Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

“Analisis Limbah Hasil Pertanian dan Strategi


Pengelolaannya Berbasis Mikroorganisme Lokal di
Tingkat Petani Kecamatan Kayu Aro”.

NAMA : SAHABUDDIN
NIM : A0320511
KELAS : B_AGROEKOTEKNOLOGI
MK : PENGOLAHAN BAHAN ORGANIK
DOSEN : DIRHANA PURNAMA, S.P.,M.P.

TAHUN AJARAN 2022-2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia Nya penulis
dapat melaksanakan dan menyelesaikan Studi Kasus dengan judul “Analisis
Limbah Hasil Pertanian dan Strategi Pengelolaannya Berbasis Mikroorganisme
Lokal di Tingkat Petani Kecamatan Kayu Aro”.
Sholawat bermutiarakan salam kita hadiahkan kepada Baginda Rasulullah
Muhammad SAW, dan para sahabatnya, yang telah membaa kita dari zaman
kebodohan ke zaman yangdi penuhi dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang.

majenei, 13 oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang......................................................................... 1
1.2. Tujuan Studi Kasus................................................................... 3
1..3. Manfaat Studi Kasus................................................................ 3
BAB II. LANDASAN TEORI ........................................................................ 4
2.1. Teori Pendukung ...................................................................... 4
2.1.1. Limbah Pertanian .......................................................... 4
2.1.2. Mikro Organisme Lokal (MOL .................................... 4
2.1.3. Strategi Pengelolaan Limbah Hasil Pertanian .............. 8
2.2. Penelitian yang Mendukung Studi Kasus ................................. 10
BAB III. METODE STUDI KASUS .............................................................. 12
3.1. Ruang Lingkup Studi Kasus .................................................... 12
3.2. Sumber dan Jenis Data Studi Kasus ........................................ 12
3.2.1. Sumber Data ................................................................. 12
3.2.2. Jenis Data ...................................................................... 13
3.3. Analisis Data ........................................................................... 13
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 14
4.1. Hasil dan Pembahasan .............................................................. 14
4.2. Implementasi Hasil Studi.......................................................... 20
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 23
5.1. Kesimpulan ............................................................................... 23
5.2. Saran ......................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 24
LAMPIRAN ..................................................................................................... 28

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1 Pembuatan MOL......................................................................................21
2 Pembuatan Kompos.................................................................................22
3 Pembuatan POC.......................................................................................22

iv
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kecamatan Kayu Aro yang berdiri tanggal 12 Juni 1996 berdasarkan PP
No. 47/1996, termasuk wilayah Kabupaten Kerinci. Batasan wilayah kecamatan
ini sebelah utara dengan Propinsi Sumatera Barat dan Kecamatan Gunung Tujuh,
sebelah selatan dengan Kecamatan Gunung Kerinci, sebelah timur dengan
Kecamatan Siulak dan sebelah Barat dengan Propinsi Sumatera Barat. Pusat
pemerintahan Kecamatan Kayu Aro adalah di Batang Sangir, dengan 21 desa
(BPS Provinsi Jambi, 2017). Kecamatan Kayu Aro merupakan daerah dataran
tinggi dengan ketinggian tempatnya 1.400-1.600 m dpl, berhawa sejuk dengan
curah hujan cukup tinggi. Luas wilayah Kecamatan Kayu Aro ± 11.517 ha. Mata
pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Kayu Aro adalah bertani. Kegiatan
tani yang dilakukan di kecamatan ini dominan di bidang tanaman hortikultura dan
khususnya komoditi sayuran serta tanaman pangan. Para petani dalam
pengelolaan usahanya selalu berkeinginan meningkatkan usaha dan produksinya.
Peningkatan produk pertanian akan seiring dengan meningkatnya limbah hasil
pertanian yang merupakan sisa panen yang tidak dimanfaatkan. Limbah hasil
pertanian di wilayah Kecamatan Kayu Aro sangat banyak dan merupakan limbah
yang harus dikelola dengan baik. Menurut Wiada (2021), jerami sisa hasil panen
padi sangat banyak, ± 25-30 ton basah per hektar setiap kali panennya. Tapi
sering tak bermanfaat bahkan dibakar begitu saja. Direktorat Budidaya Ternak
Ruminansia (2006), limbah tanaman jagung berkisar 5 - 6 ton bahan kering per
hektar.
Limbah hasil pertanian berupa brangkasan di Kecamatan Kayu Aro belum
dikelola dengan baik. Limbah hasil pertanian biasanya dibiarkan menumpuk di
pinggir lahan, dibakar atau dibuang ke tempat lain. Hal ini menyebabkan
pencemaran lingkungan, membahayakan kesehatan manusia, merugikan secara
ekonomi, merusak ekosistem, merusak keindahan (estetika) dan menjadi sarang
hama seperti tikus dan kecoak, atau terjadi pencemaran udara. Rinanto, et al.
(2015) bahwa masalah yang muncul di lahan petani adalah banyaknya sisa hasil
panen seperti daun dan batang tanaman yang tidak termanfaatkan. Petani kebanyakan

1
membiarkan limbah tersebut membusuk di kebun. Padahal limbah tersebut dapat
menjadi pupuk organik jika dikelola dengan baik dengan perlakuan tertentu.
Limbah hasil pertanian adalah bagian tanaman yang tersisa setelah dipanen
atau diambil hasil utamanya (Soejono, 1995). Limbah hasil pertanian pada
umumnya mengandung sejumlah unsur hara dan nutrien, sehingga dapat
dikonversi menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi seperti pupuk organik
dan pakan ternak. Pemanfaatan limbah hasil pertanian ini akan menanggulangi
masalah pencemaran, penyakit dan estetika.
Permasalahan yang dihadapi dalam mengelola limbah pertanian adalah
rendahnya tingkat pengetahuan terhadap manfaat limbah. Persepsi masyarakat
yang berbeda-beda terhadap keberadaan limbah tersebut mengakibatkan
penanggulangan terhadap limbah tersebut berjalan lambat. Sebagian masyarakat
berpendapat bahwa mengelola limbah suatu pekerjaan yang tidak penting
dilakukan, tidak memberikan keuntungan, dan hanya membuang-buang waktu
(Yunilas, 2009). Persepsi masyarakat harus dirubah melihat jumlah limbah yang
terus bertambah setiap tahunnya. Penambahan limbah hasil pertanian yang tidak
sesuai dengan tingkat pengelolaannya berakibat sangat buruk terhadap
lingkungan. Oleh karena itu diperlukan teknik inovatif yang dapat meningkatkan
manfaat limbah hasil pertanian agar lebih memiliki daya guna terutama untuk para
petani. Salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan limbah ini adalah dengan diolah menjadi MOL, pupuk organik dan
pengendali penyakit tanaman.
Pengelolaan limbah hasil pertanian dapat dilakukan secara fisik dan
biologi. Upaya pengelolaan limbah hasil pertanian secara biologi dapat dilakukan
dengan menggunakan aktivator mikrobiologi seperti MOL. Salah satu fungsi
aktivator ini adalah mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan
meningkatkan kualitas bahan. Purwasasmita (2009), larutan MOL mengandung
unsur hara makro dan mikro dan juga mengandung bakteri yang berpotensi
sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan dan sebagai agens
pengendali hama dan penyakit tanaman. Sehingga MOL dapat digunakan baik
sebagai pendekomposer, pupuk hayati, dan sebagai pestisida organic terutama
sebagai fungisida. Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis telah

2
melakukan Studi Kasus dengan judul “Analisis Limbah Hasil Pertanian dan
Strategi Pengelolaannya Berbasis Mikroorganisme Lokal di Tingkat Petani
Kecamatan Kayu Aro”.

1.2. Tujuan Studi Kasus


Studi kasus ini yang dilakukan di Kecamatan Kayu Aro, bertujuan untuk :
1. Menganalisis limbah hasil pertanian di Kecamatan Kayu Aro.
2. Mengetahui kondisi penanganan limbah hasil pertanian di Kecamatan Kayu
Aro.
3. Mengetahui strategi pengelolaan limbah hasil pertanian yang lebih efektif dan
ekonomis berbasis mikroorganisme lokal di tingkat petani Kecamatan Kayu
Aro.

1.3. Manfaat Studi Kasus


Studi kasus yang dilakukan ini, diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak-pihak yang ingin melakukan
penelitian dibidang yang sama.
2. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi instansi terkait.
3. Sebagai sumber pengetahuan bagi para petani umumnya dan petani di
Kecamatan Kayu Aro khususnya untuk mengelola limbah hasil pertanian
usahanya.

3
BAB II. LANDASAN TEORI

2.1. Teori Pendukung


2.1.1. Limbah Pertanian
Definisi limbah menurut undang - undang nomor 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan, limbah adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan. Limbah dikelompokkan atas : limbah padat (solid), cair (liquid)
dan gas (gaseous). Sitorus (2002), limbah pertanian adalah sisa atau hasil ikutan
dari produk utama pertanian seperti tanaman pangan dan hortikultura, tanaman
perkebunan, dan kotoran ternak. Limbah pertanian diartikan sebagai bahan yang
dibuang di sektor pertanian, misalnya sabut dan tempurung kelapa, jerami dan
dedak padi, kulit, tulang pada ternak potong serta jeroan dan darah pada ikan.
Secara umum limbah pertanian dibagi ke dalam limbah pra dan saat panen
atau limbah hasil serta limbah pasca panen. Limbah pasca panen terbagi dalam
kelompok limbah sebelum diolah dan limbah setelah diolah atau limbah industri
pertanian (Soejono, 1995 dan Rachmawan, 2001). Rusmono, et al. (2016),
limbah hasil pertanian adalah bahan yang merupakan buangan dari proses
perlakuan atau pengolahan dalam memperoleh hasil utama.
Limbah pertanian merupakan alternatif yang dapat digunakan sebagai
pakan, khususnya ruminansia (Sitorus, 2002). Limbah pertanian yang mengalami
proses pelapukan atau fermentasi baik secara alami maupun melalui bantuan
activator akan menghasilkan pupuk organik. Pupuk organik merupakan pupuk
yang lengkap walaupun dalam jumlah kecil tetapi mengandung unsur makro dan
mikro yang dibutuhkan tanaman. Ketersediaan pupuk organik dalam jumlah dan
kualitas yang memadai dapat sebagai dasar dalam menuju terwujudnya
pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik selain
dapat memperbaiki struktur tanah juga dapat meningkatkan produktivitas lahan
(Karyaningsih, et al., 2008).

2.1.2. Mikro Organisme Lokal (MOL)


Mikroorganisme Lokal (MOL) adalah cairan hasil fermentasi dari substrat
atau media tertentu yang berada di sekitar kita (misalnya nasi, buah-buahan, telur,

4
susu, keong, dan lain-lain). MOL dapat juga diartikan mikroorganisme yang
berasal dari substrat/bahan tertentu dan diperbanyak dengan bahan alami yang
mengandung karbohidrat (gula), protein, mineral, dan vitamin. Perkembangan
MOL di Indonesia cukup pesat di kalangan petani, khususnya petani organik.
MOL bersifat sangat spesifik untuk daerah tertentu karena menggunakan bahan
baku dan mikroorganisme lokal, yang tentunya berbeda dengan daerah lain.
(ICRR, 2016). MOL adalah kumpulan mikro organisme yang bisa dibiakkan
(Hadi, 2019). Larutan MOL (Mikro Organisme Lokal) adalah hasil dari
fermentasi yang berbahan dasar dari sumberdaya yang tersedia setempat
(Purwasasmita, 2009).
Manfaat MOL adalah untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi
tanaman serta kesehatan tanah. MOL juga dikenal sebagai agen penyubur tanah
MOL mirip dengan Fermented Plant Juice Fertilizer yang berkembang di
beberapa negara. Nomenklatur MOL dalam pohon pupuk belum mendapat
tempat yang sesuai. Hal ini disebabkan MOL tidak dapat dimasukkan dalam
katagori pupuk hayati dan belum memenuhi syarat sebagai pupuk organik cair
(ICRR, 2016). Fungsinya dalam konsep “zero waste” adalah untuk “starter”
pembuatan kompos organik. Penggunaan MOL ini maka konsep pengomposan
bisa selesai dalam waktu 3 mingguan (Hadi, 2019). Larutan MOL mengandung
unsure hara makro dan mikro dan juga mengandung bakteri yang berpotensi
sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan dan sebagai agens
pengendali hama dan penyakit tanaman. Sehingga MOL dapat digunakan baik
sebagai pendekomposer, pupuk hayati, dan sebagai pestisida organic terutama
sebagai fungisida (Purwasasmita, 2009).
Peran MOL dalam kompos, selain sebagai penyuplai nutrisi juga berperan
sebagai komponen bioreaktor yang bertugas menjaga proses tumbuh tanaman
secara optimal. Fungsi dari bioreaktor sangatlah kompleks, fungsi yang telah
teridentifikasi antara lain adalah penyuplai nutrisi melalui mekanisme eksudat,
kontrol mikroba sesuai kebutuhan tanaman, menjaga stabilitas kondisi tanah
menuju kondisi yang ideal bagi pertumbuhan tanaman, bahkan kontrol terhadap
penyakit yang dapat menyerang tanaman (Purwasasmita, 2009). MOL juga
memiliki manfaat lain, yaitu : memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologis tanah,

5
menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, menyehatkan tanaman,
meningkatkan produksi tanaman, dan menjaga kestabilan produksi, menambah
unsur hara tanah dengan cara disiramkan ke tanah, tanaman, atau disemprotkan ke
daun dan mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan.
Permana (2011), larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro dan
juga mengandung bakteri yang berpotensi sebagai perombak bahan organik,
perangsang pertumbuhan dan sebagai agens pengendali hama dan penyakit
tanaman. Peranan MOL dalam kompos selain sebagai penyuplai nutrisi juga
berperan sebagai komponen bioreaktor yang bertugas menjaga proses tumbuh
tanaman secara optimal. Fungsi dari bioreaktor sangatlah kompleks, fungsi yang
telah teridentifikasi antara lain adalah penyuplai nutrisi melalui mekanisme
eksudat, kontrol mikroba sesuai kebutuhan tanaman, bahkan kontrol terhadap
penyakit yang dapat menyerang tanaman.
MOL juga merupakan salah satu dekomposer yang dapat digunakan untuk
mendekomposisi TKKS dan merupakan salah satu dekomposer yang sedang
berkembang pesat pada sistem pertanian organik saat ini. Penggunaan pupuk cair
dengan memanfaatkan jenis MOL menjadi alternatif penunjang kebutuhan unsur
hara dalam tanah. Larutan MOL mengandung unsur hara makro, mikro, dan
mengandung mikroorganisme yang berpotensi sebagai perombak bahan organik,
perangsang pertumbuhan, dan agen pengendali hama dan penyakit tanaman
sehingga baik digunakan sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan pestisida
organik. MOL sangat diperlukan dalam sistem pertanian organik untuk
menciptakan produk pertanian yang berkualitas dan sehat serta menciptakan
pertanian berkelanjutan (Kesumaningwati, 2015). Hadinata (2008) larutan MOL
yang telah mengalami fermentasi dapat digunakan sebagai dekomposer dan pupuk
cair untuk meningkatkan kesuburan tanah serta sabagai sumber unsur hara bagi
pertumbuhan tanaman. Larutan MOL mempunyai kualitas yang baik sehingga
mampu meningkatkan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman secara
berkelanjutan.
Dekomposisi bahan baku MOL terjadi perubahan-perubahan kimia.
Perubahan ini antara lain tergantung pada pH, kadar karbohirat, oksigen dan
mikroorganisme. Makin lama waktu pembuatan MOL berlangsung, maka

6
dekomposisi bahan organik juga akan semakin lama. Akibatnya, pH menjadi
rendah karena terjadi peningkatan konsentrasi ion-ion H+. Ion-ion H+ ini akan
menentukan keasaman MOL (Dwijoseputro, 2010).
MOL adalah mikroorganisme yang terbuat dari bahan-bahan alami sebagai
medium berkembangnya mikroorganisme yang berguna untuk mempercepat
penghancuran bahan organik (proses dekomposisi menjadi kompos/pupuk
organik). Di samping itu juga dapat berfungsi sebagai tambahan nutrisi bagi
tanaman, yang dikembangkan dari mikroorganisme yang berada di tempat
tersebut (Panudju, 2011). Bahan baku MOL adalah media tumbuh
mikroorganisme yang mengandung unsur hara yang dibutuhkan. Menurut
Wiswasta dan Alit (2016) di dalam MOL sayuran mengandung N sebesar 0,4471
mg/L; P sebesar 21,049 mg/L; dan K 161 mg/L. Sayuran yang dapat dijadikan
bahan untuk pembuatan MOL adalah kubis, kangkung dan sawi.
Pembuatan MOL tidak dilakukan melalui proses inokulasi oleh
mikroorganisme yang diintroduksikan dan tidak dilakukan secara aseptis (ICRR,
2016). MOL adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar dari berbagai
sumber daya yang tersedia disekitar kita. Bahan dasar tersebut dapat berasal dari
hasil pertanian, perkebunan, maupun limbah organik rumah tangga. Bahan utama
MOL terdiri atas beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber
mikroorganisme (Palupi, 2015).
Dale (2003) menyatakan larutan MOL harus mempunyai kualitas yang
baik sehingga mampu meningkatkan kesuburan tanah, dan pertumbuhan tanaman
secara berkelanjutan. Kualitas merupakan tingkat yang menunjukkan serangkaian
karakteristik yang melekat dan memenuhi ukuran tertentu. Seni et al. (2013),
Faktor-faktor yang menentukan kualitas larutan MOL antara lain media
fermentasi, kadar bahan baku atau substrat, bentuk dan sifat mikroorganisme yang
aktif di dalam proses fermentasi, pH, temperatur, lama fermentasi, dan rasio C/N
larutan MOL. Batara (2015) menyatakan bahwa MOL mempunyai sifat fisik,
sifat kimia dan sifat biologi MOL. MOL sebagai suatu larutan mempunyai sifat-
sifat fisik yang berhubungan dengan kehidupan mikroorganisme misalnya waktu,
suhu dan warna. Juanda et al. (2011) menemukan bahwa waktu pembuatan yang
dibutuhkan MOL 3 minggu karena bahan baku MOL sudah hancur atau terurai

7
dengan sempurna. Lama pembuatan juga berpengaruh nyata terhadap suhu MOL.
Suhu tertinggi yang dicapai adalah 29 0C. Hal ini ada kaitannya dengan aktivitas
mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik yang menghasilkan energi
dalam bentuk panas. Setelah mencapai puncak, suhu mulai menurun, diduga
karena aktivitas mikroorganisme dalam mengurai bahan organik semakin
berkurang. MOL juga menghasilkan warna yang berbeda-beda tergantung pada
bahan organiknya. Warna MOL adalah warna yang ditimbulkan oleh kandungan
bahan organik dan anorganik. Warna bahan-bahan organik misalnya tannin,
liginin dan asam humus yang berasal dari dekomposisi bahan baku MOL. Warna
ini tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi juga oleh bahan tersuspensi
(Effendi, 2003).

2.1.3. Strategi Pengelolaan Limbah Hasil Pertanian


Strategi pengelolaan limbah hasil pertanian dimulai dari menumbuhkan
rasa kesadaran petani terhadap pentingnya lingkungan hidup yang sehat,
pentingnya usahatani dengan modal usaha yang rendah dan meningkatkan
perekonomian dengan limbah. Pengelolaan limbah hasil pertanian di tingkat
petani, dimulai dengan pengelolaan tanpa modal dan tanpa peralatan yang mahal,
pengelolaan langsung di kebun petani. Andareswari, et al. (2019), kemudian
dilanjutkan dengan kegiatan (1) pengelolaan limbah yang diarahkan pada
pengolahan yang menghasilkan produk yang bernilai ekonomi, (2) bersifat
mandiri atau kelompok bukan kawasan, serta (3) pemberian bantuan untuk
membangun fasilitas pengolahan limbah. Prioritas teknologi pengolahan yang
dipilih berdasarkan kriteria teknis, lingkungan, sosial dan ekonomi adalah
Pengolahan limbah hasil pertanian menjadi pupuk organik dan pengendali
penyakit dengan memanfaatkan mikroorganisme.
Pengelolaan limbah hasil pertanian dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan produk yang berbeda. Pengelolaan ini dapat dengan menerapkan :
1. Limbah hasil pertanian sebagai pupuk organik
Pupuk organik didefinisikan sebagai pupuk yang sebagian atau seluruhnya
berasal dari dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa,
dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk

8
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 2 Tahun 2006). Pupuk organik mempunyai beragam jenis dan varian.
Jenis-jenis pupuk organik dibedakan dari bahan baku, metode pembuatan dan
wujudnya. Dari sisi bahan baku ada yang terbuat dari kotoran hewan, hijauan
atau campuran keduanya. Dari metode pembuatan ada banyak ragam seperti
kompos aerob, bokashi, dan lain sebagainya. Sedangkan dari sisi wujud ada yang
berwujud serbuk, cair maupun granul atau tablet (Kurnia, 2014). Limbah hasil
pertanian sangat tepat untuk diolah menjadi pupuk organik.
2. Limbah hasil pertanian sebagai pengendalian penyakit tanamam
Biopestisida dibagi menjadi pestisida nabati dan pestisida hayati. Pestisida
hayati adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme menghasilkan senyawa
bersifat racun bagi hama maupun penyakit tanaman. Biopestisida digunakan
untuk menjaga kesehatan tanaman, mengendalikan serangan hama dan penyakit
(Kementrian Pertanian RI, 2022). Limbah hasil pertanian dapat dibuat sebagai
pupuk organik dengan penambahan MOL dan apabila diaplikasikan ke tananaman
bisa mengendalikan penyakit pada akar tanaman.
3. Limbah hasil pertanian sebagai mulsa
Budidaya pertanian dalam pelaksanaannya, ada beberapa jenis tanaman
memerlukan mulsa sebagai penutup tanah agar pertumbuhan dan produksi
tanaman dapat dioptimalkan sesuai dengan potensi genetis tanaman. Mulsa dapat
diperoleh dari limbah tanaman seperti jerami, tongkol jagung, rumput, dan yang
sejenisnya. Beberapa peneliti melaporkan bahwa mulsa mempunyai banyak fungsi
dalam sistem pertanian. Anis et al. (2007) melaporkan bahwa penggunaan mulsa
jerami pada fase pertumbuhan tanaman – stroberi dapat meningkatkan efesiensi
penggunaan air sebesar 58,65%, yaitu dari 319,87 mm tanpa mulsa menjadi
187,60 mm dengan mulsa jerami. Hal ini akan mempunyai arti dan manfaat yang
sangat penting pada lahan kering. Menurut Suhayatun (2006) mulsa dapat
menjaga stabilitas suhu tanah sehubungan dengan kemampuannya dalam menahan
intensitas sinar matahari di siang hari, dan tetap mempertahankan penurunan suhu
tanah di malam hari. Elly dan Yogi (2003), pemberian mulsa jerami padi dapat
menekan pertumbuhan gulma sebesar 56-66% dan meningkatkanhasil biji kedelai
sebesar 77%.

9
4. Limbah hasil pertanian sebagai sumber pakan ternak
Jenis limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan
ternak adalah jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, jerami kacang tanah,
pucuk ubi kayu, serta jerami ubi jalar. Menurut Jasmal (2007), potensi dan daya
dukung limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia di Indonesia adalah
51.546.297,3 ton BK. Produksi limbah pertanian terbesar adalah jerami padi
(85,81%), diikuti oleh jerami jagung (5,84%), jerami kacang tanah (2,84%),
jerami kedelai (2,54%), pucuk ubi kayu (2,29%) dan jerami ubi jalar (0,68%).
Supriadi dan Soeharsono (2008), limbah pertanian yang umum disimpan
sebagai pakan ternak di musim kering adalah jerami padi, jerami kacang tanah,
jerma kedelai dengan cara di keringkan. Pengeringan rata-rata 3-4 hari jemur
matahari langsung, kemudian disimpan di para-para kandang atau dibuatkan
khusus kandang pakan sebagai lumbung pakan.
5. Limbah hasil pertanian sebagai bahan kerajinan
Jerami padi dan daun jagung bisa dibuat menjadi kerajinan berupa tas,
dompet atau sovenir lainnya. Tanaman cabai yang dikeringkan dan diberi
perlakuan pengawetan dapat dijadikan hiasan ruangan dengan penambahan variasi
lainnya.

2.2. Penelitian yang Mendukung Studi Kasus


Penelitian yang mendukung Studi kasus yang telah dilaksanakan
diantaranya adalah : Kompos Tricholimtan sebagai Pupuk Organik dan
Biofungisida dalam Peningkatan Produksi Kedelai Organik (2011). Pemanfaatan
Daun Salam dalam Pengendalian Patogen Karat Daun dalam Upaya Peningkatan
Kualitas Produksi Kedelai Organik (2012). Daun Kayu Manis dan Daun Salam
sebagai Fungisida Nabati terhadap Sclerotium rolfsii dan sebagai Pupuk Organik
Berfungi-sida pada Tanaman Kedelai (2013). Kombinasi Bahan Organik Media
Tanam Batang Bawah untuk Perbanyakan Sirsak Lokal Sungai Penuh dengan
Teknik Penyambungan dan Pertumbuhan Bibit (2015). POP dan POC Berbasis
Limbah Baglog Plus untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Kedelai
(2017). Aplikasi Mulsa dan Kompos Gulma Paitan Plus pada Pertum-buhan dan
Hasil Kedelai Edamame (Glycine Max (L) Merill) Berbasis Pertanian Organik

10
(2018). Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Edamame (Glicine max
(L) Merill) melalui Kombinasi Pupuk Hayati dan Kompos Putihan (Clibadium
surinamense) (2019). Pembibitan Kopi pada Media Limkomol dengan Berbagai
Perangsang Perkecambahan (2020). Aplikasi Pupuk Organik Limbah Cair Tahu
Plus untuk Meningkat-kan Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L)
Merill) (2020).

11
BAB III. METODE STUDI KASUS

3.1. Ruang Lingkup Studi Kasus


Studi kasus ini dilakukan di Kecamatan Kayu Aro Kabupaten Kerinci,
dengan metode sampling. Sampel diperoleh dengan cara purposive sampling,
yakni wilayah desa yang memiliki produktivitas pertanian minimal mencapai
1 ton. Asumsi yang digunakan dimaksudkan untuk mendapatkan limbah pertanian
yang beraneka ragam dan berpotensi memiliki kandungan unsur hara dan nutrien.
Desa yang didapatkan, lima desa yakni : Desa Koto Periang, Kersik Tuo, Batang
Sangir, Sungai Tanduk dan Lindung Jaya. Setiap desa ditentukan sampel
respondennya sebanyak 10 petani. Petani sampel adalah petani yang memiliki
lahan dengan beberapa tanaman budidaya dalam satu hamparan lahan.
Analisis studi dikhususkan untuk pengelolaan limbah hasil pertanian dengan
memanfaatkan mikroorganisme lokal, dalam hal ini berupa produk MOL, pupuk
organik (kompos dan POC) dan pengendali penyakit tanaman.

3.2. Sumber dan Jenis Data Studi Kasus


3.2.1. Sumber Data
Pengumpulan sumber data dalam studi kasus ini, dilakukan dalam wujud
data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data Primer merupakan jenis dan sumber data yang di peroleh secara
langsung dari sumber pertama (tidak melalui perantara), baik individu maupun
kelompok. Data primer secara khusus dilakukan untuk menjawab pertanyaan
dalam studi kasus. Penulis mengumpulkan data primer dengan metode survey dan
juga metode observasi. Metode survey ialah metode yang pengumpulan data
primer yang menggunakan pertanyaan lisan dan tertulis. Penulis melakukan
wawancara kepada petani sampel untuk mendapatkan data atau informasi yang di
butuhkan. Kemudian penulis juga melakukan pengumpulan data dengan metode
observasi. Metode observasi ialah metode pengumpulan data primer dengan
melakukan pengamatan terhadap aktivitas dan kejadian tertentu yang terjadi. Jadi
penulis datang ke tempat usaha petani sampel untuk mengamati aktivitas yang

12
terjadi pada usaha tersebut untuk mendapatkan data atau informasi yang sesuai
dengan apa yang dilihat dan sesuai dengan kenyataannya.
b. Data Sekunder
Data Sekunder merupakan sumber data suatu penelitian yang di peroleh
peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh atau dicatat oleh
pihak lain). Data sekunder itu berupa bukti, catatan atau laporan historis yang
telah tersusun dalam arsip atau data dokumenter.
3.2.2. Jenis Data
Ada dua jenis data secara umum dalam stdi kasus ini yaitu data kuantitatif
dan data kualitatif.
a. Data Kuantitatif
Data kuantitatif merupakan data atau informasi yang didapatkan dalam
bentuk angka. Dalam bentuk angka ini maka data kuantitatif dapat di proses
menggunakan rumus matematika atau dapat juga dianalisis dengan sistem
statistik.
b. Data Kualitatif
Data Kualitatif merupakan data yang berbentuk kata-kata atau verbal.
Cara memperoleh data kualitatif dapat dilakukan melalui wawancara.

3.3. Analisis Data


Analisis data yang digunakan dalam studi kasus ini adalah mengacu pada
konsep Rahardjo (2017) yang mengklasifikasikan analisis data dalam enam
langkah, yaitu :
1. Pengumpulan Data
2. Penyempurnaan Data
3. Pengolahan Data
4. Analisis Data
5. Proses Analisis Data
6. Simpulan Hasil Penelitian

13
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil dan Pembahasan


Petani responden dalam studi kasus di Kecamatan Kayu Aro sebanyak 50
orang dominan berpendidikan tamat SMA, dengan umur antara 25 – 45 tahun.
Dilihat dari umur responden merupakan usia yang produktif untuk bekerja dan
pendidkan yang sebatas SMA sangat cocok untuk menerapkan IPTEK dari solusi
yang dibahas pada Studi kasusini. Menurut Priyono dan Yasin (2016), usia bagi
tenaga kerja berada diantara 20 hingga 40 tahun, usia ini dianggap sangat produktif
bagi tenaga kerja karena apabila usia dibawah 20 tahun rata-rata individu masih
belum memiliki kematangan skill yang cukup selain itu juga masih dalam proses
pendidikan. Sedangkan pada usia diatas 40 tahun mulai terjadi penurunan
kemampuan fisik bagi individu.
Hasil yang diperoleh dari studi kasus di Kecamatan Kayu Aro dapat dilihat
pada Tabel 1. Pengamatan pada Tabel 1 bahwa rata – rata lahan yang digunakan
oleh petani responden untuk bercocok tanam cukup luas (2 – 5 ha/responden)
dengan berbagai komoditi tanaman yakni padi, jagung, kentang, wortel, kubis,
kol, cabai dan tomat. Lahan yang luas ini, apabila tanamannya sudah dipanen
menyisakan limbah hasil budidayanya yang jumlahnya banyak, dan jumlah
limbah yang dihasilkan tergantung komoditi yang ditanam. Pengelolaan limbah
hasil pertanian oleh masing-masing petani responden bervariasi, ada dengan cara
membakar, hanya ditumpuk di tepi lahan, dimasukkan ke lubang dan dijadikan
sebagai pakan ternak. Pengelolaan limbah di tingkat petani Kecamatan Kayu Aro
memberi dampak negatif terhadap lingkungan, seperti polusi udara karena asap
pembakaran limbah, tempat berkembangbiaknya tikus dan kecoak karena
penumpukan limbah dan menimbulkan bau busuk, hanya pengelolaan menjadi
pakan yang memiliki dampak positif. Dinas Pertanian (2017), pembakaran limbah
hasil pertanian sama dengan membakar unsur hara yang terkandung dalam bahan
tersebut. Unsur yang seharusnya bisa menambah kesuburan tanah, akan terbuang
sia-sia. Batang dan daun yang bisa menyuburkan tanah secara fisika hanya akan
terbakar menjadi karbon atau arang. Secara perlahan pembakaran menurunkan
produktivitas tanah sehingga jumlah panen semakin hari akan semakin menurun.

14
Tabel 1. Hasil kuisioner dari 50 petani responden di Kecamatan Kayu Aro

KARAKTERISTIK USAHA
Status kepemilikan lahan 90 % hak milik
Luas lahan total yang digunakan 2 - 5 ha
Pangan Sayuran Umbi Sayuran Daun Sayuran buah
Komoditas yang ditanam
Padi Jagung Kentang Wortel Kubis Kol Cabai Tomat
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jumlah responden yang
20% 40% 60% 10% 70% 80% 20% 40%
menanam
PERSEPSI RESPONDEN MENGENAI LIMBAH DAN PENGOLAHAN LIMBAH PERTANIAN YANG DIHASILKAN
2–3 3-4 3-4
Jumlah limbah hasil pertanian 12 – 15 ton / 2 – 3 ton/ 3 – 4,5 3 – 4,5
2 - 3 ha BK ton/ ha ton/ ha ton/ ha
yang dihasilkan setiap panen ha BB ha BB ton/ ha BB ton/ ha BB
BB BB BB
Pengelolaan limbah hasil Bakar/ Tumpuk/ Tumpuk Tumpuk
Bakar Bakar Bakar Bakar
pertanian Tumpuk Bakar/ Pakan ke lubang ke lubang
Bersambung .....

15
Tabel 1 (Sambungan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Dampak negatif pengelolaan
limbah hasil pertanian yang Asap/ Tikus Asap/ Tikus Asap Asap Bau busuk Bau busuk Asap Asap
dilakukan
Dampak positif pengelolaan
limbah hasil pertanian yang Tidak Ada (pakan) Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
dilakukan

Pengetahuan pengelolaan limbah 10% 20%


hasil pertanian dapat responden responden Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
dimanfaatkan tentang pupuk tentang pakan

Pemanfaatan limbah hasil 4% resp utk 10% utk


Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
pertanian yang ada pupuk pakan
Pengelolaan limbah hasil
10% Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
pertanian menjadi pupuk organik
Pengelolaan limbah hasil
10% Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
pertanian menjadi mulsa
Bersambung .....

16
Tabel 1 (Sambungan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengelolaan limbah hasil
10% 10% Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
pertanian menjadi pakan ternak
Pengelolaan limbah hasil
pertanian menjadi pengendali Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
penyakit tanaman
Pengelolaan limbah hasil
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
pertanian menjadi kerajinan
Pupuk yang digunakan NPK NPK NPK NPK NPK NPK NPK NPK
Pengetahuan tentang MOL Tidak
Penggunaan MOL Tidak
Pengetahuan tentang pupuk
20% mengetahui
organik
Pengetahuan tentang POC Tidak
Pengetahuan tentang POC Tidak
PENGGUNAAN PUPUK
Pupuk yang digunakan NPK
Pupuk kandang Tidak

17
Sejauh ini limbah hasil pertanian masih sedikit termanfaatkan.
Pemanfaatan limbah hasil pertanian di Kecamatan Kayu Aro yang masih rendah,
dikarenakan permasalahan yang dihadapi dalam mengelola limbah hasil pertanian,
yakni rendahnya tingkat pengetahuan petani terhadap manfaat limbah. Persepsi
masyarakat yang berbeda-beda terhadap keberadaan limbah tersebut
mengakibatkan penanggulangan terhadap limbah tersebut berjalan lambat.
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa mengelola limbah suatu pekerjaan yang
tidak penting dilakukan, tidak memberikan keuntungan, dan hanya membuang-
buang waktu. (Yunilas, 2009). Persepsi petani harus dirubah melihat jumlah
limbah yang terus bertambah setiap tahunnya. Penambahan limbah hasil pertanian
yang tidak sesuai dengan tingkat pengelolaannya berakibat sangat buruk terhadap
lingkungan. Persepsi petani yang harus dirubah adalah limbah sebenarnya
mempunyai nilai ekonomi dan bisa dimanfaatkan dalam memperbaiki lingkungan
dan menjadi sesuatu yang bermanfaat dan memiliki nilai ekonomis sendiri jika
kita mampu mengolahnya.
Strategi pengelolaan limbah hasil pertanian di Kecamatan Kayu Aro
dimulai dengan cara pengubahan persepsi petani responden melalui pemberian
pelatihan, penyuluhan dan diskusi. Kemudian dilakukan praktek langsung ke
lapangan sehingga memberi hasil yang dapat dirasakan oleh petani, setelah petani
melihat langsung keuntungan dan dampak positif dari pengelolaan limbah hasil
pertanian dengan baik maka petani akan melaksanakan pengelolaan limbah ini
dengan sendirinya.
Limbah hasil pertanian berupa jerami padi, jerami jagung, brangkasan
tanaman kentang, wortel, kubis, kol, cabai dan tomat yang jumlahnya dalam
hitungan ton setiap kali panen (Tabel 1), jika dikelola dengan baik dapat
menambah penghasilan bagi petani dan juga memberi dampak positif bagi
lingkungan. Limbah hasil pertanian akan bernilai ekonomi dan bermanfaat bagi
kehidupan. Limbah ini jika dikaji lebih mendalam serta dikaitkan dengan proses
kesetimbangan alam, maka limbah tersebut mengndung bahan-bahan yang
berguna untuk dikembalikan ke dalam tanah. Limbah hasil pertanian yang
dikelola menjadi MOL dan pupuk organik seperti kompos dan POC sangat
bermanfaat untuk budidaya tanaman. Teknik pengelolaan limbah hasil pertanian

18
berbasis mikroorganisme lokal dapat diterapkan untuk menumbuh kembangkan
perekonomian petani.
Limbah hasil pertanian berupa jerami padi atau jerami jagung dapat dibuat
menjadi MOL dan MOL ini akan digunakan sebagai dekomposer untuk
mempercepat proses pembuatan pupuk organik berupa kompos yang berbahan
dasar jerami padi atau jerami jagung. Kompos yang telah jadi dapat digunakan
untuk pupuk pada berbagai budidaya tanaman. Limbah hasil pertanian berupa
jerami padi juga sangat bermanfaat untuk menambahkan unsur hara pada lahan
sawah apabila dikelola dengan baik seperti dengan cara membenamkan jerami
pada lahan sawah yang basah saat musim bera dan sebelum musim tanam. Selain
itu, tricholimtan berbahan dasar jerami sangat cocok untuk peningkatan produk
tanaman padi sitem jajar legowo (Evita, et al., 2017). Dinas Pertanian (2019), di
Indonesia rata-rata kandungan hara jerami padi adalah 0,4%N, 0,02% P; 1,4% K;
dan 5,6 Si. Untuk setiap 1 ton gabah (GKG) dari pertanaman padi dihasilkan pula
1,5 ton jerami yang mengandung 9 kg N, 2 kg P, 25 kg K, 2 kg S, 70 kg Si, 6 kg
Ca dan 2 kg Mg, sedangkan Surtinah (2013), kompos dengan bahan serasah
jagung manis mengandung C 10,5%, N 1,05% , C/N rasio 9,97, P2O5 1,01%,
K2O 0,18%, dan Ca 1,98 me/100 g.
Limbah hasil pertanian berupa limbah hasil panen tanaman kentang,
wortel, kubis, kol, cabai dan tomat merupakan limbah yang sangat berpotensi
untuk dijadikan pupuk organik. Masing-masing limbah atau pencampuran dari
berbagai limbah ini dapat dijadikan sebagai MOL dan pupuk organik berupa
kompos. Tricholimtan yang merupakan kompos yang dibuat dari berbagai limbah
pertanian dengan dekomposer Trichoderma, dapat meningkatkan produksi
tanaman sayur-sayuran dengan pola polikultur dan vertikultur (Novita, 2011).
Limbah hasil pertanian di Kecamatan Kayu Aro dapat dikelola juga
menjadi Pupuk Organik Cair (POC). POC biasanya digunakan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman sayuran daun, cabai dan tomat. Dinas
Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (2018), jenis pupuk
organik cair lebih efektif dan efesien jika diaplikasikan pada daun, bunga dan
batang dibanding pada media tanam (kecuali pada metode hidroponik). Pupuk
organik cair bisa berfungsi sebagai perangsang tumbuh. Terutama saat tanaman

19
mulai bertunas atau saat perubahan dari fase vegetatif ke generatif untuk
merangsang pertumbuhan buah dan biji. Daun dan batang bisa menyerap secara
langsung pupuk yang diberikan melalui stomata atau pori-pori yang ada pada
permukaannya.
Limbah hasil pertanian yang dibuat menjadi kompos dengan bantuan
mikroorganisme seperti Trichoderma dan Gliocladium sebagai dekomposer dapat
berperan langsung sebagai pengendali penyakit tanaman terutama penyakit yang
terdapat pada akar tanaman. Kurnia (2013), biakan Trichoderma dalam media
aplikatif seperti dedak dapat diberikan ke areal pertanaman dan sebagai
biodekomposer, mendekomposisi limbah organik seperti rontokan dedaunan dan
ranting tua menjadi kompos yang bermutu, serta dapat sebagai biofungisida.
Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit
pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia
solani, dan Sclerotium rolfsii. Afriani, et al (2019), Gliocladium virens
merupakan agen antagonis yang cukup efektif untuk menghambat perkembangan
penyakit Fusarium oxysporum f.sp. capsici pada tanaman cabai. Penggunaan
agen antagonis Gliocladium virens tersebut juga mampu menyediakan unsur hara
tanaman yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman cabai.

4.2. Implementasi Hasil Studi


Implementasi hasil studi pada masa yang akan datang adalah bekerja sama
dengan petani dan instansi terkait, dimulai dari pengembangan wawasan petani,
pendidikan dan pelatihan, praktek dan penerapan tentang pengelolaan limbah hasil
pertanian. Pengelolaan limbah hasil pertanian di Kecamatan Kayu Aro
difokuskan pada pembuatan MOL dan pupuk organik yang kemudian akan
digunakan langsung pada budidaya tanaman yang diusahakan oleh petani
responden.

1. Limbah hasil pertanian sebagai MOL


MOL adalah mikroorganisme yang terbuat dari bahan-bahan alami sebagai
medium berkembangnya mikroorganisme yang berguna untuk mempercepat
penghancuran bahan organik (proses dekomposisi menjadi kompos/pupuk
organik). Di samping itu juga dapat berfungsi sebagai tambahan nutrisi bagi

20
tanaman, yang dikembangkan dari mikroorganisme yang berada di tempat
tersebut. Bahan baku MOL adalah media tumbuh mikroorganisme yang
mengandung unsur hara yang dibutuhkan. Menurut Wiswasta dan Alit (2016) di
dalam MOL sayuran mengandung N sebesar 0,4471 mg/L; P sebesar 21,049
mg/L; dan K 161 mg/L. Sayuran yang dapat dijadikan bahan untuk pembuatan
MOL adalah kubis, kangkung dan sawi.

Gambar 1. Pembuatan MOL

2. Limbah hasil pertanian sebagai pupuk organik


Pupuk organik didefinisikan sebagai pupuk yang sebagian atau seluruhnya
berasal dari dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa,
dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 2 Tahun 2006). Pupuk organik mempunyai beragam jenis dan varian.
Jenis-jenis pupuk organik dibedakan dari bahan baku, metode pembuatan dan
wujudnya. Dari sisi bahan baku ada yang terbuat dari kotoran hewan, hijauan
atau campuran keduanya. Dari metode pembuatan ada banyak ragam seperti
kompos aerob, bokashi, dan lain sebagainya. Sedangkan dari sisi wujud ada yang
berwujud serbuk, cair maupun granul atau tablet (Kurnia, 2014). Limbah hasil

21
pertanian sangat tepat untuk diolah menjadi pupuk organik. Pipuk organik dapat
berupa pupuk padat maupun pupuk cair.

Gambar 2. Pembuatan Kompos

Gambar 3. Pembuatan POC

22
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari kegiatan studi kasus yang telah dilakukan di Kecamatan
Kayu Aro adalah sebagai berikut :
1. Data analisis tentang limbah hasil pertanian di Kecamatan Kayu Aro dapat
digunakan sebagai pertimbangan dan acuan pengelolaan limbah bagi instansi
terkait.
2. Kondisi penanganan limbah hasil pertanian di Kecamatan Kayu Aro memberi
dampak negatif terhadap lingkungan.
3. Strategi pengelolaan limbah hasil pertanian yang lebih efektif dan ekonomis
di tingkat petani Kecamatan Kayu Aro dapat dilakukan dengan mengubah
persepsi negatif petani melalui pelatihan, penyuluhan, diskusi dan praktek
langsung pengelolaan limbah berbasis mikroorganisme lokal.

5.2. Saran
Disarankan untuk melanjutkan studi kasus ini dengan kegiatan inovatif
lainnya dan menerap langsung ke lapangan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, A., M. Heviyanti dan F.S. Harahap. 2019. Efektivitas gliocladium


virens untuk mengendalikan penyakit Fusarium oxysporum F. sp. capsici
pada tanaman cabai. Jurnal Pertanian Tropik ISSN NO: 2356- 4725/p-
ISSN : 2655-7576 Vol.6. No.3. Desember 2019 (49) 403- 411
https://talenta.usu.ac.id/jpt

Andareswari, N., H. Hariyadi, dan G. Yulianto. 2019. Strategi Pengelolaan


Limbah Cair Sentra Usaha Tapioka di Kecamatan Bogor Utara Kota
Bogor. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/100788

Batara, LN. 2015. Kualitas mikroorganisme lokal (MOL) yang digunakan pada
penanaman padi (Oryza sativa L.) dengan metode system of rice
intensification (SRI) organik. Pasacasarjana IPB.

BPS. 2017. Provinsi Jambi Dalam Angka. Badan Pusat Statisyik Provinsi Jambi.
Jambi

Dale. H.B. 2003. Total Quality Management, Third Edition, International Edition.
New Jersey: Pearon Education International.

Darwis. 1992. Teknologi Fermentasi. Rajawali-Press. Jakarta. 95 hal.

Dinas Pertanian. 2019. Stop Pembakaran Jerami Padi. Dinas Pertanian.


Purbalingga.

Dinas Pertanian. 2019. Pemanfaatan Jerami Padi Menjadi Kompos. Pemerintah


Kabupaten Bulelang, Dinas Pertanian. Bulelang.

Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2018. Cara


membuat pupuk organik cair.
https://www.dinastph.lampungprov.go.id/detail-post/cara-membuat-pupuk-
organik-cair. Provinsi Lampung

Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. 2006. Sistem pakan ternak ruminansia.


Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. Jakarta.

Evita, T Novita, dan J. Andayani. 2017. Pemberdayaan Masyarakat Tani dalam


Peningkatan Pendapatan Melalui Pengembangan Padi Organik Berbasis
Tricholimtan Dengan Sistem Jajar Legowo Di Kecamatan Koto Baru.
Jurnal Karya Abdi 1 (2), 106-118. LPPM Universitas Jambj

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Depdikbud Dirjen Dikti. Bogor.

Hadi, R.A. 2019. Pemanfaatan Mol (Mikroorganisme Lokal) dari Materi yang
Tersedia di Sekitar Lingkungan. Agroscience Vol 9 No. 1 Tahun 2019
ISSN Cetak: 1979-4661 e-ISSN: 2579-7891

24
Indonesian Center for Rice Research (ICRR). 2016. Mikroorganisme Lokal.
https://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/en/info-berita/info-
teknologi/mikroorganisme-lokal

Irianto, K. 2015. Pengelolaan Limbah Pertanian. Universitas Warmadewa. Bali.

Juanda, Irfan, dan Nurdiana. 2011. Pegaruh Metode Dan Lama Fermentasi
Terhadap Mutu Mol (Mikroorganisme Lokal). Hal. 140-143.

Karyaningsih, S., I. Herianti, dan T. Suhendrata. 2008. Daya Dukung Limbah


Pertanian sebagai Sumber Pupuk Organik Di Kabupaten Sukoharjo.
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian. Yogyakarta, 18-19
November 2008.

Kementrian Pertanian RI. 2022. Apa itu biopestisida. Pusat perpustakaan dan
Penyebaran Teknologi Pertanian.
http://repository.pertanian.go.id/bitstream/handle/123456789/8728/bukuju
kniskrpl.pdf

Kesumaningwati, R. 2015. Penggunaan Mol Bonggol Pisang (Musa paradisiaca)


sebagai Dekomposer untuk Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit.
J.Ziraa’ah, 40 (1): 40-45.

Kurnia. 2014. Tehnik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif.


https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&
cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwig3LiU2f_3AhXZS2wGHVqSCL44ChA
WegQIBRAB&url=https%3A%2F%2Fscholar.google.co.id%2Fcitations%
3Fuser%3Dk0zX87AAAAAJ%26hl%3Did&usg=AOvVaw1X1v-
izbnlw2ZiwGpUiATr

Kurnia, M. 2013. Sekilas Tentang Trichoderma Sebagai Pupuk Biologis Dan


Biofungisida. Dinas Pertanian Kabupaten Bulelang. Bulelang

Novita, T. 2011. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Pertanian


Organik Berbasis Trikolimtan di Kota Sungai Penuh Provinsi Jambi.
Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat Volume 12 Issue 52. LPPM
Universitas Jambi.

Palupi, N.P. 2015. Karakter Kimia Kompos dengan Dekomposer Mikroorganisme


Lokal Asal Limbah Sayuran. Jurnal Ziraa’ah, 40 (1): 54-60.

Panudju,T.I. 2011. Pedoman teknis pengembangan rumah kompos.. Direktorat


Perluasan dan Pengolahan Lahan, Direktorat Jendral Prasarana Dan Sarana
Pertanian Kementrian Pertanian, Jakarta.

Permana, D. 2011. Kualitas Pupuk Organik Cair dari Kotoran Sapi Pedaging yang
Difermentasi Menggunakan Mikroorganisme Lokal. Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

25
Prihandirini. 2004. Manajemen Sampah Daur Ulang Sampah Menjadi Pupuk
Organik. Perpod. Jakarta.

Priyono, J dan M. Yasin. 2016. Analisis Faktor Usia, Gaji Dan Beban
Tanggungan Terhadap Produksi Home Industri Sepatu Di Sidoarjo (Studi
kasusDi Kecamatan Krian). Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 1,
Nomor 1 , Maret 2016, Hal 95 – 120.

Purwasasmita, M. 2009. Mikroorganisme Lokal sebagai Pemicu Siklus


Kehidupan dalam Bioreaktor Tanaman. Seminar Nasional Teknik Kimia,
Bandung 19-20 Oktober 2009.

Rachmawan, O. 2001. Dasar pengolahan limbah secara fisik .Departemen


pendidikan nasional proyek pengembangan sistem.

Rahardjo, M. 2017. Studi kasusDalam Penelitian Kualitatif : Konsep dan


Prosedurnya. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Rinanto, Y., Sajidan, dan U. Fatmawati. 2015. Pemanfaatan Limbah Sisa Hasil
Panen Petani Sayuran di Boyolali sebagai Bahan Baku Pembuatan Pupuk
Cair Organik menuju Pertanian Ramah Lingkungan. Seminar Nasional
Konservasi Dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam, 231–236.

Rusmono, M., M Rochaman, dan I. Nuraeni. 2016. Pemanfaatan Limbah


Pertanian. http://repository.ut.ac.id › LUHT4450-M1

Seni, I. A., I.D. Atmaja dan N.W.S. Sutari. 2013. Analisis Kualitas Larutan MOL
(Mikroorganisme Lokal) Berbasis Daun Gamal (Gliricidia sepium). Jurnal
Agroteknologi Tropik, 2 (2): 135-144.

Sitorus, T.F,.2002. Peningkatan Nilai Nutrisi Jerami Padi dengan Fermentasi Ragi
isi Rumen. Program Studi Magister Ilmu Ternak Program Pasca Sarjana
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Sobarti, E dan F Fathurohman. 2017. Efektivitas Penyiangan Terhadap Hasil


Tanaman Wortel (Daucus carota L.) Lokal Cipanas Bogor. Jurnal
Biodjati, 2 (1) 2017 http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/biodjati

Suhayatun, S. 2006. Peranan Beberapa Jenis Mulsa Organik dalam Manajemen


Suhu Tanah. Research Report from LAPTUNILAPP. Diakses via internet
http:// www.digilib.itb.b ac.id/gdl

Soejono. 1995. Transportasi dan Lingkungan. Yogyakarta.

Wiada, I.D.N. 2021. Jerami Sisa Hasil Tanaman Padi Yang Multifungsi. Dinas
Pertanian. Kabupaten Buleleng. distan@bulelengkab.go.id. 16 Maret
2021. https://distan.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/66-jerami-
sisa-hasil-tanaman-padi-yang-multifungsi.

26
Wiswasta, dan I.G.N. Alit. 2016. Mikro Organisme Lokal (MOL Sebagai Pupuk
Organik Cair dari Limbah Pertanian dan Kaitannya Dengan Ketersedian
Hara Makro dan Mikro. Seminar Nasional. Program Studi Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati. Denpasar.

Yunilas. 2009. Karya Ilmiah. Bioteknologi Jerami Padi Melalui Fermentasi


sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan.

27
Lampiran 1. Limbah hasil pertanian di Kecamatan Kayu Ao

Limbah hasil panen tanaman padi yang dibakar dan ditumpuk

Tanaman jagung dan limbah hasil panen tanaman jagung

28
Limbah hasil panen tanaman kol dan kubis

Limbah hasil panen tanaman kentang, wortel dan hasil tanaman wortel

29

Anda mungkin juga menyukai