Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

(SAINS TERPADU)

“Emisi Pembangkit Listrik”

Oleh
Nengah Nitriani A 202 19 029

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS PROGRAM MAGISTER


PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah adalah salah
satu sarana untuk mengembangkan kreativitas mahasiswa juga pengetahuan yang
dimiliki mahasiswa. Makalah ini merupakan suatu sumbangan pikiran dari penulis
untuk dapat digunakan oleh pembaca.
Makalah ini disusun berdasarkan data-data dan sumber-sumber yang telah
diperoleh penulis. Penulis menyusun makalah ini dengan bahasa yang mudah
ditangkap oleh pembaca sehingga makalah ini dapat dengan mudah dimengerti
oleh pembaca. Pada akhirnya, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dalam memahami persoalan emisi pembangkit listrik.

Palu, April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................. 3
1.4 Manfaat Penulisan........................................................................... 3
1.5 Sistematika Penulisan..................................................................... 4

BAB III PEMBAHASAN


2.1 Gempa Bumi................................................................................... 5
2.1.1 Penyebab terjadinya gempa bumi......................................... 11
2.1.2 Proses terjadinya gempa bumi.............................................. 14
2.1.3 Dampak terjadinya gempa bumi........................................... 16
2.1.4 Mitigasi gempa bumi............................................................ 19
2.2 Tsunami........................................................................................... 21
2.2.1 Penyebab terjadinya tsunami................................................ 29
2.2.2 Proses terjadinya tsunami..................................................... 30
2.2.3 Dampak terjadinya tsunami.................................................. 33
2.2.4 Mitigasi terjadinya tsunami.................................................. 35
2.3 Likuifaksi........................................................................................ 37
2.3.1 Penyebab terjadinya likuifaksi.............................................. 43
2.3.2 Proses terjadinya likuifaksi................................................... 44
2.3.3 Dampak terjadinya likuifaksi................................................ 47
2.3.4 Mitigasi likuifaksi................................................................. 48

iii
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................... 52
3.2 Saran............................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 55

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangkitan listrik merupakan salah satu sektor energi yang memiliki
kontribusi besar dalam pelepasan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Tingginya
tingkat emisi yang dikeluarkan dari pembangkit dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya pemilihan bahan bakar, proses pembakaran, teknologi yang dipakai
dan beban yang ditanggung oleh pembangkit, (Turner and Doty, 2007).
Pembangkit listrik utama adalah jenis pembangkit listrik thermal yang
terhubung dengan sistem interkoneksi Sumbagtel dan Sumbagsel dengan jenis
PLTU berbahan bakar batu bara kalori rendah, PLTD dengan bahan bakar diesel,
PLTG/U berbahan bakar gas alam serta PLTMG berbahan bakar diesel bertipe
marine fuel oil (MFO) dan gas alam, (Miefthawati & Muhadi, 2018).
Saat ini bahan bakar pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi
oleh penggunaan bahan bakar fosil, salah satunya adalah batubara. Penggunaan
batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat.
Meskipun kandungan sulfur batubara Indonesia relatif kecil tetapi penggunaan
dalam jumlah besar akan dapat meningkatkan emisi SO2 sehingga dapat
berdampak negatif terhadap manusia dan lingkungan hidup. Penggunaan bahan
bakar fosil untuk pembangkit listrik akan dapat meningkatkan emisi dari partikel,
SO2, NOx, dan CO2. Pengaruh partikel emisi terhadap kesehatan dan lingkungan
seperti emisi SO2 memberikan pengaruh terhadap Kesehatan (Problem saluran
Pernapasan dan radang paru-paru menahun), pengaruh terhadap lingkungan
(hujan asam yang dapat merusakkan lingkungan danau, sungai dan hutan serta
mengganggu jarak pandang). Emisi NOx memberikan pengaruh terhadap
Kesehatan (sakit pada saluran pernapasan), pengaruh terhadap lingkungan (hujan
asam dan ozon menipis yang mengakibatkan kerusakan hutan). Emisi CO 2
memberikan pengaruh terhadap lingkungan seperti pemanasan global (Princiotta,
1991).

1
Pemanasan global disebabkan oleh meningkatnya kandungan gas rumah
kaca (karbon dioksida, metan, nitrogen oksida, sulfur heksaflourida, HFC, dan
PFC), (Nurmaini, 2001). Dari ke enam gas rumah kaca tersebut, karbon dioksida
(CO2) memberikan kontribusi terbesar terhadap pemanasan global diikuti oleh gas
metan (CH4). Lebih dari 75% komposisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir
adalah CO2 sehingga apabila kontribusi CO2 dari berbagai kegiatan dapat
dikurangi secara signifikan, maka ada peluang bahwa dampak pemanasan global
terhadap perubahan iklim akan berkurang, (Nurmaini, 2012).
Emisi yang dihasilkan setiap pembangkit berbeda-beda tergantung faktor
emisinya. Semakin besar faktor emisi pembangkit tersebut semakin besar emisi
CO2 yang dihasilkan. Pembangkit listrik berbahan bakar fosil mempunyai emisi
CO2 yang cukup besar karena dalam menghasilkan energi listrik dilakukan
pembakaran rantai karbon. Salah satu cara untuk mengurangi polusi udara
khususnya kandungan CO2 dalam udara adalah dengan menggunakan pembangkit
listrik yang rendah emisi CO2, (Budi & Suparman, 2013).
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan, maka
penulis merasa tertarik untuk mengangkat masalah tersebut menjadi judul
makalah yaitu: “Emisi Pembangkit Listrik”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
dalam penulisan ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud emisi?
2. Apa saja jenis-jenis emisi pembangkit listrik?
3. Bagaimana dampak emisi pembangkit energi listrik?
4. Bagaimana cara menurunkan emisi pembangkit listrik?
5. Bagaimana kaitan emisi pembangkit listrik dengan Sains?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan yaitu:
1. Dapat mengetahui pengertian emisi

2
2. Dapat mengetahui jenis-jenis emisi pembangkit listrik
3. Dapat mengetahui dampak emisi pembangkit energi listrik
4. Dapat mengetahui cara menurunkan emisi pembangkit listrik
5. Dapat mengetahui kaitan emisi pembangkit listrik dengan Sains

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak
yang terkait dalam dunia pendidikan. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh
melalui penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian emisi
2. Untuk mengetahui jenis-jenis emisi pembangkit listrik
3. Untuk mengetahui dampak emisi pembangkit energi listrik
4. Untuk mengetahui cara menurunkan emisi pembangkit listrik
5. Untuk mengetahui kaitan emisi pembangkit listrik dengan Sains

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan makalah ini bersumber dari kajian pustaka yakni
dengan mengkaji buku-buku, jurnal atau referensi yang relevan sesuai dengan
topik-topik yang di bahas.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Emisi


Emisi adalah zat, energi atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu
kegiatan yang masuk atau dimasukkannya ke dalam udara yang mempunyai atau
tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Emisi gas buang adalah sisa
hasil pembakaran bahan bakar di dalam mesin pembakaran dalam, mesin
pembakaran luar, mesin jet yang dikeluarkan melalui sistem pembuangan mesin,
(Wikipedia, 2019).
Sisa hasil pembakaran berupa air (H2O), gas CO atau disebut juga karbon
monooksida yang beracun, CO2 atau disebut juga karbon dioksida yang
merupakan gas rumah kaca, NOx senyawa nitrogen oksida, HC berupa senyawa
Hidrat arang sebagai akibat ketidak sempurnaan proses pembakaran serta partikel
lepas, (Wikipedia, 2019).
Emisi Karbon Dioksida Terus Meningkat Sejak Era Industri. Karbon
dioksida (CO2) adalah senyawa yang erat hubungannya dengan era industri. Sejak
dunia industri mulai tumbuh 150 tahun terakhir, emisi CO2 meningkat pesat.
Faktor utamanya adalah pembakaran fosil untuk batu bara, gas alam, dan minyak
bumi, (KOMPAS.com, 2018).
Kerugian yang ditimbulkan dari emisi gas buang adalah:
1. Pemicu hipertensi
2. Penyebab iritasi mata
3. Penurunan kecerdasan otak
4. Mengganggu perkembangan mental anak
5. Tenggorokan gatal dan batuk-batuk
6. Mengurangi fungsi reproduksi laki-laki

4
2.2 Jenis-Jenis Emisi Pembangkit Listrik

Gambar 2.1 Emisi Pembangkit Listrik

Indonesia mempunyai banyak sumber energi seperti : batubara, gas alam,


minyak bumi, energi air, dan geothermal. Batubara merupakan sumber energi
dengan cadangan terbesar, yaitu 36,34 x 109 ton. Sedangkan cadangan gas alam
sebesar 137,79 TSCF (Tera Standard Cubic Feet) dan minyak bumi sebesar 9,09
x 109 SBM (Setara Barel Minyak). Secara ringkas cadangan dan produksi untuk
masing-masing sumber energi ditunjukkan pada Gambar 2.1. Di dalam produksi,
termasuk penggunaan dalam negeri dan untuk diekspor.
Secara garis besar perusahaan pembangkit listrik di Indonesia
dikelompokkan menjadi dua, yaitu pembangkit untuk kepentingan umum dan
pembangkit untuk kepentingan sendiri. Pembangkit untuk kepentingan umum
sebagian besar dipasok oleh PT. PLN (Persero) dan sebagian kecil dipasok oleh
perusahaan listrik swasta, yang sering disebut IPP (Independent Power Producer),
dan koperasi. Sedangkan pembangkit untuk kepentingan sendiri sering disebut
captive power, yang diusahakan oleh swasta untuk kepentingan operasi
perusahaannya.

5
Pada tahun 1997 kapasitas terpasang dari PT PLN mencapai 18,9 GW
dengan total produksi listrik mencapai 76,6 TWh. Dari total produksi tersebut
hanya 2,3 % dibeli dari perusahaan listrik swasta maupun koperasi. Pembangkit
listrik dengan bahan bakar batubara mempunyai pangsa yang paling besar yaitu
sebesar 42,0 % dari total pembangkitan. Pangsa yang kedua adalah pembangkit
listrik yang menggunakan gas alam yaitu sebesar 38,8 %. Sisanya adalah
pembangkit listrik tenaga diesel (8,7 %), pembangkit listrik tenaga air (6,9 %) dan
Pembangki listrik tenaga panas bumi (3,6 %).
Pada tahun yang sama kapasitas terpasang captive power mencapai 12,4
GW dengan total produksi listrik mencapai 39,1 TWh. Captive power sebagian
besar menggunakan bahan bakar diesel (42,0 %) diikuti oleh batubara (29,2 %),
gas alam (17,6 %), dan tenaga air (11,2 %). Bila pembangkit dari PT PLN dan
captive power dijumlahkan maka batubara merupakan bahan bakar yang paling
banyak digunakan untuk pembangkit listrik.
Batubara diperkirakan masih menjadi bahan bakar yang paling dominan
untuk pembangkit listrik di masa datang. Proyeksi produksi listrik untuk setiap
bahan bakar ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Sumber: PT PLN Persero, PLN Statistik 1997

Gambar 2.2 Proyeksi Produksi Listrik di Indonesia

6
Energi listrik selama periode proyeksi diperkirakan tumbuh rata-rata
sebesar 4,9% per tahun. Batubara mempunyai pertumbuhan yang paling tinggi
yaitu sebesar 7,6% per tahun.
Pada saat ini pangsa penggunaan batubara hanya sekitar 28,7 % dan akan
meningkat pesat menjadi 74,1 % pada tahun 2025. Disamping batubara, gas alam
dan energi air cukup berperan dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 2,7 %. Pangsa
gas alam menurun dari 21,3 % pada saat ini menjadi sekitar 11,7 % pada tahun
2025. Tenaga air pangsanya juga mengalami sedikit penurunan dari 15,3 % pada
saat ini menjadi 13 % pada akhir periode proyeksi. Bahan bakar minyak
diperkirakan tidak akan berperan untuk masa depan.
Berdasarkan proyeksi produksi listrik dapat dihitung emisi gas buang
seperti partikel, SO2, NOx, serta CO2 dan diperlihatkan pada Gambar 2.3. Emisi
untuk masing-masing gas meningkat sekitar antara 6-7 % per tahun. Penggunaan
batubara yang meningkat pesat merupakan penyebab utama dari makin
meningkatnya emisi gas buang.

*) Dihitung dari PT PLN Persero, PLN Statistik 1997 dengan memperhitungkan koefisien emisi

Gambar 2.3 Emisi dari Pembangkit Listrik di Indonesia

Indonesia memiliki puluhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)


Batubara yang tersebar di seantero Indonesia. Pembakaran batubara untuk
menghasilkan tenaga listrik ini melepaskan jutaan ton polusi setiap tahunnya. Dari
waktu ke waktu PLTU-PLTU tersebut mengotori udara dengan polutan beracun,

7
termasuk merkuri, timbal, arsenik, kadmiun dan partikel halus yang telah
menyusup ke dalam paru-paru masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Batubara
tersebut, (Suara.com, 2015).
Berdasarkan PERMENLHK No 15 TH 2019 tentang Baku Mutu Emisi
Pembangkit Listrik Tenaga Termal parameter utama yang dihasilkan dari sumber
Emisi sebagai berikut:
a. Partikulat (PM);
b. Nitrogen Oksida (NOx);
c. Sulfur Dioksida (SO2);
d. Karbon Monoksida (CO);
e. Merkuri (Hg);
f. Hidrogen Klorida (HCl);
g. Hidrogen Sulfida (H2S);
h. Hidrogen Fluorida (HF); dan
i. Amoniak (NH3).

Berdasarkan PERMENLHK No 15 TH 2019 tentang Baku Mutu Emisi


Pembangkit Listrik Tenaga Termal parameter pendukung yang dihasilkan dari
sumber Emisi sebagai berikut:
a. Karbon Dioksida (CO2);
b. Oksigen (O2);
c. temperatur; dan
d. laju alir.

Tabel 1. Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

8
Sumber: PERMENLHK NOMOR P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019

Tabel 2. Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Dan
Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU)

Sumber: PERMENLHK NOMOR P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019

Tabel 3. Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)

Sumber: PERMENLHK NOMOR P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019

Tabel 4. Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas

Sumber: PERMENLHK NOMOR P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019

9
Tabel 5. Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)

Sumber: PERMENLHK NOMOR P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019

Tabel 6. Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Berbahan Bakar
Selain Serabut, Cangkang, Ampas, Dan/Atau Daun Tebu Kering

Sumber: PERMENLHK NOMOR P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019

Tabel 7. Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA)

Sumber: PERMENLHK NOMOR P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019

10
2.3 Dampak emisi pembangkit energi listrik
Penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik akan dapat
meningkatkan emisi dari partikel, SO2, NOx, dan CO2. Penggunan batubara untuk
bahan bakar pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat. Meskipun
kandungan sulfur batubara Indonesia relatif kecil tetapi penggunaan dalam jumlah
besar akan dapat meningkatkan emisi sehingga dapat berdampak negatif terhadap
manusia dan lingkungan hidup. Pengaruh partikel emisi terhadap kesehatan dan
lingkungan seperti pada Tabel 1.
Tabel 8. Pengaruh Partikel Emisi Terhadap Kesehatan dan Lingkungan
Pengaruh terhadap Pengaruh Terhadap
Emisi
Kesehatan Lingkungan
SO2 - Problem saluran - hujan asam yang dapat
pernapasan merusakkan lingkungan
- radang paru-paru menahun danau, sungai dan hutan
- mengganggu jarak pandang
NOx sakit pada saluran - hujan asam
pernapasan - ozon menipis yang
mengakibatkan kerusakan
hutan
Partikel/ - iritasi pada mata dan - mengganggu jarakpandang
Debu tenggorokan
- bronkitis dan kerusakan
saluran pernapasan
CO2 Tidak berpengaruh - pemanasan global
secara langsung - merusak ekosistem

Dari waktu ke waktu pembangkit listrik tersebut mengotori udara dengan


polutan beracun, termasuk merkuri, timbal, arsenik, kadmiun dan partikel halus
yang telah menyusup ke dalam paru-paru masyarakat yang tinggal di sekitar
PLTU Batubara tersebut. Akibatnya beragam masalah kesehatan mengintai
masyarakat mulai dari peningkatan risiko kanker paru-paru, stroke, penyakit
jantung, dan penyakit pernapasan.
Hal ini terungkap melalui penelitian yang dilakukan peneliti Universitas
Harvard terkait dampak dari polusi udara yang dihasilkan PLTU Batubara di
Indonesia terhadap kesehatan penduduk disekitarnya selama satu tahun terakhir.
Profesor Shannon Koplitz selaku peneliti utama menjelaskan bahwa PLTU

11
batubara di Indonesia menyebabkan sekitar 6,500 jiwa kematian dini setiap tahun.
Jumlah ini bisa naik hingga 15,700 jiwa per tahun jika pemerintah meneruskan
peluncuran rencana ambisius lebih dari seratus pembangkit listrik tenaga batu bara
yang baru.
Emisi dari PLTU batubara itu membentuk partikel dan ozon yang
merugikan kesehatan manusia. Saat polusi udara yang berupa partikel halus
beracun terhirup, maka dengan mudah akan masuk ke paru-paru hingga menuju
aliran darah sehingga mengakibatkan infeksi saluran pernapasan akut hingga
kanker paru-paru (suara.com, 2015).
Zat apa saja yang dihasilkan PLTU sehingga menimbulkan kekhawatiran?
Menurut ahli polusi udara dari Greenpeace, Lauri Myllivirta; PLTU dapat
menghasilkan partikel halus PM2.5. PM2.5 adalah partikel halus yang dihasilkan
dari semua jenis pembakaran, termasuk pembangkit listrik. Partikel ini akan
menetap di udara dalam jangka waktu lama dan tertiup angin hingga ratusan mil.
PM2.5 mengandung senyawa beracun yang jika terhirup dapat masuk
hingga aliran darah manusia sehingga dalam jangka panjang dapat menyebabkan
asma, infeksi pernapasan akut, kanker paru-paru, dan memperpendek harapan
hidup. Selain itu, Lauri juga berkata bahwa PLTU menghasilkan emisi Nitrogen
Dioksida (NO2) dan Sulfur Dioksida (SO2) yang dapat meningkatkan risiko
penyakit pernafasan dan jantung pada orang dewasa.
Tidak hanya itu, emisi tersebut juga dapat menyebabkan hujan asam yang
merusak tanaman dan tanah, serta membawa kandungan logam berat beracun,
seperti arsenik, nikel, krom, timbal, dan merkuri. Lauri berkata bahwa merkuri
masuk ke dalam tubuh manusia melalui sayuran atau hewan yang sudah
mengandung merkuri sebelumnya karena sifat merkuri yang dapat mengendap.
Merkuri bisa mengendap dan berakumulasi di dalam tanaman terutama yang
bahaya adalah nasi. Dari hal tersebut, bisa merembet kepada manusia yang
memakan nasi.
Merkuri bisa menyebabkan penurunan IQ, gangguan saraf, dan
meningkatkan kemungkinan cacat lahir pada manusia. Yang perlu diperhatikan
adalah dampak dari merkuri ini tidak muncul seketika. Artinya, penyakit yang

12
disebabkan oleh merkuri baru akan muncul setelah bertahun-tahun merkuri
mengendap di dalam tubuh manusia.

2.4 Cara Menurunkan Emisi Pembangkit Listrik


Berdasarkan pembahasan sebelumnya terlihat bahwa batubara sangat
potensial digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di masa depan. Akan
tetapi banyak kendala yang dihadapi untuk memanfaatkan batubara secara
besarbesaran. Kendala tersebut antara lain :
- batubara berbentuk padat sehingga sulit dalam penanganannya
- batubara banyak mengandung unsur lain, misalnya sulfur dan nitrogen yang
bisa menimbulkan emisi polutan.
- Batubara mengandung banyak unsur karbon yang secara alamiah bila dibakar
akan menghasilkan gas CO2.
Untuk mengatasi kendala tersebut, teknologi bersih merupakan alternatif
yang dapat diterapkan. Teknologi ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam
kategori. Yang pertama diterapkan pada tahapan setelah pembakaran dan yang
kedua diterapkan sebelum pembakaran.

2.4.1 Penerapan Teknologi Bersih Setelah Proses Pembakaran


Batubara yang dibakar di boiler akan menghasilkan tenaga listrik serta
menghasilkan emisi seperti partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi tersebut dapat
dikurangi dengan menggunakan teknologi seperti denitrifikasi, desulfurisasi,
electrostratic precipitator (penyaring debu), dan separator CO2. Kecuali teknologi
separator CO2 yang masih dalam tahap penelitian, teknologi lainnya merupakan
teknologi konvensional yang saat ini sudah banyak diterapkan.

1. Teknologi Denitrifikasi
Teknologi ini digunakan untuk mengurangi emisi NO x. Penerapannya
dapat berupa perbaikan sistem boiler atau dengan memasang peralatan
denitrifikasi pada saluran gas buang. Boiler dapat dimodifikasi sehingga menjadi :
1) boiler dengan metoda pembakaran dua tingkat,

13
2) boiler menggunakan alat pembakaran dengan NOx rendah,
3) boiler dengan sirkulasi gas buang, dan
4) boiler yang menggunakan alat denitrifikasi di dalam ruang bakar.

Denitrifikasi dilakukan dengan menginjeksi amonia ke dalam peralatan


denitrifikasi. Gas NOx di dalam gas buang akan bereaksi dengan amonia (dengan
bantuan katalis) sehingga emisi NOx akan berkurang. Peralatan denitrifikasi
sering disebut selective catalytic reduction (SCR). Dengan peralatan ini, NOx
dalam gas buang dapat dikurangi sebesar 80-90%.

Sumber: (Nishikawa, 1995)

Gambar 2.4. Tahapan Setelah Pembakaran

2. Teknologi Dedusting
Teknologi dedusting digunakan untuk mengurangi partikel yang berupa
debu. Peralatan ini dipasang setelah peralatan denitrifikasi. Salah satu jenis
peralatan ini adalah electrostatic precipitator (ESP). ESP berupa elektroda yang
ditempatkan pada aliran gas buang. Elektroda diberi tegangan antara 40-60 kV
DC sehingga dalam elektroda akan timbul medan magnet. Partikel debu dalam gas
buang yang melewati medan magnet akan terionisasi dan akan berinteraksi
dengan elektrode yang mengakibatkan debu akan terkumpul pada lempeng
pengumpul. Lempeng pengumpul digetarkan untuk membuang debu yang sudah
terkumpul. Efisiensi ESP untuk menghilangkan debu sangat besar yaitu mencapai
99,9 %.

14
3. Teknologi Desulfurisasi
Teknologi ini digunakan untuk mengurangi emisi SO2. Nama yang umum
untuk peralatan desulfurisasi adalah flue gas desulfurization (FGD). Ada dua tipe
FGD yaitu FGD basah dan FGD kering. Pada FGD basah, campuran air dan
gamping disemprotkan dalam gas buang. Cara ini dapat mengurangi emisi SO2
sampai 70-95%. Hasil samping adalah gypsum dalam bentuk cairan. FGD kering
menggunakan campuran air dan batu kapur atau gamping yang diinjeksikan ke
dalam ruang bakar. Cara ini dapat mengurangi emisi SO 2 sampai 70-97%. FGD
kering menghasilkan produk sampingan gypsum yang bercampur dengan limbah
lainnya.

4. Teknologi CO2 Removal


Beberapa negara maju seperti Jepang telah melakukan riset untuk
memisahkan gas CO2 dari gas buang dengan menggunakan cara seperti pada
pengurangan emisi SO2 dan NOx. Pemisahan ini mengggunakan bahan kimia
amino dan memerlukan energi sebesar seperempat dari energi listrik yang
dihasilkan. Cara ini belum efisien dan masih perlu disempurnakan. Gas CO 2 yang
telah dipisahkan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri atau dibuang
ke dalam laut atau ke bekas tempat penambangan.

2.4.2 Penerapan Teknologi Bersih Sebelum Proses Pembakaran


Pengurangan emisi pada tahapan setelah pembakaran batubara banyak
memerlukan energi listrik sehingga kurang efisien dalam penggunaan energi. Cara
yang lebih efisien adalah bila pengurangan emisi dilakukan pada tahap sebelum
pembakaran dan sering disebut teknologi batubara bersih. Teknologi batubara
bersih yang dibahas dalam makalah ini diantaranya adalah teknologi fluidized bed
combustion (FBC), gasifikasi batubara, magneto hydrodynamic (MHD) dan
kombinasi IGCC dengan fuel cell.

15
1. Teknologi FBC
Ada dua macam teknologi FBC yaitu atmospheric fuidized bed
combustion (AFBC) dan pressurized fuidized bed combustion (PFBC). Teknologi
PFBC lebih cepat berkembang dari pada AFBC karena mempunyai efisiensi yang
lebih tinggi. Skema dari PFBC ditunjukkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Skema Teknologi PFBC

Pada proses PFBC, batubara sebelum dimasukkan ke dalam boiler


dihaluskan hingga ukuran 6-20mm. Batubara dimasukkan dengan cara
diinjeksikan melalui lubang yang berada sedikit di atas distributor udara.
Bersamaan dengan batubara diinjeksikan juga batu kapur yang sudah dihaluskan
sehingga terjadi proses desulfurisasi. Pembakaran dalam boiler berlangsung pada
suhu yang relatif rendah yaitu sekitar 800oC. Suhu yang relatif rendah ini akan
mengurangi emisi NOx yang dihasilkan. Dengan menggunaan teknologi PFBC,
emisi SO2 dapat dikurangi 90-95% sedangkan emisi NOx dapat dikurangi 70-80%.
Gas hasil pembakaran mempunyai tekanan yang cukup tinggi dan bersih
sehingga bisa digunakan untuk menggerakkan turbin gas. Disamping itu gabungan
uap yang dihasilkan dari pembakaran dengan uap hasil HRSG (Heat Recovery
Steam Generator) dapat digunakan untuk menggerakkan turbin uap. Dengan
demikian dapat diperoleh siklus ganda sehingga akan menaikkan total
efisiensinya. Efisiensi dari sistem ini berkisar antara 40-44%.

16
2. Teknologi Gasifikasi Batubara
Teknologi ini merupakan inovasi terbaru dalam memperbaiki metoda
pembakaran batubara. Batubara diubah bentuk dari padat menjadi gas. Perubahan
bentuk ini meningkatkan efisiensi, yaitu dengan memperlakuan gas hasil
gasifikasi seperti penggunaan gas alam. Gas tersebut bisa dimanfaatkan untuk
menggerakkan turbin gas. Gas buang dari turbin gas yang masih mempunyai suhu
yang cukup tinggi dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap dengan
menggunakan HRSG. Siklus kombinasi ini sering dinamakan IGCC (Integrated
Gasification Combined Cycle) (Gambar 2.6).

Sumber: (Nishikawa, 1995 & Siegel, J.S. and Temchin J.R., 1991)

Gambar 2.6. Skema Teknologi IGCC

Gasifikasi dilakukan pada tahap awal proses, yaitu setelah proses


menghalusan atau pembentukan slurry. Gasifikasi dilakukan pada suhu yang
cukup tinggi yaitu sekitar 1400-1500oC. Abu sisa pembakaran akan meleleh pada
suhu tersebut. Gas hasil gasifikasi sebelum masuk turbin gas dibersihkan dengan
menggunakan ESP dan desulfurisasi. Proses desulfurisasi ini akan menghasilkan
belerang murni yang mempunyai nilai jual tinggi. Denitrifikasi dilakukan setelah
HRSG. Teknologi IGCC masih dalam tahap pengembangan dan diperkirakan
dalam 2-5 tahun mendatang dapat beroperasi secara komersial. Efisiensi IGCC
dapat mencapai 43-47%. Emisi SO2 dan NOx dapat dikurangi masing-masing
sekitar 95-99 % dan 40-95%.

17
3. Teknologi MHD
MHD bekerja berdasarkan efek Faraday yaitu arus listrik DC akan timbul bila ada
konduktor yang bergerak melewati medan magnet. Untuk mendapatkan efek ini,
batubara dibakar di ruang bakar hingga temperatur mencapai 2630 oC. Pada
temperatur ini fluida kerja potassium dapat terionisasi menjadi gas yang berperan
sebagai konduktor. Gas akan melewati medan magnet dan menghasilkan tegangan
listrik DC. Tegangan DC diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan
inverter (Gambar 2.7).

Sumber: (Siegel, J.S. and Temchin J.R.,1991)

Gambar 2.7. Skema Teknologi MHD

Gas buang setelah melewati MHD masih dapat digunakan untuk


menghasilkan uap dengan bantuan HRSG. Uap akan menggerakan turbin uap dan
menghasilkan energi listrik. Dengan siklus kombinasi ini, efisiensi total dapat
mencapai 55-60%. Pengurangan emisi SO2 dalam MHD terjadi secara alami.
Potassium sebagai fluida kerja akan bereaksi dengan belerang dari batubara dan
membentuk potassium sulfate yang terkondensasi. Fluida ini kemudian dipisahkan
dari belerang dan diinjeksikan ulang ke dalam ruang bakar. Pengurangan emisi
NOx dilakukan dengan metode pembakaran dua tahap. Tahap pertama dilakukan
pada ruang bakar dan tahap kedua dilakukan di HRSG. Emisi partikel dapat

18
dikurangi dengan menggunakan peralatan konvensional ESP. Sedangkan emisi
CO2 akan berkurang karena meningkatnya total efisiensi.

4. Teknologi Kombinasi IGCC dan Fuel Cell


Pada IGCC dapat ditambah satu proses lagi yaitu menggunakan teknologi
fuel cell. Konfigurasi ini menghasilkan tiga buah gabungan pembangkit listrik
seperti diperlihatkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Skema Kombinasi IGCC dan Fuel Cell

Saat ini fuel cell yang sudah digunakan untuk temperatur tinggi adalah tipe
molten carbonate fuel cell (MCFC) dan solid electrolitic fuel cell (SOFC). Tipe
MCFC beroperasi pada suhu sekitar 650oC sedangkan tipe SOFC dapat mencapai
1000oC. Total efisiensi dari sistem ini diperkirakan 50-55%.

2.5 Kaitan Emisi Pembangkit Listrik Dengan Sains


2.5.1 Kaitan Emisi Pembangkit Listrik dengan Fisika
Dalam fisika, emisi adalah suatu proses ketika suatu partikel yang berada
pada keadaan energi mekanika kuantum yang lebih tinggi berubah ke keadaan
yang lebih rendah melalui emisi foton, sehingga menghasilkan cahaya. Frekuensi
cahaya yang dipancarkan adalah fungsi dari energi transisi. Sesuai dengan hukum
kekekalan energi, perbedaan antara kedua keadaan sama dengan energi yang

19
dibawa oleh foton. Keadaan energi transisi dapat menyebabkan emisi dengan
rentang frekuensi yang lebar. Misalnya, sinar tampak yang dipancarkan oleh
keadaan elektronik dalam atom dan molekul (kemudian fenomena ini disebut
fluoresensi atau fosforesensi). Sebaliknya, transisi kelopak nuklir dapat
memancarkan sinar gamma berenergi tinggi, sementara transisi spin nuklir
memancarkan gelombang radio berenergi rendah.
Pancaran sinar suatu objek menjadi ukuran jumlah cahaya yang
dipancarkannya. Ini dapat terkait dengan sifat lain objek tersebut melalui hukum
Stefan–Boltzmann. Untuk sebagian besar zat, jumlah emisi bervariasi sesuai suhu
dan komposisi spektroskopik obyeknya, sehingga menyebabkan penampakan
suhu warna dan garis emisi. Pengukuran yang tepat pada banyak panjang
gelombang memungkinkan identifikasi zat melalui spektroskopi emisi.
Emisi radiasi biasanya dijelaskan menggunakan mekanika kuantum semi
klasik: tingkat energi partikel dan jarak ditentukan dari mekanika kuantum, dan
cahaya diperlakukan sebagai medan listrik berosilasi yang dapat mendorong
transisi jika berada dalam resonansi dengan frekuensi alami sistem, (Wikipedia,
2020).
Selain itu keterkaitan emisi pembangkit listrik dengan fisika yaitu terletak
pada mesin rotasi yang mengubah panas dari pembakaran menjadi energi mekanik
yang lalu mengoperasikan generator listrik. Penggerak utamanya adalah uap, gas
bertekanan tinggi, atau mesin siklus dari mesin pembakaran dalam. Pada
pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil, energi kimia yang tersimpan dalam
bahan bakar fosil (batu bara, gas alam, minyak bumi) dan oksigen dari udara
dikonversikan menjadi energi termal, energi mekanis, lalu energi listrik untuk
penggunaan berkelanjutan dan distribusi secara luas.

2.5.2 Kaitan Emisi Pembangkit Listrik dengan Kimia


Keterkaitan emisi pembangkit listrik dengan kimia yaitu terletak pada gas
sisa hasil pembakaran dibuang ke atmosfer; mengandung karbon dioksida dan uap
air, juga substansi lain seperti nitrogen, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan abu
ringan (khusus batu bara) dan mungkin merkuri. Abu padat dari pembakaran batu

20
bara juga harus dibuang, meski saat ini abu padat sisa pembakaran batu bara dapat
didaur ulang sebagai bahan bangunan. Pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil
adalah peyumbang utama gas rumah kaca dan berkontribusi besar terhadap
pemanasan global. Batu bara menghasilkan gas rumah kaca sedikitnya tiga kali
lebih banyak dari gas alam.
Selain itu kaitan emisi pembangkit listrik dengan kimia terletak pada
konversi energi kimia menjadi panas. Pembakaran sempurna dari bahan bakar
fosil menggunakan oksigen untuk menginisiasi pembakaran.

Dimana koefisien stoikiometri x dan y bergantung pada tipe bahan bakar.


Persamaan yang lebih simpel lagi adalah:

Bahan bakar + Oksigen → Panas + Karbondioksida + Air

Sisa pembakaran seperti nitrogen dan sulfur dioksida, datang dari bahan bakar
yang tidak murni karena terdapat campuran yang tidak diharapkan (pengotor) dari
bahan bakar tersebut.

2.5.3 Kaitan Emisi Pembangkit Listrik dengan Biologi


Keterkaitan emisi pembangkit listrik dengan bilogi terletak pada
pencemaran udara serta efek lingkungan dan kesehatan dari adanya emisi.
Pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan untuk pembangkit listrik,
khususnya batu bara, proses industri serta pembakaran bahan bakar untuk
tranportasi merupakan sumber-sumber bagi pencemaran udara.
Pencemaran Udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga
mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara
ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Polusi udara luar akan semakin memburuk jika pembangkit batubara terus
ditingkatkan dan beroperasi di masa depan. Menurut Greenpeace (2015), setiap

21
operasi pembangkit batu bara dengan kapasitas 1000 MW dapat membunuh 600
orang Indonesia per tahun. Dengan penambahan 20 GW PLTU Batubara dari
program 35 GW, maka jumlah kematian yang disebabkan oleh polusi PLTU
diperkirakan mencapai 12 ribu orang setelah 2020.
Selain itu polusi udara juga memiliki efek terhadap kesehatan dan
lingkungan akibat partikel emisi. Kerugian yang ditimbulkan dari emisi gas
buang terhadap kesehatan diantaranya adalah:
1. Pemicu hipertensi
2. Penyebab iritasi mata
3. Penurunan kecerdasan otak
4. Mengganggu perkembangan mental anak
5. Tenggorokan gatal dan batuk-batuk
6. Mengurangi fungsi reproduksi laki-laki
Pengaruh Terhadap Lingkungan akibat partikel emisi yaitu:
1. hujan asam yang dapat merusakkan lingkungan danau, sungai dan hutan
2. ozon menipis yang mengakibatkan kerusakan hutan
3. pemanasan global
4. merusak ekosistem

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu
kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang
mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
2. Emisi Pembangkit Listrik parameter utama yang dihasilkan dari sumber
Emisi yaitu Partikulat (PM); Nitrogen Oksida (NO x); Sulfur Dioksida (SO2);
Karbon Monoksida (CO); Merkuri (Hg); Hidrogen Klorida (HCl); Hidrogen
Sulfida (H2S); Hidrogen Fluorida (HF); dan Amoniak (NH3).
Sedangkan emisi Pembangkit Listrik parameter pendukung yang dihasilkan
dari sumber Emisi yaitu Karbon Dioksida (CO2); Oksigen (O2); temperatur;
dan laju alir.
3. Dampak emisi pembangkit energi listrik bagi kesehatan yaitu Pemicu
hipertensi, Penyebab iritasi mata, Penurunan kecerdasan otak, Mengganggu
perkembangan mental anak, Tenggorokan gatal dan batuk-batuk dan
Mengurangi fungsi reproduksi laki-laki.
Sedangkan dampak bagi lingkungan yaitu hujan asam yang dapat merusakkan
lingkungan danau, sungai dan hutan; ozon menipis yang mengakibatkan
kerusakan hutan; pemanasan global; dan merusak ekosistem.
4. Cara Menurunkan Emisi Pembangkit Listrik dilakukan dengan dua cara yaitu:
a) Penerapan Teknologi Bersih Setelah Proses Pembakaran seperti
denitrifikasi, desulfurisasi, electrostratic precipitator (penyaring debu),
dan separator CO2.
b) Penerapan Teknologi Bersih Sebelum Proses Pembakaran seperti
teknologi fluidized bed combustion (FBC), gasifikasi batubara, magneto
hydrodynamic (MHD) dan kombinasi IGCC dengan fuel cell.
5. Kaitan Emisi Pembangkit Listrik Dengan Sains

23
a) Keterkaitan emisi pembangkit listrik dengan fisika yaitu terletak pada
mesin rotasi yang mengubah panas dari pembakaran menjadi energi
mekanik yang lalu mengoperasikan generator listrik.
b) Keterkaitan emisi pembangkit listrik dengan kimia terletak pada konversi
energi kimia menjadi panas. Pembakaran sempurna dari bahan bakar fosil
menggunakan oksigen untuk menginisiasi pembakaran.

c) Keterkaitan emisi pembangkit listrik dengan bilogi terletak pada


pencemaran udara serta efek lingkungan dan kesehatan dari adanya emisi.

3.2 Saran
Agar dampak emisi terhadap pencemaran udara, kerusakan lingkungan dan
kesehatan dapat diminimalisir dapat dilkaukan dengan cara mengurangi
kandungan CO2 di udara adalah dengan menggunakan pembangkit listrik yang
mempunyai faktor emisi CO2 rendah.
Makalah ini masih banyak kekuragan, kritik dan saran diharapkan agar
terciptanya makalah yang sempurna agar bisa bermanfaaat untuk semua.

24
DAFTAR PUSTAKA

Budi, R. F. S., & Suparman, S. (2013). Perhitungan Faktor Emisi CO2 PLTU
Batubara dan PLTN. Jurnal Pengembangan Energi Nuklir, 15(1).

Cahyadi. (2011). Kajian Teknis Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Fossil. JITE
Vol. 1 No. 12 Edisi Februari 2011 : 21-32

Kompas.com. (2018). Emisi Karbon Dioksida Terus Meningkat Sejak Era


Industri. (Online)
https://sains.kompas.com/read/2018/05/02/170000423/emisi-karbon-
dioksida-terus-meningkat-sejak-era-industri, diakses tanggal 11 April 2020

Muhadi, I. (2018). Analisis Estimasi Emisi Gas Rumah Kaca Pada Pembangkit
Thermaldi Provinsi Riau Tahun 2016-202 (Doctoral dissertation,
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

Nishikawa, N. (1995). Contribution to the Global environment Measure Through


Integrated Gasification Combined Cycle Development. Proceedings on
Clean Coal Day 1995 International Symposium. Tokyo : NEDO

Nurmaini. (2001). Peningkatan Zat-Zat Pencemar Mengakibatkan Pemanasan


Global. Sumatera Utara : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

Nurmaini. (2012). Petunjuk Teknis Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di
Sektor Industri. Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri

PERMENLHK No 15 TH 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik


Tenaga Termal

Princiotta, F.T. (1991). Pollution Control for Utility Power Generation, 1990 to
2020. Proceeding of Energy and the Environment un the 21st, p. 624-649,
The MIT Press

PT PLN Persero, PLN Statistik 1997

Siegel, J.S. and Temchin J.R. (1991). Role of Clean Coal Technology in Electric
Power in the 21st Century. Proceeding of Energy and the Environment un
the 21st, p. 623-630, The MIT Press

Suara.com. (2015). Ini Bahaya Polusi Udara dari PLTU Batubara. (Online).
https://www.suara.com/health/2015/08/13/154600/ini-bahaya-polusi-
udara-dari-pltu-batubara, diakses tanggal 11 April 2020

25
Sugiyono, A. (2000). Prospek Penggunaan Teknologi Bersih untuk pembangkit
listrik dengan bahan bakar batubara di Indonesia. Jurnal Teknologi
Lingkungan, 1(1).

Turner and Doty. (2007). Energy Management Handbook. London : Fairmont


Press.

Wikipedia. (2019). Emisi Gas Buang. (Online).


https://id.wikipedia.org/wiki/Emisi_gas_buang, diakses tanggal 12 April
2020

26

Anda mungkin juga menyukai