki flagella. Dinding sel alga hijau sebagaian besar berupa
sellulosa, meskipun ada beberapa yang tidak mempunyai dinding sel. Mempunyai
klorophil a dan beberapa karotenoid, dan biasanya mereka berwarna hijau rumput.
Pada saat kondisi budidaya menjadi padat dan cahaya terbatas, sel akan memproduksi
lebih banyak klorophil dan menjadi hijau gelap. Contoh: Tetraselmis (Air tawar, air
laut) dan Pyramimonas memiliki penampakan serta sifat berenang yang identik
dengan tetraselmis. Kedua organisme ini adalah sumber makan yang populer untuk
mengkultur rotifer, kerang, dan larva udang.
Contoh lainnya, Clamidomonas (Air tawar, air laut), Nannocloris (Air tawar, air
laut,) yang berwarna hijau tidak motil dan tidak memiliki flagel, berukuran sangat
kecil dengan diameter 1,5-2,5 mm, sel berbentuk bola, cenderung mengapung dalam
budidaya, berupa suspensi dalam kondisi tanpa aerasi sehingga menguntungkan bagi
usaha budidaya. organisme ini adalah sumber makan yang populer untuk mengkultur
rotifer, kerang, dan larva udang. Dunaliella (air tawar, air laut), Botryococcus dan
Chlorella (Air tawar, air laut) yang selnya bereproduksi dengan membentuk dua
sampai delapan sel anak didalam sel induk yang akan dilepaskan dengan melihat
kondisi lingkungan. Merupakan pakan untuk rotifer dan dapnia.
c. Diatom (Bacillariophyceae)
Diatom adalah kelompok alga yang unik dengan dinding sel yang terbentuk dari
silikon dioksida.yang dipenuhi banyak lubang sehingga tampak seperti ayakan
(saringan) dan secara komersial dapat digunakan sebagai perlengkapan dalam
beberapa peralatan filter. Tidak memiliki flagella kecuali pada beberapa spesies
tertentu. hanya memiliki chlorophyl a dan c serta beberapa carotenoid seperti
fucoxanthin sehingga berwarna kecoklatan. Organisme ini biasa digunakan sebagai
pakan dalam budidaya. Contoh Chaetoceros (Air laut,) yang popular sebagai pakan
rotifer, kerang-kerangan, tiram, dan larva udang.
8

d. Alga Coklat Emas (Chrysophyceae)


Alga coklat-emas dikaitkan dengan diatomae, namun mereka memiliki dinding sel
silika yang sedikit selama masa hidup mereka. Alga ini memiliki sifat-sifat yang
dapat ditemui pada sebagian besar alga. Beberapa anggota kelompok alga ini
memiliki flagella dan motil. Semua memiliki kloroplas dan memilki DNA yang
terdapat di dalam nukleusnya. Alga ini hanya memiliki chlorophyl a dan c serta
beberapa carotenoid seperti fucoxanthin yang memberikan mereka warna
kecokelatan. Alga ini seringkali dibudidayakan dalam bentuk uniseluler pada usaha
budidaya sebagai sumber pakan. Contoh Isochrysis (air laut), Nannochloropsis (air
tawar, air laut), Ellipsoidon (Air tawar, air laut).
e. Alga Merah (Rhodophyta)
Alga merah merupakan makroalga i. hanya memiliki chlorophyl a di samping
memiliki pigmen lainnya seperti phycocyanin (pigmen biru), dan phycoeretrin
(pigmen merah), seperti juga halnya berbagai carotenoid. Phycoeretrin memberi
warna merah pada alga ini. Selain itu alga ini juga terkadang berwarna hijau kebiruan
hingga ungu. Alga merah uniseluler tidak motil dan tidak memiliki flagel. Dapat
digunakan dalam lingkungan budidaya. Contohnya Porphyridium. Alga ini
digunakan pada lingkungan budi daya untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat.
f. Euglenophyta
Euglenophyta dimasukkan dalam kelompok alga hijau oleh beberapa ahli taksonomi
dan dimasukkan ke dalam golongan protozoa oleh sebagian ahli lainnya dikarenakan
organisme ini memiliki sifat-sifat tanaman sekaligus hewan. Organisme ini
merupakan organisme eukaryotik dengan struktur-struktur tubuh yang dapat
dijumpai pada sebagian besar alga, namun mereka juga memiliki kerongkongan
sehingga mereka dapat memasukkan partikel ke dalam tubuhnya. Mereka memiliki
satu flagella yang panjang dan bisanya berenang dengan cara menarik diri mereka
melalui air. Beberapa di antaranya melakukan gerakan amoeboid. Organisme ini
tidak memiliki dinding sel, namun mereka memiliki lapisan luar yang keras yang
tersusun dari protein yaitu pellicle, yang memiliki fungsi yang sama seperti dinding
sel. Euglenophyta memiliki chlorophyl a dan b beberapa carotenoid dan biasanya
mereka terlihat berwarna hijau rumput. Euglena umum ditemukan di perairan yang
kaya akan nutrien. Contoh Euglena.
9

g. Cryptophyta
Cryptophyta adalah kelompok uniseluler yang unik yang tidak memiliki kedekatan
dengan kelompok alga lainnya. Kelompok ini merupakan organisme eukaryotik, dan
mereka juga memiliki kerongkongan. Semua spesies kelompok ini memiliki flagel,
bersifat motil, dan memiliki satu atau dua kloroplast serta memiliki chlorophyl a dan
c, phycocyanin dan phycoeretrin serta beberapa carotenoid yang memberikan warna
kecokelatan pada tubuh mereka. Cryptomonas (Air tawar, air laut;). memiliki 1-2
kloroplas cokelat dan dapat melakukan fotosintesa ataupun bertahan hidup
menggunakan bakteri. Pada umumnya tidak digunakan sebagai pakan pada
lingkungan budidaya, namun demikian populasi di alam merupakan makanan bagi
rotifer, kerang, tiram, dan larva udang.
h. Phyrrophyta
Dalam kelompok ini terdapat dinoflagellata yang merupakan suatu kelompok
organisme uniseluler yang unik yang memiliki dua flagella dan umum dijumpai di
air tawar maupun air laut. Kelompok ini merupakan organisme eukaryotik.. Salah
satu ciri khas kelompok organisme ini adalah keberadaan dinding sel yang terbuat
dari lapisan selulosa. Akan tetapi ada beberapa organisme yang tidak memiliki
dinding sel ini. Organisme ini memiliki dua flagella. Banyak organisme dari
golongan ini yang memiliki trichocyst, yaitu struktur protein yang dapat dikeluarkan
dari permukaan sel untuk melindungi diri dari predator. Fenomena ‘red tide’ adalah
peristiwa yang dihubungkan dengan ledakan (berkumpulnya) dinoflagellata karena
adanya pigmen kemerahan yang terakumulasi dalam organisme-organisme ini dan
dalam jumlah yang besar yang terjadi pada kondisi lingkungan tertentu. Beberapa
dinoflagellata menyebabkan peracunan pada kerang-kerangan dan menyebabkan
pengakumulasian neurotoxin dalam konsentrasi tinggi. Beberapa spesies merupakan
parasit bagi ikan yang menyebabkan masalah seperti ‘velvet disease’. Sebagian besar
spesies bukan merupakan makanan ikan karena ukurannya terlalu besar untuk
dikonsumsi.
2.2.1 Jenis Mikroalga untuk Kultivasi dalam Waste Water
Pada umumnya tiap jenis mikroalga memiliki potensi mampu bertahan hidup dan
berkembangbiak dalam air limbah namun harus tetap pada batasan konsentrasi senyawa
yang terkandung dan karakteristik dari air limbahnya harus pada batasan yang bisa
diterima oleh algae. Dari beberapa penelitian, disebutkan bahwa kultivasi alga dalam air
10

limbah akan meningkatkan kandungan lipid namun menurunkan produktivitas


pertumbuhan.
Beberapa penelitian mikroalga yang menggunakan waste water.
1. Wang et al. (2010) melaporkan bahwa penelitiannya dengan menggunakan Chlorella
sp. dapat diaplikasikan secara efisien pada limbah industri dengan konsentrasi total N
hingga 131,5 mg/l dan konsentrasi totap P hingga 201,5 mg/l.
2. An et al., (2003) menyatakan bahwa alganya Brotryococcus braunii dapat tumbuh baik
menyerap limbah NO3 sekitar 80%.
3. BPPT dalam penelitiannya berjudul “Mikro Alga Untuk Penyerapan Emisi CO2 Dan
Pengolahan Limbah Cair Di Lokasi Industri” (2011), menyatakan bahwa Chlorella sp.
juga berpotensi sebagai agen pengolah air limbah di industri. Selama 14 hari masa
inkubasi konsentrasi nitrat dan fosfat yang terkandung dalam limbah 3-4 mg/l dapat
diturunkan menjadi 0,05-0,1 mg/l.
4. Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, dalam
penelitiannya berjudul “Kultivasi Mikroalga Sebagai Metode Pengolahan Dalam
Menyisihkan Kadar Cod Dan Amonium Pada Limbah Cair Tahu” (2017), menyatakan
bahwa Botryococcus braunii memiliki kepadatan sel sebesar 1.570.000 sel/mL pada
hari ke-5, Chlorella pyrenoidosa memiliki kepadatan sel sebesar 1.420.000 sel/mL
pada hari ke-6, Tetraselmis chuii memiliki kepadatan sel sebesar 1.270.000 sel/mL
pada hari ke-5, Spirulina platensis 170.000 sel/mL pada hari ke-1.
2.2.2 Pemilihan Strain Mikroalga
Pemilihan strain algae tergantung dari produk apa yang kita inginkan untuk
diproduksi dari mikroalga, sebagai contoh jika kita ingin mendapatkan biodiesel sebagai
produk akhir maka kita harus menseleksistrain algae yang mempunyai kandungan lipid
yang tinggi karena kandungan lipid dalam algae nanti yang akan diekstraksi menjadi alga
oil.
Langkap atau tahapan dalam menentukan strain alga meliputi analisa komposisi
trigliserida dalam berbagai minyak nabati ,produksi biomassa dan produksi lipid dari
mikroalgae, analisis komponen rantai karbon pada produk lipid mikroalgae, identifikasi
strain mikroalgae terpilih.
1. Analisa komposisi trigliserida dalam berbagai minyak nabati
Analisa komposisi trigliserida dalam beberapa minyak nabati seperti CPO, Kelapa,
jarak, nyamplung dianalisa untuk mengetahui jenis trigliserida yang ada dalam
11

keempat minyak nabati tersebut. Komposisi trigliserida dari kempat minyak nabati
tesebut akan dijadikan patokan untuk pemilihan jenis algae.Analisa komposisi
trigliserida dalam beberapa minyak nabati menggunakan alat HPLC.
Pemilihan strain mikroalga untuk memproduksi minyak didasarkan pada sifat strain
yang memiliki komponen trigliserida (TAG) dengan rantai karbon diatas C14,
mempunyai kemiripan dengan komponen trigliserida pada CPO (Tabel 2.2.
Komponen Trigliserida CPO), mempunyai kadar lipid yang tinggi, mempunyai
kandungan biomassa yang tinggi, mudah dipanen, dan tahan terhadap kondisi di luar
ruangan.

Tabel 2. 2. Komponen Trigliserida CPO

2. Pengukuran biomassa dan kandungan lipid mikroalga


Pengukuran biomassa dapat dilakukan secara gravimetric dari pengukuran berat
kering mikroalga. Sedangkan Kandungan total lipid akan dianalisis dengan Metode
Blygh and Dyer (1959). Pemilihan strain mikroalga untuk memproduksi minyak
berdasarkan pada kandungan lipid yang tinggi. Semakin tinggi kandungan lipid maka
potensi pinyak yang akan diproduksi semakin tinggi.
3. Analisis kandungan trigliserida dalam algae
Analisis komponen trigliserida dalam minyak dilakukan menggunakan instrumen
Electrospray Ionization – Ion Trap – Mass Spectrometry (ESI-IT-MS). Trigliserida
dapat dideteksi oleh instrumen ESI-IT-MS dengan bantuan kation Ag+ sebagai
mediasi pengion. Kation Ag+ dapat membentuk ikatan koordinasi dengan trigliserida
sehingga spesi yang dideteksi oleh detektor massa adalah spesi [Trigliserida + Ag]+.
Analisis ini diperlukan untuk memastikan profile fatty acid yang terdapat dalam strain
alga yang dipilih.
4. Identifikasi strain mikroalga terpilih
Identifikasi strain mikroalga terpilih diperlukan untuk memastikan kandungan lipid
atau komponen lain pada mikroalga. Selain itu, identifikasi strain mikroalga terpilih
12

dapat dijadikan acuan dalam menentukan teknik kultivasi, harvesting serta ektraksi
yang akan dilakukan.
Kandungan minyak pada beberapa spesies mikroalga ditunjukan oleh Gambar 2.4.
Kandungan Minyak Pada Beberapa Spesies Mikroalga.

Gambar 2.4. Kandungan Minyak Pada Beberapa Spesies Mikroalga


(Sumber: Chisti, 2007)

2.3 Kultivasi Mikroalga


Mikroalgae merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan tingkat organisasi
sel yang termasuk dalam kategori tumbuhan tingkat rendah. Habitat mikroalga umumnya
di perairan, baik itu air tawar maupun air laut. Keanekaragaman mikroalga sangat tinggi.
Diperkirakan ada sekitar 200.000 sd 800.000 spesies mikroalga yang ada di bumi.
Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu
faktor lingkungan. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan
metabolisme mikroalga, factor tersebut diantaranya:
1. Derajat keasaman : pH 7 – 9
2. Salinitas : 25 – 35 %
3. Suhu : 20 – 30 C
4. Cahaya : bervariasi
5. Karbondioksida : 1 – 20%
6. Nutrien : Unsur makro (N, P, K, C, Si, S, Ca) & mikro (Fe, Zn, Cu,
Mg, Mo, Co, B)
7. Aerasi
13

Faktor lain yang menentukan pertumbuhan alga adalah media yang digunakan. Biasanya
media yang digunakan tergantung dari jenis alga yang akan dikembangbiakan. Semakin
mendekati karakteristik tempat asal alga maka semakin mudah untuk alga
menyesuaikan diri.
Petumbuhan mikroalga terdiri dari 5 fase dari awal penambahan inokulan hingga
fase dimana terjadi penurunan jumlah sel dalam kultivasi seperti Gambar 2.4. Kurva
Fase Pertumbuhan Mikroalga.

Gambar 2.5. Kurva Fase Pertumbuhan Mikroalga

Salah satu langkah penting dalam kultivasi mikroalga adalah menentukan spesies
spesifik yang akan digunakan untuk menghasilkan minyak yang selanjutnya
dimanfaatkan sebagai biofuel. Selanjutnya, media dan nutrisi pada proses kultivasi juga
harus disesuaikan dengan jenis mikroalga yang dibudidayakan sehingga dapat tercapai
kondisi optimum dimana mikroalga tersebut dapat menghasilkan yield yang tinggi
(Ferreira at al, 2019).
Pada prinsipnya kultivasi ganggang mikro dapat dilakukan dengan kultur sistem
terbuka (raceway) atau tertutup (photobioreactor). Pada sistem terbuka, proses
pencampuran dan sirkulasi media diperoleh dari suatu roda penggerak (seperti turbin).
Sepanjang hari, biakan diberikan nutrisi secara kontinu di depan roda penggerak dan
beroperasi sepanjang waktu untuk mencegah sedimentasi (pengendapan). Sementara itu
pendinginan diperoleh melalui penguapan. Suhu berfluktuasi seiring dengan siklus harian
dan musiman. Sistem raceway dapat memanfaatkan CO2 lebih efisien daripada
fotobioreaktor. Kelemahan dari metode kultivasi ini adalah produktivitas mikroalga bisa
14

dipengaruhi oleh kontaminasi. Namun, kelebihan dari metode kultivasi kolam raceway
dianggap lebih ekonomis serta membutuhkan sedikit biaya untuk membangun dan
mengoperasikannya.

Gambar 2.6. Kultivasi Mikroalga Pada Kultur Sistem Terbuka/Raceway

(Sumber: Chen et al, 2016)

Adapun kultivasi mikroalga secara fotobioreaktor dapat dibagi menjadi tiga


bagian yaitu fotobioreaktor flat-plate, fotobioreaktor vertikal-kolom dan fotobioreaktor
tubular. Fotobioreaktor flat-plate merupakan suatu sistem kultivasi mikroalga dengan
memanfaatkan mikrob fotosintetik. Fotobioreaktor tubular merupakan suatu sistem
kultivasi yang bisa diterapkan pada skala lapang. Konstruksi fotobioreaktor tubular dibuat
seperti tabung-tabung kaca atau tabung-tabung plastik dan untuk resirkulasinya
digunakan pompa sirkulasi. Fotobioreaktor tubular bisa dimodifikasi dalam bentuk
horizontal, vertikal atau gabungannya. Adapaun fotobioreaktor vertikal-kolom
merupakan desain kultivasi ganggang mikro yang lebih baik dibandingkan dengan jenis
fotobioreaktor lainnya. Hal ini dikarenakan biayanya yang lebih murah dan mudah dalam
pengoperasian (Sánchez et al. 2002).

Gambar 2.7. Kultivasi Mikroalga Pada Kultur Fotobioreaktor Tubular

(Chen et al, 2016)


15

Menurut Ugwu (2008), kultivasi mikroalga dengan metode photobioreactor


mempunyai kelebihan seperti mudah dikontrol, biomassa yang dihasilkan tinggi serta
kemungkinan terjadinya kontaminasi lebih kecil. Adapun kelemahan metode ini yaitu
biaya produksi untuk pembuatan instalasi serta perawatan mekanisasinya cukup mahal
bila akan dikembangkan dalam skala besar (Ugwu et al. 2008).

2.3.1 Produktivitas Produksi Lipid, Karbohidrat, dan Protein pada Mikroalga


Komposisi kimia sel mikroalga umumya terdiri atas karbohidrat, protein dan lipid.
Gambar 2.8. Produk Makromolekul Dari Kultivasi Mikroalga memperlihatkan produk
yang dapat dihasilkan dari kultivasi mikroalga. Finkel et al (2016) membandingkan rata-
rata komposisi makromolekul yang dihasilkan oleh mikroalga, bakteri dan yeast per
persen bobot kering. Hasil studi ini menunjukan bahwa pada kondisi kultivasi dengan
nutrisi yang cukup, rata-rata komposisi mikroalga adalah 32.2% protein, 17.3% lipid,
15.0% karbohidrat, 17.3% ash, 5.6% RNA, 1.1% klorofil-a and 0.98% DNA seperti
terlihat pada Tabel 2.3 Perbandingan Rata-Rata Komposisi Makromolekul Beberapa
Organisme.

Gambar 2.8. Produk Makromolekul Dari Kultivasi Mikroalga


(Ferreira et al, 2019)
16

Tabel 2. 3. Perbandingan Rata-Rata Komposisi Makromolekul Beberapa Organisme

Jenis makromolekul yang diproduksi tergantung dari spesies mikroalga yang


dikultivasi. Tabel 2.4. Pengaruh Perbedaan Taksonomi Terhadap Makromolekul Yang
Diproduksi menunjukan rata-rata makromolekul yang diproduksi oleh mikroalga (persen
bobot kering) sesuai dengan spesies yang dikultivasi pada kondisi nutrient yang cukup
(Finkel et al, 2016).

Tabel 2. 4. Pengaruh Perbedaan Taksonomi Terhadap Makromolekul Yang Diproduksi


17

Data-data diatas menunjukan bahwa jenis produk yang dihasilkan sangat


bergantung pada tujuan budidaya dan jenis mikroalga yang dibudidayakan. Jika kultivasi
mikroalga ditujukan untuk memproduksi biofuel maka spesies yang dipilih adalah spesies
yang mampu menghasilkan lipid yang tinggi seperti Nitzschia sp. yang mengandung lipid
44-47 % dari bobot kering. Sementara itu jika kultivasi mikroalga ditujukan untuk
menghasilkan sumber nutrisi, memenuhi kebutuhan makanan dan kesehatan, maka perlu
dipilih spesies yang menghasilkan protein tinggi, seperti Spirulina maxima yang
mengandung protein 60-71 % dari bobot kering. Adapun mikroalga yang dibudidayakan
dengan tujuan untuk memproduksi etanol dan senyawa kimia lain nya maka perlu dipilih
spesies yang menghasilkan karbohidrat tinggi seperti Scenedesmus sp. yang mengandung
karbohidrat 10-17 % dari bobot kering (Becker 1994).

2.3.2 Ketahanan Mikroalga dalam Waste Water


Waste water atau air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah
tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainnya, dan pada umumnya mengandung
bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia serta
menggangu lingkungan hidup.
Wastewater dapat dijadikan alternatif media pertumbuhan mikroalga karena
mengandung lebih banyak nutrisi dan dapat mengurangi limbah yang mencemari
lingkungan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Mulumba (2010) yang menunjukan
sebagian besar mikroalga tumbuh subur dan berkembang biak secara eksponensial dalam
wastewater. Artinya wastewater dapat dijadikan media utama kultivasi mikroalga.
Namun sanitasi dan kadar toksik dalam wastewater perlu diperhatikan agar
penanganannya aman bagi manusia dengan kadar toksik yang tidak membahayakan
mikroalga.
Mikroalga juga mempunyai kemampuan untuk menyerap logam, sehingga
penggunaan limbah industri yang mengandung logam dapat dimanfaatkan sebagai media
dalam kultivasi alga. Penyerapan logam oleh mikroalga lebih banyak terjadi pada
pespirasi dengan pH rendah. Namun, ada kadar tertentu yang menjadi batas penyerapan
logam yang dapat dilakukan oleh mikroalga. Contohnya, Fe dibutuhkan oleh mikroalga
untuk menyusun sitokrom dan klorofil, selain itu berperan dalam sistem enzim dan
transfer electron pada proses fotosintesis. Namun kadar Fe yang tinggi dapat menghambat
unsur fiksasi lainnya. Limbah domestik mengandung bahan organik dan nutrisi berupa
18

nitrogen dan fosfor yang penting untuk pertumbuhan mikroalga. Contoh lainnya yakni
sembilan puluh persen dari kandungan nitrogen di dalam air limbah domestik biasanya
berada dalam bentuk senyawa ammonia. Namun pada konsentrasi tertentu amonia dapat
menjadi toksik terhadap mikroalga. Penelitian Abeliovich dan Azov (1975) menunjukkan
bahwa konsentrasi amonia diatas 2 mM dan pH diatas 8 dapat menghambat pertumbuhan
dan fotosintesis dari Scenedesmus obliquus. Fotosintesis dari alga lain seperti Chlorella
pyrenoidosa, Anacystis nidulans dan Plectonema boryanum juga terhambat pada
konsentrasi amonia yang sama.

Tabel 2. 5. Keuntungan Dan Kekurangan Penggunaan Waste Water Dibandingkan Sumber Organik Karbon
Lainnya

(Sumber: G.F. Ferreira, et al. 2019)

Kelebihan lain dari mikroalga sebagai bahan baku bahan bakar nabati adalah
bahwa mikroalga dapat ditumbuhkan secara efektif dengan input air bersih yang sedikit
dan tidak memerlukan banyak lahan seperti tanaman penghasil bahan bakar nabati yang
lain, sehingga dapat menghemat penggunaan air bersih. Sebagai contoh, mikroalga dapat
dibudidaya dekat dengan laut untuk dapat memanfaatkan garam dan air payau. Oleh
karena itu muncul ketertarikan terhadap budidaya mikroalga di perairan asin. Namun,
medium potensial lain yang dapat digunakan adalah limbah cair. Masalah utama yang
dihadapi dalam pemanfaatan limbah cair adalah konsentrasi nutrien yang sangat tinggi,
khususnya konsentrasi total N dan total P, serta logam beracun, yang memerlukan
pengolahan menggunakan bahan kimia dengan harga yang mahal untuk
19

menghilangkannya selama pengolahan berlangsung. Konsentrasi total P dan N berkisar


antara 10-100 mg/l dalam limbah cair perkotaan dan lebih dari 1000 mg/l pada limbah
pertanian. Kemampuan mikroalga untuk tumbuh dan mengakumulasi kandungan nutrisi
dan logam yang tinggi pada lingkungan secara efektif, menjadikan mikroalga sebagai
sarana yang efektif untuk digunakan pada pengolahan limbah cair secara efisien dan
berkelanjutan. Namun, telah lama juga diketahui bahwa mikroalga yang ditumbuhkan
pada limbah cair dapat digunakan sebagai penghasil energy (Pitman, 2011).

Gambar 2.9. Diagram Alir Yang Menunjukkan Bagaimana Sumber Limbah Cair Dapat Digunakan Untuk
Produksi Bioenergi Berkelanjutan Berbasis Mikroalga

2.3.3 Perbandingan Kultivasi Mikroalga dalam Waste Water dan Fresh / Sea
Water
Penelitian yang dilakukan Zuka et al. (2012) menunjukan perbandingan
pertumbuhan mikroalga dengan media freshwater dan wastewater. Gambar 6a dan 6b
menunjukan rata-rata pertumbuhan mikroalga pada wastewater (0.08 g alga kering/ L-
hari) lebih tinggi dibanding freshwater (0.051 g alga kering/ L-hari) maupun mix (50/50,
freshwater dan wastewater) yaitu 0.054 g alga kering/ L-hari. Penelitian ini membuktikan
bahwa wastewater layak dijadikan alternatif media kultivasi mikroalga.
20

(a) (b)
Gambar 2.10. Perbandingan Rata-Rata Pertumbuhan Mikroalga Pada Freshwater Dan Wastewater

2.4 Harvesting dan Ekstraksi


Dipokok bahasan ini akan dijelasakan mengenai teknologi harvesting mikroalga
dan teknologi ekstraksi mikroalga.
2.4.1 Teknologi Harvesting Mikroalga
Salah satu yang menjadi kendala dalam keberhasilan produksi biodiesel dari
mikroalga yaitu tahap harvesting atau pemanenan. Pada tahap harvesting memerlukan
biaya yang sangat besar dan merupakan presentase komponen biaya terbesar dalam proses
mendapatkan minyak alga. Harvesting atau pemanenan adalah proses pemisahan antara
mikroalga dari mediumnya dengan cara separasi padat-cair. Proses ini berfungsi untuk
memisahkan mikroalga dari mediumnya, sehingga diperoleh biomassa yang akan
diproses lebih lanjut untuk dihasilkan produk-produk bernilai guna. Untuk biodiesel atau
biofuel, mikroalga yang dipanen harus memiliki persentase padatan 15%.
Dalam proses harvesting terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu
prose pemanenan harus dapat dioperasikan dengan mudah, kemudian kandungan yang
terdapat dalam sel mikroalga tidak boleh berubah atau rusak setelah menerima perlakukan
proses pemanenan, yang terkahir adalah yield biomassa yang dihasilkan besar. Semakin
banyak biomassa yang dapat diambil maka akan semakin banyak kandungan minyak
yang dapat diproses.
Adapun yang menjadi kendala dalam proses harvesting yaitu konsentrasi yang
rendah dalam medium, dengan konsentrasi yang rendah maka yield dari pemanenan harus
tinggi, sehingga kultivasi akan bernilai ekonomis. Selain itu ukuran mikroalga yang kecil,
sehingga sulit untuk dipanen.
Teknik harvesting atau pemanenan dapat berbeda-beda tergantung dari jenis alga.
Beberapa metode harvesting yang telah berkembang yaitu filtrasi, sentrifugasi, dan
flokulasi (Brenna, 2009). Metode filtrasi berkerja dengan cara menahan/ memfilter
21

padatan mikroalga yang terdapat pada medium yang dialirkan. Setelah terisi mikroalga,
filter diambil untuk diukur biomassa yang tertahap. Metode sentrifugasi yaitu metode
separasi berdasarkan densitas dengan menggunakan gaya sentripental. Mikroalga yang
memiliki densitas lebih besar akan tertahan di bagian dasar tabung. Flokulasi merupakan
pemanenan dengan cara membentuk mikroalga dalam kumpulan yang lebih besar
sehingga mudah diambil biomassanya. Untuk membentuk kumpulan, mikroalga diberi
flokulan yang dapat berupa bahan kimia seperti alum dan NaOH, dan bahan alami, seperti
chitosan. Berikut ini Tabel 2.6. Perbandingan Kelebihan Dan Kekurangan Masing-
Masing Metode Harvesting.

Tabel 2. 6. Perbandingan Kelebihan Dan Kekurangan Masing-Masing Metode Harvesting


Metode Kelebihan Kekurangan
Filtrasi Energi kecil, mudah Banyak factor yang harud
dilakukan dipertimbangkan dalam pemilihan
filter, seperti ukuran dan morfologi
sel, colume reactor, dan lain lain
Sentrifugasi Waktu singkat Energy besar, biaya perawatan besar
Flokulasi Energy kecil, mudah Menggunakan bahan kimi dan sulit
dilakukan untuk dihilangkan dari mikroba

Tabel 2. 7. Efisiensi Tiap-Tiap Metode


Metode Sistem Mikroalga Efisiensi Peneliti
Filtrasi Kontinu Chlorella 58% Syarif (2008)
vulgaris
Tangential flow - 70-89% H. Bernhardt and
J. Clasen J.
(1994)
Chamber filter press Coelastrum 27% Mohn (1980)
proboscideum
Discontinuous Coelastrum 22-27% Mohn (1980)
proboscideum
pressure filter
22

Metode Sistem Mikroalga Efisiensi Peneliti


Discontinuous Coelastrum 37% Mohn (1980)
proboscideum
vacuum filter
Semi-kontinu Chlorella sp. - Chiu (2008)
Sentrifugasi - 90% Sim (1988)
- >95% Haesman (2000)
Flokulasi pH 10.2 Skeletonema 80% Blanchemain dan
costantum Grizeau (1999)
pH 11 Chaetoceros 100% Harith (2009)
calcitrans
(Al2(SO4)3) C. vulgaris 72% Oh (2001)
Polyacrylamide C. vulgaris 78% Oh (2001)
Paenibacillus so. C. vulgaris 84% Oh (2001)
AM49
pH 11 C. vulgaris 86% Oh (2001)
Fe3+ various 80% Knuckey (2006)
elektroflokulasi C. vulgaris >90% Vandame D

2.4.2 Teknologi Ekstraksi Mikroalga


Ekstraksi merupakan proses pemisahan atau separasi suatu zat dari campurannya
dengan menggunakan pelarut yang melarutkan zat tersebut namun tidak melarutkan
campurannya.
Dalam melakukan ekstrkasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu
• selektivitas,
pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan komponen-
komponen lain dari bahan ekstrkasi.
• tingkat kelarutan zat dalam pelarutnya,
pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar
(kebutuhan pelarut lebih sedikit)
• kemampuan untuk tidak saling tercampur,
pada ekstraksi cair-cair, pelarut tidak boleh larut dalam bahan ekstraksi.
23

• perbedaan kerapatan zat yang ingin diekstraksi dan pelarutnya,


pada ekstraksi cair-cair, sedapat mungkin terdapat perbedaan kerapatan yang besar
antara pelarut dan bahan ekstraksi. Hal ini dimaksudkan agar kedua fasa dapat dengan
mudah dipisahkan kembali setelah pencampuran. Bila kerapatannya kecil, seringkali
pemisahan harus dilakukan dengan menggunakan gaya sentrifugal.
• keberadaan reaktivitas
pada umumnya pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia pada
komponen – komponen bahan ekstraksi. Sebaliknya, dalam hal tertentu diperlukan
adanya reaksi kimia untuk mendapatkan selektivitas yang tinggi.
• titik didih pelarut.
Ditinjau dari segi ekonomi, akan menguntungkan jika pada proses ekstraksi titik didih
pelarut tidak terlalu tinggi.
Proses ekstraksi pada mikroalga dikenal dengan proses pemecahan dinding sel.
Proses ekstraksi diperlukan alat khusus yang dapat memecah dinding sel untuk menarik
minyak keluar. Proses pemecahan dinding sel dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu
proses pemecahan secara fisika, kimia dan biologi. Proses pemecahan dinding sel secara
fisika terbagi menjadi tiga yaitu dengan pengepresan, sonikator, dan ultrasonikasi.
Kemudian proses pemecahan dinding sel secara kimia bisa dilakukan dengan
menambahkan pelarut, sedangkan secara biologi dapat dilakukan dengan cara fermentasi.
Pemanfaatan minyak hasil pemanenan mikroalga sangat bervariasi, sehingga
teknik ekstraksi yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan
biomassa ke depannya. Metode yang paling sederhana adalah dengan cara penghancuran
(mechanical crushing) kemudian dilakukan pengepresan dengan menggunakan screw
press, expeller press, atau piston press, bahkan pemisahan juga dapat dilakukan dengan
cara kombinasi pengepresan dan penambahan bahan kimia pengekstrak. Ada beberapa
cara pemisahan kandungan minyak dari biomassa mikroalga yakni:

1. Pemisahan secara kimia


Proses ini umumnya menggunakan benzena, eter, dan heksana. Penggunaan benzena
sebagai pelarut minyak mikroalga harus dilakukan secara hati-hati karena uap
benzena yang terserap dapat menyebabkan keracunan dan bersifat kersinogenik.
Limbah hasil ekstraksi (media pelarut) seperti heksana dan petroleum eter harus
dapat di daur ulang agar biaya ekstraksi menjadi lebih murah.
24

2. Ekstraksi secara enzimatis


Cara ini menggunakan enzim untuk memecahkan dinding sel mikroalga. Proses
pemecahan ini dapat pula menggunakan bantuan air sebagai media pelarut enzim.
Namun, ekstraksi menggunakan enzim membutuhkan biaya yang relatif lebih mahal
daripada menggunakan heksan. Proses ekstraksi secara enzimatis dapat
dikombinasikan dengan pemisahan secara ultrasonikasi. Kombinasi ini disebut
sonoenzymatic treatment. Dengan cara ini, ekstraksi akan memperoleh rendemen
minyak yang lebih tinggi dan lebih cepat.
3. Pemisahan secara fisik
Proses ini dilakukan dengan cara mengeringkan mikroalga terlebih dahulu kemudian
dilakukan pengepresan. Teknik pemisahan minyak dapat menggunakan filter press,
screw press, atau piston press dengan tekanan tertentu. Untuk mempercepat proses
pengeluaran minyak dari dinding sel mikroalga maka proses kombinasi antara bahan
kimia dan mechanical press lebih disarankan.
4. Osmotic shock
Cara ini menggunakan tekanan osmotik secara tiba – tiba atau mendadak yang
menyebabkan dinding sel mikroalga pecah.
5. Supercritical fluid
Metode ini umumnya menggunakan CO2 cair di bawah tekanan dan suhu tertentu
yang kemudian dialirkan ke massa mikroalga sehingga minyak di dalam sel
mikroalga dapat diekstrak. Metode ini dapat mengekstrak minyak dari dalam
mikroalga hingga 100% (Basmal, 2008).
6. Pemisahan dengan teknik ultrasonikasi
Cara ini menggunakan gelombang ultrasonik untuk memecahkan dinding sel
mikroalga sehingga kandungan minyak di dalam sel mikroalga dapat ditarik keluar
(Basmal, 2008).

2.5 Biorefinery Mikroalga


Proses selanjutnya setelah didapatkan minyak alga yaitu proses pengolahan minyak
menjadi biodiesel atau yang biasa disebut proses transesterifikasi. Berdasarkan penelitian
Topare et al, (2011), salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengonversi minyak
alga menjadi biodiesel adalah melalui proses transesterifikasi. Gambar 2.11. Reaksi
Sederhana Pembentukan Biodiesel menunjukan sebanyak 3 mol methanol bereaksi
25

dengan 1 mol trigliserida (dari minyak alga) dan katalis (asam atau basa) direaksikan di
dalam stirred reactor dimana suhu diatur pada 55-60°C (dibawah titik didih methanol
65°C) sehingga reactor tdak perlu diberi tekanan. akan menghasilkan campuran ester
lemak dan gliserin dengan bantuan katalis. Proses transesterifikas dilakukan dalam dua
tahap:
1. Tahap pertama, minyak mikroalga dikombinasikan dengan 75% hingga 90% dari
metanol dan katalis dan dibiarkan bereaksi hingga mencapai kesetimbangan.
Kemudian, gliserin yang terbentuk dipisahkan dengan sentrifugasi dan sisanya
10% hingga 25% dari methanol dan katalis akan digunakan untuk reaksi kedua
2. Tahap kedua, gliserin hasil campuran minyak, methanol dan katalis dipisahkan
kembali dengan sentrifugasi sehingga diperoleh biodiesel yang siap untuk
diproses lebih lanjut.

Biodiesel yang telah dipisahkan dari gliserin biasanya masih mengandung 3%


hingga 6% metanol dan sabun. Jika kadar sabun cukup rendah (300 hingga 500 ppm),
metanol dapat dihilangkan dengan penguapan. pada kadar sabun yang lebih tinggi, sabun
akan mengendap ketika metanol dihilangkan. Setelah methanol dihilangkan, biodiesel
yang diperoleh harus dibersihkan dari residu gliserin, sabun, methanol, dan katalis.
Umumnya tahap ini menggunakan metode ekstraksi cair-cair yaitu dengan mencampur
biodiesel dengan air sehingga residu senyawa-senyawa lain berpindah dari biodiesel ke
dalam air. Proses ini biasanya dilakukan beberapa kali hingga tidak ada lagi residu yang
terlihat pada air (Sopare et al, 2011).

Gambar 2.11. Reaksi Sederhana Pembentukan Biodiesel


(Sumber: Topare et al, 2011).
26

Gambar 2.12. Skema Konversi Minyak Mikroalga


(Sumber: Topare et al, 2011).

Biorefinery merupakan proses integrasi konversi biomassa untuk menghasilkan


energi dan nilai tambah. Dalam definisi yang lebih luas mengubah semua jenis biomassa
(semua residu organik, tanaman energi, dan air biomassa) ke dalam berbagai produk
(bahan bakar, bahan kimia, tenaga dan panas, bahan, dan makanan dan pakan) (Gambar
1). Konsep ini mirip dengan kilang minyak mentah dimana produk diproduksi di berbagai
tahap penyulingan minyak bumi. Konsep biorefinery menyajikan model konseptual untuk
generasi biofuel masa depan. Hal ini pada gilirannya mengurangi biaya produksi bahan
bakar fosil dengan memaksimalkan pemanfaatan biomassa. Dibutuhkan proses
biorefineries yang lebih efisien untuk beroperasi dimana ada pemanfaatan panas yang
maksimal yang dilepaskan dari proses serta pemanfaatan biomassa sampai batas
maksimal. Serupa dengan kilang minyak bumi, biomassa digunakan sebagai bahan baku
untuk produksi berbagai macam produk. Proses konversi yang berbeda (fisik, kimiawi,
biologis dan termal) digunakan baik secara individu maupun kombinasi untuk
menyediakan produk yang memiliki tujuan ekonomi. Produk yang diperoleh setelah
konversi difraksinasi menjadi berbagai produk terpisah atau mungkin mengalami proses
lebih lanjut untuk mendapatkan nilai tambah produk. Prosesnya bisa dibuat lebih irit bila
bahan baku yang adalah produk-produk sisa. Hal ini akan memberikan manfaat ganda
yaitu sebagai pembangkit energy dan juga sebagai agen bioremediasi. Biorefineries juga
bisa diintegrasikan dengan infrastruktur pembangkit tenaga listrik untuk menurunkan
biaya produksi.
27

Gambar 2.13. Berbagai Kegunaan Alga Dalam Konsep Biorefinery


(Sumber: Debrabata, 2015)

2.6 Keekonomian Mikroalga

Microalgae yang merupakan bahan bakar nabati generasi ketiga merupakan sumber
bahan bakar yang relatif baru, sehingga sebagaimana diajukan oleh teori learning rate
maka sangat wajar apabila produk turunan dari microalgae masih mahal. Dengan seiring
meningkatnya kapasitas terpasanmg pabrik maka akan semakin murah pula harga per unit
dari bahan bakar atau produk lainnya.
Pada kultivasi microalgae Kumar et al.(2019) melakuka review terhadap penelitian
terkait dan mentabulasikan hasil beberapa penelitian pada Tabel 2.8. Tabulasi
Keekonomian Produk Alga Dan Cost Breakdown Fungsi Dari Metode Kultivasi Dan
Kapasitas. Dapat terlihat dengan membandingkan teknologi untuk kultivasi microalgae
bahwa harga lipid atau biomassa sangat bergantung dengan teknologi yang digunakan
dan juga kapasitas, hal ini sesuai dengan sixth-ten/seventh-ten rule yang menjelaskan
penurunan harga per unit sebagai efek dari peningkatan kapasitas. Didapatkan bahwa
harga microalgae termurah didapatkan pada metode kultivasi menggunakan kolam
terbuka (ORP) dengan kapasitas yang besar. Hal ini menjadikan insentif bagi pengusaha
untuk membuat ORP besar karena akan menjadikan produk turunan microalga kompetitif
dibandingkan produk existing.
28

Tabel 2. 8. Tabulasi Keekonomian Produk Alga Dan Cost Breakdown Fungsi Dari Metode Kultivasi Dan
Kapasitas

(Sumber: Kumar et al., 2019)


Kumar et al.(2019) juga memberikan rincian biaya untuk pembuatan pabrik
biodiesel dari microalgae sebagaimana yang terlihat pada Tabel 2.9. Rincian Biaya
Pembuatan Pabrik Biodiesel dari Microalgae. Dapat dilihat bahwa harga investasi paling
besar berada pada investasi kultivasi microalgae, hal inilah yang menyebabkan harga
biodiesel dari microalgae secara keumumannya masih mahal.
Tabel 2. 9. Rincian Biaya Pembuatan Pabrik Biodiesel dari Microalgae

(Sumber : Kumar et al., 2019)


29

3 BAB 3
KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Mikroalga memiliki berbagai potensi dan keunggulan sebagai bahan baku
biodiesel dibandingkan dengan biomassa yang lain. Namun, dalam produksi
minyak algae masih terdapat beberapa hal penting untuk menjadi perhatian
diantaranya pemilihan strain, teknik kultivasi, teknik harvesting dan metode
ekstraksi yang dipilih.
2. Scale up kapasitas untuk mendapatkan minyak alga untuk kemudian diproses
menjadi biodiesel masih memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah teknik
harvesting dan ekstraksi. Harvesting merupakan salah satu pendonor terbesar
dalam komponen biaya produksi minyak alga dikarenakan teknik harvesting
sampai saat ini belum menemukan teknik yang efisien dan ekonomis. Selain itu
metode ekstraksi dan aspek lingkungan karena penggunaan bahan kimia.
3. Pemanfaatan mikroalga untuk biodiesel secara umum jika ditinjau dari segi
ekonomis belum feasible untuk diimplementasikan karena produk yang dihasilkan
masih belum bisa bersaing dengan harga fosil ataupun biomass yang lain.
30

4 DAFTAR PUSTAKA

Chew, K. W., Yap, Y. J., Show, P. L. Ng, H. S., Juan, J. C., Ling, T. C., Duu-Jong, L.,
Jo-Shu, C. 2017. ‘Microalgae Biorefinery: high value products perspectives’
Bioresource Technology 229 p53-62
Kumar, M. A., Budolla, V. 2019.’Chapter 12 ~ Future Prospects of Biodiesel Production
by Microalgae : A short Review’ Recent Developments in Applied Microbiology
and Biochemistry, p161-166.
Algencal.it. 2019. Microalage | Algencal. [online] Available at :
http://www.algencal.it/microalgae/?lang=en (Accessed : 27 Sept. 2019)
Basmal J. 2008. Peluang dan Tantangan Produksi Mikroalga Sebagai Biofuel. Squalen
3(1): 34-39.
Topare NS, Renge VC, Khedkar SV, Chavan YP, Bhagat SL. 2011. Biodiesel from Algae
Oil as an Alternative Fuel for Diesel Engine. International Journal of Chemical,
Environmental and Pharmaceutical Research 2(2-3): 116-120.
[AOAC] Association of Official Analytical and Chemistry. 2007. Official Methods of
Analysis. 18th ed. Maryland: Association of Official Analytical Chemists inc.
[AOCS] American Oil Chemist’ Society. 1990. Official Methods and Recommended
Practices of the American Oil Chemists’ Society. USA: AOCS Champaign.
Noer Abyor Handayani, Dessy Ariyanti. 2012. POTENSI MIKROALGA SEBAGAI
SUMBER BIOMASA DAN PENGEMBANGAN PRODUK TURUNANNYA .
Semarang. TEKNIK – Vol. 33 No.2 Tahun 2012, ISSN 0852-1697
Patmawati, dkk. 2014. PRODUKSI BIODIESEL DARI BIOMASSA Chlamydomonas
sp. ICBB 9113 DIKULTIVASI MENGGUNAKAN MEDIA YANG MURAH:
EFEKTIFITAS DARI BEBERAPA METODE EKSTRAKSI. Bogor. Widyariset,
Vol. 17 No. 2, Agustus 2014 269–276
Spolaore, P., Joannis-Cassan, C., Duran, E., dan Isambert, A., (2006), “Commercial
Applications of Microalgae”, Journal of Bioscience and Bioengineering, 101, hal 87-
96
Pulz, O., dan Scheibenbogen, K., (1998), “Photobioreactors: design and performance
with respect to light energy input”, Advanced of Biochemical Engineering
Biotechnology., 59, hal 123–151
31

Pulz, O., dan Gross, W., (2004), “Valuable products from biotechnology of microalgae”,
Application of Microbiology Biotechnology., 65, hal 635–648.
Harun, R., Singh, M., Forde, G.M., dan Danquah, M.K., (2010), Bioprocess engineering
of microalgae to produce a variety of consumer products”, Renewable and Sustainable
Energy Reviews, 14, hal 1037–1047.
John, R.P., Anisha, G.S., Nampoothiri, K.M., dan Pandey, A., (2011), “Micro and
macroalgal biomass: A renewable source for bioethanol”, Bioresource Technology,
102, hal. 186–193.
Chisti, J., (2007), Biodiesel from microalgae”, Biotechnology Advances, 25, hal 294–306
Mata, T.M., Martins, A.A., dan Caetano, N.S., (2010), “Microalgae for biodiesel
production and other applications: A review”, Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 14, hal 217–232
Terry, K.L., dan Raymond, L.P., (1985), System design for the autotrophic production of
microalgae. Enzyme Microbial Technology,7, hal 474–87
Sheehan, J., Dunahay, T., Benemann, J., dan Roessler, P., (1998), “A look back at the
U.S. Department of Energy's Aquatic Species
Program—biodiesel from algae”, National Renewable Energy Laboratory, Golden, CO;
Report NREL/TP-580–24190.
Carvalho, A.P., Meireles, L.A., dan Malcata, F.X., (2006), “Microalgal reactors: a review
of enclosed system designs and performances”, Biotechnology Programme, 22, 1490–
506
Molina, G.E., Acién, F.F.G., García C.F., dan Chisti, Y., (1999), Photobioreactors: light
regime, mass transfer, and scaleup. Journal of Biotechnology, 70, hal 231–47.
Pulz O., (2001), Photobioreactors: production systems for phototrophic microorganisms.
Application of Microbiology Biotechnology, 57, 287–93
Tredici, M.R., (1999), Bioreactors, photo. In: Flickinger MC, Drew SW, editors.
Encyclopedia of bioprocess technology: fermentation, biocatalysis and
bioseparationWiley; hal 395–419
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2018. Implementasi Biofuel, Solusi
Penyediaan Bahan Bakar di Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi. 2018
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Neraca Energi Indonesia (Indonesian Balance
Energy) 2013-2017. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
32

Surfactant and Bioenergy Research Center. 2008. Mikroalga Potensi Masa Depan
Biodesel Indonesia. Di dalam : Pengembangan Bahan Bakar Berbasis CPO dan
Mikroalga Sebagai Penyokong Ketahanan Energi di Indonesia. Seminar Bioergi :
Bogor. Perhimpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian IPB.
Becker EW. 1984. Biotechnology and exploitation of the green algae Scenedesmus
obliquus in India. J Biomass 4:1–19.
Tjitrosomo SS. 1984. Botani Umum 3. Bandung: Angkasa.
Lee, R.E. 2008.Phycology - 4th Edition. USA: Cambridge University Press.
Bold HC, Wynne MJ. 1985. Introduction to Algae. USA: Prentice Hall, Inc.
Suryanto H, Yanuar U, Sukarni S. 2009. Studi Eksporasi Potensi Mikroalga Laut Sebagai
Sumber Energi Terbarukan. Seminar Nasional Teknik Mesin IV. Surabaya.
Chisti, Y. 2007. Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances 25:294-306.
Ferreira GF, Pinto LF, Filho RM, Fregolente LV, 2019. A review on lipid production
from microalgae: Association between cultivation using waste streams and fatty
acid profiles. Renewable and Sustainable Energy Reviews 109: 448–466.
Zhong Jiang J. 2001. Advances in Biochemical Engineering Biotechnology.VerlagBerlin
Heidelberg: Scheper.
Zuka Z, McConnell B, Farag I. 2012. Comparison of Freshwater and Wastewater Medium
for Microalgae Growth and Oil Production. Journal of American Science 8(2): 392-
398.
Poelman E, Pauw N, Jeurisssen B. 1997. Potential of electrolytic flocculation for recovery
of microalgae. J Resource Conserv Recycl 19:1-10.
Sánchez M, A., Garci A, Camacho G, Molina GF, Chisti Y. 2002. Growth and
characterization of microalgal biomass produced in bubble column and airlift
photobioreactors: studies in fed-batch culture. Enzyme Microb. J Technol 31: 1015–
1023.
Ugwu CU, Aoyagi H, Uchiyama H. 2008. Photobioreactors for mass cultivation of algae.
J Bioresource technol 99: 4021-4028.
Polsri.ac. [online] Available at :
http://eprints.polsri.ac.id/4116/3/03.BAB%20II%20TIINJAUAN%20PUSTAKA.
pdf (Accessed : 01 Oktober 2019)
Santoso, Arif., Rahmania A, Darmawan, Joko P. 2011. ‘Mikro Alga Untuk Penyerapan
Emisi Co2 Dan Pengolahan Limbah Cair Di Lokasi Industri’. Bogor: Departemen
Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB.
Ni Kadek E.J, A.A.Md. Dewi A, Ida Bagus W.G. 2015. ‘Pengaruh Jenis Media Terhadap
Pertumbuhan Nannochloropsis Sp.’ Jurnal Rekayasa Dan Manajemen Agroindustri.
Issn: 2503-488x, Vol. 3. No. 2. (1-9).
33

Pratama, Irfan. 2011. ‘Pengaruh pemanenan Mikroalgae Terhadap Biomassa dan


Kandungan Esensial Chlorella vulgaris’. Depok: Universitas Indonesia.
Herdyana, Cyntia. 2011. ‘Studi Komparasi Teknik Pemecahan Dinding Sel pada
Ekstraksi Lipid Mikroalga Chlorella vulgaris’. Depok: Universitas Indonesia.
Hadiyanti, Adetya P, Nais. 2018. ‘Biorefinery Mikroalga’. EF Press Digimedia,
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai